bab ii hukum jual beli dalam islam a. pengertian dan...
TRANSCRIPT
BAB II
HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa (etimologi) mempunyai pengertian
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin dalam kitab al-Ahyar,
yaitu1 اعطـاء شيء ىف مقابلة شيء artinya : Memberikan sesuatu untuk ditukarkan
dengan sesuatu yang lain.
Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu : “ jual dan
beli” sebenarnya kata “ jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu sama
lain bertolak belakang. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan
menjual sedangkan beli adalah perbuatan membeli.2
Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya at-Fiqh
‘al-Madhzahib al-Arba’ah menjelaskan bahwa jual beli adalah مقابلـة
.artinya saling menerima sesuatu dengan sesuatu yang lain شيء بشىء3
Adapun jual beli secara istilah (terminology) menurut ahli fiqh,
diantaranya adalah Zainuddin bin Abdul Azizi al-Malibari al-Fanani yang
mengemukakan bahwa jual beli, adalah :
1 Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Ahyar, Juz I, Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th, hlm.
239 2 Chairuman Pasaribu, et.all., Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika,
1996, Cet. II, hlm. 33 3 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, Beirut : dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 134
12
4مقابلة مبال على وجه خمصوص Artinya : “Menukar sejumlah harga dengan harga (yang lain) dengan
cara yang khusus” .
Sedangkan menurut Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani dalam
kitabnya Subul al-Salam mendefinisikan :
5متليك مال مبال بالتراضي Artinya: “Suatu pemilikan harta dengan harta yang lain dengan
saling merelakan” .
Dan definisi di atas dapat diketahui bahwa jual beli adalah proses
tukar menukar barang seseorang (penjual) dengan seseorang yang lain
(pembeli), yang dilakukan dengan cara-cara tertentu yang menyatakan
kepemilikan untuk selamanya dan didasari saling merelakan.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Dengan demikian, maka dalam jual beli itu akan melibatkan dua
pihak, dimana satu pihak menyerahkan uang sebagai pembeli, dan pihak
lain menyerahkan barang sebagai ganti atas uang yang diterimanya
(penjual).
Yang menjadi dasar hukum tentang disyariatkannya jual beli baik
di dalam al-Quran maupun hadits Rasulullah Saw, diantara dasar hukum
jual beli adalah :
4Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Fathul Mu’in, Terj. Moch. Anwar,
et.all, Fathul Mu’in, Jilid I, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. I, 1994, hlm. 763. 5 Imam Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani, Subul al-Salam, Juz III, Beirut : Dar al-Fikr,
t.th., hlm. 3
13
وأحل الله البيع وحرم الربا
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. (QS. Al-Baqarah: 275).6
Dari ayat tersebut di atas, jelas bahwa Allah telah menghalalkan
jual beli kepada hamba-Nya dengan jalan yang baik. Dan melarang keras
jual beli yang mengandung riba dan mengarah pada bentuk yang
merugikan orang lain, dalam ayat lain Allah juga menegaskan:
نة عاركون تجاطل إلا أن تبالب كمنيب الكموأكلوا أموا لا تنءام ـا الذينهاأيي تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu” . (QS. An-Nisaa’: 29).7
Ayat di atas menjelaskan bahwa hukum asal jual beli adalah mubah
(boleh). Akan tetapi menurut As-Syatibi hukum jual beli, dapat berubah
menjadi wajib pada keadaan tertentu.8 Ayat tersebut juga menjelaskan
bahwa Allah membolehkan jual beli dengan cara yang baik dan sesuai
dengan ketentuan hukum Islam, yaitu jual beli yang jauh dan tipu daya,
unsur riba, paksaan, kebatilan serta didasarkan atas suka sama suka dan
saling merelakan (ikhlas).
6 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : PT. Karya Toha Putra,
1996, hlm. 36 7 Ibid., hlm. 6 8 Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm. 828
14
Sedangkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Saw,
diantaranya adalah:
بن رافع ان رسو ل اهللا صلى اهللا عليه وسلم سئل أي الكسب عـن رفاعـة
رواه البخارى وصححه (عمل لرجل بيده وكل بيع مربور : أطـيب؟ قـال
9 )احلاكم
Artinya : “Dari Rifa’ah bin Rufi’ sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda saat ditanya tentang usaha apakah yang paling baik? Rasulullah menjawab : usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur). (HR. al-Hazar dan disahkan oleh al-Hakim).
Dan hadits tersebut dapat dipahami bahwa usaha yang paling baik
adalah usaha sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan setiap
jual beli yang dilakukan dengan kejujuran tanpa ada kecurangan. Sehingga
mendapat berkah dan Allah.
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Setiap aktivitas apapun namanya baik yang berkaitan dengan ibadah
maupun muamalah dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan
syaratnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Muhtar Yahya dan
Fathurahman bahwa setiap sesuatu yang telah ditetapkan oleh Syar’i terdapat
beberapa persyaratan, maka ia tidak akan berwujud jika tidak ada syarat-syarat
tersebut, sebagaimana halnya ia tidak akan berwujud jika tidak terwujudnya
rukun-rukunnya.10
9 Imam Muhammad bin Ismai’il as-Sha’ani, op.cit., hlm. 4 10 Muhtar Yahya dan Fatturahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung : al-Ma’arif, Cet. I, 1998, hlm. 149
15
Oleh karena perjanjian jual beli merupakan perbuatan hukum yang
mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari
pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan
hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnyajual beli.
Menurut penulis pada prinsipnya jual beli dapat dikatakan sah apabila
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya yaitu:
1. Rukun Jual Beli
Adapun yang menjadi rukun dalam jual beli menurut Jumhur
ulama’ itu ada tiga :
a. Sighat (lafal ijab dan qahul)
b. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
c. Ada barang yang dibeli11
Dalam suatu perbuatan jual beli, tiga rukun ini hendaklah dipenuhi,
apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak
dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
2. Syarat Sahnya Jual Beli
Agar suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak
pembeli sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yaitu:
a. Tentang subyeknya
b. Tentang obyeknya, dan
c. Tentang lafad
2.a. Tentang Subyeknya
11 Abdurrahman al-Jaziri, op.cit., hlm. 141
16
Termasuk syarat jual beli adalah adanya aqid, yaitu adanya penjual
dan pembeli atau dengan kata lain bahwa jual beli tidak akan terlaksana
jika tidak ada keduanya.
Bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli tersebut
haruslah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
1) Orang yang melakukan transaksi tersebut sudah mumayyiz, yaitu dapat
membedakan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh,
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian
tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum mumayyiz.
2) Jual beli dilakukan orang yang berakal/tidak hilang kesadarannya
karena hanya orang yang sadar dan berakal yang sanggup
melangsungkan transaksi jual beli secara sempurna dan mampu
berfikir secara logis.
3) Transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip taradli, yang di
dalamnya tersirat makna mukhtar, bebas melakukan transaksi jual beli
dan bebas dan paksaan dan tekanan.
4) Keduanya tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan din
dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang bodoh di
dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak,
maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri perbuatan hukum
walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingan sendiri.12
2.bTentang Obyeknya
12 Chairuman Pasaribu, et.all, op.cit., hlm. 35-36
17
Yang dimaksud dengan jual beli disini adalah benda yang menjadi
sebab terjadinya perjanjian jual beli. Benda yang dijadikan sebagai obyek
jual beli ini haruslah memenuhi beberapa persyaratan pada saat jual beli
itu berlangsung.
Tentang syarat-syarat yang boleh dan sah diperjualbelikan barang
yang dijadikan sebagai obyek akad atau ma‘qud alaihnya adalah sebagai
berikut :
1) Barang yang Halal Dipergunakan
Segala barang yang halal dipergunakan menurut syara’ pada
prinsipnya boleh diperjualbelikan. Sesuatu barang tidak boleh
diperdagangkan apabila ada nash Syara’ yang melarang dipergunakan
atau memang dengan tegas dilarang diperjualbelikan. Hal ini kita
pegangi kaidah yang berkaitan dengan mu’amalah : “Ashal sesuatu
adalah mubah.”
Adapun benda yang dipandang kotor atau berlumuran najis
selama dapat dimanfaatkan, misalkan sebagai pupuk tanam-tanaman
maka, menurut sebagian fuqaha hal itu tidaklah terlarang
diperdagangkan.13
2) Barang yang Bermanfaat
Pada asalnya segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini
mengandung manfaat, bersandar kepada firman Allah SWT:
13 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang menurut Islam, Bandung : Diponegoro, 1984, Cet.
Ke-I, hlm. 88
18
هـو الـذي خلـق لكم ما في الأرض جميعا ثم استوى إلى السماء ليمء عيبكل ش وهات وومس عبس ناهوفس
Artinya : “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit.” (QS. Al-Baqarah: 29).14
Dengan prinsip ini, maka barulah sesuatu benda dipandang
tidak berguna, jika ditegaskan oleh nash atau menurut kenyataan atau
hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa barang itu berbahaya
seperti racun, ganja, candu, dan sebagainya.
3) Barang yang Dimiliki
Barang yang boleh dijualbelikan ialah milik sendiri atau
mendapatkan kuasa dan si pemilik untuk menjualnya. Prinsip ini
didasarkan pada kaidah, “Tidak boleh memakan harta dengan cara
yang bathil.” Dengan kata lain bahwa tidak boleh menjual harta
kepunyaan orang lain tanpa seizinnya, karena hal itu merupakan
perbuatan yang bathil dan dapat dituntut oleh si pemilik.15
4) Barang yang Dapat Diserahterimakan
Sesungguhnya dengan prinsip ini, maka tidaklah dapat
diperjualbelikan barang yang tidak berada dalam kekuasaan sekalipun
pemilik sendiri. Misalnya barang yang terlepas dari
14 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 6 15 Hamzah Ya’qub, op.cit., hlm. 90
19
sangkamya, ikan dalam air yang sukar ditangkap, harta yang jatuh ke
tangan perampok.
Prinsip ini logis dan sejalan dengan garis ketentuan tidak
bolehnya gharar (kesamaran dan ketidakpastian) yang bisa
menimbulkan kerumitan dan mengandung persengketaan dikemudian
hari.16
5) Barang dan Harga yang Jelas
Salah satu syarat dalam jual beli adalah kejelasan barang dan
harganya. Kejelasan yang dimaksud di sini adalah meliputi ukuran,
takaran, dan timbangan. jenis dan kualitas barang.
Barang-barang tidak dapat dihadirkan dalam majlis transaksi,
diisyaratkan agar penjual menerangkan segala sesuatu yang
menyangkut barang tersebut sampai jelas bentuk dan ukuran, sifat dan
kualitasnya.
6) Barang yang Dipegang
Selain syarat-syarat tersebut di atas, maka barang yang boleh
dijual adalah yang dipegang atau dikuasai. Hikmah larangan Syara’
menjual barang yang belum ditangan ialah untuk kemaslahatan semua
pihak yang melakukan transaksi agar terhindar dari kesamaran, resiko
kerugian dan pertentangan yang tidak diinginkan.17
.
16 Ibid., hlm. 91 17 Ibid., hlm. 96
20
2.c. Tentang Lafadz (Kailmat Ijab Qabul)
Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan
yang diinginkan, sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya. Ijab qabul itu diadakan dengan maksud untuk
menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang
dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan.18
Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli,
maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan. Barang yang
berpindah tangan itu menjadi milik pembeli dan nilai tukar/uang
berpindah tangan menjadi milik penjual.
Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu
adalah sebagai berikut:
1) Orang yang mengucapkan telah akil balig dan berakal menurut
jumhur ulama, atau telah berakal, menurut ulama Mazhab Hanafi,
sesuai dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang
melakukan akad seperti disebutkan di atas.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Misalkan, penjual mengatakan: Saya
jual baju ini seharga sepuluh ribu,” lalu pembeli menjawab: “Saya
beli dengan harga sepuluh ribu.” Apabila antara ijab dengan qabul
tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
18 Ahmad Azhar Bashir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta : UNIversitas Islam Indonesia, 2000, hlm. 65
21
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, artinya kedua belah
pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik
yang sama.19 Dengan ijab qabul tersebut, jual beli menjadi sah.
Unsur utama dan jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak.
Kerelaan ini bisa dilihat dan ijab qabul yang dilangsungkan. Ijab qabul
perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi bersifat mengikat
kedua belah pihak.
Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli,
maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan. Barang yang
berpindah tangan itu menjadi milik pembeli dan nilai tukar atau yang
berpindah tangan menjadi milik penjual.
C. Hal-hal yang Terkait dengan Etika Jual Beli
1. Hukum-hukum Jual Beli
Dan kandungan ayat-ayat dan hadits-hadits yang dikemukakan di
atas sebagai dasar jual beli, para ulama fiqh mengambil suatu kesimpulan,
bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun menurut Asy-Syatibi
(ahli fiqh mazhab Imam Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib
dalam situasi tertentu.20
Menurut Imam Asy-Syatibi, hukumnya bisa berubah menjadi
wajib. Beliau memberi contoh ketika terjadinya praktek ihtikar
(penimbunan barang sehingga stok hilang dan pasar dan harga melonjak
19 Abdul Aziz Dahlan, et.all, op.cit., hlm. 829-830 20 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, Cet. I, hlm. 117
22
naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan layaknya
harga barang yang ditimbun atau disimpan tersebut, maka pihak
pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai
dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.21
Hukum-hukum dalam jual beli ada yang mubah (boleh), wajib,
haram dan sunnah. Adapun hukum jual beli haram sebagaimana yang telah
melanggar rukun dan syarat dalam jual beli maka hukum jual beli itu
haram dilakukan, hukum jual beli sunnah, seperti jual beli kepada sahabat
atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat berhajat kepada
barang itu maka hukum dalam jual beli itu termasuk sunnah.
2. Bentuk Etik mat Beli dalam Islam
Adapun bentuk-bentuk etika jual beli dalam Islam diantaranya
sebagai berikut :
a. Kejujuran dãlam Jual Beli
Dalam perdagangan dan bisnis, kejujuran dam kebenaran (hak)
harus ditegakkan secara adil sebagaimana diperintahkan oleh Allah
dalam firman-Nya:
وأقيموا الوزن بالقسط ولا تخسروا الميزانArtinya : “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca.” (QS. Ar Rahman: 9)22
Tiap orang Islam hendaknya jujur dalam setiap tindakan,
sebagaimana timbangan yang tepat ketika berjualan dan dalam semua
21 Abdul Aziz Dahlan, et.all, loc.cit., hlm. 828 22 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 425
23
kegiatan yang berkenaan dengan orang lain. Orang Islam tidak boleh
melakukan tipu daya dengan cara : misalnya menunjukkan contoh
kualitas barang yang baik, lalu menjual barang-barang yang rendah
mutunya, atau mengurangi timbangan.23
Sebagaimana sabda Nabi Saw:
24 )رواه الترمذى(من غش فليس منا : عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال
Artinya : “Dari Nabi Muhammad Saw bersabda : Barang siapa yang curang maka bukan umatku (Nabi Saw) (HR. Thirmidzi).
Para pedagang jujur, benar dan sesuai dengan ajaran Islam
dalam berdagangnya, didekatkan dengan para Nabi, para sahabat dan
orang-orang yang mati syahid, pada hari kiamat, Rasulullah Saw
bersabda:
التاجر الصدوق األ مني مع : عن اىب سعيد قال رسو اهللا عليه وسلم قال 25 )رواه الترمذى (النبيني والصدقني والشهداء
Artinya : Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya beserta para Nabi dan orang yang jujur dan para syuhada” . (HR. Tirmidzi).
Pedagang yang tulus dan jujur bekerja untuk kemaslahatan
kemanusiaan, karenanya menemukan tempat bersama para hamba-
23 A. Rahman I, Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-I, hlm. 447 24 Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibu Abu Bakar as-Syuyuti, Jami’uz Shahih, Juz II,
Beirut :D ar al-Fikr, t.th., hlm. 626 dikutip dalam buku Maulana Muhammad Ali, al-Maual of Hadits, terj. Imam Musa Prodjosiswoyo, Kitab Hadits Perdagangan, Jakarta : CV. Kuning Mas, Cet. I, 1992, hlm. 299
25 Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Ibn Surut, al-Jami’us Shohih, Sunan Tirmidzi, Juz III,
Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th, hlm. 493
24
hamba Allah yang tulus yang kehidupannya diabdikan untuk
kemaslahatan umat manusia.26
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam
masalah jual beli, maupun dalam seluruh macam muamalah. Seorang
muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya.
Oleh karena itu setiap muslim harus dapat berlaku adil (jujur),
sebab keadilan sebenamya jarang bisa diwujudkan. Dikaitkan dengan
yang lebih moral dan dibandingkan dengan sifat hukumnya.
b. Ramah Tamah dalam Jual Beli
Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam
menjual, membeli dan menagih. Sebagaimana sabda Rasulullàh Saw:
, رحم اهللا عبدامسحا إذاباع : عـن الـيب صـلى اهللا عليه وسلم قال رواه لبخارى وابن (مسحا إذا اقتضى , إذاقضى, مسحاإذا اشترى مسحا
27 )كال مها عن جابر, ماجةArtinya: “Dan Nabi Muhammad Saw bersabda : Allah memberi
rahmat kepada hamba-Nya ketika berjualan., ketika memberi, dan ketika memberi keputusan harga (transaksi), ketika menerima keputusan harga dengan hati yang lega suka sama suka toleransi dalam jual beli” (HR. Bukhori dan Ibnu Majjah, Kalahuma an Jabiir).
Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam
menjual, membeli dan menagih. Dan dengan itulah kita sebagai umat
Islam dalam berjual beli yang baik maka ramah tamahlah dan
26 Maulana Muhammad Ali, al-Maual of Hadits, terj. Imam Musa Prodjosiswoyo, Kitab
Hadits Perdagangan, Jakarta : CV. Kuning Mas, Cet. I, 1992, hlm. 299 27 Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibu Abu Bakar as-Syuyuti, op.cit., hlm. 12
25
bertoleransi dalam berjual beli dan menagih hutang (pembeli) dengan
cara tidak memaksa atau memberi waktu untuk membayar hutangnya.
c. Ketepatan Timbangan
Kecelakaan besar bagi yang curang, yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dan orang lain, mereka minta dipenuhi, dan
apabila menakar atau menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi.28
Allah memerintahkan agar jual beli dilangsungkan dengan
menyempumakan takaran dan timbangan, firman-Nya :
...وأوفوا الكيل والميزان بالقسط...
Artinya : “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil” (QS. Al-An’am: 152).29
نسأحو ريخ قيم ذلكتسطاس الموا بالقسزنو مل إذا كلتفـوا الكيأوو
تأويلا
Artinya : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama dan
lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’: 35)30
Di samping itu Allah SWT mencegah mempermainkan
timbangan dan takaran serta melakukan kecurangan dalam menakar
dan menimbang, firman Allah:
28 Muhammad Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam Wawasan Al-Qur'an, Jurnal Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Grafika Matra Tata Media, 1997, hlm. 9
29 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 117 30 Ibid., hlm. 228
26
طففـنيـل للميفون ,>ووتساس يلى النالوا عإذا اكت لـذين, أو مإذا كالوهويوم يقوم الناس ,ليوم عظيم ,أال يظن أولئك أنهم مبعوثون , وزنوهم يخسرون
المنيالع بلر
Artinya : Kecelakan besarlah bagi orang orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam.” (QS. Al Muthofifin: 1-6)31
Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita tentang cerita suatu
kaum yang curang dalam jual beli dan menyimpang dari kejujurannya
dalam hal takaran atau timbangan. Kepunyaan orang lain selalu
dikurangi. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang rasul untuk
mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan di samping
dikembalikannya kepada tauhid.
Jual beli seperti ini merupakan contoh yang harus dilaksanakan
oleh setiap muslim dalam perilaku jual belinya. Mereka tidak
diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan
dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan umum; timbangan
yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan
timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan
31 Departemen Agama RI, op.cit., hlm.883
27
pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia
menguranginya.32
Tentang hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut:
عن بيع الطعام حىت : هنى رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم عـن جابر قال رواه ابن ماجه والدارو (جيـرى فيه الصاعان صاع البائع وصاع املشترى
33 )قطىنArtinya :“ Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda
Rasulullah Saw melarang jual beli makanan sehingga sudah ditakar dengan dua macam takaran, yaitu takaran penjual dan takaran pembeli.” (HR. Ibnu Majjah dan Daru Quthni).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa apabila sesuatu dibeli
dengan takaran dan sudah dipegang tangan, kemudian dia menjualnya
lagi maka tidak boleh dia menyerahkannya kepada pembeli lain
dengan berdasarkan takaran pertama (dari penjual sebelumnya)
sehingga dia takar lagi untuk pembeli yang kedua. Demikian menurut
jumhur ulama.34
d. Open Prices (Keterbukaan Harga) dalam Jual Beli
Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya
kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya
selaras dengan penawaran dan pemintaan.35 Bukan berarti mutlak
32Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, alih Bahasa : HM.
Mu’ammal Hamidy, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1980, hlm. 362-363 33 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 750 34 Imam Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani, Subul al-Salam, terj. Abu Bakar
Muhammad, Subul al-Salam, Juz III, Surabaya : Dar a-Fikr, t.th, hlm. 55-56 35 Syek Muhammad Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 357
28
dilarang menetapkan harga, sekalipun dengan maksud demi
menghilangkan bahaya dan menghalang setiap perbuatan zalim.
Bahkan menurut pendapat para ahli, bahwa menetapkan harga
itu ada yang bersifat: zalim dan terlarang, dan ada pula yang bijaksana
dan halal.
Oleh karenanya, jika penetapan harga itu mengandung unsur-
unsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak betul; dengan menetapkan
suatu harga yang tidak dapat diterirna, atau melarang sesuatu yang oleh
Allah dibenarkan., maka jelas penetapan harga semacam itu hukumnya
haram.
Tetapi jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan,
misalnya dipaksanya mereka menunaikan kewajiban rnembayar harga
mitsil dan melarang mereka menambah dan harga mitsil, maka hal itu
dipandang halal, bahkan hukunmya wajib.36
Artinya: “Dan Nabi Muhammad Saw bersabda : Allahlah yang menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memben rezeki. Saya mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun diantara kamu yang meminta saya supaya berbuat zalim baik
terdapat darah maupun harta benda.” (Riwayat Ibnu Majah).37
36 Ibid., hlm. 352 37 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, op.cit., hlm. 737
29
Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting.
Zaman sekarang disebut uang, harga yang dapat dipermainkan para
pedagang adalah harga tsaman atau harga pasar yang berlaku di
30
tengah-tengah masyarakat. Sedang modal yang seharusnya diterima
para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Dengan demikian,
ada dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara
pedagang dan konsumen (harga jual pasar).
Ulama fiqh mengemukakan syarat harga pasar yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat sebagai berikut:
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
2) Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun
secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit.
Apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang maka waktu
pembayarannya pun harus jelas waktunya.38
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam
suatu benda yang diperjualbelikan, maka yang dibenarkan ialah kata-
kata yang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti
lainnya. Rasulullah Saw, bersabda:
38 H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 84
31
Artinya:”Dari Nabi Muhammad Saw bersabda : Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dihalalkan.”
(Riwayat Abu Dawud).39
39 Imam Khafidh al-Masnaf al-Muttaqin, Ibnu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud Juz
II, Beirut : dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th, hlm. 535
32
e. Pembelian yang Kesulitan Diberi Waktu Tenggang
Pembeli yang kesulitan dalam membayar maka mereka harus
dikasih waktu tenggang untuk melunasi hutangnya.
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).40
Rasulullah Saw, bersabda:
Artinya: “ Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Allah mengasihi orang yang memberikan kemudahan bila ia menjual dan membeli serta di dalam menagih haknya. “ (HR.
Bukhori)41
Al-Qur’an dan hadits di atas menjelaskan bahwa dalam berjual
beli (penjual) memberikan waktu kepada pembeli dalam menagih
hutangnya atau pembeli yang kesulitan membayar diberi tenggang
waktu untuk melunasi hutangnya.
Pembeli yang masih berhutang kepada penjual diberi tenggang
waktu, maka pembayarannya harus jelas waktunya. Dalam tenggang
waktu itu bisa dibayar ketika membeli/mengambil lagi dagangannya
40 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 37 41 Imam Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail Ibn Ibrahim, Shahih Bukhari Juz III,
Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th, hlm. 13
33
dan keduanya bersepakat dalam pembayaran berikutnya atau melunasi
hutang-hutangnya.
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya:”Kuhdzaifah berkata bahwa Nabi Saw bersabda : Para malaikat bertemu dengan jiwa seorang laki-laki dan antara mereka sebelum kamu (dan) mereka berkata: Apakah engkau telah berbuat sesuatu kebajikan?” Dia berkata: “Saya bisa memberikan kelonggaran kepada orang yang dalam kemudahan dan memanfaatkan mereka yang
dalam kesempitan, maka para malaikat itu memanfaatkannva.”42
Maulana Muhammad All, A Manual of Hadits, teij. Imam Musa Prodjosiswoyo,
Aitab Hadits Perdagangan, op.ciL, hIm. 299.
42 Maulana Muhammad Ali, A Manual of Hadits, terj. Imam Musa Prodjosiswoyo, Kitab
Hadits Perdagangan, op.cit, hIm. 299.