bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teori 2.1.1 kompetensi guru
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1 Kompetensi Guru
Keberasilan kegiatan pembelajaran yang berlangsung di
sekolah tentunya tidak lepas dari faktor kompetensi yang dimiliki
seorang guru. Kompetensi menurut Daryanto (2015:163) adalah
kemampuan dan kecakapan yang berupa pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dimiliki oleh individu
sehingga dapat melakukan perilaku kognitif, afektif dan
psikomotorik dengan baik. Menurut Undang-undang Guru dan
Dosen No.14 Tahun 2005 dijelaskan kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh seorang pendidik dalam
melaksanakan keprofesionalisannya.
Dari beberapa pendapat dapat ditarik kesimpulan tentang
pengertian kompetensi adalah berbagai pengetahuan,
2
keterampilan, serta perilaku yang dimiliki seorang guru yang
diperoleh melalui jalur pendidikan yang dilakukan secara terus
menerus agar mendapatkan hasil yang terbaik. Untuk menjadi
guru profesional menurut Kompri (2015:191-192) maka
membutuhkan beberapa kriteria yaitu mempunyai komitmen yang
tinggi terhadap tugas yang sedang dikerjakan berdasarkan
standard kompetensi lulusan peserta didik, bertanggung jawab
dengan beban kerja yang diberikan, berpikir secara sistematis
tentang apa yang dikerjakan, mampu menguasai materi, mampu
berorganisasi, mandiri dalam merancang proses pembelajaran,
harus mampu melaksanakan kegiatan penelitian, mampu menulis
karya ilmiah dan guru yang aktif dalam organisasi profesi.
Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru menurut
pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang
Standart Nasional Pendidikan meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi
profesional. Seorang guru harus mempunyai kriteria tersebut agar
proses pembelajaran dapat berjalan sesuai rencana pembelajaran
yang telah dibuat sebelumnya oleh guru sebelum mengajar. Hal
3
ini ditekankan oleh Sanders Wiliam L, S.Paul Wringht, and
Sandra P.Hom (1997) yang menyebutkan bahwa guru merupakan
faktor yang paling penting dalam mempengaruhi perolehan
akademik siswa.
Daryanto (2015) secara lebih rinci menjelaskan tentang
kompetensi personal seorang guru salah satunya adalah tentang
pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan, seperti membimbing
peserta didik yang mengalami kesulitan belajar serta
membimbing peserta didik yang mengalami permasalahan, maka
jika dilihat dari kompetensi personal tersebut maka seorang guru
harus ikut bagian dalam proses pengelolaan manajemen
kesiswaan. Menurut Harsono (2010:30) salah satu faktor penentu
kualitas mutu pendidikan dapat dilihat dari kompetensi
professional seorang guru bukan berarti yang lain tidak berperan,
keempat kompetensi tesebut tidak dapat terpisahkan dan harus
saling terkait. Menurut Nurdin dalam Kompri (2015:141) dalam
permasalahan pengembangan profesionalisme guru tidak terlepas
dari: pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability),
keterampilan (skill), sikap diri (attitude), kebiasaan diri (habit).
4
Dengan demikian untuk meningkatkan keempat kompetensi
tersebut maka sekolah ataupun guru harus melakukan kegiatan
pendidikan dan pelatihan sesuai bidang keahlian yang dimiliki
guru (Harsono, 2013:33). Hal ini sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas No. 20 Th. 2003 yaitu
guru wajib meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Kompri (2015:142) menekankan bahwa guru efektif dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu: memiliki
kemampuan dalam menguasai iklim belajar, memiliki
kemampuan dalam menguasai strategi manajemen pembelajaran,
memiliki kemampuan dalam pemberian umpan balik dan
penguatan, memiliki kemampuan dalam rangka pengembangan
diri seperti mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar
yang efektif. Parkay dan Stanford dalam Dariyo (2013:110)
tentang dasar-dasar pedagogi modern menambahkan lima tugas
guru dalam mengajar yaitu: mengajar sebagai cara untuk menjadi
(a way of being) yang dimaksud disini dapat berbagi pengalaman,
pengetahuan yang dibagikan kepada peserta didik, berbagi
5
pengalaman kesejahteraan, mengajar sebagai tugas kreatif,
mengajar sebagai bentuk pemberdayaan potensi diri, mengajar
sebagai panggilan hidup dan mengajar sebagai bentuk pelayanan.
2.1.2 Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam
membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. serta
bertujuan untuk membentuk kepribadian cakap, terampil, disiplin,
kreatif, berintelektualitas, berakhlak mulia, berbudi luhur, yang
dilakukan secara terukur dan terencana. Hal ini sesuai dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat 3
yang berisi pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan
berbangsa wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional,
yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan serta
akhlak mulia. Pernyataan dalam membentuk sumber daya
manusia juga ditekankan dalam Undang-undang Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan
Pendidikan Nasional.
Peran serta pemerintah dalam mendukung tercapainya
tujuan pendidikan nasional diwujudkan dengan adanya kebijakan
6
pemerintah dalam pembuatan kurikulum 13 atau sering disebut
K13 yaitu pendidikan lebih menekankan kepada pembentukan
karakter peserta didik. Untuk mendukung keberasilan penerapan
kurikulum K13 yang diselenggarakan di sekolah, maka pihak
sekolah sudah seharusnya membekali guru dengan kompetensi
yang sesuai dengan bidangnya serta keterampilan dalam
melaksanakan penguatan pendidikan karakter agar motivasi
peserta didik dapat meningkat.
Perihal peningkatan motivasi peserta didik ditekankan oleh
Amri, Jauhari, & Elisah (2011: 57) bahwa untuk membentuk
peserta didik yang terus belajar maka dapat dilakukan langkah-
langkah yang menerapkan metode belajar yang melibatkan
peserta didik yaitu meliputi student active learning, contextual
learning, inquiry-based learning, integrated learning, condicive
learning community, pendidikan karakter dilaksanakan secara
eksplisit, sistematis, secara terus menerus, metode pengajaran
yang memperhatikan keunikan masing-masing peserta didik,
yang menerapkan seluruh aspek kecerdasan manusia.
7
Keberhasilan pembentukan karakter peserta didik yang
dilakukan dilingkungan sekolah diharapkan dapat menghasilkan
peserta didik selain mempunyai pengetahuan juga mempunyai
kepribadian yang baik serta akhlak yang mulia. Menurut Soegeng
(2016:116) kepribadian dapat diartikan sebagai identitas dan jati
diri seseorang yang membedakan diri pribadi dengan orang lain.
Pengertian akhlak mulia menurut Raharjo (2010) adalah seluruh
kebiasaan seseorang yang bersumber dari dalam diri yang
didorong keinginan secara sadar dan dicerminkan dalam perilaku
yang baik. Pengertian akhlak jika dilihat dari segi aksiologi
menurut Jalaluddin (2013:127) adalah suatu aspek yang
menyelidiki nilai (value). Selanjutnya akhlak menurut Brameld
dilihat dari segi aksiologi dibedakan menjadi tiga yaitu moral
conduct (perilaku moral) yaitu menghasilkan etika individu,
esthetic expression (ekspresi keindahan) menghasilkan estetika,
socio-political life (kehidupan sosio politik) menghasilkan ilmu
filsafat sosio politik. Istilah moral menurut Soegeng (2016:55)
merujuk pada obyek yaitu perilaku seseorang yang dilihat dari
8
baik buruknya yang berdasarkan atas pembawaan dari orang itu
sendiri.
Menurut Soegeng (2016:148) pendidikan, moral, dan
agama saling keterkaitan dan bahwa seluruh nilai pendidikan
seluruhnya adalah tugas lembaga pendidikan yaitu sekolah yang
menjadikan seseorang beragama baik dan menyatakan bahwa
tempat yang tepat dalam melaksanakan pendidikan moral adalah
keluarga bukan sekolah. Hal ini dikarenakan moral terdapat pada
pribadi tiap individu dan pribadi tiap individu mencakup
keseluruhan baik moralitas maupun budi pekerti dan berkarakter
baik. Dengan demikian apabila karakter-karakter yang baik
tertanam dalam diri peserta didik maka akhlak mulia secara
impulsif akan tampak melalui perilaku peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.
Karakter menurut filosof kontemporer Lickona (2013:72)
adalah perpaduan seluruh budi pekerti yang terdapat dalam
berbagai macam ajaran keyakinan agama, kisah-kisah sastra,
cerita-cerita orang bijak serta orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan. Menurut Lickona (2013) karakter dapat terbentuk
9
dari tiga macam bagian yang saling berkaitan yaitu pengetahuan
moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan
perilaku moral (moral action). Asmani (2011:28) menyatakan
karakter adalah kualitas perilaku kepribadian yang dilihat dari
moral, kekuatan moral, serta reputasi seseorang. Menurut
Zubaedi (2011:11) karakter adalah cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, bangsa dan Negara.
Memahami tentang karakter dari beberapa peneliti tersebut,
peneliti berpendapat karakter adalah kemampuan seorang
individu dalam berpikir, bertindak, serta membangun kepribadian
berdasarkan ajaran agama serta pengetahuan moral yang telah
didapatkan semasa menjalani hidupnya dalam bermasyarakat
yang berdampak pada kepribadian kepada tiap individu baik
ataupun buruk, benar ataupun salah, yang lebih diarahkan kepada
hal yang baik serta benar.
Adapun nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan kepada
peserta didik antara lain: cinta kepada Tuhan YME beserta isinya;
tanggung jawab, disiplin dan mandiri; jujur, hormat dan santun,
10
kasih sayang, peduli, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja
keras dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan, baik
dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Untuk
melihat efektivitas nilai-nilai karakter dapat tertanam dalam diri
peserta didik maka menurut Wing Sze MAK (2014) dalam
penelitian yang berjudul “Evaluation of a moral and character
education group for primary school students”, menunjukkan
efektivitas kelompok pendidikan karakter dan moral dapat dilihat
dari diri seluruh peserta didik diantaranya mengalami
peningkatan dalam pemahaman tentang pentingnya rasa saling
menghargai, rasa hormat, kebaikan, serta timbul kesadaran diri
untuk melatih dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Kegiatan yang dilaksanakan di sekolah tentunya melibatkan
peserta didik dimana peserta didik tersebut mempunyai latar
belakang kehidupan dan kepribadian yang berbeda-beda antara
satu individu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan tantangan
bagi guru untuk dapat mendidik seluruh peserta didik agar
mempunyai karakter yang baik. Usaha yang dilakukan pihak
11
sekolah adalah dengan mendayagunakan guru agar dapat
melaksanakan kewajiban mendidik penerus generasi bangsa.
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah
merupakan tanggung jawab kepala satuan pendidikan Sebagai
pemimpin harus menunjuk guru dalam pelaksanaan pendidikan
karakter sesuai dengan pemenuhan beban kerja yang diberikan.
Pembentukan karakter tersebut ditekankan oleh Jalaluddin
(2013:215) bahwa pembentukan karakter ini tidak dapat terjadi
dengan sendirinya akan tetapi membutuhkan peranan keluarga,
lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah, dalam
pembentukan karakter harus menanamkan nilai-nilai kebajikan
meliputi moral, karakter serta akhlak.
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah
khususnya tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) peserta
didik berada pada masa usia remaja (prepubertas). menurut
William Starbuk masa ini ditandai dengan ciri tertentu yaitu dapat
berpikir rasional, etika, estetika, sosial, minat, dan agama dengan
demikian maka sekolah harus dapat memberikan bimbingan agar
12
mental spiritual peserta didik dapat berkembang dengan
maksimal (Jalaluddin, 2013:221).
Pendidikan karakter menurut Berkowitz (1999) adalah
intervensi yang secara sengaja dilakukan untuk meningkatkan
pembentukan salah satu nilai karakter atau semua nilai yang
dimiliki individu. Menurut Zubaedi (2011:18) pendidikan
karakter adalah usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh
untuk membantu, memahami dan membentuk, memupuk nilai-
nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat,
yang bertujuan mengembangkan potensi nurani, mengembangkan
perilaku yang sesuai dengan ajaran agama, menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab, jujur, mandiri, kreatif serta
mengembangkan kehidupan sekolah yang berwawasan
kebangsaan. Menurut Mulyasa (2014:263) Pendidikan karakter
adalah usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana,
serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta
didik yang berguna membangun karakter individu maupun
kelompok sebagai warga Negara.
13
Menurut Lickona terdapat alasan mengapa pendidikan
karakter sangat penting untuk disampaikan yaitu untuk menjamin
peserta didik memiliki kepribadian yang baik, meningkatkan
prestasi akademik, peserta didik dianggap tidak bisa membentuk
karakter yang kuat dilingkungan luar sekolah, mempersiapkan
peserta didik agar dapat menghormati dalam bermasyarat,
berawal dari permasalahan moral, persiapan terbaik untuk
perilaku di tempat kerja, pembelajaran nilai-nilai budaya yang
merupakan bagian dari peradaban (Sudrajat, 2011).
2.1.3 Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tentunya
berkewajiban membentuk kepribadian manusia yang berkarakter
baik yang diharapkan dapat menjadi generasi penerus bangsa.
Pendidikan tidak terlepas dari istilah pedagogiek yang berarti
ilmu pendidikan, yang berasal dari bahasa Yunani pedagogues
yang dapat diartikan sebagai pemuda yang mengantarkan anak ke
sekolah serta menjaga agar perilaku anak tersebut disiplin serta
bebudi luhur (Soegeng, 2016:144). Pedagogik menurut Dariyo
(2013:2) tentang dasar-dasar pedagogi modern menjelaskan suatu
14
bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak-anak
agar dapat mencapai tingkat kedewasaan dalam kehidupan
mendatang dan dalam pedagogik terdapat tiga unsur yaitu orang
dewasa yaitu jika dalam sekolah adalah seorang guru, bimbingan,
anak-anak.
Berawal dari pengertian pedagogik yang diartikan dari
beberapa ahli tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan
seorang guru merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam
tercapai proses pembelajaran khususnya pelaksanaan pendidikan
karakter yang dilaksanakan di lingkungan sekolah yaitu guru
berkewajiban serta mempunyai tugas membimbing peserta didik
agar dapat mencapai kedewasaan yang bermoral. Menurut
Mulyasa (2014:79) dalam mendidik peserta didik juga harus
mengikutsertakan faktor intelegensi question (IQ), emosional
question (EQ), creativity question (CQ) yang semuanya tertuju
pada pembentukan spiritual question (SQ) peserta didik.
Pembentukan emosional question (EQ) bagi seseorang
dirasa sangat penting hal ini ditekankan oleh Zubaedi (2013:76)
bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan
15
bermasyarakat 80% tergantung pada kecerdasan emosi sedangkan
20% ditentukan oleh intelegence question(IQ). Hubungan
pendidikan karakter dengan EQ dan SQ pada hakikatnya
merupakan pengintegrasian antara kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia dengan kecerdasan intelektual (Zubaedi, 2013:41-
43).
Penguatan pendidikan karakter di sekolah harus dapat
membentuk peserta didik yang tidak hanya membekali mereka
dengan ilmu pengetahuan akan tetapi juga membekali kekuatan
kecerdasan emosi yang baik agar mampu bertahan dalam
kehidupan bermasyarakat dengan keterampilan yang dimiliki
yang tidak dapat melupakan pada faktor spiritual question (SQ)
sebagai penyeimbang dalam kehidupan dengan demikian maka
akan terbentuk karakter yang baik.
Dalam membentuk peserta didik yang berkarakter baik
dalam pendidikan formal yaitu sekolah melalui proses
pembelajaran maka harus memperhatikan model, strategi,
pendekatan, metode, teknik, dan taktik pembelajaran. Selain hal
tersebut Narvaez (2008) menyatakan tentang model pendidikan
16
etika yang terintegrasi (the Integrative Ethical Education model)
dalam mengembangkan karakter moral harus didukung oleh iklim
lingkungan yang mendukung, mengembangkan keterampilan
etika, pengembangan keterampilan melalui pelatihan, self
regulation, serta mengadopsi pengembangan sistem pendekatan.
Menurut Zubaedi (2013:189) model pembelajaran
merupakan suatu wadah dari penerapan suatu pendekatan,
metode, dan teknik pembelajaran. Tujuan pendidikan dapat
tercapai dengan baik apabila seorang guru dapat
mengimplementasikan pengembangan kurikulum dari sekolah
dengan baik. Pengertian kurikulum menurut Jalaluddin
(2013:153) adalah suatu tumpuan dan suatu arah yang dilalui
orang untuk mencapai tujuan. Menurut Jalaluddin (2013:151)
kurikulum dirasa sangat penting dalam proses pendidikan karena
tujuan dan program harus terdapat keselarasan, tanggung jawab
pelaksanaan kurikulum dibebankan oleh seluruh warga sekolah
meliputi kepala sekolah, guru, serta pengawas sekolah dan segala
jenis aktifitas pembelajaran yang akan diajarkan oleh guru untuk
peserta didiknya harus dapat diterima dengan baik.
17
Berkaitan dengan penyajian materi pendidikan karakter di
sekolah muncul paham yang menghendaki agar materi
pendidikan karakter disampaikan dengan memperhatikan faktor
psikologis peserta didik, sehingga dapat menjamin tingkat
keberhasilan tujuan pendidikan. Zubaedi (2013:139) berpendapat
bahwa untuk mencapai terjadinya internalisasi moral hendaknya
pada tahap permulaan dikembangkan pengkondisian dan latihan
moral agar terjadi internalisasi. Menurut Drajat (2014:82-83)
keberasilan proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah
sangat dipengaruhi oleh guru yang terampil dalam memilih serta
menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan kompetensi
yang diajarkan kepada peserta didik.
Dengan demikian pihak sekolah harus mempersiapkan guru
dalam segala jenis kegiatan khususnya proses pembelajaran agar
guru dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
kemampuan sosial bermasyarakat agar penanaman nilai-nilai
karakter dalam penguatan pendidikan karakter yang dilaksanakan
di sekolah dapat tercapai. Beberapa usaha yang dapat dilakukan
sekolah adalah melalui konseling, latihan kepekaan kelompok,
18
supervisi, bimbingan, proses penasehatan, pelajaran untuk
mengembangkan self development bukan hanya mengembangkan
self understanding (Harsono, 2010:66).
2.1.4 Kemampuan Guru dalam Pendidikan Karakter
Peran guru di sekolah harus dapat menjadi teladan bagi
peserta didik, dengan demikian maka guru dalam proses
mendidik diharapkan mempunyai empat kompetensi yaitu
pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Menurut Harsono
(2013:37) proses pembelajaran saat ini hanya sebatas aspek
kognitif belum tercapai aspek afektif dan psikomotorik. Dalam
proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah maka seorang
guru perlu menyiapkan serta mengembangkan bahan ajar, yang
selain mengajarkan aspek kognitif juga aspek afektif dan
psikomotorik, karena menurut Mulyasa (2014:135) penerapan
pendidikan karakter dalam proses belajar dianggap sebagai
aktifitas psikologis yang memerlukan dorongan dari luar
sehingga guru harus dapat memotivasi peserta didik serta dapat
menumbuhkan kesadaran mereka terhadap manfaat ilmu yang
telah didapat.
19
Dengan demikian maka guru harus dapat menjadi teladan
bagi peserta didik. Pernyataan tersebut ditekankan oleh Kemala
tentang Stres Pada Remaja (2007). Dari hasil penelitian yang
dilakukan ditemukan bahwa faktor guru sangat berperan dalam
penyampaian materi. Kepala sekolah sebagai seorang supervisor
pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting dalam
perkembangan sumber daya manusia yang profesional yang
dimiliki guru, melalui bimbingan yang diberikan oleh kepala
sekolah diharapkan kemampuan guru dapat meningkat sesuai
tugas yang telah dibebankan (Daryanto, 2015:143). Menurut
Tobing (2007:28-32), faktor penting dalam penerapan pendidikan
karakter dalam proses pembelajaran adalah manusia,
kepemimpinan, dan teknologi
Menurut Mulyasa (2014:64-65) dalam mendidik peserta
didik agar menghasilkan karakter serta akhlak yang baik, guru
harus memiliki kemampuan dalam mengenal peserta didik di
antaranya kemampuan potensi, minat, hobi, sikap, kepribadian,
kebiasaan, catatan kesehatan, latar belakang keluarga serta
kegiatan di sekolah. Untuk memahami peserta didik tersebut
20
maka guru perlu melakukan di antaranya observasi terhadap
peserta didik di sekolah, meluangkan waktu untuk peserta didik
untuk pertemuan, memberikan tugas dalam bentuk kelompok,
memeriksa pekerjaan peserta didik serta memberikan kesempatan
kepada peserta didik yang mempunyai keterampilan yang
berbeda sesuai kreatifitas masing-masing.
Tercapainya pengembangan pelaksanan pendidikan
karakter di sekolah agar berjalan secara efektif, maka guru harus
mempunyai kemampuan: menguasai dan memahami pendidikan
karakter serta dapat memasukkan aspek karakter dalam
pembelajaran, memahami peserta didik secara keseluruhan mulai
dari pengetahuan, keterampilan, psikologis peserta didik, metode
pembelajaran yang kreatif dan inovatif, mampu memilih bahan
belajar yang sesuai dengan karakter, mengikuti perkembangan
peserta didik, mempersiapkan proses pendidikan karakter secara
matang, mampu memotivasi peserta didik agar mempunyai
karakter yang baik, mampu menghubungkan pengalaman yang
lalu dengan karakter yang akan dibentuk.
21
Menurut Jalaluddin (2013:114) dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah guru harus
mempunyai cara di antaranya: Menggunakan prinsip keteladanan
dari berbagai pihak baik keluarga, guru, masyarakat, pemerintah
maupun pihak pimpinan; menggunakan prinsip pembiasaan
dalam berbagai aspek kehidupan; menggunakan prinsip
kesadaran dalam berperilaku sesuai dengan nilai-nilai karakter
yang diajarkan.
Menurut Mulyasa (2014:66) guru yang dapat melaksanakan
pendidikan karakter secara efektif dapat dilihat dari: dapat
memahami dirinya dan penuh dengan perhatian; antusias dan
bergairah dalam pendidikan karakter dalam proses pembelajaran
di sekolah; berbicara dengan jelas dan komunikatif; dapat
membedakan perbedaan tiap individu; mempunyai banyak
pengetahuan inovatif, kreatif dan memiliki banyak pemikiran
baru; menghindari perkataan kasar dan bullying; tidak
menonjolkan diri; dapat menjadi teladan untuk peserta didik.
Albertus (2015:56) menekankan bahwa keberhasilan pendidikan
karakter yang dilakukan di sekolah terletak pada guru, karena
22
sebagus apapun program pelaksanaan pendidikan karakter yang
dibuat tanpa adanya pengetahuan, keterampilan yang memadai
dari pelaksana, yaitu guru maka program pendidikan karakter
tidak akan berjalan dengan baik.
Dalam proses pembelajaran guru diharuskan menjalankan
peran yaitu: harus terlibat dalam proses pembelajaran yaitu
melakukan interaksi dengan peserta didik; harus menjadi teladan
dalam berperilaku dan berbicara; mendorong peserta didik untuk
dapat aktif dalam pembelajaran; harus dapat melakukan
perubahan terhadap peserta didik serta memotivasi agar terus
berkembang kearah yang lebih baik; harus mampu
mengembangkan kepekaan emosi dan sosial supaya peserta didik
menjadi lebih bertakwa serta menghargai ciptaannya; harus
menunjukkan rasa kasih sayang kepada peserta didik sehngga
guru dalam membimbing yang sulit tidak mudah putus asa, selain
itu ditekankan pula pendidikan karakter merupakan tanggung
jawab semua guru (Zubaedi, 2013:165).
Perencanaan pendidikan karakter di sekolah akan berjalan
secara efektif apabila guru dapat membuat rencana pelaksanaan
23
pembelajaran karakter (RPP) sesuai dengan kompetensi. Menurut
Mulyasa (2014:79) agar guru dapat membuat RPP karakter yang
efektif dan tercapai dengan baik maka harus melibatkan peserta
didik dalam perencanaan RPP karakter, meliputi identifikasi
jenis-jenis karakter, menetapkan materi standart,
mengembangkan indikator hasil belajar serta melakukan
penilaian serta guru harus merencanakan karakter yang harus
dibentuk.
2.1.5 Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter di
Sekolah
Dalam implementasi penguatan pendidikan karakter di
sekolah menurut Albertus (2018:9) secara umum terdapat tiga
basis penguatan pendidikan yang dapat diterapkan dilingkungan
sekolah diantaranya melalui pendidikan karakter berbasis kelas,
kultur/budaya sekolah, dan komunitas.
Dalam penerapan nilai-nilai karakter yang telah dituangkan
dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, tentunya guru
mempunyai; pendekatan strategi, metode, model, teknik, taktik
dalam menerapkan nilai-nilai karakter. Albertus (2018:165)
24
menekankan bahwa guru khususnya guru mata pelajaran
mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter peserta
didik melalui mata pelajaran yang diampunya.
Maka dalam melaksanakan strategi tersebut seorang guru
perlu melakukan pengembangan tentang strategi, metode, serta
teknik karena menurut Suyadi dalam pengantar bukunya tentang
strategi pembelajaran karakter (2013) dalam proses pembelajaran
aktif yang dilaksanakan dunia barat terbukti dapat meningkatkan
prestasi barat akan tetapi strategi pembelajaran yang diterapkan di
dunia barat tidak semuanya cocok, harus dipilah-pilah sesuai
budaya, kebiasaan bangsa kita.
Model pembelajaran menurut Zubaedi (2013:185) adalah
bentuk pembelajaran yang tersurat dari awal sampai akhir yang
tersajikan secara unik oleh guru pada saat pembelajaran di kelas.
Setelah guru menemukan strategi, metode, teknik yang cocok
dalam penerapan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran inovatif,
maka menurut Suyadi (2013:184-185) dalam menerapkan
pembelajaran inovatif bermuatan karakter harus memenuhi
prosedur diantaranya: menemukan masalah yang akan menjadi
25
obyek yang akan diperbarui; mendiskusikan masalah serta
mencari solusi sesuai dengan sifat masalah yang dihadapi;
menganalisa masalah dalam hal ini peran guru adalah
membimbing peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur
permasalahan kemudian mencari pemecahan masalah; tahap yang
terakhir adalah mengimplementasikann solusi yang telah
ditemukan dalam tahap ini penerapan ini harus berjalan secara
berkelanjutan.
Menurut Mulyasa (2014:49) keberasilan implementasi
pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah ditentukan oleh
beberapa kondisi berikut: partisipasi dan komitmen orang tua
serta masyarakat terhadap pendidikan karakter; program jaminan
mutu dan accountability yang dipahami dengan baik oleh seluruh
pihak dalam jajaran kemendikbud; pelaksanaan tes kompetensi
yang memungkinkan kantor dinas pendidikan provinsi, dinas
kabupaten dan kota, unit pelaksana teknis sampai sekolah
memperoleh informasi tentang kinerja sekolah; adanya
perencanaan strategik sekolah, yang memungkinkan sekolah
memahami visi, misi, dan sasaran-sasaran prioritas
26
pengembangan sekolah; selain itu ditekankan pula pendidikan
karakter juga perlu didukung oleh laporan kemajuan sekolah
dalam mencapai perencanaan tahunan.
2.1.6 Pengembangan Kemampuan Guru melalui Pelatihan
Dalam suatu organisasi pendidikan diperlukan
pengembangan sumber daya manusia demi tercapainya suatu
organisasi. Sumber daya manusia menurut Wukir (2013:49)
adalah sekelompok individu yang bekerja dalam lingkup
organisasi. Dalam pengelolaan sumber daya manusia bertujuan
untuk memelihara kondisi kerja seluruh individu dalam
organisasi agar dapat saling bekerja sama semenjak individu
mulai bergabung serta melaksanakan hal yang terbaik untuk
mencapai tujuan organisasi (Wukir, 2013:52).
Seorang manajer yang dalam hal ini seorang kepala sekolah
dalam mengelola sumber daya manusia harus melakukan
perencanaan, pengorganisasian, penempatan staf, pengarahan dan
pengendalian. Seleksi dan penempatan pegawai hendaknya
dilakukan dengan memilih dan menempatkan individu yang
memenuhi dengan kriteria yang telah ditetapkan, memperhatikan
27
pegawai yang dalam hal ini keterampilan, pengetahuan khusus
dan sikap, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi yang
sesuai dengan karakteristik tugas yang diberikan oleh pegawai,
hal ini sesuai dengan pernyataan Sedarmayanti dalam
restrukturisasi dan pemberdayaan organisasi (2014:102).
Sekolah merupakan bagian suatu organisasi yang berjuang
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan menciptakan sumber
daya manusia yang mampu bersaing secara global serta
menciptakan individu yang berkarakter, bermoral, berakhlak yang
mulia. Dalam menciptakan sumber daya manusia maka guru
merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan tujuan
tersebut. Hal ini ditekankan oleh Kompri (2015:161) bahwa guru
merupakan key person dalam proses pelaksanaan pendidikan,
dengan begitu maka guru harus selalu mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, sikap.
Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam
lingkungan sekolah agar profesionalisme guru meningkat dapat
dilakukan melalui berbagai cara yaitu dengan belajar secara
mandiri sesuai kompetensi, pelatihan, seminar, pembuatan karya
28
ilmiah. Pernyataan ini senada dengan Rindjin (2007) bahwa
peningkatan profesionalisme guru dapat dilakukan secara: belajar
mandiri, seminar, program penataran, pelatihan, program
penyetaraan, penyegaran, serta program studi lanjut.
Dalam penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah
model pelatihan. Pelatihan Menurut Hardjana (2001:12) adalah
kegiatan yang diselenggarakan untuk meningkatkan kinerja
karyawan dalam suatu pekerjaan yang telah menjadi tanggung
jawab bagi setiap karyawan. Menurut Kompri (2015:176)
program pelatihan bertujuan untuk memperbaiki kemampuan
yang dimiliki dari segi keterampilan dan teknik penerapan
pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Kemudian Zaenal (2014:429)
menekankan bahwa yang dibangun dalam berbagai jenis
pelatihan pengembangan keterampilan adalah untuk membangun
sikap baru yang selalu konsisten dalam berbagai perubahan dalam
perkembangan perusahaan, serta untuk mendapatkan hasil
ketercapaian perkembangan perusahaan dan juga “Corporate
Culture” yang ingin dicapai maka karyawan diharapkan
mempunyai semangat dalam meningkatkan diri.
29
Simpulan penulis pelatihan adalah suatu kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang maupun
kelompok berupa Hard Skill maupun Soft Skill yang bertujuan
untuk mencapai tujuan suatu organisasi supaya organisasi
tersebut tetap eksis dalam masyarakat. Terdapat berbagai istilah
tentang pelatihan diantaranya in-house training, in-service
training, in- service education, up-grading. Freeman (1989)
menegaskan bahwa melalui pelatihan dalam jabatan (on the job
training) terbukti secara signifikan dapat meningkatkan
produktifitas guru. Elnaga (2013) dalam penelitiannya yang
berjudul The effect of training on employee performance juga
menemukan bahwa pelatihan dapat meningkatkan kinerja
pegawai.
2.1.6.1. Jenis Pelatihan
Pengembangan karyawan dalam lembaga pendidikan
dalam hal ini guru berdasarkan atas kebutuhan sekolah. Dalam
mengembangkan karyawan dapat dilakukan dengan
melaksanakan pelatihan, Menurut Wukir (2013: 73-76) jenis-
jenis pelatihan yang dapat dilakukan dilingkungan pendidikan
30
diantaranya : 1). In-Services Course for Teacher (Program
Pelatihan untuk Guru); 2). Staff Seminar; 3). Induction Course
(Kursus Pelatihan Induksi); 4). On The Job Training; 5). Off The
Job Training; 6). On and Off the Job Training; 7). Vestibule
Training; 8). Refresher Course (Kursus Penyegaran); 9).
Sensivity Training (Pelatihan Kepekaan); 10). Supplementary
Training (Pelatihan Tambahan).
Menurut Kemendikbud dalam kebijakan
pengembangan profesi guru (2012: 57-58) menjelaskan bahwa
dalam meningkatkan kompetensi guru dapat dilaksanakan melalui
dua cara yaitu: 1). melalui pendidikan dan pelatihan yang
meliputi In-House Training, program magang, kemitraan sekolah,
belajar jarak jauh, pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus,
kursus singkat di LPTK atau tempat pelatihan yang lain,
pembinaan internal oleh pihak sekolah; 2). Kegiatan selain
pendidikan dan pelatihan yang meliputi diskusi masalah
pendidikan, seminar, workshop, penelitian, penulisan bahan
ajar/buku, pembuatan media pembelajaran, pembuatan karya
teknologi dan karya seni.
31
2.1.7 In-House Training
Dalam suatu organisasi pendidikan diperlukan
pengembangan sumber daya manusia demi tercapainya suatu
organisasi. Sebagai upaya mengoptimalkan potensi yang ada,
dalam hal ini peneliti menggunakan strategi pengembangan guru
melalui In-house training. In-house training menurut
kemendikbud tentang pengembangan profesi guru (2012:57)
adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal di kelompok
kerja guru atau dapat dilaksanakan melalui musyawarah guru
mata pelajaran, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan pelatihan.
Sedangkan menurut Danim (2012) In-house training adalah
pelatihan yang dilaksanakan secara internal oleh kelompok kerja
guru, sekolah yang ditetapkan sebagai penyelenggaraan pelatihan
yang dilakukan berdasar pada pemikiran bahwa sebagian
kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karier guru
tidak harus dilakukan secara eksternal, namun dapat dilakukan
secara internal oleh guru sebagai trainer yang memiliki
kompetensi yang belum dimiliki oleh guru lain dengan ketentuan
32
peserta dalam in house training minimal 4 orang dan maksimal
15 orang. Tujuan In-House Training yaitu untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dalam sebuah lembaga tertentu,
dalam rangka untuk mencapai visi yang telah disepakati bersama.
Beberapa sasaran pelatihan (In-House Training) menurut Sueta
(2010) antara lain:
a Menciptakan hubungan antar pribadi dengan lembaga.
b Mempererat rasa kebersamaan.
c Meningkatkan motivasi baik untuk diri pribadi maupun
narasumber dalam membiasakan pembelajaran yang
berkelanjutan.
d Menyelidiki berbagai permasalahan yang dihadapi
dilapangan yang berkaitan dengan peningkatan
efektifitas dalam memecahkan masalah serta
mendapatkan solusi bersama.
2.1.8 Tindakan sekolah dalam bentuk pelatihan In-House
Training dalam upaya meningkatkan kemampuan guru
Melihat latar belakang penelitian yang telah terpaparkan
dalam Bab I, telah terjadi kesenjangan dalam sekolah yaitu
33
meliputi kebutuhan jumlah guru bimbingan konseling yang
belum memenuhi standart minimum sehingga pelayanan terhadap
peserta didik kurang, kemampuan guru dalam melaksanakan
penguatan pendidikan karakter kurang. Dengan demikian maka
perlu dilakukan sebuah tindakan. Apabila menghubungkan
kegiatan pelatihan dalam meningkatkan sumber daya manusia
yang dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan di sekolah maka
ini dapat disebut dengan penelitian tindakan sekolah.
Menurut Sugiyono (2013 : 687) penelitian tindakan adalah
cara ilmiah yang sistematis dan bersifat siklus / daur ulang yang
berfungsi untuk memperbaiki masalah dalam situasi sosial,
dengan cara mengkaji situasi sosial, memahami permasalahan,
serta menemukan pengetahuan yang berupa tindakan.
Bargal (2008) menjelaskan bahwa dalam penelitian
tindakan harus menetapkan beberapa prinsip diantaranya: 1).
Penelitian tindakan harus menggabungkan antara ilmu teori dan
praktik atau tindakan yang disusun secara sistematis, yang
mengkaji tentang masalah sosial yang harus segera dipecahkan;
2). Penelitian tindakan harus menjadi satu kesatuan melalui
34
proses spiral (rotasi) untuk mencapai tujuan yang diinginkan, hal
ini meliputi tujuan tindakan, penilaian untuk melihat hasil yang
telah telah dilakukan selama proses berlangsung; 3). Penelitian
tindakan harus menghasilkan umpan balik kepada seluruh pihak
yang terlibat; 4). Penelitian tindakan harus terjadi kerjasama sama
secara terus menerus antara peneliti dan praktisi; 5). Penelitian
tindakan harus berpatokan pada dinamika kelompok dan
penelitian harus bersandar pada tahap perubahan.; 6). Penelitian
tindakan mempertimbangkan masalah nilai, tujuan, seberapa
besar kebutuhan peserta yang terlibat; 7). Penelitian tindakan
berfungsi untuk menciptakan pengetahuan, untuk merumuskan
prinsip-prinsip intervensi, dan mengembangkan instrumen untuk
seleksi, dan pelatihan; 8).Dalam kerangka kerja penelitian
tindakan, ada penekanan pada perekrutan, pelatihan, dan
dukungan agen perubahan.
2.1.8.1 Langkah – Langkah pengembangan guru melalui In-
House Training
Munurut Marwansyah (2012:170) dalam pelaksanaan In-
House Training terdapat langkah-langkah sebagai berikut:
35
a Tahap Perencanaan meliputi: Menentukan sasaran
pelatihan, menentukan tujuan pelatihan, menentukan
waktu dan tempat pelatihan, menentukan materi
pelatihan, menentukan pendekatan dan metodologi
pelatihan, menentukan peserta pelaqtihan dan trainer,
menentukan kebutuhan serta fasilitas yang diperlukan
untuk pelatihan, menentukan evaluasi pelatihan,
menentukan sumber pembiayaan yang dibutuhkan.
b Tahap Pelaksanaan meliputi pelaksanaan pelatihan,
pengumpulan data melakukan pengamtan selama
pelatihan.
c Tahap evaluasi pelatihan meliputi evaluasi penilaian
terhadap kegiatan peltihan yang telah dilaksanakan.
2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian yang peneliti akan laksanakan terdapat
beberapa penelitian yang mendukung penelitian yang
berhubungan dengan karakter, pendidikan karakter,
pemberdayaan melalui In-House Training. Berikut hasil
36
penelitian relevan yang dilakukan oleh beberapa peneliti dan
secara rinci terlampir pada tabel.2.1 penelitian Relevan.
2.2.1. Penelitian yang dilakukan oleh Ramdhani (2017)
menemukan bahwa lingkungan pendidikan memberikan
pengaruh besar dalam pendidikan karakter, oleh karena
itu maka dalam proses penguatan pendidikan karakter
diperlukan lingkungan yang baik.
2.2.2. Penelitian yang dilakukan oleh Asofani (2016) tentang
“Pelaksanaan Pendidikan Karakter oleh Guru dalam
Pembelajaran Praktik Kejuruan Teknik Kendaraan
Ringan”, menemukan bahwa nilai-nilai karakter yang
diintegrasikan pada kegiatan pembelajaran oleh 66,67%
responden belum direncanakan ke dalam silabus dan
RPP. kendala-kendala yang dihadapi oleh guru adalah
kurangnya pedoman nilai-nilai karakter.
2.2.3. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2015) tentang
“Manajemen Sekolah Berbasis Karakter”, menemukan
strategi implementasi manajemen sekolah berbasis
karakter mencakup strategi aspek, efisiensi input,
37
efektifitas proses, produktifitas output, relevansi
outcome;; hambatan terbesar adalah lemahnya komitmen
dan potensi karakter pada personal; komponen penting
pada rumusan kebijakan.
2.2.4. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2016) tentang
“Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan oleh
Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Prestasi Akademik
Siswa SMA”, menemukan bahwa pemberdayaan
pendidik dan kependidikan sudah cukup baik dan upaya
yang dilakukan oleh pihak sekolah adalah mengikuti
program yang telah dilaksanakan oleh sekolah yaitu In-
House Training.
2.2.5. Penelitian yang dilakukan oleh Meilya (2015) yang
berjudul “Evaluasi Program Pelatihan In-House Training
Pembelajaran Paket C di Sanggar Kegiatan Belajar Jawa
Tengah”, menemukan bahwa kepuasan peserta terhadap
penyelenggaraan pelatihan menggunakan Penilaian
beracuan patokan (PAP) dan penilaian beracuan Norma
38
(PAN) masuk kategori puas serta mengalami
peningkatan.
2.2.6. Penelitian yang dilakukan Sujoko (2012) yang berjudul
Peningkatan Kemampuan Guru Mata Pelajaran melalui
In-House Training yang dilakukan di SMPK BPK
Penabur Cimahi, menemukan bahwa secara signifikan
IHT dapat meningkatkan kemampuan guru dalam
mengimplementasikan rencana pelaksanaan
pembelajaran bermuatan karakter.
2.2.7. Penelitian yang dilakukan Sueta (2010) Peningkatan
Kemampuan Guru Dalam Menyusun Kelengkapan
Mengajar Melalui In House Training pada SMK Bhakti
Mulya Sampit menemukan Keefektifan IHT dalam
pembuatan rencana perangkat pembelajaran.
2.2.8. Penelitian yang dilakukan oleh Sanders Wiliam L,
S.Paul Wringht, and Sandra P.Hom (1997) berjudul
“Teacher and classroom context effects on student”
hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh guru adalah
faktor yang dominan yang mempengaruhi perolehan
39
akademik siswa dan variabel konteks kelas
heterogenetas antara siswa dan ukuran kelas memiliki
pengaruh yang relativ sedikit.
2.2.9. Penelitian yang dilakukan oleh Wing Sze MAK (2014)
“Evaluation of a Moral and Character Education Group
for Primary School”, menemukan bahwa efektivitas
pendidikan karakter dan moral dapat dilihat dari diri
seluruh peserta didik diantaranya mengalami
peningkatan dalam pemahaman tentang pentingnya rasa
saling menghargai, rasa hormat, kebaikan, serta timbul
kesadaran diri untuk melatih dan dapat menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
menggunakan metode yang berbeda-beda sehingga hasil yang
diperoleh antara tiap variabel tidak sama, namun tidak dipungkiri
bahwa peran lingkungan sekolah, integrasi pada kegiatan
pembelajaran, desain disesuaikan dengan kondisisi sekolah,
target, strategi, evaluasi, dan lingkungan keluarga merupakan
faktor penting dalam mencapai pendidikan karakter di sekolah,
40
sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sekarang
menekankan pada kemampuan guru dalam melaksanakan
pendidikan karakter di sekolah. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu kemampuan guru dalam melaksanakan
pendidikan karakter (Y) dan In-House Training (X).
41
2.3. Kerangka Pikir
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pikir Penelitian Tindakan
Kemampuan guru dalam penguatan
pendidikan karakter dapat meningkat
Kemampuan guru:
1. Guru belum memahami
tentang penguatan pendidikan karakter
yang perlu
dilaksanakan disekolah
yang meliputi PPK
berbasis kelas, sekolah,
masyarakat 2. Sosialisasi tentang
pendidikan karakter
sering dilaksanakan
akan tetapi belum ada
juknis khusus untuk
guru 3. Hanya 12 guru dari
jumlah 66 guru yang
benar-benar dapat
melaksanakan
penguatan pendidikan karakter dan
keseluruhan guru yang
dapat melaksanakan
merupakan guru senior
yang telah mengajar
lebih dari 10 tahun
4. Proses belajar
mengajar dikelas
guru hanya mengajar kemampuan kognitif
belum mengarah ke
nilai-nilai karakter
peserta didik
Pelatihan IHT untuk peningkatan
kemampuan guru
Langkah-langkah pelaksanaan In
House Training :
Perencanaan
Pelaksanaan
Refleksi dan Evaluasi
42
Pentingnya pendidikan karakter dalam proses pembelajaran
di lingkungan sekolah dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa, akan tetapi terdapat kendala bahwa guru-guru belum
memiliki kemampuan dalam melaksanakan pendidikan karakter.
Untuk menindaklanjuti permasalahan yang dihadapi oleh guru
maka pihak sekolah melaksanakan pelatihan In-House Training.
Setelah In-House Training dilaksanakan diharapkan kemampuan
guru dalam membentuk karakter peserta didik dapat meningkat.
2.4. Hipotesis Tindakan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah seharusnya
harus menerapkan pendidikan karatakter yang ditanamkan kepada
seluruh anggota lingkungan sekolah. Sekolah dalam hal ini harus
menerapkan strategi, metode agar pendidikan karakter yang
diterapkan dapat berhasil serta berjalan secara efektif. Guru
sebagai salah satu ujung tombak keberhasilan penguatan
pendidikan karakter harus melakukan pembaharuan dalam proses
mengajar diantaranya tujuan belajar yang lebih praktis, berdasar
pada siswa dalam memperoleh pengalaman, kreatifitas guru
dalam penyederhanaan materi pelajaran, metode belajar yang
43
menarik dan menyenangkan. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka diperlukan suatu tindakan yaitu melalui In-House training,
IHT akan meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan
penguatan pendidikan karakter di sekolah.