bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori -...
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Dalam bagian kajian teori ini berisi tentang pustaka untuk materi model
pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) dan teori belajar
matematika Dienes.
2.1.1 Pembelajaran Kooperatif
Pada awal pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan dalam dunia
pendidikan adalah kompetitif dan individualistik. Namun dalam perjalanannya,
muncul kelemahan-kelemahan dari kompetitif dan individualistik, yaitu (a)
kompetisi siswa kadang tidak sehat, sebagai contoh jika seorang siswa menjawab
pertanyaan guru, siswa yang lain berharap agar jawaban yang diberikan salah, (b)
siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan
rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) dapat membuat
frustrasi siswa lainnya Slavin (2005: 6). Pembelajaran kooperatif muncul untuk
mengatasi kelemahan tersebut.
Belajar kooperatif sering dilakukan oleh siswa atau bahkan guru sewaktu
menjadi siswa. Siswa bekerja sama dengan beberapa temannya untuk
menyelesaikan tugas dari guru, sebagai contoh saat bekerja membuat
keterampilan tangan. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-
kelompok yang terdiri dari 4-5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi
yang diberikan guru. Kelompok dibagi secara heterogen, dimana pembagian
anggota sesuai tingkat prestasi, jenis kelamin, ras, agama, dan latar belakang yang
berbeda dan merata. Setelah dibagi dalam kelompok, siswa mendapat kesempatan
untuk belajar bersama, lalu menjawab soal atau kuis secara individu yang hasilnya
digabungkan dengan anggota kelompok yang lain. Nilai rata-rata kelompok yang
tertinggi akan mendapat sertifikat yang manarik dan menambahkan foto anggota
kelompok dan dipajang dalam dinding kelas Slavin (2005: 8).
Dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam
menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama, pendapat
Artzt & Newman dalam Abdussakir (2011). Masing-masing anggota memiliki
6
tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompok, selain itu sebagai
individu anggota juga harus paham tentang materi yang diperoleh kelompok.
Johnson & Johnson dalam Abdussakir (2011) menyatakan bahwa tujuan pokok
belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan
prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.
Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat
memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan
kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan
pemecahan masalah, menurut Louisell & Descamps dalam Abdussakir (2011).
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kelompok yang
beranggota secara acak. Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2002: 20)
berpendapat bahawa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran
kooperatif. Dalam pelaksanaanya ada beberapa unsur penting dalam belajar
kooperatif. Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Roger dan David Johnson dalam
Anita Lie (2002: 20) , yaitu sebagai berikut:
1. Saling ketergantungan positif
Keberhasilan kelompok sangat bergantung pada usaha setiap anggota, bekerja
sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seluruh anggota
terikat dengan tugas yang dibawa dalam mencapai tujuan kelompok, sehingga
anggota saling tergantung satu sama lain.
2. Tanggung jawab individual
Tugas yang diberikan setiap anggota berbeda, sehingga merasa memiliki
tanggung jawab dalam kelompok. Masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam
kelompok dapat dilaksanakan.
3. Tatap muka
Saling bertukar ide atau pendapat dalam sebuah diskusi akan memperkuat
hubungan positif dalam kelompok. Kegiatan interaksi ini akan memberikan
para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua
anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing.
7
4. Komunikasi antar anggota
Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya
untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan
pendapat mereka. Sehingga tugas guru memberi contoh tidakan atau ungkapan
kepada anggota yang setelah memberi pendapat.
5. Evaluasi proses kelompok
Memberikan fasilitas khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja
kelompok dan hasil kerja sama dengan lebih efektif.
Teori-teori yang dapat menjelaskan keunggulan pembelajaran kooperatif
dibagi menjadi dua kategori utama, yiatu :
a. Teori Motivasi
Teori motivasi memfokuskan pada penghargaan yang diberikan kepada siswa
yang melakukan usaha. Deutsch dalam Slavin (2005: 34) mengidentifikasikan tiga
struktur tujuan motivasi, yaitu :
a) Kooperatif, individu memberi kontribusi pada pencapaian tujuan anggota
lainnya.
b) Konpetitif, tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya.
c) Individualistik, tiap individu tidak memiliki konsekuensi apa pun bagi
pencapaian tujuan anggota lain.
Menciptakan kondisi dimana satu-satunya cara agar setiap anggota kelompok
tercapai tujuan pribadi mereka dengan membantu kelompoknya untuk bisa sukses
dalam melakukan sebuah kegiatan. Sehingga dengan alami muncul motivasi-
motivasi yang tibul akibat saling mendukung antar anggota (pujian dan dukungan)
agar anggota kelomponya dapat melakukan usaha maksimal.
b. Teori Kognitif
Teori Kognitif menekankan pada pengaruh dari kerja sama (sebuah kelompok
mencoba mencapai tujuan bersama atau tidak). Menurut Slavin (2005: 36) teori
kognitif yang berbeda terbagi menjadi dua kategori utama yaitu :
a) Teori Pembangunan, menurut para pakar tahun 80an khususnya yang
menganut paham Piaget yang disimpulkan oleh Slavin dalam bukunya (2005:
38) yaitu interaksi yang terjadi antar siswa akan berjalan sendirinya untuk
8
mengembangkan prestasi siswa. Antar siswa akan belajar satu sama lain
melalui diskusi mengenai materi yang dibahas, konflik pengetahuan (kognitif)
akan timbul, alasan yang kurang tepat akan keluar dan mendapat masukan
sehingga pemahaman dengan kualitas yang lebih tinggi akan tercipta sebagai
kesepakatan bersama. Menurut Slavin (2005: 37) mengatakan “Terdapat
dukungan yang besar terhadap gagasan bahwa interaksi di antara teman
sebaya dapat membantu anak-anak yang non-conservers (tidak mampu
melihat kekekalan) menjadi conservers (mampu melihat kekekalan)”.
Kekalan yang dimaksud adalah hukum kekalan yang diciptakan Jean Piaget
seperti yang tertulis dalam buku Nyimas Aisyah (2008: 19) dimana enam
hukum kekalan itu yaitu kekalan bilangan (6-7 tahun), kekalan materi (7-8
tahun), kekalan panjang (8-9 tahun), kekalan luas (8-9 tahun) dan kekalan isi
(14-15 tahun).
b) Teori Elaborasi Kognitif, Wittock dalam Slavin (2005: 38) mengatakan
bahwa penelitian dalam bidang kognitif telah membuktikan bahwa informasi
jika masih ingin dipertahankan memori jangka panjang orang tersebut harus
terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari
materi. Sebagai contoh sebagai tugas merangkum atau meringkas menuntut
siswa mengatur kembali materinya dan memilih bagian yang penting dari
materi dan kegiatan ini lebih baik jika dibandingkan dengan tugas yang hanya
mencatat materi dari sumbernya. Cara elaborasi yang paling efektif adalah
menjelaskan materi kepada orang lain. Donald Darsereau dalam buku Slavin
(2005: 39) menyatakan bahwa peserta didik yang bekerja dalam struktur
rancangan kooperatif dapat memahami materi lebih baik daripada mereka
yang bekerja sendiri. Rangkaian kegiatan sebagi berikut
“para siswa tersebut mengambil peran sebagai pembaca dan pendengar.
Mereka yang membaca satu bagian dari teks, dan kemudian pembaca
merangkum informasinya sementara pendengar mengoreksi kesalahan,
mengisi materi yang hilang, dan memikirkan cara bagaimana kedua
siswa dapat mengingat gagasan utamanya. Pada bagian teks berikutnya
para siswa bertukar peran.”
9
Ini memperlihatkan terjadinya penemuan peer-tutoring (pengajaran
antarteman), siswa yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari
kegiatan kooperatif adalah mereka yang memberikan penjelasan elaboratif
kepada teman yang lain.
Menurut penelitian Deutsch yang dilakukan pada 50 siswa yang dibagi dalam 10
kelompok dalam buku Huda (2011: 9) menunjukkan bahwa siswa-siswa yang
berada dalam kelompok kooperatif lebih sering bekerja sama, terkoordinasi, lebih
memperhatikan pembagian kerja yang setara antarsetiap anggota di dalamnya.
Mereka lebih peduli pada gagasan orang lain, efektif berkomunikasi dan
termotivasi mencapai tujuan bersama. Huda (2011: 17) menunjukkan bahwa studi
oleh pakar pembelajaran kooperatif seperti Johnson dan Johnson, Slavin dan
Sharan menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
merupakan strategi pengajaran efektik dalam meningkatkan prestasi dan
sosialisasi siswa sekaligus turut berkontribusi bagi perbaikan sikap dan pandangan
tentang pentingnya belajar dan bekerja sama, khususnya bagi mereka yang berada
pada lingkungan sekolah yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda-
beda.
Menurut Slavin (2005: 40) pembelajaran kooperatif memiliki potensi penghalang
dalam pelaksanaanya, yaitu adanya pemboncengan nama dalam setiap tugas
kelompok. Kontribusi sebagian anggota kurang maksimal akan mengakibatkan
anggota kelompok yang kooperatif merasa dirugikan. Maka dari itu diperlukan
komitmen dari siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran kooperatif.
2.1.2 Kooperatif tipe Team Game Tournament (TGT)
Dalam kelas siswa pasti memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga
guru menjadi kesulitan untuk memilih dan menerapkan pembelajaran yang tepat
untuk jenis kelas yang siswanya heterogen. Menurut Huda (2011: 4) pertengahan
abad 20, penelitian tentang perilaku manusia dalam kelompok konteks ilmu sosial
menghasilkan bahwa kelompok (group) berpengaruh signifikan terhadap perilaku
sosial individu. Penelitian tahun 1949 oleh Morton Deutsch dalam Huda (2011:
11) membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif akan mencapai tujuannya
dengan lebih prosuktif, saling berkomunikasi dengan intens dari pada mereka
10
yang memilih untuk berkompetisi sendiri. Penelitian ini didukung pernyataan
Robert E. Slavin dalam bukunya Slavin (2005: 4) bahwa pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan pencapaian prestasi siswa dan juga akibar positif lainnya
dapat mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap teman
yang berkemampuan lemah dalam bidang akademik dan meningkatkan rasa harga
diri. Selain itu, untuk siswa sendiri adalah tumbuhnya kesadaran bahwa siswa
perlu belajar untuk berfikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan serta
mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka.
Pembelajaran kooperatif memiliki banyak tipe, salah satunya yaitu Team
Games Tournament (TGT). Metode ini merupakan pembelajaran pertama dari
John Hopkins, menggunakan turnamen mingguan dimana siswa memainkan game
akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya.
Tipe ini menggabungkan model pembelajaran kooperatif itu sendiri yang
digabungkan dengan model kompetisi antar kelompok. Anita Lie (2002: 23)
berpendapat bahwa model kompetisi bisa menimbulkan rasa cemas yang dapat
memacu siswa untuk meningkatkan kegiatan belajar. Meningkatnya kegiatan
belajar ini perdampak dalam meningkat hasil belajar yang pada akhir
pembelajaran akan dibandingkan dengan hasil siswa atau kelompok lain.
Menurut Robert E. Slavin (2005: 166), pembelajaran kooperatif tipe TGT
terdiri dari 5 komponen utama, yaitu
1. Presentasi di Kelas
Guru menyampaikan materi seperti yang biasa dilakukan ketika
memberikan materi dimatapelajaran sebelumnya, misalnya menggunakan
ceramah dan diskusi yang dipimpin guru. Selain itu guru juga
menyampaikan tujuan, tugas, kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan
memberian motivasi agar siswa menikmati setiap sesi pembelajaran. Pada
saat penyampaian materi oleh guru siswa harus benar-benar
memperhatikan, karena akan membantu siswa ketika akan melakukan
turnamen karena skor individu mempengaruhi skor kelompok.
2. Tim (belajar kelompok)
11
Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompok
mewakili (kemampuan akademik, ras, etnis, dan jenis kelamin) sehingga
adanya heterogenitas diharapkan antar anggota kelompok saling membantu.
Dalam persiapan melalui belajar kelompok kegiatan yang dapat dilakukan
siswa adalah memecahkan masalah bersama, membandingkan jawaban, dan
mengoreksi tiap kesalahan pemahaman oleh teman anggota
kelompok.Selain itu setiap kelompok memiliki tugas untuk memperdalam
pengetahuan bersama kelompoknya sebagai persiapan anggota untuk
mengikuti turnamen.
3. Persiapan Game
Guru menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang kontennya sesuai mateti
yang disajikan dan dirancang untuk menguji kemampuan siswa yang
diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan belajar tim. Yang
perlu disiapkan adalah kartu soal yang dilengkapi dengan nomor, skor,
pertanyaan, jawaban mengenai materi dan tabel skor tim. Game dimainkan
oleh tiga atau lebih anak dalam sebuah meja, dan masing-masing adalah
perwakilan dari tim masing-masing.
4. Turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur game yang dimainkan. Dilaksanakan
setelah penyajian materi oleh guru dan belajar kelompok oleh siswa. Pada
tahap pertama guru menempatkan 3 atau 4 (sesuai banyak kelompok)
perwakilan dari tiap tim untuk menduduki meja turnamen 1, 4 siswa
berikutnya perwakilan dari tiap-tiap tim meduduki meja turnamen 2, dan
seterusnya. Setiap jawaban salah, pada kolom skor diberi angka 0 (nol) jika
jawaban benar kolom skor diisi sesuai skor yang tertera dalam soal, dan
begitu seterusnya.
5. Rekognisi Tim
Bagi tim yang memiliki nilai rata-rata terbaik mendapat penghargaan berupa
sertifikat atau penghargaan dalam bentuk lain.
12
Gambar 2.1 Skema pertandingan atau turnamen TGT menurut Slavin
Keterangan bagan :
Kelas dibagi dalam beberapa kelompok, contoh diatas kelompok A, B dan C.
A1, B1, C1 = siswa berkemampuan tinggi
A(2,3) B(2,3) C(2,3) = siswa berkemampuan sedang
A4, B4, C4 = siswa berkemampuan rendah
Meja Turnamen 1,2,3,4 = meja turnamen tiap kemampuan
Pembelajaran TGT (Team Game Turnament) memiliki kelebihan dan
kekurangan, antara lain :
a. Kelebihan
- Jika siswa dikondisikan dalam tim heterogen, kemampuan siswa
yang lemah dalam akademik dapat termotivasi dengan siswa yang
akademiknya tinggi.
- Siswa menjadi lebih bersemangat dalam belajar.
Meja
Turnamen
1
Meja
Turnamen
2
Meja
Turnamen
3
Meja
Turnamen
4
13
- Keterlibatan siswa dalam belajar sangat tinggi.
- Pengetahuan yang diperoleh siswa bukan hanya didapat dari
presentasi guru namun melalui kontruksi siswa sendiri.
- Menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri siswa seperti
kerjasama, kebersamaan, toleransi, tanggung jawab, dan bisa
menerima pendapat orang lain.
b. Kekurangan
- Membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.
- Butuh penyesuaian kondisi jika dipakai sebagai kegiatan rutinitas.
- Jika siswa tidak diawasi dengan baik akan menimbulkan kegaduhan
dikelas.
- Siswa terbiasa mendapatkan hadiah.
2.1.3 Pembelajaran Matematika Melalui Teori Belajar Dienes
2.1.3.1 Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan suatu bahan kaji yang memiliki objek abstrak dan
dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep dalam
matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Suminarsih (2007: 1) mengemukakan
bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memberikan
kontribusi positif tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui
sikap kritis dan berpikir logis. Maka dari itu mata pelajaran matematika
dimasukkan dalam tiga tingkat pendidikan di Indonesia, yaitu Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dalam matematika di SD membekali peserta didik untuk mampu berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
Pembelajaran matematika disekolah harus memberikan peluang kepada
siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Dengan
berjalannya waktu muncul teori-teori belajar yang dapat dimanfaatkan guru untuk
memaksimalkan pembelajaran matematika. Ditambah muncul beberapa model-
model pembelajaran yang dapat mendukung kesuksesan pembelajaran matematika
lebih menarik dalam penyajiannya kepada siswa.
14
2.1.3.2 Teori Belajar Dienes
Zoltan P. Dienes seorang matematikawan yang memusatkan perhatian pada
cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa. Dasar teori ini bertumpu pada Piaget
dan pengembangannya diorientasikan pada siswa-siswa, sehingga sistem yang
dikembangkan menarik bagi siswa yang mempelajarinya. Teori Piaget melihat sisi
atau aspek dalam diri siswa yaitu tingkat perkembangan kognitif khususnya siswa.
Sependapat dengan Piaget, tentang perkembangan intelektual. Selain itu teori
Dienes ini juga berkaintan dengan pendekatan PAKEM yang didalamnya ada
unsur permianan.
Jean Piaget menurut Soemakin dalam Nyimas Aisyah dkk (2008: 3)
berpendapat bahwa proses berpikir manusia memiliki tahapan dari lahir hingga
dewasa. Proses berpikir dibagi dalam empat tahap perkembangan, sebagai berikut:
1. Periode Sensori Motor (0-2) tahun. Karakteristik period ini merupakan
gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan yang
timbul karena anak melihat objek dan meraba-raba objek.
2. Periode Pra-operasional (2-7) tahun. Operasi yang dimaksud disini adalah
suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan
aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak belum dapat mengambil
keputusan secara logis, melainkan keputusan yang dapat dilihat seketika.
Periode ini sering disebut juga periode pemberian simbol, misalnya suatu
benda diberi nama (simbol). Anak terpaku pada kontak langsung dengan
lingkungannya, tetapi anak mulai memanipulasi simbol dari benda-benda
sekitar.
3. Periode operasi kongkret (7-12) tahun. Periode ini disebut operasi kongkret
sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek.
Pengerjaan-pngerjaan logika dapat dilakukan dengan berorientasi ke objek-
objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak. Anak masih
terikat dengan pengalaman pribadi, pengalaman anak masih kongkret dan
belum formal. Dalam periode operasi kongkret, karakteristik berpikir anak
adalah sebagai berikut :
15
a. Kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau
lebih yang dikomunikasikan ke dalam suatu kelas yang lebih besar.
Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa
beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. Misalnya semua
manusia laki-laki dan semua manusia perempuan adalah semua
manusia. Hubungan A>B, B>C menjadi A>C.
b. Reversibilitas adalah operasi kebalikan. Misalnya, 3 + ? = 4 sama
dengan 4 – 3 = ?. Reversibilitas ini merupakan karakteristik utama
untuk berpikir operasional di dalam teori Piaget.
c. Asosiasivitas adalah suatu operasi terhadap bebepa klas yang
dikombinasikan mnurut sembarang urutan. Misalnya himpunan
bilangan bulat, operasi “+”, berlaku hukum asosiatif terhadap
penjumlahan.
d. Identitas adalah suatu operasi dengan unsur atau kelas hasilnya tidak
berubah. Misalnya dalam himpunan bilangan bulat dengan operasi “+”,
Unsur nol adalah 0 sehingga 5 + 0 = 5. Demikian juga suatu jumlah
dapat dinolkan dengan mengkombinasikan lawannya, misalnya 5
ditambah – 5 menjadi 5 – 5= 0.
e. Korespondensi satu-satu antara objek-objek dari dua kelas. Misalnya
unsur dari suatu himpunan berkawan dengan satu unsur dari himpunan
kedua dan sebaliknya.
f. Kesadaran adanya prinsip-prinsip konservasi. Konservasi berkenaan
dengan kesadaran bahwa satu aspek dari benda, tetap sama sementara
aspek lainnya berubah. Anak pada periode ini dilandasi oleh observasi
dari pengalaman dengan objek nyata, tetapi ia seudah mulai
menggeneralisasi objek-objek tadi.
4. Periode Operasi Formal (12-seterusnya) tahun. Periode ini juga disebut
periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari
perkembangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah memberikan
alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara
berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa
16
dikaitkan dengan benda-benda empirik. Anak sudah dapat melihat
hubungan-hubungan abstrak dan menggunakan proposisi-proposisi logik-
formal termasuk aksioma dan definisi-definisi verbal.
Ruseffendi yang ditulis Somakim dalam Nyimas Aisyah (2007: 17), untuk
dapat mengajarkan konsep matematika pada anak dengan baik dan mudah
dimengerti, maka materi yang akan disampaikan disesuaikan dengan tingkat
intelektualnya sudah siap atau belum dapat menerima materi tersebut. Menurut
Piaget dalam Ruseffendi Nyimas Aisyah (2007: 18), ada enam tahap dalam
perkembangan belajar anak yang disebut dengan hukum kekekalan, yaitu :
1. Hukum kekekalan bilangan (6-7 tahun)
Anak yang sudah memahami kekekalan bilangan akan mengerti bahawa
suatu jumlah benda itu tetap walaupun dipindah-pindah posisinya.
2. Hukum kekekalan materi (7-8 tahun)
Anak yang sudah memahami hukum kekekalan materi atau zat akan
mengatakan bahwa materi atau zat akan tetap sama banyaknya meskipun
dipindah tempatnya.
3. Hukum kekekalan panjang (8-9 tahun)
Anak yang sudah memahami hukum kekekalan panjang akan
mengatakan bahwa panjang tali akan tetap meskipun tali itu
dilengkungkan.
4. Hukum kekekalan luas (8-9 tahun)
Selain kekelan panjang, pada usia 8-9 tahun anak juga sudah waktunya
memahami tentang kekekalan luas. Anak yang sudah memahami hukum
kekekalan luas akan mengatakan bahwa luas daerah yang ditutupi suatu
benda akan tetap sama luas meskipun letak benda diubah.
5. Hukum kekekalan berat (9-10 tahun)
Anak yang sudah memahami hukum kekekalan berat akan mengatakan
bahwa berat suatu benda akan tetap meskipun bentuk, tempat dan alat
penimbangan benda tersebut berbeda.
6. Hukum kekekalan isi (14-15 tahun)
17
Anak yang sudah memahami hukum kekalan isi menyatakan bahwa
pada suatu bak atau bejana yang penuh dan dimasukkan suatu benda,
maka air yang tumbah sama dengan benda yang dimasukkan.
Teori belajar Dienes yang menekankan pada tahapan permainan yang berarti
proses pembelajaran melibatkan anak didik dalam belajar. Dalam proses
pembelajaran dapat membuat anak didik senang dalam belajar. Oleh karena itu
selain terkait dengan teori Piaget, teori Dienes juga terkait dengan konsep
pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif
dan Menyenangkan).
Secara garis besar PAKEM menggambarkan kondisi-kondisi sebagai berikut
:
a. Peserta didik terlibat dalam berbagai kegiatan (aktivitas) yang
mengembangkan keterampilan, kemampuan dan pemahamannya dengan
mnekankan pada belajat dengan berbuat (learning by doing).
b. Guru mennggunakan berbagai motivasi dan alat peraga, termasuk
lingkungan sebagai sumber belajar agar pengajar lbih menarik,
menyenangkan dan relevan bagi peserta didik.
c. Guru mengatur kelas untuk memajang buku dan materi dengan tampilan
yang menarik.
d. Guru menggunakan cara belajar yang lebih kooperatif dan interaktif
melalui pembagian siswa dalam kelompok-kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam
menyelesaikan suatu masalah yang disediakan guru maupun dari siswa
sendiri sehingga mereka dapat mengungkapkan gagasan sendiri dan
melibatkan peserta didik dalam menciptakan lingkungan sekolahnya
sendiri agar siswa lebih nyaman.
Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PAKEM, yaitu :
a. Memahami sifat anak (sesuai dengan umur)
b. Mengenal peserta didik secara individu, misalnya sejarah kesehatan
siswa. Bermanfaat untuk mengantisipasi kegiatan yang dihindari
anak-anak yang memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik.
18
c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar.
Misalnya menawarkan pada siswa bagi yang ingin menjadi ketua-
ketua kelompok, sekaligus melatih siswa berorganisasi.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dalam
kemampuan memecahkan masalah. Ini berarti kasus-kasus atau
masalah-masalah yang disediakan guru disesuikan kemampuan anak,
sehingga tidak terlalu mudah atau sulit bagi siswa.
e. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang
menarik.
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.
g. Memberikan umpan balik yang tanggung jawab untuk meningkatkan
kegiatan belajar mengajar.
Dienes dalam Nyimas Aisyah (2008: 2) “mengemukakan bahwa tiap-tiap
konsep atau prinsip dalam matematika yang konkret akan dapat dipahami dengan
baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk
permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran
matematika.”
Didalam teorinya, Dienes membagi beberapa tahap agar konsep-konsep
matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Tahapan
tersebut adalah:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Kebebasan untuk mengatur benda diberikan
siswa sehingga selama permainan pengetahuan anak akan muncul. Dengan
permainan bebas anak mulai mmbentuk struktur mental dan struktur sikap dalam
mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola
dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Banyak pola akan
19
mempengaruhi tingkat usaha siswa dalam mencari, sedangkan keteraturan dalam
konsep akan muncul ketika macam pola ditambah dan dilakukan berulang-ulang.
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mecari kesamaan sifat siswa dimulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan. Menyiapkan dua benda yang
berbeda dan mencari kesamaan dan perbedaannya.
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Siswa menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi
yang dihadapi, dengan demikian mereka telah mengarah pada pengertian struktur
matematika yang bersifat abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang
dipelajari.
5. Permainan dengan Simbolisasi (symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau perumusan verbal.
6. Permainan dengan Formalisasi (Formulization)
Dalam tahap ini siswa dituntut untuk merumuskan sifat-sifat konsep dan
kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut. Karso dalam Nyimas
Aisyah dkk (2008: 11) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya
mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi
mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari
pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Ayuk Septiana Dewi (2011: 54) dalam penelitiannya yang berjudul
Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament)
Terhadap Hasil Belajar bagi Siswa Kelas V SD menyimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game Tournament) efektif terhadap
hasil belajar matematika siswa kelas V SD. Dalam penelitian eksperimen yang
dilakukan oleh Gigih Febrianto yang berjudul Pengaruh Penggunaan Model
20
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Turnament) pada Pembelajaran
IPS Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Ngeri 1 Wadeslintang Kecamatan
Wadeslintang Kabupaten Wonosobo Semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011.
Hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran TGT
berpengaruh terhadap hasil belajar. Hasil belajar siswa setelah pemblajaran
dengan mnggunkana model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih tinggi
dibandingkan hasil belajar siswa setelah pembelajaran tanpa menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hal ini berdasar pada nilai rata-rata kelas
antara kelas kontrol mendapat 72,34 dan untuk kelas eksperimen mendapat 85,36.
Penelitian yang dilakukan oleh Wanda Ferdianto (2011: 46) yang berjudul
Pengaruh Penerapan Teori Belajar Dienes dalam Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe STAD Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Matematika Kelas IV Semester
II di SD Negeri Salatiga 01 menyimpulkan bahwa penerapan teori belajar Dienes
dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh pada peningkatan hasil
belajar siswa.
Penelitian sebelumnya yang sudah disampaikan berbeda, akan tetapi masih
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Dalam penelitian ini
terdapat unsur yang sama membahas tentang pembelajaran menggunakan TGT
dan penerapan teori Dienes. Namun penelitian kali ini menjadi berbeda, karena
dalam penelitian ini peneliti mengembangkan model pembelajaran TGT berdasar
teori Dienes dalam sebuah bahan ajar modul yang dibagikan oleh kelas penelitian
dalam mata pelajaran matematika materi sifat-sifat bangun ruang. Penelitian ini
melalui beberapa tahap pembuatan produk yang harus direvisi melalui pakar
modul, pakar model, dan saran perbaikan dari guru-guru sebagai praktikan yang
telah menggunakan produk penelitian berupa bahan ajar modul.
2.3 Kerangka Pikir
Matematika merupakan mata pelajaran yang dapat menjadikan manusia
Indonesia untuk kritis dan berfikir logis melalui rangkaian proses pembelajaran.
Dienes menciptakan tahapan-tahapan pembelajaran matematika dengan
permainan. Sehingga dalam proses pembelajaran dibutuhkan pendukungan yang
dapat memaksimalkan setiap tahapan permainan Dienes. Model pembelajaran
21
kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) merupakan salah satu model
pembelajaran yang mengandung unsur positif dari kegiatan yang melalui
kelompok. TGT sudah menerapkan unsur-unsur yang dimiliki pembelajaran
kooperatif didalamnya (saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual,
tatap muka, evaluasi proses kelompok dan komunikasi antar anggota).
Pembelajaran berupa permainan siswa tidak hanya bergantung pada kelompok
namun juga bertanggung jawab atas tugas individu untuk penambahan skor yang
dimiliki kelompok.
Dari keunggulan pembelajaran TGT, teori Dienes dan manfaat belajar
matematika yang sudah disampaikan peneliti ingin mengembangkan ketiga unsur
tersebut dalam bahan ajar yang menarik untuk siswa. Bahan ajar yang dimaksud
adalah bahan ajar berupa modul yang mencantumkan beberapa kegiatan yang
mencerminkan bahwa pembelajaran TGT dan teori belajar matematika Dienes
terlaksana. Produk yang berupa bahan aja berupa modul nantinya akan
mendampingi siswa dari kegiatan awal untuk menggali pengetahuan awal hingga
melaksanakan evaluasi sehingga anak terlibat aktif dalam pembelajaran.
22
Gambar 2.2 Bagan kerangka berfikir
Kelebihan TGT Matematika sifat-
sifat bangun ruang
Kelebihan
Dienes
Produk awal
modul
Validasi produk
Pakar modul Pakar materi
Saran
perbaikan
Revisi produk
modul
Uji coba
produk
32 siswa kelas V SD
Negeri 5 Dimoro
5 guru kelas
kecamatan Toroh
Penyebaran angket
dan saran perbaikan
Revisi produk akhir
Penyebaran angket
dan hasil evaluasi
siswa
Hasil penelitian dan
produk akhir
modul
23
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, kajian teori, dan kerangka berfikir, maka
peneliti dapat mengambil hipotesis dalam penelitian ini adalah model TGT (Team
Game Turnament) berdasarkan teori belajar Dienes yang dikembangkan diduga
efektif digunakan dalam pembelajaran kelas V SD.