bab ii dian aji acc
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur
1. Definisi Fraktur
Terdapat beberapa pengertian fraktur menurut para ahli.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur
terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. Sedangkan menurut Revees, Roux, dan Lockhart (2001)
fraktur merupakan setiap retak atau patah tulang yang utuh, meskipun
tulang dapat patah secara spontan seperti terjadi dalam osteomalacia
dan osteomyelitis, tetapi kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma
dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
Sementara itu menurut Muttaqin (2008) fraktur cruris
merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang
biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau
persendian pergelangan kaki. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang,
dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menetukan apakah fraktur
akan terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap
terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
5
6
2. Klasifikasi
Menurut Lukman dan Ningsih (2009) dan Muttaqin (2008),
fraktur yang diklasifikasikan berdasar pada patahnya integritas kulit,
lokasi, dan bentuk antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi
menjadi 3 yaitu fraktur tertutup (closed fracture), fraktur terbuka (open
fracture), dan fraktur dengan koplikasi (complicated fracture).
Fraktur tertutup (closed) adalah fraktur yang fragmen
tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan / tidak mempunyai hubungan dengan dunia
luar.
Fraktur terbuka (open/compound fraktur) adalah fraktur yang
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), atau from
without (dari luar). Derajat patah tulang terbuka adalah derajat I
dimana dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, luka ini
didapat dari tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam; derajat II
ditandai dengan adanya luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif, kadang-kadang ditemukan adanya benda benda-benda
asing di sekitar luka; dan derajat III ditandai dengan adanya luka yang
lebih besar degan luka derajat dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif dan kontaminasi, merupakan kerusakan yang lebih
hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi.
7
Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) adalah
fraktur yang disertai dengan komplikasi, misalnya mal-union, delayed
union, non-union, dan infeksi tulang.
Menurut Revess, Roux, dan Lockhart (2001) klasifikasi fraktur
dapat juga didadasarkan pada derajat kerusakan tulang yaitu patah
tulang lengkap (complete fracture) dan patang tulang tidak lengkap
(incomplete fracture). Dikatakan fraktur lengkap bila patahan tulang
terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh
potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak
tempat. Sedangkan dikatakan fraktur tidak lengkap bila antara oatahan
tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya
biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) jumlah garis patahan pada
patah tulang ada 3 yaitu fraktur komunitif yaitu fraktur dimana garis
patah lebih dari satu dan saling berhubungan; fraktur segmental yaitu
fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan; dan
fraktur multiple yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
8
3. Etiologi / Predisposisi
Menurut Muttaqin (2008), fraktur dapat terjadi akibat hal-hal
sebagai berikut:
a. Trauma direk (langsung)
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b. Trauma indirek (tidak langsung)
Trauma tidak langsung terjadi apabila dihantarkan ke
daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, trauma tersebut disebut
trauma tidak langsung. Misalnya jaruh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klafikula. Pada keadaan ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh.
c. Trauma patologis
Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat
kelainan patologis di dalam tulang. Trauma patologis terjadi pada
daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau
proses patologis lainnya. Tulang seringkali menunjukkan
penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-
fraktur semacam ini adalah tumor, baik trumor primer maupun
tumor tumor metastatis.
9
4. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit
(Smelter & Bare, 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Smeltzer & Bare, 2002).
10
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak
dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka
dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer &
Bare, 2002).
Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang
keras akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan
tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi
discontinuitas di tulang tersebut. Fraktur dapat berupa fraktur terbuka
dimana ujung tulang yang patah menembus keluar dari kulit sehingga
berhubungan dengan dunia luar atau dapat berupa fraktur tertutup
dimana ujung tulang yang patah masih berada didalam kulit. Ujung
tulang yang patah sangat tajam dan berbahaya bagi jaringan
disekitarnya, karena saraf dan pembuluh darah berada didekat tulang
sehingga sering kali terkena jika terjadi fraktur. Lesi neurovaskuler ini
dapat terjadi karena laserasi oleh ujung atau karena peningkatan
tekanan akibat pembengkakan atau hematom.
5. Manifestasi Klinis
Menurut LuKman dan Ningsih (2009), manifestasi klinis
fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
11
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat
digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti
normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas
yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang
normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya. Pembengkakan dan perubahan warna local
pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut dapat pada setiap
fraktur. kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau
fraktur impaksi (permukaan patahan terdesak satu lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan melangalami cidera pada daerah
tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
12
6. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu rekognisi,
reduksi, dan retensi, serta rehabilitasi.
Rekognisi adalah diagnosis dan penelian fraktur. Prinsip yang
pertama dilakukan mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, mementukan
teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari komplikasi
yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
Reduksi adalah restorrasi fragmen fraktur sehingga posisi yang
optimal yang didapatkan. Pada fraktur intra-artikular diperlukan
reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan
mencegah komplikasi, seperti kekauan, dermofitas, serta perubahan
osteoarthritis di kemudian hari.
Retensi adalah imobilisasi fraktur. Secara umum, teknik
penatalaksanaan yang digunakan adalah menginstirahatkan tulang
yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat
antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.
Rehabilitasi adalah mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin. Program rehabilitasi dilakukan dengan
mengoptimalkan seluruh keadaan pasien pada fungsinya agar aktivitas
dapat dilakukan kembali. Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris,
13
program rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana klien dapat
melanjutkan hidup dan melakukan aktivitas dengan memaksimalkan
organ lain yang tidak megalami masalah.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), perawatan pada pasien
fraktur ada 2 yaitu perawatan pasien fraktur tertutup dan perawatan
pasien fraktur terbuka.
Perawatan pasien fraktur tertutup harus diusahan untuk
kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur
dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin
memerlukan waktu sampai berbulan-bulan. Pasien diajari bagaimana
mengontrol pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan
trauma jaringan lunak. Pasien didorong untuk aktif dalam batas
immobilisasi fraktur. tirah baring diusahakan seminimal mungkin.
Latihan segera untuk mempertahankan kesehatan otot yang sehat dan
untuk meningkatkan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan
dan untuk menggunakan alat bantu (missal, tongkat, walker). Pasien
diajari bagaimana menggunakan alat tersebut dengan aman.
Perawatan pasien fraktur terbuka terdapat resiko infeksi
osteomielitis, gas gangrene, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah
meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak dan tulang
untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien di
bawa ke ruangan operasi, dimana luka dibersihkan, didebridemen, dan
dirigasi. Dilakukan usapan luka untuk biakan dan kepekaan. Fragmen
14
tulang mati biasanya diangkat, mungkin perlu dilakukan graft tulang
untuk menjembatani defek, namun harus yakin bahwa jaringan
resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi penyatuan.
7. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan
Muttaqin (2008) dibedakan menjadi komplikasi awal dan komplikasi
dalam waktu yang lama.
Komplikasi awal fraktur antara lain syok, sindrom emboli
lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler
nekrosis. Syok dapat terjadi akibat hipovolemik atau traumatic yaitu
syok terjadi akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal
maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak,
dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
Sindrom emboli lemak terjadi pada saat terjadi fraktur globula
lemak sehingga masuk ke dalam pembuluh darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak
pada aliran darah.
Sindroma kompartement merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
15
kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi
kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan
berbagai masalah (misalnya iskemi, dan cidera remuk).
Kerusakan arteri terjadi akibat pecahnya arteri karena trauma
bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian
distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada
yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
Infeksi terjadi jika sistem pertahanan tubuh rusak bila ada
trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada
kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin (ORIF & OREF) dan plat.
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang
dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer & Bare,
2002).
Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur terdiri atas
mal union, delayed union, dan non union. Malunion adalah suatu
keadaan ketika fraktur tulang yang patah sembuh pada saatnya, tetapi
terdapat dermofitas yang berbentuk angulasi, varus / valgus, rotasi,
pemendekan, atau union secara menyilang misalnya pada fraktur tibia
16
fibula. Etiologi mal-union adalah fraktur tanpa pengobatan,
pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan immobilisasi yang tidak
bai, pengambilan keputusan serta teknik yang salah pada awal
pengobatan, osofikasi premature pada lempeng epifisis karena adanya
trauma. Delayed union meruapakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal
ini terjadi karena supali darah ke tulang menurun. Delayed union
adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga
bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak
bawah. Etiologi delayed union sama dengan etiologi pada non union.
Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan
tidak dapat dikonsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi
palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga
terjadi bersama-sama infeksi yang disebut infected pseudoartrosis.
(Muttaqin, 2008).
B. Mobilisasi Dini
1. Definisi mobilisasi
Menurut Hidayat (2006), mobilisasi merupakan kemampuan
individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna memperhatikan
kesehatannya. Sedangkan menurut Potter dan Perry (2006), mobilisasi
mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, dan
immobilisasi mengacu pada ketidak mampuan untuk bergerak secara
17
bebas. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentan dengan
banyak tingkatan immonilisasi parsial di antanranya. Beberapa klien
mengalami kemunduran dan selanjutnya di antara rentang mobilisasi-
immobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi immobilisasi
mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas.
Imobilisasi merupakan ketidak mampuan untuk bergerak bebas
yang mengganggua pergerakan yang di sebabkan kehhilangan fungsi
motorik (Hidayat, 2006). Dalam bahasan yang berbeda imobilisasi
menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA),
ganguan mobilisasi fisik merupakan keadaan individu mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Potter & Perry, 2006).
Menurut NANDA (2010), hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasn
gerak fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan
terarah.
Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana
klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan
normal baik secara aktif ataupun pasif (Potter & Perry, 2006). Latihan
rentan gerak atau Range of Motion (ROM) adalah kemampuan
maksimal dalam setiap gerakan, merupakan batasan-batasan dari
kontraksi otot, apakah otot memanjang atau memendek secara penuh
(Lukman, 2009).
18
2. Jenis Mobilisasi, Imobiliasasi, dan Range Of Motion
Menurut Hidayat (2006), jenis mobilisasi dibagi menjadi
mobilisasi penuh dan sebagian. Mobilisasi penuh merupakan
kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interasksi social dan menjalankan peran
sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motorik
volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh
seseorang. Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseoarang
untuk bergerak dengan batasan dan tidak mampu bergerak bebas
karena dipengaruhi gangguan saraf motorik dan sensorik pada area
tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cidera atau patah tulang
dengan pemasangan traksi.
Imobilisasi menurut Hidayat (2006) dibagi menjadi empat
jenis, yaitu imobilisasi fisik, intelektual, emosional, dan social.
Imobilisasi fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan
tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti
pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan
tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi
tubuhnya untuk mengurangi tekanan. Imobilisasi intelektual
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya
pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu
penyakit. Imobilisasi emosional merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
19
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress
berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang
mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu
yang paling dicintai. Imobilisasi sosial merupakan keadaan individu
yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena
keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam
kehidupan social.
Jenis ROM dibagi menjadi dua yaitu ROM aktif dan ROM
pasif. ROM aktif adalah kemampuan klien dalam melakukan gerakan
secara mandiri tanpa bantuan orang lain dan anggota gerak tubuh yang
lain ketika sedang melakukan dalam kegiatan sehari-hari, contoh:
makan dan mandi. ROM Pasif adalah pergerakan yang mendapatkan
bantuan dari orang lain, seperti perawat ataupun menggunakan alat
bantu (Lukman, 2009).
3. Manfaat Mobilisasi Dini
Mobilisasi memiliki banyak manfaat. Menurut Potter dan Perry
(2006) manfaat yang dapat diperoleh dari mobilisasi dapat berdampak
positif terhadap sistem kardiovaskuler, sistem respiratori, system
metabolic, sistem musculoskeletal, toleransi aktivitas, dan faktor
psikososial.
Manfaat pada system kardiovaskuler diantaranya adalah
meningkatkan curah jantung, memperbaiki kontrkasi miokardial,
kemudian menguatkan otot jantung, memperbaiki aliran balik vena.
20
Sementara pada system respiratori, mobilisasi memiliki manfaat
antara lain meningkatkan frekuensi kedalaman pernafasan diikuti oleh
laju istirhat-kembali yang cepat, meningkatkan ventilasi alveolar,
menurunkan kerja pernafasan, meningkatkan pengembangan
diafragma (Perry & Potter, 2006).
Lebih lanjut dikemukakan oleh Perry dan Potter (2006) manfaat
mobilisasi berimbas pada system yakni meningkatkan laju
metabolisme basal, meningkatkan penggunaan glukosa dari asam
lemak, meningkatkan trigliserida, meningkatkan motilitas lambung,
dan meningkatkan produksi panas tubuh. Pada sistem muskulo
skeletal, aktifitas menjadikan tubuh menjadi terlatih dalam setiap
kegiatan seperti: Memperbaiki tonus otot, meningkatkan mobilitas
sendi, memperbaiki toleransi otot untuk latihan, meningkatkan massa
otot, mengurangi kehilangan tulang.
Manfaat mobilisasi dalam kaitannya dengan toleransi aktifitas
menurut Perry dan Potter (20060 adalah bahwa tubuh yang sering
beraktifitas menjadikan setiap gerakan menjadi biasa dan tidak
menimbulkan rasa sakit, serta meningkatkan jangkauan gerak.
Sementara dari sisi faktor psikososial, diketahui bahwa dengan
menyalurkan keinginan dalam setiap gerakan dapat menghilangkan
rasa tegang dan membuat perasaan lebih baik dan senang.
21
4. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi
Faktor mobilisasi di bagi menjadi beberapa faktor yaitu: gaya
hidup, proses penyakit, kebudayaan, usia dan status perkembangan,
dan tingkat energi. Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi
kemampuan mobilisasi seseorang karena gaya hidup berdampak pada
perilaku atau kebiasaan sehari-hari (Hidayat, 2006). Proses penyakit
dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi karena dapat memengaruhi
fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami stroke
hemoragik sebelah kanan, mengakibatkan kerusakan jalur motorik
kanan dan kehilangan kontrok gerak (hemiplegia) pada tubuh bagian
kiri (Potter & Perry, 2006).
Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi
kebudayaan. Contohnya orang yang memiliki budaya sering berjalan
jauh memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada orang
yang mengalami gangguan mobilisasi (kaki) karena adat dan
kebudayaan tertentu dilarang untuk beraktivitas. Energi adalah sumber
untuk melakukan mobilisasi. Agar seseorang dapat melakukan
mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup (Hidayat,
2006). Menurut Potter dan Perry (2006), faktor yang mempengaruhi
mobilisasi terdapat perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia
yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan
fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
22
5. Pengaruh Imobilisasi Terhadap Tubuh
Menurut Perry dan Potter (2006), imobilisasi berdampak pada
system tubuh yaitu system mkardiovaskuler, system respiratori, system
metabolic, sistm gastrointestinal, system integument, istem
musculoskeletal, dan perubahann perilaku.
Perubahan pada system kardiovaskular menurut Perry dan Potter
(2006) dibagi menjadi tiga bagian yaitu hipotensi ortostatik, beban
kerja jantung, dan thrombus. Hipotensi ortostatik adalah penurunan
tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien
bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien
imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan
darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-
faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti
oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan
darah. Perubahan pada beban kerja jantung akan berdampak pada
peningkatan konsumsi. Oleh karena itu jantung bekerja lebih keras dan
kurang efisien selama masa istirahat yang lama. Jika imobilisasi
meningkat maka curah jantung menurun, penurunan efisiensi jantung
yang lebih lanjut dan peningkatan beban kerja. Sementara itu kelainan
aliran darah vena yang lambat akibat tirah baring dan imobilisasi dapat
menyebabkan akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan
darah, dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian
23
anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh
darah.
Perubahan pada system respiratori akibat imobilisasi
mengakibatkan kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun,
dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses
metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin
dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan,
sehingga menyebabkan anemia. Penurunan ekspamsi paru dapat terjadi
karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru (Hidayat, 2006).
Sedangkan perubahan pada system metabolic adalah menyebabkan
turunnya kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Hal tersebut dapat
dijumpai pada menurunnya basal metabolisme rate (BMR) yang
menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh,
sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan
metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan proses anabolisme
menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini juga dapat berisiko
meningkatkan gangguan metabolisme (Hidayat, 2006).
Perubahan pada system musculoskeletal berdampak pada
gangguan muscular dan skeletal. Gangguan muscular berupa
menurunnya massa otot seabagia dampak imobilisasi dapat
menyebabkan turunya kekuatan otot ditandai dengan stabilitas.
Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot.
(Hidayat, 2006). Sedangkan gangguan skeletal berupa mudahnya
24
terjadinya kontraktursendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan
kondisi yang abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang
disebabkan atropi dan memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat
menyebabkan sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi.
Perubahan pada ketidakseimbangan cairan dan elektrolit akibat
imobilisasi mengakibatkan persediaan protein menurun dan
konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan
cairan dari intravascular ke interstisial dapat menyebabkan edema
sehingga terjadi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit (Hidayat,
2006). Ekskresi kalsium dalam urine ditingkatkan melalui reasorpsi
tulang. Imobilisasi menyebabkan pelepasan kalsium ke dalam
sirkulasi. Dalam keadaan normal ginjal dapat mengekskresi kelebihan
kalsium. Jika ginjal tidak mampu berespon dengan tepat maka terjadi
hiperkalsemia (Perry & Potter, 2006).
Perubahan pada sistim gastrointestinal akibat imobilisasi
disebabkan karena imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang
dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat
menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri
lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi
(Hidayat, 2006).
Perubahan pada sistim integument menurut Hidayat (2006)
berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah
25
akibat imobilisasi dan terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan
superficial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan kulit
yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan. Dekubitus
merupakan jaringan yang tertekan, darah membelok dan kontriksi kuat
pada pembuluh darah akibat tekanan peristen pada kulit dan struktur di
bawah kulit, sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati
(Perry & Potter, 2006).
Perubahan pada sistim eliminasi akibat imobilisasi adalah
diakibatkan posisi tegak lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal
lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi.
Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter
membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urine
harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat
kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya
gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam
ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi
saluran perkemihan dan batu ginjal (Perry & Potter, 2006).
Imobilisasi juga berdampak pada perubahan perilaku. Perubahan
perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya rasa
bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan
siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya
perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilisasi karena
26
selama proses imobilisasi seseorang akan mengalami perubahan peran,
konsep diri, kecemasan (Hidayat, 2006).
6. Gerakan Mobilisasi
Gerakan rentang gerak bisa dilakukan pada leher, ektremitas
atas, dan ekstremitas bawah. Latihan rentang gerak pada leher,
meliputi gerakan fleksi ekstensi, rotasi lateral, dan fleksi lateral.
Menurut Reeves, Roux, dan Lockhart (2001) dikutip dalam Lukman
(2009), rentang gerak (ROM) standar untuk ektremitas atas pada bahu
(abduksi, fleksi, ekstensi, dan hiperekstensi), siku (fleksi dan
ekstensi), lengan depan (pronasi dan supinasi), pergelangan tangan
(fleksi pergelangan, fleksi radialis, fleksi ulnaris, dan hipereksitensi
pergelangan), ibu jari (fleksi, ekstensi, dan oposisi yaitu ibu jari
berhadapan dengan jari kelingking), dan jari-jari (abduksi, adduksi,
fleksi, dan plantar fleksi). Sedangkan pada eksteremitas bahah adalah
kaki (fleksi, ekstensi, hiperekstensi, adduksi, abduksi, rotasi internal,
dan rotsi eksternal), lutut (fleksi dan ekstensi), pergelangan kaki
(dorso fleksi dan plantar fleksi), telapak kaki (supinasi dan pronasi).
Secara lengkap sebagaimana terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1
Rentang gerak sendi
Pergerakan Rentang Kelompok otot1. Sendi temporo
mandibular (synovial joint).a. Membuka mulutb. Menutup mulutc. Protrusion
1-2-5 inciMenutup rapat0,5 inci
Masseter, temporalisPterigoid laterarisPterigoid medialis.
27
d. Retrusione. Lateral motion.
0,5 inci0,5 inci
2. Tulang belakang (pivot joint).a. Fleksib. Ekstensic. Hiperekstensid. Fleksi laterale. Rotasi.
45o setiap sisi45o
10o
45o
90o
SternokleidomastoidTrapeziusTrapeziusSternokleidomastoidSternokleidomastoid, trapezius.
3. Bahu (ball and socket joint).a. Fleksi
b. Ekstensic. Hiperekstensi
d. Abduksie. Adduksi
f. Sirkumduksi
g. Rotasi eksternal
h. Rotasi internal.
80o
180o
50o
180o
230o
360o
90o
90o
Pectoris mayor, korakobrakialis, deltoid, bisep brakii.Teres mayorLatissimus dorsi, deltoid, teres mayor.Deltoid, suprasinatus.Pektoralis mayor, teres mayor.Deltoid, korakobrakialis, lastissimus dorsi, teres mayor.Subskapularis, pektoralis mayor, lastissimus dorsi, teres mayor.Brisep brakii, brakialis, brakioradialis.
4. Siku (hinge joint)a. Fleksib. Ekstensic. Rotasi untuk
supinasi.d. Rotasi untuk
pronasi.
150o
150o
70-90o
70-90o
Trisep brakiiBrisep brakii, supinatorPronator teres, pronator
Quadrates.
5. Pergelangan tangan (condyloid joint)a. Fleksi
b. Ekstensi
c. Hiperekstesni
80-90o
80-90o
80-90o
Flektor karpiradialis, flektor karpiulnaris.Flektor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis brevis, ekstensor karpiulnaris.Flektor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis
28
d. Fleksi radial
e. Fleksi ulna.
Hingga 20o
30-50o
brevis, ekstensor karpiulnaris.Ekstensor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis brevis, flektor karpiulnaris.Ekstensor karpiulnaris, flektor karpiulnaris.
6. Tangan dan jari-jari (condyloid and hinge joint)a. Fleksi
b. Ekstensi
c. Hiperesktensi
d. Abduksie. Adduksi.
90o
90o
30-50o
25o
25o
Interosius dorsalis manus, fleksor difitorum superfisialis.Ekstensor indici, ekstensor digiti minimi.Ekstensor indici, ekstensor digiti minimi.Interosius dorsalis manus.Interosius Palmaris.
7. Ibu jari (sadle joint)a. Fleksi
b. Ekstensi
c. Abduksi
d. Adduksi
e. Oposisi.
90o
90o
30o
30o
Bersentuhan.
Fleksor polisis brevis, oponen polisis.Ekstensor polisis brevis, ekstensor polisis longus.Abductor polisis brevis, abductor polisis longus. Adductor polisis travensus, adductor polisis obliges.
8. Pinggul (ball and socket joint).a. Fleksi
b. Ekstensi
c. Hiperekstensi
d. Abduksi
e. Adduksi
f. Sirkumduksi
90-120o
90-120o
30-50o
40-50o
20-30o past middle360o
Psoas mayor, iliakus, iliopsoas.Gluteus maksimus, adductor magnus, semi tendinosus, semi membranosus.Gluteus maksimus, adductor magnus, semi tendinosus, semi membranosus.Gluteus medius, gluteus minimus.Adductor magnus, adductor brevis, adductor longus.Psoas mayor, gluteus maksimus, gluteus medius,
29
g. Rotasi lateral
h. Rotasi eksternal.
90o
90o
adductor magnus.Gluteus minimus, gluteus medius, tensor fascialata.Obquadratus internus, quadrates femoris.
9. Lutut (hinge joint)a. Fleksi
b. Ekstensi
120-130o
120-130o
Biseps femoris, semi tendinosus, semi membranosus.Rektus femoris, vastus lateraris, vastus medialis, vastus intermedius.
10. Ankle / mata kaki (hinge joint)a. Plantar fleksib. Dorso fleksi.
45-50o
20oGastroknemius, soleus.Peroneus, tertius, tibialis anterior.
11. Kakia. Eversi
b. Inverse.
5o
5o
Peroneus longus, pareneus brevis.Tibialis posterior, tibialis interior.
12. Jari kakia. Fleksi
b. Ekstensi
c. Abduksid. Adduksi.
35-60o
35-60o
Hingga 15o
Hingga 15o
Fleksor hallusis brebis, lumbrikalis pedis, fleksor digitorum brevis.Ekstensor digitorum longus, ekstensor digitorum brevis, ekstensor hallusis longus.Interoseus dorsalis pedis.Abductor hallius, interoseus plantaris.
C. Penatalaksanaan Mobilisasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur
Mobilisasi atau latihan rentang gerak dimulai sesegera mungkin
karena deformitaskontraktur terjadi cepat. Latihan rentang gerak meliputi
latihan pinggul dan lutut untuk amputasi bawah lutut dan latihan pinggul
untuk amputasi atas lutut. Pegangan di atas tempat tidur dapat digunakan
pasien untuk mengubah posisi dan menguatkan bisep. Trisep yang sangat
30
diperlukan untuk berjalan dengan tongkat, dapat diperkuat dengan cara
menekan telapak tangan pada tempat tidur semantara mendorong tubuh ke
atas (push up). Latihan seperti hiperekstensi sisa tungkai, yang dijalankan
dibawah pengawasan di bawah pengawasan fisioterapis, juga membantu
memperkuat otot selain meningkatkan perederan darah, mengurangi
edema, dan mencegah atropi. Kekuatan dan ketahanan dikaji dan aktivitas
ditingkatkan secara bertahap untuk mencegah keletihan. Ketika pasien
mengalami kemajuan sehingga ia mampu mandiri menggunakan kursi
roda, ambulasi dengan bantuan, harus ditekankan pada keanjuran
keamanan (Smeltzer & Bare, 2002).
Ambulasi dini merupakan bagian dari mobilisasi dalam asuhan
keperawatan pasca operasi faktur ekstremitas bawah. Ambulasi dianjurkan
pada 48 jam pasca operasi fraktur sesuai dengan kondisi dan kemampuan
pasien (Yanti, 2010).
Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus
berdiri tepat di depannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak perawat
dan perawat meletakkan tangannya dibawah ketiak pasien. Pasien
dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bilah
telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan.
Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan dukungan dan
dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak membuat pasien merasa letih,
lamanya mobilisasi beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan
kondisi fisik serta usia pasien (Smeltzer & Bare, 2002).
31
D. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus yang perlu diperhatikan pada pasien fraktur
dengan menitikberatkan pada pengelolaan mobilisasi dini merujuk
pada Alimul Hidayat (2006) dan Muttaqin (2008) sebagai berikut:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah
tulang kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah
berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka
kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada
fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan
menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan
trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama
fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke
dukun patah tulang sebelumnya sering mengalami mal-union.
Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur
patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami
osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat
penyembuhan tulang.
32
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang
cruris adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas / Istirahat
Perlu pengkajian pada tingkat aktifitas atau mobilitas
fisik untuk menetapkan sejauhmana klien mampu melakukan
pergerakan fisik. Keterbatasan / kehilangan pada fungsi di
bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau
terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
umumnya berdampak pada kemampuan mobilisasi klien.
Untuk menetapkan kemampuan mobilisasi klien
menggunakan indicator sebagaimana terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2
Tingkat aktivitas / mobilitas
Tingkat Aktivitas
Kategori
0 Mandiri penuh 1 Memerlukan alat bantu 2 Memerlukan bantuan dari orang lain untuk
bantuan pengawasan dan pengajaran. 3 Membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat
bantu 4 Ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam
aktivitas.
33
2) Sirkulasi
Perlu dikaji terkait dengan perubahan sirkulasi yang ada
hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi sebagai dasar
untuk melakukan mobilisasi dini pada klien antara lain:
a) Ada tidaknya tanda-tanda hipertensi (kadang – kadang
terlihat sebagai respon nyeri atau ansietas) atau hipotensi
(kehilangan darah).
b) Ada tidaknya takikardia (respon stresss, hipovolemi)
c) Munculnya penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal
yang cedera, pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian
yang terkena.
d) Ada tidaknya pembengkakan jaringan atau masa hematoma
pada sisi cedera.
3) Neurosensori
Perlu dikaji terkait dengan perubahan neurosensori yang
ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi sebagai
panduan untuk melakukan mobilisasi dini antara lain:
a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot.
b) Kebas / kesemutan (parestesia).
c) Deformitas local : angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan /
hilang fungsi.
d) Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain).
34
4) Nyeri / kenyamanan
Perlu dikaji terkait dengan nyeri / kenyamanan yang ada
hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi sebagai bahan
untuk melakukan mobilisasi dini antara lain:
a) Munculnya nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang pada
imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf.
b) Ada tidaknya spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
Perlu dikaji terkait dengan aspek keamanan yang ada
hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi untuk melakukan
mobilisasi dini antara lain:
a) Ada tidaknya laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan,
perubahan warna
b) Ada tidaknya pembengkakan local (dapat meningkat secara
bertahap atau tiba- tiba).
e. Pola hubungan dan peran
Perlu dikaji terkait dengan pola hubungan dan peran yang
mungkin berubah akibat adanya fraktur dan imobilisasi sebagai
sarana merencanakan mobilisasi dini pada klien. Klien dapat
mengalami kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap akibat fraktur
yang dideritanya.
35
f. Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji terkait dengan perubahan pola persepsi dan
konsep diri yang ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi
agar dapat direncanakan dengan baik tentang mobilisasi dini pada
klien. Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul
ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa
cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara
normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
g. Pola sensori dan kognitif
Perlu dikaji terkait dengan pola sensori dan kognitif yang
ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi untuk dasar
melakukan mobilisasi dini. Daya raba pasien fraktur berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan
kognitif tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul nyeri
akibat fraktur.
h. Pola nilai dan keyakinan
Perlu dikaji terkait dengan pola nilai dan keyakinan yang
ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi antara sebagai
bahan untuk merencanakan tindakan mobilisasi dini. Klien fraktur
tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan
keterbatasan gerak yang di alami klien.
36
2. Diagnosis Keperawatan
Terdapat beberapa diagnosis keperawatan pada klien dengan
masalah pada system musculoskeletal: fraktur. Menurut Muttaqin
(2008) diagnosis keperawatan pada klien fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cecera neuromuscular, trauma jaringan, reflek
spasme otot sekunder.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak
nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas,
dan penurunan kekuatan / tahanan.
c. Resiko tinggi trauma yang berhubungan hambatan mobilitas fisik,
pemaksaan fiksasi eksternal pemasangan gips spalk dengan bebat
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port de entrée
luka operasi atau luka terbukai di tungkai bawah.
e. Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemaha
neuromuscular dan penurunan kekuatan tungkai bawah. Pada
pasien fraktur juga dapat menimbulkan masalah atau diagnosa
ansietas yang berhungan kritis situasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, perubahan, fungsi peran.
Namun demikian dalam laporan kasus ini difokuskan pada
diagnosis keperawatan gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
37
nyeri / ketidak nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi
pembatasan aktifitas, dan penurunan kekuatan / tahanan.
3. Focus Intervensi
Fokus intervensi keperawatan gangguan mobilisasi fisik
merujuk pada Muttaqin (2008) dan Doenges, Moorhouse, dan Geissler
(2000) menyangkut tujuan, kriteria hasil, dan intervensi keperawatan.
Tujuan dari tindakan keperawatan terhadap diagnosis
gangguan mobilisasi fisik adalah klien akan menunjukkan tingkat
meobilisasi yang optimal dengan menunjukkan criteria hasil klien
mampu melakukan pergerakan dan perpindahan, mempertahankan
mobilitas optimal yang dapat ditoleransi (Doenges ,2000), (Muttaqin,
2008., Doenges, et al, 2000).
Terdapat berbagai intervensi untuk menyelesaikan masalah
gangguan mobilisasi terutama yang terjadi pada klien dengan fraktur
pada ekstremitas bawah. Menurut Muttaqin (2008), (Muttaqin, 2008.,
Doenges, et al, 2000) intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pengkajian tingkat mobilitas yang ada dan mengobservasi
tingkat kerusakan, serta mengkaji secara teratur fungsi motorik yang
bisa dilakukan pasien. Hal ini dilakukan agar perawat mengetahui
tingkat kemampuan klien dalam kemandirian terutama dalam
melakukan aktivitas atau mobilisasi (Doenges, 2000), (Muttaqin,
2008., Doenges, et al, 2000).
38
Intervensi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
mobilisasi pada klien dengan fraktur adalah mengidentifikasi tingkat
motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. Hal ini penting karena
dengan mengetahui tingkat motivasi akan diketahui pula sejauhmana
kemauan klien berpartisipasi dalam kegiatan yang menunjang
mobilisasi fisik (Doenges, 2000) (Muttaqin, 2008., Doenges, et al,
2000). Menurut Green (1991), motivasi merupakan factor penting
dalam perilaku seseorang.
Intervensi selanjutnya untuk mengatasi gangguan mobilisasi
pada klien faktur adalah membantu latihan rentang gerak pasif -
aktif (ROM) pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai
keadaan klien. Hal ini penting karena latihan rentang sendi akan
memicu terjadinya peningkatan sirkulasi darah muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan. Selain itu juga penting
dilakukan pada klien berupa latihan isometric yang dimulai dari
tungkai / ekstremitas yang sakit atau mengalami fraktur. Kontraksi
isometric tanpa menekuk sendi atau menggunakan tungkai dapat
membantu mempertahankan kekuatan dan masa otot. Dengan catatan
bahwa klien mengalami perdarahan akut (Hidayat, 2006) (Muttaqin,
2008., Doenges, et al, 2000).
39
Selain intervensi di atas, klien perlu juga dilakukan
pengubahan posisi secara periodik sesuai keadaan pasien dengan cara
mempertahankan postur dan posisi tubuh yang benar. Hal ini penting
sebagai upaya untuk menurunkan insiden komplikasi kulit dan
pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) (Doenges, 2000)
(Muttaqin, 2008., Doenges, et al, 2000).
Mengajarkan pada klien tentang ambulasi dini juga penting
dilakukan dalam rangka mengatasi masalah mobilisasi pada klien
dengan fraktur. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melatih posisi
duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berdiri di samping
tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan seterusnya secara beangsur-
angsur. Kegiatan ini dilakukan disamping sebagai sarana proses belajar
mengajar atau transfer pengetahuan dan kemampuan kepada klien,
juga dalam rangka untuk meningkatkan kekuatan dan ketahan otot
(Doenges, 2000) (Muttaqin, 2008., Doenges, et al, 2000).
Sebagai dasar untuk mengetahui apakah tindakan mobilisasi
telah dilakuakn secara optimal dan memberikan dampak yang baik
pada klien, maka jika memungkinkan perlu juga dilakukan kegiatan
olaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi. Hal ini dilakukan
sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan atau meningkatkan mobilitas pasien (Doenges, 2000)
(Muttaqin, 2008., Doenges, et al, 2000).
40
4. Implementasi
Tahap implementasi merupakan aktualisasi dari rencana-rencana
tindakan yang disusun pada tahap perencanaan. Karena tujuan
akhirnya adalah pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal,
maka implementasi diarahkan pada kegiatan untuk mempertahankan
kondisi fisik klien agar tetap mampu melakukan mobilisasi secara dini
tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti
bertambahnya rasa tidak nyaman (nyeri).
Dalam melaksanakan implementasi perlu diperhatikan kemampuan
beraktifitas klien termasuk dalam melakukan gerakan Range of Motion
(ROM). Keluarga dapat diikutsertakan dalam implementasi terutama
dalam mendukung aspek psikososial klien.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf
keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan
kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan
ditetapkan.
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi
fraktur dengan masalah mobilisasi menurut Muttaqin (2008) dan
Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2000) adalah :
a. Pasien mampu melakukan mobilisasi dini secara mandiri.
b. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
c. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
41
d. Pasien mampu melakukan latihan rentang gerak secara mandiri.
e. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
f. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
g. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur
dan proses pengobatan.