bab ii kajian pustaka 2.1 strategi bersaing 2.1.1...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Strategi Bersaing
2.1.1 Konsep
Strategi bersaing merupakan upaya mencari posisi
bersaing yang menguntungkan dalam suatu arena
fundamental di mana persaingan berlangsung (Porter, 2007).
Selain itu, menurut Kotler (2001) strategi bersaing adalah
strategi yang secara kuat menempatkan institusi terhadap
pesaing dan yang memberi institusi keunggulan bersaing
sekuat mungkin. Strategi bersaing juga merupakan suatu
rencana untuk pembagian dan penggunaan kekuatan suatu
lembaga dan material pada daerah-daerah tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu bagi suatu lembaga (Tjiptono
2000). Sangat penting untuk diketahui bahwa strategi
bersaing sebenarnya mendefinisikan tujuan lembaga
pendidikan dan kewajiban organisasi kepada para pemangku
kepentingan, berkaitan dengan keunggulan kompetitif
organisasi dengan posisi organisasi di lingkungan dan
mendefinisikan produk bisnis dari organisasi atau lingkup
pasar (Gongera & Okoth, 2012).
Dari paparan diatas nampak bahwa bagi Porter strategi
bersaing berkaitan dengan posisi bersaing sedangkan bagi
Kotler berkaitan dengan penempatan institusi. Maka kedua
pendapat ini sesungguhnya menunjukkan pendapat yang
sama mengenai makna strategi bersaing. Berbeda dengan
keduanya, Tjiptono cenderung menganggap strategi bersaing
sebagai pembagian kekuatan pada daerah-daerah tertentu
suatu lembaga, sedangkan Gongera dan Okoth menganggap
strategi bersaing sebenarnya mendefinisikan tujuan
lembaga/institusi itu sendiri. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa strategi bersaing adalah upaya yang
dilakukan atau diperjuangkan institusi untuk memenangkan
persaingan dan memperoleh keunggulan yang efektif dengan
pembagian kekuatan tertentu dalam rangka mencapai tujuan
lembaga atau insitusi itu sendiri.
2.1.2 Teori Strategi Bersaing
Strategi bersaing banyak diterapkan oleh perusahaan
maupun institusi yang bergerak di bidang jasa. Salah satu
teori strategi bersaing yang digunakan adalah teori strategi
bersaing yang digagas dan dikembangkan oleh Michael
E.Porter. Menurut Porter (2007), strategi bersaing digunakan
untuk memperoleh keunggulan bersaing dan menghadapi
pola umum peta persaingan dalam pasar yang biasanya
melibatkan kekuatan-kekuatan, antara lain : (1) masuknya
pendatang baru, (2) ancaman yang sama (subtitusi), (3)
kekuatan tawar-menawar pembeli (pengguna jasa), (4)
kekuatan tawar-menawar penyuplai, (5) upaya bersaing
untuk saling mendahului. Dalam menghadapi peta kekuatan
persaingan tersebut, maka strategi bersaing sebenarnya
bertujuan untuk membina posisi di mana suatu lembaga
dapat melindung diri sendiri dengan sebaik-baiknya terhadap
kekuatan tekanan persaingan atau dapat mempengaruhi
tekanan tersebut secara positif.
Strategi bersaing yang efektif menyangkut tindakan
menyerang (ofensif) ataupun tindakan bertahan (defensive)
guna untuk menciptakan posisi bertahan yang aman
(defendable position). Kunci untuk mengembangkan strategi
adalah menyelidiki dan menganalisis sumber masing-masing
kekuatan untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive
advantage) yang berkelanjutan (Porter, 2007; Coyne; Stalk &
Lachenauer, dalam Waweru 2011). Dalam strategi bersaing,
menurut Porter (2007) terdapat tiga pendekatan strategi
generik yang terdapat pada organisasi dan berpotensial dapat
berhasil mengungguli pesaing lainnya dalam suatu bidang
yaitu, (1) differentiation (diferensiasi), (2) Cost-based
Leadership (Keunggulan Berbasis Biaya) dan (3) focus (fokus).
Deskripsi dari strategi generik Porter (2007) dapat
digambarkan sebagai berikut :
Keunggulan yang Posisi
dirasakan pelanggan Biaya Rendah
Seg. Luas
Seg.Tertentu
Gambar 2.1 Strategi Generik Bersaing, (Porter,2007).
a. Strategi Differensiasi
Dalam menghadapi persaingan, institusi hadir dengan
ciri unik atau strategi yang membedakannya dari lainnya.
Porter (2007) mengemukakan bahwa differensiasi yaitu
strategi suatu lembaga dalam memberikan penawaran yang
berbeda dibandingkan dengan penawaran yang diberikan
pesaing dengan menciptakan sesuatu yang baru dan
dirasakan memiliki keunikan. Ferdinand (2003)
mengungkapkan bahwa institusi harus menciptakan dan
mengembangkan berbagai “point of differentiation” karena
pelanggan selalu diposisikan sebagai pribadi yang cenderung
Diferensiasi Keunggulan
Berbasis Biaya
FokusTarg
et S
trate
gis
untuk mencari “sesuatu yang berbeda” dari berbagai macam
alternatif yang dihadapinya.
Kartajaya (2010) mendefinisikan strategi differensiasi
sebagai semua upaya yang dilakukan institusi untuk
menciptakan perbedaan diantara para pesaing yang
tujuannya memberikan nilai terbaik untuk konsumen,
memelihara loyalitas pelanggan dimana dengan
menggunakan strategi differensiasi maka pelanggan dapat
memiliki nilai lebih dibanding produk lainnya. Strategi
diferensiasi sesungguhnya menawarkan produk yang
berbeda, layanan pelanggan, sistem, atau citra produk.
Dengan menawarkan perbedaan, maka produk suatu
lembaga “menjadi lebih baik” dapat mengisi harga yang lebih
tinggi; menjual lebih banyak produk, atau keduanya (Syah
dkk, 2003; Hemmatfar, 2010).
Dari deskripsi diatas terlihat bahwa pendapat
Ferdinand (2003), Kartajaya (2010), Porter (2007), Syah dkk
(2003) dan Hemmatfar (2010) cenderung sama dalam
mengartikan diferensiasi yaitu berkaitan dengan upaya
membuat atau menawarkan perbedaan dimata
konsumen/pelanggan. Hal ini berarti bahwa dengan
menawarkan perbedaan maka institusi mampu menjual lebih
banyak produk, memberikan layanan kepada pelanggan
ataupun citra produk itu sendiri. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa strategi diferensiasi merupakan upaya
yang dilakukan institusi berupa penciptaan atau penawaran
hal yang berbeda kepada konsumen/pelanggan baik berupa
produk, layanan, sistem dan lainnya sehingga mampu
memiliki nilai lebih daripada pesaing. Strategi diferensiasi
yang dijalankan oleh institusi dapat diketahui dari ciri
strategi differensiasi, sebagai berikut :
Tabel 2.1 Ciri-ciri Strategi DifferensiasiCiri-ciri Strategi Differensiasi
Basis dari keunggulan kompetitif
Kemampuan menawarkan sesuatu yang berbeda dari pesaing-pesaing
Target Strategis Pangsa pasar yang luas
Penekanan Produksi Menemukan cara-cara untuk menciptakan nilai kepada masyarakat dan mendorong ke produk yang berkualitas.
Penekanan Pemasaran Membangun fitur-fitur yang dapat membuat masyrakat bersedia membayar dengan harga tinggi untuk menutupi biaya ekstra dari fitur-fitur yang berbeda.
Mempertahankan Strategi
Mengkomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan cara menguntungkan. Menekankan inovasi-inovasi untuk selalu berada di depan pesaing-pesaing yang meniru
Sumber : Widhaestoeti, dalam Kastanya (2013)
Kelima ciri diatas dapat menjadi petunjuk untuk
mengenal bahwa adanya strategi diferensiasi yang diterapkan
oleh sebuah institusi. Ciri ini menjadi sangat penting karena
mampu membedakan institusi dengan pesaing lainnya.
Namun, walaupun mampu menjadi pembeda ternyata ada
pula beberapa resiko yang dihadapi dalam menjalankannya.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Porter (2007), :
(1) Produk unik tersebut bisa saja dinilai cukup tinggi oleh
pelanggan dibandingkan dengan harganya yang lebih
tinggi jika hal ini terjadi maka strategi keunggulan biaya
akan dapat mengalahkan strategi differensiasi.
(2) Pesaing mungkin mengembangkan cara meniru fitur
differensiasi dengan cepat. Maka, institusi harus mampu
menemukan sumber keunikan yang tahan lama, tidak
dapat ditiru dengan cepat oleh pesaing atau lainnya.
(3) Daya tahan nilai, strategi diferensiasi tidak akan
mendorong tercapainya keuntungan dalam jangka
panjang kecuali jika bernilai bagi pelanggan dan tidak
bisa ditiru pesaing. Maka, institusi harus menemukan
sumber kenunikan yang tahan lama dan terlindung dari
peniruan sehingga mampu bertahan dalam arena
persaingan.
Pendapat Porter tersebut diatas menunjukan bahwa
ada tiga resiko yang dihadapi institusi dalam menjalankan
strategi diferensiasi yaitu menyangkut nilai yang tinggi,
peniruan oleh pesaing dan bahkan daya tahan nilai itu
sendiri. Ketiga hal ini dapat menjadi dasar pertimbangan
institusi dalam menerapkan diferensiasi. Oleh karena itu,
mendukung pernyataan Porter maka Kartajaya (2010)
mengemukakan untuk menghindari resiko-resiko tersebut
maka ada 3 hal yang perlu diperhatikan institusi dalam
melakukan strategi differensiasi yaitu konten, konteks dan
infrastruktur.
(1) Konten (content), menunjuk pada “apa” value yang
institusi tawarkan kepada konsumen. Hal ini
merupakan bagian tangible dari diferensiasi. “tangible”
merupakan sebagai citra, merek yang dimiliki institusi
yang tidak dimiliki institusi lainnya.
(2) Konteks (context), yang menunjuk pada “cara” (how to
offer) bagaimana institusi menawarkan value kepada
pelanggan. Dimana institusi membedakan diri dari
pesaing berdasarkan pada bagaimana cara menawarkan
value ke pelanggan.
(3) Infrastruktur (infrastructure) berkaitan dengan faktor-
faktor pemungkin (enable) terealisasikannya diferensiasi
konten, konteks diatas, dimana dimensi ini
menunjukan pada beban terhadap pesaing berdasarkan
kemampuan teknologi (technology), SDM (people) dan
kepemilikkan fasilitas (facility) untuk mendukung
menciptakan diferensiasi konten dan konteks diatas.
Ketiga hal yang dipaparkan oleh Kartajaya (2010)
tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa institusi perlu
memperhatikan kemampuan internal dalam menerapkan
strategi diferensiasi. Berkaitan dengan penerapan strategi
diferensiasi, dalam studinya Kotler dalam Lestari (2005)
mengungkapkan bahwa institusi yang bergerak di bidang
jasa juga dapat menawarkan diferensiasi dari beberapa segi,
berikut ini :
(1) Diferensiasi Produk (product differentiation)
Membedakan produk utama berdasarkan
keistimewaan, kinerja, kesesuaian, daya tahan, keandalan,
kemudahan untuk diperbaiki, gaya dan rancangan produk
(Kotler, 2002). Dalam penelitian-penelitian di bidang jasa,
khususnya ranah pendidikan ditemukan bahwa strategi
diferensiasi produk yang secara fisik dapat dilihat tertuang
dalam program unggulan sekolah. Program unggulan ini
memiliki keistimewaan dibanding dengan pesaing lainnya
(Admin, 2013).
Pandangan diatas didukung oleh berbagai hasil
penelitian. Wulandari (2012) misalnya menemukan bahwa
strategi diferensiasi dilakukan melalui penerapan program
unggulan di Junior High School Of Universe Parung-Bogor.
Selain itu, Siti (2013) menemukan bahwa strategi diferensiasi
dilakukan melalui upaya pengembangan program unggulan
akselerasi di Madrasah Aliyah Negeri 1 Bojonegoro. Ada pula
penelitian Kastanya (2013) yang menemukan bahwa strategi
diferensiasi SMP Kristen Ambarawa dilakukan melalui
program unggulan sekolah yaitu Multiple Intelligences, Moving
Class, Sekolah Lima Hari, Wasana Warsa Sekolah Kristen
Lentera, Hari Budaya, Field Trip dan Parent Seminar yang
melibatkan pihak guru, siswa dan masyarakat.
Penelitian oleh Noya (2013) menunjukkan bahwa
strategi diferensiasi melalui program unggulan SMA Kristen 1
Salatiga berupa Peduli Kasih, Program Khusus Kewira
Usahaan dan Agri Bisnis, Field Trip, pengembangan diri,
sekolah lima hari dan moving class. Penelitian lainnya oleh
Sapulette (2014) menemukan bahwa strategi diferensiasi
melalui program unggulam SD Kristen 1 Purwokerto yaitu
Multiple Intelligences, sekolah lima hari, kegiatan kerohanian
KTB (Kegiatan Tumbuh Bersama) dan reatreat.
(2) Diferensiasi Pelayanan (Service differentiation)
Pada diferensiasi pelayanan, institusi memberikan
pelayanan yang khas dan berbeda dari institusi lainnya,
sehingga akan mampu memberikan kualitas pelayanan yang
lebih baik dari pesaingnya dan mampu memenangkan
persaingan. Oleh karena itu, kualitas pelayanan adalah
strategi yang mendasar untuk sukses dan bertahan dalam
lingkungan persaingan yang kuat (Kotler,2002). Dalam
penelitian di bidang jasa pendidikan, penelitian Pratiwi (2013)
misalnya, menemukan bahwa strategi diferensiasi pelayanan
dilakukan oleh LKP Eddy’s English melalui metode
pembelajaran yang bervariasi dan moving class. Selain itu,
penelitian oleh Sudirman (2014) menemukan bahwa strategi
diferensiasi pelayanan dapat dilakukan oleh Pergururan
Tinggi melalui ketersediaan dosen yang memiliki kompetensi
keilmuan, perpustakaan yang representatif, teknologi
pendidikan, kegiatan seni dan olahraga, penerbitan kampus,
kegiatan ilmiah, alumni, penampilan kampus dan lokasi
kampus yang strategis.
(3) Diferensiasi Citra Institusi
Dalam diferensiasi citra, pelanggan dapat membentuk
citra institusi di masyarakat, sehingga perusahaan harus
memberikan kesan yang baik kepada pelanggan. Oleh karena
itu, institusi harus merancang identitasnya untuk
membentuk citra perusahaaan di masyarakat dengan
pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan (Kotler,
2002). Dalam konteks pendidikan, penelitian Taufiq (2009)
misalnya menemukan bahwa strategi citra institusi
dilakukan SD Al-Kautsar Plus Malang yaitu membangun
kejujuran, kedisplinan dan pluralisme sebagai pembeda
dengan sekolah lainnya. Selain itu, penelitian Pratiwi (2013)
menemukan bahwa strategi diferensiasi citra LKP Eddy’s
English dilakukan melalui moto “Great Communicators”,
program siaran berbahasa Inggris di RRI Pro 2 FM Jember,
dan juga personal branding.
b. Strategi Keunggulan Berbasis Biaya
Strategi keunggulan berbasis biaya menyangkut biaya
rendah yang ditawarkan suatu lembaga. Biaya rendah adalah
kemampuan sebuah unit bisnis atau suatu lembaga untuk
merancang, membuat, dan memasarkan sebuah produk
sebanding dengan cara yang lebih efisien daripada
pesaingnya (Hunger & Wheelen 2003). Memiliki posisi
berbiaya rendah akan membuat suatu lembaga memperoleh
hasil di atas rata-rata dalam bidangnya meskipun ada
kekuatan persaingan yang besar.
Posisi biaya memberikan kepada suatu lembaga
ketahanan terhadap rivalitas dari para pesaing, karena
biayanya yang lebih rendah memungkinkannya untuk tetap
dapat menghasilkan laba setelah para pesaingnya
mengorbankan laba mereka demi persaingan (Porter, 2007).
Strategi keunggulan biaya berusaha untuk menyediakan
standar rendah, tanpa embel-embel, produk volume tinggi
dengan harga yang paling kompetitif kepada pelanggan (Li &
Li, dalam Baroto dkk, 2012).
Dari penjelasan-penjelasan diatas terlihat bahwa ada
persamaan pandangan antara Hunger & Wheelen (2003),
Porter (2007), Li & Li dalam Baroto dkk (2012) yang
mengungkapkan bahwa strategi keunggulan berbasis biaya
menyangkut penawaran biaya rendah kepada konsumen atau
pelanggan. Hal ini berarti bahwa penawaran dilakukan
dengan mengefisienkan standar produk baik proses
perancangan hingga pemasaran agar lebih kompetitif
dibanding pesaing. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa strategi keunggulan biaya berbasis biaya merupakan
upaya yang dilakukan institusi melalui penawaran biaya
rendah kepada konsumen/pelanggan dengan mengefisienkan
standarnya sehingga mampu menghasilkan laba atau hasil
yang lebih yangdaripada pesaing. Strategi keunggulan biaya
yang diterapkan institusi, dapat dilihat dari cirinya sebagai
berikut :
Tabel 2.2 Ciri-ciri Keunggulan BiayaCiri-ciri Strategi Keunggulan Biaya
Basis dari keunggulan kompetitif
Biaya-biaya lebih rendah bila dibandingkan dengan pesaing-pesaing
Target Strategis Pangsa pasar yang luas
Penekanan Produksi Pencarian terus menerus untuk pengurangan biaya tanpa mengurangi kualitas yang diterima dan fitur-fitur yang penting
Penekanan Pemasaran Mencoba membuat fitur-fitur produk lebih baik yang ditawarkan dengan harga rendah
Mempertahankan Strategi Harga-harga yang ekonomis.Kuncinya adalah mengelola biaya-biaya menurun setiap tahun dalam semua aspek
Sumber : Widhaestoeti, dalam Kastanya (2013)
Kelima ciri diatas menjadi sangat penting untuk
insitusi karena mampu menawarkan biaya rendah atau
murah kepada masyarakat sehingga dapat diminati. Namun,
walaupun menawarkan biaya murah ternyata institusi tidak
terhindarkan dari hambatan yang dihadapi. Hambatan
tersebut menurut Porter (2007), antara lain :
(1) Kepemimpinan biaya mengalami erosi atau menghilang
akibat adanya pesaing yang meniru hal yang sama,
adanya perubahan teknologi, dan hal lainnya. Maka,
institusi harus tanggap terhadap trend perubahan
secara eksternal misalnya tuntutan teknologi.
(2) Adanya kerugian yang dialami oleh pesaing yang
menggunakan strategi diferensiasi. Maka institusi
harus mengantisipasi kemungkinan institusi lain
bermanuver ke keunggulan biaya.
(3) Adanya pesaing lain yang menggunakan strategi yang
sama bisa mencapai biaya produksi yang lebih rendah
dalam suatu segmen pasar tertentu.
Ketiga hambatan yang dipaparkan Porter (2007) yaitu
erosi keunggulan biaya, kerugian oleh pesaing maupun
kesamaan dengan pesaing dapat dipertimbangkan institusi
dalam menerapkan strategi keunggulan biaya. Oleh karena
itu, institusi harus mampu menghindari hambatan-
hambatan tersebut. Dalam upaya mengindari hambatan
tersebut, ada pendapat yang diungkapkan oleh Umar (1999)
bahwa institusi khususnya yang bergerak di bidang jasa
dalam menawarkan biaya murah harus mampu memenuhi
persyaratan di dua bidang, yaitu:
(1) Segi organisasi. Institusi harus memiliki kemampuan
mengendalikan biaya dengan ketat, informasi
pengendalian yang baik, insentif berdasarkan target
(alokasi insentif berbasis hasil).
(2) Sumber daya (resources). Strategi ini hanya mungkin
dijalankan jika dimiliki beberapa keunggulan di
bidang sumber daya, yaitu: kuat akan modal, terampil
pada rekayasa proses (process engineering),
pengawasan yang ketat, serta biaya promosi rendah.
Dengan kata lain financial atau keuangan yang
memiliki peran penting dalam menjalankan strategi
biaya rendah.
Kedua hal diatas yang dinyatakan oleh Umar (1999)
sesungguhnya menunjukkan bahwa sebuah institusi
khususnya dalam bidang jasa dalam menjalankan
keunggulan biaya perlu memperhatikan kemampuan secara
internal dan tentu pula menjadi dasar bagi institusi dalam
menerapkan strategi keunggulan biaya. Berkaitan dengan hal
ini, dalam penelitian di bidang jasa yaitu ranah pendidikan
menunjukkan bahwa strategi keunggulan biaya dilakukan
dengan cara mengefisienkan seluruh biaya operasionalnya
sehingga menghasilkan jasa yang bisa dijual lebih murah
dibandingkan pesaingnya. Strategi keunggulan biaya ini
berfokus pada harga, sehingga pada umumnya sekolah tidak
memperhatikan berbagai faktor pendukung dari jasa ataupun
harga. Hal utama bagi pihak sekolah adalah menawarkan
jasa dengan harga yang sangat bersaing (Wijaya, 2008).
Penelitian lainnya oleh Noya (2013), menemukan
bahwa strategi keunggulan berbasis biaya dilakukan oleh
SMA Kristen 1 Salatiga melalui penawaran biaya SPP dan
uang kegiatan yang lebih murah dibandingkan dengan
sekolah swasta lainnya di salatiga. Ada pula penelitian yang
dilakukan oleh Sapulette (2014), hasilnya menunjukkan
bahwa strategi keunggulan berbasis biaya dilakukan oleh SD
Kristen 1 Purwokerto melalui penawaran biaya SPP murah
dibanding SD Kristen lainnya. Hasil-hasil penelitian tersebut,
sesungguhnya menunjukkan bahwa sekolah menjalankan
strategi keunggulan biaya melalui penawaran harga murah
melebihi pesaing atau sekolah lainnya.
c. Strategi Fokus
Strategi fokus berarti lembaga mampu melayani target
yang sempit secara lebih efektif dan efisien dibandingkan
pesaing yang bersaing lebih luas. Strategi ini paling efektif
ketika konsumen memiliki persyaratan unik dan ketika
lembaga pesaingnya tidak berusaha untuk melakukan
spesialisasi yang sama (David, 2008). Pemilih strategi fokus
ini memilih suatu bagian atau kelompok bagian tertentu dan
menyesuaikan strateginya untuk melayani bagian atau
kelompok segmen ini secara khusus. Dengan
mengoptimumkan strateginya untuk segmen target yang
dipilih, suatu lembaga fokus berupaya mencapai keunggulan
bersaing dalam segmen targetnya walaupun tidak memiliki
keunggulan bersaing secara menyeluruh (Porter, 2007).
Dari pernyataan keduanya, nampak bahwa David
(2008) mengartikan strategi fokus pada kemampuan lembaga
dengan target sempit yang mana sejalan dengan pernyataan
Porter (2007) yaitu fokus menunjuk pada pemilihan
kelompok atau segmen target yang dilayani. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi fokus
merupakan upaya yang dilakukan institusi dalam memilih
dan melayani kelompok atau target segmen tertentu agar
berfokus mencapai keunggulan dibanding pesaing yang
bersaing secara luas.
Selain itu, menurut Hunger & Wheelen (2003) strategi
fokus sebenarnya terdiri atas dua varian, yaitu :
a. Fokus biaya adalah strategi bersaing yang berfokus
pada kelompok masyarakat atau lingkungan tertentu
dan mencoba melayani segmen target tersebut dan
mengabaikan yang lain. Dalam menggunakan fokus
biaya, suatu lembaga mencari keunggulan biaya pada
segmen sasarannya. Strategi ini didasarkan pada
keyakinan bahwa suatu lembaga yang
mengkonsentrasikan upaya-upaya dapat melayani
target strategisnya yang sempit dengan lebih efisien
dibandingkan para pesaingnya.
b. Fokus diferensiasi, suatu lembaga mencari diferensiasi
dan memanfaatkan kebutuhan khusus masyarakat
pada segmen tertentu. Strategi ini dihargai karena
adanya keyakinan bahwa lembaga yang memfokuskan
usaha-usahanya dalam sasarannya yang sempit lebih
efektif daripada pesaingnya.
Strategi keunggulan biaya yang diterapkan institusi,
dapat dilihat dari cirinya, antara lain :
Tabel 2.3 Ciri-ciri Strategi FokusCiri-ciri Strategi Fokus
Basis dari keunggulan kompetitif
Biaya rendah dalam melayani kelompok tertentu atau kemampuan menawarkan sesuatu yang disesuaikan dengan kebutuhan dan selera dari kelompok tersebut.
Target Strategis Segmen pasar sempit (kelompok tertentu)
Penekanan Produksi Dibuat khusus untuk segmen tertentu
Penekanan Pemasaran Mengkomunikasikan kemampuan unik produk untuk memuaskan kebutuhan khusus dari pembeli
Mempertahankan Strategi
Secara penuh melayani pelanggan dengan lebih baik dari pesaing-pesaingnya
Sumber : Widhaestoeti, dalam Kastanya (2013)
Ciri-ciri diatas menjadi sangat penting karena institusi
mampu menentukan segmen pasar yang dilayani Dengan
fokus layanan yang sempit maka pelanggan dapat terlayani
dengan baik. Namun, disisi lain menurut Porter (2007) perlu
diketahui bahwa institusi yang menerapkan strategi fokus
akan kurang berhasil atau mengalami kegagalan, apabila:
(1) Adanya pesaing yang meniru strategi fokus.
(2) Segmen pasar yang menjadi target menjadi tidak lagi
atraktif akibat erosi struktural dan permintaan yang
menurun.
(3) Adanya pesaing dengan segmen pasar yang lebih luas,
yang mencakup juga segmen pasar tersebut, dimana
segment tersebut tidak berbeda jauh dari segmen lain
dan adanya keuntungan yang lebih tinggi dari segmen
pasar yang lebih luas.
(4) Adanya institusi baru yang fokus pada suatu sub-
segmen industri tertentu.
Keempat hal mengenai kegagalan yang akan dialami
institusi mengenai strategi fokus yaitu peniruan oleh pesaing,
erosi permintaan, pangsa pasar pesaing yang luas bahkan
ancaman institusi pengganti semestinya menjadi
pertimbangan insitusi dalam menerapkan strategi fokus.
Dalam kaitannya dengan penerapan strategi fokus, penelitian
dalam bidang jasa yaitu lembaga pendidikan menunjukkan
bahwa sekolah dengan ciri strategi fokus melihat bahwa
sangat penting menentukan sasaran yang dicapainya, dalam
hal ini ada satu sasaran saja yaitu menentukan segmen
pasar yang ingin dilayani. Layanan dilakukan baik fokus
pada biaya maupun diferensiasi (Wijaya, 2008).
Penelitian lainnya oleh Prabowo dkk (2004),
menemukan bahwa strategi strategi fokus diferensiasi dapat
dilaksanakan oleh Pendidikan Tinggi Komputer di Pulau
Jawa karena persaingan yang semakin meningkat dan
diiringi kekuatan menawar perguruan tinggi komputer yang
semakin lemah terhadap konsumennya. Selain itu, penelitian
oleh Sulung (2010) menunjukkan bahwa dalam penentuan
strategi bisnis ternyata strategi fokus baik diferensiasi dan
biaya sangat tepat dijalankan oleh Sekolah Tinggi Teknologi
Informasi Muhammadiyah Samarinda untuk dapat bersaing
dengan sekolah-sekolah negeri dan swasta lainnya. Ada pula
penelitian yang dilakukan oleh Jacqueline, M. (2012),
hasilnya menunjukkan bahwa strategi fokus diferensiasi
adalah pilihan tepat untuk dijalankan oleh sekolah Cahaya
Harapan Bekasi sebagai strategi utama pengembangan
bisnisnya.
Bertolak dari hasil-hasil penelitian strategi fokus dalam
bidang pendidikan tersebut, maka dapat dilihat bahwa setiap
sekolah menggunakan strategi fokus dengan menentukan
segemen yang ingin dilayani baik secara diferensiasi yang
membedakan dengan pesaing sekolah lainnya maupun
keunggulan berbasis biaya yaitu menawarkan harga murah.
2.2 Evaluasi Strategi Bersaing
2.2.1 Konsep
Dalam kegiatan manajemen strategik, evaluasi strategi
sebenarnya bagian dari proses manajemen strategi yaitu:
perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi
strategi. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dalam
manajemen strategik atau setelah strategi diterapkan dalam
praktek nyata dinilai ekspektasi dan pencapaian tujuan
institusi. Penilaian dilakukan dengan mengukur faktor-faktor
atau indikator sukses yang dicapai dan mengevaluasi
keberhasilan kinerja dari strategi guna perumusan dan
penerapan lanjutan dimasa yang akan datang agar lebih baik
dan efektif (David, 2008).
Menurut Coulter dan Robinson (2005), evaluasi strategi
sebenarnya meneliti bagaimana strategi telah dilaksanakan
atau hasil dari strategi itu sendiri sesuai tujuan organisasi.
Ini termasuk menentukan apakah tenggat waktu telah
terpenuhi, apakah langkah-langkah pelaksanaan dan proses
bekerja dengan benar, dan apakah hasil yang diharapkan
telah dicapai. Jika ditentukan bahwa tenggat waktu tidak
terpenuhi, proses tidak bekerja, atau hasilnya tidak sesuai
dengan tujuan yang sebenarnya, maka strategi dapat, dan
harus diubah atau dirumuskan.
Mintzberg dkk (2000) evaluasi strategi sebenarnya
menilai apakah strategi yang digunakan efektif dan apakah
organisasi efisien dalam mencapai tujuan. Ketika
mengevaluasi efektivitas strategi, maka menyiratkan
perspektif strategis yang tepat dan dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan masa depan, terkait dengan misi dan
tujuan yang jelas, yang dikomunikasikan, dipahami dan
menyebabkan penyediaan produk-produk berkualitas, dan
tingkat tinggi dari jasa.
Dari penjelasan-penjelasan diatas nampak bahwa ada
persamaan maupun perbedaan pandangan mengenai
pengertian evaluasi strategi yang dikemukakan oleh David
(2008), Coulter dan Robinson (2005) maupun Mintzberg dkk
(2000). Persamaannya yaitu evaluasi strategi dipandang
sebagai penilaian terhadap pelaksanaan strategi dalam
mencapai tujuan institusi. Hal ini berarti bahwa setelah
strategi dilakukan atau diterapkan oleh institusi kemudian
dilakukan penilaian terhadap strategi tersebut apakah sudah
mencapai tujuan institusi.
Sedangkan perbedaan pandangan mengenai evaluasi
strategi terlihat melalui pendapat David (2008) bahwa dalam
mengevaluasi, penilaian dilakukan dengan mengukur faktor-
faktor atau indikator sukses yang dicapai dan kinerja
institusi, sedangkan Coulter dan Robinson (2005)
mengungkapkan bahwa penilaian dilakukan terhadap
pencapaian tenggat waktu yang ditetapkan apakah sudah
terpenuhi juga memeriksa langkah-langkah pelaksanaan dan
proses penerapan strategi apakah sudah bekerja dengan
benar. Selain itu, Mintzberg dkk (2000) mengungkapkan
bahwa penilaian dilakukan terhadap keefektifan strategi
melalui perspektif yang dikembangkan apakah sesuai dengan
kebutuhan masa depan yang terkait dengan misi untuk
penyediaan produk maupun jasa dengan kualitas tinggi.
Dari paparan tersebut nampak bahwa perbedaan
pendapat ketiganya mengenai evaluasi strategi terletak pada
cara menilai atau indikator penilaian yang digunakan untuk
menilai strategi yang diterapkan institusi. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa evaluasi strategi merupakan
penilaian terhadap strategi yang diterapkan dalam mencapai
tujuan institusi baik melalui penilaian faktor-faktor sukses,
kinerja, pemeriksaan prosedur pelaksanaan strategi,
pencapaian tenggat waktu, maupun perspektif strategis
terkait kebutuhan masa depan yang dikembangkan institusi.
Bertolak dari hal ini, maka jika dikaitkan dengan
strategi bersaing sebagai upaya yang dilakukan atau
diperjuangkan oleh institusi untuk menghadapi persaingan
dan memperoleh keunggulan yang efektif dengan pembagian
kekuatan tertentu dalam rangka mencapai tujuan lembaga
atau insitusi. Maka, evaluasi strategi bersaing dapat
dikatakan sebagai penilaian terhadap strategi bersaing yang
diterapkan institusi dengan indikator penilaian tertentu agar
dapat memenangkan persaingan dan memperoleh
keunggulan yang efektif dengan pembagian kekuatan dalam
rangka mencapai tujuan lembaga atau insitusi.
2.2.2 Pentingnya Evaluasi Strategi Bersaing
Ada beberapa pendapat ahli yang menyebutkan betapa
pentingnya evaluasi strategi dilakukan oleh insitusi. Pearce
dan Robinson (2008) misalnya, mengungkapkan bahwa
evaluasi terhadap strategi yang diterapkan insitusi sangatlah
penting karena evaluasi yang tepat waktu dapat
memperingatkan manajemen akan adanya masalah atau
potensi masalah sebelum menjadi kritis.
Selain itu, menurut Wheelen dan Hunger (2008) bahwa
evaluasi strategi sebenarnya untuk memastikan suatu
institusi mencapai apa yang ditetapkan. Hal ini dilakukan
melalui membandingkan kinerja dengan hasil yang
diinginkan dan memberikan umpan balik yang diperlukan
bagi manajemen untuk mengevaluasi hasil dan mengambil
tindakan korektif, sesuai kebutuhan.
Ada pula pendapat lainnya yang diungkapkan oleh
Rumelt (2000) bahwa evaluasi strategi perlu dilakukan
insitusi karena sesungguhnya berkaitan dengan berbagai
tantangan yang dihadapi institusi itu sendiri. Hal ini
menurutnya dikarenakan oleh beberapa hal, yakni : (1)
strategi itu unik maka setiap institusi memiliki strategi yang
berbeda, (2) strategi sangat berkaitan dengan pemilihan
tujuan dan sasaran, (3) sistem formal dari tinjauan strategis
yang digunakan institusi itu sendiri.
Dari deskripsi diatas terlihat bahwa ada kesamaan
pendapat yang diungkapkan oleh Pearce dan Robinson (2008)
dan Rumelt (2000) yaitu pentingnya evaluasi strategi
dilakukan adalah berkaitan dengan masalah atau tantangan
yang dihadapi institusi. Hal ini berarti bahwa evaluasi perlu
untuk dilakukan agar institusi mampu berbenah dalam
menghadapi masalah ataupun tantangan yang dihadapi atau
dengan kata lain evaluasi tersebut bersifat formatif.
Sedangkan, pendapat berbeda dikemukakan oleh
Wheelen dan Hunger (2008) yang cenderung menganggap
perlunya dilakukan evaluasi strategi karena berhubungan
dengan kepastian pencapaian institusi apakah sudah sesuai
dengan yang ditetapkan. Hal ini berarti bahwa evaluasi
penting dilakukan agar mengetahui capaian institusi apakah
sudah sesuai tujuan atau dengan kata lain evaluasi tersebut
bersifat sumatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pentingnya dilakukan evaluasi strategi oleh sebuah insitusi
sebenarnya untuk terhindar dari masalah ataupun tantangan
yang dihadapi demi pencapaian tujuan institusi itu sendiri.
Bertolak dari hal-hal tersebut, jika dikaitkan dengan
pentingnya pelaksanaan strategi bersaing menurut Porter
(2007) yaitu untuk membina posisi di mana suatu lembaga
dapat melindung diri sendiri dengan sebaik-baiknya terhadap
kekuatan tekanan persaingan atau dapat mempengaruhi
tekanan tersebut secara positif. Maka, dapat dikatakan
bahwa evaluasi strategi bersaing menjadi sangat penting
untuk dilakukan agar institusi mampu terhindar dari
masalah maupun tantangan yang dihadapi demi membina
posisi dan dapat melindung diri sendiri dengan sebaik-
baiknya terhadap kekuatan tekanan persaingan atau dapat
mempengaruhi tekanan tersebut secara positif dalam rangka
mencapai tujuan institusi.
2.2.3 Evaluasi Strategi Bersaing
Salah satu model evaluasi yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi strategi bersaing yaitu evaluasi yang digagas
dan dikembangkan oleh Rumelt (2000). ini mengandung 4
komponen yakni konsistensi, kesesuaian, kelayakan,
keunggulan dan masing masing perlu penilaian tersendiri
disertai kemampuan analis untuk menilainya.
1. Konsistensi (consistency)
Konsistensi mengandung arti bahwa sebuah strategi
tidak boleh menunjukkan tujuan, nilai dan kebijakan yang
tidak konsisten (Rumelt, 2000). Lebih lanjut menurut Rumelt
sendiri, kunci utama konsistensi sebuah strategi adalah
berkaitan dengan: a) kebijakan yang dilakukan Institusi dan
b) tujuan dan nilai-nilai yang dikembangkan institusi.
Kebijakan berkaitan erat dengan tindakan yang dilakukan
institusi, khususnya oleh manajer atau pimpinan institusi.
Sehingga, jika terjadi konflik dalam institusi dan pertikaian
antar unit maka menandakan bahwa adanya gejala gangguan
manajerial juga tanda inkonsistensi strategi. Sebab, konsep
yang eksplisit dan jelas dari strategi harus mampu
membantu perkembangan iklim organisasi yang lebih efisien
daripada hanya sekedar mekanisme administratif. Untuk itu
ia mengajukan beberapa indikator yang dapat membantu
analis untuk melihat ketidakonsistenan tersebut, antara lain:
Jika masalah manajerial terus berlanjut dan
perubahan personil cenderung menjadi isu daripada
berdasarkan kemampuan personil, maka mungkin
diakibatkan inkonsistensi dalam strategi.
Jika kesuksesan satu unit organisasi ditafsirkan
kegagalan untuk unit lainnya maka struktur tujuan
dasarnya adalah tidak konsisten.
Jika ada upaya untuk mendelegasikan wewenang
dari manajer namun masalah yang terjadi terus
dibawa ke atas untuk penyelesaian masalah
kebijakan, maka strategi dasar mungkin tidak
konsisten.
Sedangkan tujuan dan nilai-nilai yang dikembangkan
institusi berkaitan dengan formulasi atau penyusunan
strategi. Sehingga menurut Rumelt (2000) bahwa dalam
evaluasi maka penilaian terhadap inkonsistensi dapat dilihat
lebih banyak menyangkut masalah yang ada pada formulasi
strategi atau penyusunan strategi daripada implementasi
strategi. Lebih lanjut menurutnya bahwa masalah
inkonsistensi strategi juga bisa timbul, jika arah masa depan
bisnis membutuhkan perubahan yang bertentangan dengan
nilai-nilai manajerial pimpinan institusi.
Hal ini artinya bahwa dengan adanya pertumbuhan
atau perkembangan bisnis di luar metode operasi informal,
dapat membuat banyak pemimpin institusi mengalami
hilangnya rasa kejelian. Memang, perkembangan bisnis
tersebut dapat saja dibatasi, namun hal ini akan
memerlukan perhatian khusus ke posisi kompetitif institusi
jika hidup tanpa perkembangan yang diinginkan. Masalah-
masalah dasar juga dapat muncul terkait nilai-nilai pribadi
dan sosial yang datang dalam konflik dengan kebijakan yang
dilakukan pimpinan institusi untuk perkembangan bisnis.
Resolusi dari konflik tersebut biasanya akan memerlukan
penyesuaian terhadap strategi bersaing yang dilakukan
(Rumelt, 2000).
Bertolak dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas
maka evaluasi konsistensi yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah menilai apakah strategi bersaing yang diterapkan
konsisten dengan tujuan institusi dan kebijakan yang
ditempuh oleh pimpinan institusi.
2. Kesesuaian (consonance)
Strategi harus mewakili respon adaptif atau
penyesuaian terhadap lingkungan eksternal. Menurut
Wheelen dan Hunger (2008), lingkungan eksternal
berhubungan ekonomi, teknologi, hukum, politik dan sosial
budaya. Bagi Rumelt (2000), lingkungan eksternal
berhubungan juga dengan perubahan penting yang terjadi
didalamnya. Perubahan ini menyangkut kecenderungan atau
trend yang terjadi (Rumelt, 2000). Sehingga menurutnya ada
2 hal penting yang berhubungan dengan evaluasi kesesuaian
strategi dengan lingkungan eksternal yaitu : a) Bisnis sesuai
dan adaptif terhadap lingkungan dan b) Persaingan dengan
institusi lain yang berusaha beradaptasi.
Keadaptifan bisnis dengan lingkungan eksternal
berkaitan dengan misi dasar atau ruang lingkup bisnis
dengan melihat perubahan kondisi ekonomi dan sosial dari
waktu ke waktu yang mampu memberikan nilai sosial atas
produk dan jasa yang dihasilkan oleh institusi. Disamping
itu, keadaptifan bisnis dengan lingkungan berkaitan juga
dengan kebutuhan institusi untuk memperoleh beberapa
nilai sosial sebagai profit. Dengan kata lain, institusi harus
dapat bersaing dengan institusi lain untuk memperoleh
profit.
Sedangkan, persaingan dengan institusi lain yang juga
berusaha untuk beradaptasi menurut Rumelt (2000)
berkaitan dengan kunci utama untuk mengevaluasi melalui
pemahaman mengapa bisnis dapat berjalan sekarang,
bertahan dan bagaimana diasumsikan dalam bentuknya
sekarang. Sehingga analis memperoleh pemahaman yang
baik menyangkut dasar ekonomis yang menyokong dan
memfasilitasi bisnis yang mana memungkinkan untuk
mempelajari kesesuaian dari kunci trend dan perubahan.
Tanpa pemahaman tersebut, maka tidak ada cara terbaik
untuk memutuskan apa jenis perubahan yang sangat
krusial.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan evaluasi
kesesuaian maka menilai apakah strategi bersaing yang
diterapkan telah menunjukkan respon adaptif terhadap
lingkungan eskternal melalui pendekatan dengan
membandingkan dengan pesaing lainnya juga mengetahui
proses perubahan jalannya bisnis institusi sebagai kunci
trend dan perubahan yang terjadi.
3. Keunggulan (advantage )
Keunggulan mengandung arti bahwa strategi harus
memfasilitasi upaya menciptakan dan atau mempertahankan
keunggulan bersaing di bidang aktivitas tertentu. Keunggulan
bersaing biasanya merupakan hasil keunggulan dari salah
satu bidang : yaitu sumber daya superior, ketrampilan
superior dan posisi superior (Rumelt,2000). Lebih lanjut
penjelasan ketiga hal ini menurut Rumelt (2000), antara lain :
a) Sumber daya, menyangkut hak paten, hak merek
dagang, asset khusus, hubungan kerja sama
institusi dengan suplier dan layanan distribusi.
Didalamnya pula termasuk reputasi institusi yaitu
karyawan, penyuplai dan pelanggan adalah sumber
daya. Sumber daya yang merupakan keunggulan
terkhususnya pada institusi dibangun perlahan
melalui berbagai pelatihan dari kemampuan
superior atau menjadi penggerak pandangan masa
depan institusi.
b) Ketrampilan, menyangkut penciptaan keunggulan
yang biasanya secara organisasional maupun
individual. Di dalamnya termasuk koordinasi
kecapakan atau kemahiran individu yang dibangun
melalui investasi, pekerjaan dan pembelajaran.
Tidak seperti asset fisik, ketrampilan ditingkatkan
melalui kegunaannya.
c) Posisi, menyangkut penyediaan layanan produk,
segmen pasar dimana produk dijual dan taraf
terisolasi dari kompetisi. Umumnya, posisi terbaik
adalah menyangkut menjual nilai produk yang unik
untuk pembeli yang sensitif terhadap harga.
Sedangkan posisi kurang baik menyangkut menjadi
salah satu dari institusi yang menyuplai nilai
rendah produk kepada pembeli yang sensitif
terhadap harga. Keunggulan posisi dapat diperoleh
melalui kompetensi superior dan sumber daya, atau
pula hanya keberuntungan.
Ketiga hal diatas tersebut diatas yaitu sumber daya,
ketrampilan menjadi komponen keunggulan yang penting
dalam penilaian terhadap strategi yang diterapkan oleh
institusi. Selain itu, menurut Rumelt (2000), keunggulan pula
dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti:
a) Kepemilikan sumber bahan baku khusus atau
kontrak jangka panjang.
b) Secara geografis terletak dekat pelanggan kunci
dalam bisnis yang signifikan dengan melibatkan
biaya investasi dan transportasi yang tinggi.
c) Menjadi pemimpin dalam bidang layanan yang
memungkinkan atau perlunya membangun sebuah
pengalaman dasar yang unik dalam melayani klien.
d) Menjadi produsen penuh di pasar dengan fenomena
persaingan yang berat.
e) Memiliki reputasi yang luas untuk menyediakan
produk atau jasa yang handal.
Oleh karena itu, sesuai penelitian yang dilakukan maka
dalam hal mengevaluasi keunggulan dilakukan penilaian
apakah strategi bersaing yang diterapkan institusi telah
mempertahankan atau bahkan menciptakan keunggulan
institusi itu sendiri baik secara sumber daya, ketrampilan
maupun posisi daripada pesaing.
4. Kelayakan (feasibility)
Kelayakan mengandung arti bahwa strategi tidak boleh
menguras seluruh sumber daya. Uji terakhir dari strategi ini
adalah kelayakannya, dalam hal ini bisakah strategi
diupayakan dalam bentuk fisik, manusia, dan sumber daya
keuangan yang tersedia (Rumelt, 2000). Sumber daya fisik
menyangkut kemampuan perusahaan dalam informasi,
teknologi, peralatan-peralatan, dan fasilitas-fasilitas yang
ada, serta kempuan untuk berproduksi. Sumber daya
manusia menyangkut, ketrampilan, kompetensi yang dimiliki
manusia dengan ketrampilan yang sudah sesuai dengan
standart perusahaan. Sedangkan sumber daya keuangan
menyangkut modal proses produksi, pendistribusian,
kapasitas produksi, dan modal dalam kerja, juga
pemeriksaan sumber daya keuangan seperti pinjaman bank ,
saldo, kreditur, pinjaman (Fleisher dan Bensoussan, 2007).
Oleh karena itu, dalam mengevaluasi kelayakan
strategi bersaing maka dilakukan penilaian terhadap strategi
bersaing yang diterapkan apakah menguras habis sumber
daya fisik, manusia, atau keuangan institusi dan apakah
juga telah memberikan solusi yang baik dengan tidak
memberikan masalah lebih lanjut bagi institusi itu sendiri.
2.3 Kajian Penelitian Yang Relevan
Adapun kajian atau hasil penelitian yang dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, adalah sebagai berikut:
Penelitian pertama, oleh Frederyk, H., & Setiawan, A.
(2012) dengan judul tentang Evaluasi Strategi Bersaing Pada
Industri Pelayaran Batubara Studi Kasus PT.XYZ, yang
menemukan bahwa melalui analisis SWOT strategi
perusahan belum tepat walaupun sudah merespon peluang
dengan baik dan siap menghadapi ancaman, untuk itu
perusahaan direkomendasikan menerapkan strategi alternatif
seperti market development, market penetration, dan product
development.
Penelitian kedua, oleh Dalimunthe (2009) dengan judul
Evaluasi strategi bisnis PT Asuransi Umum Bumiputeramuda
1967 yang menemukan bahwa proses strategi bisnis Asuransi
Bumida Bumiputera telah terlaksana sesuai Rumelt namun
sasaran akhir untuk menjadi 10 besar pasar retail asuransi
umum belum tercapai. Hal ini dikarenakan faktor internal
masih belum sempurnanya dukungan internal dalam bentuk
penyiapan sarana dan teknologi. Sedangkan faktor eksternal
adalah tingginya persaingan industri asuransi umum yang
mendorong para pesaing untuk meningkatkan pencapaian
produksi masing- masing.
Penelitian ketiga, oleh Lawrence (2012), dengan judul
An Evaluation of Strategies for Achieving Competitive
Advantage in the Banking Industry. The Case of Ghana
Commercial Bank Limited yang menemukan bahwa strategi
yang disusun oleh bank menimbulkan keunggulan
kompetitif dalam industri dengan faktor yang paling penting
yang berkontribusi terhadap keunggulan kompetitif, yaitu
bank mampu memiliki cabang yang luas.
Penelitian keempat, oleh Suroso O. W. (2012) dengan
judul Evaluasi Strategi Bersaing Studi pada PT UNVR
Menggunakan Analisis “Five Forces” model Porter, yang
hasilnya menunjukkan bahwa perubahan-perubahan
eksternal dan internal mempengaruhi strategi bersaing yang
telah ada dan perlu dilakukan perubahan agar PT UNVR
dapat tetap unggul di Indonesia. Penelitian kelima, oleh
Aquino, E. (2014) dengan judul Evaluasi Strategi Bersaing
Pada Pt. Triyuda Perkasa yang menghasilkan bahwa
perusahaan menggunakan costleadership strategy.
Berdasarkan SERVO analysis, strategi cost leadership masih
relevan dengan kondisi persaingan saat ini, karena
persaingan di industri metal work sangat ketat sehingga
perusahaan harus menekan biaya produksinya.
Penelitian keenam, oleh Gunawan, A. A. (2014)
berjudul Evaluasi Strategi Bersaing Pada Pt. Green Dewata Di
Denpasar Bali yang menemukan bahwa PT. Green Dewata
menggunakan cost leadership strategy dan
berdasarkan SERVO Analysis, strategi bersaing yang
digunakan oleh perusahaan saat ini masih sesuai dengan
kondisi persaingan yang ada.
Penelitian ketujuh, oleh Ficky C. dan Ratih I (2014)
tentang Evaluasi Strategi Bersaing pada UD Lelyta yang
menghasilkan bahwa perusahaan menggunakan strategi
bersaing cost based leadership dan berdasarkan analisis
SERVO strategi tersebut masih sesuai dengan kondisi
persaingan.
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian diatas
maka penelitian yang hendak dilakukan memiliki kesamaan
dan perbedaan. Letak kesamaannya adalah pada topik yang
hendak diteliti yaitu mengenai evaluasi strategi bersaing yang
diterapkan oleh institusi. Sedangkan letak perbedaannya
adalah evaluasi strategi bersaing yang dilakukan dalam
penelitian diatas pada perusahaan sedangkan penelitian yang
akan dilakukan peneliti berada dalam dunia pendidikan yaitu
sekolah.
Selain itu, penelitian yang hendak dilakukan ini
menggunakan evaluasi menurut Rumelt (2000). Memang ada
salah satu dari penelitian diatas yaitu Dalimunthe (2009)
yang juga menggunakan Rumelt (2000), namun bedanya
evaluasi strategi yang dilakukan olehnya adalah evaluasi
strategi bisnis di perusahaan dan bukan berfokus pada
evaluasi strategi bersaing di bidang pendidikan.
2.4 Kerangka Pikir
EE
Penjelasan : SMA Kristen 1 Salatiga menerapkan strategi
bersaing yaitu diferensiasi dan keunggulan biaya untuk
menghadapi persaingan dalam dunia pendidikan. Kedua
strategi ini kemudian dievaluasi konsistensi, kesesuaian,
keunggulan dan kelayakan berdasarkan Rumelt (2000).
Setelah dievaluasi, maka menghasilkan rekomendasi
kebijakan bagi pihak sekolah.
Diferensiasi
Strategi Bersaing SMA Kristen 1 Salatiga
Keunggulan Berbasis Biaya
Reko-mendasi
Evaluasi Strategi : Konsistensi (consistency)
Kesesuaian (consonance) Keunggulan (advantage)
Kelayakan (feasibility)