bab ii di luar bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian bali,...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Studi tentang seni kakebyaran di luar Bali secara khusus belum banyak
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga referensi yang mengkaji tentang
topik tersebut masih sangat terbatas. Untuk itu, dilakukan penelitian awal melalui
penelitian Hibah Bersaing yang berhasil dimenangkan pada tahun 2010 dan 2011.
Hasil penelitian yang berjudul “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang
Industri Pariwisata di Lombok Barat” oleh I Gede Yudarta dengan Ni Wayan
Ardini, merupakan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan dilanjutkan
pelaksanaan tahap II pada tahun 2011. Pada tahun pertama dari pelaksanaan
penelitian ini secara khusus dilakukan pemetaan terhadap keberadaan kesenian Bali
khususnya seni pertunjukan terkait dengan potensi yang dimiliki dalam
pemanfaatannya sebagai salah satu penunjang dalam pengembangan industri
pariwisata di Kota Mataram. Dari penelitian tersebut diperoleh data-data tentang
keberadaan 68 sanggar dan sekaa kesenian dan keberadaan seni kakebyaran yang
terdapat di beberapa sanggar seni di Kota Mataram. Hasil penelitian ini
memberikan manfaat yang signifikan, karena dari pemetaan tersebut diketahui
keberadaan seni kakebyaran di Kota Mataram. Data yang diperoleh dapat
dimanfaatkan sebagai bahan studi terkait dengan reproduksi seni kakebyaran di
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun kedua dari penelitian hibah ini
15
dicoba untuk merumuskan sebuah konsep seni pertunjukan yang mencerminkan
pluralitas budaya masyarakat di Kota Mataram dengan meramu sebuah paket seni
pertunjukan multikultur yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kesenian
diantaranya seni pertunjukan Bali di samping kesenian dari budaya masyarakat
setempat. Memperhatikan perkembangan seni kekebyaran di Kota Mataram dan di
Lombok pada umumnya, potensi yang dimiliki cukup besar bila dimanfaatkan
sebagai salah satu atraksi budaya untuk wisatawan.
Gamelan Gong kebyar memiliki fleksibelitas yang tinggi dapat dimainkan
untuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian
Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang acapkali disajikan sebagai tarian
penutup. Dilematisnya, dari wawancara yang dilakukan kepada para seniman,
tokoh masyarakat, dan beberapa orang tokoh yang terlibat langsung di bidang
kepariwisataan, terdapat sebuah anjuran mengutamakan seni tradisi lokal Sasak dan
tidak mempergunakan seni pertunjukan Bali dalam pagelaran atraksi wisata di
hotel-hotel. Anjuran ini secara nyata telah memarjinalkan seni pertunjukan Bali dan
dalam pengembangan industri pariwisata terjadi diskriminasi budaya terhadap salah
satu potensi budaya yang ada dan berdampak tidak termanfaatkannya potensi
budaya tersebut secara optimal. Dari kedua pelaksanaan penelitian ini banyak
informasi dan data yang diperoleh untuk dijadikan referensi guna mendukung
pelaksanaan studi ini. Terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap seni
pertunjukan Bali, salah satu fenomena yang cukup menarik sebagai salah satu studi
dengan perspektif kajian budaya (cultural studies).
16
Di samping dari hasil penelitian hibah bersaing yang berhasil dimenangkan
dalam 2 (dua) periode (2010 dan 2011), penulis juga berhasil mendapatkan hibah
penelitian Disertasi Doktor pada tahun 2013 dimana hasil penelitian tersebut
dijadikan penelitian awal dari penelitian disertasi ini. Dari penelitian yang
mengambil judul “Eksistensi Seni Kakebyaran dalam Kehidupan Masyarakat di
Kota Mataram” berhasil ditemukan beberapa hal penting yang terkait dengan
sejarah perkembangan seni kakebyaran, bentuk seni kakebyaran, eksistensi dan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram. Data-data yang berhasil
diungkap dalam penelitian tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi penelitian ini
dan beberapa temuan yang dihasilkan dijadikan sebagai bagian dari disertasi ini.
Penulis merasa sangat beruntung ketika berjumpa dan berdiskusi dengan
David D. Harnis seorang ethnomusicologys dari Bowling Green State University
(USA) yang telah melakukan penelitian tentang kesenian di Lombok pada tahun
1980. Dari diskusi diperoleh beberapa artikel di antaranya: Defining Ethnicity,
(Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among
The Balinese of Lombok yang telah dipublikasikan dalam Journal of Musicological
Research 24:265-286 tahun 2005; ‘‘Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’:
Constructing Balinese Music Culture in Lombok yang diterbitkan pada
Ethnomusicology Forum vol. 14, no 1 tahun 2005.
Dari kedua artikel tersebut diperoleh banyak informasi penting yang sangat
diperlukan untuk melengkapi penelitian ini. Di samping mengungkap keberadaan
seni pertunjukan secara umum, di dalam artikel itu diuraikan juga tentang
keberadaan seni kakebyaran di Lombok khususnya di Kota Mataram. Dalam artikel
17
Defining Ethnicity, (Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation
and Innovation among The Balinese of Lombok halaman 280 diuraikan:
”Although it is unknown when kebyar initially came to Lombok, the firstregistered gamelan gong kebyar was the still existing Rena Sari in 1939,although the style likely precedes this date on the island. Other clubs soonmaterialized. The next boom in new performing arts was in the late 1950s,after superstar Balinese dancer Ni Madé Darmi married a local Balinese,Wayan Kartawirya, came to Lombok, and worked with local musicians anddancers such as Ida Wayan Pasha”.
Terjemahan:Tidak diketahui kapan tepatnya gong kebyar merambah Lombok, namungong kebyar yang terdaftar pertama kali adalah pada tahun 1939 dan masiheksis hingga saat ini yakni Rena Sari, namun gaya kebyar ini kembalibermunculan saat ini di pulau ini. Terobosan baru seni pertunjukan di eratahun 1950-an, setelah pernikahan penari Bali terkenal Ni Made Darmi yangmenikah dengan seorang pemuda Bali setempat, Wayan Kartawirya,kemudian menetap di Lombok dan bekerjasama dengan para musisi danpenari setempat seperti Ida Wayan Pasha
Dari kutipan di atas dikatakan bahwa pada tahun 1939 telah ada sekaa gong
kebyar yang bernama “Rene Sari” dan perkembangan seni kakebyaran semakin
semarak terjadi pada tahun 1950an setelah salah satu “super star” penari Bali Ni
Made Darmi menikah dengan I Wayan Kertawirya seorang musisi di Lombok serta
bekerjasama dengan Ida Wayan Pasha. Informasi ini sangat penting terkait dengan
latar belakang sejarah perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram.
Sebagaimana diungkap dalam artikel “Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’:
Constructing Balinese Music Culture in Lombok halaman 10 ada diuraikan:
“Lombok Balinese music styles can be seen as being one of three types: 1)those with antecedents in Bali, 2) those with antecedents from the Sasakmajority of Lombok and 3) those co-created with the Sasak. The first typecomprises the majority of traditions, including the most popular gamelan inboth Bali and Lombok, the gamelan gong kebyar. Gong kebyar exploded onthe artistic scene in Bali in the 1920s and 1930s; it had a similar impact inLombok during the 1950s. This form has linked Lombok Balinese to Baliand inspired people to greater artistic involvement on both islands. The vast
18
majority of 20th-century dance and theatre innovations employ gong kebyarand form part of the kebyar movement”Terjemahan:
Gaya musik Bali Lombok dapat dilihat dalam tiga bentuk: 1) gaya yangmasih erat kaitannya dengan Bali; 2) gaya musik yang erat kaitannya denganSasak Lombok dan 3) gaya musik yang merupakan perpaduan antara Balidan Lombok. Gamelan gong kebyar sebagai salah satu gaya musik darikatagori yang pertama merupakan salah satu gamelan yang populer dalammasyarakat Bali dan Lombok. Semaraknya perkembangan gong kebyar diBali pada tahun 1920-1930 turut memengaruhi perkembangan senikakebyaran di Lombok pada tahun 1950. Bentuk ini telah menginspirasiketerlibatan para seniman di kedua pulau dan sebagian besar tari-tarian diabad ke 20 serta pengembangan teater tradisional menggunakan gamelangong kebyar dan ini merupakan pergerakan seni kakebyaran di Lombok.
Kedua artikel di atas memberikan informasi tentang keberadaan serta
perkembangan seni kakebyaran di Lombok pada masa yang lalu. Walaupun
demikian situasi tersebut tentunya sangat berbeda dengan situasi dalam beberapa
tahun belakangan ini. Banyak perubahan yang telah terjadi di masyarakat yang
berdampak terhadap perubahan kesenian Bali yang terdapat di Lombok, khususnya
di Kota Mataram. Walaupun sekilas tampak ada persamaan dengan kajian seperti
yang diuraikan di atas, namun dengan mempergunakan pendekatan dan paradigma
kajian budaya (culture studies) akan terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila
dalam penelitian sebelumnya pembahasan tentang seni kakebyaran lebih bersifat
umum, dalam studi ini seni kakebyaran lebih difokuskan sebagai salah satu objek
kajian dalam upaya orang-orang Bali mempertahankan identitas, tradisi budaya dan
agamanya serta upaya integratif agar tradisi tersebut bisa diterima dalam kehidupan
yang lebih luas.
19
Di samping beberapa artikel di atas, dirujuk juga beberapa referensi dan
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun referensi tersebut
diuraikan di bawah ini.
Music In Bali: A study in Form and Instrumental Organization in Balinese
Orchestral Music, karya Colin McPhee yang diterbitkan pada tahun 1966 oleh New
Haven and London, Yale University Press. Sebuah buku yang di dalamnya
menguraikan tentang keberadaan musik (tradisional) Bali dengan berbagai jenis
gamelan, bentuk musik, serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Bali.
Berkaitan dengan penelitian ini secara khusus Colin McPhee membahas tentang
musik kebyar pada chapter 19 sebagaimana diuraikan pada halaman 328.
“It was probably in the early years of the present century that musicians incertain village of north Bali, the territory of many innovations, began totransform the traditional gamelan gong gede into the modernized formknown today as tha gamelan gong kebyar”Terjemahan,(diperkirakan pada tahun-tahun awal abad ini (XIX) para musisi dari desa-desa tertentu di wilayah Bali Utara mulai mengubah alat musik tradisionalgamelan gong gede dimodernisasi menjadi gamelan gong kebyarsebagaimana kita ketahui saat ini).
Uraian ini memberikan informasi bahwa telah terjadi modernisasi dalam musik Bali
yang dilakukan oleh para seniman di wilayah Bali Utara dengan mengubah gamelan
gong gede menjadi gamelan gong kebyar. Dengan perampingan (pengurangan)
beberapa instrumen dihadirkan sebuah musik kebyar bergaya perkusif yang penuh
semangat (exuberant). Informasi yang terdapat di dalam buku ini sangat penting
karena di dalamnya terdapat konsep kebyar dan keberadaan beberapa gamelan dan
gaya musik yang berkembang di Kota Mataram berasal dari daerah Bali Utara.
20
Gong kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong
kebyar, karya Pande Made Sukerta tahun 2009. Buku yang merupakan hasil editing
dari disertasinya yang berjudul “Perubahan dan Keberlanjutan Dalam Tradisi Gong
kebyar: Studi Tentang Gong kebyar Buleleng” (2004), adalah salah satu referensi
penting tentang perkembangan, perubahan, dan keberlanjutan seni kakebyaran.
Buku ini memberikan pengetahuan dalam berbagai aspek, terutama yang berkaitan
dengan sejarah kelahiran gamelan Gong kebyar, hingga penyebarannya dari Daerah
Bali Utara ke Bali Selatan ke seluruh wilayah di Bali, di beberapa daerah di
Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Sebagaimana diuraikan oleh Pande Sukerta
(2009:9), terjadinya penyebaran barungan Gong kebyar dapat dikatakan bahwa
barungan gamelan gong kebyar bersifat mengglobal; artinya pada awalnya lahir di
Kabupaten Buleleng kemudian berkembang ke seluruh Bali, ke beberapa wilayah
di Indonesia dan di beberapa negara di dunia.
Di samping penyebaran berungan gong kebyar, terdapat beberapa informasi
dalam buku ini yang menarik dan penting untuk dipergunakan sumber kajian.
Dilihat dari bentuknya secara fisik, sebagian besar tungguhan barungan gamelan
gong kebyar di Lombok berupa tungguhan atau pelawah bakiakan yang
menyerupai bentuk tungguhan barungan gong kebyar yang ada di Bali Utara.
Demikian pula dengan bentuk-bentuk komposisi gong kebyar di mana di Lombok
yang rata-rata memiliki komposisi tabuh sekatian, tabuh pelawasan yang sama
dengan yang ada di Bali Utara. Persamaan bentuk tungguhan tersebut sangat
menarik untuk dikaji kemungkinan terjadinya penyebaran secara langsung dari Bali
21
Utara ke wilayah Lombok. Hal ini belum terungkap dalam buku yang disusun oleh
Pande Sukerta.
Seni kakebyaran, merupakan sebuah “bunga rampai” beberapa tulisan yang
dieditori oleh I Wayan Dibia (2008). Di dalamnya memuat berbagai tulisan dari
beberapa pakar seni kakebyaran. Beberapa tulisan yang menarik untuk disimak di
antaranya adalah sajian dari I Wayan Rai yang berjudul “Seni Kakebyaran Dewasa
Ini”. Sebagaimana dalam uraiannya, berpijak dari kata dasar “kebyar” yang berarti
letupan atau sinar memancar dengan tiba-tiba sehingga dapat membuat kita terkejut.
Kata ini kemudian dilengkapi dengan awalan “ke” dan akhiran “an”, kakebyaran
dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau jenis kesenian yang termasuk bidang seni
pertunjukan yang memiliki ciri dan sifat ngebyar (dalam Dibia, 2008:6)
Uraian tentang seni kakebyaran dalam buku ini, memberikan kontribusi
yang sangat signifikan dalam memperluas wawasan serta pemahaman tentang seni
kakebyaran. Sebagaimana dikatakan Dibia dalam sambutannya, terdapat
pandangan baru terhadap seni kakebyaran. Pada awalnya seni kebyar cenderung
untuk dibatasi hanya pada bentuk kesenian yang diiringi oleh musik gong kebyar,
kini seni kakebyaran telah mencakup wilayah estetik yang begitu luas dan telah
melampaui batas gong kebyar (Dibia, 2008:iii). Dalam studi tentang reproduksi seni
kakebyaran di Kota Mataram, nampak jelas adanya pengaruh yang kuat dari seni
kakebyaran itu sendiri. Kegandrungan masyarakat terhadap fenomena kakebyaran
juga terjadi di kalangan seniman dan masyarakat di Kota Mataram sehingga hal ini
mendorong munculnya beberapa bentuk kesenian yang bernafaskan kebyar baik di
dalam seni pertunjukan Bali maupun seni pertunjukan Sasak.
22
Tradisi Bali Lombok, Sebuah Catatan Budaya, oleh Wayan Suyadnya
(2006). Secara ringkas dalam buku ini dibahas tentang keberadaan serta kehidupan
masyarakat Bali yang berada di Lombok dengan budaya dan adat-istiadat yang
dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa aspek kehidupan sosial,
agama, adat isitiadat dan kesenian, walaupun disajikan secara ringkas namun cukup
memberi gambaran situasi yang ada di Lombok. Sebagai sebuah catatan budaya,
informasi dalam buku ini sangat relevan dipergunakan sebagai referensi untuk
mendapatkan gambaran awal tentang keberadaan seni pertunjukan di Kota
Mataram. Sebagaimana dikatakan Suyadnya (2006:9),
“bila bertandang pada kampung-kampung tua pada sore menjelang malam.Pada beberapa banjar yang memiliki perangkat gamelan, sayup-sayup akanterdengar suara gamelan yang dimilikinya dimainkan warga setempat, baikgong, angklung maupun rindik. Begitu juga di sejumlah bale banjar, bisadilihat adanya sekelompok teruna-teruni yang sedang belajar menari”.
Walaupun secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus tentang keberadaan seni
kakebyaran, namun dari beberapa uraian yang terdapat di dalamnya dapat diketahui
bahwa salah satu aktivitas berkesenian yang dilakukan oleh masyarakat adalah di
bidang seni pertunjukan (seni karawitan dan seni tari) yang menjadi kajian dari studi
ini.
Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah
Kerajaan Karangasem (1661-1950), karya Anak Agung Ketut Agung tahun 1991.
Literatur ini banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di
wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Gelombang kedatangan
orang-orang Bali di Lombok dimulai pada abad ke-12, pada masa pemerintahan
Raja Anak Wungsu di Bali. Pada saat itu Pulau Lombok dapat ditaklukkan oleh
23
Bali. Selanjutnya pada tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad
Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirarta (Pangeran Sangupati)
yang merupakan utusan dari Kerajaan Gelgel dalam penyebaran agama Hindu di
wilayah tersebut. Gelombang ketiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Tri
Tunggal I (I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah
Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem) tahun 1692 pada saat
pengembangan wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh kerajaan Karangasem ke
wilayah Lombok.
Berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut di atas,
merupakan salah satu penyebab terjadinya desiminasi budaya di mana bala tentara
serta orang-orang yang terlibat pada berbagai peristiwa tersebut banyak di
antaranya menetap secara permanen dan melanjutkan kehidupan mereka dengan
tradisi, budaya sebagaimana dilakukan di Bali. Buku ini memberikan gambaran
historis yang sangat bermanfaat dalam mengungkap keberadaan seni pertunjukan
Bali. Walaupun penelitian ini bukan merupakan kajian historis, namun berbagai
informasi dalam buku ini memberikan gambaran yang terjadi pada masa lalu dan
hal itu tentunya sangat berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini. Kuatnya
kedudukan dan pengaruh Kerajaan Karangasem pada masa lalu berdampak pada
kuatnya pengaruh kebudayaan Bali terhadap kebudayaan masyarakat setempat.
Salah satunya adalah di bidang seni pertunjukan di mana pengaruh unsur-unsur
kesenian Bali senantiasa tampak jelas dalam beberapa seni pertunjukan Sasak.
Keberadaan barungan gamelan gong kebyar dan gending-gending kakebyaran di
24
kalangan masyarakat Sasak menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kesenian Bali
terhadap kesenian masyarakat setempat.
Buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan karya Irwan Abdullah.
Refrensi ini memberikan kontribusi yang sangat besar untuk dimanfaatkan di dalam
membahas dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Berbagai
penjelasan dalam buku ini memberikan inspirasi, pemahaman tentang gejala, proses
reproduksi budaya serta penanganan-penanganan terhadap konflik yang terjadi
untuk dapat diaplikasikan dalam penelitian ini. Terkait dengan penyebaran unsur-
unsur kebudayaan Bali, Abdullah (2006:3) secara khusus mencermati perubahan
masyarakat yang menunjukkan kecenderungan lain dalam pendefinisian suatu
praktik yakni proses mencairnya batas-batas ruang (fisik). Mobilitas fisik telah
dilengkapi dengan mobilitas sosial dan intelektual yang jauh lebih padat dan
intensif. Sebagai dampak dari perkembangan media komunikasi yang mampu
mengintegrasikan masyarakat dari yang bersifat lokal ke global, unsur-unsur
kebudayaan Bali pun kemudian bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga
dengan mudah dapat ditemukan di berbagai tempat, di luar batas-batas geografis
kebudayaan Bali. Uraian tersebut tentunya sangat sesuai dengan topik dalam
penelitian ini dan menjadi tinjauan teoretis untuk mengungkap terjadinya
reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain buku-buku di atas, sumber lain yang juga dipergunakan adalah tesis
karya Gusti Ayu Ketut Suandewi yang berjudul ”Tari Batek Baris dalam Upacara
Perang Topat di Pura Lingsar Lombok Barat (2001). Tesis ini memberikan
gambaran tentang bentuk, fungsi dan makna tari Batek Baris dalam kebersamaan
25
hidup antara dua umat yang berbeda yaitu Hindu dan Islam yang menghasilkan
harmoni estetika yang sarat dengan unsur akulturasi budaya. Informasi yang
terdapat dalam tesis ini dijadikan salah satu acuan tentang terjadinya akulturasi
antara budaya Hindu dengan Islam dalam bentuk seni pertunjukan. Ternyata
budaya masyarakat Hindu sangat fleksibel mampu beradaptasi dengan lingkungan
di sekitarnya serta unsur-unsur budaya lokal yang mempengaruhi.
2.2 Konsep
Terkait dengan judul penelitian ini, ada beberapa konsep yang perlu
dijelaskan. Adapun konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
2.2.1 Reproduksi
Secara konseptual, reproduksi dapat dilihat dari dua bentuk yaitu pertama,
sebagai kata benda yang berarti pengembangbiakan, tiruan dan hasil pencetakan
ulang, dan kedua sebagai kata kerja reproduksi berarti melakukan reproduksi,
menghasilkan ulang dan menghasilkan kembali (Anwar, 2001:366). Istilah
reproduksi digunakan di dalam berbagai bidang ilmu seperti ilmu kedokteran, ilmu
seni (seni lukis, fotografi, kriya), ilmu sosial dan budaya. Di dalam ilmu kedokteran,
konsep reproduksi berkaitan dengan sistem reproduksi dan organ-organ vital yang
merupakan instrumen reproduksi. Reproduksi merupakan proses biologis suatu
individu organisme. Reproduksi merupakan cara dasar mempertahankan diri
dengan berkembangbiak yang dilakukan oleh semua bentuk kehidupan dan untuk
menghasilkan generasi selanjutnya. Di dalam seni, reproduksi sering digunakan
26
dalam upaya memperbanyak, atau pembuatan salinan atau tiruan dari sebuah
lukisan, patung, fotografi dan benda-benda seni lainnya.
Reproduksi dalam konteks budaya, sebagaimana dikatakan oleh Irwan
Abdullah (2006:45) adalah proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh
pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Dalam
wacana yang lebih luas, reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang
menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan
adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Adapun penegasan yang dimaksud adalah penegasan kembali identitas kebudayaan
asalnya. Sebagai sebuah proses aktif, reproduksi budaya bisa menghasilkan bentuk
yang sama dan bisa juga terjadi perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan
tempat terjadinya reproduksi.
2.2.2 Seni Kakebyaran
Seni kakebyaran merupakan produk budaya masyarakat yang telah menjadi
salah satu ikon budaya Bali. Di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya yang sangat
kuat dan merupakan cerminan identitas budaya masyarakat Bali yang dinamis.
Kakebyaran itu sendiri berasal dari kata kebyar yang mendapat awalan ka dan
akhiran -an. Adanya imbuhan awalan dan akhiran tersebut, kakebyaran berarti
sesuatu yang berhubungan dengan kebyar. Dalam kamus bahasa Bali yang disusun
oleh panitia penyusunan kamus Bali Indonesia (1978:274), kata kebyar ditulis
dengan kata kebiar atau makebiar yang berarti menyala dengan tiba-tiba.
Selanjutnya diuraikan juga bahwa kata kebyar merupakan nama tabuh-tabuhan
27
dalam gamelan Bali dengan suara keras mengejutkan sebagai letupan atau seperti
menyala-nyala yang memancar dengan tiba-tiba saat mulainya. Sebagaimana
terungkap dalam hasil penelitian Tim Survei ASTI Denpasar (1980:4), dalam Notes
on The Balinese Gamelan Music Panji mengatakan bahwa byar berarti suatu bunyi
yang timbul dari akibat pukulan alat-alat gamelan secara keseluruhan dan bersama-
sama.
Terkait dengan kata kebyar, McPhee (1966:326) dalam penjelasannya
mengatakan,
”The word kebyar is hard to difine. It applies to the new style and to themusic itself, to the dance, and to the modernized gamelan gong. It refers inparticular to the cymbals and their metallic class, and to the explosiveunison attack of the gamelan with wich the music begins. It has beenexplained to me as meaning a sudden outburst, ”like the bursting open of aflower”, as one informant engagingly by opening a tightly closed hand”.Terjemahan,Kata kebyar sangat sulit untuk diartikan. Kata ini diterapkan dalam duniamusik gaya baru dan musik itu sendiri, untuk tarian, dan gamelan gong yangdimodernisasi. Hal ini mengacu terutama untuk simbal dan kelompoklogam, dan untuk suara bunyi yang serempak dan bergemuruh dari gamelanketika musiknya dimulai. Beberapa penjelasan yang saya dapatkan berartiriuh rendah seperti bunga yang mekar secara tiba-tiba, informasi yangsangat menarik dari informan adalah membuka tangan yang tertutup rapat”
Dari pernyataan tersebut, kebyar secara konseptual diartikan sebagai musik gaya
baru dari modernisasi gamelan gong (gong gede). Kebyar merupakan bunyi atau
suara yang ditimbulkan dari kelompok instrumen simbal dan logam yang
dimainkan secara serempak dan bergemuruh di awal musik. Kebyar juga
diandaikan seperti kuncup bunga yang mekar secara tiba-tiba atau seperti tiba-tiba
membuka tangan yang tertutup rapat.
28
Musik kebyar dari awal munculnya memang tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan gamelan gong kebyar. Terkait dengan prihal lahirnya, Dibia (2003:39)
menguraikan dua fase penting yaitu: munculnya teknik menabuh dengan pola
”ngebyar”, yaitu memukul alat-alat gamelan secara bersama-sama sehingga
menimbulkan suara keras yang menggelegar, dan terbentuknya barungan gamelan
baru yang kemudian diberi nama gong kebyar. Hal ini menunjukkan bahwa
penciptaan dan munculnya gamelan gong kebyar berawal dari munculnya ide
musikal yang kemudian diikuti dengan penciptaan barungan alat gamelan untuk
mewadahi dan sebagai media ungkap dari ide musikal tersebut. Hal yang sama juga
ditegaskan oleh Sukerta (2009:6), bahwa sebelum barungan gamelan gong kebyar
terwujud, terlebih dahulu muncul gending-gending yang menggunakan teknik-
teknik kakebyaran yang disajikan pada jenis barungan gemalen tertentu yang
menggunakan laras pelog.
Dari kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kakebyaran
merupakan sebuah konsep dan pola musikal yang diterapkan dalam gamelan Bali.
Walaupun kemudian dipopulerkan lewat gamelan gong kebyar, namun sebelumnya
konsep musikal ini terlebih dahulu disajikan dalam beberapa jenis gamelan lainnya.
Di wilayah kelahirannya yaitu di Bali Utara pola musikal yang ngebyar lazim
dimainkan dalam tabuh-tabuh lalonggoran yang sering disajikan untuk mengiringi
berbagai upacara keagamaan. Lalonggoran merupakan salah satu gending sakral
yang dikeramatkan yang dalam penyajiannya senantiasa didahului dan dilengkapi
dengan sesajen. Musikalitas tabuh lelonggoran ini disajikan dalam tempo yang
cepat, dinamis (keras) dan penyajiannya senantiasa digunakan untuk mengawali
29
sajian dari tabuh-tabuh yang lainnya dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
Musikalitas yang cepat dan keras inilah yang sering diidentikkan dengan konsep
ngebyar.
Seiring dengan munculnya seni kakebyaran dalam bentuk seni karawitan
instrumental, muncul pula bentuk seni kakebyaran yang lain yakni tari kakebyaran.
Arini (2004:3) mengatakan tari kakebyaran adalah tari-tarian yang diiringi dengan
gamelan gong kebyar, pada umumnya memakai pukulan makebyar ketika memulai
tabuh iringan tarinya. Sebagaimana munculnya seni tabuh kakebyaran di wilayah
Bali Utara, kakebyaran dalam bentuk seni tari juga diperkirakan awalnya muncul
di wilayah tersebut. Hal ini dapat dicermati dengan adanya istilah kebyar
bulelengan, yakni sebuah istilah yang berarti sebuah tarian yang ditampilkan
dengan iringan tetabuhan kebyar (Buleleng) (Dibia, 2003:43). Istilah ini digunakan
untuk menyebutkan salah satu tari kebyar yang saat ini dikenal dengan tari Kebyar
Legong. Semaraknya perkembangan seni kakebyaran di Buleleng di awal dekade
abad XX juga diikuti dengan munculnya beberapa tarian yang terinspirasi dari tari
Kebyar Legong tersebut. Beberapa di antaranya yang populer di kalangan
masyarakat adalah tari Palawakya dan tari Teruna Jaya yang diciptakan oleh
seniman-seniman Buleleng.
Dalam perkembangan selanjutnya, seni kakebyaran tidak saja berkembang
di wilayah Bali Utara, namun mulai merambah beberapa wilayah di daerah Bali
Selatan dan ke beberapa wilayah di Bali hingga ke wilayah Lombok. Popularitas
seni kakebyaranpun semakin menguat di masyarakat. Indah dan dinamisnya seni
tari kakebyaran yang diciptakan oleh seniman-seniman Buleleng memicu
30
kreativitas para seniman lainnya di wilayah Bali Selatan untuk menciptakan tari-
tari kakebyaran. I Mario pada tahun 1920an menciptakan sebuah tarian yang
disebut dengan tari Kebyar Duduk dan selanjutnya melahirkan pula tari Kebyar
Terompong, Oleg Tamulilingan dan beberapa tari lainnya. Selain Mario, maestro
tari kakebyaran lainnya adalah I Nyoman Kaler yang melahirkan banyak karya tari
kakebyaran dengan berbagai karakter seperti tari perempuan/feminim dan tari
babancihan. Sebagaimana diuraikan oleh Arini, beberapa kakebyaran yang
diciptakan oleh I Nyoman Kaler di antaranya yang tergolong tari feminim yakni:
tari Candra Metu, tari Puspawarna, tari Bayan Nginte, tari Kupu-Kupu Tarum dan
tari Pengaksama. Sedangkan yang tergolong tari babancihan adalah tari Mergapati,
tari Wiranata, tari Panji Semirang, tari Demang Miring (Arini 2004:16-19).
Semaraknya perkembangan gambelan gong kebyar menyebabkan gamelan
ini semakin populer di kalangan masyarakat seni pertunjukan di Bali. Dalam
penyajiannya tidak saja menyajikan tabuh-tabuh instrumental namun juga
mengiringi tari-tarian lain di samping tari-tari kakebyaran yang menjadi bagian dari
seni kakebyaran tersebut. Beberapa jenis tarian klasik yang nota bene merupakan
repertoar dari gamelan palegongan seperti Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog,
Candrakanta, Semarandana dan sebagainya mulai diringi dengan gamelan gong
kebyar. Hal ini terjadi seiring dengan semakin berkurangnya keberadaan gamelan
palegongan di masyarakat. Demikian pula tari-tarian repertoar dari gamelan
babarongan, gong gede dan yang lainnya mulai merambah ke wilayah penyajian
gamelan gong kebyar. Guna menghindari kerancuan dalam pembahasannya,
beberapa repertoar sebagaimana disebutkan di atas yang nota bene bukan berasal
31
dari wilayah seni kakebyaran tidak akan dibahas lebih dalam lagi. Walaupun saat
ini sering disajikan lewat media gamelan gong kebyar tari-tarian palegongan dan
yang lainnya, hal itu bukanlah merupakan bagian dari bentuk seni kakebyaran.
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan kembali bahwa kakebyaran merupakan
sebuah konsep musikal dan bentuk barungan gamelan sebagai media penyajiannya,
kakebyaran tidak terbatas hanya pada gamelan gong kebyar saja namun juga
gamelan lain yang memiliki repertoar dengan ciri-ciri serta identitas sebagaimana
telah diuraikan di atas. Penjelasan konsep kakebyaran di bidang seni tari mengacu
kepada konsep seni tari kakebyaran yaitu tari-tarian yang diiringi dengan musik
atau tabuh kakebyaran. Tidak terbatas pada penggunaan media gamelan gong
kebyar namun juga gamelan lainnya. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kakebyaran memiliki cakupan pengertian yang sangat luas, tidak saja
terbatas pada konsep musikal dan alat musik (gamelan), akan tetapi sudah
merambah pada bidang seni tari. Jadi seni kakebyaran sudah berkembang menjadi
sebuah konsep estetika seni pertunjukan Bali dalam musik dan tari.
Dari penjelasan kedua konsep di atas, reproduksi seni kakebyaran
merupakan kombinasi dari konsep reproduksi dan seni kakebyaran. Seni
kakebyaran sebagai objek material merupakan subunsur budaya di bidang kesenian
yang menjadi salah satu ikon budaya masyarakat Bali. Di dalamnya terdapat
berbagai nilai yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya Bali. Keberadaan seni
kakabyaran di Kota Mataram adalah hasil proses reproduksi yang dilakukan oleh
masyarakat etnis Bali di dalam upaya menegaskan identitasnya sebagai orang Bali.
32
Seni kakebyaran merupakan salah satu bentuk dari berbagai aspek sosial, budaya
yang dibangun oleh masyarakat Bali yang ada di Kota Mataram.
Reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, NTB merupakan upaya yang
dilakukan oleh orang-orang Bali di Kota Mataram dalam membangun dan
mengembangbiakkan seni kakebyaran dalam rangka memperkuat dan menegaskan
identitas mereka sebagai orang-orang Bali. Reproduksi seni kakebyaran di Kota
Mataram di samping memiliki kesamaan unsur-unsur dengan di daerah asalnya,
juga menghasilkan berbagai perubahan bentuk yang disebabkan adanya perbedaan
lingkungan dan kultur di daerah asalnya (Bali) dengan di wilayahnya yang baru
(Mataram). Perubahan terjadi karena reproduksi adalah proses aktif yang
menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan
adanya adaptasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Di dalam beradaptasi sangat memungkinkan terjadinya
perubahan karena adanya perbedaan beberapa faktor seperti lingkungan, kebiasaan-
kebiasaan serta budaya yang berbeda.
Studi tentang reproduksi seni kakebyaran dalam konteks kajian budaya atau
lebih di kenal dengan cultural studies merupakan sebuah studi yang berdasarkan
pada pendekatan multi dan postdisipliner. Sebagaimana dikatakan Hall (dalam
Barker, 2001:6), yang diperbincangkan adalah hubungan cultural studies persoalan
kekuasaan dan politik dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi
atas dan ’bagi’ kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan khususnya kelas,
gender dan ras.
33
Berkaitan dengan praktik-praktik kekuasaan, cultural studies menunjukkan
perhatian spesifik terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan yang pertama kali
karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan kelompok umur dan sebagainya.
Keberadaan tradisi budaya Bali khususnya seni pertunjukan di Lombok
memunculkan persoalan yang sangat dilematis. Sebagai budaya dari kelompok
minoritas, eksistensi seni kakebyaran di wilayah Kota Mataram terpinggirkan
dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Keterpinggiran tersebut terlihat dari
kurangnya dukungan dari berbagai komponen masyarakat terutama institusi
pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan seni dan budaya. Di samping itu
adanya kebijakan otonomi daerah, muncul tendensi atau kecenderungan daerah-
daerah di Indonesia lebih mementingkan pengembangan budaya etnik lokal
daripada budaya para pendatang, apalagi didominasi oleh faktor agama. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan senantiasa mengacu pada agama dan budaya etnik lokal
dan kurang berpihak kepada budaya di luar agama yang dominan dalam kehidupan
masyarakat.
2.3 Landasan Teori
Sebagai sebuah penelitian dalam kajian budaya (cultural studies), dalam
penelitian tentang reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram akan dianalisis
dengan menggunakan beberapa teori secara eklektik. Sesuai dengan permasalahan
yang telah dirumuskan, penelitian ini berpijak dari pemikiran dalam ranah kajian
budaya yang secara spesifik menyoroti terjadinya reproduksi salah satu wujud
kebudayaan yaitu seni kakebyaran ketika berada di ruang atau wilayah yang baru
34
dalam situasi dan atmosfir yang berbeda dengan wilayah budaya asalnya. Berbagai
persoalan muncul ketika seni kakebyaran direproduksi di wilayah budaya yang baru
yang jauh dari budaya induknya.
Sebagai identitas budaya dari etnis minoritas seni kakebyaran menjadi
terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Keberadaannya seperti
anak yatim dan mengambang tidak jelas siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap eksistensi dan keberlanjutanya serta bagimana konsep pelestarian dan
pengembangannya di masa yang akan datang. Reproduksi seni kakebyaran sebagai
salah satu upaya membangun serta penguatan identitas budaya masyarakat Bali
memunculkan upaya-upaya resistensi dari budaya mayoritas dengan cara mengikis
atau menghilangkan elemen budaya Bali pada budaya Sasak sebagai upaya
pemurnian identitas Sasak. Ketika muncul perlawanan tersebut terjadi pula hal-hal
yang bersifat dekonstruktif dari para seniman Bali dengan mengadakan beberapa
perubahan agar nantinya dapat diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat
setempat. Dari berbagai persoalan tersebut, untuk mengkaji dan menganalisis
persoalan reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat,
digunakan beberapa teori sebagai perangkat analisis sebagaimana dipaparkan
berikiut ini.
2.3.1 Teori Reproduksi Budaya
Kajian tentang reproduksi kebudayaan pernah dikemukakan oleh Pierre F.
Bourdiou melalui konsep habitus dan arena serta hubungan dialektis antara
keduanya. Menurut Bourdieu (1989), habitus adalah struktur mental atau kognitif
35
yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali
serangkian skema atau pola yang diinternalisasikan yang nereka gunakan untuk
merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola
itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika,
habitus adalah”produk internalisasi struktur” dunia sosial (dalam Ritzer, 2003:522).
Habitus dipahami sebagai seperangkat nilai, praktik dan kecenderungan
bathin yang distrukturkan” maupun “menstrukturkan”. Habitus merupakan sesuatu
yang bersifat generatif yang akan selalu berkembang, artinya, habitus terdiri atas
penguasaan praktis sejumlah kecakapan (skill), rutinitas, kemampuan dan asumsi
yang masih bisa dimodifikasi dan digunakan sebagai dasar improvisasi. Meskipun
dibentuk dalam suatu wilayah atau ranah tertentu, disposisi-disposisi habitus bisa
ditransfer dari satu ranah ke ranah yang lain (Barker, 2014:115).
Nilai-nilai budaya Bali dengan berbagai praktik budayanya merupakan
merupakan kebiasaan-kebiasaan yang senantiasa melekat pada diri orang Bali.
Secara nyata meskipun nilai-nilai serta berbagai praktik budaya tersebut lahir dan
dibentuk di Bali, habitus ini bisa perpindah ke ranah yang lain mengikuti alur
perpindahan orang Bali. Berpindahnya orang-orang Bali dan selanjutnya menetap
di Kota Mataram, diikuti dengan dipreproduksinya berbagai kebiasaan, khususnya
dalam aktivitas budaya, seni, tradisi, agama dan berbagai aspek kehidupan sosial.
Ranah (field) adalah sejenis lingkungan kompetitif yang di dalamnya
terdapat berbagai jenis modal (sosial, ekonomi, budaya, dan simbolis) yang
digunakan dan dimanfaatkan. Ada sejumlah arena semi otonom di dunia sosial
misalnya artistik, religious, dan perguruan tinggi yang semuanya memiliki logika
36
spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan para aktor
tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan di suatu arena. Pada rumusan yang lain,
Bourdieu (1990a: 123-129) memakai field sebagai dunia sosial yang terus menerus
berada dalam proses diferensiasi progresif serta jumlah kendala struktural
anggotanya. Field adalah arena perjuangan anggotanya untuk mendapatkan
berbagai sumber daya material ataupun kekuatan simbolis. Tujuan utamanya adalah
memastikan “perbedaan” yang akan menjamin status aktor sosial yang dapat
berfungsi sebagai sumber kekuasaan simbolis yang kemudian digunakan untuk
mencapai keberhasilan lebih lanjut (dalam Lubis, 2014:108).
Mengacu pada rumusan tersebut, wilayah Kota Mataram merupakan arena
perjuangan bagi masyarakat etnis Bali untuk mendapatkan berbagai sumber daya
material dan kekuatan simbolis. Dengan mereproduksi kebudayaan, khususnya
kesenian, hal ini dijadikan sumber daya atau modal budaya untuk meraih materi
dan sebagai kekuatan simbolis yang kemudian digunakan untuk mencapai
keberhasilan lebih lanjut.
Hubungan dialektis di antara habitus dan arena sebagaimana diungkap
Bourdieu (1984a) menunjukkan bahwa habitus dan arena saling menentukan satu
sama lainnya. Secara tegas dikatakan,
“ habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi, dan hanya sahdalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitusitu sendiri adalah “ lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu.Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilaiyang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yangberbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama (dalamRitzer, 2003:528).
37
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa suatu tindakan yang sama dapat
memperoleh sesuatu makna yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika
dilakukan di arena yang berbeda. Terkait dengan pernyataan tersebut, habitus
sangat berpengaruh ketika memasuki arena yang berbeda. Terjadinya perbedaan
makna berimplikasi terhadap beberapa aspek kehidupan di antaranya aspek sosial
dan budaya. Fenomena ini searah dengan pandangan Kingsley Davis yang
menyatakan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah dua bidang yang
saling berkaitan. Perubahan sosial adalah bagian dari perubahan kebudayaan
mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya (dalam
Soekanto, 2001:342).
Irwan Abdullah dalam bukunya Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan
(2007) menguraikan bahwa reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan
identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan
keberadaan kebudayaan asalnya. Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar
sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai
praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses
identifikasi diri dan kelompok. Kebudayaan sebagai simbol menunjuk pada
bagaimana suatu budaya dimanfaatkan untuk menegaskan batas-batas kelompok.
Pembentukan identitas kelompok migran di berbagai tempat cenderung
terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Dasar reproduksi kebudayaan lebih
disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke masa kini dan beban sejarah
yang dipikul oleh setiap kelompok yang meninggalkan wilayah kebudayaannya,
yakni untuk mewujudkan cita-cita dan identitas (Abdullah, 2007:51-52).
38
Berpindahnya orang Bali dan memasuki wilayah budaya berbeda terkadang
sulit melepaskan diri dari identitas budaya asal yang sudah melekat dan cenderung
masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi sebagai kelompok
minoritas, untuk dapat diterima dan menjadi bagian dari sistem yang lebih luas
harus mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri sehingga sering menimbulkan
perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya. Teori konfigurasi menjelaskan,
bahwa terjadi tiga proses sosial ketika ada perubahan sebagai akibat dari
penyesuaian tersebut di antaranya: pertama terjadi pengelompokan baru dengan
orang-orang yang berbeda berarti adanya pembentukan hubungan sosial baru.
Kedua, terjadi redefinisi sejarah kehidupan karena adanya fase kehidupan baru.
Ketiga, terjadi proses pemberian makna baru bagi diri seseorang, yang
menyebabkan ia mendefinisikan kembali kultural dirinya dan asal usulnya
(Abdullah, 2007:44)
Berpindahnya orang-orang Bali dan menempati wilayah dan lingkungan
sosial yang baru di Lombok secara tidak langsung menimbulkan pengelompokan
baru dan membentuk hubungan sosial yang baru baik sesama orang Bali maupun
masyarakat setempat. Muncul fase baru dalam kehidupan masyarakat dan fase
tersebut menjadi tonggak sejarah di wilayah yang baru. Keberadaan orang-orang
Bali dan menetap di Lombok memberikan pandangan baru terhadap identitas
pribadi, kelompok dan identitas kesukubangsaan. Bagi orang Bali sendiri,
keberadaan mereka di Lombok senantiasa bangga menyebutkan diri sebagai orang
Bali walaupun mereka lahir dan dibesarkan di Lombok dan mungkin mereka tidak
mengetahui daerah asalnya di Bali. Dari sudut pandang yang lain, bagi masyarakat
39
Lombok, mereka juga masih dianggap sebagai orang Bali. Walaupun demikian bagi
orang Bali yang mempunyai sanak saudara di Bali, oleh sanak saudaranya mereka
sudah dianggap sebagai nyame Sasak (orang Lombok).
Sebagaimana fenomena yang terjadi pada wilayah yang lebih besar, dalam
wilayah yang lebih spesifik yakni di bidang seni pertunjukan juga terjadi beberapa
perubahan yang cukup signifikan. Perubahan-perubahan yang terjadi menyesuaikan
dengan etika dan norma-norma kesopanan, di mana tari-tarian yang disajikan
dengan kostum yang agak terbuka diharuskan mengubah konsep pakaian agar
bagian-bagian yang terbuka tertutupi. Sebagaimana diketahui beberapa tarian Bali
disajikan dengan konsep kostum yang agak terbuka pada bagian lengan dan bahu.
Untuk dapat ditampilkan dihadapan masyarakat atau pejabat pemerintahan bagian-
bagian tersebut ditutupi dengan baju. Perubahan juga terjadi pada bentuk seni
pertunjukan lainnya. Agar kesenian tersebut diterima oleh semua kalangan
termasuk masyarakat setempat, beberapa elemen budaya sasak dimasukkan ke
dalam seni pertunjukan seperti digunakannya bahasa tradisional sasak.
Berada di wilayah etnik yang berbeda menyebabkan orang-orang Bali
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlaku secara umum yang tentunya
berbeda dengan situasi dan kondisi yang terdapat di Bali. Perubahan budaya dalam
konteks reproduksi tidak dapat dihindari karena ruang atau wilayah budaya yang
baru memiliki kosmologi dan atmosfir yang berbeda dengan di daerah asalnya.
Atmosfir masyarakat di Kota Mataram khususnya berbeda dengan atmosfir
masyarakat di Bali. Ketika masih dikuasai oleh keturunan Raja Karangasem, Kota
Mataram memiliki armosfir kehidupan budaya seperti di Bali di mana nuansa
40
kehidupan masyarakatnya hampir sama dengan yang ada di Bali. Seni, dan tradisi
budaya masyarakat di Kota Mataram masih kuat dengan nuansa budaya Bali.
Namun setelah terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan dan pola
kepemimpinan yang cenderung agamis, lambat laun atmosfir kehidupan
masyarakatnya mengalami perubahan. Keberadaan tradisi, dan budaya masyarakat
termasuk di antaranya juga seni budaya Bali semakin memudar, bahkan banyak di
antaranya yang mengalami kepunahan.
Semakin menguatnya kehidupan keagamaan di wilayah Lombok, justru
semakin memperlemah posisi keberadaan kebudayaan asli masyarakat terutama
seni tradisi yang ada termasuk seni pertunjukan Bali. Segala bentuk kesenian yang
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai atau norma keagamaan akan ditinggalkan
dalam kehidupan yang lebih luas. Ninuk Kleden (2004) pernah mencatat bahwa
pada era tahun 1990-an gendang beleq salah satu seni tradisional masyarakat Sasak
menurun popularitasnya dan dikalahkan dengan Kecimol. Hal ini terjadi karena
keberadaannya ditolak oleh kelompok Islam karena kelompok ini tidak
membenarkan adanya peralatan yang tebuat dari perunggu dan besi. Namun seiring
dengan terjadinya perubahan pandangan pada kelompok-kelompok tersebut, pada
tahun 2000an peralatan tersebut populer kembali hingga dijadikan ikon budaya
Sasak. Diterimanya Gendang Beleq dalam wacana Islam bukannya tidak bersyarat.
Ketua Sanggar Bedede dari Dasan Agung, Gapuk menunjukkan telapak tangan
dengan kelima jarinya terlentang, yang diartikan sebagai lima waktu shalat dan
katanya seni itu letaknya di sela-sela jari tangan. Ini berarti kegiatan kesenian
41
seharusnya dilaksanakan di antara waktu sembahyang, misalnya di antara Lohor
dan Azhar atau di antara Azhar dan Mahgrib (Kleden, 2004:2009).
Fakta di atas menunjukkan bahwa keberadaan dan berbagai aktivitas
kesenian dalam masyarakat untuk bisa tetap eksis dalam kondisi masyarakat seperti
itu mesti dilakukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi serta norma-norma
yang ada dan berlaku secara mayoritas. Terjadinya perubahan dan penyesuaian
tersebut tidak saja pada kesenian lokal, namun juga kesenian-kesenian lainnya yang
terdapat di Lombok termasuk kesenian Bali. Untuk mendukung teori reproduksi
budaya digunakan juga teori konfigurasi sebagai pisau analisis atas permasalahan
pertama yaitu yang terkait dengan bentuk reproduksi seni kakebyaran Bali di Kota
Mataram. Bahwa dalam proses reproduksi seni kakebyaran tersebut di samping
mereproduksi bentuk seni pertunjukan yang hampir sama dengan di daerah asalnya
(Bali), terjadi juga beberapa perubahan yang bersifat konfiguratif dalam
perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram. Beberapa bentuk komposisi
kakebyaran ditata kembali dan dimodifikasi untuk digunakan mengiringi tari-tarian
Sasak dan tembang pesasakan dan dramatari.
2.3.2 Teori Identitas
Kota Mataram merupakan wilayah yang multikultur. Masyarakatnya sangat
plural dengan berbagai bentuk budaya etnis. Sebagaimana dikatakan Jorn K
Braman, jika di sana hadir situasi multibudaya maka di sana pulalah kita
memerlukan identitas budaya (dalam Liliweri, 2007:69). Dari pernyataan tersebut,
identitas menjadi objek yang sangat penting untuk dibahas mengingat pluralitas
42
budaya masyarakat di Kota Mataram telah menimbulkan berbagai persoalan seperti
diskriminasi, primodialisme, etnosentris, logosentris, melebarnya dikotomi
mayoritas dan minoritas di dalam kehidupan masyarakat.
Kata “identitas” secara etimologi berasal dari kata “identity” bermakna
berikut ini.
1) Kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang
mirip satu sama lainnya
2) Kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau
dua benda
3) Kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara
dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda.
4) Untuk menyatakan dan memahami kata identitas dengan kata identik,
misalnya menyatakan bahwa sesuatu itu mirip satu dengan yang lainnya
(Liliweri, 2002:69).
Lebih lanjut, kata “identitas” seringkali digunakan untuk menunjukkan
sesuatu yang berkaitan dengan ciri-ciri, data diri atau catatan pribadi seseorang,
identitas sosial, identitas kelompok dan identitas budaya. Pengertian identitas dalam
konteks budaya dapat dipahami sebagai rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah
kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya
tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain.
Kenneth Burke (dalam Liliweri, 2002:72) menjelaskan bahwa untuk menentukan
identitas budaya itu sangat tergantung pada “bahasa” (bahasa sebagai unsur
kebudayaan non-material), bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah
43
kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian dibandingkan. Bahasa diakui
sebagai refleksi dari sebuah kenyataan hidup manusia tetapi di saat yang sama dia
membuat seleksi atas kenyataan dan bahkan membelokkan kenyataan itu sendiri.
Dalam konteks sejarah, Jonathan Rutherford (dalam Pilliang, 2004:280)
menjelaskan identitas merupakan sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-
nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Identitas merupakan ikhtiar
dari masa lalu, yang membentuk masa kini dan mungkin juga masa mendatang.
Sedangkan dalam konteks sosial, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki secara
bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, yang
sekaligus membedakan mereka dari komunitas atau kelompok lainnya. Masyarakat
etnis Bali merupakan salah satu dari kelompok etnis dari berbagai etnis yang ada di
Kota Mataram. Terdapat berbagai aspek kehidupan yang menjadi ciri identitasnya
seperti dalam kehidupan sosial, tradisi budaya, agama serta beberapa aspek lainnya.
Berbagai ciri identitas tersebut menjadi pembeda dengan kelompok masyarakat
etnis lainnya.
Terdapat fenomena yang menarik ketika etnis Bali mengalami kebingungan
menentukan identitas baik itu identitas pribadi maupun identitas budaya mereka.
Dari kebingungan tersebut akhirnya muncul pertanyaan “apakah saya orang Bali ?”
atau “apakah saya orang Lombok ?” Lamanya keberadaan etnis Bali tinggal di
Lombok atau di Kota Mataram khususnya sering kali menimbulkan pertanyaan
sebagaimana tertulis di atas terkait dengan identitas diri mereka, karena ada
beberapa di antaranya sudah tidak mengetahui asal-usulnya di Bali. Adanya
kebingungan dalam menentukan identitas merupakan sebuah pertanda terjadinya
44
krisis identitas di kalangan masyarakat etnis Bali. Jean Boudrillard (1989) (dalam
Abdilah, 2002:28) mengatakan kondisi masyarakat yang plural dan majemuk sering
menyebabkan suatu subjek kehilangan identitasnya “in the desert one loose one’s
identity”
Walaupun personalitas, tradisi, budaya dan berbagai aspek kehidupan
lainnya masih sama dengan tradisi dan budaya Bali namun masyarakat etnis Bali di
Kota Mataram tidak pernah dianggap sebagai etnik Bali ketika mereka berkunjung
ke Bali. Demikian pula sebaliknya di Lombok, dengan berbagai atribut dan prilaku
budaya yang dilakoni dalam kehidupan mereka, di Lombok mereka tetap dianggap
sebagai etnik Bali. Dari fenomena tersebut akhirnya muncul identitas baru atas diri
mereka dengan istilah “balok” yang diartikan sebagai identitas etnis Bali yang ada
di Lombok. Giddens (dalam Barker, 2000:171) menyebut identitas diri sebagai
proyek. Maksudnya adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan,
seuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang datang
kemudian. Proyek identitas membangun apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini
dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita pikir,
kita inginkan lintasan harapan kita ke depan.
Terjadinya perubahan atas identitas tersebut searah dengan pandangan
Stuart Hall yang mengatakan bahwa identitas tidak pernah stabil, tidak pernah
sempurna, ia selalu di dalam proses menjadi (becoming), ia selalu dibangun dari
dalam. Identitas bersifat historis, dan segala sesuatu yang bersifat historis pada
hakekatnya akan mengalami perubahan yang terus menerus, sesuai dengan
perubahan yang terjadi pada tingkat wacana sosial (dalam Pilliang, 2004:280).
45
Berbagai atribut yang disandang serta berbudaya Bali, menunjukkan bahwa
masyarakat tersebut masih sangat setia, mencintai dan menghormati para leluhur
yang telah menggenerasikan mereka di Lombok. Makanya berbagai atribut budaya
serta tradisi tersebut masih dipertahankan dan berkembang pada saat ini untuk
memperkuat identitas mereka sebagai orang Bali. Salah satu tradisi yang
dipertahankan untuk menguatkan identitas mereka adalah dengan berkesenian.
Berbagai bentuk kesenian dibangun untuk diaplikasikan dalam berbagai aspek
kehidupan. Dari berbagai bentuk kesenian yang paling populer saat ini adalah seni
kakebyaran.
Seni kakebyaran merupakan salah satu ikon seni dan budaya Bali.
Reproduksi seni kakebyaran berarti memroduksi kembali ikon seni yang
beridentitas seni budaya Bali. Direproduksinya seni kakebyaran oleh orang-orang
Bali ketika berada di luar wilayah Bali semata-mata adalah sebagai upaya untuk
tetap melestarikan dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam seni
budaya, melanjutkan tradisi yang diwarisi oleh para pendahulunya dari masa yang
lalu ketika berada di Bali dan saat berada di wilayah yang baru, dan selanjutnya
mengembangkannya di masa yang akan datang. Tegasnya, reproduksi seni
kakebyaran merupakan upaya untuk mempertahankan identitas budaya Bali ketika
berada di wilayah dan komunitas masyarakat yang secara mayoritas memiliki
budaya yang berbeda.
Mengamati berbagai fenomena yang terkait dengan reproduksi seni
kakebyaran di Kota Mataram, teori identitas menjadi teori yang sangat penting
karena reproduksi seni kakebyaran merupakan salah satu bentuk reproduksi
46
budaya. Di dalamnya terdapat persoalan yang berkaitan dengan identitas diri,
identitas etnis dan identitas budaya. Bergayut dengan pandangan Abdullah, bahwa
reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang
dilakukan oleh pendatang yaitu orang Bali, yang berfungsi untuk menegaskan
keberadaan kebudayaan asalnya. Penegasan identitas sangat penting untuk
dilakukan tatkala berada di wilayah yang masyarakatnya plural. Adanya penegasan
tersebut adalah penting untuk menghindari terjadinya krisis identitas, mengetahui
dan memahami perbedaan identitas masing-masing etnik sehingga nantinya
terbangun sikap toleransi dan saling harga-menghargai di antara kelompok-
kelompok yang ada.
2.3.3 Teori Semiotika
Semiotika adalah teori tentang tanda yang dikembangkan dari karya ahli
bahasa berkebangsaan Swiss yaitu Ferdinand de Saussure (Barker, 2014:261).
Walaupun dikembangkan dari seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss, semiotika
berasal bahasa Yunani yaitu seme atau semeon yang berarti penafsir tanda atau
tanda. Jadi, teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan
interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan
manusia (Ratna, 2004:97).
Di dalam perkembangannya para Saussurian (pengikut Ferdinand de
Saussure) mengembangkan studi tentang tanda dan menjelaskan cara kerja tanda
dalam kehidupan sosial. Secara lebih spesifik tanda-tanda tersebut digunakan untuk
47
menunjukkan suatu identitas, baik identitas pribadi, identitas nasional, identitas
pekerjaan, identitas badan hukum, identitas jenis, dan identitas keagamaan. Dalam
perkembangan selanjutnya seorang ahli semiotika Itali Umberto Eco, akhirnya
memberikan kontribusi dan pemahaman yang sangat penting mengenai hubungan
tanda dengan realitas. Umberto Eco memberikan beberapa penerapan yang
dianggap relevan dengan semiotika termasuk di antaranya bidang budaya. Lebih
lanjut ditegaskan lagi oleh Aart Van Zoest bahwa ilmu semiotika dianggap sesuai
diterapkan pada beberapa disiplin ilmu seperti arsitektur, perfileman, sandiwara,
musik, kebudayaan, interaksi sosial, psikologi dan media masa (Ratna, 2004:107).
Aart van Zoest (dalam Sujiman, 1991:96), mengatakan secara semiotik kebudayaan
merupakan reaksi dari kompetensi yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang, untuk menginterpretasi, dan
untuk menghasilkan sesuatu. Dalam batasan itu kebudayaan diejawantahkan
sebagai suatu keseluruhan dari kebiasaan-kebiasaan tingkah laku dan hasil-hasil
darinya.
Susane K. Langer (1957) (dalam Hadi, 2000:23) mengatakan kesenian
sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai “hasil ciptaan”, yaitu suatu
benda, atau produk manusia, akan tetapi dipandang sebagai simbol, lambang, yaitu
“mengatakan tentang sesuatu”, jadi kesenian berhadapan dengan makna dan pesan
untuk diresapkan. Oleh karena seni adalah simbolisasi manusia, maka prinsip
penciptaan karya seni merupakan pembentukan simbol dan pembentukan simbol
tersebut bersifat abstraksi.
48
Di dalam studi tentang reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa
Tenggara Barat, terdapat beberapa topik bahasan yang berkaitan dengan
permasalahan identitas, baik identitas diri, identitas sosial, identitas budaya,
identitas etnik serta timbulnya makna-makna baru terkait dengan keberadaan seni
kakebyaran di wilayah tersebut. Kesenian khususnya musik adalah representasi
sebuah budaya yang di dalamnya terdapat simbol-simbol atau tanda. Jadi
reproduksi seni kakebyaran dapat dimaknai sebagai reproduksi tanda dalam rangka
penegasan identitas budaya Bali. Di wilayah Lombok, khususnya di Kota Mataram
seni kakebyaran direproduksi dan dipresentasikan bukan hanya di kalangan
masyarakat etnik Bali, akan tetapi juga di kalangan masyarakat Sasak. Seni
kakebyaran yang berkembang di samping seni kakebyaran seperti yang di Bali,
namun muncul pula gending-gending pesasakan dengan identitasnya masing-
masing. Direproduksinya seni kakebyaran pada dua etnis Bali dan Sasak
menandakan bahwa seni kakebyaran bersifat plastis, lentur, dan fleksibel.
Adanya berbagai fenomena sebagaimana diuraikan di atas, penggunaan
teori semiotika sangat tepat untuk membahas permasalahan dampak dan makna
reproduksi seni kakebyaran. Bahwasanya reproduksi seni kakebyaran memiliki
berbagai dampak dan makna seperti dampak kultural, dampak ekonomis dampak
sosial serta makna estetik/artistik, makna edukatif dan makna kultural. Yang
penting dampknya itu tidak saja bagi keberadaan seni kakebyaran itu sendiri namun
lebih luas terhadap keberadaan dan keberlanjutan seni pertunjukan yang merupakan
tradisi budaya Bali dan perkembangan seni budaya di Kota Mataram pada
umumnya.
49
2.4 Model Penelitian
Kehadiran kesenian Bali di Kota Mataram merupakan hasil difusi
kebudayaan Bali. Di Kota Mataram, kesenian Bali hidup dan berkembang tidak saja
di kalangan masyarakat etnis Bali, namun juga berkembang di kalangan etnis Sasak.
Salah satunya yang berkembang dan populer di kalangan masyarakat adalah seni
kakebyaran. Keberadaan kesenian ini merupakan salah satu subunsur kebudayaan
yang penting karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat
terutama dalam aspek budaya, sebagai media komunikasi dan aspek ekonomi.
Reproduksi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali merupakan salah satu upaya
mempertahankan tradisi budaya, sebagai bagian dari upacara keagamaan, sebagai
pemertahanan/penguatan identitas, sebagai media komunikasi dan sebagai sarana
ekonomis bagi orang Bali. Hal yang sama juga melandasi terjadinya reproduksi di
kalangan etnis Sasak, namun dalam konteks upacara keagamaan seni kakebyaran
hanya bersifat partisipasi serta menjaga harmoni hubungan dengan orang-orang
Bali.
Sebagai salah satu fenomena budaya, terdapat beberapa topik pembahasan
yang menjadi fokus dalam penelitian reproduksi seni kakebyaran di wilayah Kota
Mataram. Adapun topik bahasan tersebut adalah: 1) bentuk reproduksi seni
kakebyaran, 2) terjadi reproduksi seni kakebyaran, dan 3) dampak dan makna
reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Hasil analisis yang diperoleh dengan metode kualitatif terhadap topik
bahasan di atas, diperoleh beberapa hasil temuan terkait reproduksi seni kakebyaran
50
di Kota Mataram. Simpulan dan temuan hasil penelitian ini selanjutnya menjadi
sumber rekomendasi kepada berbagai pihak terkait sepeti masyarakat, seniman dan
pemerintah serta sebagai bahan pemikiran terhadap seni kakebyaran dan seni
budaya pada umumnya demi pelestarian, pengembangan dan keberlanjutan di
masyarakat. Hal tersebut penting karena terbukti kesenian khususnya seni
kakebyaran menjadi salah satu aspek yang sangat bermakna dan bernilai dalam
kehidupan sosial, budaya dan agama, menjadi media komunikasi intra dan
antaretnis, serta sebagai modal ekonomi di dalam mensejahterakan masyarakat.
Selanjutnya reproduksi seni kakebyaran sebagai bagian dari reproduksi budaya
memiliki makna yang penting di dalam mewujudkan Kota Mataram yang Maju,
Religius dan Berbudaya.
Model Penelitian
51
Penjelasan Tanda
Alur hubungan 1 arah
Hubungan yang saling mempengaruhi
Muara dari aktivitas reproduksi