bab ii akal dan pendidikan islam a. akal 1. pengertian...
TRANSCRIPT
14
BAB II
AKAL DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Akal
1. Pengertian Akal
Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosa
kata bahasa Indonesia. Yang jelas, ia diambil dari bahasa Arab قلالع, al-’aql
atau قلع ‘aqala. Kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab
sebelum datangnya agama Islam, yaitu pada masa pra-Islam. Akal hanya
berarti kecerdasan praktis yang ditunjukkan seseorang dalam situasi yang
berubah-ubah. Akal menurut pengertian pra-Islam itu, berhubungan
dengan pemecahan masalah.1
Lafadz ‘aql berasal dari kata ‘aqala-ya’qilu-’aqlan yang berarti
habasa (menahan, mengikat), berarti juga ayada (mengokohkan); serta arti
lainnya adalah fahima (memahami). Lafaz ‘aql juga disebut dengan al-
qalb (hati). Disebut ‘aql (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari
kehancuran, maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang
dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya.2 Karena
dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi
segala persoalan yang dihadapi.
Istilah “akal” seringkali disamakan dengan istilah “otak” atau
“ratio”. Meskipun keduanya merujuk adanya persamaan, tetapi juga
mengandung perbedaan yang cukup mendasar. Pengertian “otak” misalnya
adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat
dalam tempurung kepala. Di samping terdapat pada manusia, otak juga
terdapat pada binatang. Beda halnya akal hanya terdapat pada manusia,
manusia bisa saja berotak tetapi tidak berakal seperti orang gila.
1Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sain dan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
2002), hlm. 197. 2Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1993), hlm. 98.
15
Dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 49 kata yang muncul secara
variatif. Dengan bentuk kata kerja (fi’il) dan tak pernah disebut dalam
bentuk masdar (عقال), tetapi semuanya berasal dari kata dasar ‘aql, yaitu
;,kali (QS. II: 44, 73, 76, 242; III: 66, 118 24 تعقلون ,sekali (QS. 11: 75) عقلوه
IV: 32, 151; VII: 169; X: 16; XI: 51; XII: 2, 109; XXI: 10, 67; XXIII: 80;
XXVI: 28; XXVIII: 60; XXXVI: 62, XXVII: 138; XL: 67; XLIII: 3; LVII:
يعقلون sekali (QS. XXIX: 43), dan يعقلها ,sekali (QS. LXVII: 10) نعقلون ,(17
22 kali (QS. II: 164, 170, 171, V: 103; VIII: 22; X: 43, 100; XIII: 4; XVI:
12, 67; XII: 46; XXV: 44, XXIX: 35, 63; XXX: 24, 28; XXXVI: 68;
XXXIX: 43; XLV: 5; XLIX: 4; LIX: 14).3 Kata-kata tersebut dijumpai
sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat. Di samping itu,
dalam al-Qur’an juga dikenal dengan istilah ulu al-ba>b yang diartikan
orang-orang yang berakal.
Dalam kenyataan yang kita rasakan, akal bukanlah wujud yang
berdiri sendiri, tetapi inheren dengan jati diri manusia. Akal merupakan
rahmat Allah, khususnya untuk manusia, dan karena akal inilah manusia
berbeda dengan makhluk lain.
Sekedar untuk mengetahui kata akal dengan sinonimnya yang lain,
Endang Saefuddin Anshori berpendapat bahwa dalam struktur manusia
ada satu potensi yang dinyatakan dengan perkataan ratio (latin), ‘aql
(Arab), budhi (Sanskerta), akal budi (satu perkataan yang tersusun dari
bahasa Arab dan Sansekerta), nous (Yunani), reason (Perancis dan
Inggris), verstand (Belanda) dan Vernunfi (Jerman).4
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti,
memahami dan berfikir. Izutsu menambahkan bahwa kata ‘aql masuk ke
dalam filsafat Islam dan mengalami perubahan arti. Dengan pengaruh
masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, kata al-’aql
3Muhammad Fu’ad Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim,
(Lebanon: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 594-595. 4Endang Saefuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm.
150.
16
mengandung arti sama dengan nous. Dalam filsafat Yunani, nous
mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan
demikian, kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al-qalb
yang berpusat di dada, tetapi melalui al-’aql yang berpusat di kepala.5
Endang Saefuddin Anshori mendefinisikan akal adalah suatu
potensi ruhaniah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit
secara teoritis realistis kosmis yang mengelilinginya, dalam mana ia
sendiri juga termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan
mempengaruhinya.6
Dari kedua pengertian tersebut, akal diartikan sebagai potensi
ruhaniah yang terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui,
mengingat, berangan-angan dan memahami suatu realitas kosmis dan
mampu merubahnnya.
Akal dalam pandangan sufi sebagaimana pendapat al-Hakim al-
Tirmidzi yang dikutip oleh Muhammad Abdullah asy-Syarqawi dalam
buku Sufisme dan Akal berpendapat:
…. Akal dibagi menjadi dua macam. Pertama, akal yang mengetahui persoalan dunianya, akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat pada umumnya anak-anak Adam as., kecuali seseorang yang di dalamnya terdapat penyimpangan, semisal orang gila dan anak kecil. Pada mereka, kadar akal instink ini memiliki perbedaan tingkatan. Kedua, akal yang mengetahui persoalan akhiratnya. Akal seperti ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan (dari Allah) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan tidak dimiliki oleh mereka yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini memiliki perbedaan tingkatan di antara kaum muwahiddin (orang-orang yang mengesakan Allah). Dikatakan ‘aql (yang juga berarti bersinar) karena kebodohan adalah kegelapan, di mana ilmunya berada di dalam hati. Apabila cahaya dan penglihatan akal ini mampu mengalahkan kegelapan (kesesatan), maka kesesatan ini akan hilang dan yang ada hanyalah akal …7
5Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UII Press, 1986), hlm. 7. 6Endang Saefuddin Anshori, loc. cit. 7Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, (Bandung: Pustaka Hidayah,
2003), hlm. 163.
17
Kecerdasan dari aktivitas akal pertama (akal instink) berasal dari
argumentasi bahwa di antara manusia terdapat perbedaan keunggulan yang
berdasarkan pada kecerdasan otak. Akal ini terbentuk dari petunjuk tabiat
alamiah, sedangkan akal kedua (akal dari Allah) terbentuk dari petunjuk
iman. Siapa yang terhalang dari akal pertama (akal instink atau fitrah)
berarti disebut orang bodoh. Dengan sendirinya dia tidak memiliki
petunjuk atau hidayah iman.
Untuk memperjelas perbedaan karakteristik kedua akal di atas,
Muhammad Abdullah asy-Syarqawi meringkasnya dalam bentuk tabel
berikut ini:8
Akal Instink atau Akal Fitrah Akal Iman atau Akal Dari Allah
a. Mengetahui persoalan dunia saja
b. Terdapat pada banyak anak
Adam
c. Terbentuk dari hidayah alamiah
d. Sebagian dari ilmunya adalah
intelegensia (kecerdasan)
e. Menjadi hujjah/argumentasi bagi
pemiliknya
f. Siapa yang terhalang dari akal ini
berarti dia seorang yang bodoh,
gila dan sombong
a. Mengetahui persoalan akhirat
b. Hanya dimiliki kaum tauhid
dan tidak kaum musyrik
c. Terbentuk dari hidayah iman
d. Perbedaan derajat di antara
kaum tauhid terhadap akal ini
adalah perbedaan yang tetap
luhur
Dari penjelasan akal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud akal adalah potensi ruhaniah manusia sebagai daya berfikir yang
terdapat dalam jiwa yang mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan dan
keahlian dengan cara berfikir, menyadari dan memahami hakikat sesuatu
yang dimaksud dan dapat juga mendayagunakan potensi akliahnya untuk
mengatasi berbagai problem kehidupan.
8Ibid., hlm. 165.
18
Kemuliaan akal itu tidak lain karena kemampuan mengerti,
memahami dan berfikir tentang hakikat sesuatu, memberi kekuatan
mental, beradaptasi dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran,
inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kemampuan
dan kecerdasan akal yang dimiliki manusia, maka dapat digunakan untuk
merencanakan sebuah kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan Islam
yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kecerdasan akal pula
manusia dapat menentukan cita-cita hidupnya dengan optimis dan
bertanggung jawab.
Jadi, dalam pandangan Islam yang dimaksud dengan akal bukanlah
otak, tetapi merupakan daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya
yang digambarkan oleh al-Qur’an memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan fenomena-fenomena alam sekitarnya.
2. Jenis-jenis Akal Manusia
Berdasarkan objek penelitian, akal manusia yang terdapat dalam
ayat 190 dan 191 yang titik tekannya pada kata ulul al-ba>b, yaitu orang
orang yang mempunyai akal, maka akal manusia dapat dibedakan menjadi
dua jenis sebagai berikut:
a. Akal jasmani
Akal jasmani yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di
kepala. Di mana akal ini menggunakan daya kognisi (al-mudrikah)
dalam otak (al-dimagh) untuk proses berfikir. Objek pemikirannya
adalah hal-hal yang bersifat sensoris dan empiris.
b. Akal ruhani
Akal ruhani yaitu akal abstrak yang mampu memperoleh
pengetahuan abstrak, metafisika, seperti memahami proses penciptaan
langit dan bumi.9 Akal ini selalu dihubungkan dengan qalb. Karena
9Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dan al-
Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 167.
19
akal ruhani menjadi puncak kemampuan manusia di bidang
kecerdasan, pengetahuan, penalaran dan lain sebagainya.10
Baik akal jasmani dan akal ruhani yang ada di dalam diri manusia.
Pada waktu masih hidup di dunia adalah links (persambungan,
berhubungan). Akal merupakan pemancar yang dapat mengirim sinyal
makhluk kepada Allah dan sebaliknya juga dapat menerima sinyal dari
Allah. Sinyal yang diterima dari Allah akan melahirkan sebuah
kecerdasan. Bila kecerdasan akal jasmani dapat mengimbangi kecerdasan
akal ruhani, maka berarti kecerdasan akal jasmani telah mengikuti
kecerdasan ruhani yang sebenarnya.11 Inilah yang sebenarnya disebut
dengan istilah kecerdasan spiritual (spritual quotient). Kecerdasan spiritual
tidak semudah seperti yang dibayangkan. Pencahariannya adalah
sepanjang hidup dengan selalu membersihkan akal dan hati. Jadi,
pemahaman surat Ali Imran ayat 190-191 sesungguhnya adalah modal
utama untuk memperoleh kecerdasan spirtitual.
Al-Kindi sebagaimana dikutip oleh Mulyadi Kartanegara
mengemukakan, bahwa dalam jiwa menusia terdapat tiga daya, yaitu daya
bernafsu yang bertempat di perut, daya berani yang terdapat dalam dada
dan daya berfikir yang terdapat dalam kepala. Oleh karena itu, para filosof
muslim sepakat bahwa akal sebagai daya berfikir manusia yang terletak di
kepala dibagi menjadi dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis.12 Akal
praktis adalah akal yang menerima arti-arti yang berasal dari materi
melalui indera pengingat, sedangkan akal teoritis adalah menangkap arti-
arti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, seperti
Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan diri pada alam materi,
sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan
perhatian pada alam immateri.13
10Ibid., hlm. 166. 11Azhari Aziz, Samudra dan Setia Budi: Hakikat Akal Jasmani dan Rohani, Bagian 1,
(Bekasi: Yayasan Majlis Ta’lim HDH, 2004), hlm. 118. 12Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 24. 13Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 98.
20
Sebagaimana yang dikutip oleh William C. Chittick dalam bukunya
yang berjudul Jalan Cinta Sang Sufi mengemukakan bahwa akal manusia
dibagi menjadi dua. Pertama adalah akal universal, yaitu akal yang dapat
melihat dan memahami makna dari setiap bentuk, melihat hakikat segala
sesuatu. Kedua adalah akal parsial, yaitu akal yang tidak dapat
mengetahui sesuatu yang belum pernah dia. Akal universal pada
hekikatnya adalah satu dan hanya terdapat pada para rasul, nabi dan orang-
orang suci. Manusia biasa tidak sampai pada tingkatan akal ini, karena
akal mereka terselimuti oleh akal kegelapan nafs.
Akal parsial memerlukan makanan dan minuman dari luar melalui
belajar dan mengkaji kejadian alam sekitar. Akal universal mampu
mencukupi dirinya sendiri, tidak memerlukan makanan dari luar.14 Yang
dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru adalah akal universal.
Akal parsial membutuhkan guru dan akal universal adalah guru, dia tidak
memerlukan sesuatu.
3. Fungsi dan Manfaat Akal Manusia
Dalam kehidupannya, manusia sering menghadapi berbagai
masalah. Di mana masalah tersebut harus dipecahkan. Tanpa adanya
pemikiran yang sehat dan jernih, manusia tidak akan meyelesaikan
permasalahan tersebut. Manusia mempunyai akal yang dibuat berfikir
untuk menyejahterakan kehidupannya. Akal sangat berfungsi dalam
kehidupan ini, di antaranya sebagai khalifah Ilahi yang mengatur hidup
dan kehidupan di dunia.15 Kesejahteraan manusia hanya akan terwujud
bila dia mempergunakan akalnya.
Menurut hemat penulis, akal adalah suatu kekuatan yang
tersembunyi yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Karena akal
14William C. Chittick, “The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi”, terj.,
Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 50-51.
15A. Sadali dkk. (ed.), Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 13.
21
mempunyai fungsi membedakan sesuatu yang benar dan salah, bersih dan
kotor, bermanfaat dan bermadlarat, baik dan buruk. Dengan akal pula kita
bisa merancang sebuah kurikulum-kurikulum baru dalam pendidikan.
Islam memerintahkan agar dengan kemampuan akalnya manusia
mengamati kelakuan alam, melalui observasi yang kritis dan sistematis
akan terkumpul data penelitian empirik.16 Dari pernyataan ini, akal
manusia akan bermanfaat penuh, untuk mengoptimalkan daya pikirnya.
Karena Allah SWT. tidak menciptakan sesuatu yang ada di dunia ini,
kecuali ciptaan itu bermanfaat. Dengan demikian, bila manusia selalu
berdzikir dan bertafakkur kepada Allah, maka akal manusia akan
bermanfaat baginya. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat
al-Nahl ayat 10-13 sebagai berikut:
هو الذي أنزل من السماء ماء لكم منه شراب ومنه شجر فيه ينبت لكم به الزرع والزيتون والنخيل والأعناب ومن )10(تسيمون
وسخر لكم الليل ) 11(كل الثمرات إن في ذلك لآية لقوم يتفكرونوالنهار والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره إن في ذلك لآيات
وما ذرأ لكم في الأرض مختلفا ألوانه إن في ذلك )12(لقوم يعقلون ) 13 - 10:النحل) (13 (لآية لقوم يذكرون
10. Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. 11. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. 12. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya); 13. dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian
16Imam al-Ghazali, Hikmah Berfikir, (Gresik: Putra Pelajar, 1998), hlm. 18.
22
itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. 17
Dengan akal, pikiran manusia yang tidak pernah berhenti meneliti
alam semesta itu, manusia berhasil merubah wajah dunia dan struktur
kehidupan di atasnya. Kalau tidak karena pikiran manusia yang aktif,
maka manusia akan tetap berada dalam keterbelakangan. Dunia tidak akan
pernah berubah seperti sekarang ini, andaikan manusia tidak mengaktifkan
rasio/akal pikirannya. Manusia akan tetap statis, tinggal dalam kejumudan,
beku tanpa perubahan dan tanpa kemajuan.
Akal yang ada dalam diri manusia menurut ajaran Islam tidak boleh
bergerak dan berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Petunjuk itu
datangnya dari Allah berupa wahyu yang membetulkan akal dalam
geraknya, kalau terjerumus ke lembah hitam. Dalam hal ini, akal berfungsi
sebagai pengendali nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis
seseorang.18
Karena manusia mempunyai sifat pelupa dan acuh tak acuh. Di
samping itu, dalam diri manusia terdapat hambatan-hambatan yang
menyebabkan ia tidak mampu mempergunakan akalnya dengan baik. Sifat
acuh tak acuh dan pelupa yang ada pada manusia itu menyebabkan ia
terlena dalam impian. Lupa diri dan lalai tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan di dunia ini.19 Maka Allah memberikan petunjuk
pada manusia yang berupa untuk membangunkan manusia dari impiannya
serta mengingatkan manusia itu akan arti eksistensinya sebagai makhluk di
dunia.
17Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 403-
404. 18M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf Sufi: Studi Intelektualisme Tasawuf al-
Ghazali, (Semarang: Lembkota, 2002), hlm. 184. 19A. Sadali dkk. (ed.), op. cit., hlm. 18.
23
4. Cara Mengembangkan Akal Manusia
Dengan potensi akal pikiran manusia, Allah menyuruh manusia
untuk berfikir. Berfikir adalah kegiatan nafsiah memproses energi otak,
atau menghubungkan kapasitas manusia dengan segala apa yang ingin
manusia ketahui. Berfikir merupakan proses dialektis. Artinya selama kita
berfikir dalam pikiran kita sendiri terjadi tanya jawab dalam upaya
meletakkan hubungan antara ketahuan kita dengan objek yang ingin kita
ketahui dengan jelas. Tanya jawab inilah yang akan mengembangkan
pikiran kita dan selalu berfikir untuk mencari sebuah jawaban dari
pertanyaan. Akal tidak akan berhenti berfikir sebelum ia menemukan
jawaban.
Pada umumnya, objek pikir adalah sesuatu yang bersifat empiris
berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan,
percobaan dan pengamatan. Walaupun demikian, berfikir bukan hanya
menjadi alat untuk menambah muatan intelektual, melainkan adalah
pelangkap dari pendidikan seluruh kepribadian manusia.20
Manusia dalam kehidupannya sering menghadapi berbagai problem
yang membutuhkan pemecahan. Semua persoalan hidup yang dihadapi
manusia dan tidak diketahui jawabannya dipandang sebagai problem. Ini
terjadi bila manusia mempunyai tujuan tertentu yang ingin direalisasikan.
Namun tidak tahu caranya dan akhirnya gagal yang kemudian melahirkan
sebuah problem dalam kehidupannya. Untuk bisa memecahkaan persoalan
yang dihadapi, ada langkah-langkah tertentu (berfikir) dalam memecahkan
problem.21 Pertama, kesadaran akan adanya problem. Agar manusia bisa
sampai pada tujuan atau keinginan yang ingin dicapai, maka kesadaran
akan adanya problem ini merupakan langkah awal dalam proses
pemikiran. Kedua, penghimpunan data mengenai problem yang dihadapi.
Agar manusia mudah untuk menghimpun data, maka data dan informasi
yang sesuai dengan problemnya diambil dan data atau informasi yang
20Sukanto, Dinamika Islam dan Humaniora, (Solo: Indika Press, 1994), hlm. 63. 21Muhammad Utsman Najati, “al-Qur’an wa Ilmu al-Nafs”, terj. Al-Qur’an dan Ilmu
Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 152-153.
24
tidak relevan (sesuai) harus ditinggalkan. Penghimpunan data yang relevan
dengan problem manusia, akan memudahkan membantunya dalam
memperjelas, memahami dan membatasi problem itu dengan teliti. Ketiga,
penyusunan hipotesis. Selama data dan informasi sedang dihimpun, pada
benak yang bersangkutan terbesit beberapa kemungkinan jalan keluar atau
hipotesa bagi problem tersebut. Keempat, penelitian terhadap hipotesa.
Pendapat sementara (hipotesa) dilakukan beberapa kali supaya
mendapatkan jawaban yang baik dengan program tersebut. Kelima,
pengujian kebenaran hipotesa. Setelah hipotesa-hipotesa yang tidak layak
dijauhkan dan hipotesa yang layak didapatkan, biasanya manusia akan
mengumpulkan berbagai data lain. Mengadakan pengamatan baru guna
mengetahui sejauhmana kebenaran hipotesis tersebut.
Inilah langkah-langkah berfikir yang biasanya diikuti dalam
memecahkan suatu problem. Langkah-langkah ini sendiri kita ikuti dalam
memecahkan semua problem dalam kehidupan kita sehari-hari. Langkah-
langkah ini juga dipakai oleh para ilmuwan yang melakukan percobaan
ilmiah dalam laboratorium.
Menurut kajian para psikolog, manusia yang kreatif dengan
pemikirannya akan mendapatkan ilham. Jenis ilham dalam pemikiran
kreatif sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan
aktivitas secara intens. Maksudnya, ketika seseorang sedang berfikir dan
mengabstrasikan suatu permasalahan dalam waktu yang cukup lama dan
belum menemukan jalan pemecahannya, maka lazimnya sesorang akan
mengendapkan permasalahaan tersebut dalam beberapa waktu.
Hal ini dimaksudkan untuk mengistirahatkan pikiran dan benak
dengan maksud pada saat yang lain ia akan kembali mengeluh lagi
problema yang belum terpecahkaan. Masa istirahat ini oleh para psikolog
disebut dengan masa inkubasi, di mana pada masa ini akan terjadi
perubahan-perubahan penting dalam ruang lingkup pemikiran seseorang.22
Pertama, pikiran akan terlepas dari sebagian beban penghambat yang
22M. Amin Syukur, op. cit., hlm. 96.
25
dirasakan mengganjal dan menjadi penghalangnya. Kedua, pikiran akan
terbebas (sementara) dari perasaan kegagalan yang menimpa dan
dirasakan menghadang, sehingga tidak dapat melanjutkan pemikirannya
untuk itu, setelah beristirahat dan kembali memikirkan permasalahan yang
dihadapi, maka pikiran akan lebih jernih dan agar setelah sebelumnya
mengalami pengendoran. Ketiga, dalam pikiran akan terjadi
pengorganisasian informasi-informasi yang membuat makin jelasnya
hubungan konsep-konsep atau ide-ide yang sebelumnya tidak tampak.
Demikian pula akan muncul pikiran-pikiran baru yang dapat
membawa pada jalan pemecahan permasalahan yang dihadapi. Dari
pernyataan di atas, penulis menangkap bahwa akal manusia bisa
berkembang dengan baik, bila manusia selalu berfikir, kreatif dan mencari
solusi-solusi permasalahan. Dari pemikiran itu, manusia akan menemukan
sebuah ide, ide akan diabstraksikan atau direalisasikan dalam kehidupan,
sehingga manusia akan mendapatkan kepuasan dalam hidup.
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Agama Islam adalah agama universal. Ia menganjurkan kepada
umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik dunia maupun
ukhrawi. Salah satu di antara anjuran Islam tersebut adalah mewajibkan
kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran
Islam, pendidikan adalah kebutuhan manusia yang mutlak harus dipenuhi,
demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu
pengetahuan untuk bekal dalam kehidupannya.23
Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun
sederhananya peradaban suatu masyarakat. Di dalamnya terjadi atau
23Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 98.
26
berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karena itu sering dinyatakan,
bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk
melestarikan hidupnya.24
Pendidikan dalam konteks Islam mengacu pada tiga term yaitu al-
tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term al-
tarbiyah yang terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam.
Sedangkan term al-ta’lim dan al-ta’dib jarang digunakan. Pada kedua
istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan
Islam, untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga
term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri
dari pendapat ahli pendidikan.25
a. Istilah al-Tarbiyah
Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb.
Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian
dasarnya menunjukkan tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur
dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Penggunaan term al-tarbiyah untuk menunjuk makna
pendidikan Islam dapat dipahami dengan firman Allah SWT. dalam
surat al-Isra’ ayat 24:
وقل رة ومحالر الذل من احنا جمله فضاخا با كممهمحار )24: اإلسراء(ربياني صغريا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’: 24)26
24Ibid., hlm. 150. 25Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25. 26Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 428.
27
Abdurrahman al-Nahlawi salah seorang pengguna istilah al-
tarbiyah, berpendapat bahwa pendidikan berarti:
1) Memelihara fitrah
2) Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya
3) Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan
sempurna dalam proses.27
Menurut beberapa ulama tidak sepakat dengan pendapat al-
Nahlawi, seperti Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas
al-Azhar, mengatakan bahwa pendidikan yang berlangsung pada fase
pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak.
Masa anak sangat tergantung pada kasih sayang keluarga.28
b. Istilah al-Ta’li>m
Istilah al-Ta’li>m telah digunakan sejak periode awal
pelaksanaan pendidikan Islam. Merupakan para ahli, kata lain ini
lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-
Ta’di>b. Rosyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’li>m sebagai
proses tranmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa
adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan
dengan merujuk pada ayat ini:
كملمعيو كيكمزيا وأيتن كمليلو عتي كموال منسر ا فيكملنسا أركم )151: البقرة(الكتاب والحكمة ويعلمكم ما لم تكونوا تعلمون
Sebagaimana (kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah 2:151).29
27Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1991), hlm. 5. 28Abdul Fatah Jalal, “Azaz Pendidikan”, terj. Hery Noer Aly, Minal Ushul al-Tarbiyah fi
al-Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 28-29. 29Soenarjo, op. cit., hlm. 38
28
Kalimat wa yu’allima kum al-kitab wal al-hikmah dalam ayat
tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah mengajarkan
tila>wat al-Qur’an kepada kaum Muslimin. Menurut Abdul Fatah
Jalal, yang telah dikutip oleh Syamsul Nizar mengatakan bahwa apa
yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat umat Islam bisa
membaca, melainkan membawa kaum muslim kepada nilai
pendidikan tazkiyah al-nafs (penyucian diri) dari segala kotoran,
sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari
segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, makna al-
Ta’li>m tidak hanya terbatas pada pengetahuan teoritas, mengulang
secara lisan, pengetahuan dan keteampilan yang dibutuhkan dalam
kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman
untuk berprilaku.30
Lafal ta’li>m ini dalam al-Qur’an disebut banyak sekali, ayat
yang oleh para ahli pendidikan dijadikan dasar (rujukan) proses
pengajaran (pendidikan) di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 31
dan 32:
بئوني ولائكة فقال أنلى المع مهضرع ا ثماء كلهمالأس مءاد لمعادقنيص متلاء إن كنؤاء هما )31(بأسا إلا ملن لا علم كانحبقالوا سكيمالح ليمالع تأن كا إننتلم32 - 31: اةرالبق) (32(ع(
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman “Sebutlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 31-32) 31
30Syamsul, Nizar, op.cit., hlm. 27-28. 31Sebenarnya lafal “al-Hakim” diterjemahkan dengan “Maha Bijaksana” itu kurang tepat,
karena arti “al-Hakim” adalah sesuatu sesuai dengan sifat, guna faedahnya. Di sini diartikan dengan “makna bijaksana” karena dinggap arti tersebut hampir mendekati arti al-Hakim. Lihat, Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 14.
29
Ayat ini menunjukkan terjadi proses pengajaran (ta’li>m)
kepada Adam sekaligus menunjukkan kelebihannya karena ilmu yang
dimilikinya yang tidak diberikan Allah kepada para makhluk
lainnya.32 Maka proses ta’li>m itu hanya pada makhluk berakal.33
Berdasarkan kedua ayat tersebut di atas, lafaz ta’li>m (dari
term ’allama) itu condong pada aspek pemberian informasi. Karena
pengetahuan yang dimiliki itu semata-mata akibat pemberitahuan.
c. Istilah al-Ta’di>b
Lafal ta’di>b setidaknya memiliki empat macam arti, yaitu:
Pertama, education (pendidikan), Kedua, discipline (ketertiban),
Ketiga, punishment, chastisement (hukuman), Keempat, disciplinary
punishment (hukuman demi ketertiban). Nampaknya lafal ini lebih
mengarah kepada perbaikan tingkah laku.34
Menurut al-Attas istilah yang tepat untuk menunjukkan
pendidikan adalah al-Ta’di>b, konsep ini didukung atau didasarkan
pada hadits Nabi saw.:
أخبرنا محمد هو ابن سالم حدثنا احملاربى قال حدثنا صالح بن حيان قال رسول اهللا : قال عامر الشعبي حدثنى أبو بردة عن أبيه قال: قال
لمسه وليلى اهللا عص .. :هبفأد نسا فأحهلمعا وهبأديت نسا فأح 35)رواه البخارى... (تعليمها
Artinya: Muhammad (Ibnu Salam) telah menceritakan kepada kita, al-Maharib telah menceritakan kepada kita, ia berkata: S{aleh
32Karena telah mendapatkan pengajaran langsung dari Allah itu, Adam sebagai Bapak
umat manusia (Abu al-Nas) dimintai syafa’at oleh umatnya. Selain itu, akibat pemberian pengajaran itu, Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pengetahuan akibat pengajaran itu menunjuk kelebihan..
33Adapun hewan atau binatang yang memiliki kecakapan atau ketrampilan untuk melakukan kegiatan tertentu itu bukanlah sebagai hasil dari proses ta’lim (pengajaran atau pendidikan). Sebab apa yang bisa dilakukan oleh binatang sebagai kemampuannya itu yang bersifat konstan jenis kapabilitas yang sejenis itu saja. Binatang itu hanya bisa melakukan aktivitas yang lebih tinggi nilai kualitasnya. Semua kemampuan itu merupakan hasil dari proses binatang disebut dressur, sedangkan bagi manusia disebut pengajaran (pendidikan).
34Mustofa Rahman dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 61.
35Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 29.
30
ibn Hayyan berkata: ‘Amir al-Sya’bi telah menceritakan kepadaku, yakni Abu Burdah dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw. Bersada: ....Maka didiklah ia dengan didikan yang baik dan ajarlah ia dengan pengajaran yang baik.... (HR. Bukhari)
Berdasarkan pada konsep adab tersebut, al-Atas mendefinisikan
pendidikan sebagai berikut:
Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat yang tepat dari sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dari apa yang diketahui.36 Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan
dengan yang dikenali, dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian
dengan itu (‘amal), yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang
tepat dari apa yang diketahui.37
Syaikh Mus}tafa al-Ghulayani mengatakan bahwa pendidikan
adalah :
التربية هي غرس االخالق الفاضلة فى نفوس الناشئين وسقيها بماء اإلرشاد والنصيحة حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون
38.نفع الوطنثمرتها الفاضيلة واخلير وحب العمل لArtinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam
jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia, sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya
melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk
pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi
36Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 10. 37Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, “Konsep Pendidikan Islam”, terj. Hadar Baqir
dari The Concep of Education of Islam; an Frame Work for an Islamic Philoshophy of Education, (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 61-62.
38Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189.
31
tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri
kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).39
Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara
terminology, para ahli pendidikan Islam telah mencoba
memformulasikan pengertian pendidikan Islam. Di antara batasan yang
sangat variatif teresbut adalah :
1) Menurut Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan atau bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama (insan kamil).40
2) Muhammad Fadhil al-Jamaly memberikan pengertian pendidikan
Islam adalah sebagai upaya mengembangkan, mendorong dan
mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang
tertinggi dan kehidupan yang lebih mulia, sehingga terbentuk pribadi
yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan
maupun perbuatan.41
3) Azyumardi Azra dengan mengutip pendapat al-Qard}awi
menjelaskan tentang pendidikan Islam, yaitu pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
ketrampilan, karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk
hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya,
manis dan pahitnya. Azra juga mengutip pendapat Hasan
Langgulung, bahwa pendidikan Islam ialah proses penyiapan
generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan
39Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 56. 40Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Alma’arif,
1962), hlm. 19. 41Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era
Modern dan Postmodern: Mencari Visi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCISOD, 2004), hlm. 268.
32
dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk
beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.42
2. Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki
kejelasan tujuan yang ingin dicapai, sehingga sulit dibayangkan, jika ada
suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan tujuan. Demikian pentingnya
tujuan tersebut, tidak mengherankan jika dijumpai kajian yang sungguh-
sungguh di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Hal itu bisa
dimengerti, karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Ahmad D. Marimba sebagaimana yang di kutip oleh Abudin
Nata, misalnya menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan.
Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Kedua, tujuan berfungsi
mengarahkan usaha. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal
untuk mencapai tujuan-tujuan lain, dan keempat, fungsi dari tujuan ialah
memberi nilai (sifat) pada usaha itu.43
Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, misalnya menjabarkan
tujuan pendidikan Islam meliputi sebagai berikut:
a. Tujuan yang berkaitan dengan individu yang mencakup perubahan, berupa pengetahun, tingkah laku, jasmani, rohani serta kemampuan-kemampua lain yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, yang mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat.
c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai seni, ilmu, profesi dan kegiatan masyarakat.44 Sedangkan menurut Muhammad Atiyah al-Abrasy sebagaimana
yang di kutip oleh Bustani A. Ghani, menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri atas lima sasaran, yaitu:
42Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,
1998), hlm. 5. 43Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Isla, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 45-
46. 44Oemar M. al-Toumy al-Syaibany, op. cit., hlm. 399.
33
a. Membentuk akhlak mulia b. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat c. Persiapan mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya d. Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan perserta didik e. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.45
Sementara menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, bahwa tujuan
pedidikan Islam menurut al-Qur’an meliputi sebagai berikut:
a. Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini
b. Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat
c. Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta
d. Menjelaskan hubungannya dengan khalik sebagai pencipta alam semesta.
Menurut al-Ghazali, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ini sesuai dengan tujuan penciptaan
manusia, yaitu:
)56: الذاريات(وما خلقت الجن واإلنس إال ليعبدون Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku (QS. al-Dzariyah: 56)46
Ayat di atas menyatakan: Dan aku (Allah) tidak menciptakan Jin
dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak
menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas
mereka adalah beribadah kepada-Ku.47 Lebih jelasnya bahwa penciptaan
manusia itu tiada lain kecuali supaya mereka tunduk kepada Allah, dan
merendahkan diri. Yakni, bahwa setiap mahluk dari Jin dan manusia
tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada kehendak-Nya, dan
45Bustani A.Ghani, Dasa-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984),
hlm.1-4. 46Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 862. 47Quraisy Shihab, Tafisir Al-Misbah,Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 13,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 355
34
menuruti apa yang telah dia takdirkan atas-Nya.48 Atau dengan kata yang
lebih singkat atau dan sering digunakan al-Qur’an untuk bertaqwa
kepada-Nya.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam
ini sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini,
maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga
dapat diwujudkan dalam bentuk kongkrit, dalam arti berkemampuan
menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan
lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik
sebagai khalifah maupun ‘abd.
Pendidikan Islam juga harus menciptakan manusia muslim yang
berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan takwanya menjadi
pengendali dalam penerapan atau pengamalannya dalam masyarakat.
Bilamana tidak demikian, maka derajat dan martabat diri pribadinya
selaku hamba Allah akan merosot, bahkan akan membahayakan umat
manusia lainnya. Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk
menciptakan cara hidup yang mensejahterakan diri dan masyarakat
adalah manusia yang di dalam dirinya tidak bersinar iman dan takwa.49
Dan pendidikan Islam perlu menanamkan ma’rifat (kesadaran) dalam diri
manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran
selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab
sosial terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan
kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar
ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan
ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri.
Pendidikan yang demikian tidak hanya akan melahirkan anak
didik yang mempunyai komitmen terhadap ajaran agamanya, tetapi juga
48Hery Noer Aly, dkk., Terjemahan Tafsir Al-Maraghi,Jilid, 27, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 21.
49Samsul Nizar, op. cit.,, hlm. 22.
35
yang mampu mengoperasikan dinul Islam dalam kehidupan
bermasyarakat, dalam upaya mengaktualisasikan fungsi kekhalifahannya
dengan memecahkan berbagai permasalahan kehidupan yang timbul
dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan Islam bertugas di samping
menginternalisasikan atau menanamkan dalam pribadi nilai-nilai islami,
juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan
nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi
idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti pendidikan Islam secara optimal
harus mampu mendidik anak didik agar memiliki ilmu pengetahuan yang
tinggi, sikap kritis dan peka terhadap persoalan sosial atau memiliki jiwa
berkorban demi orang lain dan sekaligus memiliki kematangan dalam
beriman, bertakwa dan mengamalkan hasil pendidikan yang
diperolehnya, sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran
Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menciptakan
para mujtahid baru dalam bidang kehidupan dunia ukhrawi yang
berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua
bidang tersebut.
Di samping tujuan pendidikan Islam untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Sebagai Sang Pencipta, pendidikan Islam juga
menghendaki peserta didik untuk bertingkah laku yang mulia, untuk
menuju insan kamil sebagaimana yang dicontohkan dan diemban oleh
nabi Muhammad saw., yaitu untuk memperbaiki akhlak. Hal ini
sebagaimana sabda beliau:
انما : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: عن ابى هريرة قال 50 )رواه أمحد(تمم صالح األخالق بعثت أل
Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak”.(HR. Ahmad)
50Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Juz II, (Beirut: Darul
Kutub Ilmiyah, 1993), hlm. 504.
36
Dari rumusan tujuan pendidkan Islam yang dikemukakan oleh para
ahli di atas, maka terlihat bahwa mereka sepakat tentang tujuan akhir
pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim, yaitu pribadi
yang taat kepada perintah Allah SWT. dan menjadi khalifah yang baik di
bumi.
3. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan
kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar-
dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan ini memberikan arah bagi
pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini,
dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber
nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke
arah yang pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting
dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (hadits).51
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan
hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada kemauan
semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar
tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam
sejarah atau pengalaman kemanusiaan.52
Adapun dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama dalam al-
Qur’an surat asy-Syura ayat 52:
و ابا الكتري مدت تا كنا مرنأم ا منوحر كا إلينيحأو كذلكلكنان ومالاإليو كإنا وادنعب اء منشن ندي به مها نورن اهلنعج
)52: الشورى (لتهدي إلى صراط مستقيمDan demikian Kami wahyukan kepadamu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menunjukkan al-Qur’an itu cahaya yang Kami beri petunjuk dengan
51Syamsul Nizar, op. cit., hlm. 34. 52Ibid., hlm. 34-35.
37
dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. as-Syura’: 52) 53
Sunnah Rasul dalam pendidikan Islam yaitu mempunyai dua
fungsi: 1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-
Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. 2)
Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama
shahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan
yang pernah dilakukannya.
4. Materi Pendidikan Islam
Sasaran dan tujuan pendidikan tidak mungkin akan tercapai kecuali
materi pendidikan terseleksi dengan baik dan tepat. Istilah materi
digunakan di sini untuk sejumlah disiplin. Ilmu yang mengembangkan
basis kegiatan sekolah, dan biasanya diklasifikasikan dalam beberapa
subjek materi yang berbeda-beda. Materi dalam hal ini, intinya adalah
subtansi yang akan disampaikan dalam proses interaksi edukatif kepada
anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Bahan pelajaran atau materi pendidikan adalah merupakan unsur
inti dalam kegiatan interaksi edukatif. Karena harus diupayakan untuk
dapat dikuasai oleh anak didik54 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak
dalam pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan anak itu dijelaskan oleh Verna
Hildebrand dalam bukunyta Introduction to Early Childhood Education
sebagai berikut:
a. The child needs to grow in independence b. The child needs to learn to give and share as well as recieve
affection c. The child needs to learn to get along with others d. The child needs to develop self control e. The child needs to learn the appropriate sex role f. The child needs to begin understanding his body
53Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 791. 54Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 18.
38
g. The child needs to learn many large and small motor skills h. The child needs to begin to understand and control his physical
world i. The child needs to learns new words and how to use words in his
social an intellectual activity j. The child needs to begin to develop a notion abaout his
relationship to the word.55
Artinya: a. Anak membutuhkan perkembangan secara independen b. Anak membutuhkan untuk belajar memberi dalam berbagai hal
untuk menerima kasih sayang c. Anak butuh belajar untuk bergaul akrab dengan orang lain d. Anak butuh mengembangkan pengendalian diri e. Anak membutuhkan untuk belajar sesuai jenis kelamin dan peran
yang sesuai f. Anak butuh pemahaman terhadap badannya g. Anak butuh belajar banyak ketrampilan motorik dalam skala kecil
dan besar h. Anak butuh untuk memahami dan mengendalikan dunia fisiknya i. Anak butuh belajar kata-kata baru dan bagaimana cara
menggunakan kata-kata itu dalam hubungan sosialnya, yaitu suatu aktivitas intelektual
j. Anak harus mulai untuk kembangkan suatu dugaan tentang hubungannya kepada kata.
Materi pendidikan Islam yang dicanangkan al-Ghazali, baik itu di
rumah maupun di Madrasah Ibtida’iyah pada dasarnya meliputi:
pengetahuan yang menuntutnya adalah fard}u ‘ain bagi setiap muslim,
yaitu meliputi rukun iman, cara melakukan perintah-perintah Allah dan
prinsip-prinsip tingkah laku yang benar “dalam bentuknya yang paling
sederhana”. Al-Ghazali memandang mata pelajaran-mata pelajaran ini
menguntungkan, baik untuk pemenuhan praktis terhadap kewajiban-
kewajiab agama maupun sebagai alat untuk memperkuat keimanan anak-
anak.56 Oleh karena itu, hal yang terpokok yang perlu diserap oleh anak
55Verna Hildibrand, Introduction to Early Childhood Education, (New York: Macmillan
Publishing, 1971), hlm. 24-26. 56Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bungan Rampai dari Chicago, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. 77.
39
adalah hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, keislaman dan akhlak,57
seperti yang dikatakan oleh pikiran, diamalkan dalam kehidupan dalam
bentuk ibadah dan diungkapkan dalam bentuk perkataan, sikap, akhlak
(perangai) pergaulan dan kehidupan pada umumnya.
Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya,
Abdullah Nasih Ulwan sebagaimana dikutip oleh Raharjo menekankan
bahwa materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materi-
materi pendidikan tersebut adalah pendidikan iman, akhlak, fisik,
intelektual, psikis, sosial dan seksual.58 Sedangkan menurut Chabib Thoha
memfokuskan materi pendidikan pada aspek pendidikan ibadah, pokok-
pokok ajaran Islam dan membaca al-Qur’an, pendidikan akhlak dan
pendidikan akidah Islamiyah.59 Sejalan dengan pemikiran Thoha, M.
Nipan Abdul Halim menambahkannya dengan pendidikan ekonomi dan
kesehatan sebagai penunjang tegaknya akidah, ibadah dan akhlak anak.60
Adapun yang mendasar adalah:
a. Pendidikan iman (akidah)
Pendidikan akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang
yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sedemikian
mendasarnya pendidikan akidah ini bagi anak-anak, karena dengan
pendidikan inilah anak akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana
cara bersikap terhadap Tuhannya dan apa saja yang mesti mereka
perbuat dalam hidup ini.61
Materi pendidikan keimanan ini adalah untuk mengikat anak
dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah. Sejak
57Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun”,
dalam Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 113.
58Raharjo, “Dr. Abdullah Nasih Ulwan: Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 62.
59Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 105.
60M . Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 91.
61Ibid., hlm. 94.
40
anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Adapun tujuan
mendasar dari pendidikan ini adalah agar anak hanya mengenal Islam
mengenai dirinya. Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah sebagai
pemimpin dan teladannya.62 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam
surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:
لظلم كربالله إن الش ركشلا ت ينابي عظهي وهنه وان لابإذ قال لقموظيم13: لقمان. (ع(
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: “hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (QS. Luqman: 114)63
b. Pendidikan ibadah
Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama
telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih
dan fikih Islam. Karena seluruh tata peribadatan telah dijelaskan di
dalamnya, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi
sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi
insan-insan yang bertakwa.64 Pendidikan ibadah di sini, khususnya
pada pendidikan shalat yang merupakan tiang dari segala amal ibadah
sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Luqman ayat
17 sebagai berikut:
براصكر ونن المع هانوف ورعبالم رأملاة وأقم الص ينابا يلى مع )17: لقمان(. أصابك إن ذلك من عزم الأمور
Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS. Luqman: 17)65
62Raharjo, op. cit., hlm. 62. 63Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 654. 64M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 102. 65Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655.
41
Pendidikan shalat dalam konteks ayat tersebut tidak hanya
terbatas tentang tata cara untuk menjalankan shalat yang lebih bersifat
fi’liyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai di balik ibadah
shalat. Anak harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi
munkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar.
c. Pendidikan akhlak (moral)
Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar
moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan
dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga menjadi seorang
mukallaf, seorang yang telah siap untuk mengarungi lautan kehidupan.
Tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk membentuk benteng
religius yang berakar pada hati sanubari. Benteng tersebut akan
memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan, dosa dan tradisi
jahiliyah.66
Keluarga merupakan tempat pertama yang harus meletakkan
pendidikan akhlak dalam diri anak dengan jalan melatih dan
membiasakan hal-hal yang baik. Pendidikan akhlak tidak hanya
dikemukakan secara teoritik, melainkan disertai contoh-contoh
kongkrit untuk dihayati maknanya. Kemudian direfleksikan dalam
kehidupan kejiwaannya.67
d. Pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan berfikir
anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan,
peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran berfikir dan
berbudaya. Dengan demikian, ilmu rasio dan peradaban anak benar-
benar dapat terbina.68
Pendidikan intelektual ini sangat erat hubungannya dengan
pendidikan iman, moral dan fisik dalam rangka membentuk pribadi
66Raharjo, op. cit., hlm. 63. 67Chabib Thoha, op. cit., hlm. 108. 68Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam”, Juz I, terj. Saifullah Kamali
dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa’, 1981), hlm. 270.
42
anak secara integral dan di dalam mendidik anak secara sempurna agar
menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban,
risalah dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan pendidikan intelektual ini
mencakup tiga masalah yang krusial dan saling terkait, yaitu kewajiban
mengajar, penyadaran berfikir dan pemeliharaan kesehatan
intelektual.69
Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan Islam tersebut
diharapkan anak akan tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang
benar-benar shaleh, insan yang kuat akidahnya, mantap ibadahnya,
mulia akhlaknya dan cemerlang pemikirannya, sehingga kepribadian
mereka terbentuk menjadi pribadi muslim yang kuat.
5. Metode Pendidikan Islam
Metode pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam
pendidikan, karena kenyataan materi pendidikan tidak akan dapat
dipelajari dan diterima secara efektif dan efesien, kecuali disampaikan
dengan cara-cara tertentu. Ketiadaan metode pendidikan yang efektif akan
menghambat dan membuang secara sia-sia waktu dan upaya pendidikan.
Istilah metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan.
Jadi, jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode.70 Metode
diartikan pula sebagai suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.71 Sedangkan menurut
Moh. Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad al-
Thoumy mendefinisikan metode sebagai suatu jalan yang kita ikuti untuk
memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran.72
Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan untuk mengembangkan
sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan pada anak dapat dicapai
69Raharjo, op. cit., hlm. 64. 70Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1989), hlm.183 71Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., hlm. 19 72Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, “Falsafatut tarbiyah al-Islamiyah”, terj. Hasan
Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 551
43
melalui berbagai metode, maka metode yang digunakan untuk pendidikan
anak dalam Islam adalah melalui metode teladan, teguran, cerita,
pembiasaan dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.73 Sedangkan
menurut M. Fadhil al-Jamaly menyebutkan metode dari sudut pandang al-
Qur’an, yaitu pemberi peringatan, pemberi pelajaran dan nasehat, historis,
keteladanan ibarat yang historis.74
Dari uraian dan penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa metode
merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan. Tidak
ada metode satupun yang cocok untuk diterapkan, karena metode satu
dengan metode yang lain memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara
metode Pendidikan Islam tersebut sebagai berikut:
a. Metode keteladanan
Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh,
baik berupa tingkah laku sifat cara berfikir dan sebagainya.75
Keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omelan
atau nasehat.76 Ini sejalan dengan pendapat Nashih Ulwan,
sebagaimana dikutip oleh Raharjo yang menyatakan, bahwa metode
keteladanan adalah metode yang paling menentukan keberhasilan
dalam menentukan, mempersiapkan dan membentuk sikap dan prilaku
moral, spiritual dan sosial anak.
Metode keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode
yang influitif yang paling meyakinkan keberhasilan dalam
mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan
sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan
anak yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya dan tata santunnya,
didasari atau tidak bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu
73Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al-Ma’arif,
1993), hlm. 324. 74Muhammad Fadhil al-Jamaly, “Al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an”, terj. Judi al
Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 128-134 75Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 178. 76Jaudah Muhammad Awwat, Manhaj Islam fi al-Tarbiyah al-Athfal, terj. Shihabuddin,
Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 13.
44
gambaran pendidik, baik dalam ucapan dan perbuatan yang bersifat
material dan spiritual, yang diketahui atau tidak.77
Ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan metode
keteladanan merupakan metode yang berhasil guna.
Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menunjukkan
kepentingan penggunaan bentuk keteladanan dalam pendidikan. Di
antaranya terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 21 sebagai berikut:
و اللهجركان ي نة لمنسة حوول الله أسسفي ر كان لكم لقد )21: األحزاب. (واليوم الآخر وذكر الله كثريا
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab: 21)78
Di antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dalam
pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah uswah
hasanah (suri tauladan) yang diikuti oleh anak-anak dan orang
dewasa.79 Ini menunjukkan pentingnya contoh teladan pergaulan yang
baik dalam usaha membentuk kepribadian seseorang. Dan di sini,
peran seorang guru berperan di mana ia harus bisa menjadi contoh
yang baik bagi anak-anak didiknya, karena dalam praktiknya anak
didik cenderung meneladani pendidiknya.
b. Metode pembiasaan
Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang
sangat penting, terutama bagi anak-anak. Adapun pembiasaan yang
harus dikembangkan dalam diri anak mencakup tingkah laku,
ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.80 Menurut Ahmad
Tafsir, pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada
kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk
77Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 2. 78Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 670. 79Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 135. 80Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 185.
45
menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu,
pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.81
Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri
anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhla>k al-kari>mah.82
Menanamkan kebiasaan itu sulit kadang-kadang memerlukan waktu
yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seorang anak belum
mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakan.
Dalam pendidikan anak, metode ini dapat diterapkan dengan
cara orang tua/guru, memberi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan
yang baik, seperti hidup rukun, tolong menolong, jujur dan lain-lain.
Dengan sistem pengajaran semacam ini anak secara otomatis menjadi
terbiasa baik di sekolah maupun di keluarga.
Bertolak dari dasar-dasar yang Islami dan metode paedagogis
ini, maka wajib bagi setiap orang tua, pendidik, masyarakat dan media
masa berperan aktif untuk mencegah anak dari segala bentuk yang
membahayakaan akidah dan mendorong mereka untuk melakukan
tindak kejahatan dan kehinaan.83 Semua ini dilakukan dalam rangka
membantu untuk merealisasikan metode keteladanan supaya dapat
berjalan dengan baik di dalam membentuk diri pribadi anak menuju
yang lebih baik.
c. Metode Nasehat
Di antara metode pendidikan yang telah masyhur sejak
berabad-abad yang silam adalah metode pemberian
pembelajaran/nasehat. Metode ini digunakan dalam pendidikan untuk
membuka mata anak-anak pada hakekatnya sesuatu yang
mendorongnya menuju situasi luhur menghiasinya dengan akhlak
81Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 144 82M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 187. 83Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 128-129.
46
mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Metode ini
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan perasaan.84
Metode ini sangat penting, karena seseorang kadang-kadang
lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang
yang ia cintai dan ia jadikan tempat untuk mengadu segala
permasalahan.85 Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan
pengaruh jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini
pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan anak
didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan
masyarakat dan umat.
Dalam metode ini, pendidik hendaknya berusaha menimbulkan
kesan bagi anak didik, bahwa dia adalah yang mempunyai niat baik
dan sangat peduli terhadap kebaikan anak didik.
84Raharjo, op. cit., hlm. 69. 85Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 130-131.