bab ii enzim kolinesterase
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bila nervus vagus dirangsang maka di ujung saraf tersebut akan dilepaskkan suatu zat
aktif yaitu asetil kolin (Ach). Dalam ujung saraf kolinerik, Ach disimpan dalam gelembung
sinaps dan dilepaskan oleh NAP (Nerve Action Potensial). Asetilkholin sebagai transmitter harus
diinaktifkan dalam waktu yang cepat. Pada sambungan saraf otot, Ach dirusak srcara cepat
dalam waktu kurang dari 1 milidetik. Kolinesterase yang tersebat luas si berbagai jaringan dan
cairan tubuh, menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam asetat. Ada 2 macam kolinesterase
yaitu asetilkolinesterase (AchE) dan butiril kolinesterase (BughE). Asetilkolinesterase terutama
terdapat di tempat transmisi kolinergik pada membrane pra maupun post sinaps dan merupakan
kolinesterase sejati yang terutama memecah Ach. BuchE berfungsi memecah butiril kolin dan
banyak terdapat dalam plasma hati, disebut juga Pseudo Kolinesterase. BuchE berfungsi dalam
eliminasi suksiokolin suatu obat relaksan otot rangka dan fungsi fisiologi lainnya belum
diketahui. Sedangkan metakolin dihidrolisis oleh AchE.
Transmisi kolinergik praktis dihentikan oleh enzim Ach E sehingga penghambatan
terhadap enzim ini misalnya oleh senyawa organofosfat (sejenis insektisida) menyebabkan
aktivitas kolinerik yang berlebihan dan perangsasngan reseptor kolinerik secara terus menerus
yang diakibatkan oleh penumpukan Ach yang tidak dihidrolisis. Kelompok zat yang
menghambat AchE dikenal sebagai antikolinesterase (anti AchE). Dalam urutan kekuatan yang
meningkat dikenal senyawa-senyawa anti AchE sebagai berikut: fosfostigmin, prostigmin,
diisopropilfluorofosfat (DPFP) dan berbagai senyawa insektisida organofosfat seperti malathion,
parathion dll.
Toksin butolinus maupun tetanus menghambat pengelepasan Ach di semua saraf
kolinergik sehingga dapat menyebabkan kematian akibat paralysis pernafasan perifer. Toksin
tersebut memblok secara ireversibel penglepasan Ach di gelembung saraf pada ujung saraf pada
ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal orang.
Mekanisme kontraksi otot, adalah sebagai berikut, AcH dibentuk dari Acetil S Ko-A,
kemudian Acetil S Ko-A berikatan dengan kolin dengan bantuan enzim astilkolin transferase,
enzim ini mempunyai bilangan pertukaran (turn over number) sangat tringgi yang menjamin
pemisahan segera dari substansi sinyal. Produk pemecahannya, yaitu asetilkolin dan Ko-A di
sitosol terminal sinaps. Setelah terkena rangsang, AcH dalam vesikel sinaps keluar karena
depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan Ca2+ masuk di sinaps, kemudian menyebabkan AcH
tersebut eksositasi ke lamina basalis. Terjadi depolarisasi lagi, hal ini disebabkan oleh Na+ masuk
dan K+ keluar . Akhirnya AcH masuk ke dalam otot yang diubah lagi oleh AcHE menjadi asetat
dan kolin.
Patofisiologi organofosfat, yaitu insektisida ini adalah ester asam fosfat atau asam
tiofosfat, masing-masing diwakili oleh dikorvos dan parathion. Mereka bekerja menghambat
asetilkolinesterase (AcHE), mengakibatkan akumulasi asetilkolin (AcH). AcH yang berlebihan
menyebabkan berbagai jenis simptom dan tanda-tanda. Beratnya gejala kurang lebih berkorelasi
dengan tingkat penghambatan kolinesterase dalam darah, tetapi hubungan yang tepat tergantung
pada senyawa (Wills, 1972). Senyawa organofosfor yang sering digunakan, adalah malathion,
fenthion, OMPA (Octas-methyul pyrophosporamide), TEPP (Tetera-Ethyl Pyrophosphate).
(Klaus-Heinrich Rohman et Jan Koolman, 2001)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA ENZIM (PENGARUH SUHU
DAN pH TERHADAP AKTIVITAS ENZIM)
A. PELAKSANAN PRAKTIKUM.
1. Tujuan:
a.Mengetahui pengaruh suhu terhadap aktivitas enzyme amylase
b.Mengetahui pengaruh pH pada aktivitas enzim amylase
c.Mengetahui suhu optimum enzyme amylase
d. Mengetahui pH optimum enzim amilase
2. Hari/Tanggal : Rabu/ 19 Mei 2010
3. Tempat : Laboratorium Kimia Fakultas MIPA. Universitas mataram.
B. LANDASAN TEORI
Enzim meruakan unit fungsional dari metabolism tubuh. Enzim bekaerja dengan urutan-
urutan yang teratur dan mengkatalis ratusan reaksi didalam tubuh. Enzim dibagi lagi menjadi
beberapa jenis. Secara internasional enzim di kelompokkan menjadi 6 kelas besar yaitu :
1. Oksidoreduktase : enzim yang berperan dalam reaksi pemindahan electron (Redoks)
2. Transferase : enzyme yang berperan dalam reaksi pemindahan gugus fungsionil.
3. Hidrolase : enzim yang membantu dalam reaksi hidrolisis (pemindahan gugus fungsional
ke air)
4. Liase : enzim yang membantu dalam reaksi penambahan gugus pada ikatan ganda atau
sebaliknya.
5. Isomerase : enzim yang bereran dalam reaksi pemindahan gugus dalam molekul,
menghsilkan bentuk isomer.
6. Ligase :emzim yang membantu dalam reaksi pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O, dan C-N
oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan Penguraian ATP.
(Thenawijaya: 1988)
Enime amylase yang terdapat di air liur (saliva) merupakan enzim yang digolongkan dalam
kelas hidrolase. Hal ini di seababkan keraja enzim amilese yaitu pada reaksi hidrolisisi amilum
menjadi maltose. Enzi mini dibagi menjadi tiga macam yaituα-amilase,β-amilase, danγ-amilase.
Yang terdapatdalam ludah hanyaα-amilase, enzyme ini memecah amilum pada ikatan 1-4
glikosidanya bukan pada iktan 1-6 yang merupakan cabang dari molekul amilum ( Poedjiadi:
1994).
Enzim tertentu dapat bekerja secara optimal pada kondisi tertentu pula. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kerja enzim adalah sebagai berikut:
1).Suhu
Sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel organisme
tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikilotermik di daerah dingin biasanya lebih rendah
daripada enzim pada hewan homeotermik. Contohnya, suhu optimum enzim pada manusia
adalah 37 derajat celcius, sedangkan pada katak adalah 25 Derajat Celcius.
Kenaikan suhu di atas suhu optimum dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan aktivitas
enzim. Secara umum, tiap kenaikan suhu 10 derajat C, kecepatan reaksi menjadi dua kali lipat
dalam batas suhu yang wajar. Hal tersebut juga berlaku pada enzim. Panas yang ditimbulkan
akibat kenaikan suhu dapat mempercepat reaksi sehingga kecepatan molekul meningkat.
Hasilnya adalah frekuensi dan daya tumbukan molekuler juga meningkat.
Akibat kenaikan suhu dalam batas tidak wajar, terjadi perubahan struktur enzim (denaturasi).
Enzim yang terdenaturasi akan kehilangan kemampuan katalisnya. Sebagian besar enzim
mengalami denaturasi yang tidak dapat balik pada suhu 55-65 Derajat C. Enzim yang secara
fisik telah rusak biasanya tidak dapat diperbaiki lagi. Hal tersebut merupakan salah satu alasan
bahwa enzim lebih aman dimakan pada makanan yang sudah dimasak.Khususnya daging dan
telur daripada makanan mentah.
Pengontrolan panas terhadap susu dan makanan dengan bahan susu lainya secara dramatis
mengurangi penyebaran penyakit seperti TBC. Pada suhu kurang dari suhu optimum, aktivitas
enzim mengalami penurunan. Enzim masih beraktivitas pada suhu kurang dari 0 derajat C dan
aktivitasnya hampir terhenti pada suhu 196 derajat C.
2).pH atau Keasaman
Seluruh enzim peka terhadap perubahan derajat keasaman (pH). Enzim menjadi nonaktif bila
diperlakukan pada asam basa yang sangat kuat. Sebagian besar enzim dapat bekerja paling
efektif pada kisaran pH lingkungan yang agak sempit. Diluar pH optimum tersebut, kenaikan
atau penurunan pH menyebabkan penurunan aktivitas enzim dengan cepat. Misalnya, enzim
pencerna dilambung mempunyai pH optimum 2 sehingga hanya dapat bekerja pada kondisi
sangat asam. Sebaliknya, enzim pencerna protein yang dihasilkan pankreas mempunyai pH
Optimum 8,5 . Kebanyakan enzim intrasel mempunyai pH optimum sekitar 7,0 (netral).
Pengaruh pH terhadap kerja enzim dapat terdeteksi karena enzim terdiri atas protein. Jumlah
muatan positif dan negative yang terkandung didalam molekul protein serta bentuk permukaan
protein sebagian ditentukan oleh pH.
3).Konsentrasi Enzim, Substrat dan Kofaktor.
Jika pH dan suhu suatu sistem enzim dalam keadaan konstan serta jumlah substrat berlebihan,
laju reaksi adalah sebanding dengan enzim yang ada. Jika pH, suhu, dan konsentrasi enzim
dalam keadaan konstan, reaksi awal hingga batas tertentu sebanding dengan substrat yang ada.
Jika sistem enzim memerlukan suatu koenzim atau ion kofaktor , konsentrasi subsrat dapat
menentukan laju keseluruhan sistem enzim.
4).Inhibitor Enzim
Enzim dapat dihambat sementara atau tetap oleh inhibitor berupa zat kimia tertentu. Zat kimia
tersebut merupakan senyawa selain substrat yang biasa terikat pada sisi aktif enzim (substrat
normal) sehingga antara substrat dan inhibitor terjadi persaingan untuk mendapatkan sisi aktif .
Persaingan tersebut terjadi karena inhibitor biasanya mempunyai kemiripan kimiawi dengan
substrat normal. Pada konsentrasi Substrat yang rendah akan terlihat dampak inhibitor terhadap
laju reaksi, kondisi tersebut berbalik bila konsentrasi substrat naik.
Dari; http://forum.um.ac.id/index.php?topic=25285.0
Dari: tesis tuti handayani