bab ii interaksi individu dari perspektif martin...
TRANSCRIPT
BAB II
Interaksi Individu Dari Perspektif Martin Buber
2.1 Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial selalu menjalin hubungan dengan orang lain, berusaha
mengenal dan memahami kebutuhan satu dengan yang lain, membentuk interaksi dan berusaha
mempertahankan interaksi tersebut.1 Manusia adalah makhluk sosial, yang artinya manusia
tidak terlepas dari relasi dengan lingkungan dan sesama. Hal ini terlihat jelas sejak manusia
dilahirkan. Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu, dan ia memerlukan bantuan dari
orang lain dan di sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia berkeinginan untuk berbicara,
tukar menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja
sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan sebagainya.2 Berdasarkan pemahaman
tentang manusia sebagai makhluk sosial yang berusaha untuk membentuk dan
mempertahankan interaksi, maka pada bab ini penulis akan memaparkan kerangka konseptual
interaksi individu menurut perspektif Martin Buber.
2.2 Latar Belakang Kehidupan Martin Buber
Pada bagian ini, penulis berusaha memaparkan profil Martin Buber sehingga kita dapat
secara jelas memiliki pengetahuan tertentu tentang siapa tokoh yang dibahas, latarbelakang
kehidupan keluarga dan situasi lingkungan dimana beliau hidup. Pengenalan yang cukup baik
atas tokoh ini akan sangat membantu di dalam upaya membaca-memahami pemikiran beliau
tentang kerangka konseptual interaksi individu.
1 Sarlito W. Saworno dan Eko A. Meinamo, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), 67.
2 Suranto A. W, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 1.
Mordechai Martin Buber lahir pada tanggal 8 Februari 1878 di Wina3. Buber tinggal
bersama kakeknya yang bernama Salomon Buber dan neneknya yang bernama Adela, di
Lemberg, Polandia, sejak usia 3 tahun. Buber tinggal bersama kakek-neneknya dikarenakan
orang tuanya bercerai. Ia dibesarkan di lingkungan Yahudi yang sangat pietis karena kakeknya
adalah seorang sarjana Ibrani yang menulis beberapa tinjauan kritis terhadap Midrash (tafsiran
Yahudi terhadap Alkitab). Sebagai seorang sarjana, Salomon Buber tidak hanya mengajarkan
cucunya untuk melakukan tradisi Yahudi tetapi memperkenalkan juga karya penulis-penulis
Jerman. Itu sebabnya ketika Marten Buber berusia 13 tahun ia tidak hanya membaca kitab
suci, ia sangat gemar membaca karya dari Schiller, seorang filsuf Jerman.4
Buber kembali tinggal bersama ayahnya pada saat dirinya berusia 14 tahun, saat itu
ayahnya telah menikah lagi, mereka tinggal bersama di Lemberg. Di usianya yang ke-17 tahun,
Buber menyelesaikan studi di Polish Gymnasium dan melanjutkan pendidikan ke Universitas
Wina untuk belajar filsafat dan sejarah seni. Ia tidak memiliki arah yang jelas selama kuliah.
Oleh karena itu dari Wina, Buber melanjutkan studinya ke Universitas Leipzig dan Zurich.
Buber sama sekali tidak tertarik kepada hal-hal yang berkaitan dengan Yahudi karena sejak
kecil ia “membenci” segala bentuk ritual dan tata cara Yudaisme yang kaku, minatnya pada
hal-hal sekuler.
3 Raphael Jospe dan Dov Schwartz, edited, Encounters In Modern Jewish Thought: The Works Of Eva
Jospe (Brighton USA: Academic Studies Press, 2013), xlv.
4 Pancha Wiguna Yahya, “Mengenal Marten Buber dan Filsafat Dialogisnya,” Veritas: Jurnal Teologi
dan Pelayanan, Vol. 2, no.1 (April 2001): 38.
Di Leipzig (1898), Buber terlibat dalam gerakan Zionisme5 yang dipimpin oleh
Theodor Herzl.6 Buber yang merupakan keturunan Yahudi, ketika terlibat dalam gerakan
Zionis ia mempelajari hampir seluruh aspek yang berkaitan dengan keyahudian. Yudaisme
yang dilihat oleh Buber, lebih pada religiusitas dan kesalehannya, bukan pada permasalahan
politiknya.7 Menurut Buber yang dibutuhkan umat Yahudi bukan pembangunan fisik namun
suatu kebangunan yang bersifat rohani, agar umat Yahudi menjadi berguna bagi dunia.8
Theodor Herzl terdorong untuk menjadikan gerakan Zionis sebuah gerakan politik yang
terkait langsung dengan bangkitnya anti-Semitisme politik sebagai fenomena di seluruh Eropa
pada tahun 1873.9 Buber, melihat gerakan Zionis suatu gerakan budaya.10 Hal ini
memperlihatkan adanya perbedaan ideologi antara Herzl dan Buber. Oleh karena itu, Buber
memutuskan untuk keluar dari gerakan Zionisme dan melepaskan tanggungjawabnya sebagai
penulis Dei Welt yang merupakan jurnal milik Herzl.
5 Zionisme adalah gerakan politik abad 19 di era nasionalisme sekuler, revolusi industri, imperialisme
Eropa dan ekspansi penjajahan ke Afrika dan Asia. Jawaban Zionisme atas persoalan yang terjadi, membawa
orang-orang Yahudi ke luar dari Eropa dan membawa mereka ke tanah air sehingga dapat mengejar kebahagiaan
dan penentuan nasib. Dengan tujuan mendapatkan kebebasan dan kemakmuran tanpa rintangan yang dikenakan
kepada mereka.
6 Theodor Herzl terkenal dengan gagasannya tentang negara Yahudi ketika bangkitnya anti-Semitisme
politik sebagai fenomena di seluruh Eropa, pada tahun 1873. Sebagian besar orang Yahudi saat itu tinggal di
Polandia dan Rusia, di mana orang-orang Yahudi mencoba melarikan diri dari wajib militer paksa oleh rezim
Czar, yang secara berkala memicu kerusuhan anti-Yahudi, dan menghendaki kematian orang-orang Yahudi.
7 Wahju S. Wibowo, Aku, Tuhan dan Sesama: Butir-butir Pemikiran Martin Buber Tentang Relasi
Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Cv. Sunrise, 2017), 14.
8 Muhammad Hilal, “Dialog Marten Buber” Jurnal Pustaka, (Januari-Juni 2014): 65, akses Juli 13, 2017,
ejournal.alqolam.ac.id/index.php/jurnal_pusaka/article/.../12/11
9 Michael Zank, “Buber Zionisem,” : 2, diakses Oktober 12, 2017,
https://www.academia.edu/12906887/Buber_Zionism.
10 Ibid,……..6
Zevaat Ribesh adalah sebuah buku yang berisi ajaran Hasidisme11 karya Baal Shem
Tov. Buku ini merupakan buku bacaan Buber di saat ia kecewa terhadap Zionisme dan
Yudaisme ortodoks formal. Inilah awal ketertarikannya terhadap ajaran Hasidisme. Ajaran
Hasidisme muncul di Polandia pada abad ke-8 dan berkembang di antara orang Yahudi Eropa
bagian Timur pada abad ke-18 dan ke-19.12 Hasidisme bukanlah komunitas monastik yang
hidup eksklusif, terpisah dari dunia, tetapi suatau komunitas yang hidup berdasarkan iman dan
hidup di tengah-tengah orang lain. Karena itu ajarannya menekankan pada pentingnya menjaga
hubungan antara manusia dengan Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, peka terhadap wahyu
Tuhan dan menekankan doa sebagai yang utama untuk bisa bersatu dengan Tuhan. Buber
sangat tertarik dengan ajaran Hasidisme dan ketertarikannya itu ditunjukkan melalui penelitian
dan menterjemahkan hikayat-hikayat Hasidisme ke dalam Bahasa Jerman dan
membukukannya, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ajaran Hasidisme13.
Namun demikian ia tidak pernah berkeinginan untuk menjadi seorang Hasid.14
Pengalaman hidup yang dialami oleh Buber dimulai dari masa kecil sampai dewasa,
hobbi membaca yang dimilikinya dan ketertarikannya terhadap ajaran Hasidisme membuatnya
semakin menyadari akan keberadaannya sebagai manusia. Manusia memiliki hak dan
kewajiban, keduanya harus terjadi dialog, jika tidak maka akan membuka peluang untuk
melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu Buber memberikan konsep dialog untuk
membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik.
11 Hasidisme berasal dari Bahasa Ibrani “hesed” yang berarti cinta kasih, rahmat atau anugerah.
12 Maurice S. Friedman, Martin Buber The Life OF Dialogu (Chicago: The University of Chicago Press,
1956), 16, Chicago Illinois.
13 Alex Guilherme and W. John Morgan, “Peace Profile: Martin Buber” (Januari 2011): 110, diakses Juli
20, 2017, https://www.academia.edu/1034400/Peace_Profile_Martin_Buber.
14 Hasid adalah seorang pengikut ajaran Hasidisme.
Tahun 1899,15 pada usia 21 tahun Buber menikah dengan Paula Winkler. Paula berasal
dari Munich dan ia seorang penulis. Buber memiliki dua orang anak, Eva dan Rafael. Buber
meninggal dalam usia 65 tahun di Yerusalem.
2.3 Pemikiran Pokok Martin Buber
Pemikiran Martin Buber dipengaruhi Yudaisme, Hasidisme, Immanuel Kant,
Friederich Nietzsche, Franz Rosenzweig dan juga Schiller. Pengaruh Yudaisme dan
Hasidisme, Buber dapatkan di lingkungan keluarga karena kakeknya ahli dalam kebudayaan
dan sastra Yahudi dan Buber sering diajak oleh kakeknya untuk hadir dalam pertemuan anggota
Zaddikim.16 Buber gemar membaca, buku filsafat yang pertama ia baca adalah karya-karya
Plato. Selanjutnya, ia tertarik untuk mendalami filsafat, kemudian ia membaca buku
Prolegomena karya Immanuel Kant dan Thus Spake Zarathustra karya Frederich Nietzsche.
Franz Rosenzweig adalah sahabat Martin Buber, ia berfilsafat dengan melibatkan seluruh
kepribadiannya, filsafat eksistensial.17 Schiller adalah teman diskusi Buber mengenai Torah.
Pengalaman hidup dan kegemarannya membaca buku, membentuk pemikiran Buber.
Pemikiran Buber dimulai dengan pola I and Thou. Kemudian, pola itu dilanjutkan
dengan adanya hubungan I merealisasikan diri sekaligus menyebut personalitas Thou,
sehingga terjadi unifikasi yang pada akhirnya terdapat hubungan I and Eternal Thou (hubungan
dengan Tuhan).18 Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan pemikiran Buber dengan
mistisisme. Buber memulai dengan hubungan antara aku dengan sesama sedangkan mistisisme
memulai hubungan antara aku dengan Tuhan. Pemikiran filosofis Martin Buber memainkan
15 Wibowo, Aku Tuhan Dan Sesama,……….14.
16 Kelompok dari kaum Hasidisme, dengan pemimpinnya yang disebut Zaddik.
17 Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), 157.
18 Wibowo, Aku, Tuhan dan Sesama,………..18.
peran penting pada abad ke-20 dalam gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Emmanuel
Levinas.19
2.3.1 Realitas Manusia dan Proses pengetahuannya
Manusia selalu berhubungan dengan tiga pihak dalam dunia ini. Pertama, ia
berhubungan dengan alam, termasuk benda-benda; kedua berhubungan dengan manusia; dan
ketiga ia berhubungan dengan “Yang Absolut,” kaum beragama menyebut dengan “Tuhan.”20
Hubungan yang dilakukan oleh manusia kepada ketiga pihak tersebut, berkaitan dengan
realitas. Realitas menurut Buber adalah “ruang antara” (in between) yang terbuka ketika
manusia berhubungan alam, sesama dan Tuhan, dan dibangun atas dasar hubungan timbal
balik. Buber menyebutnya sebagai “aktualitas,” suatu kehidupan sesungguhnya yang dibangun
oleh individu.
Individu yang “berpikir” menurut Buber memiliki perangkat filosofi yang
memampukan pikiran untuk memahami dan mempersepsikan setiap hal yang dijumpai,
sehingga memiliki pengetahuan. Pengetahuan tentang alam, sesama dan Tuhan yang dimiliki
oleh individu berdasarkan perjumpaan yang melaluinya ada kesatuan, memampukannya untuk
memikirkan hubungan yang konkret dengan semuanya itu. Pengetahuan dapat diperoleh
individu melalui proses. Ada dua macam proses pengetahuan menurut Buber.21 Pertama, proses
yang berlangsung antara subjek dengan objek. Kedua, proses yang berlangsung antara subjek
dan subjek.
19 Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 314.
20 Martin Buber, I and Thou, Penterjemah: Ronald Georgor Smith (Edinburg: T&T. Clark, Hesperides
Press,2008), 6.
21 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama,……………… 29.
Proses antara subjek dengan objek memberikan dampak bagi individu untuk
mengembangkan pengetahuannya terhadap sesuatu. Objek pengetahuan yang sekaligus
merupakan objek pengalaman dan objek penggunaan memberi dampak positif bagi subjek
karena “mengalami” dan “menggunakan” objek pengetahuan. Sebaliknya, objek akan tetap
menjadi objek yang “dialami” dan “digunakan,” proses ini berlaku sepihak.
Proses antara subjek dengan subjek, berlaku hubungan timbal balik. Subyek
memperoleh pengetahuan dari subjek yang lain, tidak ada lagi objek yang “dialami” atau
“digunakan.” Objek berubah menjadi subjek, dikarenakan adanya perjumpaan. Buber melihat
proses kedua ini sebagai proses religius, karena melalui proses pengetahuan yang berlangsung
antar subjek dengan subjek, menghadirkan realitas. Buber mengambil contoh dari Alkitab,
yaitu peristiwa pengenalan Adam dan Hawa.22 Adam melakukan perjumpaan dengan Hawa
sebagai sesama subjek: ada intimitas dalam hubungan timbal balik sebagai sepasang kekasih,
keduanya saling memberikan pengaruh satu sama lain.
2.3.2 Manusia sebagai Pribadi
Individu hidup di dalam dua kutub, ego dan pribadi. Individu yang menyadari bahwa
dirinya adalah subjek yang “mengalami” dan “menggunakan”, memisahkan diri dari
hubungannya dengan yang lain, itulah ego. Ego menjadikan dirinya sebagai pusat dan melihat
segala sesuatu dari sudut pandangnya. Sebaliknya, pribadi adalah kesadaran individu akan
subjektivitasnya yang menjalani hubungan dengan yang lain. Aktualisasi individu ditentukan
melalui partisipasinya dengan orang lain yang terbangun dalam sebuah interaksi.23
22 Ibid,……………… 30.
23 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama,……………… 3.
Aspek penting dalam sebuah interaksi adalah dialog. Perjumpaan individu dengan yang
lain, memungkinkan adanya dialog di antara keduanya. Dialog yang terjadi adalah dialog yang
setara, antara subjek dengan subjek. Individu mengakui yang lain sebagai subjek yang memberi
sekaligus yang menerima, sama dengan dirinya. Penjelmaan dari dialog di antara individu
dengan individu, memberikan dampak adanya pergeseran komunikasi (communication)
menjadi persekutuan (communion).24 Di dalam sebuah komunitas, individu berperan
membantu sesamanya dalam proses “mempribadi.” Proses “mempribadi” menyadarkan
individu bahwa dirinya tidak dapat hidup tanpa orang lain.
2.3.3 Relasi I–It dan I–Thou
2.3.3.1 Relasi I–It.
Hubungan yang sepihak dan bersifat posesif tergambar dalam relasi I–It. Buber melihat
relasi I–It tidak memperlihatkan sebuah hubungan yang sangat mendasar. It tidak memberikan
pengaruh kepada I, dan I tidak membiarkan It untuk mempengaruhinya, adanya pemisahaan
antara I dan It, subjek dan objek. Di dalam relasi I–It tidak ada perjumpaan.
Perjumpaan tidak terjadi dalam hubungan I–It, I menutup diri dari It, tidak membiarkan
It ada pada dirinya sendiri tetapi ada menurut pikiran I. It adalah dunia pengalaman
(Erfahrung),25 “pengalaman” yang dimaksud oleh Buber adalah segala sesuatu yang digunakan
demi kepentingan I. Pengalaman I memasukkan segala yang lain ke dalam dirinya sendiri.
“Yang lain” tidak berada pada posisi in between, karena itu tidak ada realitas dalam hubungan
I–It. I hadir sebagai diri yang menampilkan ego, mengobjektivitasi yang lain demi
24 Martin Buber, Between Man And Man, Penerjemah: Ronald Gregor-Smith (London & New York: The
Taylor & Francies e-Library, 2004), 6.
25 Buber, I and Thou,…… 5.
kepentingannya. Individu yang melakukan pola hubungan I–It, menurut Buber bukanlah
manusia,26 karena baginya relasi I–It mengakibatkan individu keluar dari komunitas dan
sekaligus jauh dari sesamanya. relasi I–It membuat individu hidup terasing, padahal jati dirinya
sebagai “ada” (being) yang hanya dapat diwujudkan bila berada dalam perjumpaan
(encounter).
Relasi I–It dalam kehidupan modern terbentuk melalui institusi. Menurut Buber
institusi dilukiskan dalam It yang penuh dengan objek.27 Individu melalui institusi mengatur
segala sesuatu, berkompetisi, mempengaruhi, bernegosiasi, dan sebagainya. Institusi
membawa individu dalam keterpisahan dengan yang lain karena masuk dalam pengelompokan
individu dan menekan aspek privat, perasaan komunal yang terlihat dipermukaan. I melihat
yang lain sebagai pengelompokan, pemisahan dan kompetisi yang tajam, jika situasi ini
semakin menyesak, individu akan menjadi jenuh hidup dalam institusi. Individu akan
memberikan reaksi untuk keluar dari suasana institusi, melakukan relaksasi dari suasana
pengelompokan, pemisahan dan kompetisi yang tajam dan akhirnya menutup relasi dengan
yang lain, hilanglah perjumpaan dengan sesama. Di zaman modern, individu hidup dari satu
keterasingan keterasingan yang lain, pola relasi I–It meningkat secara progresif yang
berdampak pada kehidupan individu yang kehilangan perjumpaan dengan sesama.
2.3.3.2 Relasi I-Thou.
Pola relasi I–Thou, menurut Buber adalah hubungan timbal balik, membentuk dunia
interaksi.28 Relasi I–Thou merupakan peningkatan progresif dari hubungan I–It. Thou dapat
26 Ibid,…… 34.
27 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama, …….. 37
28 Buber, I and Thou,…… 6.
membalas apa yang I sampaikan dan hanya Thou yang dapat memberi masukkan kepada I,
sehingga dapat mengembangkan diri, hal semacam ini yang tidak ada dalam relasi I–It.
“Kehidupan roh” (progressive development of the life of the spirit) ditandai dengan adanya
pengembangan progresif dalam diri individu yang terus menerus.29
Kehidupan roh ada di “ruang antara” (in between) I and Thou, bagi Buber kehidupan
roh tidak tidak terdapat di dalam I, tetapi berada di dalam perjumpaan antara I dengan Thou.30
I bisa ada di dalam kehidupan roh apabila I dapat menanggapi perjumpaan dengan Thou
sebagai subjek setara dan saling membangun. In between menyebabkan I and Thou “terpisah”
agar berhadapan muka sebagai yang setara tetapi sekaligus ada jarak yang menyatukannya, I
maupun Thou memiliki subjektivitas masing-masing.31 In between menyadarkan keduanya
akan adanya subjektivitas pada diri masing-masing dan sekaligus sadar akan subjektivitas pada
yang lain.
Kehidupan komunitas terbentuk dari relasi I–Thou. Setiap individu membutuhkan
tempat berpijak untuk hidup dalam hubungan timbal balik yang setara. Menurut Buber
komunitas dibangun berdasarkan dua hal;32 pertama, interaksi yang dijalankan atas dasar satu
“pusat kehidupan.” Kedua, komunitas dibangun berdasarkan interaksi. Dialog menjadi dasar
agar kedua hal tersebut dapat dijalankan.
Relasi I–Thou memiliki aspek cinta yang memungkinkan seseorang bertanggung
jawab kepada yang lain. I dalam pola relasi I-Thou adalah yang mampu mencintai. Cinta
merupakan bentuk tanggung jawab I terhadap Thou yang tidak terdapat dalam pola hubungan
29 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama, …….. 40.
30 Buber, I and Thou,…… 49.
31 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama,……………… 41.
32 Ibid.
I–It. Cinta merupakan pengarahan I kepada Thou.33 Individu dimampukan untuk hidup dalam
keterlibatan yang utuh dengan sesamanya melalui cinta. I yang mencintai Thou, adalah I yang
memperlakukan Thou setara, dan dalam kesetaraan I mewujudkan tanggung jawab.34 Cinta
bukanlah perasaan subjektif, perasaan ada di dalam I, sedangkan I ada di dalam cinta. Di sinilah
letak perbedaan I dalam relasi I–It, I adalah perasaan. Cinta dan perasaan merupakan dua hal
yang berbeda, cinta menunjuk kepada orang lain sedangkan perasaan menunjuk pada diri
sendiri.
Relasi I–Thou tidak hanya memiliki aspek cinta, tetapi juga ada aspek kebebasan. I
mengadakan perjumpaan dengan Thou bukan karena Thou telah melakukan sesuatu terhadap
I, namun I menanggapi Thou berdasarkan atas keputusan bebas I untuk mengadakan relasi
dengan Thou. Buber menyebutkan bahwa individu yang bebas adalah individu yang
berkehendak tanpa selalu berubah pikiran dengan tiba-tiba dan alasan yang tidak jelas.35
Kehendak dalam diri individu bukanlah kehendak untuk berkuasa, melainkan kehendak untuk
merealisasikan kehidupan yang mendorong manusia untuk mengadakan perjumpaan dengan
orang lain.
2.3.3.3 Eternal Thou
Relasi individu dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan dengan pola I–It. Tuhan
sebagai Pribadi tidak mungkin dijadikan It oleh individu. Oleh karena itu relasi individu dengan
Tuhan memakai pola I–Thou. Tuhan adalah Pribadi yang sempurna, Pribadi yang mutlak atau
Absolut. Tuhan menjadi Pribadai yang Absolut karena IA tidak dapat dibatasi. Buber
33 Ibid,………43
34 Ibid, …….. 44.
35 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama, …….. 45.
menggunakan istilah Eternal Thou untuk menunjuk ke Pribadi Tuhan yang Absolut.36 Individu
dapat merasakan kehadiran Tuhan sebagai Pribadi hanya dengan menjalankan hubungan I–
Thou.
Tuhan senatiasa berada di dalam relasi dengan individu, dan dalam hubungan itulah
terbentuk “ruang antara.” “Ruang antara” bagi Buber merupakan sejarah yang sedang
berlangsung, dan dalam sejarah dunia manusia dapat “bertemu” dengan Tuhan.37 Tuhan harus
dipahami sebagai Tuhan yang selalu hadir dan kehadiranNya adalah makna dari kehidupan.
Tuhan membentuk individu untuk dapat memberikan makna bagi dunia. Tuhan sebagai Pribadi
dalam hubungan I–Thou “mengalirkan” “anugerah” (grace) dalam perjumpaan dengan I, dan
“anugerah” berada pada “ruang antara.” Individu yang berada di dalam perjumpaan akan
merasakan “anugerah” dan sekaligus menyambutnya dalam bentuk “kehendak” (will).38
Kehendak adalah keputusan atau tanggapan individu terhadap “anugerah” yang dialirkan
Tuhan.
Keputusan (Entsheidung) menjadi suatu aspek penting ketika individu membentuk diri
dalam relasi I–Thou. Individu secara sadar memilih apa yang dianggap baik dan apa yang tidak
melalui keputusannya. Eternal Thou hadir dalam hubungan dengan seseorang sekaligus
memberikan “jalan” kepada seseorang dalam mengambil keputusan. Relasi I–Eternal Thou,
perjumpaan manusia dengan Tuhan, juga terjadi dalam interaksi dengan sesama, I–Thou.
36 Ibid, …….. 73.
37 Ibid.
38 Ibid, …….. 77.
2.4 Rangkuman
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari relasi dengan lingkungan dan
sesamanya. Martin Buber mengklasifikasikan hubungan individu menjadi dua, yaitu relasi I–
It dan relasi I–Thou. Individu akan menemukan dirinya, menjadi pribadi yang utuh dan dapat
menemukan tujuan hidup apabila berada dalam relasi I–Thou. Sebaliknya, hal-hal tersebut
tidak dapat ditemukan dalam relasi I–It. Relasi I–It merupakan hubungan subjek–objek,
sedangkan relasi I–Thou hubungan subjek-subjek.
Relasi I–It, merupakan relasi subjek-objek. I sebagai subjek mengobjekkan yang lain.
I “mengalami” dan “menggunakan,” sedangkan yang lain, yang “dialami” dan “digunakan.”
Relasi I–It menempatkan hubungan yang sepihak, I melakukan hubungan hanya sejauh
kepentingan dan keinginannya saja.
Relasi I–Thou bersifat spontan, tidak terikat oleh aturan-aturan serta melampaui ruang
dan waktu, dibangun atas dasar kesetaraan. Relasi ini memperlihatkan perjumpaan kedua
subjek yang diliputi oleh suasana dialogis. I menyapa Thou. Thou sebagai yang setara dengan
I berada di dalam kebebasan yang sama dengan I, begitu juga sebaliknya. Relasi I–Thou,
dikuasai oleh cinta, aspek timbal balik akan membentuk identitas yang akan membawa pada
aktualisasi diri.
Relasi I-Eternal Thou merupakan hubungan yang sama dengan I–Thou. Individu dapat
merasakan kehadiran Tuhan melalui pengalamannya dalam relasi I–Eternal Thou. Tuhan
sebagai Pribadi yang berbeda dengan manusia akan senatiasa berada dalam hubungan dengan
manusia. Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam relasi I–Eternal Thou, terdapat juga
melalui sesama dalam relasi I–Thou, ada dua aspek yang bertemu, yaitu pemberian dari Tuhan
dan kehendak dari manusia yang diwujudkan dalam keputusan-keputusan.