bab ii kajian pustaka 2.1 tinjauan botani terong ......selain mengandung magnesium dan kalium,...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Botani Terong Belanda (Solanum betaceum Cav.)
2.1.1 Klasifikasi terong belanda
Terong belanda memiliki nama yang berbeda di setiap negara. Di
Indonesia terong belanda sering dikenal dengan sebutan tamarillo (Melayu), tiung
(Toba), dan tiung jepan (Karo). Untuk sebutan terong belanda di negara lain
seperti tree tomato (Inggris), tomate dulce (Ekuador), pepino de arbol (Kolombia),
Tamarillo (New Zealand), dan tomate frances (Venezuella) (Kumalaningsih dan
Suprayogi, 2006).
Nama ilmiah terong belanda adalah Solanum betaceum Cav yang memiliki
sinonim Cyphomandra betacea Cav. Identifikasi taksonomi tanaman terong
belanda menurut Kumalaningsih, (2006) sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Klass : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Bangsa : Solanaceae
Marga : Solanum
Jenis : Solanum betaceum Cav.
Terong belanda (Solanum betaceum Cav), ditinjau dari aspek
fungsionalnya, mempunyai khasiat yang sangat unggul sebagai sumber
11
antioksidan alami untuk meluruhkan zat radikal. Terong belanda merupakan buah
yang mempunyai kandungan gizi dan vitamin yang sangat penting bagi kesehatan
tubuh manusia seperti antosianin, karotenoid, vitamin A, B6, C, dan E, serta kaya
akan zat besi, kalium, serat, dan mineral (kumalaningsih, 2006).
Gambar 2.1
Terong belanda (Solanum betaceum Cav)
(Kumalaningsih dan Suprayogi, 2006)
2.1.2 Ekologi dan penyebaran tanaman
Terong belanda (Solanum betaceum Cav) merupakan tanaman jenis
terung-terungan dari famili Solanaceae yang sangat populer di New Zealand.
Tanaman ini berasal dari pegunungan Andes di Peru, juga tumbuh di Chile,
Equador dan Bolivia kemudian masuk ke negara Indonesia dan dikembangkan
antara lain di Bali, Bogor Jawa Barat, serta daerah Barastagi Kabupaten Karo
Sumatera Utara. Terong belanda termasuk tanaman subtropis yang dapat tumbuh
subur pada suatu daerah dengan ketinggian antara 1.525-3.050-meter diatas
permukaan laut dengan suhu berkisar antara 20-27 oC (Morton, 1997).
12
2.1.3 Morfologi terong belanda
Terong belanda merupakan jenis tanaman semak atau berupa pohon perdu
yang lapuk, tinggi batang sekitar 2-3 m dengan diameter 4 cm, bentuk batang
bulat dengan pangkal batang yang pendek, dan bercabang lebat. Bunga berada
dalam rangkaian kecil di ketiak daun, dekat ujung cabang, berwarna merah jambu
sampai biru muda, harum, berdiameter kira-kira 1 cm. Tanaman ini memiliki daun
yang berbulu berbentuk hati besar dan berwarna hijau (Kumalaningsih, 2006).
Terong belanda tergolong buah buni (buah berdaging basah, tidak
merekah, biji-bijinya terbenam dalam daging buah) yang berbentuk oval (bulat
lonjong) dengan ukuran panjang antara 4-10 cm dan berdiameter 3-5 cm. Kulit
buah yang masih mentah berwarna hijau keabuan dan akan menjadi merah
keunguan atau kuning pada saat buah tersebut masak. Di dalam buah terdapat
daging buah yang tebal berwarna kekuningan dan melindungi biji-bijinya serta
dibungkus oleh selaput tipis yang mudah dikelupas. Jumlah bijinya banyak dan
tersusun melingkar dengan ukuran yang kecil, berbentuk pipih, tipis, keras, dan
berwarna coklat muda sampai hitam (Kumalaningsih, 2006). Terong belanda
secara umum terdiri dari dua jenis yaitu terong belanda merah dan terong
belanda kuning (Mertz et al., 2009).
2.1.4 Kandungan kimia
Terong belanda termasuk ke dalam suku Solanaceae. Umumnya suku ini
menghasilkan alkaloid, steroid, antosianin, biasanya tidak bertanin. Komponen
antioksidan yang dimiliki oleh terong belanda merah dan kuning (bagian daging
dan biji) terdiri dari vitamin C, vitamin E, karotenoid, serta kandungan senyawa
13
fenolik seperti antosianin, asam fenolat dan sejumlah kecil flavonol (Lister et al.,
2005).
Buah terong belanda diketahui mengandung kalium. Kalium dalam tubuh
ditemukan di dalam darah yang diketahui baik untuk mencegah tekanan darah
tinggi. Selain mengandung magnesium dan kalium, terong belanda juga
mengandung kalsium, fosfor, natrium dan seng. Tabel 2.1 menunjukkan
komposisi zat kimia dalam 100-gram buah terong belanda segar.
Tabel 2.1
Kandungan kimia dalam 100 g buah terong belanda segar
(Kumalaningsih, 2006; Lister et al., 2005).
Komponen Komposisi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B6
Vitamin C
Vitamin E
Karoten
Karbohidrat
Protein
Lemak
Serat
Niasin
Kalium
Kalsium
Magnesium
Besi
Seng
Fosfor
Kadar air
Kadar abu
540-5600 μg
0,03-0,14 mg
0,01-0,05 mg
0,01-0,05 mg
15-42 mg
2 mg
0,371-0,653 mg
10,3 g
1,4-2 mg
0,1-0,6 mg
1,4-4,7 mg
0,3-1,4 mg
0,28-0,38 mg
6-18 mg
16-25 mg
0,3-0,9 mg
0,1-0,2 mg
22-65 mg
80-90 g
0,66-0,94 mg
14
2.1.5 Kegunaan
Secara tradisional buah terong belanda digunakan sebagai obat untuk
memperlancar air seni, menurunkan kadar kolesterol, dan reumatik (Syariah et al.,
2011). Apabila dikonsumsi sebanyak 3 buah setiap hari, buah terong belanda
berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi (Departemen Kesehatan dan
Kesehatan Sosial, 2001). Kandungan antosianin, vitamin serta zat gizi lain dalam
buah terong belanda bekerja sinergis untuk mencegah kerusakan sel-sel jaringan
tubuh penyebab penyakit, melancarkan penyumbatan pembuluh darah,
meningkatkan stamina, daya tahan tubuh dan vitalitas, serta membantu proses
penyembuhan (Kumalaningsih, 2006). Menurut Ordonez et al., (2006), buah
terong belanda memiliki aktivitas antimikroba. Selain itu berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Ordonez et al, (2010) diketahui bahwa jus buah terong
belanda menunjukkan aktivitas antioksidan.
2.2 Oksidan dan Radikal Bebas
Oksidan adalah molekul oksigen atau molekul lain yang mengandung 1 atau
lebih elektron yang tidak berpasangan (unpaired electrons) sehingga tidak stabil
Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan
komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel,
baik komponen struktural (misalnya molekul-molekul penyusun membran)
maupun komponen-komponen fungsional (misalnya enzim-enzim dan DNA).
Oksidan dalam pengertian ilmu kimia, adalah senyawa penerima elektron,
(electron acceptor), yaitu senyawa-senyawa yang dapat menarik elektron (Winarsi,
2007). Ion ferri (Fe+++), misalnya, adalah suatu oksidan :
15
Fe+++ + e- ⎯→ Fe++
Sebaliknya, dalam pengertian ilmu kimia, radikal bebas merupakan suatu atom,
gugus atau molekul yang memiliki satu elektron atau lebih yang tidak
berpasangan (unpaired electron) pada orbital terluarnya sehingga mampu
menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid dan protein.
Radikal bebas merebut elektron dari molekul lain yang berada di sekitarnya agar
stabil sehingga seringkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan sel, kerusakan
jaringan dan proses penuaan (Kothari et al., 2010). Secara kimiawi, radikal bebas
bersifat sangat aktif karena adanya elektron tidak berpasangan. Radikal bebas
dapat berupa kation (bermuatan positif), anion (bermuatan negatif) atau tidak
bermuatan (Halliwell and Gutteridge, 2000).
Berdasarkan sumbernya, radikal bebas dapat berasal dari proses
metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal)
yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Sumber radikal bebas (Esti, 2012)
Sumber Internal Sumber Eksternal
Mitokondria Rokok
Fagosit Polutan lingkungan
Xantin oksidase Radiasi
Olah raga Obat-obatan tertentu
Peradangan Pestisida
Iskemia/reperfusi Larutan industri
Ozon
Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh diantaranya superoksida (O2•),
hidroksil (•OH), peroksil (ROO•), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen
16
(1O2), oksida nitrit (NO•) dan peroksinitrit (ONOO•). Radikal bebas yang berasal
dari luar tubuh antara lain berasal dari asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat,
pestisida, limbah industri dan ozon (Siswono, 2005).
Gambar 2.2
Sumber sumber radikal bebas yang menyerang DNA
(vasudevan, 2004)
Pada umumnya radikal bebas memiliki efek yang sangat menguntungkan
karena dapat membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker. Akan
tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan yang tidak disertai dengan produksi
antioksidan yang memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan
mengganggu kerja enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan
oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas asam lemak yang dikenal dengan
sebutan peroksidasi lipid. Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau
mendasari berbagai keadaan patologis. Diantara senyawa-senyawa oksigen
reaktif, radikal bebas (•OH) merupakan senyawa yang paling berbahaya karena
17
memiliki tingkat reaktivitas yang sangat tinggi. Keberadaan radikal hidroksil
dalam tubuh dapat merusak tiga jenis senyawa penting yang berfungsi untuk
mempertahankan integritas sel yaitu:
• Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan senyawa penting
fosfolipid yang menyusun membran sel.
• DNA yang merupakan materi genetik dari sel.
• Protein yang berperan penting seperti enzim, reseptor, antibodi, pembentuk
matriks dan sitoskeleton (Halliwell and Gutteridge, 2000; Papas, 1999).
Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh
dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti superoksida
dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx) dan katalase (Cat). Pengukuran
radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal bebas mampu
bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran secara tidak
langsung melalui produk turunannya seperti MDA atau 4-hidroksinonenal. Kedua
senyawa tersebut seringkali digunakan sebagai pengukuran reaksi radikal bebas
lipid (Belleville-Nabet, 1996).
2.3 Produksi Radikal Bebas Akibat Aktivitas Fisik
Salah satu pemicu timbulnya radikal bebas adalah aktivitas fisik.
Pembentukan radikal bebas dapat terjadi selama dan setelah proses aktivitas fisik
oleh otot yang berkontraksi serta jaringan yang mengalami iskemik reperfusi
(Chevion, et al., 2003). Terbentuknya radikal bebas diakibatkan oleh otot rangka
yang berkontraksi (Powers and Jackson, 2008). Pada saat melakukan aktivitas
fisik maksimal, konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Selama
18
melakukan aktivitas fisik maksimal, penggunaan oksigen dapat meningkat hingga
100-200 kali dibandingkan pada saat istirahat (Chevion, et al., 2003). Pada saat
terjadi fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem
transport elektron mitokondria dengan tujuan membentuk adenosin trifosfat
(ATP) dan air. Sebanyak 2% molekul oksigen akan berikatan dengan elektron
tunggal yang bocor dari karier elektron pada rantai pernapasan selama proses
fosforilasi oksidatif sehingga membentuk radikal superoksida (O2-•). Kehadiran
radikal superoksida akan membentuk hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroksil
reaktif (OH-) yaitu dengan cara berinteraksi dengan logam transisi reaktif seperti
tembaga dan besi.
Proses reduksi oksigen secara lengkap diuraikan oleh Clarkson and
Thompson (2000) sebagai berikut.
1. O2 + e- → O2-• (Radikal superoksida)
2. O2-• + H2O → H2O• + OH- (Radikal hidroperoksil)
3. H2O• + e- + H+ → H2O2 (Hidrogen peroksida)
4. H2O2 + e- → •OH + OH- (Radikal hidroksil)
2.4 Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu kondisi fisiologis yang terjadi akibat
jumlah radikal bebas yang terbentuk melebihi kapasitas pertahanan antioksidan
yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada molekul sel. Kerusakan yang
diakibatkan oleh stres oksidatif seringkali dikenal dengan kerusakan oksidatif,
yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel yang timbul akibat reaksi dengan
radikal bebas. Kelebihan radikal bebas ini mengakibatkan intensitas reaksi
19
oksidasi sel-sel normal semakin tinggi dan mengakibatkan kerusakan jaringan sel
akan semakin parah.
Kelebihan radikal bebas juga akibat aktivitas tubuh yang berlebih, puasa
yang berlebih, asap rokok, radiasi dan pencemaran udara. Adanya kejadian seperti
ini akan merangsang pengeluaran sitokin proinflamasi seperti Interleukin-6(IL6)
atau Tumor Nekrosis Faktor-alpha (TNFα) dan memicu pengeluaran PMN
(Polimorfonuklear). PMN inilah yang menghasilkan radikal bebas berupa
superoksida anion, radikal hidroksil, oksida nirat dan hidrogen peroksida yang
merusak jaringan sel seperti pada gingiva, ligamen periodontal dan tulang
alveolar. Hal inilah merupakan awal terjadinya kerusakan oksidatif yang dikenal
sebagai stres oksidatif ( Zheng dan Wang, 2009). Peningkatan stres oksidatif
berpotensi merusak membran lipid sehingga membentuk malondialdehida
(MDA), merusak protein, karbohidrat serta DNA (Kevin, et al., 2006). Kerusakan
oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas berdampak pada berbagai kondisi
patologis, antara lain terjadinya kerusakan sel, jaringan, organ (hati, ginjal, dan
jantung) bahkan dapat berakhir pada kematian sel sehingga memicu munculnya
penyakit degeneratif baik pada manusia maupun hewan. Stres oksidatif dapat
menyebabkan terjadinya penyakit neuro degeneratif, seperti Artherosclerosis,
Parkinson, Alzheimer, serta mempercepat proses penuaan, memicu risiko
terjadinya kanker dan kerusakan sel. Stres oksidatif yang terjadi secara berlebihan
akan menimbulkan efek patologis (Kevin, et al., 2006; Valko, et al., 2007).
Tingkat stres oksidatif dapat diukur dengan beberapa cara antara lain
pengukuran kadar MDA dan aktivitas enzim SOD. Terbentuknya MDA
20
merupakan tanda biologis untuk mengukur tingkat stres oksidatif pada organisme
karena MDA merupakan suatu senyawa toksik yang terbentuk dari hasil akhir
terputusnya rantai karbon asam lemak pada proses peroksidasi lipid (McBridge
and Kraemer,1999). Proses oksidasi lipid merupakan salah satu hasil kerja dari
radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya
(Winarsi, 2007). Selain MDA, tingkat stres oksidatif juga dapat diketahui dari
aktivitas SOD karena enzim ini berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh,
terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif penyebab stres oksidatif.
2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah bahan yang membantu melindungi sel-sel tubuh dari
efek buruk radikal bebas. (Nimse and Pal, 2015). Secara kimia pengertian
senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron. Secara biologis pengertian
antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak
negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan memberikan satu
elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan (Gambar 2.3) sehingga
aktivitas oksidan dapat dihambat (Winarsi, 2007).
Gambar 2.3
Mekanisme kerja aktioksidan menangkal radikal bebas (Winarsi,2007)
21
Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja
menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif
membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Dalam pengertian kimia,
senyawa-senyawa antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron
(electron donors). Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas,
yaitu merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan,
termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Dalam meredam
dampak negatif oksidan diterapkan strategi dua lapis, yaitu:
1. mencegah terhimpunnya senyawa-senyawa oksidan secara berlebihan.
2. Mencegah reaksi rantai berlanjut.
Jika ditinjau dari keterkaitannya dengan penyakit, antioksidan didefinisikan
sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas
atau oksigen reaktif. Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin.
Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation
peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan
dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup α tokoferol (vitamin E), beta
karoten dan asam askorbat (vitamin C) (Murray, 2009).
Tembaga seng superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) merupakan salah satu
antioksidan endogen yang amat berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas
anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen. Dengan
kemajuan teknik imunositokimia, sel-sel penghasil SOD telah dapat dideteksi
pada jaringan tikus. Profil SOD juga telah dilaporkan secara imunohistokimia
22
pada kondisi patofisiologis seperti stres, diabetes mellitus dan hiperkoleste-
rolemia, serta pada jaringan neoplastik (Wresdiyati et al., 2007).
Apabila tubuh mengalami stres maka kadar radikal bebas dalam tubuh
akan meningkat. Peningkatan kadar radikal bebas dalam kondisi stres tersebut
ditunjukkan dengan menurunnya kandungan antioksidan intrasel seperti
superoksida dismutase (SOD) dan tembaga seng superoksida dismutase (Cu,Zn-
SOD), serta dapat meningkatkan kadar malondialdehid (MDA) pada jaringan hati
tikus di bawah kondisi stres. Pemberian α tokoferol yang merupakan antioksidan
eksogen dapat meningkatkan kandungan SOD dan Cu,Zn-SOD, serta menurunkan
kadar MDA (Wresdiyati et al, 2013).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier (Hery, 2007).
a. Antioksidan primer (antioksidan endogenus).
Antioksidan primer atau sering disebut antioksidan enzimatis ini berfungsi
sebagai sistem pertahanan. Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah
pembentukan senyawa radikal bebas baru pada reaksi radikal berantai (reaksi
polimerisasi) melalui mekanisme transfer/pemberian elektron (atom hidrogen)
atau dengan mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang
kurang reaktif. Contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD),
glutation peroksidase (GPx) dan katalase. Mekanisme kerja antioksidan primer
dapat dilihat pada Gambar 2.4
23
Gambar 2.4
Mekanisme kerja antioksidan primer (Hery, 2007)
b. Antioksidan sekunder (antioksidan eksogenus).
Antioksidan sekunder disebut juga dengan antioksidan non-enzimatis yang
berfungsi sebagai sistem pertahanan preventif (mencegah). Jenis antioksidan ini
bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau
dengan cara menangkapnya sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler. Contoh antioksidan sekunder adalah β-karoten, vitamin E dan
vitamin C.
c. Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan ini meliputi sistem enzim DNA-repair dan
metionin sulfoksida reduktase yang berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang
rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu (Trilaksani, 2003):
1. Antioksidan sintetik
Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesis reaksi kimia.
24
2. Antioksidan alami
Antioksidan alami merupakan antioksidan yang berasal dari hasil ekstraksi
bahan alami. Peranan antioksidan tidak terlepas dari kandungan nutrien serta
sistem pertahanan antioksidan tersebut dalam tubuh.
2.6 Superoksida Dismutase (SOD)
Superoksida dismutase (SOD) merupakan metaloenzim yang mengandung
atom tembaga, seng atau besi yang dibentuk dalam sitosol atau yang mengandung
mangan yang dibentuk di dalam matriks mitokondria. Superoksida dismutase
berperan sebagai antioksidan intraselular utama dalam sel aerobik. Superoksida
dismutase adalah salah satu antioksidan enzim yang terdapat dalam tiga isoform
di dalam tubuh yang mana masing masing merupakan produk gen yang berbeda
tetapi mengkatalisis reaksi yang sama, yaitu mengubah anion superoksida (O2-)
menjadi hidrogen peroksida dan oksigen seperti ditunjukkan pada reaksi sebagai
berikut:
2H+ + 2O2- H2O2 + O2
Anion superoksida
Keberadaan SOD dapat ditemukan di otak, hati, sel darah merah, ginjal, tiroid,
testis, otot jantung, mukosa lambung, kelenjar pituitari, pankreas dan paru-paru.
(Combs, 1992; Evans, 1991). Ketiga isoform SOD tersebut adalah sitosolik atau
Copper zinc superoxide dismutase (Cu-Zn SOD), mangan SOD (Mn SOD) yang
terletak dalam mitokondria, dan suatu bentuk ekstraseluler dari Cu-Zn SOD (EC-
SOD). Isoform tersebut mempunyai fungsi sangat penting pada pembuluh darah
25
normal maupun penyakit vaskular. Semakin tua usia seseorang, kekuatan SOD
dalam tubuhnya semakin menurun. Selain itu, SOD juga dikendalikan oleh faktor
genetik (Niwa, 1997). Gambaran letak subseluler ketiga isoform SOD ditunjukkan
pada Gambar 2.6 sebagai berikut:
Gambar 2.5
Letak subseluler isoform SOD
(Faraci and Didion, 2004)
2.7 Imunohistokimia dan Cu-Zn-SOD
Imunohistokimia adalah suatu teknik untuk mendeteksi keberadaan
berbagai macam komponen yang terdapat di dalam sel atau jaringan dengan
menggunakan prinsip reaksi ikatan antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Teknik
imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim spesifik
serta mendeteksi keberadaan berbagai komponen aktif yang terdapat di dalam sel
atau jaringan seperti protein dan karbohidrat (Furuya et al., 2004). Terdapat dua
metode pewarnaan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct) dan metode
tidak langsung (indirect). Metode langsung hanya menggunakan satu antibodi,
yaitu antibodi primer yang telah dilabel. Metode tidak langsung menggunakan dua
antibodi, yaitu antibodi primer tanpa dilabel dan antibodi sekunder yang telah
dilabel (Polak and Van Noorden 2003). Metode tidak langsung pun ada beberapa
26
jenis, diantaranya avidin-biotin methode, peroxidase methode, dan tyramin
amplification methode. Namun metode yang sering digunakan di laboratorium
adalah peroxidase methode, karena 100-1000 kali lebih sensitif dibandingkan
metode lainnya (Ramos and Vara 2005).
Prinsip pewarnaan imunohistokimia metode peroksidase, yaitu antigen yang
ada pada jaringan diikatkan dengan antibodi primer yang spesifik. Lalu antibodi
primer yang terikat antigen kemudian diikatkan pula dengan antibodi sekunder
(antiantibodi primer) yang telah dilabel enzim peroksidase. Penambahan substrat
yang berisi kromogen dan H2O2 akan memunculkan endapan berwarna coklat dan
H2O. Endapan coklat merupakan hasil penguraian substrat (kromogen dan H2O2)
oleh enzim peroksidase (Gambar 2.6). Warna coklat yang muncul menandakan reaksi
positif (+), yang artinya di dalam jaringan terdapat antigen. Apabila di jaringan
tersebut tidak terdapat antigen, maka tidak akan muncul warna coklat (Ramos and
Vara ,2005).
Gambar 2.6
Prinsip pewarnaan imunohistokimia metode peroksidase.(Ramos and Vara, 2005)
Teknik imunohistokimia yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk
mendeteksi kandungan enzim antioksidan tembaga seng superoksida dismutase
27
(Cu-ZnSOD) yang terdapat di dalam jaringan hati. Enzim SOD merupakan enzim
antioksidan endogen yang mempunyai peranan penting secara langsung melindungi
sel dari gangguan radikal bebas, dan secara tidak langsung memelihara keseimbangan
oksigen yang bersifat toksik (Wresdiyati et al., 2003). Pengukuran kandungan enzim
antioksidan SOD merupakan cara untuk mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap
radikal bebas. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas SOD tertinggi
terdapat pada hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-
paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell and Gutteridge, 1999). Enzim SOD
mengkatalis dismutase oksigen menjadi hidrogen peroksida dan mengubahnya
menjadi air dan oksigen yang stabil (Gurer and Ercal, 2000). Enzim SOD berperan
dalam proses degradasi senyawa ROS. Reacive Oxygen Species (ROS) ialah senyawa
yang mempunyai gugus oksigen reaktif dan memiliki bentuk serta aktivitas sebagai
radikal bebas. Senyawa ini cenderung menyumbangkan atom oksigen atau elektron
pada senyawa lainya (Taniyama and Griendling, 2003).
2.8 Malondialdehida (MDA)
Malondialdehida (MDA) merupakan produk enzimatis dan nonenzimatis
yang berasal dari proses pemecahan prostaglandin endoperoksida dan merupakan
produk akhir dari peroksidasi lipid (Carini et al., 2004). Malondialdehida adalah
molekul reaktif yang mempunyai rumus molekul C3H4O2 dan dikenal sebagai
penanda (marker) peroksidasi lipid (Murray et al., 2003). Reaksi peroksidasi
lemak pada asam lemak tak jenuh rantai panjang dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Para peneliti telah banyak melakukan pengukuran MDA sebagai tolak
ukur secara tidak langsung dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh
28
peroksidasi lipid. Tokur, et al (2006) menyatakan bahwa prinsip pengukuran
MDA adalah reaksi satu molekul MDA dengan dua molekul asam tiobarbiturat
(TBA) membentuk kompleks senyawa MDA-TBA yang berwarna hitam dan
kuantitasnya dapat dibaca dengan spektrofotometer.
XHX
H H
Asam Lemak Tak Jenuh
C
O
HOH
C
O
HOAsam lemak radikal
OH OO2
Radikal Peroksil
C
O
HO
H
C
O
HO
RH
OOHH
+ R
Hidroperoksida
C
O
HO
O O
Endoperoksida
H H
O O
Malondialdehid (MDA)
C
O
HO
Gambar 2.7
Peroksidasi lemak pada asam lemak tak jenuh rantai panjang
(Murray et al., 2003).
Beberapa penelitian mengenai MDA telah dilakukan oleh para ahli seperti
yang dilakukan oleh Prangdimurti, et al. (2006), yang menyatakan bahwa telah
terjadi penurunan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley yang telah diberi
asupan ekstrak daun suji. Hasil penelitian Jawi, et al. (2008) juga menyatakan
terjadi penurunan kadar MDA pada darah dan hati mencit jantan galur Swiss
setelah diberi asupan ekstrak ubi jalar ungu. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu,
29
et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan ‘apricot
cemel oil’, memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan MDA pada hati
tikus. Hal ini juga didukung oleh penelitian serupa yang dilakukan oleh Dewi
(2014) yang menyatakan bahwa ekstrak etil asetat biji terong belanda memiliki
kemampuan dalam menurunkan kadar MDA plasma darah tikus Wistar. Hasil
penelitian Suarsana, et al. (2013) juga menyatakan terjadi penurunan kadar MDA
jaringan hati tikus pada kondisi stres oksidatif setelah diberi asupan isoflavon
yang terdapat pada tempe.
2.9 Hati
Hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar. Hati
terletak di rongga perut di bawah diaphragma (Junqueira et al., 1998). Hati
mempunyai empat lobus utama dan berhubungan satu sama lain di sebelah
dorsalnya, yaitu: lobus medius (menjadi bagian kiri dan kanan oleh sebuah
bifurcatio), lobus lateral kiri (tidak terbagi), lobus lateral kanan (terbagi horizontal
menjadi bagian anterior dan posterior), dan lobus kaudal (mempunyai dua lobus
berbentuk daun di dorsal dan ventral esofagus pada bagian curvatura minor
lambung) (Harada et al., 1996). Hati mendapat suplai darah dari arteri hepatica
dan vena porta (Maronpot, 1999). Sebagian besar darah berasal dari vena porta,
dan sebagian kecil dipasok oleh arteri hepatika (Junqueira et al., 1998). Arteri
hepatica berfungsi untuk suplai nutrisi, sedangkan vena porta membawa darah
yang berisi oksigen dari saluran pencernaan, limpa, dan pankreas ke hati
(Maronpot, 1999). Seluruh materi yang diserap melalui usus tiba di hati melalui
30
vena porta, kecuali lipid kompleks (kilomikron), yang diangkut melalui pembuluh
limfe. Posisi hati dalam sistem empedu adalah optimal untuk menampung,
mengubah dan mengumpulkan metabolit dan untuk menetralisasi serta
mengeluarkan substansia toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, suatu
sekret eksokrin dari hati, yang penting untuk pencernaan lipid (Junqueira et al.,
1998). Hati mempunyai beberapa komponen sel, yaitu hepatosit (sel parenkim),
sel sinusoidal (endotel, sel kupfer dan sel lemak), sel haematopoesis, sel saraf, sel
pembuluh darah dan limfatik (endotel, adventisial, dan sel otot polos) (Maronpot,
1999). Komponen struktural utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit
(Junqueira et al., 1998). Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran utama hati
dan metabolisme yang terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran
empedu (Lu, 1995). Sel epitelial ini berkelompok dan membentuk lempeng-
lempeng yang saling berhubungan. Lobulus hati dibentuk oleh massa jaringan
berbentuk poligonal. Lobulus ini dibatasi oleh jaringan ikat yang mengandung
duktus biliaris, pembuluh limfe, saraf dan pembuluh darah. Hepatosit berderet
secara radier dalam lobulus hati. Mereka membentuk lapisan setebal 1 atau 2 sel,
lempeng ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara
bebas. Celah diantara kapiler ini mengandung kapiler, yaitu sinusoid hati
(Junqueira et al., 1998). Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi: (1) fungsi
vaskular untuk menyimpan darah, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan
dengan sebagaian besar sistem metabolisme tubuh dan (3) fungsi sekresi dan
ekskresi yang berperan membentuk empedu dan mengalirkan saluran empedu ke
saluran pencernaan (Guyton, 1994). Fungsi ekskresi hati berhubungan dengan
31
fungsinya sebagai organ detoksifikasi (Chandrasoma,2006). Peran hati sebagai
fungsi ekskresi dan sekresi yaitu ekskresi dan sekresi garam-garam empedu,
mensintesis glukosa, low density lipoprotein (LDL), urea dan protein plasma yang
larut (Chandrasoma,2006). Hati dipilih sebagai organ tempat diamatinya
perubahan kandungan Cu-Zn-SOD karena kandungan enzim ini di hati 10 kali
lipat per gram berat basah dibandingkan keberadaannya pada organ lain di dalam
tubuh tikus (Sloan,2003). Kandungan enzim Cu-Zn-SOD terbesar ditemukan di
hati dibandingkan organ lain seperti ginjal, paru-paru dan saluran pencernaan
(Makita, 1999).
2.10 Glikosida
Glikosida merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang termasuk
dalam kelompok metabolit sekunder. Di dalam tanaman, glikosida tidak lagi
diubah menjadi senyawa lain, kecuali bila memang mengalami peruraian akibat
pengaruh lingkungan luar (misalnya terkena panas dan teroksidasi udara)
2.10.1 Pengertian glikosida dan glikosida flavonoid
Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas gabungan dua bagian senyawa,
yaitu gula dan bukan gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan
berupa jembatan oksigen (O–glikosida, dioscin), jembatan nitrogen (N-glikosida,
adenosine), jembatan sulfur (S-glikosida, sinigrin), maupun jembatan karbon (C-
glikosida, barbaloin). Bagian gula biasa disebut glikon sedangkan bagian bukan
gula disebut sebagai aglikon atau genin. Apabila glikon dan aglikon saling terikat
maka senyawa ini disebut sebagai glikosida.
32
Glikosida flavonoid merupakan flavonoid yang mengikat gugus gula.
Flavonoid O-glikosida merupakan senyawa flavonoid yang mengikat satu gugus
hidroksil pada satu gugus gula. Selain itu, terdapat pula flavonoid C-glikosida
yang merupakan flavonoid yang gulanya terikat langsung pada inti benzena
dengan ikatan C-C seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Adanya pengaruh
glikosida menyebabkan senyawa flavonoid bersifat mudah larut dalam air
(Markham, 1988).
Gambar 2.8
struktur glikosida flavonoid dengan orientasi ikatan C glikosida
dan O-glikosida (Folador et al.,2010)
Apabila bagian aglikon dari suatu glikosida juga merupakan gula, maka
glikosida ini disebut hollosida, sedang kalau bukan gula disebut heterosida.
Biosintesa dari heterosida umumnya terdiri dari dua bagian yang penting
diantaranya reaksi umum bagaimana bagian gula terikat dengan bagian aglikon,
dan reaksi transfer ini sama pada semua sistem biologik.
Salah satu kelompok senyawa yang telah terbukti sebagai antioksidan
adalah polifenol yang diperoleh dari sayuran, buah, dan minuman tertentu
(Mehmet et al., 2007; Makris et al., 2007; M.A. Soobrattee et al., 2005).
Flavonoid adalah senyawa polifenol yang berdasarkan strukturnya dibagi menjadi
flavonol, flavon, flavanonon, isoflavon, katekin, antosianin, antosianidin, dan
33
kalkon (Gambar 2.9). Flavonoid mempunyai aktivitas sebagai antiviral, antialergi,
antiplatelet, antiinflamasi, antitumor, dan antioksidan (Harbone and Mabry, 1992;
Buhler, Donald , 2007).
Gambar 2.9
Struktur dasar beberapa golongan senyawa flavonoid
(Harbone and Mabry, 1992)
Antosianin merupakan zat warna merah yang banyak terdapat pada bunga, buah,
dan daun. Senyawa ini telah terbukti sebagai antioksidan dan pelindung terhadap
kerusakan sel-sel hati (Su, 2007). Jika antosianin ini bebas dari ikatannya dengan
gula disebut antosianidin yang merupakan senyawa golongan flavonoid.
Sementara beberapa flavonoid lain seperti kuersetin (flavonol dalam sayuran, kulit
buah dan bawang merah), santohumol (kalkon terprenilasi dalam buah hop dan
bir), isosantohumol (flavanon terprenilasi dalam buah hop dan bir), dan genistein
O
8
76'
5'
4'
3'
2'
6
5 43
2O
OH
O
O
O
8
76'
5'
4'
3'
2'
6
5 43
2O
O
Khalkon
2
345
6
2'
3'
4'
5'
6'7
8
6'
5'
4'
3'
2'
6 5
4
32 2 3
4
56
2'
3'
4'
5'
6'
O
Dihidrokalkon
FlavonFlavonol
Flavanon
Dihidroflavonol
O
OH
O
2
345
6
2'
3'
4'
5'
6'7
8
(flavanonol)
Isoflavon
O
O
2
345
62'
3'
4'
5'6'
7
8O
O
CH
Auron
8
76'
5'
4'
3'
2'
6
5 43
2O
OH
Katekin
O
OH
2
345
6
2'
3'
4'
5'
6'7
8
O
OH
OH
2
345
6
2'
3'
4'
5'
6'7
8
Antosianidin
+
Leukoantosianidin
34
(isoflavon dalam kedelai) juga sebagai antioksidan (Ramadan, 2008; Buhler,
2007).
2.10.2 Metabolisme dan bioavailabilitas flavonoid
Flavonoid pada tanaman dan makanan berada dalam bentuk glikosida.
Bahkan setelah di dalam tubuh, flavonoid glikosida terserap secara utuh di usus
halus. Hanya aglikon flavonoid dan glukosida flavonoid (terikat dengan glukosa)
diserap di usus halus, dan dengan cepat dimetabolisme untuk membentuk alkohol,
terglukuronidasi, atau metabolit tersulfatasi.
Bakteri usus biasanya berperan penting dalam metabolisme flavonoid dan
penyerapanya. Flavonoid atau metabolit flavonoid yang mencapai usus besar
mungkin akan lebih dimetabolisme oleh bakteri dan enzim kemudian akan
diserap. Kemampuan seseorang untuk menghasilkan metabolit flavonoid tertentu
dapat bervariasi dan tergantung pada lingkungan dari mikroflora kolon.
Secara umum, bioavailabilitas flavonoid relatif rendah karena penyerapan
terbatas dan eliminasi cepat. Bioavailabilitas berbeda untuk berbagai flavonoid.
Isoflavon adalah kelompok flavonoid yang paling bioavailable, sedangkan
flavanols (proanthocyanidins dan katekin teh) dan antosianin sangat susah diserap.
Karena flavonoid dengan cepat dan ekstensif dimetabolisme, aktivitas biologis
metabolit flavonoid tidak selalu sama dengan senyawa induk. Ketika
mengevaluasi data dari penelitian flavonoid dalam kultur sel, penting untuk
mempertimbangkan apakah konsentrasi flavonoid dan metabolit digunakan secara
fisiologis relevan. Pada manusia, puncak plasma konsentrasi isoflavon kedelai
dan flavanon jeruk belum ditemukan melebihi 10 micromoles/liter setelah
35
konsumsi oral. Puncak konsentrasi plasma diukur setelah konsumsi anthocyanin,
flavanol dan flavonol (termasuk yang dari teh) umumnya kurang dari 1 micromole
/ liter.
Glikosida yang diserap ke enterosit, konjugatnya bisa dihidrolisis dengan
mudah oleh glukosidase sitosol spesifik spektrum luas (BSG) (Day et al., 1998).
Sebagai tambahan, laktase phloridzine hidrolase (LPH), glikosidase yang ada
dalam brush border membran usus halus, dapat mengkatalisis hidrolisis
ekstraseluler beberapa glikosida, yang diikuti oleh difusi aglikon di brush border
(Day et al.,1998). Peran relatif kedua enzim pada hidrolisis glikosida tidak dikenal
dengan baik. Oleh karena itu, dengan pengecualian dari anthocyanin, sebagian
besar glikosida flavonoid dihidrolisis sebelum absorpsi, baik dalam lumen atau
dalam sel-sel usus (Gambar.2.10).
Gambar 2.10
Rute metabolik flavonoid setelah komsumsi oral (Ana et al., 2008)
Setelah hidrolisis, dan sebelum mencapai hati, aglikon mungkin mengalami
reaksi konjugasi dalam usus halus, yaitu glukuronidasi, sulfatasi, dan O-metilasi
36
(Kuhnle et al., 2000). Bentuk konyugat yang terglukoronidasi, tersulfatasi, dan
termetilasi (sederhana atau campuran) memasuki sirkulasi sistemik. Studi perfusi
dilakukan terhadap usus tikus menunjukkan bahwa flavon dan aglikon flavonol
menjadi terglukoronidasi pada penyerapan melalui jejunum dan ileum (Spencer et
al.,1999) dengan aksi uridin difosfat (UDP) -glucuronosyltransferase (UDP-GT).
Transferase adalah enzim yang ditemukan terikat pada membran di retikulum
endoplasma di beberapa jaringan yang mengkatalisis transferensi asam glukuronat
dari asam UDP-glukuronat untuk beberapa glikosida ke enterosit, yang bisa
dihidrolisis oleh glukosidase sitosol spesifik spektrum luas (BSG) (Day et al.,
1998). Laktase phloridzine hidrolase (LPH), glikosidase yang ada dalam brush
border membran usus halus, dapat mengkatalisis hidrolisis ekstraseluler beberapa
glikosida, yang diikuti oleh difusi aglikon di brush border (Spencer et al.,1999).
Peran kedua enzim pada hidrolisis glikosida tidak dikenal baik. Oleh karena itu,
dengan pengecualian dari anthocyanin.
Gambar 2.11
Penyerapan flavonoid pada usus manusia (Xiao et al.,2013)
Dalam kebanyakan kasus, flavonoid O-glikosida yang terhidrolisis oleh
enzim atau terdegradasi oleh bakteri aglikonnya di usus, berkurang dan
37
terkonjugasi untuk membentuk flavonoid O-glukoronida dan O-sulfat dalam hati
(Xiao et al., 2013). Namun, flavonoid C-glikosida menunjukkan perilaku
farmakokinetik yang berbeda dibandingkan dengan flavonoid O-glikosida (Xiao
et al., 2014). Flavonoid C-monoglikosida tampaknya memiliki jalur penyerapan
dan metabolisme yang berbeda dari C-multiglikosida (Gambar 2.12). Molekul
gula yang terikat melalui glikosilasi memegang peran biologi penting dalam
banyak produk alami, dan hidrolisis dapat mengakibatkan hilangnya bioaktivitas
(Stobiecki, 2000). Mengubah struktur gula untuk aglikon dapat meningkatkan
sifat fisiologisnya (Simkhadam et al., 2010). Orientin dan vitexin dari Trollius
chinesis dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dalam serum dan jaringan tikus
dan mengurangi jumlah MDA (Wang et al., 2012). Di literatur, studi tentang sifat
antioksidan flavonoid glikosida umumnya difokuskan pada O-glikosida
(Lemmens et al., 2014). Ada informasi terbatas tentang aktivitas antioksidan
flavonoid C-glikosida meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
flavonoid C-glikosida memiliki berbagai aktivitas biologis, termasuk antioksidan,
antimikroba, sitotoksik, dan aktivitas hepatoprotektif (Pacifico et al., 2010).
Flavonoid terglikosilasi secara umum menurun kapasitas antioksidanya
dibandingkan dengan aglikon yang sesuai, tapi glikosilasi juga mempengaruhi
parameter termasuk kelarutan dan stabilitas (Plaza et al., 2014). Namun, karena
mekanisme dan efek glikosilasi belum sepenuhnya dijelaskan, masih ada
kecendrungan yang signifikan untuk menyelidiki aktivitas antioksidan flavonoid
glikosida.
38
Gambar 2.12
Penyerapan dan metabolisme flavonoid C Glikosida (Jianbo et al., 2016)
es
2.10.3 Mekanisme kerja glikosida flavonoid
Kapasitas flavonoid sebagai antioksidan tergantung dari struktur
molekulnya. Posisi gugus hidroksil dan adanya gugus tertentu dipercaya
merupakan faktor yang penting terhadap aktivitas antioksidan dan antiradikal
bebas. Senyawa-senyawa dengan suatu gugus –OH (hidroksil) yang terikat pada
karbon cincin aromatik merupakan antiradikal bebas yang efektif, produk radikal
bebas senyawa-senyawa ini terstabilkan secara resonansi sehingga tidak reaktif
dibandingkan dengan kebanyakan radikal bebas lain (Djatmiko, et al 1998;
Cooper, 2001).
Kuersetin berpotensi sebagai antioksidan karena gugus hidroksilnya dapat
berfungsi dalam meredam radikal bebas. Kalkon dan flavanon dengan gugus
prenil atau geranil seperti santohumol (kalkon), isosantohumol dan 6-
prenilnaringenin (flavanon) terbukti dapat meredam radikal bebas lebih potensial
daripada vitamin E. Gugus prenil tersebut dipercaya mempunyai peranan yang
sangat penting dalam aktivitasnya sebagai antioksidan untuk flavonoid tertentu
39
(Buhler, 2007). Struktur glikosida flavonoid yang efektif sebagai penangkap
radikal bebas adalah struktur dengan substituen dihidroksi pada atom C 3’, 4’
pada cincin B yang bersifat menyumbangkan elektron dan menjadi target radikal.
Adanya gugus O-dihidroksi pada cincin B menyebabkan stabilitas radikal fenoksil
lebih tinggi karena delokalisasi elektron dan berpotensi sebagai antiradikal
(Mohamed, 2008). Mohamed et al., (2015) menyatakan bahwa gugus 3-OH dan
5-OH yang berkombinasi dengan gugus fungsi karbonil dan ikatan rangkap pada
C2-C3 meningkatkan aktivitas penangkap radikal. Ikatan ganda pada C2-C3
terkonyugasi dengan gugus keto juga meningkatkan kapasitas penangkap radikal
(Cao,1997). Mohamed et al., (2015) melaporkan adanya gugus OH bebas pada C
3’ dan 4’ pada cincin B seperti pada kuersetin meningkatkan aktivitas antioksidan
dibandingkan mono hidroksi bebas pada kamferol. Substitusi salah satu gugus
dihidroksi pada cincin B oleh gugus metoksi atau gugus 3 OH oleh gula
menurunkan aktivitas antioksidan (Mohamed et al., 2014). Struktur beberapa
glikosida flavonoid yang aktif sebagai antioksidan disajikan pada Gambar 2.13.
Mekanisme aksi antioksidan dapat mencakup (1) penekanan pembentukan
ROS baik dengan menghambat enzim atau dengan chelating elemen yang terlibat
dalam generasi radikal bebas; (2) penangkapan ROS; dan (3) peningkatan regulasi
atau perlindungan pertahanan antioksidan.
40
Gambar 2.13
Struktur beberapa senyawa glikosida flavonoid yang aktif sebagai
antioksidan (Mohamed et al., 2015)
Aktivitas Flavonoid melibatkan sebagian besar mekanisme yang
disebutkan di atas. Beberapa efeknya dimediasi oleh hasil gabungan dari aktivitas
antioksidan dan interaksi dengan enzim. Flavonoid dapat memberikan efek
antioksidan dengan cara mencegah terbentuknya ROS, menangkap ROS,
melindungi antioksidan lipofilik dan merangsang terjadinya peningkatan
antioksidan enzimatik seperti yang disajikan dalam Gambar 2.14 (Akhlaghi et.al.,
2009
41
Gambar 2.14
Mekanisme pengaruh flavonoid terhadap ROS (Akhaghi., et al 2009)
Flavonoid dapat menangkap secara langsung superoksida dan peroksinitrit
melalui penangkapan superoksida, flavonoid dapat meningkatkan bioavailabilitas
NO dan menghambat pembentukan peroksinitrit atau flavonoid secara langsung
dapat menangkap peroksinitrit yang merusak vacorelaxation endotelium dan
menganggu endotelium, sehingga pada akhirnya menyebabkan sirkulasi darah
yang lebih baik dalam arteri koroner seperti yang disajikan pada Gambar.2.15.
Gambar 2.15
Pengaruh flavonoid terhadap radikal NO• (Akhaghi et al., 2009)
Menangkap
ROS
Induksi enzim
Antioksidan
Menghambat xanthine
oxidase
Menghambat NADPH
oxidase
Melindungi
Antioksidan
lipofilik
Mengkelat logam
Mencegah reaksi
oksidasi
FLAVONOID
42
Flavonoid dapat menghambat terjadinya kerusakan DNA akibat reaksi HO•
dengan basa nitrogen dari DNA dan merangsang terbentuknya antioksidan
enzimatik seperti SOD, Katalase dan GPx. Adapun mekanisme reaksinya dapat
dilihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16
Mekanisme kerja flavonoid dalam menangkap ROS (Zainuri, 2012)
Flavonoid dapat melindungi membran phospholipid FUPA dengan
menyumbangkan atau memberikan salah satu ion hidrogennya kepada peroksil
lipid radikal untuk menghentikan reaksi reaksi radikal selanjutnya. Flavonoid
dapat melindungi tubuh kita dari reaksi lanjutan dari ROS dan RNS dengan
menangkap ROS, memblokir reaksi propagasi dan merangsang terbentuknya
antioksidan endogen seperti GPX, SOD dan Katalase serta menurunkan MDA
karena tidak terjadinya peroksidasi lemak (PUFA) dan menurunkan kadar 8
OHdG karena HO• yang biasanya masuk bereaksi ke dalam DNA sudah
ditangkap oleh flavonoid seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.17.
OHO
OOH
O
OH
O*
O
+ H*
43
Gambar 2.17
Mekanisme Flavonoid dalam menangkap HO•
(Cooke and Mark, 2007)
Flavonoid dapat berfungsi sebagai pengkelat dari logam logam Cu dan Fe
yang berfungsi sebagai katalis dalam reaksi Fenton. Reaksi ini termasuk reaksi
perubahan hidrogen peroksida menjadi •OH. Proses ini akan menurunkan aktivitas
katalitik dari logam Cu dan Fe sehingga akan mengurangi terbentuknya radikal
•OH dan secara otomatis akan menurunkan proses kerusakan DNA dan proses
peroksidasi lemak seperti reaksi berikut : (Valko et al., 2004: Akhlaghi et al.,
2009)
OHO
OOH
O
OH
O*
O
+ H*
44
2.11 Metode DPPH
Untuk mengetahui suatu zat memiliki kemampuan sebagai antioksidan
maka dilakukan uji aktivitas antioksidan, salah satunya menggunakan metode
penangkapan radikal DPPH (2,2-difenil-1-pikril-hidrazil) sebagai senyawa radikal
bebas stabil yang ditetapkan secara spektrofotometri. Radikal DPPH merupakan
radikal bebas dengan pusat nitrogen organik yang stabil berwarna ungu tua yang
ketika tereduksi menjadi bentuk non radikal oleh antioksidan menjadi tidak
berwarna.
Gambar 2.18
Struktur kimia DPPH (Kumar et al.,2014)
Uji peredaman radikal DPPH merupakan uji dekolorisasi untuk mengukur
kemampuan antioksidan yang secara langsung bereaksi dengan meredam radikal
DPPH dengan memantau absorbansinya pada 517 nm dengan
spektrofotometer (Kumar et al., 2014).
45
Gambar 2.19
Reaksi penangkapan radikal oleh DPPH (Molyneux, 2004).
Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui
mekanisme penyumbangan atom hidrogen. DPPH yang menerima elektron atau
radikal hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil yaitu menjadi
DPPH-H (bentuk tereduksi DPPH) yang disebut difenilpikril hidrazin Gambar
2.19. Reaksi pembentukan difenilpikril hidrazin ini akan menyebabkan peredaman
absorbansi DPPH (Djatmiko, et al., 1998).
Jika semua elektron pada radikal DPPH menjadi berpasangan maka
menyebabkan terjadinya peluruhan warna larutan DPPH dari ungu tua menjadi
kuning terang. Perubahan ini dapat diukur secara stoikiometri menggunakan
spektrofotometer UV-Vis sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang
ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya antioksidan. Kemampuan
antioksidan diukur sebagai penurunan serapan larutan DPPH akibat adanya
penambahan sampel. Aktivitas antioksidan untuk menghambat radikal bebas
dinyatakan dalam % inhibisi, yang dihitung menggunakan rumus:
46
%100% xblangkoabsorbansi
sampelabsorbansiblangkoabsorbansiinhibisi
−=
Berdasarkan harga % inhibisi (penangkal radikal bebas) yang diperoleh
kemudian dibuatlah kurva terhadap konsentrasi larutan uji atau pembanding.
Konsentrasi sampel (ppm) sebagai sumbu x dan % inhibisi sebagai sumbu y, lalu
persamaan regresi liniernya ditentukan. Dari persamaan regresi linier y = a + bx
tersebut dapat dihitung nilai IC50 nya dengan memasukkan nilai y sebesar 50
sehingga diperoleh nilai x sebagai IC50 (Nurjanah, et al., 2011).
Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi inhibisi larutan uji yang mampu
menangkal atau menurunkan 50% absorbansi radikal bebas DPPH dibandingkan
dengan larutan blangko (Stevi, et al., 2012). Bahan uji dikatakan aktif bila nilai
IC50 kurang dari 200 ppm untuk bahan uji berupa ekstrak dan kurang dari 100
ppm untuk bahan uji yang berupa isolat (Suryanto, 2012). Metode DPPH banyak
dipilih karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya sederhana, mudah, cepat,
peka atau sensitif serta hanya memerlukan sedikit sampel.
2.12 Isolasi dan Identifikasi Senyawa Glikosida Flavonoid
2.12.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu metode penarikan komponen kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Proses
ekstraksi sangat ditentukan oleh jenis senyawa, tekstur dan kandungan air dari
bahan yang akan diekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan
47
jaringan tumbuhan yang masih segar maupun yang kering (Harborne, 1996).
Jenis-jenis metode ekstraksi dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Cara dingin
a) Maserasi
Maserasi merupakan proses ekstraksi yang dilakukan dengan merendam
sampel untuk menarik komponen yang diinginkan pada kondisi dingin
diskontinyu. Prinsip teknik maserasi adalah pengikatan atau pelarutan zat aktif
berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Pada
proses ini, cairan pengekstrak akan menembus dinding sel kemudian masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut yang disebabkan
oleh adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar
sel. Keunggulan dari teknik maserasi adalah lebih praktis, penggunaan pelarut
yang lebih sedikit dibandingkan dengan perkolasi serta tidak memerlukan proses
pemanasan. Kelemahan dari teknik ini adalah prosesnya membutuhkan waktu
yang lebih lama. Filtrat yang diperoleh dari proses maserasi biasanya diuapkan
dengan alat penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) sehingga
menghasilkan ekstrak pekat (Harborne, 1996; Kristanti et al., 2008).
b) Perkolasi
Perkolasi merupakan teknik ekstraksi dengan mengalirkan pengekstrak
melalui bahan yang telah dibasahi sehingga pelarut yang digunakan selalu baru.
Perkolasi banyak digunakan untuk ekstraksi metabolit sekunder, terutama untuk
senyawa yang tidak tahan panas (Harborne, 1996). Perkolasi terdiri atas beberapa
tahapan yaitu tahap pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
48
sebenarnya secara terus-menerus sampai diperoleh ekstraknya. Jika dibandingkan
dengan maserasi, metode perkolasi memiliki kelebihan yaitu:
• Aliran cairan pengekstrak menyebabkan adanya pergantian larutan yang
terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga
meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
• Ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat
mengalir cairan pengekstrak. Kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi
lapisan batas karena kecilnya saluran kapiler sehingga dapat meningkatkan
perbedaan konsentrasi.
2. Cara Panas
a) Refluks
Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada temperatur yang
sesuai dengan titik didihnya. Prinsip dari teknik refluks adalah proses ekstraksi
yang berkesinambungan. Bahan yang akan dieksraksi direndam dengan cairan
pengekstrak dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak,
kemudian dipanaskan sampai mendidih. Teknik ini biasanya dilakukan 3 kali dan
setiap kali diekstraksi selama 4 jam (Harborne, 1996).
b) Sokletasi
Sokletasi merupakan metode ekstraksi yang menggunakan ekstraksi
berulang disertai pemanasan. Metode sokletasi dilakukan dengan cara
memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang
sudah membasahi sampel selanjutnya akan turun ke labu pemanasan serta kembali
menjadi uap untuk membasahi sampel. Hal tersebut dapat menghemat
49
penggunaan pelarut karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi
sampel. Metode ini sangat baik digunakan untuk senyawa yang tidak mudah
terurai oleh proses pemanasan.
Flavonoid yang tersebar pada tumbuhan pada umumnya bersifat polar.
Oleh karena itu, senyawa flavonoid dapat diekstrak menggunakan pelarut polar.
Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi kemudian diuapkan dengan rotary
vacum evaporator sehingga dihasilkan ekstrak yang pekat. Ekstrak inilah yang
dikenal dengan sebutan ekstrak kasar (crude extract). Metode yang paling umum
digunakan pada saat ekstraksi adalah maserasi karena mudah serta memberikan
hasil yang memuaskan (Markham, 1988).
2.12.2 Pemisahan dan pemurnian
Sebelum dilakukan proses pemurnian dengan teknik kromatografi, terlebih
dahulu dilakukan proses pemisahan dengan cara ekstraksi cair-cair yang dikenal
dengan tahap partisi (Harborne, 1996). Ekstraksi cair-cair merupakan proses
pemisahan zat terlarut di dalam dua jenis pelarut yang bersifat tidak saling
campur. Pada umumnya ekstraksi cair-cair dimulai dengan penggunaan pelarut
non polar seperti n-heksan atau petroleum eter untuk menarik senyawa yang
bersifat non polar. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan pelarut semipolar
seperti kloroform, etil asetat atau aseton untuk menarik senyawa yang bersifat
semipolar. Setelah itu, proses partisi dilanjutkan dengan pelarut polar seperti
metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa yang bersifat polar. Proses
ekstraksi cair-cair ini biasanya menggunakan corong pisah dalam proses
pemisahannya (Sudjadi, 1992; Harborne, 1996).
50
2.13 Spektrofotometri UV-Vis
Analisis kualitatif dan kuantitatif sampel yang mengandung flavonoid
dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Spektrofotometri UV-Vis merupakan suatu teknik analisis spektroskopi yang
menggunakan sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380
nm) dan sinar tampak (380-780 nm). Pada proses analisis molekulnya,
spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar (Mulja
and Suharman, 1995).
Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan terjadinya transisi elektronik,
yaitu perpindahan elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi
rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi tinggi. Keuntungan dari serapan
ultraviolet yaitu lebih selektif dimana gugus-gugus yang khas dapat diketahui
dalam molekul-molekul yang sangat kompleks (Noerdin, 1995). Eksitasi elektron
yang memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu disebut
dengan panjang gelombang maksimum (λmaks). Penentuan panjang gelombang
maksimum dapat digunakan untuk mengidentifikasi molekul yang memiliki
karakteristik tertentu sebagai data sekunder.
Spektrofotometri ultraviolet merupakan teknik yang paling tepat untuk
menganalisis struktur flavonoid, umumnya ditentukan dalam larutan dengan
pelarut metanol atau etanol. Spektrum senyawa flavonoid terdiri atas dua pita
absorbsi maksimum yaitu pita I pada rentang 300-550 nm dan pita II pada rentang
240-285 nm. Pita I menunjukkan absorbsi sistem sinamoil pada cincin B dan pita
II menunjukkan absorbsi sistem benzoil pada cincin A (Markham, 1988).
51
Kedudukan gugus hidroksi fenol bebas pada inti flavonoid dapat
ditentukan dengan cara menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan
dan mengamati puncak serapan yang terjadi (Markham, 1988). Terdapat dua
langkah yang dilakukan dalam menafsirkan spektrum. Langkah pertama yaitu
menentukan jenis flavonoid dengan memperhatikan bentuk umum spektrum
dalam metanol, panjang gelombang pita serapan dan data kromatografi. Langkah
kedua yaitu memperhatikan arti perubahan spektrum yang disebabkan oleh
adanya penambahan berbagai pereaksi geser. Pereaksi geser yang umum
digunakan adalah NaOMe untuk mengetahui keberadaan gugus hidroksil pada
atom C3’ dan C4, NaOAc untuk mengetahui keberadaan gugus 7-hidroksil bebas,
CH3COONa menyebabkan pengionan (pada gugus hidroksil flavonoid yang
paling asam) dan AlCl3 untuk mengetahui letak gugus hidroksil pada atom C3 dan
C5 (Markham, 1988).
2.14 Spektrofotometri Inframerah
Spektrofotometri inframerah (IR) merupakan suatu teknik yang digunakan
untuk mengukur penyerapan radiasi inframerah pada berbagai panjang
gelombang. Energi inframerah tidak mampu mentransisikan elektron melainkan
hanya menyebabkan molekul mengalami vibrasi pada tingkat vibrasi tertentu.
Spektra inframerah suatu senyawa mampu memberikan gambaran dan struktur
molekul dari senyawa tersebut. Spektra IR dapat dihasilkan dengan mengukur
absorbansi radiasi, refleksi atau emisi di daerah IR.
52
Suatu ikatan kimia dapat bervibrasi sesuai dengan tingkat energinya
sehingga memberikan frekuensi yang spesifik. Hal inilah yang menjadi dasar
pengukuran spektroskopi IR. Pada umumnya terdapat dua jenis vibrasi molekul
yaitu vibrasi ulur (stretching) dan tekuk (bending). Vibrasi ulur merupakan
pergerakan atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom sehingga
jarak antara atom dapat bertambah atau berkurang. Contoh vibrasi ulur adalah
symmetrical stretching dan assymmetrical stretching. Vibrasi tekuk merupakan
pergerakan atom yang menyebabkan perubahan sudut ikatan antara dua ikatan
atau pergerakan dari satu atom ke atom lainnya. Contoh vibrasi tekuk adalah
scissoring, rocking, wagging dan twisting. Daerah inframerah pada spektrum
gelombang elektromagnetik mencakup bilangan gelombang 14.000 cm-1 hingga
10 cm-1. Daerah inframerah sedang (4000-400 cm-1) berkaitan dengan transisi
energi vibrasi dari molekul yang memberikan informasi mengenai gugus-gugus
fungsi dalam molekul tersebut. Daerah inframerah jauh (400-10 cm-1) bermanfaat
untuk menganalisis molekul yang mengandung atom-atom berat seperti senyawa
organik, namun membutuhkan teknik khusus yang lebih baik. Daerah inframerah
dekat (12.500-4000 cm-1) yang peka terhadap vibrasi overtone (Sastrohamidjojo,
1992).
2.15 Liguid Chromatography Mass Spectrometry (LC-MS/MS)
Liguid Chromatography Mass Spectrometry (LC-MS/MS) adalah
kombinasi dari kromatografi cair (LC) dengan spektrometri massa (MS). MS
berarti hanya menganalisis ion prekursor (seperti yang dihasilkan di sumbernya)
53
misalnya dalam sebuah iontrap, sebuah quadrupole atau time-of-flight Massspec.
MS / MS adalah kombinasi dari dua penganalisis massa dalam satu instrumen
spektro massa. Filter MS pertama untuk ion prekursor diikuti oleh fragmentasi ion
prekursor dengan energi tinggi. Alat analisa massa kedua kemudian disaring
untuk ion produk, yang dihasilkan oleh fragmentasi. Ini biasanya dilakukan di
triple quadrupole MS (QQQ) atau QTOF. Kelebihan MS/MS adalah
meningkatnya sensitivitas (di QQQ, karena pengurangan kebisingan) dan bisa
mendapatkan lebih banyak informasi struktural pada analit (QTOF) berdasarkan
pola fragmentasi.(Sumbono,2010).
Uji pendahuluan adanya senyawa flavonoid dalam buah terong telah
dilakukan melalui skrining fitokimia menggunakan pereaksi Willstatter, Bate
Smith-Metcalfe, dan NaOH 10%. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa buah
terong belanda mengandung flavonoid, sementara banyak penelitian menunjukkan
bahwa beberapa flavonoid bersifat antioksidan, maka perlu dilakukan isolasi dan
uji antioksidan glikosida flavonoid dalam buah terong belanda tersebut baik
secara in vitro maupun in vivo.