bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori€¦ · mungkin tidak sebanyak bahasa jawa atau sunda. akan...

55
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Kajian teori ini merupakan uraian dari pendapat beberapa ahli yang mendukung penelitian. Dari beberapa teori para ahli tersebut mengkaji objek yang sama yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda. Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang model pembelajaran SAVI dan metode Role Playing mengenai proses belajar dan hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. 2.1.1 Hakikat Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia ialah salah satu bahasa yang terpenting di kawasan republik Indonesia. Pentingnya peranan bahasa antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 928 yang berbunyi: “Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara yang memang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari pada patokan seperti jumlah penuturnya, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan bahkan pengungkap budaya. Jika dalam menggunakan patokan yang pertama, yakni jumlah penuturnya, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, kedudukannya dalam

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 12

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Kajian Teori

    Kajian teori ini merupakan uraian dari pendapat beberapa ahli yang

    mendukung penelitian. Dari beberapa teori para ahli tersebut mengkaji objek

    yang sama yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda.

    Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang model

    pembelajaran SAVI dan metode Role Playing mengenai proses belajar dan

    hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

    2.1.1 Hakikat Bahasa Indonesia

    Bahasa Indonesia ialah salah satu bahasa yang terpenting di kawasan

    republik Indonesia. Pentingnya peranan bahasa antara lain bersumber pada

    ikrar ketiga Sumpah Pemuda 928 yang berbunyi: “Kami poetera dan poeteri

    Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada

    Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang

    menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di

    samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia

    menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara

    yang memang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa

    ibu.

    Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari pada patokan seperti

    jumlah penuturnya, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni

    sastra, dan bahkan pengungkap budaya.

    Jika dalam menggunakan patokan yang pertama, yakni jumlah

    penuturnya, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya

    mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada

    jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa

    Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, kedudukannya dalam

  • 13

    deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama.

    Lagi pula, hendaknya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia

    lambat-laun akan bertambah. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal.

    Pertama, arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta, yang merupakan

    pumpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan

    keperluan akan alat perhubungan bersama. Jika orang itu menetap, anak-

    anaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa

    pertamanya. Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk

    berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah

    yang digunakan banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan

    kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing

    ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya akan

    di didik dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipakai

    dilingkungannya. Keempat, orang tua masa kini, yang sama atau berbeda latar

    budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya

    penutur asli bahasa Indonesia.

    Patokan yang kedua, yakni luas persebaran, jelas menempatkan bahasa

    Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di

    daerah pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau dan Bangka, serta di daerah

    pantai Kalimantan. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan

    dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari puncuk utara sampai ke batas

    selatan negeri kita.

    Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra,

    dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa sebagai penyampaian

    ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan budaya

    bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta bahasa daerah

    yang berbeda-beda. Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya

    bahasa Indonesia bagi kita.

    Berdasarkan ketiga patokan tersebut, bahasa Indonesia mempunyai

    peranan dan kedudukannya yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya

    sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakatanya atau

  • 14

    keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya

    ungkapnya, melainkan karena bahasa Indonesia itu sendiri memiliki fungsi

    sebagai perantara orang yang latar budayanya berbeda serta sebagai tolok ukur

    dalam dialek berbahasa.

    Bertolak dari pendapat H. Alwi, dkk, (2010:1-3) dari sajian di atas.

    Maka, dapat disimpulkan bahwa bahasa juga merupakan salah satu alat

    komunikasi dan wadah yang tepat untuk menghubungkan dan menjembatani

    seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Tanpa bahasa, orang lain

    tidak dapat mengetahui makna serta maksud yang akan di utarakan kepada

    pendengarnya. Selain itu, bahasa juga merupakan lambang bunyi ujaran yang

    dihasilkan oleh alat ucap manusia antara satu anggota masyarakat ke

    masyarakat lain.

    2.1.2 Hakikat Keterampilan Berbicara

    Keterampilan berbicara adalah tingkah laku manusia yang paling

    distingif dan berati (D. Tarigan, 1992:146). Tingkah laku ini harus dipelajari,

    baru dapat dikuasai. Anak-anak usia Sekolah Dasar harus belajar dari

    manusia sekitarnya, anggota keluarga, teman sepermainan, teman satu

    sekolah dan guru di sekolahnya. Semua pihak turut membantu anak belajar

    keterampilan berbicara.

    Tarigan (2008: 3) menyatakan bahwa “berbicara adalah suatu

    keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya

    didahului oleh keterampilan menyimak.” Menurut Nunan (2011:

    48) “Speaking is a productive aural/oral skill and it consists of producing

    systematic verbal utterances to convey meaning”.Berbicara merupakan

    kemampuan memproduksi ujaran secara lisan dan sistematis untuk

    menyatakan suatu maksud tertentu.

    Hal ini mengisyaratkan bahwa keterampilan berbicara dilakukan secara

    sistematis, runtut, dan terpola. Pembicaraan ini sendiri bertujuan untuk

    menyampaikan sesuatu kepada orang lain.

  • 15

    Lazaraton (2001 :104) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa

    sangat berpengaruh dalam keterampilan berbicara, keterampilan berbahasa

    yang dimaksud yaitu memiliki keempat aspek seperti:(1) keterampilan

    menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4)

    keterampilan menulis.

    Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dikatakan terampil berbicara jika

    setidaknya memiliki empat kompetensi, yakni gramatikal, sosiolinguistik,

    analisis wacana, dan strategi. Oleh karena itu, faktor penguasaan terhadap

    bahasa tidak dapat diabaikan begitu saja.

    Menurut Iskandarwassid dan Dadang Suhendar (2008:241) keterampilan

    berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem

    bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan dan

    keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang

    merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi

    suatu ragam yang luas bunyi artkulasi, tekanan, nada, kesenyapan dan lagu

    bicara.

    Keterampilan ini juga di dasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara

    secara wajar, jujur, benar dan bertanggungjawab dengan menghilangkan

    masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah dan

    lain-lain.

    Keterampilan berbicara itu sendiri seperti keterampilan lainnya,

    keterampilan berbicara ternyata lebih rumit dari kelihatannya dan melibatkan

    lebih dari mengucapkan kata-kata.

    Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    keterampilan berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan

    ideatau gagasan secara lisan bersifat produktif dan mekanistis, yang hanya

    dapat dikuasai dengan berlatih berbicara dan merupakan bagian tingkah laku

    hidup manusia yang sangat penting sebagai alat komunikasi kepada orang

    lain. Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan menyampaikan

    gagasan, informasi atau pesan kepada orang lain dengan menggunakan media

    yang berupa simbol-simbol fonestis.

  • 16

    2.1.2.1 Tujuan Berbicara

    Berbicara tentu memiliki tujuan yang ingin disampaikan kepada lawan

    bicaranya. Agar tujuan itu dapat tersampaikan dengan baik dan efektif, maka

    isi pembicaraan harus sesuai dengan makna yang ingin disampaikan kepada

    lawan bicara. Dalam hal ini, pendengar akan memaknai informasi atau pesan

    yang disampaikan oleh pembicara.

    Tarigan (2008:16) mengungkapkan bahwa kegiatan berbicara memiliki

    tujuan utama untuk berkomunikasi. Untuk menyampaikan pikiran secara

    efektif, berbicara harus memahami makna sesuatu hal yang akan

    dikomunikasikan. Dia juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya

    terhadap para pendengar dan harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari

    segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.

    Selain itu, Tarigan (1992:134) mengemukakan bahwa tujuan orang

    berbicara adalah untuk:

    1) Menghibur

    Berbicara yang bertujuan menghibur biasa dilakukan oleh pelawak.

    Pembicara berusaha bermain kata-kata untuk menciptakan suasana

    yang santai, penuh canda, dan menyenangkan. Tidak semua orang

    terampil berbicara yang dapat menghibur orang yang diajak

    berbicara atau yang mendengarkan pembicaraannya.

    2) Menginformasikan

    Tujuan lain dari aktivitas berbicara adalah untuk menyampaikan

    informasi. Orang akan lebih mudah menyampaikan atau menerima

    informasi secara lisan. Pembicara dengan tujuan menginformasikan

    sering dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti

    menjelaskan suatu proses, menguraikan, menafsirkan atau

    menginterpretasikan sesuatu hal, memberi, menyebarkan, dan

    menanamkan pengetahuan serta menjelaskan kaitan, hubungan, relasi

    antar benda, hal atau peristiwa.

  • 17

    3) Menstimulasi

    Seseorang guru sering berbicara kepada muridnya untuk

    membangkitkan semangat belajar dan gairah mengerjakan tugas

    rumah. Guru berbicara sebagai upaya membangkitkan inspirasi,

    kemauan dan minat siswa. Berbicara semacam memiliki tujuan untuk

    menstimulasi pendengarnya. Seseorang berbicara juga ada yang

    bertujuan meyakinkan atau mengubah sikap pendengarnya.

    Berbicara dengan tujuan seperti ini membutuhkan keterampilan

    tersendiri, karena jika pembicara cukup terampil akan dapat

    mengubah suatu penolakan menjadi penerimaan, tidak setuju

    menjadi setuju, permusuhan menjadi persahabatan, dan akan dapat

    meyakinkan pendengarnya.

    4) Menggerakan pendengarnya

    Selain sebagai sarana untuk menghibur, menginformasikan maupun

    menstimulasi, tujuan berbicara juga untuk menggerakkan

    pendengarnya. Mengggerakkan yang dimaksud sebagai upaya untuk

    membuat atau menggerakkan orang agar berbuat, bertindak atau

    beraksi seperti yang diinginkan pembicara. Melalui kepiawaian

    berbicara, kecakapan memanfaatkan situasi, dan penguasaan

    terhadap ilmu jiwa, maka seseorang dapat dengan mudah

    menggerakkan pendengarnya untuk melakukan sesuatu.

    Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    berbicara memiliki tujuan untuk berkomunikasi dengan maksud menghibur,

    meyakinkan, menginformasikan dan menggerakan orang lain sebagai lawan

    bicaranya.

    2.1.2.2 Jenis-jenis Berbicara

    Santosa, dkk (2008: 6.36) menyatakan bahwa jenis berbicara

    berdasarkan situasinya sebagai berikut:

  • 18

    1) Berbicara formal

    Di dalam situasi formal, pembicara dituntut untuk berbicara secara

    formal. Misalnya: pidato, ceramah dan wawancara.

    2) Berbicara nonformal

    Di dalam situasi nonformal, pembicara harus berbicara secara tidak

    formal. Misalnya: bertelepon dan bercakap-cakap.

    Bertolak dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis

    berbicara menjadi beragam tergantung dari sudut pandang yang digunakan,

    tetapi secara garis besar bahwa jenis berbicara yang menjadi hal utama dalam

    penelitian ini yaitu berkaitan dengan keterampilan berbicara formal pada mata

    pelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan pendapat dari Santosa, dkk (2008

    :6.36).

    2.1.2.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara

    Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat

    berkomunikasi secara baik, pembicara harus mempunyai kemampuan

    berbicara yang baik pula. Oleh karena itu, agar pesan atau gagasan pembicara

    dapat diterima oleh pendengar, maka pembicara harus mampu menyampaikan

    isi pembicaraan secara baik dan efektif.

    Karena setiap komunikasi mengandung tujuan tertentu, apakah untuk

    memberitahukan sesuatu termasuk memberitahukan ‘diri’ untuk

    mempengaruhi salah satu pihak, untuk bertukar pendapat, untuk memecahkan

    suatu masalah, atau sekedar meriting-rintang waktu, maka setiap kontak

    komunikasi member efek kepada salah satu atau kedua pihak partisipan. Oleh

    sebab itu, di dalam setiap peristiwa komunikasi mempunyai sebab akibat atau

    konsekuensi positif dan negatif, baik dan buru.

    Sebagaimana diungkapkan oleh Arsjad dan Muti U. S. (1991:87) bahwa

    untuk keefektifan berbicara, pembicara perlu memperhatikan faktor

    kebahasaan dan nonkebahasaan.

    Faktor kebahasaan antara lain: (1) ketepatan ucapan (meliputi ketepatan

    pengucapan vocal dan konsonan, (2) penempatan tekanan, (3) penempatan

  • 19

    persendian, (4) penggunaan nada/irama, (5) pilihan kata, (6) pilihan ungkapan,

    (7) variasi kata, (8) tata bentukan, (9) struktur kalimat, dan (10) ragam

    kalimat.

    Faktor nonkebahasaan meliputi: (1) keberanian/semangat, (2)

    kelancaran, (3) kenyaringan suara, (4) pandangan mata, (5) gerak-gerik dan

    mimik, (6) keterbukaan, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik. Aspek-aspek

    kebahasaan dan nonkebahasaan di ata diarahkan pada pemakaian bahasa yang

    baik dan benar.

    Kedua faktor berbicara tersebut sangat menunjang keberhasilan

    seseorang di dalam berbicara (komunikasi) kepada orang lain. Dalam

    pembicaraan formal aspek nonkebahasaan sangat diperlukan, karena faktor

    nonkebahasaan akan menjadi modal utama dan mempermudah penerapan

    faktor kebahasaan. Alangkah baiknya, faktor nonkebahasaan ditanamkan

    kepada siswa terlebih dahulu sebelum faktor kebahasaan karena keberanian

    dan mental anak sangat berpengaruh terhadap keefektifan berbicara.

    Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

    penunjang keefektifan berbicara adalah adanya faktor kebahasaan dan

    nonkebahasaan yang keduanya memiliki hubungan erat. Oleh karena itu, agar

    dapat berbicara efektif maka faktor-faktor tersebut harus dikuasai dengan baik

    dan benar oleh si sumber pembicara.

    2.1.2.4 Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SD

    Pembelajaran keterampilan berbicara di SD dijabarkan dari kurikulum

    menjadi standar kompetensi dasar serta materi-materi pokok pada tiap kelas.

    Keterampilan berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar mata

    pelajaran Bahasa Indonesia yang harus diajarkan di Sekolah Dasar. Tujuan

    pembelajaran berbicara di sekolah adalah agar siswa mampu mengungkapkan

    gagasan, pendapat, dan pesan secara lisan. Di samping itu, pengajaran

    berbicara di arahkan pada kemampuan siswa untuk berinteraksi dan menjalin

    hubungan dengan orang lain secara lisan (Depdikbud, 1994:2).

  • 20

    Standar kompetensi dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan

    menyatakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk membantu peserta

    didik mengenal diri, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan

    dan perasaan, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Selain itu, pembelajaran

    bahasa diarahkan agar peserta didik menemukan dan menggunakan

    kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu,

    peserta didik diharapkan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan

    baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis (Depdiknas, 2006: 1).

    Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan

    kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, siswa telah

    dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna.

    Makin lama kemampuan tersebut menjadi semakin sempurna dalam arti

    strukturnya menjadi sempurna, pilihan katanya semakin tepat, kalimat-

    kalimatnya semakin bervariasi.

    Pada hakikatnya, berbicara merupakan suatu proses berkomunikasi

    sebab di dalamnya terdapat pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat

    lain. Bahkan, telah disebutkan bahwa dalam kurikulum tingkat satuan

    pendidikan bahwa hakikat pembelajaran berbicara pada dasarnya adalah

    menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan,

    informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara,

    presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya

    sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama (Depdiknas,

    2006: 1).

    Pembelajaran keterampilan berbicara di kelas V semester II SD sesuai

    KTSP Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) mencakup dua kompetensi

    dasar, yaitu (1) mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang

    mendukung dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pilihan kata dan

    santun berbahasa, dan (2) memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan

    ekspresi yang tepat. Sesuai kompetensi dasar yang kedua yaitu berkaitan

    dengan memerankan tokoh drama maka dapat diterapkan metode bermain

    peran (role playing) sebagai metode pembelajaran drama yang tepat. Selain

  • 21

    itu, masih terdapat kompetensi dasar berbahasa lainnya yang juga harus

    dikuasai dan saling mendukung atau berkaitan.

    Pembelajaran keterampilan berbicara di SD dapat dilakukan dengan

    banyak cara. Pembelajaran keterampilan berbicara sangat terkait dengan

    pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. Santosa, dkk (2008 :6.38)

    mengemukakan bahwa tujuan keterampilan berbicara di SD adalah melatih

    siswa dapat berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk

    mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru dapat menggunakan bahan

    pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan

    pembelajaran berbicara. Misalnya, menceritakan pengalaman yang

    mengesankan, menceritakan kembali cerita yang pernah dibaca dan didengar,

    mengungkapkan pengalaman pribadi, bermain peran (role playing), dan

    berpidato.

    Pengamatan guru terhadap aktivitas berbicara siswa dapat diamati

    dengan menggunakan format yang telah dipersiapkan sebelumnya.Faktor-

    faktor yang diamati adalah lafal kata, intonasi kalimat, kosakata, tata bahasa,

    kefasihan berbicara, dan pemahaman.

    Melihat pentingnya tujuan pembelajaran keterampilan berbicara di SD,

    maka seharusnya pembelajaran tersebut lebih dioptimalkan dengan mengingat

    bahwa keterampilan berbicara bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui

    uraian atau keterangan guru saja. Melainkan siswa harus dihadapkan pada

    aneka bentuk teks lisan ataupun kegiatan-kegiatan nyata yang

    mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi.

    Keberhasilan pembelajaran tersebut juga tidak lepas dari bagaimana cara

    atau metode yang diterapkan oleh guru dalam menjalankan tugas

    pembelajaran keterampilan berbicara. Metode pembelajaran adalah teknik

    penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan

    pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap,

    dipahami dan digunakan siswa dengan baik.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

    keterampilan berbicara di SD berperan penting dalam meningkatkan

  • 22

    keterampilan berbahasa lainnya, sehingga perlu diterapkan cara atau metode

    yang tepat dalam pembelajarannya. Salah satu penerapan metode yang dapat

    dipilih dalam pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD)

    adalah dengan metode role playing sesuai kompetensi dasar pada kelas 4

    semester II.

    2.1.2.5 Penilaian Keterampilan Berbicara di SD

    Penilaian keterampilan berbicara di SD lebih sulit dilaksanakan

    dibanding dengan penilaian keterampilan berbicara lainnya karena persiapan,

    pelaksanaan, dan perskorannya memerlukan banyak waktu dan tenaga. Oleh

    sebab itu, tidak mengherankan jika banyak guru SD yang melaksanakan

    kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara tetapi tidak disertai penilaian.

    Banyak sekali aspek atau faktor yang harus diidentifikasi dalam

    penilaian keterampilan berbicara. Semua itu merupakan masalah penilaian

    kemampuan berbicara yang harus dihadapi guru. Namun demikian, upaya

    melaksanakan penilaian keterampilan berbicara harus dilaksanakan demi

    pencapaian tujuan pembelajaran keterampilan berbicara yang diharapkan.

    Berdasarkan fakta bahwa kegiatan berbicara cenderung dapat diamati

    dalam konteks nyata saat siswa berbicara, maka dalam kegiatan berbicara

    dapat dikembangkan penilaian kinerja yang bertujuan menguji kemampuan

    siswa dalam mendemontrasikan pengetahuan dan keterampilannya (apa yang

    mereka ketahui dan dapat mereka lakukan) pada berbagai situasi nyata dan

    konteks tertentu.

    Arsjad dan Mukti U. S. (1991:86-93) menjelaskan bahwa penilaian

    keterampilan berbicara didasarkan pada faktor penunjang keefektifan

    berbicara yang sudah dijelaskan pada bagian sub bab sebelumnya, yakni

    meliputi faktor kebahasaan dan nonkebahasaan.

    Hal ini dilakukan untuk menghindari kebiasaan penilaian berdasarkan

    kesan umum sehingga penilaian didasarkan pada faktor-faktor penunjang

    berbicara yang dapat di ukur secara jelas. Selain itu, diungkapkan pula bahwa

  • 23

    secara garis besar pelaksanaan penilaian keterampilan berbicara dapat

    digambarkan sebagai berikut:

    1) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk melakukan kegiatan berbicara

    secara individual atau kelompok dalam waktu tertentu.

    2) Guru menentukan faktor-faktor yang dinilai atau diamati

    3) Siswa tidak mendapatkan giliran berbicara diberikan tugas mengamati

    berdasarkan pedoman penilaian.

    4) Guru dan siswa aktif mengamati kegiatan siswa yang sedang berbicara

    5) Selesai kegiatan berbicara para pengamat mengemukakan komentarnya.

    Guru juga aktif memberikan masukan/komentar untuk pembenahan

    kesalahan siswa.

    6) Kegiatan berbicara diulang kembali untuk mengetahui perubahan

    berbicara setelah terdapat umpan balik.

    Mengingat keterampilan berbicara ini memerlukan latihan dan

    bimbingan yang intensif dengan waktu yang relativ lama maka penelitian ini

    dilakukan dengan menilai dan mengukur beberapa faktor/aspek dalam satu

    kegiatan berbicara saja. Tetapi dapat berlanjut dan bertujuan untuk

    memperbaiki keterampilan berbicara lainnya.

    Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka penulis memberikan

    batasan terhadap penelitian keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri 1

    Kecamatan Getasan sesuai dengan pendapat dari Maidar G. Arsjad dan Mukti

    U. S. Sehingga penilaian yang digunakan untuk mengukur keterampilan

    berbicara dalam penelitian pengamatan terhadap keterampilan berbicara siswa.

    Pengamatan dilakukan terhadap aspek keterampilan berbicara sewaktu siswa

    tampil berbicara dalam bermain peran (role playing) di kelas.

    2.1.2.6 Aspek-aspek yang Dinilai dalam Keterampilan Berbicara

    Pembelajaran selalu diakhiri dengan penilaian. Hal ini digunakan untuk

    mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran tersebut. Penilaian sangat

    penting dilakukan karena dengan adanya penilaian dapat diketahui

    keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dan dari hasil yang diperoleh akan

  • 24

    dapat membuat seseorang lebih termotivasi untuk belajar. Penilaian

    pembelajaran keterampilan berbicara tentu harus dapat mengukur tujuan

    pembelajaran keterampilan berbicara, yakni kemampuan siswa dalam

    berbicara sesuai dengan aspek-aspek yang telah ditetapkan.

    Suwandi (2008 :15) mengungkapkan bahwa penilaian merupakan suatu

    proses untuk mengetahui keberhasilan dari suatu program kegiatan yang

    sesuai dengan tujuan atau kriteria, baik itu dari segi aspek proses maupun

    hasil. Penilaian yang digunakan untuk menilai pembelajaran keterampilan

    berbicara dalam penelitian ini ada dua yaitu penilaian proses pembelajaran

    yang berkaitan dengan minat, keaktifan, kerjasama, dan kesungguhan serta

    penilaian hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa.

    Adapun masing-masing penjelasan dari keempat kriteria di atas adalah

    sebagai berikut ini:

    a) Minat

    Sudjana (1991:61) menjelaskan bahwa keberhasilan proses

    pembelajaran dapat dilihat dalam motivasi belajar siswa yang ditunjukkan

    oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Hal ini

    dapat dilihat dalam (1) minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran, (2)

    semangat siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajarnya, (3) tanggung

    jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya, (4) reaksi yang ditunjukkan

    siswa terhadap stimulus yang diberikan guru, (5) rasa senang dan puas dalam

    mengerjakan tugas yang diberikan.

    b) Keaktifan

    Seorang guru dalam proses belajar-mengajar harus mengoptimalkan

    kadar keaktifan siswa karena guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil

    belajar siswa yang optimal. Djamarah (dalam Danik Nofiana, 2008:17)

    menjelaskan bahwa dalam proses belajar-mengajar aktivitas siswa yang

    diharapkan tidak hanya aspek fisik melainkan juga aspek mental. Siswa

    bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas, berdiskusi, menulis,

    membaca, membuat grafik, dan mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru

  • 25

    merupakan sejumlah aktivitas anak didik yang aktif secara mental maupun

    fisik.

    Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal: (1) turut serta dalam

    melaksanakan tugas belajarnya, (2) terlibat dalam pemecahan masalah, (3)

    bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami

    persoalan yang dihadapinya, (3) berusaha mencari berbagai informasi yang

    diperlukan untuk pemecahan masalah, (4) melaksanakan diskusi kelompok

    sesuai dengan petunjuk guru, (5) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil

    yang diperolehnya, (6) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah

    yang sejenis, (7) kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah

    diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapi.

    c) Kerjasama

    Kerjasama menjadi salah satu aspek penentu keberhasilan penilaian

    proses pembelajaran karena dengan kerja sama, siswa dapat aktif dan belajar

    secara bersama-sama. Kebersamaan dalam pembelajaran merupakan kerja

    sama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Kerja sama

    dalam pembelajaran ini diarahkan untuk mengembangkan kemampuan

    berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama.

    d) Kesungguhan

    Harus disadari bahwa di dalam kehidupan seseorang dalam bekerja

    membutuhkan kesungguhan untuk mengerjakannya. Kesungguhan seseorang

    dalam melakukan usaha itulah yang menentukan seberapa jauh hasil yang

    dicapai.

    Begitu pula dalam belajar baik di rumah maupun di sekolah seorang

    siswa bila ingin mendapatkan hasil yang baik dan dapat tercapai cita-citanya

    maka harus belajar dengan sungguh-sungguh, rajin, tekun, dan giat.

    Karena belajar adalah untuk menjadi pandai dalam segala hal baik

    dalam bidang ilmu pengetahuan maupun ketrampilan atau kecakapan. Tanpa

    kesungguhan dalam belajar, maka mustahil tujuan belajar akan tercapai

    dengan baik.

  • 26

    Dalam belajar, kita tidak bisa melepaskan dari beperapa hal yang dapat

    mengantarkan keberhasilan dalam belajar. Kesungguhan atau intensitas dalam

    belajar merupakan salah satu prinsip belajar agar mendapat hasil yang

    maksimal.

    Belajar tanpa kesungguhan akan memperoleh hasil yang kurang

    memuaskan, selain itu akan bayak waktu dan tenaga yang terbuang

    percumah, sebaliknya belajar dengan sungguh-sungguh serta tekun akan

    memperoleh hasil yang maksimal dan penggunaan waktu yang efektif.

    Menurut S. B. Djamrah, pedoman umum dalam belajar dapat dilakukan

    dengan cara belajar dengan teratur, disiplin dan bersemangat, konsentrasi,

    pengaturan waktu, istirahat dan tidur yang cukup.

    2.1.2.6.1 Penilaian Proses Pembelajaran Keterampilan Berbicara

    Penilaian dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari sikap siswa

    ketika mengikuti pembelajaran. S. Suwandi (2008 :89-90) memaparkan bahwa

    sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang

    dalam merespons sesuatu atau objek. Sikap juga suatu ekspresi dari nilai-nilai

    atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Secara umum, objek

    sikap yang perlu diamati dalam proses pembelajaran adalah: (1) sikap

    terhadap materi pembelajaran, (2) sikap terhadap guru atau pengajar, (3) sikap

    terhadap proses pembelajaran, (4) sikap berkaitan dengan nilai atau norma

    yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran.

    Sejalan dengan pendapat Sarwiji Suwandi, Mimin Haryati (2007 :38)

    menjelaskan bahwa karakteristik ranah afektif yang penting diantaranya

    adalah sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.

    a) Sikap yang dimaksud di sini adalah sikap terhadap sekolah dan mata

    pelajaran.

    b) Minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.

    Minat adalah suatu disposisi yang terorganisasi melalui pengalaman yang

    mendorong untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan

    keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.

  • 27

    c) Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu yang bersangkutan

    terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki.

    d) Nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh

    individu untuk mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan.

    e) Moral menyinggung akhlak, tingkah laku, karakter seseorang atau

    kelompok.

    Dari pendapat kedua ahli tersebut, jelas bahwa kriteria penilaian proses

    dapat saja dimodifikasi sendiri oleh seorang guru sesuai dengan tujuan dan

    kebutuhan siswa. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam penelitian ini peneliti

    membuat instrument yang digunakan untuk menilai penilaian proses untuk

    siswa. Penilaian proses pembelajaran dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:

    Tabel 2.1 Format Penilaian Proses Pembelajaran pada Keterampilan

    Berbicara Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing

    Berilah tanda check list (√) untuk setiap aspek yang diamati pada kolom di

    bawah ini!

    No.

    Nama

    Siswa

    Aspek yang Dinilai

    Minat Keaktifan Kerjasama Kesungguh

    an

    Y T Y T Y T Y T

    1.

    2.

    3.

    4

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

    Format diadaptasi dari S. Suwandi, (2008:92)

    Keterangan :

    1) Ya : Siswa yang menunjukkan aspek yang diinginkan

    2) Tidak : Siswa yang tidak menunjukkan aspek yang diiginkan

  • 28

    Untuk mencari nilai setiap siswa menggunakan teknik penilaian

    yang dikembangkan oleh Foreign Service Institue (FSI) sebagai

    berikut:

    a) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai

    setiap unsur penilaian yang diperoleh siswa

    b) Menghitung jumlah siswa sesuai setiap aspek = Nilai akhir

    2.1.2.6.2 Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan Berbicara

    Suwandi (2008 :39) mengemukakan bahwa penilaian hasil

    pembelajaran dapat dilakukan dengan tes, baik tes lisan ataupun tes tertulis.

    Pada umumnya tes dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa

    dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran. Tingkat keberhasilan siswa

    dimaksudkan juga sebagai kemampuan siswa yang diperoleh setelah

    mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.

    Tes esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban siswa

    dalam bentuk uraian dengan menggunakan bahasa sendiri. Tes ini menuntut

    siswa untuk berpikir dalam mempergunakan apa yang diketahui yang

    berkenaan dengan pertanyaan yang harus dijawab.

    Dalam penelitian ini, penilaian pembelajaran bahasa Indonesia

    khususnya pada keterampilan berbicara dapat dilakukan dengan

    menggunakan tes lisan. Penilaian hasil dalam pembelajaran keterampilan

    berbicara ini didasarkan pada hasil pekerjaan siswa dalam bentuk berbicara/

    tes lisan dengan pilihan kata yang sesuai dan memperhatikan unsur/aspek

    yang membangun sebuah keterampilan berbicara itu sendiri.

    Sebagai pedoman untuk penilaian keterampilan berbicara dapat dilihat

    pada tabel 2.2 berikut ini:

  • 29

    Tabel 2.2 Format Lembar Penilaian Hasil Pembelajaran

    Keterampilan Berbicara Siswa Menggunakan Model SAVI dan

    Metode Role Playing

    No.

    Nama

    Siswa

    Aspek yang Dinilai Jumlah

    Skor

    Nilai

    Akhir

    Ketuntasan

    I II III IV V

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

    Jumlah

    Nilai rata-rata

    Nilai Terendah

    Nilai Tertinggi

    Ketuntasan Klasifikasi

    Format diadaptasi dari Arsjad dan Mukti U. S. (1991:86-93)

    Keterangan:

    Aspek yang dinilai:

    I. Lafal

    II. Intonasi

    III. Kelancaran

    IV. Ekspresi Berbicara

    V. Pemahaman Isi

    Petunjuk penilaian:

    1) Nilai setiap aspek yang dinilai dalam berbicara berskala 1 sampai 5

    2) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap

    aspek penilaian yang diperoleh siswa.

    3) Nilai akhir yang diperoleh siswa diolah dengan menggunakan rumus:

    x 100 = Nilai Akhir

  • 30

    4) Nilai rata-rata kelas dihitung dengan rumus:

    = Nilai Rata-rata

    5) Persentase ketuntasan pembelajaran berbicara dapat dihitung dengan

    menggunakan rumus:

    x 100% =

    Skala penilaian aspek keterampilan berbicara dari tiap-tiap deskripsi

    dapat diperinci pada table 2.3 di bawah ini.

    Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan

    Berbicara Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing

    No. Aspek

    yang

    Dinilai

    Deskripsi Skor Keterangan

    1. Lafal a. Pelafalan sangat jelas b. Pelafalan jelas c. Pelafalan cukup jelas d. Pelafalan kurang jelas e. Pelafalan tidak jelas

    5

    4

    3

    2

    1

    Sangat Baik

    Baik

    Cukup Baik

    Kurang Baik

    Tidak Baik

    2. Intonasi a. Intonasi kata/suku kata sangat tepat

    b. Intonasi kata/suku kata tepat c. Intonasi kata/suku kata

    cukup tepat

    d. Intonasi kata/suku kata kurang tepat

    e. Intonasi kata/suku kata tidak tepat

    5

    4

    3

    2

    1

    3. Kelancaran a. Berbicara sangat lancar b. Berbicara dengan lancar c. Berbicara cukup lancar d. Berbicara kurang lancar e. Berbicara tidak lancar

    5

    4

    3

    Persentase

    Ketuntasan Klasikal

  • 31

    2

    1

    4. Ekspresi

    Berbicara

    a. Ekspresi berbicara sangat tepat

    b. Ekspresi berbicara tepat c. Ekspresi berbicara cukup

    tepat

    d. Ekspresi berbicara kurang tepat

    e. Ekspresi berbicara tidak tepat

    5

    4

    3

    2

    1

    5. Pemahama

    n Isi

    a. Sangat memahami isi pembicaraan

    b. Memahami isi pembicaraan c. Cukup memahami isi

    pembicaraan

    d. Kurang memahami pembicaraan

    e. Tidak memahami isi pembicaraan

    5

    4

    3

    2

    1

    Penjelasan dari tiap-tiap aspek sebagai berikut:

    I. Lafal

    Kemampuan melafalkan bunyi kata dijelaskan sebagai berikut:

    a. Lafal sangat jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan sangat

    jelas yaitu benar-benar dapat dibedakan bunyi konsonan dan vocal

    (hampir tidak ada kesalahan).

    b. Lafal jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan jelas yaitu

    dapat dibedakan bunyi konsonan dan vocal (artikulasi jeas tetapi

    sesekali melakukan kesalahan).

  • 32

    c. Lafal cukup jelas: cukup kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dan

    vocal dengan jelas tetapi masih dapat dipahami pendengar.

    d. Lafal kurang jelas: melafalkan kata-kata yang susah sekali dipahami

    karena masalah pengucapan yaitu bunyi konsonan dan vocal kurang

    jelas untuk dibedakan sehingga memaksa pendengar harus

    mendengarkan dengan teliti ucapannya.

    e. Lafal tidak jelas: kesulitan (tidak jelas) melakukan bunyi konsonan dan

    vocal sehingga kesalahan dalam pelafalan terlalu banyak menyebutkan

    bicaranya tidak dapat dipahami dan salah pengertian.

    II. Intonasi

    Kemampuan memberikan intonasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

    a. Intonasi sangat tepat: penempatan tekanan kata/suku kata sangat tepat

    sehingga berbicaranya tidak terkesan datar dan membosankan.

    b. Intonasi tepat: sedikit sekali kesalahan penempatan tekanan kata/suku

    kata, pembicaraan juga tidak terkesan datar.

    c. Intonasi cukup tepat: terkadang membuat kesalahan dalam penempatan

    tekanan kata/suku kata sehingga cukup terkesan datar.

    d. Intonasi kurang tepat: sering tidak memberikan tekanan/suku kata yang

    seharusnya mendapatkan intonasi dan cukup membosankan lawan

    bicara.

    e. Intonasi tidak tepat: sama sekalii tidak ada tekanan kata/suku kata

    dalam pembicaraannya dari awal sampai akhir sehingga membosankan

    lawan bicara dan keseluruhan bicaranya terkesan datar.

    III. Kelancaran

    Kemampuan kelancaran berbicara dapat dijelaskan sebagai berikut:

    a. Berbicara sangat lancar: berbicara dengan sangat lancar, tidak terputus-

    putus, dan tidak terdapat sisipan bunyi ”ee…..” dan sejenisnya.

    b. Berbicara lancar: sedikit sekali berbicara dengan terputus tetapi tidak

    terdapat sisipan bunyi “ee…..” dan sejenisnya.

    c. Berbicara cukup lancar: terkadang berbicara dengan terputus-putus dan

    terdapat sisipan bunyi “ee….” dan sejenisnya.

  • 33

    d. Berbicara kurang lancar: berbicara sering terputus-putus dan

    menyisipkan bunyi “ee…..” dan sejenisnya.

    e. Berbicara tidak lancar: berbicara selalu terputus-putus, banyak

    pengucapan sisipan bunyi “ee….” dan sejenisnya, dan sangat

    membosankan lawan bicara.

    IV. Ekspresi Berbicara

    Kemampuan ekspresi berbicara dijelaskan sebagai berikut:

    a. Ekspresi berbicara sangat tepat: hampir keseluruhan terdapat

    mimik/pantomimik berbicara yang meyakinkan dan komunikatif.

    b. Ekspresi berbicara tepat: terkadang menggunakan mimik/pantomimik

    berbicara yang dapat membangkitkan perhatian lawan bicara.

    c. Ekspresi berbicara cukup tepat: terdapat mimik/pantomimik berbicara

    tetapi tidak proporsional (terlalu berlebihan/tidak tepat pada keadaan).

    d. Ekspresi berbicara kurang tepat: ragu-ragu dalam memberikan gerak-

    gerik (mimik/pantomimik) yang dapat meyakinkan lawan bicara.

    e. Ekspresi berbicra tidak tepat: berbicara tanpa ada gerakan, statis, dan

    terkesan kaku.

    V. Pemahaman Isi

    Kemampuan pemahaman isi pembicaraan dijelaskan sebagai berikut:

    a. Sangat paham isi pembicaraan: isi pembicaraan sesuai dengan topik

    dan tokoh yang diperankan tanpa kesulitan.

    b. Memahami isi pembicaraan: isi pembicaraan sesuai dengan topik dan

    tokoh yang diperankan tetapi sedikit mengalami kesulitan (kekeliruan).

    c. Cukup memahami isi pembicaraan: terkadang berbicara tidak sesuai

    topik dan tokoh yang diperankan.

    d. Kurang memahami isi pembicaraan: sering berbicara tidak sesuai

    topik/isi pembicaraan dan tokoh yang diperankan.

    e. Tidak memahami isi pembicaraan: selalu berbicara di luar dari topik

    dan tokoh yang diperankan, membingungkan lawan bicara.

  • 34

    Dalam penelitian ini, dilakukan pembobotan nilai dengan berdasarkan

    pada tujuan atau fokus penilaian, serta melakukan modifikasi berbagai butir

    penilaian sesuai dengan tujuan, situasi, dan kondisi yang melatari.

    Berdasarkan tabel yang telah dijelaskan di atas, untuk penilaian

    keterampilan berbicara terdapat lima aspek penilaian, yaitu aspek pelafalan,

    intonasi, kelancaran, ekspresi berbicara dan pemahaman isi.

    2.1.3 Hakikat Proses Belajar Keterampilan Berbicara

    Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak

    untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan

    kombinasi yang serasi dari sistem neuromuscular untuk mengeluarkan fonasi

    dan artikulasi suara.

    Proses bicara melibatkan beberapa system dan fungsi tubuh, melibatkan

    system pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks

    serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi

    dari mulut serta rongga hidung.

    Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan

    motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba

    berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek

    motorik yaitu laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring

    yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara. Di dalam otak terdapat 3

    pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang

    mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya

    bersifat ekspresif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta

    satu pusat lainnya bersifat sekpresif yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan

    dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem

    susunan saraf pusat.

    Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area

    Wernick, merupakan pusat persepsi auditori-leksik yaitu mengurus

    pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan

    (verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus

  • 35

    pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa

    tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat

    tersebut berhubungan antara satu sama lain melalui serabut asosiasi.

    Saat mendengar pembicaraan, maka getaran udara yang ditimbulkan

    akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada

    membrane timpani. Dari hal tersebut rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang

    kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam

    terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat

    gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VII

    ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian

    jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke

    areamotorik di otak yang mengontrol gerakan bicara.

    Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara

    yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh

    gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara

    diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ

    pendengaran sangat penting.

    Dalam proses belajar berbahasa lisan/berbicara, kemampuan

    menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik

    sesuai yang diharapkan.

    https://speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/proses-mekanisme-bicara-dan-

    bahasa/.

    Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar

    berbicara adalah suatu proses perubahan tingkah laku antara berbagai unsur

    dan berlangsung seumur hidup yang didorong oleh berbagai aspek seperti

    motivasi, emosional, sikap dan lainnya dan pada akhirnya menghasilkan

    sebuah tingkah laku yang diharapkan. Sedangkan belajar adalah kegiatan yang

    dilakukan oleh seseorang untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui,

    atau keinginan untuk merubah suatu kebiasaan ke arah yang lebih baik.

    https://speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/proses-mekanisme-bicara-dan-bahasa/https://speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/proses-mekanisme-bicara-dan-bahasa/

  • 36

    2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Keterampilan Berbicara

    Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara anak

    di usia sekolah. Anak-anak yang sedang berada di tahap Sekolah Dasar (SD)

    memiliki keterampilan yang berbeda-beda itu dikarenakan stimulasi yang

    diterima, lingkungan tempat tinggal, kesehatan, jenis kelamin dan masih

    banyak lagi. Keterampilan berbicara mengalami proses belajar yang unik

    karena berbicara tersebut digunakan sehari-hari meskipun tanpa proses

    informal namun melalui proses formal.

    Menurut Tarmasyah (1996) faktor yang mempengaruhi proses

    berbahasa dan bicara pada anak/siswa diantaranya.

    1. Kondisi Jasmani dan Kemampuan Motorik

    Kondisi jasmaniah anak meliputi kondisi fisik sehat, tentunya

    mempunyai kemampuan gerakan yang lincah, dan penuh energi. Dengan

    demikian anak mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda disekitarnya,

    kemudian benda tersebut diasosikan anak menjadi sebuah pengertian. Untuk

    selanjutnya pengertian tersebut dilahirkan dalam bentuk bahasa dan di

    ucapakan.

    Anak yang mempunyai kondisi fisik yang normal akan mempunyai

    kosep bahasa yang lebih dari anak yang kondisi fisiknya terganggu. Dengan

    demikian kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara akan berbeda.

    2. Kesehatan Umum

    Kesehatan secara umum menujang perkembangan setiap anak termasuk

    didalamya kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara. Anak yang

    berpenyakit tidak mempunyai kebebasan dalam mengenal lingkungan

    sekitarnya secara utuh sehingga anak kurang mampu mengekspresikannya.

    Namun anak yang sehat akan mampu mengenali lingkungan dan mampu

    mengekspresikan secara utuh dalam bentuk bahasa dan berbicara.

    Lebih lanjut Tarmansyah (1996: 53) mengatakan “…. adanya gangguan

    pada kesehatan anak, akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan

    bicara. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkurangnya kesempatan untuk

    memperoleh pengalaman dari lingkungan. Selain itu, mungkin anak yang

  • 37

    kesehatannya kurang baik tersebut menjadi berkurang minatnya untuk ikut

    aktif melakukan kegiatan, sehingga menyebabkan kurangnya input yang

    diperlukan untuk membentuk konsep bahasa dan perbendaharaan pengertian.

    Menurut Hurlock (1978: 186) faktor yang menimbulkan perbedaan

    dalam belajar berbicara tentang kesehatan anak yang sehat akancepat belajar

    berbicara ketimbang anak yang tidak sehat, karena ada motivasi untuk

    bergabung dengan kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota

    kelompok tersebut.

    3. Kecerdasan

    Kecerdasan pada anak usia dini meliputi fungsi mental intelektual.

    Anak yang memiliki intelegensi tinggi akan mampu berbicara lebih awal

    sedangkan anak yang memiliki intelegensi rendah akan terlambat dalam

    kemampuan berbahasa dan berbicara. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan

    bahwa kecerdasan atau intelegensi berpengaruh terhadap kemampuan bahasa

    dan bicara.

    Menurut Hurlock (1978: 186) anak yang memiliki kecerdasan tinggi

    belajar berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang

    lebih unggul ketimbang anak yang tingkat kecerdasannya rendah.Berdasarkan

    uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kelancaran keterampilan berbicara pada

    anak yang memiliki kecerdasan yang baik, umumnya tidak mengalami

    hambatan dalam berbahasa dan berbicara.Jadi, kelancaran berbicara

    menunjukan kematangan mental intelektual.

    4. Sikap lingkungan

    Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak

    adalah lingkungan bermain baik dari tetangga maupun dari sekolah. Oleh

    karena itu lingkungan sangat mempengaruhi bahasa anak, maka lingkungan

    dari mana pun bagi anak hendaklah lingkungan yang dapat menimbulkan

    minat berkomunikasi anak.

    Proses perolehan bahasa anak diawali dengan kemampuan mendengar

    kemudian maniru suara yang didengar dari lingkungan. Proses semacam ini,

  • 38

    anak tidak akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberi

    kesempatan untuk mengungkapkan yang pernah didengarnya.

    Oleh karena itu keluarga harus memberi kesempatan kepada anak

    belajar dari pengalaman yang pernah didengarnya. Kemudian berangsur-

    angsur ketika anak mampu mengekspresikan pengalaman, baik dari

    pengalaman mendengar, melihat, membaca dan diungkapkan kembali dalam

    bahasa lisan.

    5. Sosial Ekonomi

    Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan

    bicara. Hal ini dikarenakan sosial ekonomi seseorang memberikan dampak

    terhadap hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa dan berbicara. Makanan

    dapat mempengaruhi kesehatan. Makanan yang bergizi akan memberikan

    pengaruh positif untuk perkembangan sel otak. Perkembangan sel otak inilah

    yang akhirnya digunakan untuk mencerna semua rangsangan dari luar

    sehingga rangsangan tersebut akan melahirkan respon dalam bentuk

    berbahasa dan berbicara. Gambaran tersebut menujukkan bahwa kondisi

    sosial ekonomi yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan makanan anaknya

    yang memadai.

    Menurut Hurlock (1978: 186) anak dari kelompok sosial ekonomi

    tinggi lebih mudah belajar berbicara, mengungkapkan dirinya lebih baik, dan

    lebih banyak berbicara ketimbang anak dari kelompok yang keadaan

    ekonominya lebih rendah. Penyebab utama adalah anak dari kelompok lebih

    tinggi lebih banyak didorong unutk berbicara dan lebih banyak di bombing

    melakukannya.

    6. Kedwibahasaan

    Kedwibahasaan atau bilingualisme adalah kondisi dimana seseorang

    berada di lingkungan orang lain yang menggunakan dua bahasa atau lebih.

    Kondisi demikian dapatlah mempengaruhi atau memberikan akibat bagi

    perkembangan bahasa dan berbicara anak. Meskipun ada anggapan bahwa

    anak usia dini dapat belajar bahasa yang berbeda sekaligus, namun jika dalam

  • 39

    penggunaannya bersamaan dan bahasa yang digunakan berbeda, maka hal ini

    dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak.

    7. Neurologi

    Neuro adalah syaraf, sedangakan neurologis dalam berbicara adalah

    bentuk layanan yang dapat diberikan kepada anak untuk membantu mereka

    yang mengalami gangguan bicara. Oleh karena itu gangguan berbicara

    penyebabnya dapat dilihat dari keadaan neurologisnya.

    Beberapa faktor neurologis yang mempengaruhi perkembangan bahasa

    dan bicara anak menurut Tarmansyyah (1996) adalah meliputi:

    1. Bagaimana struktur susunan sarafnya

    2. Bagaimana fungsi susunan syarafnya

    3. Bagaimana peranan susunan syarafnya

    4. Bagaimana syaraf yang berhubungan dengan organ bicaranya

    Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kondisi yang didapat

    menimbulkan perbedaan dalam berbicara dipengaruhi oleh faktor internal

    (kemampuan jasmani dan motorik, kecerdasan, dan neurologi) serta faktor

    eksternal (kesehatan umum, sikap lingkungan, sosial ekonomi, dan

    kedwibahasaan ). Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi proses belajar

    siswa dalam berbicara. Faktor internal berkaitan dengan kondisi dalam

    dirinya. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungannya.

    Kondisi lingkungan adalah keadaan yang ada di sekitar siswa.

    Oleh karena itu dalam penelitian ini membantu perkembangan berbicara

    siswa pada faktor eksternal yaitu dengan memberikan dorongan kepada siswa

    untuk berbicara tanpa ada rasa gugup, takut, malu maupun gemetar ketika

    berbicara di depan kelas bersama teman-teman kelompoknya, serta dapat

    menjalin hubungan dalam berbicara antar kelompok melalui sebuah model dan

    metode pembelajaran SAVI dan Role Playing.

    2.1.5 Hakikat Hasil Belajar Keterampilan Berbicara

    Hasil belajar mengajar merupakan aktivitas utama di sekolah.

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada beberapa waktu

  • 40

    yang terlewati, penulis menemukan ada beberapa aktivitas utama yang

    terdapat di sekolah yang berkaitan dengan hasil belajar siswa di SD Negeri

    Sumogawe 1 Kecamatan Getasan yang meliputi 3 unsur, yaitu: tujuan

    pengajaran, proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa.

    Menurut Nana Sudjana (2006 : 22) “ Dalam sistem pendidikan nasional

    rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan

    instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom

    yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah, yaitu ranah kognitif,

    afektif dan psikomotorik”. Ketiga ranah ini digunakan dalam penilaian hasil

    belajar pada kurikulum berbasis kompetensi. Ranah kognitif berkenaan

    dengan hasil belajar intelektual, ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan

    ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan

    kemampuan bertindak.

    Penilaian yang dilakukan dalam kurikulum 2004 adalah penilaian yang

    berbasis kompetensi yang berbijak pada konsep belajar tuntas. Pencapaian

    hasil belajar mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek

    kognitif dilakukan melalui ulangan harian dan ujian. Aspek afektif dilakukan

    melalui pengamatan pada lembar pengamatan, sedang aspek psikomotorik

    dilakukan melalui ujian praktikum atau unjuk kerja pada pembelajaran

    berlangsung (Depdikbud: 2004 : 9-10).

    2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

    Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode atau sumber

    belajar yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan

    terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi peserta didik.

    Pada umumnya guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan

    pendekatan yang konvesional dan miskin inovasi sehingga kegiatan

    pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung secara monoton dan

    membosankan para pendengarnya khususnya peserta didik, yang seringkali

    terjadi dilingkungan saat ini baik di sekolah maupun lingkungan rumah adalah

    peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar

  • 41

    tentang bahasa, artinya adalah apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan

    bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur kata, melainkan

    diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara.

    Akibatnya, keterampilan berbicara siswa masih tergolong rendah dan

    bahkan hal tersebut bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi

    siswa yang cerdas, kritis, kreatif dan berbudaya.

    Menurut Nurhadi 2000, mengemukakan pendapatnya bahwa guru

    bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa,

    dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata.

    Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran

    keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses

    pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif dan menyenangkan. Selain itu,

    siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan

    kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan

    situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif,

    menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan

    terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton dan

    membosankan.

    Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan proses

    dan hasil keterampilan berbicara siswa yang dapat memicu terjadinya

    peningkatan kemampuan berbicara siswa yang masih tergolong rendah

    khususnya bagi siswa kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996: 144)

    dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata, bercakap, berbahasa atau bahkan

    melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan dan lain sebagainya) atau

    berunding.

    Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan

    sebagai suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun

    serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak.

  • 42

    2.2 Hakikat Model Belajar

    Model merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai

    pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model dapat dipahami juga

    sebagai gambaran tentang keadaan sesungguhnya. Berangkat dari pemahaman

    tersebut, maka model pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka

    konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dan terencana dalam

    mengorganisasikan proses pembelajaran peserta didik sehingga tujuan

    pembelajaran dapat dicapai secara efektif.

    Model pembelajaran juga dapat dipahami sebagai blueprint

    (perencanaan) guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses

    pembelajaran. Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi

    perancang kurikulum maupun guru dalam merencanakan dan melaksanakan

    proses pembelajaran di kelas.

    2.2.1 Pertimbangan dalam Memilih Model

    Terdapat sejumlah pertimbangan yang mesti dipikirkan guru terkait

    dengan pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan dalam

    pembelajaran yang akan dilaksanakan. Beberapa aspek yang perlu

    dipertimbangkan tersebut disesuaikan dengan pertanyaan apa yang akan

    dititikberatkan dalam pembelajaran (apakah outcome, content atau process)

    1. Hasil (Outcome)

    Apabila guru memutuskan untuk mengarahkan pada hasil pembelajaran,

    maka guru tersebut perlu merumuskan beberapa petanyaan sebagai berikut:

    a. Apa yang di harapkan dari peserta didik sebagai hasil akhir dari

    pembelajaran

    b. Jenis pengetahuan dan motivasi seperti apa yang diharapkan guru dari

    peserta didik sebagai hasil dari pembelajaran

    c. Jenis keterampilan seperti apa yang diharapkan guru dapat dipraktikkan

    oleh peserta didik

    d. Sikap dan nilai-nilai apa saja yang perlu dan seharusnya dimiliki oleh

    peserta didik

  • 43

    e. Mengapa guru mengharuskan peserta didik untuk mempelajari materi

    pembelajaran tersebut

    f. Pengetahuan, sikap dan keterampilan apa saja yang diperlukan oleh peserta

    didik sehingga guru akan lebih mudah untuk memberikannya

    g. Bagaimana caranya agar guru mengetahui bahwa peserta didik dapat

    mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang sesuai dengan

    harapan guru tersebut.

    2. Isi / Materi (Content)

    Apabila guru memutuskan untuk menitikberatkan proses pembelajaran

    pada content pembelajaran, maka guru perlu merumuskan beberapa

    pertanyaan sebagai berikut:

    a. Apa saja materi inti yang perlu dipahami peserta didik untuk mendukung

    hasil belajar yang diharapkan

    b. Apa yang menjadi sumber-sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk

    mendukung materi pembelajaran

    c. Kemampuan berpikir peserta didik seperti apa yang perlu dinilai dan

    bagaimana caranya guru mlakukan penilaian tersebut. Mengapa hal

    tersebut penting untuk dilakukan

    d. Kekeliruan pemahaman dan konsepsi seperti apa yang umumnya terjadi

    dalam penyampaian materi yang dilakukan

    e. Bagaimana cara dapat meminimalisasikan atau mengurangi kekeliruan

    pemahaman dan konsepsi kepada peserta didik.

    3. Proses (Process)

    Apabila guru memutuskan untuk menitikberatkan pada proses

    pembelajaran, maka guru perlu merumuskan beberapa pertanyaan sebagai

    berikut:

    a. Strategi apa yang diperlukan agar peserta didik dapat lebih mudah

    memahami pembelajaran yang dilakukan

    b. Bagaimana peserta didik dapat mengembangkan keterampilan-

    keterampilannya

  • 44

    c. Bagaimana peserta didik dapat mengembangkan sikap dan nilai yang

    diperlukan

    d. Bagaimana struktur pengorganisasian kelas yang harus kembangkan untuk

    mendukung terjadinya proses pembelajaran yang efektif

    e. Apa saja jenis atau bentuk strategi pembelajaran yang menjadi penekanan

    jika dikaitkan dengan jenis sikap, keterampilan dan pengetahuan yang

    dikembangkan melalui proses pembelajaran yang dilakukan

    f. Bagaimana merancang dan mengorganisasikan materi pembelajaran agar

    peserta didik mudah mempelajarinya

    g. Apakah peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang

    diperlukan untuk mendukung strategi pembelajaran yang benar

    h. Seberapa banyak waktu, ruang serta sumber belajar yang guru gunakan

    dalam mendukung strategi pembelajaran

    i. Apakah strategi pemotivasian dapat dikembangkan untuk mempercepat

    tumbuhnya rasa percaya diri peserta didik

    j. Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa pembelajaran yang

    dilaksanakan berlangsung optimal dan sesuai dengan apa yang

    direncanakan.

    Gambar 2.1 Pertimbangan dalam Memilih Model Pembelajaran

    Proses

    Hasil

    Isi

    Pertim-

    bangan

  • 45

    2.2.2 Model Pembelajaran SAVI

    2.2.2.1 Penggunaan Model Pembelajaran SAVI

    Meier (2000) merupakan seorang pendidik, trainer sekaligus penggagas

    model accelerated learning. Salah satu model pembelajarannya apa yang

    dikenal dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectually). Berikut

    ini adalah cara-cara yang bisa menjadi starting point guru dalam

    melaksanakan pembelajaran SAVI.

    S = Somatic Learning by Doing

    A = Auditory Learning by Hearing

    V = Visual Learning by Seeing

    I = Intellectually Learning by Thinking

    Seluruh pikiran dan tubuh dalam pembelajaran bahasa sangat

    membantu peserta didik untuk menciptakan suatu aktivitas yang kreatif

    dengan atau melalui bahasa. Kreativitas berbahasa itu akan semakin bermakna

    apabila memungkinkan mereka berinteraksi secara positif dengan siswa

    lainnya sehingga suasana akan tampak lebih komunikatif dan penuh sehingga

    proses pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai.

    Dengan begitu, seorang siswa akan mendapatkan berbagai pelajaran

    dari siswa lain sehingga memperkaya pengetahuan dan keterampilan

    berbahasa mereka. Selain itu, dari munculnya berbagai aktivitas yang mereka

    lakukan akan terjalinnya interaksi dengan siswa lain, maka akan menghasilkan

    dan tercipta suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar

    bahasa (Eri Sarimanah, 2009).

    2.2.2.2 Kelebihan dan Kelemahan Model SAVI

    Kelebihan dari model SAVI adalah: (1) SAVI membuat siswa tidak

    hanya duduk di kursi dan diam, tetapi membuat mereka beraktivitas dengan

    menggunakan seluruh alat indera dan pikiran, (2) pembelajaran tidak hanya

    terpusat oleh gur, (3) pembelajaran menjadi lebih menyenangkan karena

    banyak aktivitas yang dilakukan sehingga akan terhindar dari rasa bosan, (4)

    lebih leluasa dalam menggunakan berbagai macam media dan metode.

  • 46

    Segala sesuatu yang diciptakan di dunia ini pasti memiliki kelebihan

    dan kelemahan. Begitu juga dengan model pembelajaran SAVI, kelemahan

    dari model SAVI adalah: (1) pembelajaran yang melibatkan semua indera dan

    pemikiran membutuhkan kemampuan yang lebih sehingga kemungkinan

    penerapan kedua pokok tersebut akan mengalami kesulitan, (2) sarana

    prasarana yang digunakan akan lebih banyak, (3) pembelajaran membutuhkan

    persiapan yang lebih matang disegala aspek, dan (4) membutuhkan pengaturan

    kelas yang lebih baik oleh guru agar siswa terlibat aktif dalam mengikuti

    pembelajaran.

    2.2.3 Hakikat Metode Belajar

    Metode belajar merupakan salah satu sarana dan cara yang sering

    digunakan oleh seorang pengajar maupun pembimbing untuk meningkatkan

    dan memfasilitasi para peserta didik dalam bentuk kegiatannya untuk

    mencapai suatu tujuan pembelajaran agar terjadi sesuai harapan.

    Winarno Surcahmad mengatakan bahwa pemilihan dan penentuan

    metode dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu latar belakang anak didik,

    tujuan yang ingin dicapai, situasi yang ada, fasilitas yang tersedia dan kualitas

    guru.

    Perlu diketahui bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap paling

    baik diantara metode-metode yang lain (Surachmad 2004: 2). Tiap metode

    mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan

    masing-masing. Suatu metode mungkin baik untuk suatu tujuan tertentu,

    pokok bahasan maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak tepat

    untuk situasi yang lain.

    Demikian pula dengan suatu metode yamg dianggap baik untuk suatu

    pokok bahasan yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum

    tentu berhasil dibawakan oleh guru.

    Adakalanya seorang guru juga perlu menggunakan beberapa metode

    dalam menyampaikan suatu pokok bahasan tertentu agar penyajian pengajaran

    didalam kelas menjadi lebih hidup.

  • 47

    2.2.4 Fungsi Metode Pembelajaran

    Penggunaan metode mengajar dalam pembelajaran ditinjau dari segi

    prosesnya memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut ( Nana Sudjana, 74):

    a. Sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap

    pembelajaran harus bertujuan, sehingga dalam proses

    pembelajarannya akan memerlukan suatu cara dan teknik yang

    memungkinkan dapat tercapainya tujuan tersebut.

    b. Sebagai gambaran aktivitas yang harus di tempuh oleh siswa dan

    guru dalam kegiatan pembelajaran

    c. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan alat penilaian

    pembelajaran. Karakteristik metode pembelajaran dapat dijadikan

    pertimbangan untuk penilaian.

    d. Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan dalam

    kegiatan pembelajaran, apakah dalam kegiatan pembelajaran

    tersebut perlu diberikan bimbingan secara individu atau kelompok

    2.2.5 Penggunaan Metode Role Playing

    Dalam role-play, peserta melakukan tawar-menawar antara ekspetasi-

    ekspetasi sosial suatu peran tertentu, interpretasi dinamik mereka tentang

    peran tersebut, dan tingkat dimana orang lain menerima pandangan mereka

    tentang peran tersebut. Sebagaimana seorang siswa yag memiliki pengalaman

    peran dalam kehidupannya, biasanya dapat melakukan role-play.

    Menurut pendapat Van Ments, 1994 dalam bukunya mengemukakan

    bahwa penggunaan role playing dapat membuktikan diri sebagai suatu media

    pendidikan yang ampuh, dimana saja terdapat peran-peran yang dapat

    didefinisikan dengan jelas, yang memiliki interaksi yang mungkin dieksplorasi

    dalam keadaan yang bersifat simulasi (skenario). Hasil dari interaksi pembuat

    peran dengan skenario, individu-individu, atau teman lain dalam kelas atau

    kedua-duanya belajar sesuatu tentang seseorang, problem atau situasi yang

    spesifik dari bidang studi tersebut.

  • 48

    Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menyajikan metode

    role-play guru sebelumnya harus menguasai langkah pembelajaran. Karena

    apabila pelaksanaan bermain peran mengalami kegagalan bukan saja dapat

    memberi kesan yang kurang baik bagi peserta didik maupun penonton namun

    sekaligus dapat mengakibatkan pada tujuan pembelajaran tidak tercapai sesuai

    harapan.

    2.2.5.1 Pengertian Metode Role Playing (Bermain Peran)

    Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang

    di dalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment (Fogg, 2001). Dalam role

    playing, siswa dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat

    itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali

    dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas di mana pembelajar

    membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran

    orang lain.

    Pada role playing, titik tekannya terletak pada keterlibatan emosional

    dan pengamatan indra ke dalam suatu situasi permasalahan yang secara nyata

    dihadapi oleh siswa. Siswa diperlakukan sebagai subjek pembelajaran yang

    secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab)

    bersama teman-temannya pada situasi tertentu.

    Dalam dimensi sosial, metode ini memudahkan individu untuk bekerja

    sama dalam menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah kemanusiaan.

    Metode ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap

    sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah. Esensi role playing adalah

    keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi permasalahan dan adanya

    keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang

    dihasilkan dari keterlibatan langsung.

    Role playing berfungsi untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2)

    mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan

    persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah

    laku, dan (4) mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda.

  • 49

    Adapun sintak dalam pembelajaran keterampilan berbicara

    menggunakan moetode role playing adalah sebagai berikut:

    Berdasarkan buku Wikipedia (2012) menyebutkan bahwa role-playing

    adalah sebuah permainan yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh

    khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama.

    Jill Hadfield (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa role playing

    adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan

    sekaligus melibatkan unsur senang.

    Hadari Nawawi (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa bermain

    peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-

    orang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam

    suatu organisasi atau kelompok di masyarakat.

    Sehubungan dengan itu, Santoso (2011) mengatakan bahwa metode

    role playing adalah adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran

    melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.

    Dengan kata lain bahwa metode pembelajaran role playing adalah suatu

    metode pembelajaran dengan melakukan permainan peran yang di dalamnya

    terdapat aturan, tujuan, dan unsur senang dalam melakukan proses belajar-

    mengajar.

    Menurut Amri (2010: 194) role playing merupakan salah satu model

    pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang

    berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship),

    terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.

    Menurut Dananjaya mengenai role playing, (2011: 122) adalah

    gambaran tentang suatu kondisi/paradigm tertentu pada satu hal di dalam

    masyarakat. Lewat ‘skenario’, pelaku yang berlaku tanpa memberikan

    informasi verbal apapun akan terlihat respon siswa/teman lain sesama aktor.

    Taniredja (2011: 39), berpendapat bahwa role playing merupakan

    metode mengajar yang mendramatisasikan suatu situasi sosial yang

    mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu

    masalah yang muncul dari suatu situasi sosial.

  • 50

    Role playing juga diorganisasi berdasarkan kelompok-kelompok siswa

    yang heterogen. Masing-masing kelompok memerankan/menampilkan

    skenario yang telah disiapkan guru.

    Selain itu, role playing juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas

    pembelajaran yang terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan

    pendidikan yang spesifik.

    2.2.5.2 Tujuan Metode Role Playing

    Menurut pendapat Sumiati (2009: 100), pada bukunya mengenai tujuan

    metode role playing adalah menggambarkan suatu peristiwa masa lampau.

    Atau dapat pula cerita dimulai dengan berbagai kemungkinan yang terjadi

    baik kini maupun mendatang. Kemudian ditunjuk beberapa orang siswa untuk

    melakukan peran sesuai dengan tujuan cerita.

    Sedangkan menurut Amri (2010: 194) tentang tujuan metode role

    playing adalah peserta didik mencoba mengeksporasi hubungan-hubungan

    antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga

    secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-

    perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai dan berbagai pemecahan masalah.

    Dari penjelasan diatas mengenai tujuan role playing (bermain peran)

    pada pembelajaran keterampilan berbicara adalah bertujuan untuk

    memerankan materi ajar yang diharapkan nantinya siswa dapat menerima dan

    menyerap materi yang diajarkan oleh guru.

    Adapun alasan pemilihan metode role playing adalah dengan

    pertimbangan bahwa metode ini dirasa lebih tepat yaitu lebih efektif dan lebih

    efisien untuk diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara.

    Karena menurut penulis, role playing merupakan salah satu metode

    yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membantu pemahaman mereka pada

    mata pelajaran Bahasa Indonesia sesuai harapan para guru.

    Melalui penerapan metode ini diharapkan siswa mampu memfokuskan

    pikiran, kemampuan, dan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam perannya

    sehingga siswa akan lebih mudah mengorganisasikan ide-ide dan gagasannya

  • 51

    dalam bahasa lisan. Selain itu dengan penerapan metode ini role playingyang

    efektif dan efisien tersebut diharapkan agar siswa mampu memerankan dari

    karakter tokoh yang diperankan.

    Metode role playing dikatakan efektif karena penerapan metode

    bermain peran/sosiodrama akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan

    karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Selain itu,

    siswa dapat menghilangkan perasaan takut dan malu karena mereka dapat

    tampil bekerja sama dengan anggota kelompoknya.

    Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di

    SD lebih banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil

    bermain. Permainan adalah hal paling menarik untuk anak-anak usia Sekolah

    Dasar.

    Berdasarkan uraian di atas sejalan dengan pendapat Roestiyah

    (2008:22). Metode role playing (bermain peran) memiliki kelebihan sebagai

    berikut: menyenangkan bagi siswa, menarik minat siswa dalam belajar,

    motivasi siswa dalam belajar akan meningkat, rasa percaya diri siswa

    meningkat, dan siswa memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan

    sebagainya.

    Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode role playing

    (bermain peran) merupakan salah satu metode pembelajaran yakni peserta

    didik melakukan kegiatan memainkan peran tokoh lain dengan penuh

    penghayatan dan kreativitas berdasarkan peran suatu kasus yang sedang

    dibahas sebagai materi pembelajaran pada saat itu.

    2.2.5.3 Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing

    Dalam pelaksanaan role playing (bermain peran) memiliki kelebihan

    dan kelemahan yang harus diketahui oleh guru sebelum menerapkan metode

    ini.

    Adapun kelebihan dalam metode role playing ini menurut Roestiyah

    (2008: 93) adalah sebagai berikut:

  • 52

    1. Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai

    kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama

    2. Siswa lebih tertarik perhatiannya pada saat pembelajaran

    3. Melatih siswa untuk aktif selama pembelajaran sedang berlangsung

    4. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar

    mudah dipahami

    5. Memunculkan rasa tanggung jawab terhadap peran yang dilakoni

    6. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar

    mudah dipahami orang lain.

    7. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa pada waktu

    melakukan permaianan.

    Sedangkan menurut Hamalik (2012: 2014) kelebihan model role

    playing, yaitu waktu bermain peran siswa dapat bertindak dan

    mengekspresikan perasaan dan pendapat tanpa mengkhawatirkan

    mendapatkan sangsi. Bermain peran memungkinkan para siswa

    mengidentifikasikan situasi-situasi dalam dunia nyata dan dengan ide-ide

    orang lain.

    Dilihat dari kelebihan-kelebihan bermain peran yang dikemukan di atas,

    dapat disimpulkan bahwa berhasilnya pemeran tersebut bergantung pada

    kegiatan yang dilakukan siswa terutama pada analisis sebagai tindak

    lanjutnya.

    Adapun kelemahan metode role playing menurut Afroh (2012) adalah

    sebagai berikut:

    1. Bermain peran (role playing) memakan waktu yang banyak

    2. Peserta didik sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara

    baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan

    baik

    3. Bermain peran (role playing) tidak akan berjalan dengan baik jika suasana

    kelas tidak mendukung

  • 53

    4. Peserta didik yang tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak

    akan melakukan secara sungguh-sungguh, dan

    5. Tidak semua materi pelajaran dapat menerapkan metode ini.

    Berdasarkan pernyataan di atas mengenai kelemahan dari penggunaan

    metode role playing, maka salah satu solusi yang tepat digunakan ketika

    menerapkan metode role playing dalam pembelajaran adalah guru sebelumnya

    mempersiapkan setting waktu, waktu yang dipilih guru hendaknya tidak

    memakan waktu mata pelajaran lain.

    Jika pun memakan waktu mata pelajaran lain, guru yang hendak

    menerapkan metode role playing ini sebelumnya harus meminta

    ijin/persetujuan kepada guru bersangkutan sehingga hal tersebut tidak

    mengganggu terlaksananya mata pelajaran berikutnya.

    Setting tempat, tempat yang luas/terlihat tidak sempit akan

    memudahkan peserta didik dalam mengekspresikan gaya sehingga

    memudahkan peserta didik dalam memerankan peran sesuai karakter masing-

    masing.

    Mengingat bahwa penguasaan gaya/ekspresi yang ditunjukkin peserta

    didik sangat menentukan dalam kriteria penilaian. Selain itu, guru juga terlebih

    dahulu menyampaikan masalah yang hendak diperankan oleh siswa sebelum

    melakukan perannya. Sehingga dalam pelaksanaan dalam penggunaan metode

    role playing siswa maupun guru tidak mengalami kendala.

    2.2.6 Alasan Penggunaan Model SAVI

    Meier (2000) merupakan seorang pendidik, trainer sekaligus penggagas

    model accelerated learning. Salah satu model pembelajarannya adalah apa

    yang dikenal dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectualy).

    Menurut Meier, guru hendaknya menerapkan cara belajar somatic, auditori,

    visual, dan intelektual dalam pembelajarannya. Artinya belajar tidak secara

    otomatis meningkat dengan adanya orang-orang berdiri dan bergerak di sekitar.

  • 54

    Akan tetapi menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual

    dan penggunaan semua indera dapat memiliki efek mendalam pada

    pembelajaran.Cara belajar yang demikian disebut SAVI.

    Komponen yang mudah diingat dalam SAVI antara lain: (1) somatic,

    yang berati belajar dengan cara bergerak dan berbuat; (2) auditori, yaitu belajar

    dengan cara berbicara dan mendengarkan; (3) visual, yaitu belajar dengan cara

    mengamati dan menggambarkan; (4) intelektual, yang berarti belajar dengan

    memecahkan masalah dan mencerminkan. Keempat model pembelajaran harus

    dihadirkan untuk terjadinya proses pembelajaran yang optimal. Karena semua

    elemen ini terintegrasi, jenis terbaik dari pembelajaran akanterjadi jika

    keempatnya digunakan secara bersamaan.

    Berpijak dari kondisi nyata yang dialami, maka dalam melakukan

    sebuah pembelajaran dengan tujuan meningkatkan keterampilan berbicara

    siswa, guru hendaknya mampu menyajikan keempat elemen tersebut dalam

    pembelajaran sehingga diharapkan hasil belajar siswa juga dapat meningkat.

    Dalam penggunaan model SAVI ini, tentu merupakan solusi yang tepat

    untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa. Karena model

    SAVImemberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui aktivitas

    fisik, mendengar dan berbicara, mengamati, serta memecahkan masalah.

    Dalam penerapannya pun, model pembelajaran SAVI sangat efektif ketika di

    padukan dengan satu metode yaitu metode bermain peran (role playing).

    Menurut Meier (2005) empat unsur SAVI dalam satu peristiwa

    pembelajaran semuanya diterapkan dengan baik maka pembelajaran dapat

    dapat berjalan dengan optimal. Misalnya, orang dapat belajar sedikit dengan

    menyaksikan presentasi (V) tetapi mereka dapat melakukan sesuatu ketika

    presentasi berlangsung (S), membicarakan apa yang sedang mereka pelajari

    (A), dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut

    pada pekerjaan mereka (I), atau mereka dapat memecahkan masalah (I) jika

    mereka secara simultan menggerakkan sesuatu (S) untuk menghasilkan

    pictogram atau pajangan tiga dimensi (V) sambil membicarakan apa yang

    sedang mereka kerjakan (A).

  • 55

    Bertolak dari pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model

    SAVI memungkinkan siswa untuk terampil dalam berbicara sehingga dalam

    keterampilan berbicara seluruh siswa diharapkan dapat aktif dan dapat

    memanfaatkan seluruh indera pada diri mereka.

    2.2.7 Alasan Penggunaan Metode Role Playing

    Penggunaan metode role playing yang akan diterapkan oleh seorang

    guru dalam pembelajaran tentu didasarkan adanya alasan atau pertimbangan.

    Alasan tersebut dimungkinkan bahwa metode role playing sangat tepat untuk

    mencapai suatu tujuan pembelajaran tertentu.

    Dalam penggunaan metode role playing dapat digunakan untuk

    meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik karena dalam bermain

    peran itu sendiri, peserta didik diharuskan untuk terampil berbicara kepada

    lawan bicaranya atau pemeran lainnya.

    Menurut B. Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009:341) ada

    dua alasan seorang guru memutuskan untuk menggunakan metode role playing

    dengan sekelompok siswa. Salah satunya adalah untuk memulai program

    pendidikan sosial yang sistematis, role playing banyak menyediakan materi

    untuk didiskusikan dan dianalisis. Untuk itu, sebuah masalah dalam situasi

    tertentu mugkin akan dipilih. Alasan yang kedua adalah untuk memberi saran

    pada sekelompok siswa dalam menghadapi sebuah masalah keseharian. Role

    playing bisa memunculkan permasalahan untuk diteliti siswa dan membantu

    siswa memecahkan masalah.

    Penanaman dan pengembangan aspek nilai, moral, dan sikap siswa akan

    lebih mudah dicapai apabila siswa secara langsung mengalami (memerankan)

    peran tertentu, dari pada hanya mendengarkan penjelasan ataupun melihat dan

    mengamati saja. (http://www.scribd.com/doc/13065635/Metodemetode-

    pembelajaran). Penjelasan tersebut cukup memberikan alasan kuat bahwa

    penggunaan metode role playing dapat mengembangkan aspek sikap atau

    kepribadian siswa menjadi lebih baik. Pengalaman dengan melakukan

    http://www.scribd.com/doc/13065635/Metodemetode-pembelajaranhttp://www.scribd.com/doc/13065635/Metodemetode-pembelajaran

  • 56

    langsung (bermain peran) tentu akan lebih membekas pada diri peserta didik

    daripada hanya melihat atau mendengarkan saja.

    Brown (2005) menyatakan bahwa pembelajaran sosiodrama (bermain

    peran) merupakan model belajar yang menciptakan pemahaman yang

    mendalam mengenai sistem sosial yang membentuk kita secara individu dan

    kolektif.

    Sosiodrama (bermain peran) adalah model pembelajaran bermain peran

    untuk memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial,

    hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba,

    gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan

    untuk memberikan pemahaman dan penghayatan masalah sosial serta

    mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalahnya

    (Depdiknas, 2008).

    Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    alasan penggunaan metode role playing yaitu metode ini dapat memupuk jiwa

    sosial anak dan membantu siswa dalam memecahkan masalaha kehidupannya

    serta mengembangkan aspek nilai, moral dan sikap siswa.

    2.2.8 Langkah-langkah Model Pembelajaran SAVI

    Suatu model pembelajaran dikatakan berhasil dengan baik apabila

    dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran tersebut.

    Dalam melaksanakan pembelajaran dengan model Somatic, Auditory, Visual,

    Intellectualy (SAVI). Ada empat tahapan dalam rencana pembelajaran SAVI

    (Meier, 2013). Kerangka perencanaan pembelajaran SAVI dapat direncanakan

    dan dikelompok dalam empat tahap, antara lain:

  • 57

    Tabel 2.4 Sintak Pembelajaran Keterampilan Berbicara

    Menggunakan Model SAVI

    Gaya Belajar

    SAVI

    Aktivitas

    Somatis Siswa bergerak ketika mereka:

    1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur 2. Menciptakan, gaya pictogram atau pariferalnya 3. Memperagakan suatu proses, system, atau seperangkat

    konsep

    4. Mendapatkan pengalaman, kemudian menceritakan dan merefleksikannya

    5. Menjalankan pelatihan belajar aktif, (simulasi, permainan belajar dan lain-lain)

    Auditor Berikut ini gagasan-gagasan awal untuk meningkatkan sarana

    auditori dalam belajar:

    1. Siswa diajak membaca keras-keras dari buku panduan mengenai materi yang akan disajikan

    2. Menceritakan kisah-kisah yang mengandung materi pembelajaran yang terkandung di dalam buku

    pembelajaran yang dibaca mereka (contoh: kehidupan

    nyata)

    3. Mintalah siswa berpasang-pasangan membincangkan secara terperinci apa yang baru saja mereka pelajari

    dan bagaimana mereka akan menerapkannya

    Visual Hal-hal yang dapat dilakukan agar pembelajaran lebih visual

    adalah:

    1. B