bab ii kajian pustaka 2.1 kinerja - unud
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kinerja
Hotel merupakan salah satu industri jasa bidang kepariwisataan,
keberadaan hotel semakin banyak sehingga menimbulkan persaingan yang cukup
kompetitif. Setiap hotel dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang
optimal sehingga kepuasan pelanggan dapat tercapai. Pelayanan yang kurang
memuaskan dapat menyebabkan pelanggan beralih ke hotel lain yang memiliki
pelayanan yang lebih baik.
Tingginya tingkat persaingan dalam industri perhotelan menyebabkan
pelanggan memiliki banyak alternatif untuk menentukan pilihannya. Kualitas
pelayanan yang memuaskan adalah jawaban untuk dapat mempertahankan
loyalitas pelanggan terhadap hotel.
Upaya memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan dapat
menjadi sumber kelelahan dan stres bagi karyawan hotel. Liladrie (2010)
melaporkan bahwa 48% karyawan hotel lebih berisiko mengalami kelelahan dan
cidera dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di sektor jasa lainnya. Selain
itu, upaya dalam memenuhi standar pelayanan yang baik dalam memberikan
pelayanan dapat menjadi sumber stres bagi karyawan. Kim (2008) melaporkan
bahwa stres karyawan pada industri perhotelan cenderung mengakibatkan
motivasi kerja karyawan menurun karena karyawan menjadi mudah lelah dan
14
bersikap sinis terhadap perusahaan sehingga berdampak pada kualitas pelayanan
yang buruk terhadap pelanggan.
Salah satu departemen di hotel yang berisiko tinggi mengalami kelelahan,
cidera otot (musculoskeletal disorder), dan stres kerja adalah pramugraha hotel
yang bertugas membersihkan dan menyiapkan kamar tamu. Liladrie (2010)
menyebutkan 91% dari pramugraha dilaporkan mengalami kelelahan saat bekerja.
Sedangkan DaRos (2011) menyebutkan bahwa stres merupakan penyebab utama
cidera fisik dan tekanan mental pada pramugraha hotel.
Kelelahan dan stres kerja yang terjadi secara terus menerus akan
berdampak pada penurunan motivasi dan kinerja karyawan. Menurunnya kinerja
sama artinya dengan menurunnya produktivitas kerja. Apabila tingkat
produktivitas seorang tenaga kerja terganggu yang disebabkan oleh faktor
kelelahan fisik maupun psikis maka akibat yang ditimbulkannya akan dirasakan
oleh perusahaan berupa penurunan produktivitas perusahaan (Silastuti, 2006).
Agar kinerja seseorang maksimal, maka harus diusahakan adanya
keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan keterbatasan dan kemampuan
seseorang sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien
dan produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja dan kesejahteraan
baik bagi pekerja maupun perusahaan (Suardana, 2012; Manuaba, 2000;
Grandjean, 2000).
Dalam penelitian yang dilakukan, penilaian terhadap peningkatan kinerja
pramugraha diukur melalui penurunan beban kerja, kelelahan, keluhan
15
muskuloskeletal, stres kerja serta peningkatan kepuasan, motivasi dan
produktivitas kerja karyawan.
2.1.1 Beban kerja
Beban kerja dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Menurut Manuaba (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja
antara lain :
1. Faktor eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti;
a. Tugas-tugas yang bersifat fisik, seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat
kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, dan tugas-tugas
yang bersifat psikologis, seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan,
tanggung jawab pekerjaan.
b. Organisasi kerja, seperti lamanya waktu bekerja, waktu istirahat, shift
kerja, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi,
pelimpahan tugas dan wewenang.
c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,
lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis.
2. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri
akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Faktor internal meliputi faktor
somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, dan kondisi
kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan
kepuasan)
16
Untuk menilai beban kerja pramugraha dalam penelitian ini dilakukan
dengan melalui dua kriteria, antara lain: (a) kriteria objektif, yang dapat diukur
dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi reaksi fisiologis, reaksi psikologis
atau perubahan tindak-tanduk, dan (b) kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang
yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang
dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain
yang dirasakan.
Menurut Rodahl (1989) beban kerja fisik yang terpapar pada tenaga kerja
dapat diukur secara objektif dengan cara:
1. Pengukuran secara langsung dilakukan dengan mengukur kebutuhan energi
yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau mengukur
konsumsi oksigen oleh tubuh, suhu inti tubuh dan sebagainya. Pengukuran
dengan cara langsung merupakan cara yang lebih akurat, tetapi hanya bisa
untuk mengukur pada periode tertentu saja (biasanya hanya beberapa menit),
sehingga tidak bisa dipakai untuk menggambarkan operasi kerja secara umum
atau sepanjang hari.
2. Pengukuran secara tidak langsung dapat dilakukan dengan merekam denyut
nadi selama kerja. Pengukuran dengan cara tersebut, ternyata lebih banyak
digunakan dalam penelitian karena: (a) perekaman denyut nadi dapat
dilaksanakan terus menerus selama bekerja; (b) memungkinkan mendapat
respon denyut nadi karena pengaruh pekerjaan secara individu; dan (c)
pencatatan waktu dapat lebih mudah sesuai dengan aktivitas kerja pada setiap
pekerja.
17
Denyut nadi dapat dipakai sebagai tolok ukur kondisi beban kerja, karena
denyut nadi merupakan frekuensi irama denyut atau detak jantung. Frekuensi
denyut nadi pada umumnya sama dengan frekuensi denyut jantung. Menurut
Rodahl (1989) bahwa perubahan rerata denyut nadi berhubungan linier dengan
pengambilan oksigen. Oleh sebab itu, penilaian beban kerja secara objektif dapat
dilakukan dengan cara mengukur denyut nadi pada saat pekerjaan berlangsung.
Karena cara tersebut dapat memberikan indikasi tentang aktivitas dalam sel, jika
aktivitas tubuh mengalami peningkatan beban dari biasanya, maka denyut nadi
juga meningkat (Grandjean, 2000). Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa
kategori beban kerja seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja
No Rentang Denyut Nadi Kategori Beban Kerja
1 60—75 Sangat Ringan (istirahat)
2 75—100 Ringan
3 100—125 Sedang
4 125—150 Berat
5 150—175 Sangat Berat
6 175 < Ekstrim
(Sumber: Grandjean, 2000)
Cara untuk mengetahui denyut nadi dapat dilakukan dengan dipalpasi atau
diraba pada permukaan kulit ditempat-tempat tertentu, misalnya: (a) pada
pergelangan tangan di bagian depan sebelah atas pangkal ibu jari (arteriradialis);
(b) pada leher sebelah kiri atau kanan di depan otot sterno cleido mastoideus
(arteri carotlis); (c) pada dada sebelah kiri, tepat di apex jantung; (d) pada pelipis
(arteritempieralis). Cara menghitung denyut nadi secara manual dengan teknik
palpasi dapat dilakukan dengan cara: (a) denyut nadi dihitung selama 6 detik;
hasilnya dikalikan 10; (b) denyut nadi dihitung selama 10 detik; hasilnya
18
dikalikan 6; (c) denyut nadi dihitung selama 15 detik; hasilnya dikalikan 4; dan(d)
denyut nadi dihitung selama 30 detik; hasilnya dikalikan 2. Cara lain pengukuran
denyut nadi dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut pulse
monitor atau pulse-meter, yaitu alat elektronik yang dapat digunakan untuk
mengukur frekuensi nadi setiap menit (Depdiknas, 2004). Denyut nadi yang perlu
diketahui terkait dengan beban kerja adalah sebagaiberikut:
1. Denyut nadi istirahat atau denyut nadi pada waktu tidak bekerja. Disebut
sebagai denyut nadi istirahat, karena pengukuran dilakukan pada subjek
dalam keadaan istirahat. Pada orang dewasa normal, denyut nadi saat istirahat
berkisar antara 60—80 denyut/menit (Depdiknas, 2004). Cara pengukuran
dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang
lebih konstan. Subjek yang akan diukur diusahakan dalam keadaan tenang.
Pada saat dilakukan palpasi, posisi subjek boleh duduk, berdiri atau dalam
posisi terlentang (Andersen, 1978; Adiputra, 2002). Dalam suatu penelitian
yang memakai denyut nadi sebagai salah satu indikator beban kerja, maka
denyut nadi istirahat dianggap sebagai kondisi yang menggambarkan kondisi
awal subjek (Adiputra, 2002).
2. Nadi kerja (nadi saat kerja fisik) yaitu denyut nadi yang diukur pada saat
subjek sedang melaksanakan pekerjaan. Kecepatan denyut nadi yang terjadi
saat bekerja adalah sebagai akibat dari kecepatan dari metabolisme dalam
tubuh (Grandjean, 2000; Adiputra, 2002). Penghitungan denyut nadi kerja
dilaksanakan selama kerja, jika alat untuk mengukur memungkinkan, tetapi
jika tidak bisa dilakukan penghitungan setiap lima menit sejak mulai sampai
19
akhir kerja, maka penghitungan dapat juga dilakukan setiap 30 menit atau
bahkan setiap satu jam kerja tergantung dari jenis pekerjaan. Penghitungan
dengan metode sepuluh denyut (ten pulses method) (stopwatch ditekan start
saat denyutan satu dan ditekan stop pada denyutan kesebelas) dapat dilakukan
pada akhir bekerja dan metode ini lazim dipakai untuk menggambarkan
denyut nadi kerja. (Astrand and Rodahl, 1986; Adiputra, 2002).
3. Denyut nadi pemulihan atau recovery heart rate yaitu denyut nadi yang
dialami saat pekerja selesai melaksanakan pekerjaannya. Beban kerja yang
diterima pekerja saat bekerja dapat pula diketahui dengan mengukur denyut
nadi pemulihan. Ketika mulai berhenti bekerja, maka saat itu denyut nadi akan
mulai mengalami penurunan denyut nadinya sampai kembali ke kondisi awal
(sebelum bekerja) kondisi denyut nadi tersebut disebut nadi
pemulihan(Grandjean, 2000; Adiputra, 2002). Denyut nadi pemulihan
biasanya di ukur satu menit setelah pekerjaan dihentikan, kemudian
dilanjutkan lagi pada menit kedua, ketiga, keempat dan kelima. Denyut nadi
pemulihan memberikan fakta tentang perubahan metabolisme tubuh dari
keadaan aktif ke kondisi istirahat (Adiputra, 2002)
Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, dan denyut nadi, tingkat
beban kerja dibedakan dalam beberapa kategori sebagaimana disajikan pada tabel
2.2 berikut.
20
Tabel 2.2
Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja
No Kategori Denyut Nadi Kerja (denyut per menit)
1 Sangat Ringan = istirahat 60—70
2 Ringan 75—100
3 Sedang 100—125
4 Berat 125—150
5 Sangat Berat 150—175
6 Ekstrim >175
Sumber : Grandjean (2000)
2.1.2 Kelelahan kerja
Kelelahan kerja adalah respon total individu terhadap stres psikososial
yang dialami dalam satu periode waktu tertentu dan kelelahan kerja itu cenderung
menurunkan prestasi maupun motivasi pekerja. Kelelahan kerja merupakan
kriteria yang lengkap tidak hanya menyangkut kelelahan yang bersifat fisik dan
psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan adanya penurunan kinerja fisik,
adanya perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan produktivitas kerja
(Cameron dalam Setyawati, 2010).
Matthew (2010) juga menjabarkan bahwa kelelahan bekerja dapat
berakibat pada menurunnya produktivitas, meningkatnya kecelakaan kerja,
penyakit jantung, penyakit lambung & pencernaan, stres, hipertensi, keluhan
kurangnya waktu tidur, kecelakaan di rumah, melambatnya waktu pemulihan
setelah sakit, bunuh diri dikarenakan dari bekerja yang berlebih, penyakit
kardiovaskular, kurangnya waktu olahraga. Beberapa cara menanggulangi
kelelahan menurut Matthew (2010) adalah dengan mengontrol waktu kerja yang
terlalu lama, memberikan penghargaan dari bekerja overtime, memberikan jam
kerja bergantian atau shift, rotasi pekerjaan, memberikan waktu istirahat antara
10-15 menit tiap 2 jam, memberikan karyawan waktu yang cukup untuk istirahat
21
serta menyediakan pendingin ruangan, mengurangi suhu udara yang panas ketika
bekerja lama, meningkatkan kerjasama tim.
Tingkat kelelahan berupa keluhan subjektif yang dialami oleh pekerja
setelah melakukan pekerjaan diukur dengan menggunakan kuesioner 30 items of
rating scale (skala empat), seperti pada (lampiran 3). Kuesioner ini telah
mendapat rekomendasi dari Japan Association Industrial Helth (JAIH) berupa
daftar pertanyaan tentang gejala-gejala yang berhubungan dengan kelelahan
(Adiputra, 2002). Aplikasi kuesioner ini adalah dengan menanyakan kepada para
pekerja yang telah selesai melakukan pekerjaannya. Jawaban yang diberikan
bersifat subjektif dan diusahakan sesuai dengan yang dirasakannya. Jenis
pertanyaan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok I (item 1—
10) mengenai pelemahan aktivitas. Kelompok II (item 11—20) mengenai
penurunan motivasi, dan Kelompok III (item 21—30) mengenai kelelahan fisik.
Berdasarkan desain penilaian kelelahan subjektif dengan menggunakan 4
skala Likert ini akan diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 30 dan skor
tertinggi adalah 120. Klasifikasi tingkat kelelahan seperti pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3
Klasifikasi Tingkat Kelelahan Subjektif
Tingkat
kelelahan
Total skor
individu
Klasifikasi
kelelahan
Tindakan perbaikan
1 30—52 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan
perbaikan
2 53—75 Sedang Mungkin diperlukan adanya tindakan
perbaikan
3 76—98 Tinggi Diperlukan adanya tindakan perbaikan
4 99—120 Sangat tinggi Diperlukan tindakan perbaikan sesegera
mungkin
Sumber : Tarwaka, 2010
22
Studi gerak (motion study) merupakan studi tentang aktivitas gerak yang
dilakukan oleh karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan (Setiawan, 2014).
Gerak untuk melakukan aktivitas kerja manual dibedakan: (1) gerak efektif terdiri
dari gerak yang berdasarkan pengaruh fisik dan objektivitas; (2) gerak yang tidak
efektif terdiri dari gerak yang berdasarkan pada pengaruh mental dan menunggu
(Meyers dan Steward, 2002). Pengukuran studi gerak dilakukan dengan
menggunakan kamera dan alat perekam.
2.1.3 Keluhan muskuloskeletal (musculoskeletal disorder/MSDs)
2.1.3.1 Pengertian musculoskeletal disorder (MSDs)
Sistem muskuloskeletal adalah sistem otot rangka atau otot yang melekat
pada tulang yang terdiri atas otot-otot serta lintang yang sifat gerakannya dapat
diatur (volunteer). Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan oleh
kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat
dengan durasi pembebanan yang panjang. Keluhan otot akan terjadi apabila
kontraksi otot melebihi 20% yang mengakibatkan peredaran darah ke otot
berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang
diperlukan. Suplai oksigen ke otak menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat, apabila kondisi
tersebut sering terjadi dapat menimbulkan kelelahan otot (Suma’mur, 2009;
Grandjean, 2000).
23
2.1.3.2 Faktor risiko musculoskeletal disorder (MSDs)
Faktor-faktor risiko yang terdapat pada aktivitas terkait MSDs dapat
diklasifikasikan menjadi: faktor risiko yang terkait dengan karakteristik pekerjaan,
karakteristik objek, lingkungan kerja, dan faktor individu.
a. Karakteristik pekerjaan
Karakteristik pekerjaan yang menjadi faktor risiko, antara lain :
1) Postur kerja
Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan
aktivitas kerja yang biasanya terkait dengan disain area kerja dan task
requirement (Pulat, 1992). Salah satu penyebab gangguan otot rangka
adalah postur janggal atau sikap kerja tidak alamiah (awkward posture).
Postur janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan
terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan.
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang
menyebabkan posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah
misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk,
kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari
pusat gravitasi tubuh, semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot
skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteritik
tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan
kemampuan dan keterbatasan pekerja (Nurmianto, 2008).
Beberapa bagian tubuh yang berisiko mengalami cidera otot adalah
pada bagian punggung, bahu, lengan. Postur punggung yang merupakan
24
faktor risiko adalah membungkukkan badan sehingga membentuk sudut
20° terhadap vertikal dan berputar dengan beban objek ± 9 kg, durasi 10
detik, dan frekwensi ± 2 kali/menit atau total lebih dari 4 jam/hari
(Hermans dan Peteghem, 2006).
Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan
pekerjaan dengan tangan di atas kepala atau siku di atas bahu lebih dari 4
jam/hari atau lengan atas membentuk sudut 45° ke arah samping atau ke
arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi ±
2 kali/menit dan beban ± 4,5 kg (Humantech, 1995).
Postur jongkok adalah posisi lutut flexi maksimal, paha, badan
fleksi maksimal dan lumbal juga fleksi maksimal. Bridger (2003)
menyatakan jongkok lebih baik karena dapat mencegah lordosis,
terhindar dari sakit pinggang, dan membantu pengosongan usus besar.
Postur atau sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi
tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada
dua kaki (Bridger, 2003). Sedangkan pada sikap kerja mendorong
pelurusan siku paling berkekuatan kalau diawali dengan posisi menekuk
penuh dan tekukan siku paling kuat pada sudut 90°. Hal ini dimaksudkan
untuk menghasilkan tenaga maksimal saat mendorong beban berat dan
menghindari cidera bagian lengan dan bahu (Suyatno, 1985).
25
2) Frekuensi
Pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dapat menyebabkan rasa lelah
bahkan nyeri/sakit pada otot, oleh karena adanya akumulasi produk sisa
berupa asam laktat pada jaringan (Humantech, 1995).
3) Durasi
Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Semakin besar
pajanan durasi pada faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya.
b. Karakteristik Individu
Karakteristik individu yang menjadi faktor risiko MSDs adalah masa
kerja. Masa kerja merupakan faktor risiko dari suatu pekerjaan yang sangat
mempengaruhi seorang pekerja untuk meningkatkan risiko terjadinya MSDs,
terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi
(Tarwaka, 2004).
c. Karakteristik objek
1) Berat objek
Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk
diangkat oleh seseorang adalah 23—25 kg. Mengangkat beban yang
terlalu berat akan mengakibatkan tekanan pada discus tulang belakang
(deformitas discus) (Bridger, 2003).
2) Besar dan bentuk objek
Ukuran dan bentuk objek juga ikut mempengaruhi terjadinya
gangguan otot rangka. Lebar objek yang besar dapat membebani otot
pundak atau bahu lebih dari 300—400 mm, panjang lebih dari 350 mm
26
dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Sedangkan bentuk objek yang baik
harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin datau
panas saat diangkat (Kumar, 1999).
d. Karakteristik lingkungan kerja
Suatu lingkungan kerja dikatakan ergonomis apabila secara
antropometris, faal, biomekanik, dan psikologis kompatibel dengan manusia
pemakainya. Di dalam mendesain stasiun kerja maka harus berorientasi pada
kebutuhan pemakainya. Kompromi untuk kesesuaian tersebut perlu
mempertimbangkan antropometri dan aplikasi elemen mesin terhadap posisi
kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak, dan interface antara tubuh pekerja
dengan mesin (Tarwaka, 2004).
2.1.3.3 Jenis-jenis gangguan musculoskeletal disorder (MSDs)
ORBIS, 2004; Liladrie, 2010 menyebutkan beberapa gangguan pada
muskuloskeletal yang terjadi pada pramugraha adalah sebagai berikut.
1. Tendonitis, yaitu peradangan atau iritasi pada otot tendon, Tendonitis terjadi
pada bagian tubuh sekitar pundak, siku, pergelangan dan tumit. Tendonitis
diakibatkan oleh gerakan yang dilakukan berulang-ulang, posisi tubuh tidak
alamiah, dan pengerahan tenaga.
2. Carpal tunnel syndrome, adalah rasa sakit, kesemutan dan masalah lain pada
tangan akibat adanya tekanan pada saraf median pergelangan tangan.
3. White finger, yaitu suatu kondisi dimana pembuluh nadi ke ujung-ujung jari
tangan atau kaki terhambat, sehingga akan terjadi kejang urat. Salah satu
27
penyebab white finger antara lain karena penggunaan mesin-mesin yang
menyebabkan getaran (vibration).
4. Low back pain, yaitu nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta
(tulang rusuk) sampai lumbo sakral (sekitar tulang ekor). Nyeri punggung
bawah merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh
aktivitas tubuh yang kurang baik.
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa keluhan otot yang
paling sering dialami pramugraha adalah keluhan di bagian leher, bahu, siku,
tangan dan anggota badan bagian bawah. Selain itu beban kerja dan lingkungan
kerja yang tidak mendukung dapat menyebabkan terjadinya gangguan ekstremitas
seperti pada saraf, otot, sendi dan sistem sirkulasi darah.
Organisasi kerja yang buruk juga berkontribusi terhadap peningkatan
keluhan muskuloskeletal pada pramugraha. Faktor risiko dari organisasi kerja
meliputi, tingginya intensitas pekerjaan, beban kerja tinggi yang tidak diikuti
dengan waktu yang cukup dalam menyelesaikan pekerjaan serta tidak adanya
pelatihan. Keluhan muskuloskeletal dapat pula disebabkan oleh kondisi
psikososial, faktor individu, kondisi tempat kerja, dan faktor organisasi kerja
(Izumi, 2008; Marras dkk., 2009), keluhan muskuloskeletal tidak terjadi segera
setelah terpapar faktor risiko, tetapi akan terjadi akumulasi gangguan selama
periode tertentu (Coleman, 2008).
Menurut European Agency (2007), keluhan muskuloskeletal pada
pramugraha dapat dicegah melalui program kesehatan dan keselamatan kerja yang
28
efektif serta dengan mengkaji setiap permasalahan tersebut melalui pertimbangan
ergonomi. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Hindari sikap kerja yang berisiko meningkatkan keluhan muskuloskeletal.
2. Evaluasi faktor risiko yang tidak dapat dihindari.
3. Menyesuaikan atau melakukan adaptasi pekerjaan terhadap pekerja.
4. Melakukan adaptasi terhadap perubahan teknologi.
Untuk mengetahui tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan
pramugraha digunakan metode pengukuran sebagai berikut.
1. Pengukuran estimasi tingkat keluhan otot dengan menggunakan Nordic Body
Map (Wilson dan Corlett, 2005). Nordic Body Map (NBM) pada dasarnya
dibuat dengan ketentuan kelompok otot pada organ tersebut. Para ahli
melaporkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan di tempat kerja yang tidak
ergonomik dapat menimbulkan cidera atau keluhan pada otot dan persendian.
Keluhan sistem muskuloskeletal merupakan masalah besar dalam suatu
industri yang disebabkan oleh : (1) tempat kerja yang tidak memadai, (2)
aktivitas yang bersifat repetitif, (3) desain alat dan peralatan yang tidak sesuai
dengan pemakai, (4) organisasi kerja yang tidak efisien, (5) jadwal istirahat
yang tidak teratur dan (6) sikap kerja yang tidak alamiah.
Menurut Tarwaka (2010) metode Nordic Body Map (NBM)
merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan (severity)
atas terjadinya gangguan atau cidera pada otot-otot skeletal. Aplikasi metode
NBM dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map).
Nordic Body Map meliputi dua puluh delapan (28) bagian otot-otot skeletal
29
pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri yang dimulai dari anggota tubuh bagian
atas yaitu otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki.
Tarwaka (2010) menyatakan desain penilaian menggunakan skoring (misalnya
4 skala Likert), maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi
operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden. Total skor
individu dari seluruh otot skeletal (28 bagian otot skeletal) dihitung untuk
dapat digunakan dalam entri data statistik.
2. Metode observasional RULA (Rapid Upper Limb Assesment) untuk menilai
posture, gaya atau beban dan aktivitas otot, yang diketahui berkontribusi
terhadap upper limb disorder (Corlett, 2005; Kee and Karwowski, 2007:
Gilkey dkk., 2007; Kumashiro dkk., 2007).
Hasil skor RULA diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori level risiko,
seperti pada Tabel 2.4
Tabel 2.4
Kategori Tindakan RULA
Kategori Tindakan Level Risiko Tindakan
1—2 Minimum Aman
3—4 Kecil Diperlukan beberapa
waktu ke depan
5—6 Sedang Tindakan dalam waktu
dekat
7 Tinggi Tindakan sekarang juga
2.1.4 Stres kerja
2.1.4.1 Definisi stres
Stres kerja adalah sesuatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya
ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir,
dan kondisi seorang karyawan (Rivai 2009). Menurut Robbins (2009) stres adalah
30
suatu kondisi dinamis di mana seorang individu dihadapkan pada peluang,
tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh
individu itu dan hasilnya dipandang tidak pasti dan penting.
Stres kerja mengakibatkan kelelahan kerja, seringkali tanda awal dari
stress kerja adalah suatu perasaan bahwa dirinya mengalami kelelahan emosional
terhadap pekerjaan-pekerjaan. Bila diminta menjelaskan yang dirasakan, seorang
karyawan yang lelah secara emosional akan merasa kehabisan tenaga dan lelah
secara fisik.
2.1.4.2 Sumber-sumber potensi stres kerja
Ada tiga kategori potensi stres kerja yang potensial yakni
lingkungan,organisasional, dan individual (Robbins, 2009):
1) Faktor Lingkungan
Kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman berkontribusi
terhadap munculnya stres kerja pada karyawan, seperti kondisi lingkungan
yang panas, ruangan yang sempit, bising, dan sebagainya. Ruangan yang
terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam
menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas
tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau
arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil
munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensistif pada
kebisingan dibanding yang lain
31
2) Faktor Organisasi
Banyak sekali faktor di dalam organisasi yang dapat menimbulkan
stres kerja. Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan
tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan,
serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Faktor – faktor ini dapat
dikategorikan pada tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan hubungan
antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tingkat
hidup organisasi.
3) Faktor Individual
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam
keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari
keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan
menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat
tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang.
2.1.4.3 Stres kerja karyawan hotel
Stres kerja terjadi apabila kemampuan yang dimiliki karyawan tidak sesuai
dengan tuntutan pekerjaan yang harus dilakukan karyawan. Stres yang
berhubungan dengan pekerjaan telah terbukti sebagai faktor utama menurunnya
prestasi kerja karyawan (Gilboa dkk dan Cooper, 2008; LePine dkk., 2005).
Beban kerja yang tinggi pada karyawan hotel tidak hanya menjadi sumber
masalah bagi kesehatan fisik karyawan. Beban kerja yang tinggi juga berdampak
pada aspek psikis karyawan. Purnawati (2011) menyatakan bahwa jenis pekerjaan
yang tergolong monoton dapat menjadi sumber stres dan berakibat lesu kerja dan
32
penurunan produktivitas. Dan beban kerja yang sangat berat dan kompleks
melebihi kapasitas kerja akan membuat individu merasa frustrasi dan muncul
perasaan stres dengan segala konsekuensinya (Tsai dkk.,2009).
Kim (2008) menyatakan bahwa stres karyawan di industri perhotelan
mengakibatkan kelelahan sehingga berdampak buruk pada pelayanan yang
diberikan. Stres karyawan semakin meningkat dengan diberlakukannya
kebijakan perusahaan antara lain dengan, melakukan efisiensi biaya dengan cara
mengurangi jumlah karyawan, mengurangi pendapatan karyawan, dan
meningkatkan jam kerja, dimana hal ini memiliki dampak yang sangat besar bagi
karyawan yang bekerja di industri perhotelan (Bernhardt., dkk, 2003; Korczynski,
2002; Peccei & Rosenthal, 2000). Wallace, 2003; Lo & Lamm, 2005 menyatakan
masalah yang berkaitan dengan shift kerja, jam kerja yang panjang, pergantian
jam kerja yang tidak terduga, minimnya waktu istirahat, tuntutan fisik yang berat
(beban berat penanganan manual) serta adanya tuntutan mental dan emosional
berdampak pada kinerja karyawan hotel.
Faulkner & Patier, 1997, Gill dkk., 2006; Hilton & Whiteford, 2010;
O’Neill & Davis, 2011 mengatakan, stres secara psikologis dapat menurunkan
prestasi di tempat kerja dan tingkat stres yang berlebihan mempengaruhi kinerja
karyawan hotel. O’Neill & Davis (2011) menyebutkan dua sumber stres pada
karyawan hotel adalah beban kerja yang tinggi (overloads) dan relationships yang
kurang harmonis diantara karyawan.
Pulak (2012) menyebutkan beberapa sumber stres pada karyawan hotel,
antara lain sebagai berikut.
33
1. Tekanan dalam melakukan tugas dengan waktu yang terbatas.
2. Upah yang rendah pada posisi tertentu.
3. Percakapan yang tidak pantas dengan pelanggan.
4. Lingkungan kerja yang penuh tekanan, tidak menyenangkan dan
membahayakan.
5. Jam kerja yang panjang, terutama bagi mereka yang bekerja dengan posisi
berdiri.
6. Jam kerja yang lama, shift malam dapat menyebabkan kurang tidur dan
menjadi satu alasan karyawan menjadi stres.
7. Jadwal kerja yang padat.
8. Merasa kurang ada keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi.
9. Job description yang tidak terdefinisi dengan jelas.
10. Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar karyawan.
11. Melakukan pekerjaan tanpa ada panduan dan bimbingan.
Schnall dkk. (2009) menyoroti sumber stres yang lain yaitu konflik
interpersonal. Di hotel, tugas utama seorang karyawan adalah berkomunikasi dan
berhubungan dengan pelanggan dan rekan kerja. Hal ini sangat diperlukan dalam
memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. Konflik pribadi akan
mempengaruhi koordinasi antar karyawan yang pada gilirannya akan
mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Karyawan hotel yang
terlibat dalam konflik interpersonal lebih rentan menderita stres, masalah jantung,
dan hipertensi (Schnall dkk., 2009; Olaniyi, 2013).
34
Varca (2009), dalam penelitiannya menemukan hubungan yang negatif
antara kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan dengan stres kerja
yaitu karyawan yang dalam kondisi stres, gagal memberikan pelayanan yang
berkualitas dibandingkan dengan karyawan yang tidak stres.
2.1.4.4 Pengukuran stres kerja
Dalam penelitian ini stres kerja diukur dengan menggunakan kuesioner
BJSQ (Brief Job Stres Questionnaire) dengan 4 skala Likert.
2.1.5 Kepuasan kerja
2.1.5.1 Definisi kepuasan kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang
berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang (Luthans, 2006).
Kepuasan kerja merupakan salah satu aspek yang diperlukan untuk meningkatkan
partisipasi karyawan di dalam upaya pencapaian produktivitas kerja (Manuaba,
1992).
Beberapa studi menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara
kepuasan kerja karyawan dengan kepuasan pelanggan (Wangenheim dkk., 2007;
Chi dan Gursoy, 2009). Karena diasumsikan terdapat hubungan positif yang
signifikan, maka kepuasan kerja karyawan menjadi isu utama di kalangan peneliti
dalam dua dekade terakhir (Matzler dan Renzl, 2007). Karyawan yang puas akan
cenderung lebih termotivasi dan bekerja lebih keras, lebih efisien dan mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik sehingga kepuasan pelanggan dapat
terpenuhi (Koys, 2003). Ogbonikan (2012) mengatakan dalam industri apapun,
kepuasan kerja berkaitan dengan motivasi kerja karyawan. Dan ketika karyawan
35
tidak puas dengan pekerjaannya maka akan berdampak pada kualitas pelayanan
yang diberikan pada pelanggan.
2.1.5.2 Aspek-aspek kepuasan kerja
Jewell dan Siegall (1998) menyebutkan beberapa aspek dalam mengukur
kepuasaan kerja:
a. Aspek psikologis, berhubungan dengan kejiwaan karyawan meliputi sikap
terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.
b. Aspek sosial, berhubungan dengan interaksi sosial, baik antar sesama
karyawan dengan atasan maupun antar karyawan.
c. Aspek fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan
kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja,
pengaturan waktu istirahat, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan,
pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur.
d. Aspek finansial berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan
karyawan, yang meliputi sistem dan besar gaji, jaminan sosial, tunjangan,
fasilitas dan promosi.
Menurut Robbins (2007) ada empat faktor yang kondusif bagi tingkat
kepuasan kerja karyawan yang tinggi, yaitu :
a. Pekerjaan yang secara mental menantang
b. Imbalan yang wajar
c. Kondisi lingkungan kerja yang mendukung
d. Rekan kerja yang suportif
36
2.1.5.3 Pengukuran kepuasan kerja
Dalam penelitian ini kepuasan kerja diukur dengan menggunakan
kuesioner kepuasan kerja dengan 20 item pertanyaan menggunakan 5 skala Likert
dari skor 1 (sangat tidak setuju ) hingga skor 5 (sangat setuju).
2.1.6 Motivasi kerja
2.1.6.1 Definisi motivasi
Motivasi kerja menurut Herzberg (Ogbonnikan, 2012) adalah sikap
seseorang terhadap pekerjaannya yang mengarah pada kepuasan kerja. Motivasi
juga dapat diartikan sebagai dorongan yang timbul baik dari diri seseorang
maupun dorongan dari luar untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi yang ada pada
seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan untuk mencapai suatu
kepuasan.
Dalam suatu organisasi, motivasi merupakan masalah yang kompleks yang
disebabkan karena kebutuhan dari setiap karyawan yang berbeda-beda. Untuk
dapat memelihara kinerja karyawannya, organisasi perlu memahami faktor-faktor
yang mempengaruhi motivasi karyawannya. Burke dkk, 2011; Burke & Cooper,
2007; Katzenbach, 2000 menyatakan bahwa untuk meningkatkan performansi
kerja perusahaan, organisasi harus memperhatikan motivasi kerja karyawan.
2.1.6.2 Teori motivasi
1. Teori Kebutuhan (Teori Abraham Maslow)
Menurut Maslow (Panwar dan Gupta, 2012) individu dimotivasi oleh
kebutuhan yang belum dipuaskan, yang paling rendah, paling dasar dalam tata
tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan, tidak akan lagi memotivasi
37
perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya pada tingkat yang lebih tinggi
menjadi dominan yaitu dari kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
2. Teori Dua Faktor (teori Herzberg)
Menurut Herzberg (Panwar dan Gupta, 2012), teori dua faktor juga
dinamakan teori hygiene-motivasi. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan
kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja.
Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja dinamakan faktor
motivator (intrinsic factor), mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi dari
pekerjaan, yang merupakan faktor instrinsik dari pekerjaan itu: pretasi
(achievement), pengakuan (recognition), tanggung jawab (responsibility),
kesempatan untuk berkembang (growth of opportunity).
Kelompok faktor lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan
konteks dari pekerjaan, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan (hygiene
factor), yang meliputi kondisi lingkungan kerja, gaji, kebijakan organisasi, dan
kualitas pengawasan.
2.1.6.3 Motivasi kerja karyawan hotel
Motivasi karyawan merupakan isu utama dalam industri perhotelan.
Manajemen di industri perhotelan harus dapat menjaga motivasi kerja
karyawannya agar tetap dapat memberikan kualitas pelayanan yang efektif dan
sesuai dengan harapan pelanggan (Cheng, 2005).
Kovack (2007) menyebutkan beberapa motivasi karyawan yang bekerja di
industry perhotelan, antara lain:
38
1. Penghargaan terhadap pekerjaan (job appreciation).
2. Upah/imbalan yang sesuai (good wages).
3. Peluang karir (opportunity for career growth).
4. Rasa aman (security).
5. Kesetiaan kepada karyawan (loyalty to employee).
6. Rasa memiliki (sense of ownership).
7. Pekerjaan yang menarik (interesting job).
8. Disiplin (careful discipline).
9. Lingkungan kerja yang baik (good work condition).
10. Bantuan pribadi yang simpatik (sympathetic personal assistance).
Kinerja karyawan dalam industri perhotelan dapat dianalisis dari
kewaspadaan, keramahan, penampilan, dan perilaku karyawan. Selain itu,cara
karyawan melakukan tanggung jawab terhadap pekerjaannya dan tugas-tugas
yang dilakukan menentukan tingkat motivasi kerja karyawan (St-Onge dkk.,
2009).
2.1.6.4 Pengukuran motivasi kerja
Dalam penelitian ini, motivasi kerja diukur dengan menggunakan
kuesioner motivasi karyawan dalam bekerja dengan 30 item pernyataan dengan
skala Likert dari skor 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan skor 5 (sangat setuju).
39
2.1.7 Produktivitas kerja
2.1.7.1 Pengertian produktivitas kerja
Produktivitas adalah kegiatan untuk menghasilkan sesuatu baik berupa
barang maupun jasa. Dalam produksi, produktivitas merupakan sutau pengukuran
dimana produksi menggunakan sumber-sumber dayanya untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin. Escorpizo (2008) menyatakan produktivitas adalah
perbandingan antara hasil kerja atau output yang berupa barang atau jasa dengan
keseluruhan input yang terdiri dari material, dana dan tenaga yang digunakan
dalam proses produksi. Hasil kerja diukur dari jumlah rerata produksi yang
dihasilkan oleh pekerja atau shift kerja, sedangkan masukan diukur berdasarkan
pada peningkatan nadi kerja atau beban kerja per satuan waktu (Adiputra, 2002).
Produktivitas kerja dikatakan meningkat apabila: 1) kuantitas output
bertambah besar, tanpa mengubah jumlah input; 2) kuantitas tidak bertambah
akan tetapi input nya berkurang; 3) kuantitas output bertambah besar sedangkan
input nya juga berkurang; dan 4) jumlah input bertambah, asalkan kuantitas
bertambah berlipat ganda (Sedarmayanti, 2007).
2.1.7.2 Pengukuran produktivitas kerja
Pengukuran produktivitas kerja dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Produktivitas total adalah perbandingan antara total output dengan total input
per satuan waktu;
2. Produktivitas parsial adalah perbandingan dari output dengan satu jenis input
per satuan waktu.
40
Produktivitas tidak selalu dinilai dari peningkatan jumlah produksi, tetapi
dapat juga dilihat dari berkurangnya waktu kerja yang hilang, turunnya angka
kecelakaan, berkurangnya istirahat curian, berkurangnya sumber daya atau bahan
yang dipakai, produksi tepat waktu dan sebagainya. Produktivitas berkaitan
dengan tenaga kerja dapat dihitung dengan membagi penghasilan dengan jumlah
orang yang digunakan atau kerja orang (Adiatmika, 2007). Dengan demikian
indeks produktivitas kerja dapat dirumuskan sebagai berikut.
O
IP =
INK x T
Keterangan :
IP = Indeks produktivitas pekerja;
O = Output/hasil dalam waktu tertentu;
INK = Input nadi kerja; dan
T = Waktu kerja
2.2 Ergonomi
Ergonomi atau ergonomics berasal dari kata Yunani yaitu “ergo” yang
berarti kerja dan “nomos” yang berarti hukum. Ergonomi adalah ilmu tentang
manusia untuk meningkatkan kenyamanan selama melakukan aktivitas kerja.
Beberapa definisi ergonomi dikemukakan oleh para ahli diantaranya disampaikan
oleh Manuaba (2000) yang mendefinisikan ergonomi sebagai ilmu, seni, dan
penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala
fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas dengan kemampuan dan
keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga orang dapat bekerja
dengan baik yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui kerja yang efektif,
nyaman, aman sehat, dan efisien (ENASE). Melalui ergonomi, tuntutan tugas,
41
peralatan, cara kerja, dan lingkungan kerja diserasikan dengan kemampuan,
kebolehan, dan keterbatasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan
lingkungan yang efektif, nyaman, aman sehat, dan efisien (ENASE).
Ergonomi merupakan bidang ilmu tentang teori dan aplikasi yang bertitik
tolak kepada usaha menciptakan keserasian antara pekerja dengan kondisi
kerjanya. Tujuan ergonomi adalah mempelajari interaksi antara manusia dengan
elemen-elemen lainnya dalam sistem untuk mengoptimalkan kesejahteraan
manusia dan penampilan seluruh sistem (Caple, 2009).
Definisi menurut International Ergonomics Association (IEA) yang sudah
disepakati bersama IEA council (IEA, 2000) adalah disiplin ilmu yang
mempelajari interaksi antara manusia dengan berbagai elemen dalam sebuah
sistem kerja atau profesi dengan mempertimbangkan berbagai teori dasar, data,
dan metode dalam upaya mengoptimalkan peran manusia dalam satu kesatuan
sistem. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ergonomi menempatkan
manusia sebagai pertimbangan utama dalam mendesain suatu sistem kerja,
termasuk diantaranya adalah sistem manajemen sumber daya manusia (MSDM)
(Sudiadjeng, 2012). Penerapan ergonomi dalam mengelola sumber daya manusia
adalah bertujuan untuk meningkatkan motivasi, kepuasan, dan produktivitas dan
kinerja tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan pekerja.
Dalam ergonomi, kinerja merupakan kinerja fungsi dari kemampuan dan
motivasi kerja. Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan mengacu kepada suatu
sistem yang terstruktur yang digunakan untuk mengukur dan menilai sifat-sifat
yang terkait dengan pekerjaan dan hasil kerja (Sudiadjeng, 2012).
42
Menurut IEA (2010), terdapat lima elemen dasar yang dapat dipergunakan
untuk menganalisis suatu pekerjaan yang mempengaruhi kinerja karyawan, antara
lain; faktor pekerja (worker), desain pekerjaan (job design), desain peralatan
(equipment design), desain tempat kerja (workplace design), organisasi kerja
(work organization). Kelima elemen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Pekerja (worker), karakteristik yang perlu diperhatikan antara lain; umur,
kesehatan, penurunan kemampuan, kapasitas fisik dan mental, pengalaman
dan ketrampilan serta pendidikan dan pelatihan.
2. Desain pekerjaan (job/task design), meliputi; job description, tuntutan
kerja, batas waktu penyelesaian pekerjaan, beban kerja, hubungan kerja
dengan pekerja yang lain, tanggung jawab terhadap pekerjaan, alat dan
perlengkapan.
3. Desain perlengkapan (equipment design), desain penempatan dan
penggunaan dari stasiun kerja, elektronik dan alat yang bergerak, mesin
dan alat serta alat pelindung.
4. Desain tempat kerja (workplace design), bangunan, area kerja dan ruang,
penerangan, kebisingan, suhu lingkungan dan penempatan lingkungan
kerja yang saling berinteraksi.
5. Organisasi kerja (work organization), hal ini mencakup pola kerja, tinggi
dan rendahnya beban kerja, jadwal kerja, konsultasi, ketidakefisienan dan
ketidakmudahan dari organisasi, istirahat kerja, kerjasama tim, budaya
tempat kerja, termasuk pengaruh ekonomi dan sosial.
43
Untuk melakukan intervensi ergonomi, terdapat delapan aspek ergonomi
yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap intervensi berorientasi ergonomi
di dalam suatu industri (Manuaba, 2006), yaitu: energi (status nutrisi/gizi),
pemanfaatan tenaga otot, sikap tubuh, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi
sosial, kondisi informasi, interaksi manusia-mesin.
Intervensi berorientasi ergonomi dilakukan dengan pendekatan ergonomi
yang dilakukan secara Systemic, Holistic, Interdiciplanary dan Participatory
(SHIP) dan dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan (Manuaba,
2005a). Pendekatan SHIP dilakukan sejak perencanaan sampai tahap pelaksanaan
maupun dalam evaluasi sehingga keberhasilan maupun kegagalannya dapat
dicarikan solusinya secara bersama-sama (Sutjana, 1996; Adiputra, 1997).
Dengan pendekatan ini diharapkan ada rasa memiliki karena telah berusaha untuk
mencari solusi secara bersama-sama sehingga kegagalan maupun keberhasilan
dirasakan bersama-sama (Handari, 2014).
2.3 Pelayanan Internal Berorientasi Ergonomi
Dalam industri jasa, kualitas pelayanan mencakup kualitas pelayanan
internal dan pelayanan eksternal. Menurut Hallowel (1996) untuk dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan, sebelumnya perusahaan harus dapat melayani
kebutuhan pelanggan internal, dalam hal ini adalah karyawan. Dalam pengelolaan
sumberdaya manusia, pelayanan internal terhadap karyawan merupakan starting
point menuju kinerja yang unggul. Sedangkan menurut Cai Meng Xia (2003),
kualitas pelayanan internal secara signifikan mempengaruhi kepuasan kerja
44
karyawan. Demikian juga menurut Tsai Jui-Ho (2004), menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah kualitas pelayanan internal.
Mohammed dkk. (2012) menyebutkan bahwa pelayanan internal terhadap
karyawan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan Hesket (2000)
menyatakan bahwa keuntungan dan pertumbuhan suatu organisasi kali pertama
ditentukan oleh kualitas pelayanan internal (internal service quality) terhadap para
karyawannya (worker) dan disebutkan bahwa kepuasan karyawan berhubungan
dengan ketepatan dan kenyamanan desain pekerjaan (workplace design), jenis
pekerjaan (job design), proses seleksi dan pengembangan (employee selection and
development), pengakuan dan penghargaan (employee reward and recognition)
serta peralatan dan fasilitas untuk melakukan pelayanan (tools for serving
customer).
Menurut Heskett (2000), loyalitas karyawan yang diberikan berupa
keinginan untuk bekerja lebih lama (employee retention) dan selanjutnya akan
meningkatkan produktivitas kerjanya (employee productivity). Pada gilirannya,
loyalitas karyawan akan mampu meningkatkan kepuasan pelanggan eksternal
perusahaan. Hal ini akan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan
dan keuntungan perusahaan.
Konsep pelayanan internal yang disampaikan oleh Heskett (2000)
terintegrasi dalam lima elemen dasar yang disampaikan dalam IEA (2010),
demikian pula dengan yang disampaikan oleh Manuaba (2008). Karena pada
dasarnya ergonomi merupakan pendekatan yang berorientasi kepada manusia
(human factors).
45
Jadi pelayanan internal berorientasi ergonomi yang diberikan kepada
karyawan sebaiknya berpedoman pada kapasitas kerja, kebolehan dan
kemampuan karyawan dalam mengerjakan tugasnya dengan memperhatikan
faktor pekerja (human factors), desain pekerjaan (job design), desain peralatan
(equipment design), desain lingkungan kerja (work environment), dan organisasi
kerja (work organization) yang dilakukan dengan pendekatan SHIP (sistemik,
holistik, interdisipliner, dan partisipatori) sehingga tercapai kondisi dan
lingkungan kerja yang efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien (ENASE).
Pendekatan SHIP (SHIP approach) yang dimaksud dalam pelayanan internal
adalah pendekatan terpadu yang terdiri dari empat unsur, yaitu (1) Sistemik yang
berarti bahwa semua program dalam pelayanan internal yang diberikan kepada
karyawan memperhitungkan kaidah ergonomi. Setiap program pelayanan internal
diharapkan bermuara pada peningkatan quality of work life (QWL) yang dilihat
dari penurunan beban kerja, kelelahan, keluhan muskuloskeletal, stres kerja dan
peningkatan motivasi, kepuasan, dan produktivitas kerja karyawan. Oleh karena
itu semua unsur yang mempengaruhi kinerja karyawan harus dipahami sebagai
suatu sistem yaitu dengan cara menganalisis kondisi kerja melalui delapan aspek
ergonomi sehingga diperoleh sumber permasalahan yang dihadapi karyawan, (2)
Holistik berarti bahwa semua faktor yang terkait masalah yang ada harus
dipecahkan secara proaktif dan menyeluruh dari; (a) faktor pekerja (worker), (b)
desain pekerjaan (job/task design), (c) desain peralatan (equipment design), (d)
desain tempat kerja (workplace design), dan (e) organisasi kerja (work
organization), (3) Pendekatan interdisipliner yaitu menemukan solusi
46
permasalahan dalam departemen housekeeping dengan melibatkan para ahli dari
berbagai bidang ilmu, seperti ahli ergonomi, psikologi, manajemen sumber daya
manusia (personalia), teknik, dan ahli fisiologi, (4) partisipatori diawali dengan
mengorganisasi tim untuk mengidentifikasi masalah ergonomi di departemen
housekeeping dan selanjutnya melakukan pemecahan masalah secara holistik
dengan melibatkan semua pihak terkait sedini mungkin melalui proses yang
sistematis.
Partisipatori diartikan sebagai keterlibatan semua pihak yang
berkepentingan. Menurut Manuaba (2003) ergonomi partisipatori berawal dari
mengorganisasi tim untuk mengidentifikasi masalah masalah ergonomi di tempat
kerja dan selanjutnya melakukan pemecahan masalah secara holistik dengan
melibatkan semua pihak terkait sedini mungkin melalui proses yang sistematis.
Implementasi ergonomi partisipatori dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja
dan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi masalah beban kerja fisik
pekerja.
2.7.1 Ergonomi sebagai faktor utama (Human Factors)
Ergonomi sebagai sebuah disiplin ilmu menempatkan manusia sebagai
faktor utama (human factors) dalam mendesain suatu sistem kerja. Dari sudut
pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu ada
dalam kondisi seimbang sehingga tercapai produktivitas dan performansi atau
kinerja yang tinggi (Manuaba, 2000).
Ergonomi menurut international ergonomics Association (IEA) yang
sudah disepakati bersama oleh IEA (2000) adalah disiplin ilmu yang mempelajari
47
tentang interaksi antara manusia dengan berbagai elemen dalam sebuah sistem
kerja atau profesi dengan mempertimbangkan berbagai teori dasar, data, metode
dalam upaya mengoptimalkan peran manusia dalam satu kesatuan sistem. Dari
definisi tersebut ergonomi menempatkan manusia sebagai pertimbangan utama
dalam mendesain suatu sistem kerja sehingga dapat dipergunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan pelayanan internal yang diberikan kepada
karyawan.
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan
pelayanan internal organisasi atau perusahaan terhadap karyawan adalah faktor
pekerja (worker). Dalam teori keseimbangan, Manuaba (2000) menyebutkan
bahwa karyawan akan mampu menghasilkan kinerja optimal apabila organisasi
atau perusahaan mempertimbangkan; (1) kemampuan kerja yang berhubungan
dengan karakteristik pribadi, kemampuan fisiologis, kemampuan psikologis, dan
kemampuan biomekanik, dan(2) tuntutan tugas atau pekerjaan yang tergantung
pada karakteristik tugas dan material, karakteristik organisasi dan karakteristik
lingkungan. Kinerja atau performansi kerja yang optimal akan tercapai apabila
terjadi keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang
dimiliki. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan utama dalam menentukan
kinerja yang diharapkan dapat dicapai secara optimal oleh karyawan.
Organisasi atau perusahaan yang tidak memperhatikan kemampuan,
kebolehan dan keterbatasan karyawan (worker) akan berisiko terhadap
menurunnya produktivitas perusahaan. Hal ini disebabkan karena terjadi overstres
48
pada karyawan berupa; kelelahan, cidera, kecelakaan, penyakit serta understres,
antara lain; kejenuhan, kebosanan, kelesuan pada karyawan.
2.7.2 Ergonomi dalam desain pekerjaan (job design)
Desain pekerjaan adalah suatu alat untuk memotivasi dan memberi
tantangan pada karyawan yang dapat menunjang tercapainya tujuan perusahaan
secara efektif dan efisien dan dapat merangsang karyawan untuk bekerja secara
produktif, mengurangi timbulnya rasa bosan dan dapat meningkatkan kepuasan
kerja,desain pekerjaan terkadang digunakan untuk menghadapi stres kerja yang
dihadapi karyawan (Sulipan, 2000).
Dalam suatu organisasi, ergonomi berperan sebagai desain pekerjaan
dalam aktivitas suatu organisasi, misalnya: penentuan jumlah jam istirahat,
pemilihan jadwal pergantian waktu kerja, dan meningkatkan variasi pekerjaan
(Nurmianto, 2008). Inti dari pendekatan ergonomi pada job design adalah
mencapai keharmonisan antara persepsi, kognisi dan kemampuan fisik, metode
kerja, peralatan, mesin dan bantuan kerja lainnya dan wilayah atau lingkungan
kerja dilaksanakan.
Handoko (2011) menyatakan desain pekerjaan (job design) adalah fungsi
penetapan kegiatan-kegiatan kerja seorang individu atau kelompok karyawan
secara organisasional.Desain pekerjaan yang ideal selalu memperhatikan :
1. Tanggung jawab
Serentetan pernyataan tertulis tentang tugas yang akan dikerjakan oleh
pegawai atau pekerja yang berisi informasi tentang tanggung jawab yang diemban
oleh pegawai atau pekerja yang bersangkutan.
49
2. Urutan kegiatan atau prosedur kerja (SOP)
Informasi yang rinci tentang urutan kegiatan atau prosedur kerja, yang
dilengkapi dengan informasi yang lebih rinci seperti langkah-langkah teknis,
alternatif jalan keluar yang mungkin timbul dalam pelaksanaan pekerjaan.
3. Standar kualitas pekerjaan
Merupakan derajat ukur kerja, dengan derajat inilah suatu kinerja dinilai
baik atau buruk, sesuai dengan prosedur atau tidak, sah atau melanggar aturan,
layak jual atau tidak. Standar kualitas kerja biasanya mengacu pada produk akhir
suatu pekerjaan, tetapi kadangkala standar kualitas ini dibuat untuk menilai suatu
proses pekerjaan
Desain pekerjaan mutlak dimiliki oleh setiap perusahaan karena dalam
desain pekerjaan yang dilakukan adalah merakit sejumlah tugas menjadi sebuah
pekerjaan agar pekerjaan yang dilakukan menjadi terarah dan jelas. Menurut
(Sunarto, 2005) desain pekerjaan memiliki tujuan agar:
1. Efisiensi operasional, produktifitas dan kualitas pelayanan menjadi
optimal.
2. Fleksibilitas dan kemampuan melaksanakan proses kerja secara horizontal
dan hirarki.
3. Minat, tantangan, dan prestasi menjadi optimal
4. Tanggung jawab tim ditetapkan sedemikian rupa, sehingga bisa
meningkatkan kerja sama dan efektifitas tim.
5. Integrasi kebutuhan individu karyawan dengan kebutuhan organisasi.
50
2.7.3 Ergonomi dalam desain perlengkapan (equipment design)
IEA (2010) menyebutkan beberapa komponen yang perlu diperhatikan
dalam desain perlengkapan (equipment design), antara lain: desain penempatan
dan penggunaan dari stasiun kerja (work station), elektronik dan alat yang
bergerak, mesin dan alat serta alat pelindung.
Desain harus selalu berkompromi antara kebutuhan biologis pekerja
dengan kebutuhan stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi alat dalam
stasiun kerja. Stasiun kerja adalah suatu area lingkungan kerja fisik dimana
seluruh komponen saling berinteraksi untuk melaksanakan pekerjaan (Grandjean,
2000).
Masalah utama dalam stasiun kerja adalah pengaturan komponen-
komponen yang terlibat dalam kegiatanyaitu menyangkut material, mesin atau
peralatan kerja, fasilitas penunjang, lingkungan fisik kerja dan pekerja. Dengan
pendekatan ergonomi diharapkan sistem bisa dirancang untuk melaksanakan
kegiatan kerja tertentu dengan didukung oleh keserasian hubungan antara pekerja
dengan sistem kerja yang dikendalikan.
Dalam perancangan stasiun kerja, aspek yang harus diperhatikan antara
lain:
1. Menyangkut perbaikan-perbaikan metode atau cara kerja dengan
menekankan pada prinsip-prinsip ekonomi gerakan dengan tujuan pokok
adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
2. Kebutuhan akan data yang menyangkutdimensi tubuh manusia (data
antropometri) yang akan menunjang didalam proses perancangan alat
51
dengan tujuan untuk mencari keserasian hubungan antara alat dengan
manusia yang memakainya.
3. Pengaturan tata letak fasilitas kerja.
4. Pengukuran energi.
5. Keselamatan dan kesehatan kerja.
6. Perilaku manusia, pengukuran waktu dan maintainability.
Mengacu pada delapan aspek ergonomi yang disampaikan Manuaba
(2006), maka hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam desain perlengkapan
adalah pemanfaatan tenaga otot, interaksi manusia mesin, dan sikap kerja.
1. Pemanfaatan tenaga otot
Untuk melakukan pekerjaan tidak boleh ada paksaan di luar kemampuan,
sebaiknya sikap kerja serta alat yang digunakan mempertimbangkan unsur
ergonomi sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat terlaksana secara efektif,
aman, nyaman, sehat, dan efisien (ENASE).
2. Interaksi manusia mesin
Menurut Kroemer dan Grandjean (2000), interaksi karyawan dengan
peralatan yang digunakan saat bekerja harus serasi sehingga hasilnya dapat
optimal. Berdasarkan prinsip tersebut, maka setiap interaksi alat dan karyawan
harus diperhitungkan secara detail. Desain alat hendaknya berdasarkan
perhitungan antropometrik karyawan dengan persentil 5, 50 dan 95.
Alat kerja yang digunakan oleh pramugraha, antara lain troli, sapu, alat
pel, sikat, dust panserta menggunakan alat pelindung diri (APD) juga harus
memperhatikan kenyamanan kerja karyawan. Pramugraha hotel dalam
52
pekerjaannya dianjurkan menggunakan APD berupa masker dan sarung
tangan (handgloves).Ketidaksesuaian alat-manusia menimbulkan sikap paksa
serta penggunaan otot yang berlebihan dapat meningkatkan kelelahan, keluhan
otot, dan stres karyawan.
3. Sikap tubuh
Sikap tubuh tidak alamiah dapat menjadi beban kerja tambahan bagi
karyawan. Sikap tubuh tidak alamiah akan menyebabkan strain (reaksi)
muskuloskeletal dan menimbulkan dampak buruk bagi karyawan. Sikap tubuh
tidak alamiah, tampak pada pekerjaan dengan sikap tubuh mendorong,
membungkuk, berjongkok dan berdiri dalam jangka waktu lama yang
dilakukan oleh pramugraha.
2.7.4 Ergonomi dalam desain lingkungan kerja (workplace design)
Lingkungan kerja sangat menentukan produktivitas kerja manusia.
Lingkungan yang tidak kondusif untuk bekerja akan memberikan beban tambahan
bagi tubuh, padahal tubuh sedang melaksanakan beban utama yaitu tugas yang
sedang dilakukan. Lingkungan dingin, kelembaban relatif, penipisan kadar
oksigen, adanya zat pencemar dalam udara, semuanya akan mempengaruhi
penampilan kerja manusia. Penerangan tempat kerja, adanya kebisingan,
lingkungan kimia, biologi dan lingkungan sosial di tempat kerja berpengaruh
terhadap prestasi dan produktivitas kerja (Adiputra, 2008).
Mikroklimat di tempat kerja penting untuk diperhatikan. Mikroklimat
ditentukan oleh temperature ruangan, kelembaban, kebisingan, intensitas cahaya,
getaran, substansi kimia, dan bau-bauan (Dul dan Weerdmeester, 2003).
53
Menurut Manuaba (2004a), mikroklimat di ruang kerja ditentukan oleh
suhu udara, suhu permukaan, kelembaban udara, gerakan udara, dan kualitas
udara. Suhu yang dirasakan seseorang merupakan rerata dari suhu udara dan suhu
permukaan. Untuk rasa nyaman, perbedaan suhu udara dan suhu permukaan
hendaknya sekecil mungkin. Oleh karena itu diambil batasan agar perbedaan
rerata suhu permukaan hendaknya tidak boleh lebih dari 2—3°C di atas atau di
bawah suhu udara, sedangkan perbedaan suhu antara di dalam dan di luar
ruangan, tidak lebih dari 4°C. Jika melebihi batas tersebut, hendaknya dibuat
ruang antara untuk proses adaptasi terhadap perbedaan suhu tersebut.
Suhu udara di satu ruangan, hendaknya antara 20—24°C pada musim
dingin dan antara 23—26°C di musim panas (Helander & Shuan, 2005),
sedangkan kelembaban relative di suatu ruangan tidak boleh kurang dari 30% atau
antara 4—60% di musim panas, merupakan kelembaban relative yang member
suasana nyaman di ruangan tersebut. Suhu nyaman untuk daerah tropis adalah
antara 22—28°C dengan kelembaban relatif antara 70—80% (Manuaba, 2004b).
Gerakan udara di suatu ruangan memberi pengaruh kepada suhu yang
dirasakan seseorang. Agar gerakan udara tersebut tidak menimbulkan dampak
yang tidak diinginkan, dianjurkan agar gerakan udara di dalam ruangan tidak lebih
dari 0,2m/detik (Manuaba, 2004b).
Kroemer dan Grandjean (2000) menyatakan bahwa temperatur optimal
untuk orang bekerja berkisar 24—26°C. Sementara menurut Dul dan
Weerdmeester (2006) disebutkan bahwa kelembaban udara berkisar 30—70% dan
gerakan udara kurang dari 0,1m/detik.
54
Ruang kerja akan terasa panas apabila mikroklimat di ruang kerja tidak
diperhatikan sehingga akibatnya akan timbul respon fisiologis seperti; rasa lelah,
yang diikuti dengan hilangnya efisiensi kerja mental dan fisik meningkat, denyut
jantung meningkat, tekanan darah meningkat, aliran darah ke kulit juga
meningkat, dan produksi keringat yang meningkat (Tarwaka, 2008).
Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat
mengganggu pendengaran. Tingkat kebisingan diukur dengan dengan
menggunakan Sound Level Meter. Nilai ambang batas kebisingan yaitu 45 dBA
untuk industri dengan 8 jam kerja.
Tingkat kebisingan di hotel umumnya rendah. Sumber kebisingan di
kamar hotel hanya dari suara kaki pelanggan hotel yang sekali-sekali lewat di
sepanjang lorong hotel. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan, hasil
pengukuran tingkat kebisingan adalah sebesar 35 dBA.
Intensitas cahaya harus sesuai dengan jenis pekerjaan. Intensitas cahaya
yang memadai antara lain: a) jumlah atau intensitas cahaya yang diperlukan
hendaknya disesuaikan dengan jenis pekerjaan, daya lihat seseorang, dan
lingkungannya; b) perlu diupayakan penampilan penglihatan sebesar 100%; c) di
dalam merencanakan intensitas cahaya yang memadai, di samping efisiensi
penglihatan, faktor keamanan, kenyamanan dan keselamatan perlu
diperhitungkan; d) intensitas cahaya yang baik adalah minimal 200 lux, atau
disesuaikan dengan jenis aktivitas di tempat tersebut; dan e) intensitas cahaya
harus diutamakan pada pekerjaan pokok, kemudian pada latar belakangnya dan
55
terakhir pada lingkungannya seperti dinding, atap, lantai, dan lain-lain (Manuaba,
2004a).
Sedarmayanti (2011) menyatakan bahwa lingkungan kerja terbagi menjadi
2 (dua), yakni: (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik.
1. Lingkungan kerja fisik lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan
berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :
a. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat
kerja, kursi, meja dan sebagainya)
b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut
lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya:
temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran
mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
2. Lingkungan Kerja Non Fisik
Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang
berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun
hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.
Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang
tidak bisa diabaikan. (Sedarmayanti, 2011).
Lingkungan kerja juga dapat menjadi sumber kelelahan dan stres bagi
karyawan hotel. Kozak, 2006; Kiliç& Selvi, 2009 menyebutkan terdapat 4 faktor
di lingkungan kerja yang berisiko terhadap kesehatan termasuk peningkatan stres
56
dan kelelahan kerja karyawan, antara lain; 1) faktor fisik (suhu, kelembaban,
getaran, kebisingan, pencahayaan dan radiasi), 2) faktor kimia (bahan kimia dalam
bentuk gas, padat, dan cair yang mudah meledak dan terbakar), 3) faktor biologi
(penyakit yang timbul dari mikroba), 4) faktor psikologis (hubungan kerja/team
work).
Paparan bahan kimia berupa pembersih lantai, pembersih furniture
berpengaruh terhadap kesehatan pramugraha. Sebanyak 72% pramugraha
mengalami iritasi pada kulit dan mata yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia
yang dipergunakan saat membersihkan kamar (Krause, 2005). Kondisi demikian
perlu diantisipasi dengan memberikan informasi dan penjelasan terhadap
karyawan mengenai bahaya lingkungan kerja terhadap kesehatan. Selain itu,
karyawan perlu selalu diingatkan untuk menggunakan alat pelindung diri (APD)
yang selama ini sering diabaikan oleh karyawan.
Selain kondisi lingkungan fisik, kondisi lingkungan dari faktor psikologis
yaitu hubungan kerja antara karyawan yang satu dengan yang lainnya juga sangat
penting dalam meningkatkan kinerja karyawan hotel sehingga dibutuhkan
kerjasama tim dan kemampuan komunikasi yang baik agar tercapai kondisi kerja
yang optimal.
Menurut Cohen dan Billey, 1999; Manzoor, 2011, kerjasama tim adalah
kumpulan individu yang saling tergantung dalam tugas dan berbagi tanggung
jawab dalam hasil pekerjaan. Dalam sebuah tim, memungkinkan orang untuk
bekerjasama, keluar dari konflik antar individu, meningkatkan ketrampilan dan
dapat memberikan umpan balik yang membangun (Jones dkk., 2007). Anggota
57
tim akan meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan saat bekerja
dalam tim (Froebel & Marchington, 2005). Conti & Kleiner (2003) menyatakan
bahwa tim memberikan partisipasi, tantangan dan prestasi yang lebih besar.
Melalui tim, organisasi secara tidak langsung telah mempertahankan karyawan
terbaik yang dimiliki organisasi
Salah satu cara untuk membentuk tim yang efektif dan sukses adalah
dengan cara team building (membangun tim). Team building adalah suatu upaya
yang dibuat dengan sadar untuk meningkatkan kinerja kelompok dalam suatu
perusahaan atau organisasi. Apabila team building dilakukan secara efektif dan
berkesinambungan akan memberi perubahan efektivitas kerja dan keberhasilan
kerja yang jauh lebih baik daripada sebelumnya (Totong, 2011).
2.3.5 Ergonomi dalam organisasi kerja (work organization).
Tujuan utama dari suatu organisasi kerja adalah menciptakan kondisi kerja
melalui pengaturan sistem kerja sehingga tercipta kondisi kerja yang kondusif,
semua pekerja menempati posisi dan fungsinya sesuai dengan potensi dan
keterbatasannnya (Sudiadjeng, 2012).
Organisasi kerja (work organization) mencakup pola kerja, tinggi dan
rendahnya beban kerja, jadwal kerja, konsultasi, ketidakefisienan dan
ketidakmudahan dari organisasi, istirahat kerja, kerjasama tim, budaya tempat
kerja, termasuk pengaruh ekonomi dan sosial (IEA, 2010).
Mengacu pada 8 (delapan) aspek ergonomi maka organisasi kerja dapat
mencakup: asupan nutrisi/energi, kondisi waktu, kondisi informasi, pengaturan
58
istirahat, kondisi sosial budaya melalui program penghargaan dan sangsi (reward
and punishment program).
a. Asupan nutrisi/energi
Seorang pekerja akan menyelesaikan pekerjaan dengan baik, apabila
memiliki tenaga atau energi yang cukup dan sangat tergantung pada kualitas gizi
yang dikonsumsinya. Dalam hal ini gizi kerja ditujukan untuk kesehatan dan daya
kerja setinggi-tingginya. Kebutuhan gizi dan kalori seseorang ditentukan oleh
jenis kelamin, umur, indeks massa tubuh (IMT) dan jenis kegiatan (Suma’mur,
2009; Roedjito, 1998; dan Almatsier, 2009).
Berat badan dan tinggi subjek akan menentukan angka indeks massa tubuh
(IMT) subjek. Penentuan berat badan ideal dapat ditentukan dengan menggunakan
Metode Brocca dengan menghitung berat badan ideal = (Tinggi badan - 100) -
10% (Tinggi badan - 100). Batas ambang yang diperbolehkan adalah ± 10% dari
berat badan ideal. Bila <90% dikatakan kekurusan, >10% sudah kegemukan dan
bila >20% sudah terjadi obesitas (Thomas dkk, 2008).
Status gizi hendaknya dalam batas normal menurut indeks massa tubuh
(IMT). IMT menunjukkan keseimbangan antara asupan gizi dan penggunanya.
IMT di atas dan di bawah normal mempunyai risiko lebih besar terhadap berbagai
keluhan dan penyakit, seperti cepat lelah atau kebugaran fisik menurun, dan
gangguan berbagai penyakit (Adiatmika, 2007).
Penggunaan IMT dapat melengkapi identifikasi kondisi subjek selain
dengan pemeriksaan medis. IMT merupakan salah satu factor untuk
memprediksikan timbulnya kelainan atau penyakit dalam tubuh. NIOSH (2007)
59
menyebutkan bahwa IMT mempunyai korelasi positif terhadap risiko timbulnya
keluhan muskuloskeletal. Seseorang dengan IMT > 29 (obesity) memiliki risiko
2,5kali terkena keluhan sistem muskuloskeletal dibandingkan dengan yang
memiliki IMT < 20. Secara umum kategori IMT dan risiko dan risiko gangguan
kesehatan diklasifikasikan seperti dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh
(IMT)
Kategori Risiko
< 18,5 Berat badan kurang Meningkat
18,5 – 24,9 Berat badan normal Sangat kecil
25,0 – 29,9 Berisiko menjadi obes Meningkat
30,0 – 34,9 Obes I Tinggi
35,0 – 39,9 Obes II Sangat tinggi
≥ 40,0 Obes III Ekstrim
Sumber : Health Canada, 2012
b. Kondisi waktu
Di Indonesia waktu bagi pekerja adalah 6 hari kerja selama 8 jam dengan
1 kali makan siang dan 2 kali istirahat pendek atau 5 hari kerja selama 9 jam
dengan 1 kali makan siang dan 2 kali istirahat pendek. Waktu kerja yang optimal
sebenarnya 7 jam/hari dan setiap empat jam kerja perlu diatur satu jam istirahat
(tidak termasuk jam kerja).
Dalam peraturan mengenai jam kerja, hotel ini mempekerjakan
karyawannya selama 6 hari kerja dengan jam kerja sehari selama 8 jam termasuk
1 jam istirahat. Waktu istirahat ini harus dimanfaatkan oleh karyawan dengan baik
sehingga tidak menimbulkan kelelahan yang berlebihan.
Dalam tugasnya karyawan dibagi berdasarkan shift kerja. Pekerjaan
menggunakan sistem shift sudah tidak asing lagi di indutri perhotelan. Hotel
60
banyak menerapkan sistem shift kerja (2 atau 3 hari sekali) dengan tujuan
mengoptimalkan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.
Shift kerja adalah periode waktu dimana suatu kelompok pekerja
dijadwalkan bekerja pada tempat kerja tertentu. Disamping memiliki segi positif
yaitu memaksimalkan sumberdaya yang ada, shift kerja juga memiliki risiko yang
mempengaruhi pekerja. Menurut Tayyari & Smith (1997) mengemukakan bahwa
efek shift kerja yang dapat dirasakan antara lain :
1. Aspek Fisiologis
a. Kualitas tidur : tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan
dan biasanya diperlukan waktu istirahat untuk menebus kurang tidur
selama kerja malam.
b. Menurunnya kapasitas kerja fisik kerja akibat timbulnya perasaan
mengantuk dan lelah.
c. Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.
2. Efek psikososial
Efek psikososial menunjukkan masalah lebih besar dari efek fisiologis,
antara lain adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang,
kecil kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan menggangu aktivitas
kelompok dalam masyarakat.
3. Efek kinerja
Kinerja menurun selama kerja shift malam yang diakibatkan oleh efek
fisiologis dan psikososial. Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan
61
kemampuan mental menurun yang berpengaruh terhadap perilaku
kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kendali dan pemantauan.
4. Efek terhadap kesehatan
Shift kerja menyebabkan gangguan gastrointesnal, masalah ini cenderung
terjadi pada usia 40—50 tahun. Shift kerja juga dapat menjadi masalah
terhadap keseimbangan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes.
5. Efek terhadap keselamatan kerja
Survei pengaruh shift kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang
dilakukan Tayyari dan Smith (1997), melaporkan bahwa frekuensi
kecelakaan paling tinggi terjadi pada akhir rotasi shift kerja (malam) dengan
rata-rata jumlah kecelakaan 0,69% per tenaga kerja.
Banyak penelitian model shift kerja dilakukan untuk mengurangi pengaruh
negatif dari shift kerja tersebut. International Labour Organization (ILO) (2003)
membedakan 3 tipe shift kerja yaitu diskontinu, semikontinu dan kontinu. Shift
juga dibagi menjadi 2 kelompok yaitu shift permanen/tetap dan dengan rotasi.
Dua model shift konvensional yang umum dilakukan adalah:
1. Continental Rota: 2—2—3(2)/2—3—2(2)/3—2—2(3)
2. Metropolitan Rota: 2—2—2(2)
Rotasi yang digunakan pada rota diatas menunjukkan: pagi—siang—malam
(libur).
Pembuatan jadwal shift kerja tidak bisa mengabaikan aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Grandjean (2000) mengemukakan teori Schwartzenau yang
62
menyebutkan ada beberapa saran yang harus diperhatikan dalam penyusunan
jadwal shift kerja, yaitu:
1. Pekerja shift malam sebaiknya berusia antara 25—50 tahun.
2. Pekerja yang cenderung punya penyakit di usus dan perut, serta yang
punya emosi tidak stabil disarankan untuk tidak ditempatkan di shift
malam.
3. Pekerja yang tinggal jauh dari tempat kerja atau berada di lingkungan
ramai tidak dapat bekerja malam.
4. Sistem shift 3 rotasi biasanya berganti pada pukul 06.00 – 14.00 –
22.00, lebih baik diganti pada pukul 07.00 – 15.00 – 23.00 atau 08.00
– 16.00 – 24.00.
5. Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan harus
dihindarkan bekerja pada malam hari secara terus menerus.
6. Rotasi yang baik adalah 2—2—2 (rota metropolitan) dan 2—2—3
(rota continental).
7. Kerja malam 3 (tiga) hari berturut-turut harus segera diikuti istirahat
paling sedikit 24 jam.
8. Perencanaan shift meliputi akhir pekan dengan 2 (dua) hari libur
berurutan.
9. Tiap shift terdiri dari satu kali istirahat yang cukup untuk makan.
63
c. Kondisi Informasi
Kondisi informasi dapat mempengaruhi mental, emosi dan kepuasan kerja
serta produktivitas (Dillon, 2003). Oleh sebab itu dibutuhkan penyampaian
informasi yang jelas dan dapat dipahami oleh karyawan.
Penyampaian informasi di hotel menggunakan papan pengumuman yang
dipasang di masing-masing departemen dan papan pengumuman yang dipasang di
kantin yang sifatnya pengumuman untuk seluruh karyawan. Penyampaian
informasi juga dapat disampaikan langsung dari supervisor atau kepala
departemen (department head) kepada karyawan yang disampaikan pada saat
morning briefing. Sedangkan untuk memonitor serta melakukan komunikasi
dengan pramugraha pada saat mengerjakan kamar digunakan sarana telepon yang
terpasang di masing-masing kamar.
d. Kondisi sosial budaya berupa penghargaan dan sangsi (reward and
punishment)
Mendapatkan penghargaan adalah suatu hal yang banyak diharapkan
orang. Penghargaan tidaklah harus berbentuk uang, tetapi harus berdasarkan tolak
ukur seperti target yang dapat memacu produktifitas para karyawan. Program
penghargaan dan pengakuan tidak perlu mahal atau mengambil banyak waktu dari
hari kerja. Pemberian penghargaan dan sangsi seharusnya banyak dimanfaatkan
oleh pimpinan tempat kerja untuk membina dan membangkitkan motivasi kerja,
seperti sistem penghargaan yang berhasil dan hukuman bagi yang salah dan lalai
bekerja (Adiputra, 2008).
64
Setiap karyawan ingin merasa dihargai di tempat kerja. Sebuah hadiah
berupa pengakuan formal yang dapat menjadi cara yang untuk memastikan bahwa
karyawan diakui atas kontribusi mereka di tempat kerja. Banyak hotel
menggunakan program penghargaan untuk meningkatkan semangat kerja. Selain
itu program ini dapat meningkatkan retensi, loyalitas dan performa karyawan.
Dalam memberikan penghargaan kepada karyawan dibutuhkan pendekatan
dalam menerapkan program ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan pendekatan ergonomi partisipatori.
2.4 Tahapan Intervensi Ergonomi dalam Pelayanan Internal
Wells (2003) menyatakan untuk memulai program ergonomi diperlukan
beberapa persiapan yaitu membentuk komitmen dan dukungan dari manajemen,
membentuk tim ergonomi dan memberikan pelatihan dasar tentang ergonomi.
Lebih lanjut Wells (2003) untuk melaksanakan program ergonomi di sebuah
industri diperlukan 6 tahapan yaitu:
1. Mengidentifikasi pekerjaan yang akan dilakukan perbaikan
Mengidentifikasi permasalahan pelayanan internal dilakukan dengan
berpedoman pada penerapan delapan aspek ergonomi (ergonomics
assessment) antara lain: (1) Penggunaan otot dalam bekerja, (2) Pengaturan
makanan saat bekerja, (3) Sikap kerja saat melaksanakan pekerjaan, (4)
Pengaturan waktu kerja dan istirahat, (5) Pengaturan sistem informasi, (6)
Kondisi sosial budaya karyawan, (7) Kondisi lingkungan karyawan dan
perusahaan, (8) Penggunaan alat-alat kerja.
65
2. Melakukan evaluasi ergonomi dan faktor-faktor risiko bahaya dan
menentukan prioritas pekerjaan yang akan dilakukan perbaikan.
Menentukan urgensi dan solusi permasalahan dilakukan dengan cara: 1)
melaksanakan proses partisipatori yang melibatkan tenaga ahli, unsur
pimpinan, dan karyawan di departemen housekeeping, 2) melakukan kegiatan
focus group discussion (FGD) untuk menentukan masalah yang dianggap
urgent untuk dilakukan perbaikan.
3. Menentukan solusi pemecahan masalah ergonomi
4. Melakukan uji coba solusi yang telah dirancang
5. Mengevaluasi hasil penerapan solusi yang telah dirancang
6. Mengimplementasikan solusi
Melakukan implementasi terhadap solusi permasalahan yang telah
ditentukan yaitu dengan :
1) Pelatihan atau lokakarya (workshop) mengenai kondisi kerja ergonomis.
2) Menerapkan pelayanan internal dalam aspek tugas (task), organisasi
(organization) dan lingkungan (environment) yang mempertimbangkan
(1) faktor pekerja (worker), (2) desain pekerjaan (job/task design), (3)
desain peralatan (equipment design), (4) desain tempat kerja (workplace
design), dan (5) organisasi kerja (work organization) dengan penerapan
teknologi tepat guna dan dilaksanakan secara sistemik, holistik,
interdisipliner, dan partisipatori.