bab ii kajian pustaka 2.1 penelitian terdahulueprints.umm.ac.id/40935/3/bab ii.pdfyang dulunya hanya...
TRANSCRIPT
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Kajian yang membahas terkait dengan komodifikasi budaya bukanlah hal yang
baru. Sudah banyak penelii yang telah mengkaji dan meneliti tentang
komodifikasi budaya pada latar belakang dan loksi yang berbeda. berikut
merupakan penelitian terdahulu beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang
dilakukan penulis.
Pertama, disertasi berjudul “Komodifikasi Warisan Budaya Sebagai Daya
Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng Gianyar” oleh Anak Agung GD
Raka (1190371032) Program Studi Kajian Budaya Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana Denpasar tahun 2015. Penelitian ini penulis mengambil
Warisan budaya yang terdapat di Pura penataran asih yang memiliki keunikan
tersendiri dijadikan sebagai alat untuk menarik minat dan perhatian para
wisatawan untuk berkunjung ke Pura tersebut. Dengan tidak memperhatikan nilai
asli yang terkandung dalam Pura tersebut yang merupakan tempat Ibadah bagi
Umat Hindu.
Relevansi penelitian ini adalah Di dusun Sade, Desa Rembitan, kecamatan
Pujut, Kabupaten Lombok Tengah juga menyugukan warisan budaya yang
menjadi daya tarik tersendiri sehingga banyak wisatawan yang bekunjung untuk
menyaksikan keunikan daerah tersebut. Namun tidak memperhatikan nilai asli
serta makna yang terkandung dalam warisan budaya tersebut.
25
Kedua, skripsi yang berjudul “Komodifikasi Budaya (Studi dikampung wisata
Dipowinata Kelurahan Keparakan, kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta) oleh Rizki Petronaso (10413244026) Pendidikan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2015.
Penulisan ini peneliti mengambil kesimpulan bahwa bentuk Komodifikasi yang
terjadi yaitu dimana peninggalan budaya dijadikan sebagai komoditi yang
diperjualbelikan kepada wisatawn untuk menarik minat wisatwan yang
berkunjung seperti kesenian karawitan, kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Ketiga, Diyah Ayu Retno Widyastuti dalam Jurnal Komunikasi vol. 1 No.
2 Januari 2011 berjudul Komodifikasi Upacara Religi Dalam Pemasaran
Pariwisata. Peenulis ini mengambil kesimpulan bahwa Bentuk komodifikasi yang
terjadi di Candi Ceto yakni terlihat pada Upacar Religi Saraswati yang pada
mulanya bersifat eksklusif dan hanya untuk kalangan terbatas khususnya umat
Hindu, tetapi sekarang ini upacara tersebut pelaksanaannya dapat diakses leluasa
oleh masyarakat umum.
Relevansi penelitian ini adalah Sama seperti halnya Lambung, Songket, yang
dulunya hanya digunakan oleh perempuan sasak yang menajdi identitas
perempuan sasak namun sekarang dijadikan sebagai objek komodifikasi, serta
kesenian Presean yang dulunya hanya diketahui oleh masyarakat suku sasak
sekarang sudah dapat diakses oleh masyarakat umum bahkan masyarakat umum
sudah dapat mempelajari kesenian tersebut.
Keempat, June Nash dalam Jurnal ethnology tahun vol.39 No.2 tahun 2000
berjudul Global Integration and Commodification of Culture. Perempuan
26
Kaqchnikel melakukan tarian tradisional dan pertunjukan drama untuk menarik
perhatian parawisatawan untuk berkunjung kedaerah mereka. Tidak hanya itu
mereka juga menyuguhkan kehidupan tradisional mereka seperti menenun sebagai
pelestarian budaya yang memikat hati para wisatawan.
Relevansi dengan penelitian ini adalah Dusun Sade, Desa Rembitan juga
menyuguhkan Presean sebagai seni tradisional yang mampu menarik perhatian
wisatawan untuk berkunjung ke Dusun tersebut. Tidak hanya itu kehidupan
sehari-hari yang masih tradisional juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang
dianggap unik, karena masih mempertahankan budaya yang telah lampau.
Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam penelitian.
Adapun bentuk penelitian terdahulu yang digunakan oleh peneliti yang menjadi
acuan penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Peneliti / Judul Penelitian Hasil Temuan Relevansi
1. Anak Agung GD Raka
dalam Disertasi yang
berjudul “Komodifikasi
Warisan Budaya Sebagai
Daya Tarik Wisata di
Pura Penataran Sasih
Pejeng Gianyar”
Warisan budaya yang
terdapat di Pura
penataran asih yang
memiliki keunikan
tersendiri dijadikan
sebagai alat untuk
menarik minat dan
perhatian para
Di dusun Sade,
Desa Rembitan,
kecamatan Pujut,
Kabupaten Lombok
Tengah juga
menyugukan
warisan budaya
yang menjadi daya
27
wisatawan untuk
berkunjung ke Pura
tersebut. Dengan tidak
memperhatikan nilai
asli yang terkandung
dalam Pura tersebut
yang merupakan
tempat Ibadah bagi
Umat Hindu.
tarik tersendiri
sehingga banyak
wisatawan yang
bekunjung untuk
menyaksikan
keunikan daerah
tersebut. Namun
tidak
memperhatikan
nilai asli serta
makna yang
terkandung dalam
warisan budaya
tersebut.
2. Rizki Petronaso dalam
Skripsi yang berjudul
“Komodifikasi Budaya
(Studi dikampung wisata
Dipowinata Kelurahan
Keparakan, kecamatan
Mergangsan, Kota
Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta)
bahwa bentuk
Komodifikasi yang
terjadi yaitu dimana
peninggalan budaya
dijadikan sebagai
komoditi yang
diperjualbelikan
kepada wisatawan
untuk menarik minat
wisatwan yang
Didusun Sade,
Desa Rembitan
juga menjadikan
potensi budaya
yang dimiliki
seperti kesenian
Presean, sebagai
komoditi yang
kemudian
dipasarkan
28
berkunjung seperti
kesenian karawitan,
kehidupan sosial
masyarakat jawa.
.
untukmenarik
minat wisatawan
yang berkunjung.
3. Diyah Ayu Retno
Widyastuti dalam Jurnal
Komunikasi vol. 1 No. 2
Januari 2011 berjudul
Komodifikasi Upacara
Religi Dalam Pemasaran
Pariwisata.
Bentuk komodifikasi
yang terjadi di Candi
Ceto yakni terlihat
pada Upacar Religi
Saraswati yang pada
mulanya bersifat
eksklusif dan hanya
untuk kalangan
terbatas khususnya
umat Hindu, tetapi
sekarang ini upacara
tersebut
pelaksanaannya dapat
diakses leluasa oleh
masyarakat umum.
Sama seperti
halnya Lambung,
Songket, yang
dulunya hanya
digunakan oleh
perempuan sasak
yang menajdi
identitas
perempuan sasak
namun sekarang
dijadikan sebagai
objek komodifikasi,
serta kesenian
Presean yang
dulunya hanya
diketahui oleh
masyarakat suku
sasak sekarang
sudah dapat diakses
29
oleh masyarakat
umum bahkan
masyarakat umum
sudah dapat
mempelajari
kesenian tersebut.
4. June Nash dalam Jurnal
ethnology tahun vol.39
No.2 tahun 2000 berjudul
Global Integration and
Commodification of
Culture
Perempuan
Kaqchnikel
melakukan tarian
tradisional dan
pertunjukan drama
untuk menarik
perhatian
parawisatawan untuk
berkunjung kedaerah
mereka. Tidak hanya
itu mereka juga
menyuguhkan
kehidupan tradisional
mereka seperti
menenun sebagai
pelestarian budaya
yang memikat hati
Dusun Sade, Desa
Rembitan juga
menyuguhkan
Presean sebagai
seni tradisional
yang mampu
menarik perhatian
wisatawan untuk
berkunjung ke
Dusun tersebut.
Tidak hanya itu
kehidupan sehari-
hari yang masih
tradisional juga
menjadi daya tarik
bagi wisatawan
yang dianggap
30
para wisatawan. unik, karena masih
mempertahankan
budaya yang telah
lampau.
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Komodifikasi
Komodifikasi (Comodification) adalah proses transformasi barang
yang bernilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi merupakan strategi
atau cara yang digunakan oleh para kapitalis untuk mengakumulasi kapital
dari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi tidak dapat
dipisahkan dari para kapitalis yang memperhitungkan untung dan rugi.
Komoditas selalu dipahami sebagi alat produksi yang dibuat untuk ditukar
dipasaran. Komoditas merupakan alat tukar yang perjualbelikan.
Komodifikasi dan komoditas merupakan dua hal yang berupa obyek dan
proses dan merupakan obyek para kapitalisme.
Komoditas muncul dari rentan kebutuhan sosial, termasuk
pemuasan rasa lapar fisik dan bertemu atau bertentangan dengan kode-
kode status dari kelompok sosial tertentu. Selain itu bertentangan dengan
beberapa interpretasi, nilai guna tidak terbatas untuk memenuhi kebutuhan
bertahan hidup tetapi meluas kerentang penggunaan yang dibentuk secara
sosial (Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali Akhmad, 2014 : 18).
31
Komodifikasi muncul berdasarkan atas tuntutan pasar serta konsumen
yang terus meningkat. Greenwood (1977) dalam Pitana (2005 : 83)
melihat bahwa proses komodifikasi dan komersialisasi berawal dari
hubungan wisatawan dengan masyarakat lokal. Kehadiran wisatawan
dipandang sebagai tamu dalam pengertian tradisional, yang disambut
dengan keramah tamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin
bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah menjadi
resiprositas dalam arti ekonomi yaitu atas dasar pembayaran, yang tidak
lain daripada proses komodifikasi atau komersialisasi (Anak Agung GD
Raka : 2015 dalam disertasi).
Barker berpendapat bahwa komodifikasi yaitu proses yang
diasosiasikan dengan kapitalis, yaitu objek, tanda, dan kualitas berubah
menjadi komoditas. Kapitalis sesuai dengan habitatnya adalah upaya untuk
mengumpulkan keuntungan atau nilai surplus dalam bentuk uang yang
diperoleh dengan menjual produk, baik yang mengandung nilai guna
maupun nilai tukar sebagai komoditas. Seperti yang dipaparkan Barker
bahwa komoditas yang dimaksud adalah objek, tanda, dan kualitas. Ketiga
elemen inilah diisyaratkan memiliki nilai guna dan nilai tukar untuk
dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau dengan uang (Anak Agung
GD Raka : 2015 dalam disertasi).
Komodifikasi juga dapat dilihat dari bentuknya yakni produksi,
distribusi dan konsumsi. Dalam konteksnya dengan penelitian yang
dilakukan yakni para pelaku komodifikasi mentransformasi warisan
budaya ke dalam simbol yang berbentuk cerita-cerita yang kemudian di
32
ceritakan oleh para pemandu wisata kepada para wisatawan untuk
memahami sejarah tentang Dusun Sade serta bentuk-bentuk budaya apa
saja yang ditinggalkan dan makna-makna yang melekat pada budaya-
budaya tersebut. Distribusi yakni proses simbol-simbol yang ditunjukkan
dengan berbagai suguhan budaya yang sedemikian rupa guna menarik
minat wisatawan untuk berkunjung dan menikmati suguhan budaya yang
disajikan. Seperti pertunjukan seni bela diri Presean, pengenalan
Lambung, Songket, Godek Nongkek, serta proses pembuatan kain songket
dengan menggunakan alat tenun yang disebut nyesek.
2.2.2 Warisan Budaya
Warisan budaya merupakan suatu bentuk benda-benda bersejarah
peninggalan nenek moyang. Warisan budaya menurut Davidson (19:12 )
dapat diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi
yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa
lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau
bangsa. Warisan budaya sendiri dapat berbentuk benda-benda seperti
keris, pedang, kerajinan tangan, kendi, dan sebagainya, dapat juga berupa
kesenian-kesenian tradisional seperti tarian, seni bela diri, alat musik
tradisional dan sebagainya. Dapat juga berupa bangunan artefak yang
dapat menjadi momentum peninggalan sejarah seperti Candi-candi,
bangunan rumah, tempat ibadah dan sebagainya.
Warisan budaya sering diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak
bergerak (Immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable
33
heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat
terbuka dan terdiri dari situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam
daratan maupun air, bangunan kuno atau bersejarah, patung-patung
pahlawan. Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan
dan terdiri dari benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, foto
karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video dan film (Galla dalam
Jurnal oleh Agus Dono Karmadi kepala subdin Kebudayaan Dinas P dan
K Jawa Tengah).
Warisan budaya di dusun Sade ini adalah semua harta kekayaan berupa
peninggalan budaya masa lalu yang ada di dusun Sade, desa Rembitan,
kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Bentuk dari warisan budaya ini berupa
peninggalan Rumah Adat, kesenian seperti Nyesek, Presean, serta pakaian
adat seperti Lambung, godek Nongkek, songket, serta tradisi-tradisi seperti
ngurisan, bulan beaq, merarik dengan cara menculik (Pelaik) yang
tentunya masih dilestarikan sampai sekarang ini oleh masyarakat dusun
Sade.
2.2.3 Pergeseran Nilai Masyarakat
Pergeseran merupakan proses terjadinya pergantian ataupun
perpindahan suatu kondisi ke bentuk lainnya yang menimbulkan adanya
perbedaan dari kondisi sebelumnya (Ivan dalam Jurnal).
Masyarakat selalu mengalami perubahan baik nilai maupun
strukturnya. Perubahan-perubahan tersebut selalu dipengaruhi oleh gerak-
gerak sosial, serta proses sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan sosial
34
masyarakat. Masuknya era modern juga mempengaruhi perubahan sosial
masyarakat yang dapat menimbulkan pergeseran nilai terhadap nilai
masyarakat tertentu. Perubahan zaman yang modern serta masuknya
kebudayaan baru terlebih dengan tuntutan kebutuhan telah membuat
masyarakat memiliki pola berpikir yang berbeda.
Aksiologis atau nilai merupakan salah satu bidang filsafat yang
berhubungan dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu yang terdiri
dari dua kajian yakni estetika dan etika. Nilai merupakan suatu bentuk
keyakinan masyarakat dalam menerima segala seuatu yang bersifat baik
maupun burul. Nilai sangat berkaitan erat dengan masyarakat, baik dalam
bidang etika yang mengatur segala tingkah laku masyarakat maupun
estetika yang berkaitan dengan keindahan, nilai juga dapat masuk melalui
etika masyarakat memahami agama dan keyakinan.
Terjadinya komodifikasi di Dusun Sade menyebabkan pergeseran nilai
sakral, dari suatu kebudayaan yang telah lama dipertahankan. Hilangnya
keaslian nilai disebabkan karena tuntutan pasar yang tidak terkendali yang
harus dipenuhi oleh para kaum kapitalis. Akibat dari pengaruh arus global
yang terjadi secara terus menerus sehingga menyebabkan kebutuhan massa
yang semakin menjadi.
2.2.4 Unsur-Unsur Budaya
Dalam sistem budaya terbentuk unsur-unsur budaya yang saling
berkaitan satu sama lain. Unsur-unsur budaya tersebut kemudian
menciptakan tata kelakuan manusia. Unsur-unsur budaya tersebut adalah
35
a. Bahasa
Bahasa merupakan sesuatu yang berasal dari kode, kemudian
dikembangkan menjadi tulisan hingga berubah menjadi lisan
yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi baik
dengan sesame individu atau individu dengan kelompok.
Dalam keseharian masyarakat Sade masih menggunakan
bahasa sasak untuk berkomunikasi. Bahasa sasak yang
digunakan dibagi menjadi dua. Bahasa sasak biasa dan bahasa
sasak halus. Bahasa sasak biasa digunakan untuk
berkomunikasi dengan teman atau kerabat yang seumuran atau
lebih kecil, sedangkan bahasa sasak halus digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
b. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan manusia berkaitan dengan rasa ingin tahu yang
dimiliki oleh manusia. rasa ingin tahu tersebut kemudian
mendorong timbulnya pengetahuan.
Pengetahuan masyarakat sasak Sade dalam menentukan
pelaksanaan tradisi, akan menggunakan kalender berdasarkan
atas bulan hijriah atau dalam istilah sasak dikenal dengan
istilah bulan atas. Berkembangnya Dusun sade sebagai
destinasi wisata lokal telah memberikan perkembangan
pengatahuan bagi masyarakat dalam mengelola wisata.
36
c. Organisasi Sosial atau Sistem Kekerabatan
Sistem organisasi sosial termasuk sistem organisasi kenegaraan
dan pemerintahan. Sistem sosial ini meliputi sistem
kekerabatan, kekeluragaan yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia.
Sistem pemerintahan masyarakat sade masih menggunakan
sistem dinasti dengan pemilihan kepala dusun yang merupakan
kepala adat berdasarkan atas garis keturunan.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Untuk melangsungkan kehidupannya manusia membutuhkan
sebuah perlengkapan sebagai penunjang kebutuhan.
Selanjutnya berbagai peralatan dari yang sederhana hingga
modern diciptakan seperti alat-alat rumah tangga, senjata,
teknologi, transportasi dan lain sebagainya.
e. Sistem Mata Pencaharian
Sistem mata pencaharian merupakan salah satu sistem
perekonomian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam
masyarakat tradisional memiliki sistem mata pencaharian
seperti bercocok tanam, meramu, berburu, menangkap ikan dan
berternak.
Sistem pencarian masyarakat Sade yakni bertani,beternak dan
menenun. Setelah berkembangnya Sade sebagai destinasi
wisata lokal menjadikan masyarakat Sade beralih profesi
37
menjadi pemandu wisata yang lebih banyak mendatangkan
keuntungan bagi masyarakat Sade.
f. Sistem Religi
Sistem religi merupakan sistem kepercayaan terhadap dewa-
dewa, animism, dinamisme dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Sistem kepercayaan masyarakat Sade menganut agama Islam.
Namun zaman dahulu masyarakat Sade menganut sistem
kepercayaan waktu telu yang tidak terdapat dalam ajaran islam.
Hal ini dikarenakan masyarakat masih belum sempurna
memahami ajaran agama Islam, serta masayarakat juga masih
belumlepas dari kepercayaan agama Hindu.
g. Kesenian
Kesenian berkaitan erat dengan estetika, nilai yang dimiliki
oleh setiap orang. Rasa keindahan inilah yang kemudian
melahirkan kesenian-kesenian yang berbeda antara kebudayaan
yang satu dengan yang lain.
Kesenian masyarakat Sade masih dilestarikan yakni Presean,
gendang beleq, amaq tempenges, dan sebagainya.
Berdirinya Sade sebagai Dusun yang masih mempertahankan adat istiadat,
tradisi serta kesenian tidak lepas dari unsur-unsur budaya yang menjadi bagian
penting dalam suatu kebudayaan serta kehidupan masyarakat tersebut.
38
2.3 Landasan Teori
a. Teori Komodifikasi (Adorno dan Horkheimer)
Teori ini digunakan untuk menjelaskan sebuah produk budaya
yang dianggap sakral menjadi profan dan menjadi milik masyarakat luas
(Barker dalam Santi Damayanti : 2014 dalam Skripsi).
Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah Marxis
adalah suatu bentuk transformasi hubugan yang bersifat komersil.
Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme
dimana objek, tanda-tanda diubah menjadi komoditas yaitu sesuai dengan
tujuan utamanya adalah terjual di pasar ( Barker dalam Santi Damayanti :
2014).
Karl Marx mengawali Capital dengan analisis tentang komoditas
karena dia menemukan bahwa komoditas telah menjadi bentuk paling
jelas, reprentasi paling eksplisit, dari produksi kapitalis. Kapitalisme
secara harfiah tampil sebagai koleksi komoditas yang luar biasa besarnya.
Salah satu kunci analisis Marxian adalah mendekonstruksi komoditas
untuk menentukan makna apa yang tampak untuk membongkar relasi-
relasi sosial yang membeku dalam bentuk komoditas. Marx mengambil
pandangan yang luas terhadap komoditas maupun terhadap nilai guna.
Bagi Marx (Marx dalam Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali
Akhmad, 2014 : 18) komoditas berasal dari rentang luas kebutuhan baik
fisik maupun budaya ( Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali Akhmad,
2014 : 18)
39
Komoditas muncul dari rentan kebutuhan sosial, termasuk
pemuasan rasa lapar fisik dan bertemu atau bertentangan dengan kode-
kode status dari kelompok sosial tertentu. Selain itu bertentangan dengan
beberapa interpretasi, nilai guna tidak berbatas untuk memenuhi kebutuhan
bertahan hidup tetapi meluas ke rentang penggunaan yang dibentuk secara
sosial (Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali Akhmad, 2014 : 18).
Komodifikasi merupakan salah satu cara atau strategi yang
dilakukan oleh para kapitalis dengan mentrasformasi nilai guna menjadi
nilai tukar. Menurut Pilliang ciri dari masyarakat postmodern adalah
dijadikannya hampir seluruh sisi kehidupan menjadi komoditas untuk
diperjualbelikan. Dalam hal inilah masyarakat postmo juga disebut
masyarakat consumer. Barker juga menyebutkan komoditas adalah produk
yang mengandung nilai guna dan nilai tukar. Komoditas adalah sesuatu
yang tersedia untuk dijual dipasar dan komodifikasi adalah proses yang
diasosiasi dengan kapitalisme yaitu objek, kualitas dan tanda berubah
menjadi komoditas (Anak Agung GD Raka dalam Skripsi).
Komodifikasi dalam era sekarang ini memang tidak dapat
dihindari. Hal ini dikarenakan kebutuhan pasar yang tidak bisa terkendali.
Sehingga membuat para kapitalisme melakukan komodifikasi dalam
berbagai hal terutama dalam bidang budaya. Adorno dan Horkheimer
(1979) dalam tulisannya The Culture Industry Enlightenment as Mass
Deception mengkritisi bahwa komodifikasi terjadi karena hasil dari
perkembangan suatu industry budaya. Dimana industri benda budaya
(music dan film) pada zaman-zaman pra industri diproduksi secara
40
otonom/murni, tidak ada campur tangan industry dengan segala sistem
pasar dalam proses produksinya. Namun dalam era globalisasi dengan
sistem kapitalisme memunculkan ledakan kebudayaan disegala aspek
kehidupan, sehingga memunculkan kebutuhan massa. Dalam hal ini,
sebuah industri telah memproduksi berbagai artefak kebudayaan yang
seolah telah menjadi kebutuhan massa dan menjadi faktor penentu dalam
proses produksinya, sehingga benda budaya yang sebelumnya dipenuhi
dengan nilai-nilai tinggi, otentik (authenticity), dan kebenaran (truth), oleh
industri budaya diproduksi secara massal menjadi komoditas yang penuh
dengan perhitungan laba (Profit).
Munculnya industri pariwisata di Indonesia memberikan tantangan
tersendiri bagi kesenian tradisonal untuk memenuhi kebutuhan pasar. akan
tetapi sebagai akibat pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkendali
terjadilah pencemaran seni budaya dan munculnya berbagai macam objek
wisata budaya. Dengan menanggalkan nilai kesakralan yang selama ini
diwariskan turuntemurun, para pelaku kesenian tradisional harus melayani
pemesanan pembeli. Lahirlah produk-produk seni secara massal yang tidak
didasarkan atas ide dan nilai-nilai yang selama ini melekat pada si pelaku
kesenian tradisional tersebut. Produk-produksi seni secara massal itu dijual
secara murah dan cepat. Sebagai contoh, dengan adanya alat teknologi
seperti taperecorder, TV, video player, VCD, DVD, membawa dampak
pada bentuk pertunjukan kesenian tradisional yang semula utuh dan sakral,
menjadi kemasan yang padat, ringkas, dan menghibur.
41
Gerakan komodifikasi kesenian tradisional di Indonesia tidak bisa
dihindari. Salah satu anak kandung yang dilahirkan arus globalisasi adalah
industri pariwisata. Industri pariwisatalah yang membentuk komodifikasi
budaya kesenian tradisional, karena dengan ditandai tuntutan turisme dan
pariwisata kesenian tradisional harus diperjualbelikan. Dengan
berkembangnya turisme dan pariwisata, menurut Kayam keberadaan
kesenian tradisional saat ini telah menjadi bagian dari komersialisasi
budaya. Globalisasi ekonomi bertolak dari kegiatan di sektor pariwisata
menuntut adanya hiburan berupa pertunjukan kesenian tradisional yang
sejalan dengan daya tarik objek wisata, dan lazim disebut sebagai atraksi
wisata (Agus Maladi Irianto dalam Jurnal komodifikasi budaya di era
ekonomi global terhadap kearifan lokal: Studi Kasus Eksistensi Industri
Pariwisata dan Kesenian Tradisional di Jawa Tengah Vol. 27 :2016)
Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah
merupakan dusun yang masih mempertahankan kebudayaan asli serta
masih dengan sangat telaten melestarikan budaya yang ditinggalkan oleh
nenek moyang. Mulai dari bangunan rumah yang masih sangat terlihat
murni kekhasan serta nilai yang terkandung. Tidak hanya bangunan rumah
di Dusun Sade juga masih mempertahankan adat-adat serta tradisi-traidisi
jaman nenek moyang yang mulai dari menenun Songket dari benang yang
terbuat dari kapas yang diolah menjadi benang dengan pengolahan-
pengolahan tradisional, serta Lambung yang merupakan pakaian
perempuan sasak yang menjadi identitas serta pelestarian kesenian
Presean yang merupakan kesenian yang biasanya dilakukan oleh laki-laki
42
dewasa untuk menunjukkan keperkasaannya Presean juga biasanya
digunakan oleh suku sasak untuk meminta hujan dikala musim kemarau.
Komodifikasi memang tidak dapat dihindarkan. Adanya budaya
menjadi objek yang dijadikan komoditas oleh para kapitalis dengan
memperjualkan nilai budaya demi kepentingan pasar. Dusun Sade
sekarang telah menjadi pusat perhatian wisatawan mancanegara maupun
lokal dikarenakan potensi budaya yang kental yang dilestarikan sehingga
menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung. Budaya sebagai alat
komodifikasi telah kehilangan eksistensi nilai yang melekat. Kesakralan
yang melekat pada suatu budaya berangsur bergeser karena telah
ditempatkan pada apa yang bukan seharusnya. Budaya telah dipaksakan
untuk mengikuti kebutuhan serta tuntutan pasar. Budaya telah tenggelam
dalam ideologi dominasi kaum elit. Presean misalnya yang dijadikan
komoditas untuk menarik perhatian para wisatawan sehingga dituntut
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ada beberapa bagian yang
memang sengaja dihilangkan seperti tidak dibacakannya mantra-mantra
ketika pertandingan berlangsung, tidak digunakannya pecahan botol pada
penjalin serta tidak ada yang terluka ketika bertanding. Hal ini tentunya
menyebabkan hilangnya nilai esensial yang telah melekat pada
kebudayaan tersebut.
Budaya telah terjebak dalam ideologi hegemoni kapitalis, yang
menjadikan nilai sakral yang terdapat dalam budaya menjadi bergeser.
Budaya yang semula hanya menjadi nilai guna kini telah menjadi nilai
43
tukar yang memberikan keuntungan bagi kapitalis. Tidak hanya itu
kehadiran pariwisata juga telah menjadikan kehidupan interaksi tradisional
masyarakat menjadi ruang-ruang interaksi pasar. pekarangan rumah yang
semula digunakan untuk berinteraksi dengan warga sehingga
menimbulkan ikatan kekeluargaan kini telah dijadikan sebagi ruang-ruang
yang dimana masyarakat menjajakkan hasil jualannya yang kemudian
menimbulkan persaingan bebas antarwarga.