bab ii kajian pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1...
TRANSCRIPT
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Ideologi dan Agama
Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh seorang filsuf Perancis,
Destutt de Tracy pada tahun 1796. Destutt de Tracy menggunakan kata
ideologi untuk menunjuk pada suatu bidang ilmu yang otonom, ialah
analisa ilmiah dari berpikir manusia, otonom dalam arti lepas dari
metafisika tetapi juga untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi
dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang
segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis,
atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat
yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi
Marxisme) (Widiartati, 2010: 65). Sedangkan ideologi dalam bahasa Arab
merupakan istilah yang dapat diterjemahkan sebagai Mabda’, secara
etimologis mabda’ adalah mashdar mimi dari kata bada’a (memulai),
yabda’u (sedang memulai) bad’an (permulaan) dan mabda’an (titik
permulaan). Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang
dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang) (‘Athiyat, 2004: 84).
19
Karl Marx berpendapat dalam bukunya yang berjudul germen
Ideology bahwa gagasan tentang kelas penguasa di setiap zaman, gagasan
yang berkuasa, yaitu kelas yang memiliki kekuatan material dominan di
masyarakat yang pada saat bersamaan merupakan kekuatan intelektual
yang dominan. Marx memandang dalam ideologi sangat erat dengan
kekuasaan yang terpusat pada Negara atau masyarakat politik berhadap-
hadapan dengan masyarakat sipil. Hal ini berbeda dengan Antonio Gramsci
yang menentang pandangan Marx tersebut. Menurutnya, ideologi yang
dominan tidak hanya dapat dimenangkan melalui jalan revolusi atau
kekerasan oleh institusi-institusi Negara tapi juga dapat melalui jalan
hegemoni melalui institusi-institusi lain, seperti institusi agama,
pendidikan, media massa dan keluarga (Widiartati, 2010: 66). Louis
Althusser juga memiliki pandangan tersendiri terhadap ideologi,
menurutnya ideologi merupakan sistem keyakinan yang menyembunyikan
kontradiksi-kontradiksi internalnya. Artinya, dalam setiap ideologi
disembunyikan kontradiksi-kontradiksi dalam ajaran-ajarannya
(Widiartati, 2010: 67). Dalam hal ini juga bisa melalui sebuah perusahaan.
Ideologi sebagai sebuah bentuk pemikiran dasar dan memiliki cara
untuk menyelesaikan atau memecahkan permasalahan dalam kehidupan
manusia, namun bukan berarti bahwa ideologi yang dianut tersebut
merupakan ideologi yang benar. Ideologi yang dianggap adalah yang
20
muncul dari wahyu Allah yang berupa agama. Agama secara terminologi
adalah suatu tata kepercayaan atas adanya Tuhan dan suatu tata
penyembahan kepada Tuhan, serta suatu tata kaidah yang mengatur
manusia dengan alam yang lain sesuai dengan tata kepercayaan dan tata
penyembahan yang diyakininya tersebut (Azmi, 2011). Agama merupakan
sebuah ajaran yang memberikan pencerahan dalam kehidupan manusia.
Dimana agama merupakan anugerah atau karunia yang diberikan oleh
Tuhan yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul dan berisi peraturan-
peraturan serta larangan untuk mengatur kehidupan manusia.
2.1.2 Hakikat Kekuatan dan Fungsi Ideologi
Alfian (Pakar Ilmu Politik) mengemukakan bahwa kekuatan suatu
ideologi tergantung kepada kualitas tiga dimensi yang terdapat dalam
ideologi tersebut, yaitu (Mahifal, 2008):
a. Dimensi Realita
Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut
secara riil berakar dalam dan atau hidup dalam masyarakat atau
bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari
budaya dan pengalaman sejarahnya (menjadi jiwa bangsa).
21
b. Dimensi Idealisme
Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang
memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui
pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan
berbagai dimensinya.
c. Dimensi Fleksibilitas/Dimensi Pengembangan
Ideologi tersebut mempunyai keluwesan yang memungkinkan
dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang
relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau
mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai
dasarnya.
Ideologi mempunyai fungsi penting, yaitu menanamkan keyakinan dan
kebenaran perjuangan kelompok atau kesatuan yang berpegang teguh pada
ideologi itu. Ideologi kemudian menjadi sumber inspirasi dan sumber cita-
cita yang berupa pedoman (norma). Selain itu, terdapat penjabaran atas
fungsi-fungsi ideologi, yaitu (Prastika, 2016) :
1. Struktur kognitif yaitu keseluruhan pengetahuan yang merupakan
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia serta kejadian-
kejadian di sekitarnya.
22
2. Orientasi pasar yaitu membuka wawasan sehingga memberikan
makna dan menunjukkan tujuan di dalam kehidupan manusia.
3. Memberikan norma-norma yang menjadi pedoman bagi seseorang
atau masyarakat untuk melangkah dan bertidak.
4. Memberikan bekal dan jalan bagi seseorang atau masyarakat untuk
menemukan identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang
atau masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami,
menghayati dan membuat pola tingkah lakunya sesuai dengan
orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.
2.1.3 Pengendalian Karyawan dalam Perusahaan
Pengendalian merupakan proses yang digunakan untuk mengarahkan
dan memastikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh setiap individu
ataupun kelompok berhasil mencapai tujuan dari rencana yang telah
ditentukan (Supriyono, 2000: 19). Pengendalian juga membantu
memelihara kepatuhan terhadap peraturan dan kebijakan sebuah organisasi.
Pelaksanaan pengendalian diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap
data yang dapat dipercaya, pengamanan aktivitas perusahaan dan
23
catatannya, adanya otorisasi yang jelas serta ditaatinya kebijakan
manajemen. Tujuan dari dilaksanakannya pengendalian oleh perusahaan
adalah untuk membantu dalam memproses data, pengintergrasian dalam
komponen tertentu untuk mencapai laba maksimum sebagai tujuan yang
ingin dicapai.
Sebagai sebuah sistem, masing-masing unsur pengendalian saling
berkaitan, mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Unsur dalam
sistem pengendalian dibedakan menjadi 4, yaitu (Kesit, 2013) :
a. Detektor (observatory), merupakan alat pengukur yang
mendeteksi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada proses
yang dikendalikan.
b. Asesor, adalah alat untuk menilai apa yang sesungguhnya terjadi
dan membandingkannya dengan standart atau yang seharusnya
terjadi.
c. Efektor (Direkto / modifier), merupakan alat untuk mengubah
perilaku jika diperlukan agar pelaksanaan atau proses sesuai
dengan yang diharapkan.
d. Jaringan komunikasi (communication network), yaitu alat untuk
menyebarkan informasi. Penyampaian informasi dari detector kea
lat kendali dinamakan umpan balik.
24
Sistem pengendalian juga memiliki beberapa jenis yang digunakan
sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh perusahaan. Jenis-jenis
pengendalian dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (Siswanti, 2013: 197) :
a) Feed Forward Control
Pengendalian feed forward (pendahuluan) di desain untuk
mengantisipasi masalah yang mungkin muncul dan mengambil
tindakan pencegahan. Pengendalian ini memastikan bahwa tujuan
dari sumber daya yang tepat telah disediakan sebelum pekerjaan
dimulai.
b) Concurrent Control
Pengendalian ini berfokus pada apa yang terjadi selama
proses kerja berlangsung. Pengendalian ini memonitor kegiatan
dan memperbaiki apabila terjadi kesalahan pada saat kegiatan itu
berlangsung.
c) Feedback Control
Pengendalian umpan balik ini merupakan pengendalian
yang dilakukan setelah kegiatan selesai. Pengendalian ini berfungsi
memberikan penilaian terhadap kegiatan yang telah dilakukan
25
sehingga kemudian dapat digunakan untuk membuat rencana
kegiatan selanjutnya dengan lebih baik.
Pengendalian karyawan selain melihat pada jenis pengendaliannya,
juga berdasar pada sistem organisasional dan pengendaliannya. Hal ini
membuat pengendalian yang dilakukan perusahaan lebih terstruktur
sehingga lebih mudah dalam mengatur kegiatan karyawan serta mencapai
tujuan perusahaan. Sistem organisasional dan pengendalian selanjutnya
dibagi menjadi 3 (staffnew.uny.ac.id), yaitu :
a. Pengendalian Administratif, pengendalian ini dilakukan melalui
: pemilihan dan pelatihan staff/karyawan, penilaian kinerja, desain
pekerjaan dan struktur kerja, norma kinerja dan kultur organisasi.
b. Pengendalian melalui Sistem Kompensasi, sistem kompensasi
ini dianggap paling efektif dalam menarik minat pada pekerja yang
kompeten dalam bidangnya sehingga dapat meningkatkan
produktifitas perusahaan dan mempermudah pengendalian yang
dilakukan perusahaan.
c. Sistem disiplin karyawan, sistem ini diguanakan untuk
mengarahkan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan yang
dilakukan karyawan tersebut.
26
2.1.4 Agama sebagai Alat Menciptakan Budaya Kerja Perusahaan
Agama merupakan satu hal yang bersifat subjektif oleh setiap individu
dan berdasarkan atas iman (kepercayaan) individu terhadap agama yang
dianutnya. Agama menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup seorang manusia. Dengan agama, manusia dituntut untuk
menjalankan ajaran dan menjauhi segala larangan yang telah disampaikan
dalam agamanya, sebab agama adalah kebutuhan jiwa yang harus dipenuhi.
Agama sebagai suatu sistem sosial terdiri atas suatu kaidah dan peraturan
yang dibuat saling berkaitan dan terarah pada suatu tujuan tertentu.
Agama sebagai sebuah bentuk pengendalian karyawan di dalam
sebuah perusahaan pada akhirnya akan melahirkan budaya kerja yang
berbeda. Perbedaan budaya kerja dan kebijakan-kebijakan perusahaan tentu
bergantung kepada landasan pemikiran pemilik perusahaan tersebut.
Budaya kerja sendiri diartikan sebagai suatu falsafah dengan didasari
pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga
pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam
sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang
terwujud dalam sebagai kerja atau bekerja (Gering, dkk, 2001: 7)
Budaya kerja berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh pemilik
perusahaan yang kemudian diolah menjadi nilai-nilai dan diterapkan
kepada seluruh karyawan perusahaan melalui kebijakan-kebijakan
27
perusahaan. Budaya kerja tidak muncul dengan sendirinya, tetapi harus
diupayakan dengan sungguh-sungguh yang melalui sebuah proses
terkendali dengan melibatkan seluruh stakeholder perusahaan dalam
seperangkat sistem, alat-alat dan teknik-teknik pendukung. Budaya kerja
selalu melalui proses yang panjang, karena terjadinya perubahan nilai-nilai
lama menjadi nilai-nilai baru yang akan membutuhkan waktu untuk
selanjutnya menjadi kebiasaan. Budaya kerja memilik beberapa komponen,
yaitu (Ndraha, 2005: 209) :
1. Anggapan dasar tentang kerja
Pendirian atau anggapan dasar / kepercayaan dasar tentang kerja,
terbentuknya melalui konstruksi pemikiran silogistik. Premisnya
adalah pengalaman hidup empiris dan kesimpulan.
2. Sikap terhadap pekerjaan
Manusia menunjukkan berbagai sikap terhadap kerja. Sikap adalah
kecenderungan jiwa terhadap sesuatu. Kecenderungan itu berkisar
antara menerima sepenuhnya atau menolak sekeras-kerasnya.
28
3. Perilaku ketika bekerja
Sikap terhadap bekerja lahir dari perilaku ketika bekerja. Perilaku
menunjukkan bagaimana seseorang dalam melakukan
pekerjaannya.
4. Lingkungan kerja dan alat kerja
Manusia membangun dan memerlukan lingkungan yang nyaman
dalam bekerja. Selain itu, juga diperlukan alat (teknologi) yang
dapat menunjang kerja seseorang untuk bekerja lebih efektif,
efisien dan produktif.
5. Etos kerja
Istilah ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental
budaya, berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan,
kebiasaan atau perilaku kelompok masyarakat.
Budaya kerja mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan
yang kemudian menjadi landasan dalam menetapkan sebuah kebijakan
kepada seluruh karyawan. Budaya kerja paling umum berkiblat pada
industri barat. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa landasan
dari budaya kerja itu sendiri adalah agama. Agama dapat dijadikan sebuah
bentuk budaya kerja apabila perusahaan menggunakan agama sebagai
29
legitimasi kebijakan perusahaan. Kebijakan yang bersifat memaksa
karyawan inilah yang kemudian membentuk suatu budaya kerja.
2.1.5 Karyawan dalam Perusahaan
“Buruh” dapat diartikan sebagai orang yang bekerja di bawah perintah
orang lain, dengan menerima upah karena telah melakukan pekerjaan di
suatu perusahaan. Selain istilah “buruh” juga digunakan istilah “pekerja”,
“karyawan” dan “pegawai”. Karyawan berarti setiap orang yang melakukan
karya. Karyawan dalam sebuah perusahaan dapat dikelompokkan
berdasarkan statusnya, yang dapat dibagi menjadi dua jenis kelompok
karyawan yaitu karyawan tetap dan karyawan tidak tetap (Adzikra, 2013).
a. Karyawan Tetap
Karyawan tetap merupakan karyawan yang telah memiliki
kontrak ataupun perjanjian kerja dengan perusahaan dalam jangka waktu
yang tidak ditetapkan (permanent). Karyawan tetap biasanya cenderung
memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan karyawan
tidak tetap. Selain itu, karyawan tetap juga cenderung jauh lebih aman
(dalam hal kepastian lapangan pekerjaan) dibandingkan dengan
karyawan tidak tetap.
30
b. Karyawan Tidak Tetap
Karyawan tidak tetap merupakan karyawan yang hanya
dipekerjakan ketika perusahaan membutuhkan tenaga kerja tambahan
saja. Karyawan tidak tetap biasanya dapat diberhentikan sewaktu-waktu
oleh perusahaan ketika perusahaan sudah tidak membutuhkan tenaga
tambahan lagi. Jika dibandingkan dengan karyawan tetap, karyawan
tidak tetap cenderung memiliki hak yang jauh lebih sedikit dan juga
cenderung sedikit tidak aman (dalam hal kepastian lapangan pekerjaan).
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi salah satu aspek penting dalam penelitian
karena penelitian terdahulu dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam
penelitian. Selain itu, penelitian terdahulu juga dapat membantu penelitian dalam
melihat fenomena sejenis sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan.
Penelitian terdahulu yang mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam penelitian Dadi Ahmadi dan Nova Yohana, 2007 yang
berjudul Konstruksi Jilbab Sebagai Simbol Keislaman menjelaskan bagaimana
seseorang memaknai jilbab yang dikenakan. Dari hasil penelitian menyimpulkan
bahwa terdapat dua kelompok pemakai jilbab yang memiliki alasan tersendiri
dalam praktek pemakaian jilbab ini. Pertama mewakili gerakan-gerakan yang
yang berambisi untuk kembali ke Islam. Kelompok ini cenderung diidentikan
dengan jilbab lebar, dimana dapat dikenali dengan ciri jilbab lebar yang khas,
31
gamis, rok dan baju yang lebar. Kelompok kedua mewakili simbol kebebasan dan
modernis yang dapat dikenali dari cara berpakaian mereka.
Jilbab pada awalnya merupakan sebuah bentuk penegasan dan pembentukan
identitas keberagaman seseorang. Namun, dalam perkembangannya jilbab
mengalami pergeseran baik makna maupun bentuknya. Jilbab tidak hanya
digunakan sebagai simbol identitas religi tetapi juga telah merambah ranah-ranah
publik. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
fenomenologi dengan mengambil subjek penelitian para mahasiswi Universitas
Islam Bandung sebanyak 10 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini lebih merujuk pada wawancara mendalam untuk mengetahui motif dibalik
pemakaian jilbabnya.
Penelitian terdahulu dan penelitian yang dilakukan penulis memiliki
beberapa persamaan yaitu adanya penggunaan jilbab sebagai identitas suatu
agama dalam suatu kelompok atau masyarakat dan menggunakan pendekatan
kualitatif. Namun, terdapat juga beberapa perbedaan yaitu penelitian terdahulu
berfokus kepada mahasiswi sedangkan penulis berfokus pada karyawan,
menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan juga
dokumentasi. Penggunaan jilbab dalam perusahaan pun bukan ditujukan sebagai
fashion tetapi sebuah peraturan yang harus ditaati oleh karyawan perempuan.
Rujukan penelitian terdahulu yang kedua adalah penelitian dari Paskalia
Pramita Nareswari, 2013 dengan judul Kecenderungan Penggunaan Simbol
Agama dalam Iklan Politik (Studi Analisis Isi Perbandingan Kecenderungan
32
Penggunaan Simbol-Simbol Agama dalam Iklan Televisi Partai Politik Partai
Nasional Demokrat dan Gerindra) yang menjelaskan penggunaan simbol-simbol
atau isu-isu agama dalam praktek kampanye partai politik. Partai politik berusaha
membentuk citra sebagai sosok yang membela seluruh golongan masyarakat pada
umat beragama. Isu agama yang diangkat dalam kampanye sebagai potret
kemajemukan bangsa Indonesia yang kemudian dipublikasikan melalui iklan
televisi.
Metode analisis simbol agama dalam iklan menggunakan analisis
kuantitatif. Alat ukur menggunakan coding sheet berdasarkan aspek kehidupan
beragama yang dijawab oleh dua hakim/pengkoder. Unit analisis yang menjadi
acuan adalah perilaku, setting tempat, situasi cerita, pakaian, alat ibadah, simbol
hari raya, interaksi, pembicara pesan, kata/kalimat pesan, bahasa, musik dan lagu
iklan. Hasil analisis dalam penelitian terdahulu menyatakan simbol agama yang
paling banyak muncul adalah simbol visual seperti pakaian kerudung dan perilaku
berdoa oleh masyarakat dan anggota partai.
Penelitian terdahulu ini memiliki relevansi dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis. Paskalia mengangkat tema yang hampir sama dengan
penulis yaitu tentang penggunaan ideologi agama terutama dalam penggunaan
kerudung/jilbab sebagai sebuah simbol agama Islam. Namun, terdapat beberapa
perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis, diantaranya yaitu metode penelitian yang dilakukan penulis adalah
kualitatif. Penggunaan simbol agama dalam penelitian terdahulu digunakan untuk
33
kampanye guna memperoleh kepercayaan dari masyarakat sedangkan penelitian
yang penulis lakukan mengarah kepada aturan perusahaan yang menjalankan
syariat agama.
Penelitian terdahulu yang ketiga adalah penelitian Siti Solikhati dkk, 2015
yang berjudul Banalitas Simbol Keagamaan Dalam Sinetron Religi (Analisis
Tayangan Sinetron “Bukan Islam KTP” di SCTV) yang menjelaskan pembelokan
makna simbol-simbol agama dalam tayangan sinetron sebagai akibat dari
pengemasan dari simbol itu sendiri ke dalam dialog yang ringan dan menghibur.
Hasil penelitian ini adalah sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan perlunya
media guna mengembangkan ajaran agama, maka televisi merupakan alternatif
yang sulit untuk dihindarkan. Namun, semua ekspresi simbol-simbol keagamaan
yang ditransformasikan lewat media massa tersebut pada dasarnya bukan lagi
merupakan representasi bentuk murni dari simbol-simbol doktriner agama
melainkan labih merupakan hasil konstruksi sosial yang bertarung dalam praktik
kinerja media. Ketika simbol keagamaan direpresentasikan dalam bentuk pesan di
media massa, maka ia memberi kesempatan kepada siapa saja untuk melakukan
penafsiran dan pemaknaan.
Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis lakukan
adalah tema penelitian yang sama-sama mengangkat penggunaan ideologi agama
yang berupa simbol baik verbal maupun non-verbal. Selain itu, juga adanya
pembelokan makna sesungguhnya dari tindakan yang dilakukan meskipun tidak
secara signifikan. Perbedaan dari penelitian terdahulu dan penelitian ini adalah
34
jika pada penelitian terdahulu lebih merujuk pada penggunaan ideologi agama
dalam bentuk simbol-simbol agama pada media massa (tayangan sinetron), dalam
penelitian ini ideologi agama lebih ditekankan pada karyawan sebuah perusahaan
sebagai sebuah peraturan/kebijakan.
Rujukan penelitian terdahulu yang keempat adalah penelitian dari Ivan
Cvitković : The Problem of Symbols of the Religious Identity in the Borderlands
(The Case of Hijab in Bosnia and Herzegovina) yang menjelaskan tentang tekad
para perempuan yang tinggal di daerah perbatasan dalam mengenakan jilbab.
Perdebatan ini bermula dari adanya UU Pengadilan dan Keputusan Majelis Tinggi
dan Kejaksaan Tinggi (HJPC) yang melarang hakim perempuan mengenakan
jilbab di ruang pengadilan. Hal ini didasari oleh kesadaran muslimah di daerah
perbatasan untuk menutup bagian kepala mereka seperti yang dianjurkan oleh
agama.
Pembahasan tersebut, memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis
lakukan. Yaitu tentang ideologi agama yang berupa jilbab/hijab sebagai sebuah
simbol agama Islam. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah pada penelitian terdahulu kaum perempuan memiliki
kesadaran tinggi untuk menutup aurat mereka yang akhirnya menjadi perdebatan
di Negara tersebut sedangkan pada penelitian ini penggunaan jilbab karena
merupakan salah satu peraturan dari perusahaan. Sehingga mau tidak mau
karyawan perempuan haruslah mengenakannya. Terdapat beberapa penelitian
35
terdahulu yang peneliti gunakan sebagai acuan awal dalam meneliti, diantaranya
pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
No. Penulis dan Judul Hasil Relevansi
1. Dadi Ahmadi dan
Nova Yohana :
Konstruksi Jilbab
sebagai Simbol
Keislaman
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
terdapat dua kelompok
pemakai jilbab. Yang
pertama mewakili
gerakan-gerakan yang
berambisi untuk kembali
ke Islam. Muslimah
kelompok ini dapat
dikenali dari jilbab lebar
yang khas, gamis, rok
dan baju yang lebar.
Potret jilbab lebar sering
diidentikkan dengan
simbol kesalehan dan
kesopanan,
fundamentalis,
konservatif, militan,
antimodernisasi, dan
sebagainya. Kelompok
kedua mewakili simbol
kebebasan, modernis,
cara berpakaian mereka
juga dapat dikenal.
Jilbab juga berfungsi
sebagai bahasa yang
menyampaikan pesan-
pesan sosial dan budaya.
Pada awal
kemunculannya
sebenarnya merupakan
penegasan dan
pembentukan identitas
keberagaman seseorang.
Relevansi penelitian
ini dengan penelitian
yang akan diteliti
adalah penggunaan
ideologi agama yang
berupa jilbab. Akan
tetapi pada penelitian
terdahulu berfokus
pada penggunaan
jilbab pada mahasiswa
sedangkan penelitian
yang akan dilakukan
fokus pada karyawan
perempuan. Jilbab
merupakan simbol
visual atau dapat
dilihat secara langsung
sehingga seseorang
dapat dengan mudah
menilai ataupun
menafsirkan agama
yang dianut orang
tersebut.
36
Dalam
perkembangannya jilbab
tersebut ternyata
mengalami pergeseran
yang signifikan. Jilbab
tidak hanya berfungsi
sebagai simbol identitas
religious, tetapi telah
memasuki ranah-ranah
budaya, sosial, politik,
ekonomi dan bahkan
fashion.
2. Paskalia Pramita
Nareswari :
Kecenderungan
Penggunaan
Simbol Agama
dalam Iklan Politik
(Studi Analisis Isi
Perbandingan
Kecenderungan
Penggunaan
Simbol-Simbol
Agama dalam
Iklan Televisi
Partai Politik
Partai Nasional
Demokrat dan
Gerindra)
Hasil penelitian ini
mengidentifikasi bahwa
isu agama diangkat
dalam kampanye
sebagai potret
kemajemukan bangsa
Indonesia. Kampanye
yang dilakukan melalui
iklan televisi supaya
menarik perhatian
konstituen dan bersedia
memilih partai pada
Pemilu 2014. Simbol
agama paling banyak
muncul seperti kerudung
dan perilaku berdoa oleh
masyarakat dan anggota
partai. Perbedaan
intensitas kemunculan
simbol setiap agama
dipengaruhi oleh jumlah
hari besar keagamaan
selama satu tahun.
Selain itu, agama
mayoritas menjadi salah
satu pengaruh iklan
yang diproduksi bertema
agama Islam lebih
dominan dibandingkan
agama lain. Simbol
Relevansi penelitian
ini dengan penelitian
yang akan peneliti
lakukan adalah
ideologi agama yang
digunakan tidak hanya
berupa simbol verbal
(ucapan) tetapi juga
non-verbal (benda atau
barang). Akan tetapi
pada penelitian
terdahulu agama
digunakan untuk
kampanye dan
memperoleh
kepercayaan dari
masyarakat,
sedangkan penelitian
yang akan peneliti
lakukan mengarah
pada peraturan
perusahaan yang
berusaha menjalankan
syariat agama.
37
agama dimunculkan
sebagai wujud toleransi
antar umat beragama.
3. Siti Solikhati,
Heddy Shri
Ahimsa Putra dan
Heru Nugroho :
Banalitas Simbol
Keagamaan Dalam
Sinetron Religi
(Analisis
Tayangan Sinetron
“Bukan Islam
KTP” di SCTV)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
ajaran-ajaran agama
Islam yang bersifat
normatif dan doktrinal
dikemas dalam dialog
yang ringan dan
menghibur, serta
menggunakan simbol-
simbol keagamaan yang
absurd. Sebagai akibat
dari pengemasan pesan-
pesan keagamaan dalam
format hiburan di
stasiun televisi ini
adalah terjadinya
peristiwa banalisasi atau
pendangkalan substansi
pesan yang
termanifestasikan dalam
bentuk penggunaan
simbol-simbol
keagamaan, baik yang
berupa simbol verbal
maupun non-verbal.
Banalisasi pada simbol-
simbol verbal berkaitan
dengan munculnya
pendangkalan yang
berakibat pada
pembelokan makna
normatif akibat
kurangnya pemahaman
produsen pesan pada
tiga wilayah yaitu
domain isi pesan,
domain fungsi normatif
ajaran, serta domain
kultural atau historisitas
Relevansi penelitian
ini dengan penelitian
yang akan diteliti
terletak pada
penggunaan ideologi
agama dalam bentuk
verbal maupun non-
verbal yang
merupakan ciri dari
seorang muslim.
Selain itu juga
terdapatnya
pembelokan makna
yang sebenarnya dari
tindakan yang
dilakukan meskipun
tidak secara
signifikan. Pada
penelitian terdahulu
simbol keagamaan
ditampilkan pada
sebuah tayangan
sinetron sedangkan
pada penelitian ini
agama digunakan oleh
institusi (perusahaan)
untuk mengatur
tindakan pegawainya.
38
nilai ajaran. Sedangkan
banalisasi pada
penggunaan simbol
keagamaan yang bersifat
non-verbal terjadi akibat
penonjolan aspek teknis
serta estetis yang
digunakan oleh
produsen simbol.
4. Ivan Cvitković :
The Problem of
Symbols of the
Religious Identity
in the Borderlands
(The Case of Hijab
in Bosnia and
Herzegovina)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
perempuan-perempuan
yang tinggal di daerah
perbatasan, Bosnia dan
Herzegovina telah
memutuskan untuk
kembali mengenakan
jilbab pada tahun 1990-
an. Perbedaan bisa
ditemukan antara jilbab,
niqab, hijab dan burqa.
Pada tahun 2016 muncul
diskusi tentang
pemakaian jilbab di
ruang pengadilan.
Alasan dari adanya
diskusi tentang jilbab di
Bosnia dan Herzegovina
adalah UU Pengadilan
dan Keputusan Majelis
Tinggi dan Kejaksaan
Tinggi (HJPC) untuk
melarang hakim
perempuan mengenakan
jilbab di pengadilan.
Relevansi penelitian
ini dengan penelitian
yang akan dilakukan
adalah penggunaan
jilbab / hijab pada
kaum perempuan.
Jilbab / hijab sebagai
suatu simbol agama
yang khas dan
diperuntukkan bagi
kaum perempuan.
Penelitian terdahulu
mengungkapkan
bahwa pemakaian
jilbab / hijab ini
merupakan kesadaran
dari kaum perempuan
untuk menutup bagian
kepala mereka yang
kemudian menjadikan
sebuah perdebatan di
Negara tersebut.
Sedangkan pada
penelitian ini,
pemakaian jilbab /
hijab merupakan
aturan tidak tertulis
yang diberikan
perusahaan terhadap
seluruh karyawan
perempuannya,
dimana sebagian dari
mereka merasa tidak
39
sepenuh hati untuk
memakai jilbab / hijab.
Sumber : Data Diolah
2.3 Landasan Teori Ideologi Althusser
Teori yang akan digunakan dalam menganalisa penelitian ini adalah teori
ideologi dari Louis Althusser. Menurut Althusser ideologi bukanlah sebuah
kesadaran palsu seperti yang dikemukakan Marx, melainkan perangkat konsep
yang menafsirkan, merasakan, pengalaman dan menjalani kondisi material
dimana mereka menemukan dirinya. Menurutnya, ideologi akan membentuk
kesadaran seseorang akan realitas dirinya (Nurani, 2013). Sehingga ideologi
memiliki kekuatan untuk menunjukkan kekuasaannya dengan caranya sendiri
terhadap berbagai perkembangan sosial.
Teori ini terwujud dalam sebuah tindakan dimana setiap tindakan yang
dilakukan didasarkan pada ideologi yang dianggap benar. Ideologi pada saat ini,
terutama pada hubungan antara pengusaha dan karyawan merupakan alat
kekuasaan untuk mengendalikan karyawan melalui suatu kebijakan yang berlaku.
Akibatnya ideologi perusahaan mengalami difusi dan dipaksakan kepada seluruh
karyawan. Dalam hal ini perusahaan mengontrol apa yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan, sehingga kebijakan perusahaan bersifat asas tunggal
artinya nilai-nilai yang boleh diterapkan adalah nilai-nilai yang mendapatkan
legitimasi perusahaan. Representasi ideologis dari ideologi itu sendiri dipaksa
40
untuk mengenali bahwa setiap “subjek” yang diberkati dengan kesadaran dan
mempercayai gagasan-gagasan yang diinspirasikan dan diterima secara bebas
oleh kesadarannya, pasti bertindak sesuai dengan gagasan-gagasannya, dan
dengan demikian gagasan sebagai seorang subjek yang bebas dalam tindakan dari
praktiknya materialnya. Apabila ia tidak melakukannya, “hal itu jahat”
(Althusser, 2015 : 48)
Ideologi tidak hanya dalam hubungan Negara dengan rakyatnya, ataupun
antar majikan dan buruh. Ideologi ada dalam berbagai hubungan, termasuk dalam
relasi orang per orang. Ideologi ada dalam tiap orang, meskipun orang tersebut
tidak menyadarinya. Jadi ideologi bukanlah kesadaran palsu, melainkan sebuah
ketidaksadaran yang tertanam di individu. Bahkan ketidaksadaran itu begitu
mendalam (profoundly councious), sehingga bagaimana prakteknya dalam diri
manusia tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri
individu sepanjang hidupnya, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sesuatu
yang alamiah (Althusser, 2004 : xvii). Salah satu efek dari ideologi adalah
naturalisasi relasi produksi atau menjadikan relasi produksi yang ada nampak
alamiah, seolah sudah kodratnya demikian.
Althusser punya dua tesis tentang ideologi (Althusser, 2004 : 40). Tesis
pertamanya mengatakan bahwa ideologi itu adalah representasi dari hubungan
imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Yang
direpresentasikan disitu bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual,
41
tetapi relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan dimana mereka hidup
didalamnya. Tesis yang kedua mengatakan bahwa representasi gagasan yang
membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai eksistensi spiritual, tetapi juga
eksistensi material. Jadi bisa dikatakan bahwa aparatus ideologis negara adalah
realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis dalam wujud apparatus
(Septy : 14).
Eksistensi tersebut bersifat material. Eksistensi material menurut Althusser
ini bisa dijelaskan sebagai berikut: kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang
terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara
natural akan diikuti oleh orang tersebut. Misalnya jika percaya kepada Tuhan dan
termasuk penganut agama tertentu, maka kita akan pergi ke gereja untuk
mengikuti misa, pergi ke masjid untuk sembahyang lima waktu. Atau kalau kita
percaya keadilan, maka kita akan tunduk pada aturan hukum, menyatakan protes,
atau bahkan ikut ambil bagian dalam demonstrasi, jika terjadi ketidakadilan
(Althusser, 2004 : 46).
Althusser membedakan dua konsep tentang ideologi, yaitu RSA (Repressive
State Apparatus) dan ISA (Ideological State Apparatus) (Althusser, 2004 : xxiv).
RSA (Repressive State Apparatus) lebih menunjuk pada aktor-aktor yang
berperan penting menginterpretasikan sekaligus mengaplikasikan ideologi antar
sesama manusia. Pada aspek ini, Althusser memandang RSA (Repressive State
Apparatus) sebagai pemilik kuasa represif untuk dengan tegas menerapkannya
42
pada setiap warga negara. ISA (Ideological State Apparatus) mengarah pada
ideologi itu sendiri yang masuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Ideologi ini
terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, politik,
komunikasi, serta moralitas. Pada sisi ini, Althusser menekankan sisi produksi
dan reproduksi material dalam ideologi. Produksi tidak mungkin ada tanpa
reproduksi karena proses pembentukan memerlukan sesuatu untuk dibentuk.
Pada kenyataannya, sebagian besar dan secara spesifik mengamankan
reproduksi relasi-relasi produksi, dibalik perisai yang diberikan oleh apparatus
represi. Di sinilah peran ideologi, yang berkuasa banyak terkonsentrasi, ideologi
dari kelas yang berkuasa, yang memegang kekuasaan Negara. Dalam praktiknya
ideologi yang sesuai dengan peran yang harus dipenuhinya dalam masyarakat
berkelas : peran kaum dieksploitasi (pekerja atau petani kecil), peran agen
eksploitasi (kapitalis, manager : kemampuan untuk memberikan perintah kepada
pekerja dan berbicara dengan mereka), agen represi (tentara, polisi, potisi,
administrator, dsb : kemampuan untuk memberikan perintah dan memaksakan
kewajiban ‘tanpa diskusi’) atau para ideologi professional (Althusser, 2015 : 36).
Struktur semua ideologi yang menginterpelasi individu sebagai subjek atas
nama sebuah Subjek, itu memantulkan, yaitu sebuah struktur cermin dan
pemantulan ini berwatak ganda : penggandaan melalui pantulan cermin ini
membentuk ideologi dan memastikan fungsinya. Dalam penggunaan subjek itu,
subjek pada kenyataannya bermakna : (1) sebuah subjetivitas yang bebas, pusat
43
inisiatif, pelaku dan bertanggung jawab atas tindakannya, (2) seorang makhluk
yang ditundukkan menjadi subjek, yang tunduk pada sebuah otoritas yang lebih
tinggi, dan dengan demikian dilucuti dari semua kebebasan kecuali bebas
menerima ketundukannya. Catatan terakhir ini memberikan arti tentang
ambiguitas tentang cerminan dari efek yang memproduksinya : individu
diinterpelasi sebagai seorang subjek (yang bebas) agar ia tunduk secara bebas
kepada perintah-perintah Subjek, dan tindakan ketundukkannya ‘dengan
sendirinya’. Tidak ada subjek kecuali oleh dan untuk ketundukkan mereka
sebagai subjek (Althusser, 2015 : 61).
Hubungan antar manusia menjadi basis paling penting dalam ideologi,
bukan hanya sekedar pemilik modal dan buruh, melainkan juga antara pemilik
kuasa ideologis dan sasaran ideologis itu sendiri. Dengan demikian, bukan hanya
sikap antar manusia yang menjadi fokus dari ideologi, melainkan juga tatanan
sosial yang terus menerus membentuk ulang ideologi ini. Althusser menyebutnya
sebagai overdeterminasi guna mengatasi ketunggalan esensi ekonomi dalam
ideologi. Proses produksi dan reproduksi memang berasal dari aspek ekonomi,
namun dalam perkembangannya ideologi menjadi suatu esensi otonom yang
bukan hanya merengkuh sisi ekonomi namun juga sosial budaya. Proses ekonomi
ini memang tidak langsung terungkap dalam ideologi atau kesadaran, melainkan
muncul sebagai akibatnya dalam bentuk realitas sosial akan gagasan-gagasan.