bab ii eksistensi perppu dalam konstitusi di indonesia...
TRANSCRIPT
22
BAB II
EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA
A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, “Stufentheorie”,
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata
susunan).29
Teori tersebut juga tercermin dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tertuang pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011).
Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan
hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-
wenangan oleh penguasa terhadap warga negara.30
UU 12/2011
merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebagai penyempurnaan
terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru
yang ditambahkan dalam UU 12/2011, antara lain: penambahan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
29
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 57. 30
Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal 50.
23
peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan pada
posisi kedua setelah UUD 1945.31
Secara umum Undang-Undang tersebut memuat materi-materi
pokok yang disusun secara sistematis, yaitu: asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, jenis, hierarki, dan materi muatan
peraturan perundang-undangan, perencanaan peraturan perundang-
undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan, teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan
pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/ Kota, dan pengundangan peraturan perundang-
undangan, penyebarluasan, partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ketentuan lain-lain
yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan
lembaga negara serta pemerintah lainnya.32
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang
pada dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan
31
Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Lex Jurnalica, Volume 11 Nomor 1, April 2014, hal 13. 32
Ibid.
24
sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak
diatur dengan Undang-Undang tersebut, seperti pembahasan
Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden,
atau pembahasan pancangan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.33
Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya
yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dimaksudkan
untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih
jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan
peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-
undangan di daerah.34
Berikut ini adalah hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia menurut UU 12/2011, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
33
Ibid. 34
Ibid.
25
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.35
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut
kedudukan Perppu disejajarkan dengan Undang-Undang dan
posisinya di bawah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP MPR). Kembalinya TAP MPR dalam Undang-Undang
tersebut menjadi tanda tanya besar, bahwa TAP MPR harus
difungsikan tetapi hanya sebatas peraturan yang sudah ada dan
tidak bisa melakukan keputusan sendiri agar ada fungsi
kinerjanya. Semua perubahan tersebut menandakan adanya
peningkatan kinerja peraturan perundang-undangan secara
demokratis dan signifikan yang semula lebih bersifat konservatif
berubah dengan pelan tapi pasti menjadi hierarki yang lebih
demokratis dan sesuai dengan kewenangan yang ada.
Dalam sejarah sistem ketatanegaraan, sejak tahun 1966
sampai dengan tahun 2011, Indonesia telah mengalami perubahan
mengenai dasar pembentukan dan hierarki peraturan
perundangan-undangan dari masa ke masa. Perubahan hierarki
tersebut termasuk posisi Perppu dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan.
35
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
26
Untuk mempermudah mengetahui dasar perubahan tata
urutan peraturan perundang-undangan, di bawah ini diberikan
tabel hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Tabel 2.1
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Masa Hierarki
Masa di bawah
UUD 1945
(Sebelum
Perubahan) Periode
17 Agustus 1945-
27 Desember 1949
1. UUD 1945;
2. Undang-Undang/ PERPPU;
3. Peraturan Pemerintah; dan
4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan
terdapat juga banyak produk hukum yang diberlakukan
yakni :
1. Penetapan Presiden;
2. Peraturan Presiden;
3. Penetapan Pemerintah;
4. Maklumat Pemerintah;
5. Maklumat Presiden;
6. Pengumuman Pemerintah.
Masa di bawah
Konstitusi
Republik Indonesia
Serikat (RIS)
Tahun 1950
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS tidak terdapat
ketentuan yang mengatur mengenai hierarki Peraturan
Perundang-undangan. Mengenai penentuan jenis
Peraturan yang mana yang lebih tinggi tingkatannya
lebih didasarkan pada praktek ketatanegaraan yang
berlaku sebelumnya (pada waktu berlakunya UUD
1945). Jenis Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku pada masa di bawah Konstitusi RIS adalah
sebagai berikut :
1. Konstitusi RIS;
2. Undang-Undang (berdasarkan Pasal 127)/UU
Darurat (berdasarkan Pasal 139);
3. Peraturan Pemerintah (berdasarkan Pasal 141).
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pada
waktu itu RI Yogja yang merupakan Pemerintah Pusat
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950
Peraturan tentang Jenis Dan Bentuk Peraturan Yang
27
Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1950 menentukan Jenis
Peraturan-peratuan Pemerintah Pusat ialah :
a. Undang-Undang dan PERPPU;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Menteri.
Masa di bawah
Undang-Undang
Dasar Sementara
Tahun 1950
1. UUDS 1950;
2. Undang-Undang/UU Darurat; dan
3. Peraturan Pemerintah.
Selain ketiga jenis Peraturan Perundang-undangan
tersebut dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan
Negara masih terdapat beberapa produk hukum yang
berlaku yakni:
1. Peraturan Menteri;
2. Keputusan Menteri; dan
3. Peraturan Tingkat Daerah.
Masa di bawah
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Setelah Dekrit
Presiden Tanggal 5
Juli 1959
Dengan dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945
maka jenis Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku seperti pada awal berlakunya UUD 1945 yakni
:
1. UUD 1945;
2. Undang-Undang/ PERPPU;
3. Peraturan Pemerintah; dan
4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda
yang berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945.
Namun kemudian berdasarkan Surat Presiden kepada
Ketua DPR-GR tanggal 20 Agustus 1959 Nomor
2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara,
mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku ditentukan sebagai berikut:
1. Undang-Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. PERPPU.
Masa TAP MPRS
No. XX/1966
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3.Undang-Undang/PERPPU;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
28
- Peraturan Menteri;
- Instruksi Menteri;
- Dan lain-lainnya.
TAP MPR No.
III/2000
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang;
4. PERPPU;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
UU No. 10/2004 1. UUD 1945;
2. Undang-Undang/PERPPU;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah, yang meliputi:
- Perda Provinsi;
- Perda Kabupaten/Kota;
- Peraturan Desa.
UU No. 12/2011 1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/PERPPU
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Sumber: diolah penulis
B. PERPPU Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia
Bentuk peraturan yang dikenal dalam Undang-Undang Dasar
1945 selain Undang-undang, ialah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang atau PERPPU. Dasar hukum bentuk peraturan
perundang-undangan ini ialah ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yang
menyatakan:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang.
29
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang
berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut.36
Di dalam konstitusi sebelum Amandemen antara 17 Agustus
1945 sampai 1950 terdapat beberapa jenis peraturan perundangan
meliputi Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1)),
Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2), dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Pasal 22).37
Hal ini memperlihatkan jika
Presiden selaku pemerintah dapat membuat Perppu dalam keadaan
kegentingan yang memaksa dan Perppu sudah diakaui sejak
konstitusi masa Republik Indonesia pertama.
Lain halnya dalam konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950
dikenal bentuk peraturan perundangan semacam Perppu ialah
Undang-undang Darurat. Ketentuan mengenai Undang-undang
Darurat terdapat dalam Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS
1950:
Pasal 139 Konstitusi RIS
(1) Pemerintah atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan
Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan
36
Pasal 22 UUD 1945. 37
C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata
Negara Dan Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Perkembangan Kemerdekaan
1945, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 37.
30
pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak
perlu diatur dengan segera.
(2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa
Undang-undang Federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang
ditetapkan dalam pasal berikut.38
Pasal 96 UUDS 1950
(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri
menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal
penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan
mendesak perlu diatur dengan segera.
(2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan derajat
Undang-undang; Ketentuan ini tidak mengurangi yang
ditetapkan dalam pasal berikut.39
Jika dikomparasikan antara Perppu yang diatur dalam UUD
Tahun 1945 dengan Undang-undang Darurat dalam konstitusi RIS
dan UUDS 1950 ada perbedaan.40
Pertama, kewenangan atau otoritas
dalam pembuatan Perppu dalam UUD Tahun 1945 merupakan
wewenang Presiden. Sedangkan untuk membuat Undang-Undang
Darurat menurut konstitusi RIS dan UUDS 1950 merupakan
wewenang pemerintah. Kedua, terlihat dari dasar legitimasi
diterbitkan Perppu menurut UUD Tahun 1945 adalah “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa”. Sedangkan dalam konstitusi RIS dan
UUDS 1950 dasar legitimasi dikeluarkan Undang-undang Darurat
adalah “karena alasan keadaan yang mendesak”.
38
Lihat Pasal 139 Konstitusi RIS. 39
Lihat Pasal 96 UUDS 1950. 40
Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-
undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2002, hal 86.
31
Mengenai persamaan antara Perppu dengan Undang-undang
Darurat antara lain: keduanya mempunyai fungsi sama sebagai
peraturan perundangan yang diterbitkan eksekutif dalam keadaan
tidak normal (crisis) untuk mengatasi keadaan darurat (emergency).
Persamaan selanjutnya Perppu maupun Undang-undang Darurat
mempunyai kekuataan hukum atau derajat yang setara dengan
Undang-undang.41
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka memang terdapat
perbedaan dan persamaan Perppu di masa Republik Indonesia
pertama UUD Tahun 1945 dengan Konstitusi RIS atau UUDS 1950.
Keduanya merupakan peraturan perundangan dikeluarkan oleh
eksekutif dalam keadaan tidak normal, dan mempunyai kekuatan
hukum atau derajat sama dengan Undang-undang. Namun
perbedaannya terletak pada kewenangan atau otoritas pembuatan
peraturan perundangan dan dasar legitimasi diterbitkannya peraturan
perundangan.
Secara normatif Perppu merupakan bagian dari peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Perubahan posisi Perppu dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia disebabkan
oleh karena dinamika politik pada masa tersebut. Dalam UU 12/2011,
41
Ibid, hal 87.
32
posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang dan berada di bawah
TAP MPR. Jika dilihat keberadaan Perppu dalam TAP MPR Nomor
III/MPR/2000, Perppu menempati posisinya di bawah Undang-
Undang. Akan tetapi bila dilihat posisi Perppu dalam TAP MPRS
Nomor XX/MPRS/1966, UU 10/2004 dan UU 12/2011, kedudukan
atau posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang. Adapun salah
satu pertimbangan disejajarkannya antara Undang-Undang dengan
Perppu adalah karena materi muatan Perppu sama dengan materi
muatan Undang-Undang.42
Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang
diterapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU
12/2011. Untuk mewujudkan mekanisme checks and balance antara
Presiden dan DPR, terdapat kriteria normatif yang harus dipenuhi
dalam penetapan Perppu sebagaimana pasal 22 ayat (2) UUD Tahun
1945. Perppu harus mendapat persetujuan DPR di persidangan
berikutnya, jika DPR tidak menyetujui maka Perppu haruslah
dicabut.43
42
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. 43
Lihat Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
33
Keberadaan Perppu sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena mengingat
dalam keadaan tidak normal, Presiden haruslah bertindak cepat dan
sigap untuk mengatasi keadaan tersebut—kemudian dalam keadaan
kembali normal Presiden harus membicarakan bersama dengan DPR
dengan kemungkinan disetujui menjadi Undang-undang ataupun
sebaliknya dilakukan pencabutan.
C. Kekuasaan Legislasi Presiden
Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa
pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya
kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari
perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi
lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD
1945).
Pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang itu dapat
dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945
dari Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR. Perubahan Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945, memiliki dasar pemikiran yang kuat, secara logis
34
memang harus demikian adanya guna menghindari implikasi yuridis
berupa duplikasi kekuasaan kelembagaan negara. Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 memang harus dirumuskan bahwa Presiden bukan sebagai
pemegang kekuasaan, sebab Presiden sebagai lembaga yang
menjalankan undang- undang, karena itu Presiden dari perspektif
kekuasaan tepat diberikan “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR”.
Kemudian, perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan
mengamandemen Pasal 20 UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus
dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20
ayat (2) UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang
sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga
dalam pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan
untuk mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu
untuk mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4)
UUD 1945).
Menurut Jimly Asshiddiqie, tindakan pengesahan Presiden
sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 20 ayat (4) UUD 1945
tersebut hanyalah bersifat administratif belaka, karena secara materiil
rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama
35
antara DPR dan Presiden yang diputuskan dalam rapat Paripurna
DPR-RI adalah tindakan pengesahan yang bersifat materiil,
sedangkan pengesahan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh
pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut adalah pengesahan yang bersifat
formil.44
Apalagi dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ayat (5) yang
menentukan jika dalam waktu 30 hari sejak mendapat persetujuan
dari Presiden, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi
undang-undang. Sehingga bisa dipastikan rancangan undang-undang
yang telah mendapat persetujuan bersama pasti akan menjadi undang-
undang.45
Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah
berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan
kekuasaan dalam menetapkan Perppu yang derajatnya sama dengan
undang-undang. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Selain itu Menurut Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-
undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
44
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,
hal.297. 45
Ibid.
36
Menurut pendapat Monstesquieu yang dikutip oleh Sumali46
,
prinsipnya kekuasaan legislatif yang diharapkan sebagai satu-satunya
badan yang membuat peraturan perundang-undangan (wet
materielezin). Namun dalam praktiknya terbatas pada Undang-
undang (wet formele zin) saja, untuk peraturan perundang-undangan
di luar Undang-undang dan UUD cenderung melekat pada kekuasaan
eksekutif. Kewenangan eksekutif untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan di luar Undang-Undang dan UUD masih dalam
koridor yang ditentukan dalam Undang-Undang dan UUD.
Presiden merupakan produsen hukum terbesar, karena
Presiden paling mengetahui banyak dan memiliki akses terluas,
terbesar memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses
pembuatan hukum. Presiden paling mengerti mengapa, untuk siapa,
berapa, kapan, dimana, dan bagaimana peraturan tersebut dibuat.
Presiden mempunyai keahlian serta tenaga ahli paling banyak
memungkinkan proses pembuatan peraturan.47
Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa:
“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya”. Pasal tersebut memberikan
46
Sumali, Op.cit, hal 71. 47
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, PT
Alumni, Bandung, 2010, hal 88.
37
penjelasan bahwa, selain selaku kepala eksekutif Presiden
mempunyai kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan,
Presiden mempunyai hak dalam peraturan perundang-undangan
membentuk peraturan pelaksana undang-undang yang diperlukan
untuk memperlancar kelangsungan pemerintahan negara.
Presiden mempunyai kekuasaan di bidang peraturan
perundang-undangan yang bervariasi, yaitu kekuasaan legislatif
artinya Presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR,
kekuasaan reglementer artinya membentuk peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang atau menjalankan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, dan terakhir kekuasaan
eksekutif yang didalamnya mengandung kekuasaan pengaturan
dengan keputusan Presiden.48
Praktiknya kekuasaan pemerintahan
negara yang dipegang oleh kepala negara atau kepala pemerintahan
ditambahkan adanya kekuasaan untuk mengatur—karena delegasi
kewenangan mengalir dari kewenangan lembaga legislatif
berdasarkan Undang-Undang maupun secara langsung oleh Undang-
Undang Dasar. Fungsi pengaturan terlihat dalam pembentukan
undang-undang dengan persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat
(1) UUD Tahun 1945, pembentukan Peraturan Pemerintah
48
Sumali, Op.cit, hal 73.
38
berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang merupakan
peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh
UUD Tahun 1945.49
Tabel 2.2
Kekuasaan Legislasi Presiden Berdasarkan UUD Tahun 1945 jo
UU No 12 Tahun 2011
Kekuasaan
Legislasi Presiden
UUD Tahun 1945 UU No 12 Tahun 2011
Berhak mengajukan
Rancangan Undang-
Undang (RUU)
kepada DPR
Pasal 5 ayat (1):
Presiden berhak
mengajukan
Rancangan Undang-
Undang (RUU) kepada
DPR.
Pasal 43 ayat (1):
Rancangan Undang-Undang
dapat berasal dari DPR atau
Presiden.
Pasal 47 ayat (1):
Rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh Presiden
disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga
pemerintah non-
kementerian sesuai dengan
lingkup tugas dan tanggung
jawabnya.
Pasal 50 ayat (1):
Rancangan Undang-Undang
dari Presiden diajukan
dengan surat Presiden
kepada pimpinan DPR.
Pasal 50 ayat (3): DPR
mulai membahas
Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud
49
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 117.
39
pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung
sejak surat Presiden
diterima.
Ikut serta membahas
rancangan undang-
undang dengan DPR
untuk mendapat
persetujuan bersama.
Pasal 20 ayat (2):
Setiap rancangan
undang-undang
dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk
mendapat persetujuan
bersama.
Pasal 20 ayat (3): Jika
rancangan undang-
undang itu tidak
mendapat persetujuan
bersama, rancangan
undang-undang itu
tidak
boleh diajukan lagi
dalam persidangan
Dewan
Perwakilan Rakyat
masa itu.
Pasal 65 ayat (1):
Pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilakukan
oleh DPR bersama Presiden
atau menteri yang
ditugasi.
Pasal 69 ayat (3): Dalam hal
Rancangan Undang-Undang
tidak mendapat persetujuan
bersama antara DPR dan
Presiden,
Rancangan Undang-Undang
tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu.
Mengesahkan
Undang-Undang
Pasal 20 ayat (4):
Presiden mengesahkan
rancangan undang-
undang yang telah
disetujui bersama
untuk menjadi undang-
undang.
Pasal 20 ayat (5):
Dalam hal rancangan
undang-undang yang
telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam
waktu tiga puluh hari
Pasal 72 ayat (1):
Rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan
menjadi Undang-Undang.
Pasal 73 ayat (1):
Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 disahkan
oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan
40
semenjak rancangan
undang-undang
tersebut disetujui,
rancangan undang-
undang tersebut sah
menjadi undang-
undang dan wajib
diundangkan.
dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak Rancangan
Undang-Undang tersebut
disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden.
Pasal 73 ayat (2): Dalam hal
Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh
Presiden dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui bersama,
Rancangan Undang-Undang
tersebut sah menjadi
Undang-Undang dan wajib
diundangkan.
Menetapkan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-
Undang (Perppu)
Pasal 22 ayat (1):
Dalam hal ikhwal
kegentingan yang
memaksa, Presiden
berhak menetapkan
peraturan pemerintah
sebagai pengganti
undang-undang.
Pasal 22 ayat (2):
Peraturan pemerintah
itu harus mendapat
persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat
dalam persidangan
yang berikut.
Pasal 22 ayat (3): Jika
tidak mendapat
persetujuan, maka
peraturan pemerintah
Pasal 1 angka 4: Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-
undangan yang
ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa.
Pasal 11: Materi muatan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang
sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Pasal 52 ayat (1): Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang harus
diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.
41
itu harus dicabut. Pasal 52 ayat (3): DPR
hanya memberikan
persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan
terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
Pasal 52 ayat (4): Dalam hal
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang
mendapat persetujuan DPR
dalam rapat paripurna,
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang
tersebut ditetapkan menjadi
Undang-Undang.
Pasal 52 ayat (5): Dalam hal
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang
tidak mendapat persetujuan
DPR dalam rapat paripurna,
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
tersebut harus dicabut dan
harus dinyatakan tidak
berlaku.
Menetapkan
Peraturan
Pemerintah
Pasal 5 ayat (2):
Presiden menetapkan
peraturan pemerintah
untuk menjalankan
undang-undang
sebagaimana mestinya.
Pasal 1 angka 5: Peraturan
Pemerintah adalah
Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk
menjalankan Undang-
Undang sebagaimana
mestinya.
Pasal 12: Materi muatan
Peraturan Pemerintah berisi
materi untuk menjalankan
Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
42
Pasal 24: Perencanaan
penyusunan Peraturan
Pemerintah dilakukan
dalam suatu program
penyusunan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 27: Rancangan
Peraturan Pemerintah
berasal dari kementerian
dan/atau lembaga
pemerintah non-
kementerian sesuai dengan
bidang tugasnya.
Menetapkan
Peraturan Presiden
Pasal 4 ayat (1):
Presiden Republik
Indonesia memegang
kekuasaan
pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
Pasal 1 angka 6: Peraturan
Presiden adalah Peraturan
Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan perintah
Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi
atau dalam
menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan.
Pasal 13: Materi muatan
Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan
oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah, atau
materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.
Pasal 30: Perencanaan
penyusunan Peraturan
Presiden dilakukan dalam
suatu program penyusunan
Peraturan Presiden. Sumber: UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2012, diolah penulis
43
Berdasarkan tabel sebelumnya, maka Presiden Republik
Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, memiliki kewenangan untuk mengajukan Rancangan
Undang-Undang (RUU), mengesahkan Rancangan Undang-Undang
(RUU) menjadi Undang-Undang (UU), ikut serta membahas
Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan DPR untuk mendapat
persetujuan bersama, menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Presiden.
Kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) didasarkan atas
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan:
“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang”. Menurut pendapat Bagir Manan, kewenangan Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu) adalah kewenangan luar biasa di bidang perundang-
undangan—sedangkan kewenangan ikut membentuk Undang-
44
undang, menetapkan Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden
merupakan kewenangan biasa.50
D. Hakikat PERPPU Di Indonesia
1. Mekanisme Pembentukan PERPPU
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
adalah peraturan yang dibentuk Presiden dalam “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa”, proses pembentukannya berbeda
dengan pembentukan Undang-Undang—meskipun memiliki materi
muatan yang sama. Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu
sebagai suatu “noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat
hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa.51
Pasal 22 UUD Tahun 1945 memberikan penjelasan bahwa, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang mempunyai hierarki, fungsi
dan materi muatan sama dengan Undang-Undang, hanya saja dalam
pembentukannya berbeda dengan Undang-undang.
Dalam Pasal 53 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan: “Ketentuan mengenai
tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
50
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta, 2009, hal 101. 51
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Op.cit, hal 91.
45
Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden”. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka tata cara penyusunan perundangan diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menurut Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menyatakan bahwa:
Pasal 57
Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Pasal 58
(1) Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tersebut sebagai Pemrakarsa.
(2) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait.
Pasal 59
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
telah selesai disusun disampaikan oleh menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) kepada Presiden untuk ditetapkan.
Pasal 60
Pemrakarsa menyusun Rancangan Undang-Undang tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi
Undang-Undang setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ditetapkan oleh Presiden.
46
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2014 menjelaskan bahwa apabila dalam hal ikhwal
kegentingan memaksa, Presiden menugaskan penyusunan Rancangan
Perppu kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai
dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut sebagai
Pemrakarsa—berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga
terkait. Kemudian, rancangan Perppu yang telah selesai disusun
disampaikan oleh menteri kepada Presiden untuk ditetapkan. Setelah
mendapatkan penetapan dan diundangkan oleh Presiden, Perppu
dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi harus diajukan
ke DPR untuk dimintakan persetujuan.
Gambaran mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang dalam perundang-undangan, dapat
ditemukan dalam Pasal 52 UU No 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 52
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus diajukan
ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
pengajuan Rancangan Undang-undang tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi
Undang-undang.
47
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
udang.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut ditetapkan
menjadi Undang-undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tidak
mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus dicabut dan
harus dinyatakan tidak berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus
dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan
Rancangan Undang-undang tentang pecabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang.
(7) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
(8) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-undang tentang
pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (5).
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka mekanisme
pembentukan Perppu berjalan lebih singkat dibandingkan dengan
pembentukan UU, mengingat pembentukanya dalam keadaan tidak
normal dan ditetapkan oleh Presiden tanpa terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat karena
adanya “hal ikhwal kegentingan memaksa”.
48
2. Materi Muatan PERPPU
Secara umum materi yang dapat diatur dengan instrumen
Perppu pada prinsipnya adalah sama dengan materi dalam Undang-
Undang (vide Pasal 11 UU No 12 tahun 2011). Keduanya merupakan
jenis peraturan perundangan memiliki kekuatan dan derajat setara
(vide Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011). Jika dilihat dari
prosedur atau mekanisme pembuatannya berbeda satu sama lainnya.
Undang-undang pembuatannya dilakukan secara bersama-sama
antara Presiden dengan DPR. Sedangkan Perppu pada akhirnya
melibatkan peran DPR, namun merupakan hak prerogatif Presiden.
Sebagai peraturan darurat, materi muatan Peraturan
pemerintah pengganti undang-undang mengandung pembatasan-
pembatasan. Tanpa pembatasan tersebut berpotensi menjadi sumber
ketidakteraturan dan penyimpangan dalam penyelenggaraan negara.
Menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi
negara).52
Menurutnya tidak boleh Perppu dikeluarkan bersifat
ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara,
kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak dasar rakyat.
52
Sumali, Op.cit, hal 93.
49
Sedangkan menurut pendapat Yuzril Ihza Mahendra53
pembatasan materi muatan Perppu oleh UUD Tahun 1945 dapat
disimpulkan secara jelas pada penetapan APBN—meskipun dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa, UUD Tahun 1945 tidak
memberi peluang bagi Presiden untuk menetapkan APBN secara
sepihak melalui Perppu. Walaupun UUD Tahun 1945 menganut
prinsip kesetaraan antara DPR dan Presiden, namun penetapan APBN
dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengatakan bahwa kedudukan
DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintahan.
Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang
bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan
yang perlu diperhatikan, yakni :54
a) memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis
(rechtmatige);
b) tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki
peraturan perundang-undangan;
c) tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat;
d) diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya
mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.
Selain itu, hal yang berkaitan dengan asas peraturan
perundang-undangan tentang materi muatan pembentukan peraturan
perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) jo
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011:
53
Ibid. 54
Sjachran Basah, Op.cit, hal 4.
50
a. Asas pengayoman ialah setiap materi muatan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Asas kemanusian ialah setiap materi muatan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara secara proporsional.
c. Asas kebangsaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic dengan menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Asas kekeluargaan ialah setiap materi muatan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
c. Asas kenusantaraan ialah setiap peraturan perundangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem
hukum.
d. Asas bhineka tunggal ika ialah setiap materi muatan peraturan
perundang harus memperhatikan keragaman penduduk.
e. Asas keadilan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan
harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap
warga negara.
51
f. Asas kesamaan ialah kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
ialah materi muatan peraturan perundangan tidak boleh berisi hal
yang bersifat membedakan latar belakang seperti agama, ras, suku,
golongan, gender, atau status sosial.
g. Asas ketertiban ialah setiap materi muatan peraturan perundangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
h. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan ialah setiap
materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud
sebelumnya, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas
lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan (vide Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011).
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain (vide
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011) :
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
52
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
3. Sifat PERPPU
Perppu ini memiliki sifat provisional (sementara) karena
jangka waktunya terbatas, maka secepat mungkin harus dimintakan
persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya (vide Pasal
52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan
“persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan (vide
Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Apabila Perppu
itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (vide Pasal 52
ayat (4) UU No 12 Tahun 2011). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak
disetujui oleh DPR, akan dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku
(vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12 Tahun 2011). Jadi waktu antara
diundangkannya suatu Perppu dengan pengajuan untuk persetujuan
ke DPR tidak terlalu lama—atau dengan kata lain sifat provisional
(sementara) Perppu itu karena waktunya begitu singkat.
Oleh sebab itu, Marida Farida Indrati Soeprapto berpendapat
bahwa Perppu kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan Undang-
Undang karena belum disetujui oleh DPR.55
Meskipun sebenarnya
55
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 96.
53
Undang-Undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-
undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja
keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-Undang
dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan
DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan
genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang
kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa
persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di
bawah Undang-Undang.
Saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan
Undang-Undang, saat itulah biasanya Perppu dipandang memiliki
kedudukan sejajar/setingkat dengan Undang-Undang. Hal ini
disebabkan karena Perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun
sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun
materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu
belum disetujui oleh DPR.
Sifat provisional (sementara) Perppu karena pembatasan
jangka waktu dan perlu persetujuan DPR mengandung makna:56
a. kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan luar biasa
kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan
untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan
mempergunakan Perppu sebagai sarana;
56
Malik, Op.cit, hal 583.
54
b. Materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU, karena itu
harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk
menjadi UU;
c. Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat
merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsip-
prinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip negara
berkonstitusi. Pengajuan Perppu secepat mungkin kepada DPR
berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal
yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas
hukum atau negara berkonstitusi.
4. Syarat “Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan
PERPPU
Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan
negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan
“martial law” atau “emergency legislation”.57
Jika dipandang dari
segi isinya peraturan tersebut merupakan “legislative act” atau
Undang-Undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan
untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen. Oleh karena
itu, kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara sepihak
tanpa didahului oleh persetujuan parlemen yaitu dalam bentuk
peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau
“emergency legislation”.
Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir
Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus
menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii)
57
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 281.
55
ada kemendesakan (emergency).58
Menurutnya suatu keadaan krisis
apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan
bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan
(emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak
diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera
tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada
tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar
apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi
masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.
Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa”, berpendapat:
“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang-
undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang
menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan
”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal-
ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu
tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian
”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara
subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak
karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-
undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang
sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak
(ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya
sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel
(wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung
58
Bagir Manan, Op.cit, hal 158-159.
56
di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi
peraturan pemerintah.”59
Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat materiil yaitu
keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi menjadi tiga
meliputi:60
a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau “reasonable
necessity”;
b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat
kegentingan waktu; dan
c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar
(beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan
dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan
satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.
Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu
“noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat hak Presiden
untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. Pasal 22 UUD
1945 memberikan kewenangan Presiden secara subjektif menilai
keadaan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, sehingga
pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk
menetapkan Perppu. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan
59
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal 210. 60
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 282.
57
istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan
yang sukar, penting, dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat
diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus
ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan yang setingkat dengan undang-undang.61
Oleh sebab itu
Perppu juga mengandung pembatasan.
Pertama, Perppu hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan
yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas
pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman,
tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak.
Kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden, maka
Presidenlah yang secara subjektif menentukan kegentingan yang
memaksa.62
Kedua, Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang
61
I Gde Pantja Astawa, dalam Malik, Perppu Pengawasan Hakim MK Versus
Putusan Final MK. Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hal 582. 62
Jika ditelaah, penggunaan istilah “keadaan bahaya” pada Pasal 12 UUD 1945 dan
istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” pada Pasal 22 UUD 1945 memiliki
perbedaan. Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan ditentukan syarat-syarat objektif untuk
pemberlakuan, pengawasan, dan pengakhiran suatu keadaan bahaya. Pelaksanaan ketentuan
Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam
rangka pemberlakuan keadaan bahaya itu. Namun Pasal 22 UUD 1945 tidak menentukan
adanya syarat-syarat objektif semacam itu, kecuali menyerahkan pelaksanaan sepenuhnya
kepada Presiden untuk menilai apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting dan
memaksa atau terdapat hal ikhwal kegentingan yang bersifat memaksa untuk ditetapkan
suatu Perppu. Dengan perkataan lain, Pasal 12 mengatur mengenai keadaan yang bersifat
objektif, sedangkan Pasal 22 mengatur mengenai tindakan pengaturan yang harus dilakukan
oleh Presiden atas dasar penilaian subjektifnya mengenai keadaan negara. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 208-209.
58
terbatas. Presiden paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya
harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperolah persetujuan.
Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang.
Kalau tidak disetujui, Perppu tersebut harus segera dicabut.63
63
Malik, Op.cit, hal 583.