bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir · unsoed (universitas ... di antaranya dalam bidang...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. PenelitianTerdahulu
Peneliti melakukan studi pustaka guna mengetahui kajian terdahulu yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penelusuran dilakukan melalui digital
library universitas-universitas di Indonesia, terhadap naskah monolog Balada
Sumarah karya Tentrem Lestari. Namun sampai penulisan skripsi ini, monolog
tersebut belum pernah diteliti dalam bentuk laporan ilmiah, skripsi maupun tesis
di beberapa universitas, antara lain: UGM (Universitas Gajah Mada) di
Yogyakarta, Universitas Sananta Dharma di Yogyakarta, UNY (Universitas
Negeri Yogyakarta) di Yogyakarta, Undip (Universitas Diponegoro) di Semarang,
Unsoed (Universitas Jendral Soederman) di Purwokerto, Unesa (Universitas
Negeri Surabaya) di Surabaya, Unair (Universitas Airlangga) di Surabaya, Unpad
(Universitas Padjajaran) di Bandung, UNJ (Univesitas Negeri Jakarta) di Jakarta,
UI (Universitas Indonesia) di Jakarta, dan Universitas Andalas di Padang. Akan
tetapi, peneliti hanya menemukan beberapa bentuk tulisan berupa pers release dan
berita feature, yang berisi pengumuman agenda pementasan teater, laporan
pementasan teater, maupun pengumuman lomba teater dengan menggunakan
naskah monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari dalam beberapa blog.
12
13
Kajian terdahulu dalam penelitian ini, dilakukan pula dengan cara
menelusuri penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan feminisme
dalam penelitian sastra. Penelitian yang berkaitan dengan feminisme yang
pertama adalah skripsi yang ditulis oleh Putri Ayuni Gamas pada tahun 2012
berjudul “Perlawanan Perempuan Akibat Ketidakadilan Gender Dalam Novel
Entrok Karya Okky Madasari”. Pembahasan difokuskan pada ketidakadilan yang
dialami oleh tokoh perempuan akibat adanya konstruksi gender yang
dilanggengkan oleh budaya patriarki dan bagaimana tokoh perempuan melakukan
perlawanan atas ketidakadilan tersebut. Hasil penelitian ini memperlihatkan
bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan dalam berbagai bidang,
di antaranya dalam bidang pembagian kerja, pembagian upah, dan juga
kesewenangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Ketidakadilan tersebut
membuat perempuan melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut dilakukan
melalui kemandirian dan seksualitas perempuan.
Penelitian yang ditulis Rosita Isminarti tahun 2010 dengan judul “Citra
Perempuan Dalam Novel Kesempatan Kedua Karya Jusra Chandra: Tinjauan
Feminisme Sastra”. Penelitian tersebut memfokuskan pada citra perempuan dalam
novel Kesempatan Kedua. Analisis yang digunakan adalah analisis struktural.
Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan bahwa alur, penokohan dan latar
merupakan penunjang tema. Alur cerita dalam novel dipengaruhi oleh kepribadian
suami yang kurang menghargainya sebagai seorang istri dan tema yang dipilih,
yaitu: kesabaran, keteguhan dan ketegaran seorang istri kepada suaminya yang
kurang menghargainya sebagai seorang istri. Citra perempuan dalam novel
Kesempatan Kedua karya Jusra Chandra, antara lain: (a) citra perempuan sebagai
14
seorang istri yang setia, (b) citra perempuan sebagai istri yang sabar dan tabah, (c)
citra perempuan sebagai seorang istri yang tegas, (d) citra perempuan yang
memperhatikan keluarga, dan (e) citra perempuan di bidang pendidikan dan
karier. Penelitian tersebut juga membahas mengenai tokoh perempuan yang
mengalami ketidakadilan gender, tetapi lebih ditekankan pada cara tokoh
perempuan dalam menghadapi suaminya yang tidak menghargainya sebagai
seorang istri.
Skripsi yang ditulis oleh Nisa Kurniasih pada tahun 2014, dengan judul
“Citra Perempuan Dalam Tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA”. Fokus dari penelitian tersebut yakni, mengkaji
citra perempuan sebagai tokoh utama dalam ketiga cerpen Martin Aleida. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya beberapa citra perempuan diantaranya
yakni, citra perempuan dalam aspek fisik yang ditunjukkan dalam fisik
perempuan dewasa, citra perempuan dalam aspek psikis yang mengarah pada
perempuan merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan memiliki perasaan,
serta citra perempuan dalam aspek keluarga dan masyarakat. Perempuan
digambarkan sebagai makhluk sosial yang memiliki hubungan dengan pihak lain.
Dalam hubungan dengan laki-laki, perempuan masih hidup dalam superioritas
kaum laki-laki. Perempuan berada dalam budaya patriarki, dimana kekuasaan
didominasi oleh laki-laki. Dalam penelitian tersebut, pembahasan lebih
difokuskan pada perlawanan perempuan terhadap superioritas kaum laki-laki.
15
Heri Aprilianto (2005) dengan judul penelitiannya “Tokoh Utama Wanita
dalam Pandangan Gender pada Novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning
Pranoto”. Hasil penelitiannya yaitu: a) Tokoh utama wanita dalam novel Wajah
Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah Sumirah. Sumirah memiliki sifat
mudah tergoda atau dirayu, tidak mudah melupakan kebaikan orang lain,
menghargai orang lain, dan tidak ingin orang lain khawatir atau sedih, takut
menyinggung perasaan orang lain, dan pekerja keras. b) Jenis gender tokoh dalam
novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto meliputi sebagai berikut. (1)
Gender differrenc, seperti terlihat pada saat tokoh Sumirah menjadi penjual bir di
hotel karena disuruh oleh suaminya. (2) Gender Gap yaitu, adanya perbedaan
dalam hubungan berpolitik dan bersikap antara laki-laki dan perempuan, seperti
terlihat pada saat Sumirah diperlakukakan semena-mena oleh lurah di desanya. (3)
Genderization, seperti terlihat pada saat tokoh Sumirah menjadi penjual bir di
hotel, karena sebagai seorang wanita mempunyai sifat ulet, terampil, dan teliti,
maka oleh suaminya ia disuruh menjual bir di hotel. (4) Gender Identity, seperti
terlihat pada saat tokoh Sumirah merasa bersalah karena belum bisa membantu
Toeti memasak dan membersihkan rumah. c) Ketidakadilan gender yang dialami
oleh tokoh utama wanita dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning
Pranoto adalah ketidakadilan yang berupa marginalisasi perempuan, kekerasan
terhadap perempuan, dan subordinasi pekerjaan perempuan.
16
Kasido pada tahun 2013 juga melakukan penelitian tentang feminisme
dengan judul, “Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita dan Nilai
Pendidikan Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Pendekatan
Feminisme dan Nilai Pendidikan)”. Fokus penelitian tersebut yakni mengkaji
bagaimana tokoh perempuan dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala
memperjuangkan kesetaraan gender. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa,
perjuangan kesetaraan tokoh wanita dalam novel Gadis Kretek karya Ratih
Kumala melawan bentuk ketidakadilan gender yang berupa stereotip,
marginalisasi perempuan, subordinasi pekerjaan, dan kekerasan dalam rumah
tangga.
Penelitian yang kurang lebih sama, dilakukan oleh Aulia Nurul Falah
(2014), Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas
Maret dengan judul “Ketidakadilan Gender dalam novel Galaksi Kinanti karya
Tasaro GK: Tinjauan Kritik Sastra Feminis”. Secara keseluruhan, penelitian ini
terfokus pada bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh Tokoh
Kinanti, serta wujud perjuangan tokoh perempuan dalam kesetaraan gender.
Dalam penelitian tersebut, diuraikan bentu-bentuk ketidakadilan gender yang
terjadi dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan fisik dan
psikis, serta beban kerja. Salah satu contoh ketidakadilan gender yang dialami
oleh tokoh Kinanti dalam novel Galaksi Kinanti adalah saat dia ditukar orang
tuanya dengan 50 kilogram beras. Subordinasi yang terjadi dalam novel Galaksi
Kinanti pada penelitian tersebut ditunjukkan ketika orang-orang Arab yang
menganggap perempuan hanyalah pelayan. Pelabelan negatif terhadap perempuan,
terjadi pada Kinanti saat dirinya tidak diperbolehkan berteman dengan Ajuj
17
karena anak baulawean. Kekerasan fisik dan psikis menimpa Kinanti ketika
bekerja menjadi TKW di Arab. Beban kerja menurut penelitian tersebut, yaitu
perempuan memikul beban kerja lebih banyak meskipun sebenarnya merupakan
tanggung jawab suami dan istri atau laki-laki dan perempuan. Wujud perjuangan
perempuan dalam novel Galaksi Kinanti karya Tasaro GK, ditunjukkan dengan
keberhasilan tokoh Kinanti menjadi orang sukses dan mendapat gelar profesor.
Dari beberapa uraian ringkas tentang hasil penelitian terdahulu yang
telah peneliti paparkan, secara keseluruhan penelitian-penelitian tersebut memilih
karya sastra berupa novel sebagai objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti
ingin menunjukkan bahwa kritik sastra feminis, dapat pula dijadikan sebagai „alat‟
untuk menganalisis karya sastra bergenre naskah drama (yang berupa monolog).
Penelitian-penelitian tersebut, sebenarnya berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan peneliti, karena sama-sama mengkaji persoalan yang dialami oleh tokoh
perempuan. Akan tetapi, dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada
diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan yang menyebabkan
ketidakadilan dalam berbagai bentuk, dan wujud perlawanan (resistensi) yang
dilakukan oleh perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan sebagai akibat langsung dari diskriminasi, berupa marginalisasi,
subordinasi, stereotyping, kekerasan (fisik dan psikologis-psikis), serta beban
kerja berlebih (Fakih, 1996:12).
Perbedaan penelitian-penelitian tersebut diatas dengan penelitian ini,
terletak pada objek penelitiannya, yakni monolog Balada Sumarah karya Tentrem
Lestari. Dalam menganalisis monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari,
peneliti memilih kritik ragam feminis-sosialis untuk meneliti tokoh-tokoh wanita
18
dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas di masyarakat serta status sosialnya.
Kritik ragam jenis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan
merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Terkait dengan monolog Balada
Sumarah karya Tentrem Lestari, akar penindasan yang dialami oleh perempuan
lantaran kelas dan status sosialnya di masyarakat.
Ada banyak aliran dalam penelitian sastra berspektif feminis, masing-
masing mempunyai kecenderungan perjuangan berbeda-beda. Dalam penelitian
ini, dipilih aliran feminisme Liberal yang berdasarkan pemikiran Naomi Wolf.
Dalam pendekatan feminis, Wolf (1997:199) membaginya dalam dua hal, yaitu
feminisme korban dan feminisme kekuasaan.
2. Landasan Teori
a. Feminisme dan aliran-aliran feminis
Feminisme merupakan generalisasi gagasan yang berpusat pada
perempuan. Sebagai teori sosial kritis, feminisme melibatkan diri dalam persoalan
pokok pada konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang dihadapi oleh
kelompok-kelompok yang berbeda dalam kondisi tertindas, dan tujuannya adalah
untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang tertindas (Ratna, 2010:
225). Secara etimologis, feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti
perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2003:184).
Feminisme juga dimaknai sebagai gerakan pembebasan perempuan.
Feminisme sebagai gerakan, pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri
penindasan dari eksploitasi tersebut (Fakih, 1996:99).
19
Hakikat perjuangan feminis adalah pengakuan atas kedudukan
perempuan, demi kesamaan martabat sebagai manusia. Selain itu, feminisme juga
berjuang untuk mendapatkan keadilan hak perempuan dipelbagai bidang
diantaranya, ekonomi, sosial, dan politik serta, menuntut kebebasan perempuan
dalam mengontrol raga dan kehidupannya, baik di dalam maupun luar rumah
(Fakih, 1996:99).
Feminisme sebenarnya bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di
hadapan laki-laki saja, karena pada dasarnya mereka juga sadar bahwa, laki-laki
(terutama kelas proletar), juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh
dominasi, eksploitasi, serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminis
merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur
yang tidak adil, menuju sistem yang adil bagi perempuan dan juga laki-laki.
Menurut Fakih (1996: 100) feminisme merupakan gerakan transformasi sosial
menuju ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Feminisme, terbagi menjadi beberapa aliran dalam perjuangan mereka.
Keragaman aliran tersebut, terjadi karena adanya perbedaan pemikiran dalam
memandang sebab terjadinya opresi (penindasan) yang memicu ketidakadilan
terhadap perempuan. Variasi pemikiran ini, selain merefleksikan bagaimana
feminisme berusaha merespon terhadap kritik yang dilontarkan setiap mazhab
satu sama lain, juga menunjukkan bahwa feminisme merupakan sebuah
paradigma yang cair, responsif dan tidak dogmatis.
Muslikhati (2004:31-39) menyebutkan, sejauh ini ada lima aliran yang
terlahir dari pandangan feminisme, yaitu: feminisme liberal, feminisme marxis,
feminisme radikal, feminisme sosialis dan ekofeminis. Penelitian ini
20
menggunakan pemikiran feminisme liberal, khususnya pandangan Naomi Wolf,
yakni feminisme korban dan feminisme kekuasaan.
Feminisme liberal merupakan aliran feminis gelombang kedua.
Feminisme liberal muncul pada awal abad 18, lahirnya bersamaan dengan zaman
pencerahan. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang hak
asasi manusia (natural right), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu
hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan
(Megawangi, 1999:118-119).
Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan dapat
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menuntut kebebasan
dan kesamaan hak-hak terhadap akses pendidikan, kesempatan kerja, serta
pembaharuan hukum yang bersifat diskriminatif. Feminisme liberal, berusaha
menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan yang tertindas.
Perempuan dalam perspektif feminisme liberal adalah makhluk rasional,
kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga
dengan laki-laki. Feminisme liberal mendifinisikan nalar secara umum dalam
istilah moral dan prudensial, sehingga mereka setuju bahwa masyarakat yang adil
akan memungkinkan seseorang individu untuk menunjukkan otonominya, namun
permasalahannya ada pada produk kebijakan negara (Tong, 2008:15-16). Tujuan
feminisme liberal adalah untuk menempatkan masyarakat yang adil dan peduli
(tempat kebebasan berkembang), sehingga hanya ditempat yang demikian
perempuan dan laki-laki bisa berkembang.
21
Bagi penganut aliran feminisme liberal, negara sebagai penguasa yang
memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda, yang berasal dari teori
pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa, negara didominasi oleh kaum laki-
laki yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat ”maskulin”. Negara
bagi feminisme liberal, adalah cerminan dari kelompok kepentingan dominan
yang memang memiliki kendali atas negara tersebut.
Persoalan mengenai kesetaraan dan kebebasan, setidaknya memiliki
pengaruh tersendiri terhadap perempuan terkait dengan kebijakan dalam negara.
Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, dengan konsep pemikiran
“feminisme kekuatan” yang merupakan solusi.
Dalam pandangan Wolf (1997:x), menjadi feminis harus diartikan
„menjadi manusia‟ karena baginya feminis adalah sebuah konsep yang
mengisahkan harga diri pribadi dan harga diri seluruh kaum perempuan. Dalam
pendekatan feminis, Wolf (1997:199) membaginya dalam dua hal, yaitu
feminisme korban dan feminisme kekuasaan.
Feminisme korban memuat representasi citra „ketidakberdayaan
perempuan‟, lantas kemudian memunculkan kesadaran. Kendati demikian
menurut Wolf, konsep tradisi „feminisme korban‟ justru memperlambat kemajuan
perempuan. Menurutnya, seseorang tidak perlu melakukan sublimasi apabila dia
memiliki greget sejati untuk mengupayakan perbaikan bagi kehidupan kaum
perempuan. Bagi Wolf, yang dibutuhkan perempuan adalah keberanian untuk
terus menerus mensosialisasikan gagasan-gagasan feminis secara rasional yang
simpatik, sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Demikian maka, Wolf
mensosialisasikan hasil pemikirannya yakni, feminisme kekuasaan (kekuatan).
22
Citra perempuan sebagai pemegang kekuasaan telah membebaskan
perempuan untuk membayangkan diri mereka sebagai makhluk yang tidak hanya
menarik dan memberikan perasaan ingin menyayangi, melainkan juga dapat
mendorong ke arah aksi, yakni dengan citra tentang agresivitas, keahlian, dan
tantangan, ketimbang pencitraan tentang korban. Oleh karena itu, yang diperlukan
untuk menganalisis perempuan-perempuan yang memahami kekuatan dirinya
adalah pendekatan feminisme kekuasaan. Pendekatan feminisme kekuasaan
merupakan pendekatan yang luwes yang menggunakan dasar perdamaian, bukan
dasar perang dalam perjuangan meraih hak setara. Pendekatan ini bersifat terbuka
dan menghormati laki-laki serta dapat membedakan ketidaksukaan pada laki-laki.
Perempuan dalam konsep feminisme kekuasaan, mempunyai kekuatan dari segi
pendapatan dan pendidikan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan
haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkembang.
Prinsip pendekatan ini yang pertama adalah perempuan dan laki-laki
mempunyai arti yang sama dalam kehidupan. Kedua, perempuan berhak
menentukan nasibnya sendiri. Ketiga, pengalaman-pengalaman mempunyai
makna bukan sekedar omong kosong. Keempat, perempuan berhak
mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman-pengalaman mereka. Kelima,
perempuan layak mendapatkan lebih banyak segala sesuatu yang tidak mereka
punya karena keperempuanan mereka.
Dalam penelitian ini, pengaplikasian pendekatan feminisme kekuasaan
dikaitkan dengan bentuk perlawanan Sumarah, sebagai respon atas tindak
diskriminatif yang dialaminya dalam monolog Balada Sumarah karya Tentrem
Lestari.
23
b. Hakikat Feminisme dalam Sastra
Dalam hubungan gerakan feminis dengan karya sastra, Stimpson
(1981:234, melalui Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:96) menilai bahwa karya
sastra sebagai sesuatu yang berguna bagi pengarahan kebebasan perempuan.
Pendekatan feminisme merupakan suatu kritik ideologis atas perspektif yang
mengalienansi masalah-masalah ketimpangan dalam pemberian peran dan
identitas sosial terhadap perempuan. Teori feminis berkaitan dengan analisis dan
penjelasan mengenai situasi sosial ketertindasan perempuan dalam berbagai
bentuk, diantara yakni terdiskriminasi dan eksploitasi yang memicu ketidakadilan
yang berakibat pada pelanggaran HAM.
Feminisme dalam penelitian sastra, dianggap sebagai gerakan kesadaran
perempuan terhadap pengabaian beragam kasus ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan, yakni terkait kasus diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan
dalam masyarakat, seperti yang tercermin dalam karya sastra. Perempuan dalam
karya sastra seringkali ditempatkan (hanya) sebagai korban. Faruk (1997:35,
melalui Sugihastuti dan Suharto, 2002:66-67) berpendapat bahwa, perempuan
dalam karya sastra ditampilkan dalam kerangka hubungan ekuivalensi dengan
seperangkat tata nilai marginal dan yang tersubordinasi lainnya, yaitu
sentimentalis, perasaan, dan spiritualitas. Perempuan hampir selalu merupakan
tokoh yang dibela atau korban yang selalu diimbau untuk mendapatkan perhatian.
Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, melainkan
merupakan upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi terhadap
perempuan (Fakih, 1996:78). Sasaran feminisme bukan sekedar masalah gender,
melainkan masalah “kemanusiaan” atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
24
Menurut Selden (1986:130-131, yang dikutip oleh Ratna, 2003:194-195),
ada lima masalah yang muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu: a)
masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketidaksadaran, dan e) masalah
sosioekonomi. Dimensi sosiologis dibicarakan dalam kaitannya dengan kondisi
sosial, politik, dan ekonomi. Dalam penelitian sastra, feminisme diasosiasikan
sebagai konsep kritik sastra feminis (Sugihastuti, 1996:37).
c. Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus
analisisnya pada perempuan (Sugihastuti, 1996:37). Dasar pemikiran feminis
dalam sastra adalah upaya pemahaman kedudukan peran perempuan seperti
tercermin dalam karya sastra (Endraswara, 2004:146). Kritik sastra feminis
mengkaji karya sastra perempuan karena, sastra hasil karya penulis perempuan
memiliki kekhususan dalam mengekspresikan kehidupan perempuan (Ryan, 2011:
180).
Kritik sastra feminis, merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra
yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme diberbagai penjuru
dunia. Kritik sastra feminis merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Tujuan
dari kritik sastra feminis yakni menginginkan adanya keadilan dalam memandang
eksistensi perempuan. Studi perempuan dalam sastra merupakan penelaahan
tokoh perempuan sebagai manusia dan kelompok masyarakat lain secara lebih
luas. Studi ini dilakukan dalam bentuk studi kasus. Dalam karya sastra tertentu
sebagai objek studi kasus, hasil penelitian itu dapat menceritakan misalnya,
kegagalan atau keberhasilan tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga,
dan warga masyarakat (Sugihastuti-Suharto, 2002: 22-23).
25
d. Ragam Kritik Feminis
Lebih lanjut Djajanegara (2000:27-39) menguraikan ragam kritik sastra
feminis sebagai berikut.
1. Kritik ideologis
Kritik ideologis merupakan kritik yang melibatkan perempuan,
khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Pusat perhatian perempuan sebagai
pembaca adalah citra serta stereotip tokoh perempuan dalam karya sastra. Kritik
ini juga meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab perempuan
sering tidak diperhitungkan dalam kritik sastra.
2. Ginokritik (gynokritik)
Ragam jenis gynokritik adalah upaya mengkaji penulis-penulis
perempuan, termasuk sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema,
genre, struktur tulisan, dan kreatifitas perempuan, asosiasi profesi penulis
perempuan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan.
3. Ragam kritik feminis sosialis
Meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-
kelas di masyarakat serta status sosialnya. Kritik ragam jenis ini mencoba
mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang
tertindas.
4. Ragam kritik psikoanalisis
Memfokuskan kajian pada tulisan-tulisan perempuan karena para feminis
percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya pada si
tokoh perempuan, sedangkan tokoh perempuan, tersebut pada umumnya
merupakan cermin penciptanya.
26
5. Ragam kritik feminis lesbian
Meneliti penulis dan tokoh perempuan saja, diawali dengan
mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian, kemudian
mengidentifikasi penulis dan karya-karya lesbian. Ragam kritik ini masih sangat
terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok
wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal perempuan yang menulis
lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi
lesbianisme, selain ini kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung.
Pada intinya, tujuan dari ragam kritik feminis lesbian adalah mengembangkan
suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengritik sastra
lesbian akan menentukan apakan definisi ini dapat diterapkan pada teks sastra.
6. Ragam kritik feminis ras/etnik
Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik
dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional
dan sastra feminis. Kritik ini bermula dari diskriminasi ras dan seksual yang
dialami kaum perempuan yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati,
2003:136).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ragam kritik feminis sosialis
untuk menganalis monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari. Ragam jenis
ini dirasa relevan, terkait dengan monolog Balada Sumarah karya Tentrem
Lestari, akar penindasan yang dialami oleh perempuan lantaran kelas dan status
sosialnya di masyarakat.
27
e. Penerapan Kritik Sastra Feminis
Menurut Djajanegara (2000:51), pada umumnya karya sastra berupa
cerpen, novel, maupun naskah drama, dapat dikaji menggunakan pendekatan
feminis, asalkan ada tokoh perempuannya. Kita akan dengan mudah
menggunakan pendekatan ini jika tokoh perempuan itu dikaitkan dengan tokoh
laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh protagonis
maupun tokoh bawahan.
Adapun cara penerapan kritik sastra feminis dalam meneliti sebuah karya
sastra, menurut Djajanegara (2000:40-41) adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan satu atau beberapa tokoh perempuan yang
terdapat pada sebuah karya.
2. Mencari status atau kedudukan tokoh perempuan tersebut di dalam
masyarakat.
3. Mencari tahu tujuan hidup dari tokoh perempuan tersebut di dalam
masyarakat.
4. Memperhatikan apa yang dipikirkan, dilakukan dan dikatakan oleh
tokoh-tokoh perempuan tersebut, sehingga kita dapat mengetahui
perilaku dan watak mereka berdasarkan penggambaran yang langsung
diberikan oleh pengarang.
5. Meneliti tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh
perempuan yang sedang diamati. Kita tidak akan memperoleh
gambaran secara lengkap mengenai tokoh perempuan tersebut tanpa
memunculkan tokoh laki-laki yang ada disekitarnya.
28
f. Diskriminasi
Tindak diskriminatif selalu memicu ketidakadilan, baik ketidakadilan
sosial, politik, maupun ekonomi. Praktek ketidakadilan tersebut termanifestasi
dalam lima bentuk, yaitu:
1. Peminggiran (marginalisasi)
Kelompok marginal adalah salah satu kelompok dalam struktur sosial
masyarakat yang tidak memiliki kekuatan maupun kekuasaan, sehingga mereka
mengalami peminggiran. Substansi dari kelompok marginal dalam istilah
Gramscian disebut sebagai subaltern, adalah mereka yang lemah secara ekonomi
maupun politik, meskipun secara kuantitas merupakan bagian terbanyak dalam
sebuah komunitas. Buruh merupakan representasi dari subaltern. Buruh terdiri
dari perempuan dan laki-laki. Polemik yang sering dihadapi oleh para buruh salah
satunya adalah marginalisasi yang merupakan pemicu utama dari pemiskinan.
Eksploitasi tenaga buruh tanpa upah yang layak, merupakan praktek nyata dari
bentuk marginalisasi (peminggiran).
Menurut Fakih (1996:13), marginalisasi merupakan proses pengabaikan
hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh pihak-pihak yang termarginal (dalam hal
ini adalah perempuan), namun hak tersebut diabaikan dengan alasan tertentu. Ada
beberapa faktor yang memicu marginalisasi terhadap perempuan, yakni kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan bahkan
asumsi ilmu pengetahuan. Peminggiran seringkali terjadi dalam bidang ekonomi.
Dalam wacana pembangunan, perempuan hanya dimaknai sebagai
reproduksi buruh murah (Fakih, 1996:88-89). Posisi perempuan yang menjadi
buruh, membuat mereka harus mengalami dua bentuk marginalisasi. Pertama,
29
marginalisasi dalam hubungan relasi kuasa antara majikan dan buruh. Kedua,
marginalisasi terhadap perempuan dalam konsepsi budaya patriarkhi.
Perempuan tidak memiliki akses dan kontrol seperti laki-laki dalam
penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi
perempuan dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi mereka
dalam masyarakat. Fakih (1996: 14) menyebutkan bahwa, proses marginalisasi
mengakibatkan kemiskinan. Proses marginalisasi atau peminggiran, dapat pula
terjadi sebagai akibat langsung dari melekatnya label-label buruk pada diri
perempuan, atau biasa disebut dengan stereotip.
2. Penomorduaan (subordinasi)
Definisi dari subordinasi adalah hubungan antara satu atau lebih dalam
tingkatan hierarki yang berbeda (Sugono, 2008:1535). Subordinasi bisa juga
diartikan sebagai anggapan tidak penting dalam suatu keputusan atau
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Seorang perempuan
selalu dimaknai secara genderis. Pensifatan yang terlanjur disematkan masyarakat
pada perempuan selalu dikaitkan dengan kelemahan, tidak penting, tidak berguna,
sensitif dan lain sebagainya.
Praanggapan tidak penting serta berbagai stigmasisasi negatif inilah yang
disebut Beauvoir sebagai The Second Sex (jenis kelamin kedua), The Otherness
atau Sang Lain (Liyan). Budaya patriarkhi merupakan akar dari keterasingan yang
dialami oleh perempuan, sehingga membentuk subordinasi. Perempuan kemudian
diposisikan sebagai Sang Lain dalam struktur masyarakat melalui mitos-mitos
yang sengaja diproduksi oleh budaya patriarkat, dan ditebar ke pelbagai pranata
sosial seperti; keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan juga negara.
30
Asumsi inilah yang memicu Beauvoir (2003:15) menyatakan bahwa,
“Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan”.
Akibat dari subordinasi, perempuan menjadi tidak bebas, kehilangan ruang untuk
mengolah kebebasannya dan menemukan identitas dirinya, serta mendapatkan
haknya.
Fakih (1996:15) berpendapat bahwa, subordinasi pada dasarnya adalah
pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial. Subordinasi adalah
anggapan tidak penting dalam suatu keputusan atau menempatkan seseorang pada
posisi tidak penting. Perempuan seringkali menjadi objek subordinasi lantaran
adanya anggapan bahwa, perempuan mahluk yang lemah, sentimentil, tidak
mampu berpikir logis dan sering menangis.
3. Pelabelan negatif (stereotyping)
Secara artifisial, stereotip ialah konsepsi mengenai suatu golongan
berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat (Sugono, 2008:1528).
Stereotip dimaknai sebagai pelabelan negatif terhadap suatu kelompok tertentu
(Fakih, 1996:15). Stereotyping merupakan produk dari konstruksi ideologis suatu
masyarakat maupun negara terhadap perempuan, dan merupakan akar dari opresi
(penindasan) yang memicu ketidakadilan.
4. Kekerasan (violence)
Kekerasan merupakan bagian dari suatu bentuk kejahatan yang membuat
seseorang terdiskriminasi, sehingga mengalami ketidakadilan. Menurut Fakih
(1996:17), kekerasan (violence) yaitu serangan atau invansi (assault) terhadap
fisik, maupun intergritas mental psikologis seseorang. Kekerasan bisa dilakukan,
maupun dialami oleh laki-laki dan perempuan.
31
Ada dua jenis kekerasan, yakni kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan
fisik terbagi menjadi dua, yaitu seksual dan non seksual. Kekerasan fisik seksual
adalah kekerasan yang terkait dengan masalah seksual, yaitu bentuk pelecehan
seksual (molestation) hingga pemerkosaan. Namun pada umumnya, kekerasan
fisik seksual yang berupa pemerkosaan dialami oleh perempuan. Tubuh
perempuan yang sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki menerapkan nilai dan norma
patriarkhi. Ideologi tersebut ada di kepala kaum laki-laki maupun perempuan,
juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara dan
birokrasi pembangunan (Fakih, 1996:151).
Difinisi kekerasan fisik nonseksual adalah kekerasan yang dilakukan
dengan cara, memukul, menampar, meninju, dan lain sebagainya. Kekerasan fisik
nonseksual juga bisa dimaknai sebagai penyiksaan. Kekerasan terhadap sesama
manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan
terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan
yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada
dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada
dalam masyarakat (Fakih, 1996: 17). Stereotip yang melekat dalam masyarakat
patriarkhi, mencitrakan perempuan dengan kelemahan, cengeng, tidak rasional,
penurut dan tidak berkuasa, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang bersifat
rasional, memimpin, kuat, perkasa, dan berkuasa. Perbedaan gender tersebut juga
melahirkan kekerasan (violence) dan penyiksaan terhadap kaum perempuan, baik
secara fisik maupun mental. Keberagaman bentuk kekerasan terhadap perempuan
terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk.
32
Perempuan dalam sistem patriarkhi, seringkali dimaknai sebagai „hak
milik‟. Posisi perempuan sebagai „hak milik‟, membuat laki-laki merasa berhak
berlaku semena-mena terhadap perempuan, termasuk melakukan kekerasan
seksual (memperkosa). Akibatnya, perempuan sering menjadi objek kekerasan
fisik secara seksual maupun psikologis, yang menyebabkan diskriminasi.
Selanjutnya, kekerasan psikis atau kekerasan secara psikologis adalah
kekerasan yang menyangkut mental seseorang (Fakih, 1006:17). Wujud dari
kekerasan psikis adalah dengan menghina, mencibir, mencerca, memaki,
memarahi, mengancam, dan menuduh.
5. Beban Kerja Berlebih (double-burden)
Penyifatan masyarakat yang disematkan pada perempuan bahwa,
perempuan itu rajin dan memelihara, maka semua pekerjaan domestik dibebankan
pada perempuan. Sejak kecil, anak perempuan sudah dilatih untuk menekuni dan
berperan dalam pekerjaan domestik (memasak, mencuci, membersihkan rumah),
sedangkan laki-laki tidak. Konsepsi kultural di masyarakat dalam pembentukan
serta pembedaan pembagian peran dalam pekerjaan antara laki-laki dan
perempuan, secara tidak langsung turut melanggengkan sistem patriarkat yang
memicu opresi.
Sebagian perempuan juga mempunyai beban kerja berlebih, yaitu terkait
tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Fakih
(1996:22) menyatakan bahwa bagi kelas menengah dan golongan kaya, beban
kerja itu kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic
workers).
33
g. Bentuk Perlawanan Perempuan
Menurut Foucault (2009:39), konsekuensi dari dominasi kuasa adalah
resistensi (perlawanan). Kendati demikian, subjek yang terdominasi oleh suatu
kuasa, akan melakukan resistensi sebagai upaya negosiasi pembentukan identitas,
meskipun seringkali tidak berhadapan secara langsung. Perlawanan yang
dilakukan oleh subjek yang terdominasi terepresentasi dalam bentuk ideologi,
tindakan, maupun dalam wujud gerakan.
B. Kerangka Pikir
Deskripsi penelitian ini tertuang dalam kerangka pikir sebagai berikut.
1. Menemukan permasalah. Dalam penelitian ini, permasalahan yang paling
menonjol adalah mengenai diskriminasi terhadap perempuan.
2. Langkah selanjutnya dengan melakukan pembacaan, serta memahami
dengan cermat dan teliti monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari.
3. Menentukan teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan
tersebut. Pada penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis.
4. Analisis permasalahan dengan cara memaparkan, menunjukkan, dan
menjelaskan yang disertai kutipan-kutipan pendukung mengenai, bentuk
diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan dalam monolog Balada
Sumarah karya Tentrem Lestari. Bentuk diskriminasi tersebut meliputi
lima hal, yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotyping, kekerasan, dan
beban kerja berlebih. Tokoh perempuan dalam monolog tersebut pada
akhirnya melakukan perlawanan, sebagai respon atas tindak diskriminatif
yang dialaminya.
34
5. Tahap akhir adalah simpulan, disajikan dengan menjawab permasalahan
yang ada dalam monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari.
Memaparkan hasil penelitian secara ringkas mengenai bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, serta perlawanannya, yang terdapat dalam monolog
tersebut.
Bagan Kerangka Pikir
Monolog Balada Sumarah Karya
Tentrem Lestari
Diskriminasi terhadap perempuan
yang terjadi dalam Monolog
Balada Sumarah Karya Tentrem
Lestari
KRITIK SASTRA FEMINIS
Bentuk perlawanan
perempuan atas tindak
diskriminatif yang
dialaminya dalam monolog
Balada Sumarah karya
Tentrem Lestari
Bentuk-bentuk diskriminasi
berupa:
1. Marginalisasi
2. Subordinasi
3. Stereotyping
4. Kekerasan
5. Beban kerja berlebih
Simpulan
35