bab ii kajian pustaka dan perumusan …eprints.umm.ac.id/38626/3/bab ii.pdfmanajer memiliki dorongan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjuan Penelitian Terdahulu
Setyawan dan Harnovinsah (2015) meneliti Pengaruh Beban Pajak
Tangguhan, Profitabilitas, dan Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba pada
Perusahaan Manufaktur Sub Sektor Otomotif dan Komponen yang terdaftar di
BEI periode 2010-2014. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut
menggunakan SPSS versi 22 (2015). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa perencanaan pajak berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Endriati dkk (2013) tentang Pengaruh Perencanaan
Pajak terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Nonmanufaktur yang terdaftar
di BEI, dengan menggunakan SPSS sebagai alat analisis data. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap
manajemen laba. Fadhlizen dkk (2014) meneliti tentang Pengaruh Perencanaan
Pajak dan Aktiva Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan
Manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2009-2013, dengan menggunakan alat
analisis data berupa SPSS, dan memberikan kesimpulan bahwa perencanaan pajak
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dan Dwi (2016) meneliti tentang
Pengaruh Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba dengan Arus Kas sebagai
Variabel Kontrol yang menggunakan alat analisis data berupa SPSS, dan hasil
yang disimpulkan dalam penelitian ini bahwa perencanaan pajak yang disebut
sebagai suatu insentif pajak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba yang
7
dilakukan oleh manajer. Fitriany (2013) meneliti tentang Pengaruh Aset Pajak
Tangguhan, Beban Pajak Tangghan dan Perencanaan Pajak terhadap Manajemen
Laba pada tahun 2011-2013 menyimpulkan bahwa perencanaan pajak terbukti
berpengaruh signifikan dan positif terhadap manajemen laba. Dalam penelitian
tersebut, alat analisis yang digunakan yaitu SPSS.
Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada adanya
suatu hipotesis adanya pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba.
Berdasarkan penelitian terdahulu, alat analisa yang digunakan adalah SPSS,
sehingga peneliti akan menggunakan SPSS pula untuk membuktikan ada atau
tidaknya pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba.
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Perencanaan Pajak
2.2.1.1 Pengertian Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak merupakan usaha yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan agar beban pajak yang harus dibayarkan tidak terlalu tinggi.
Perencanaan pajak dilakukan dengan mengelola dan merekayasa transaksi yang
terjadi dalam perusahaan yang bertujuan memaksimumkan laba. Perencanaan
pajak cukup efektif dilakukan sebagai upaya pengurangan beban pajak, selain itu
aktivitas perencanaan pajak juga diperbolehkan dan tidak melanggar undang-
undang perpajakan (Nike, 2012).
Menurut Suandy (2008), perencanaan pajak merupakan bagian manajemen
pajak dan merupakan langkah awal di dalam melakukan manajemen pajak.
Suandy (2008) mendefinisikan perencanaan pajak sebagai proses mengorganisasi
8
usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang
pajak baik PPh maupun beban pajak yang lainnnya berada pada posisi yang
seminimal mungkin. Seminimal mungkin dalam hal ini dilakukan sepanjang hal
ini masih berada di dalam peraturan perpajakan yang berlaku, sehingga kegiatan
perencanaan pajak ini dilegalkan oleh pemerintah.
Lumbantoruan (1996: 489) dalam Aditama dan Anna (2014) menjelaskan
bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh wajib pajak untuk
meminimalkan beban pajak, antara lain:
1) Pergeseran pajak (tax shifting) merupakan pemindahan atau mentransfer beban
pajak dari subjek pajak kepada pihak lainnya. Dengan demikian, orang atau
badan yang dikenakan pajak dimungkinkan sekali tidak menanggung beban
pajaknya.
2) Kapitalisasi adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak
yang akan dibayarkan kemudian oleh pihak pembeli.
3) Transformasi, yaitu cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh perusahaan
dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya.
4) Penggelapan pajak (tax evasion) adalah penghindaran pajak yang dilakukan
secara sengaja oleh wajib pajak dengan melanggar ketentuan perpajakan yang
berlaku. Penggelapan pajak dilakukan dengan cara memanipulasi secara ilegal
beban pajak dengan tidak melaporkan sebagian dari penghasilan, sehngga
dapat memperkecil jumlah pajak terutang yang sebenarnya.
5) Penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan usaha wajib pajak untuk
meminimalkan beban pajak dengan cara menggunakan alternatif-alternatif
9
yang riil yang dapat diterima oleh fiskus. (Suandy,2008) menyebutkan
penghindaran pajak adalah rekayasa “tax affair” yang masih tetap dalam
bingkai peraturan perpajakan yang ada.
2.2.1.2 Tujuan Perencanaan Pajak
Tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak dapat
ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada, tetapi
berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang, maka perencanaan pajak disini
sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha
untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak karena pajak merupakan unsur
pengurangan laba yang tersedia, baik untuk dibagikan kepada pemegang saham
maupun untuk diinvestasikan kembali. Untuk meminimumkan kewajiban pajak
dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan
perpajakan maupun yang melanggar peraturan perpajakan (Suandy, 2008).
Perencanaan pajak mempunyai tujuan yang spesifik yaitu meminimalkan
maupun mengefisiensikan jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada
pemerintah. Perencanaan pajak merupakan upaya legal yang bisa dilakukan wajib
pajak karena penghematan pajak harus mempertimbangkan tiga hal yaitu (Herlina
dan Agus, 2013:
1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan
2. Masuk akal
3. Dengan dilandasi bukti-bukti pendukung yang memadai baik bersifat formal
maupun substantif.
10
Menurut Pohan (2013) dalam Setyawan (2015), menjelaskan bahwa tujuan
utama perencanaan pajak adalah mencari berbagai celah yang dapat ditempuh
dalam koridor peraturan perpajakan (loopholes), agar perusahaan dapat membayar
pajak dalam jumlah minimal. Ada tiga macam cara yang dapat dilakukan
perusahaan untuk menekan jumlah pajaknya, yaitu dengan cara Tax Avoidance,
Tax Evasion dan Tax Saving. Tax Avoidance yaitu strategi dan teknik
penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena
tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan, yaitu dengan memanfaatkan
kelemaham yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu
sendiri. Tax Evasion yaitu strategi dan teknik penghindaran pajak yang dilakukan
secara ilegal dan tidak aman bagi wajib pajak. Hal ini dilakukan dengan cara
melakukan penghindaran pajak yang bertentangan dengan ketentuan perpajakan,
karena tidak dalam koridor undang-undang dan peraturan perpajakan yang
berlaku. Tax Saving yaitu tindakan penghematan pajak dengan cara yang legal dan
aman karena tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perpajakan.
2.2.1.3 Motivasi melakukan Perencanaan Pajak
Suandy (2008) menuliskan dengan jelas bahwa motivasi dilakukannya
perencanaan pajak adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak melalui
analisis yang cermat dalam memanfaatkan peluang yang ada dalam peraturan
perpajakan dengan memanfaatkan perbedaan tarif pajak, loopholes, sanksi
adminsitrasi, persepsi wajib pajak, risiko deteksi, dan moral wajib pajak.
1) Loopholes. Menurut Hutagol dalam Dewi dan Ketut. (2014), penghindaran
pajak secara legal yang tidak melanggar peraturan perpajakan dapat dilakukan
wajib pajak dengan mencari kelemahan peraturan (loopholes). Loopholes dapat
11
dimanfaatkan untuk membayar pajak lebih kecil atau tidak membayar sama
sekali.
2) Perbedaan tarif. Menurut Bracewll and Milnes dalam Suandy (2008) bahwa
semakin besar beban pajak, semakin kuat motif, dan semakin luas ruang
lingkup terjadinya penghindaran pajak karena wajib pajak dapat menghindari
tarif pajak yang lebih tinggi namun tetap terutang tarif pajak yang lebih rendah.
3) Sanksi administrasi. Pembayaran sanksi administrasi perpajakan yang tidak
seharusnya merupakan pemborosan sumber daya perusahaan. Sanksi
administrasi tersebut seharusnya bisa dialokasikan ke arah yang lebih produktif
dan efisien oleh perusahaan sehingga dapat memaksimalkan kinerja dan
mengerjakan yang seharusnya (Suandy, 2008).
4) Persepsi wajib pajak. Menurut Aryobimo (2012), persepsi wajib pajak tentang
kualitas pelayanan fiskus berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Persepsi wajib pajak akan mempengaruhi tindakan wajib pajak sehingga wajib
pajak cenderung berusaha menghindari untuk membayar pajak salah satu
bentuknya yaitu dengan mengecilkan beban pajak yang harus dibayar termasuk
dengan perencanaan pajak.
5) Moral wajib pajak. Apabila wajib pajak memiliki moral yang tinggi, maka
semakin tinggi pula tingkat kesadaran bahwa pajak sangat penting bagi
kehidupan rakyat Indonesia. Dengan demikian wajib pajak tidak akan
melakukan usaha pengecilan pajak termasuk perencanaan pajak (Herlina dan
Agus, 2013).
2.2.1.4 Indikator Perusahaan Melakukan Perencanaan Pajak
12
Indikator yang dapat dilihat ketika perusahaan melakukan perencanaan
pajak adalah dilihat dari ETR perusahaan. ETR (Effective Tax Rate) adalah tarif
pajak yang diukur dengan perbandingan beban pajak kini dengan laba sebelum
pajak. Tarif pajak efektif digunakan untuk mengukur dampak perubahan
kebijakan perpajakan atas beban pajak perusahaan (Yuono, 2016). Dimana ETR
perusahaan yang mengalami penurunan dapat dimungkinkan bahwa perusahaan
tersebut sedang melakukan perencanaan pajak, karena akan mengefisiesikan
beban pajak perusahaan.
2.2.2 Manajemen Laba
2.2.2.1 Pengertian Manajemen Laba
Menurut Sulistyo (2008) menyatakan bahwa manajemen laba merupakan
upaya manajer untuk mengubah, menyembunyikan dan merekayasa angka-angka
dalam laporan keuangan dengan mempermainkan metode dan prosedur akuntansi
yang digunakan perusahaan. Menurut Paliama (2011), manajemen laba
merupakan usaha pihak manajemen yang disengaja untuk memanipulasi laporan
keuangan dalam batasan yang diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi
dengan tujuan memberikan informasi yang menyesatkan para pengguna laporan
keuangan bagi keuntungan pihak manajemen.
Schipper (2000) dalam Sumomba dan Sigit (2012) mendefinisikan
manajemen laba sebagai suatu intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses
penentuan laba untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Maksud dari
intervensi di sini adalah upaya yang dilakukan oleh manajer untuk mempengaruhi
informasi- informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui
13
stakeholders yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Sering kali
proses ini mencakup mempercantik laporan keuangan (fashioning accounting
reports), terutama angka yang paling bawah, yaitu laba (Wild et al., 2004).
Walaupun terdapat beberapa definisi tentang manajemen laba, definisi tersebut
memiliki kesamaan yang menghubungkan definisi yang satu dengan yang lainnya.
Dari beberapa kesamaan itu dapat terlihat bahwa manajemen laba merupakan
aktivitas manajerial untuk “mempengaruhi” laporan keuangan baik dengan cara
memanipulasi data atau informasi keuangan perusahaan maupun dengan cara
pemilihan metode akuntansi yang diterima dalam prinsip akuntansi berterima
umum, yang pada akhirnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan perusahaan.
Menurut Ningsaptiti (2009), manajemen laba merupakan perilaku
manajemen untuk mengatur laba sesuai keinginannya. Perilaku manajemen
tersebut dapat berupa tindakan untuk mengatur laba dengan cara memilih tindakan
kebijakan akuntansi tertentu, dengan cara dinaikkan atau diturunkan. Hal
demikian merupakan tindakan untuk mementingkan kepentingan manajemen itu
sendiri (opportunistik).
2.2.2.2 Tujuan Manajemen Laba
Menurut Healy dan Wahlen (1999: 368) dalam Fitriany (2014) menyatakan
bahwa tujuan manajemen terjadi ketika para manajer menggunakan keputusan
tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah
laporan keuangan sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui
kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil
kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.
14
Manajemen laba dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan
perusahaan, karena manajemen laba merupakan aktivitas manajerial untuk
“mempengaruhi” laporan keuangan baik dengan cara memanipulasi data atau
informasi keuangan perusahaan maupun dengan cara pemilihan metode akuntansi
yang diterima dalam prinsip akuntansi berterima umum (Aditama dan Anna,
2014).
2.2.2.3 Model Manajemen Laba
Menurut Sulistiawan dkk (2011), Manajemen laba dibagi menjadi dua
kategori yaitu manajemen laba melalui kebijakan akuntansi dan manajemen laba
melalui aktivitas riil. Manajemen laba melalui kebijakan akuntansi merujuk pada
permainan laba yang dilakukan menggunakan teknik dan kebijakan akuntansi.
Sementara, manajemen laba melalui aktivitas riil merujuk pada permainan angka
laba yang dilakukan melalui aktivitas-aktivitas yang berasal dari kegiatan normal
atau yang berhubungan dengan kegiatan operasional. Deteksi manajemen laba
melalui kebijakan akuntansi fokus pembahasannya terletak pada penjelasan
model-model deteksi manajemen laba yang banyak digunakan dalam riset
empiris. Model tersebut diantaranya:
1) Jones Model (1991)
Model Jones (1991) membagi total akrual menjadi akrual diskresioner dan
akrual nondiskresioner. Akrual diskresioner digunakan sebagai estimasi
manipulasi akuntansi. Akrual nondiskresioner bersifat tetap dari satu periode
ke periode lainnya sehingga perubahan akrual yang terjadi disebabkan karena
adanya akrual diskresioner.
15
2) Modified Jones Model (1995)
Model ini dikembangkan oleh Dechow dan kawan-kawan (1995) dalam
Sulistiawan (2011) untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam Jones Model.
Secara implisit berasumsi bahwa diskresi manajemen pada Model Jones tidak
dilakukan terhadap pendapatan. Padahal, pendapatan tidak terlepas dari usaha
manipulasi.
3) Kasznik Model (1999)
Kasznik berpendapat bahwa NDA merupakan fungsi dari perubahan
pendapatan yang disesuaikan dengan adanya perubahan piutang, PPE, dan
OCF.
4) Performanced-Matched Discreionary Accruals Model (2005)
Pada model ini, Kothari dan kawan-kawan memiliki ide dasar bahwa akrual
yang terdapat dalam perusahaan yang sedang memiliki kinerja yang “tidak
biasa” secara sistematis diharapkan bukan nol sehingga kinerja perusahaan
pastinya berhubungan dengan akrual.
2.2.2.4 Motivasi Manajemen Laba
Scott (2000) dalam Aditama dan Anna (2014) mengemukakan bahwa
terdapat motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba,
antara lain:
1) Motivasi bonus
Perusahaan berusaha memacu dan meningkatkan kinerja karyawan dengan cara
menetapkan kebijakan pemberian bonus melalui perolehan laba yang tinggi
16
sebagai salah satu indikatornya. Hal tersebut dapat memacu manajamen untuk
mengatur laba secara maksimal untuk dapat menerima bonus.
2) Motivasi kontraktual lainnya
Manajer memiliki dorongan untuk memilih kebijakan akuntansi yang dapat
memenuhi kewajiban kontraktual lainnya seperti pemenuhan perjanjian utang
agar tidak terkena sanksi.
3) Motivasi politik
Manajemen melakukan manajemen laba untuk dapat mengurangi laba yang
dilaporkan pada perusahaan publik sehingga dapat mengurangi adanya tekanan
publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
4) Motivasi pajak
Manajemen laba digunakan dalam rangka penghematan pajak sehingga
besarnya pajak yang dibayarkan lebih ditekan sehingga memperoleh laba yang
kecil pula.
5) Pergantian CEO
CEO dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik ketika dapat memaksimalkan
laba, sehingga CEO melakukan manajemen laba ketika ada di sekitar waktu
pergantian CEO.
6) Initial Public Offering
Manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba ketika
memiliki harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan, yang mana
mereka belum memiliki nilai pasar.
7) Pemberian informasi kepada investor
17
Investor dapat mengatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang
baik apabila dilihat dari laporan keuangan perusahaan yang terlihat lebih baik
dengan melihat prospek laba.
2.2.2.5 Faktor-faktor Pendorong Manajemen Laba
Dalam teori akuntansi positif, terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi
terjadinya manajemen laba, yaitu Bonus Plan Hypothesis (hubungan antara
manajemen dengan pemilik), Debt Convenant Hypothesis (hubungan manajemen
dengan investor), dan The Political Hypothesis (hubungan antara manajemen
dengan pemerintah). Tiga hipotesis yang melatarbelakangi prilaku manajemen
(Watt dan Zimmerma, 1986 dalam Endriati, 2013), antara lain:
a) Bonus Plan Hypothesis, yakni manajemen akan memilih metode akuntansi
yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan
yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak
menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
b) Debt Convenant Hypothesis, yakni manajer perusahaan melakukan
pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang
memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam Hapsari, 2016).
Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
c) The Political Hypothesis, yakni bahwa perusahaan yang berhadapan dengan
biaya politik cenderung melakukan rekayasa penurunan laba dengan tujuan
untuk meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung. Biaya politik
mencakup semua biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan terkait dengan
18
regulasi pemerintah, subsidi pemerintah, tarif pajak, tuntutan buruh dan lain
sebagainya (Scott, 2000).
2.2.2.6 Indikator Perusahaan Melakukan Manajemen Laba
Dalam mengindikasikan praktik manajemen laba dalam suatu perusahaan
dapat dilihat melalui akrual diskreioner dan akrual nondiskreioner. Apabila nilai
nondiskreioner meningkat, menunjukkan bahwa perusahaan menggunakan strategi
peningkatan laba. Sebaliknya, makin negatif nilai nondiskresioner menunjukkan
bahwa perusahaan cenderung menggunakan strategi penurunan laba (Sulistiawan
et al, 2011: L-12).
Secara empiris, nilai Discretionary Accruals dapat bernilai nol, positif, atau
negatif. Nilai nol menunjukkan manajemen laba dilakukan dengan pola perataan
laba (income smoothing). Sedangkan nilai positif menunjukkan adanya
manajemen laba dengan pola peningkatan laba (income increasing) dan nilai
negatif menunjukkan manajemen laba dengan pola penurunan laba (income
decreasing) (Sulistyanto, 2008).
2.2.3 Teori Agensi
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Sari (2013), teori gensi
merupakan hubungan timbal balik antara principal dan agen. Dimana principal
merupakan pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan, sedangkan agen
adlah pihak yang menerima pendelegasian tersebut. Dengan teori agensi, terdapat
kepentingan yang berbeda antara principal dengan agen.
19
Dalam teori agensi diasumsikan adanya asimetri informasi, dimana masing-
masing individu semata-mata termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan
dirinya sendiri. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk
menyejahterahkan dirinya melalui pembagian dividen atau kenaikan harga saham
perusahaan. Agen termotivasi untuk meningkatkan kersejahteraannya melalui
peningkatan kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat ketika
principal memonitor aktivitas agen dalam perusahaan. Sedangkan agen
mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan
perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh pinsipal dan agen, yang dikenal
dengan istilah asimetri informasi (Aditama dan Anna, 2014).
Asumsi risiko dalam teori agensi adalah manusia pada dasarnya menyukai
pertambambahan kekayaan dibandingkan dengan pengurangan atau penurunan
kekayaan Hal ini dapat dilihat dimana principal (pemilik modal) akan berusaha
untuk menjaga modalnya dengan berinvestasi di banyak wadah
(mendiversifikasikan modalnya) dengan tujuan membagi risiko atau bahkan
cenderung menghindari risiko yang ada. Untuk agen sendiri yang secara potensial
memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya perusahaan dan terdapat
kemungkinan menurunnya nilai kekayaan dan modal perusahaan maka agen pun
juga akan menghindari risiko (Setyawan dkk, 2014).
Menurut Kodrat dkk (2009), dalam teori agensi dapat terjadi masalah
keagenan antara pemegang saham dan manajemen apabila manajemen tidak
memiliki saham mayoritas perusahaan. Pemegang saham menginginkan manajer
20
untuk bekerja dengan tujuan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham,
tetapi manajemen bisa saja tidak menggubris keinginan pemegang saham,
melainkan lebih memaksimumkan kemakmuran dirinya sendiri. Dalam hal ini
dapat terjadi conflict of interest. Untuk meyakinkan bahwa manajer bekerja
dengan sungguh-sungguh, principal (pemegang saham) harus mengeluarkan biaya
untuk kepentingan principal. Biaya tersebut dikenal dengan biaya agensi, yaitu
biaya yang dikeluarkan untuk memonitori kegiatan manajemen. Biaya keagenan
yang dikeluarkan untuk pengawasan cukup mahal dan kurang efisien sehingga
terdapat solusi yang lebih baik, yaitu kompensasi berupa gaji dan tambahan bonus
kepemilikian perusahaan jika kinerja manajemen bagus.
2.2.4 Hubungan Perencanaan Pajak Dan Manajemen Laba
Hubungan antara perencanaan pajak dan manajemen laba secara konseptual
dapat dijelaskan dengan teori keagenan Dalam teori agensi lebih ditekankan pada
permasalahan asimetri informasi antara principal (pemilik) dan agen
(manajemen). Prinsipal yang selalu menginginkan laba yang optimal dengan
meminimalkan laba kena pajak untuk melihat bahwa perusahaannya telah
memiliki kinerja yang baik. Di sisi lain, agen ingin menghasilkan laba yang
maksimal yang akan dilaporkan kepada pihak principal. Dimana manajemen
melakukan hal tersebut karena termotivasi adanya bonus yang akan diberikan
serta laba yang berkualitas akan dapat menarik investor untuk menjadi salah saatu
pemilik saham perusahaan (Sumomba dan Sigit, 2012).
Status perusahaan yang sudah go public umumnya cenderung high profile
daripada perusahaan yang belum go public. Sehingga untuk meningkatkan nilai
21
saham perusahaan, maka menejemen termotivasi untuk memberikan informasi
kinerja perusahaan yang sebaik mungkin. Oleh karena itu, pajak yang merupakan
unsur pengurang laba yang tersedia untuk dibagi kepada investor akan diusahakan
manajemen untuk diminimalkan agar laba bersih perusahaan menjadi lebih
optimal (Endriati dkk, 2012).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perecanaan pajak
berpengaruh terhadap manajemen laba. Menurut Sumomba dan Sigit (2012),
menyatakan bahwa perencanaan pajak dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
praktik manajemen laba.
2.3 Perumusan Hipotesis
2.3.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir dalam suatu penelitian perlu dikemukakan apabila
dalam penelitian tersebut berkenaan dua variabel atau lebih. Dalam penilitian ini
terdapat dua variabel, dimana perencanaan sebagai variabel independen dan
manajemen sebagai variabel dependen. Berikut kerangka pemikiran penelitan ini:
2.3.2 Perumusan Hipotesis
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada
umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban
Perencanaan Pajak (X) Manajemen Laba (Y)
22
pajak. Pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba terletak pada
seberapa bagus perencanaan pajak maka semakin besar perusahaan melakukan
manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Hapsari (2016) dengan judul pengaruh
perencanaan pajak terhadap manajemen laba dengan arus kas operasi sebagai
variabel terkontrol. Dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa
perencanaan pajak juga disebut sebagai suatu insentif pajak yang mempengaruhi
manajer untuk melakukan manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Aditama dan Anna (2014) dengan judul pengaruh
perencanaan pajak terhadap manajemen laba pada perusahaan nonmanufaktur
menyimpulkan bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh positif terhadap
manajemen laba pada perusahaan nonmanufaktur.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan hasil penelitian sebelumnya, maka
hipotesis sebagai berikut:
Ha: Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba