bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas kajian teori yang berisi tentang dua bahasan.
Bahasan yang pertama akan dijelaskan secara rinci pengertian modul, fungsi
modul, karakteristik modul, unsur-unsur modul, langkah-langkah penyusunan
modul, serta mengembangkan modul menjadi bahan ajar. Bahasan yang kedua
berisi tentang pembelajaran tematik terpadu, pembelajaran saintifik di SD, serta
modul pembelajaran tematik terpadu dalam pendekatan saintifik. Selain kajian
teori bab ini berisi kajian hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan
hipotesis pengembangan berkenaan dengan pengembangan bahan ajar modul yang
akan peneliti susun.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Bahan Ajar Modul
2.1.1.1 Pengertian Modul
Adanya fasilitas dan sumber belajar yang memadai akan sangat
menentukan keberhasilan implementasi Kurikulum 2013. Keaktifan siswa harus
didukung dengan sumber belajar yang memadai agar dapat melatih kreativitas
secara menyeluruh. Diperlukan pula kreativitas guru untuk berkreasi,
berimprovisasi, berinisiatif, serta inovatif untuk mengembangkan sumber belajar
yang digunakan dalam proses pembelajaran. Salah satu sumber belajar yang dapat
digunakan adalah modul pembelajaran. “modul diartikan sebagai sebuah buku
yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau
dengan bimbingan guru.” Pernyataan ini dijelaskan dalam buku Pedoman Umum
Pengembangan Bahan Ajar (2004) yang diterbitkan oleh Diknas (dalam Prastowo
(2012:104)). Disebutkan pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa
“modul adalah kegiatan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh
siswa dengan bantuan yang minim dari guru.” Hal serupa dinyatakan oleh
Surahman (dalam Prastowo (2012:105-106)) yang menyatakan bahwa “modul
adalah satuan program pembelajaran terkecil yang dapat dipelajari siswa secara
mandiri (self instructional).” Lebih lanjut disebutkan Daryanto (2013:9)
10
menjelaskan bahwa “modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang
dikemas secara utuh dan sistematis, di dalamnya memuat seperangkat pengalaman
belajar yang terencana dan didesain untuk membantu siswa menguasai tujuan
belajar yang spesifik.” Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang dikutip dari St. Vembriarto, Pengantar Pengajaran Modul
(Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1985) (dalam Prastowo (2012:105))
mengemukakan bahwa modul adalah satu unit program kegiatan belajar mengajar
terkecil yang secara terperinci menggariskan hal-hal sebagai berikut:
1. Tujuan instruksional umum.
2. Topik yang akan digunakan dalam proses pembelajaran.
3. Tujuan khusus yang akan dicapai oleh siswa.
4. Pokok yang akan dipelajari.
5. Kedudukan dan fungsi satuan (modul).
6. Peranan guru di dalam proses belajar mengajar.
7. Alat-alat dan sumber yang akan dipakai.
8. Kegiatan-kegiatan belajar yang harus dilakukan dan dihayati siswa secara
berurutan.
9. Program evaluasi yang akan dilaksanakan selama proses belajar mengajar.
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa modul
merupakan bahan ajar yang disusun dan disajikan secara sistematis untuk
mencapai tujuan dan kompetensi yang ingin dicapai. Modul dapat dipelajari
dengan meminimalisir bimbingan oleh guru. Modul dibuat dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh siswa sesuai tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka.
Suatu modul harus menggambarkan kompetensi dasar yang akan dicapai oleh
siswa, serta disajikan dengan bahasa yang baik, menarik, dan dilengkapi dengan
ilustrasi/gambar yang mendukung penguasaan materi.
2.1.1.2 Fungsi Modul
Prastowo (2013:107-108) mengemukakan sebagai salah satu bentuk bahan
ajar, modul memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Bahan ajar yang dapat dipelajari dan digunakan secara mandiri. Hal ini akan
mengurangi tingkat ketergantungan siswa kepada guru sebagai pendidik.
11
2. Pengganti fungsi guru/pendidik. Modul sebagai bahan ajar harus mampu
menjelaskan materi pembelajaran dengan baik dan mudah dipahami oleh siswa
sesuai tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa.
3. Sebagai alat evaluasi mandiri. Di dalam modul disediakan berbagai latihan soal
agar dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat penguasaannya terhadap
materi yang telah dipelajari.
2.1.1.3 Karakteristik Modul
Setiap bahan ajar pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik tertentu
yang membedakannya dengan bentuk bahan ajar lain. Begitu pula untuk modul,
bahan ajar ini memiliki beberapa karakteristik, antara lain dirancang untuk sistem
pembelajaran mandiri; merupakan program pembelajaran yang utuh dan
sistematis; mengandung tujuan, bahan atau kegiatan, dan evaluasi; disajikan
secara komunikatif (dua arah); diupayakan agar dapat mengganti beberapa peran
pengajar; cakupan bahasan terfokus dan terukur; serta mementingkan aktivitas
belajar pemakai (karakteristik modul ini dikemukakan oleh Nur Mohammad
dalam tulisannya berjudul Pengambangan Bahan Ajar, dari website docstoc.com,
diakses pada tanggal 27 Juli 2010).
Sementara itu menurut Vembriarto (dalam Prastowo (2013:110)) terdapat
lima karakteristik modul pembelajaran. Pertama, modul merupakan unit
pengajaran terkecil dan lengkap. Kedua, modul memuat rangkaian kegiatan
belajar yang direncanakan sistematis. Ketiga, modul memuat tujuan belajar yang
ingin dicapai oleh siswa. Keempat, modul memungkinkan siswa belajar secara
mandiri (independent) karena modul memuat bahan yang bersifat self-
instructional. Kelima, modul adalah realisasi pengakuan perbedaan individual,
yaitu salah satu perwujudan pengajaran individual.
Lebih lanjut Daryanto (2013:9-11) mengemukakan bahwa pengembangan
modul harus memperhatikan karakteristik sebagai berikut:
1. Self Instruction
Self Instruction artinya modul dapat membantu siswa belajar secara
mandiri dan meminimalisir bantuan dan keterlibatan pihak lain. Agar memenuhi
karakter self instruction modul harus memuat tujuan pembelajaran yang ingin
12
dicapai, materi pembelajaran dikemas dalam unit kegiatan yang spesifik, terdapat
contoh dan ilustrasi, memuat soal latihan yang dapat mengukur tingkat
penguasaan siswa, kontekstual, menggunakan bahasa sesuai dengan tingkat
pemahaman dan pengetahuan siswa, terdapat rangkuman materi, instrumen
penilaian, umpan balik, serta terdapat informasi tentang rujukan/pengayaan yang
mendukung materi pembelajaran.
2. Self Contained
Self Contained artinya seluruh materi yang diperlukan dalam proses
belajar mengajar termuat dalam modul agar siswa dapat mempelajari materi
secara tuntas.
3. Stand Alone (Berdiri Sendiri)
Stand Alone artinya penggunaan modul tidak bergantung pada bahan ajar
maupun media lainnya.
4. Adaptif
Modul yang dibuat diharapkan memiliki daya adaptasi terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi, serta fleksibel digunakan di berbagai
perangkat keras (hardware).
5. User Friendly (Bersahabat/Akrab)
User friendly berkaitan dengan penggunaan bahasa yang digunakan dalam
modul. Bahasa yang digunakan harus sesuai dengan pemahaman siswa. Setiap
instruksi dan paparan informasi harus dijelaskan secara baik.
Hal serupa dinyatakan Pedoman Penulisan Modul yang dikeluarkan oleh
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2003 (dalam Chomsin &
Jasmadi (2008:50-52)) dimana karakteristik modul yaitu self instructional, self
contained, stand alone, adaptif, serta user friendly.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan disimpulkan bahwa
karakteristik modul yang baik harus memenuhi beberapa kriteria yaitu mampu
digunakan secara mandiri oleh siswa atau dengan kata lain mengurangi
ketergantungan siswa terhadap guru/pendidik, self contained atau memuat secara
lengkap dan rinci materi pembelajaran yang disampaikan, dapat digunakan dan
13
dikembangkan tanpa tergantung bahan ajar lain, bersifat adaptif, serta
menggunakan bahasa dan instruksi yang mampu dikuasai oleh siswa.
2.1.1.4 Struktur Modul
2.1.1.4.1 Struktur Modul menurut Surahman
Menurut Surahman (2010:2) (dalam Prastowo (2013:113-114))
menyatakan modul dapat disusun dalam struktur sebagai berikut :
1. Judul modul
Bagian ini memuat nama modul dari tema atau subtema tertentu.
2. Petunjuk umum
Bagian ini memuat penjelasan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh
dalam pembelajaran, meliputi :
a. Kompetensi dasar
b. Pokok bahasan
c. Indikator pencapaian
d. Referensi (diisi petunjuk guru tentang buku-buku referensi yang digunakan)
e. Strategi pembelajaran (menjelaskan pendekatan, metode, langkah yang
dipergunakan dalam pembelajaran)
f. Lembar kegiatan pembelajaran
g. Petunjuk bagi siswa untuk memahami langkah-langkah dan materi
pembelajaran
h. Evaluasi
3. Materi modul
Bagian ini berisi penjelasan secara rinci tentang materi yang akan dipelajari.
4. Evaluasi
Evaluasi ini terdapat pada akhir kegiatan pembelajaran untuk mengukur
ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan.
2.1.1.4.2 Struktur Modul menurut Vembriarto
Menurut pandangan Vembriarto dikutip dari St. Vembriarto, Pengantar
Pengajaran Modul (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1985 hlm. 37-38)
(dalam Prastowo (2013:114-115), unsur-unsur modul yang sedang dikembangkan
di Indonesia meliputi tujuh unsur sebagai berikut :
14
1. Rumusan tujuan pengajaran yang eksplisit dan spesifik
Tujuan pengajaran ini dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa yang
diharapkan muncul setelah selesai mempelajari suatu modul.
2. Petunjuk untuk guru
Bagian ini berisi penjelasan tentang berbagai macam kegiatan yang harus
dilakukan saat mempelajari modul, waktu yang disediakan untuk
menyelesaikan setiap kegiatan, alat-alat pelajaran dan sumber yang harus
dipergunakan, prosedur evaluasi, serta jenis alat evaluasi yang digunakan.
3. Lembar kegiatan siswa
Lembaran ini memuat materi pelajaran yang harus dikuasai siswa. Dalam
lembaran kegiatan ini disertakan pula berbagai kegiatan untuk menunjang
ketercapaian kompetensi. Kegiatan tersebut diantaranya pengamatan,
percobaan, dan sebagainya.
4. Lembar kerja bagi siswa
Materi pelajaran dalam lembar kegiatan disusun sedemikian rupa, sehingga
siswa dapat secara aktif mengikuti proses belajar.
5. Kunci lembar kerja
Materi pada modul tidak saja disusun agar siswa senantiasa aktif memecahkan
masalah tetapi diharapkan agar siswa dapat mengevaluasi hasil belajar mereka
sendiri. Oleh karena itu, pada tiap modul biasanya disertakan kunci lembar
kerja.
6. Lembar evaluasi
Lembar evaluasi disajikan dalam bentuk tes tertulis. Ketercapaian tujuan yang
dirumuskan pada modul ditentukan oleh hasil tes akhir yang terdapat pada
lembar evaluasi.
7. Kunci lembar evaluasi
Item-item tes tertulis disusun dan dijabarkan dari rumusan tujuan. Hasil
jawaban siswa terhadap tes yang telah dilakukan dapat digunakan untuk
mengetahui ketercapaian tujuan yang dirumuskan.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa dalam membuat modul
pembelajaran tidak terjadi perbedaan yang berarti. Hal ini berdasarkan pendapat
15
para ahli yang hampir sama dimana struktur modul pembelajaran terdiri dari judul
modul, petunjuk umum, materi yang akan dipelajari, petunjuk kegiatan yang
dilakukan atau petunjuk kerja, serta evaluasi. Selanjutnya dirumuskan format
pengembangan modul terdiri atas judul, pengantar, pendahuluan, pemetaan
kompetensi dasar dan indikator, kegiatan belajar/materi pembelajaran, rangkuman
materi, latihan soal, umpan balik dan tindak lanjut, serta daftar pustaka.
2.1.1.5 Langkah-Langkah Penyusunan Modul
Dalam menyusun sebuah modul ada empat tahapan yang harus dilalui
yaitu analisis kurikulum, penentuan judul, pemberian kode, dan penulisan modul
dikutip dari Diknas, Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar
(Jakarta: Ditjen Dikdasmenum, 2004) dalam Prastowo (2013:118-131) yaitu:
1. Analisis kurikulum
Tahap pertama ini bertujuan untuk menentukan materi-materi manakah yang
memerlukan bahan ajar. Dalam menentukan materi, analisis dilakukan dengan
cara melihat inti materi yang diajarkan serta kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai oleh siswa.
2. Menentukan judul modul
Penentukan judul modul hendaknya mengacu pada kompetensi-kompetensi
dasar atau materi pokok yang ada di dalam kurikulum.
3. Pemberian kode modul
Pemberian kode modul dilakukan untuk mempermudah pengelolaan modul.
4. Penulisan modul
Ada lima hal penting yang dijadikan acuan dalam proses penulisan modul
sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini:
a. Perumusan kompetensi dasar
Rumusan kompetensi dasar pada suatu modul adalah spesifikasi kualitas
yang semestinya telah dimiliki oleh siswa setelah berhasil mempelajari
modul.
16
b. Penentuan alat evaluasi atau penilaian
Evaluasi melibatkan sejumlah pertanyaan atau tes yang digunakan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam menguasasi kompetensi dasar
yang ingin dicapai.
c. Penyusunan materi
Penyusunan materi dibuat berdasarkan kompetensi dasar yang akan dicapai.
Instruksi dan kegiatan pembelajaran harus ditulis secara jelas agar tidak
membingungkan siswa. Kalimat yang disajikan harus singkat, jelas, dan
efektif. Gambar-gambar yang dapat mendukung dan memperjelas isi materi
juga sangat dibutuhkan.
d. Urutan pengajaran
Dalam kaitannya dengan urutan pengajaran, maka urutan pengajaran dapat
diberikan dalam petunjuk penggunaan modul.
e. Struktur modul
Struktur modul dapat dibuat bervariasi tergantung pada karakter materi,
ketersediaan sumber daya, dan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Langkah penyusunan modul juga disebutkan Daryanto (2013:16-24) yang terdiri
atas:
1. Analisis kebutuhan modul, yang dilakukan dengan langkah: a) menetapkan
satuan program yang dijadikan batas kegiatan; b) memeriksa program atau
rambu operasional untuk pelaksanaan program; c) mengidentifikasi dan
menganalisis kompetensi yang akan dipelajari; d) menyusun unit bahan yang
dapat mewadahi materi; e) mengidentifikasi bahan yang belum terdapat di
sekolah, dan; f) lakukan penyusunan berdasarkan prioritas kebutuhan.
2. Desain modul
Untuk mendesain sebuah modul langkah yang harus ditempuh sebagai berikut:
a) menetapkan kerangka bahan yang akan disusun; b) menetapkan kompetensi
yang harus dikuasai siswa; c) menetapkan kemampuan spesifik yang
menunjang tujuan akhir; d) menetapkan sistem evaluasi; e) menetapkan garis
besar atau substansi materi; f) menetapkan materi berupa konsep atau fakta
yang mendukung ketercapaian kompetensi; g) berisi tugas, soal, atau latihan; h)
17
berisi penilaian yang berfungsi untuk mengukur tingkat penguasaan siswa; i)
berisi kunci jawaban.
3. Implementasi
Implementasi modul dalam proses pembelajaran dilaksanakan sesuai alur yang
terdapat pada modul.
4. Penilaian
Penilaian yang dimaksud adalah penilaian hasil belajar untuk menguasai
tingkat penguasaan siswa setelah mempelajari seluruh materi dalam modul.
5. Evaluasi dan validasi
Evaluasi dilakukan untuk mengukur kesesuaian antara implementasi
pembelajaran dengan desain pengembangan modul. Validasi merupakan
pengujian kesesuaian modul dengan kompetensi yang diharapkan.
Langkah penyusunan modul yang hampir serupa dikemukakan pula oleh
Chomsin & Jasmadi (2008:43-49) yang terdiri atas “a) penentuan standar
kompetensi dan rencana kegiatan belajar mengajar; b) analisis kebutuhan modul;
c) penyusunan draft; d) uji coba; e) validasi; f) revisi dan produksi.”
Berdasarkan penjelasan beberapa sumber yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa langkah-langkah untuk membuat dan mengembangkan sebuah
modul dimulai dari menganalisis kebutuhan modul, menganalisis dan
mengidentifikasi kompetensi inti serta kompetensi dasar, menyusun draft modul,
uji pakar serta validasi, uji coba modul, revisi, hingga menghasilkan produk
berupa modul sebagai bahan ajar yang layak digunakan siswa dalam proses
pembelajaran.
2.1.1.6 Mengembangkan Modul Menjadi Bahan Ajar
Modul diharapkan dapat menarik dan memotivasi siswa dalam belajar.
Untuk dapat mencapai harapan tersebut ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan modul agar menjadi bahan ajar yang hebat.
Sembilan aspek yang harus diperhatikan pada saat mengembangkan modul
sebagaimana dijelaskan oleh Rowntree dalam Prastowo (2013:132) yaitu: a)
membantu siswa untuk menemukan cara mempelajari modul; b) menjelaskan hal-
hal yang perlu dipersiapkan sebelum mempelajari modul; c) menjelaskan hal-hal
18
yang diharapkan dari siswa setelah selesai mempelajari modul; d) memberi
pengantar tentang cara siswa dalam mempelajari modul; e) menyajikan materi
sejelas mungkin; f) memberi dukungan kepada siswa agar berani mencoba segala
langkah yang dibutuhkan untuk memahami materi modul; g) melibatkan siswa
dalam latihan serta kegiatan yang akan membuat mereka berinteraksi dengan
materi yang dipelajari; h) memberikan umpan balik (feedback) pada latihan dan
kegiatan yang dilakukan siswa; i) membantu siswa untuk meringkas dan
merefleksikan materi yang telah dipelajari.
Lebih lanjut Rowntree mengungkapkan empat tahapan dalam
pengembangan modul yang dijelaskan lebih terperinci sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran
Tujuan dituliskan dalam kalimat yang mengandung aspek ABCD (Audience,
Behaviour, Condition, dan Degree). Audience merujuk pada siswa. Behaviour
menjelaskan tentang kompetensi yang diharapkan akan dikuasai setelah
mempelajari modul. Condition merujuk pada situasi di mana tujuan diharapkan
akan dicapai. Degree adalah tingkat kemampuan yang diinginkan dapat
dikuasai oleh siswa. Contoh identifikasi tujuan pembelajaran dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1
Identifikasi Tujuan Pembelajaran
Audience Behaviour Condition Degree
Siswa Mampu mengenal
keragaman
kenampakan alam di
Indonesia
Dengan
menggunakan
globe atau media
lain
Secara baik dan
benar
2. Memformulasikan garis besar materi
Menurut Andriani dalam Prastowo (2013:136) ada dua hal penting yang harus
diperhatikan dalam memformulasikan materi. Pertama, jangan
mengembangkan materi yang terlalu tinggi bagi siswa, karena modul yang
dikembangkan justru akan sulit dimengerti. Kedua, akomodasikan materi
dengan tingkat pemahaman siswa.
19
3. Menuliskan materi
Pada tahap menulis materi, ada empat hal penting yang harus diperhatikan
yaitu a) menentukan materi yang akan ditulis; b) menentukan gaya penulisan;
c) menentukan banyak kata yang digunakan, dan; d) Menentukan format dan
tata letak (layout).
4. Menentukan format dan tata letak
Dalam menentukan format dan tata letak terdapat tiga variabel yang
mempengaruhi yaitu a) ukuran halaman dan format modul; b) kolom dan
margin; c) penempatan tabel, gambar, dan diagram.
Untuk mengembangkan modul menjadi bahan ajar yang baik Paulina dan
Purwanto dalam Chomsin & Jasmadi (2008:54-57) menyatakan ada tiga cara yang
ditempuh yaitu:
1. Starting from scratch, artinya pengembang menyusun sendiri modul yang akan
dibuat. Pengembang dirasa mempunyai kepakaran dalam ilmu terkait serta
memahami kebutuhan siswa.
2. Text transformation, artinya pengembang menyusun modul berdasarkan
referensi atau informasi lain yang telah dikumpulkan dan dipilih sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan.
3. Compilation, artinya pembuatan modul menggabungkan penataan informasi
yang disusun sendiri dengan referensi ataupun informasi lain yang sesuai.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa untuk
mengembangkan modul menjadi bahan ajar yang baik dapat dilakukan secara
mandiri dengan menganalisis kebutuhan dan materi yang sesuai dengan siswa.
Dapat juga dengan mencari referensi ataupun informasi lain yang relevan dengan
materi yang akan dibuat. Dapat juga menggabungkan atau mengkombinasikan
keduanya. Dalam mengembangkan modul juga harus memperhatikan beberapa
hal diantaranya tujuan pembelajaran yang akan dicapai, memformulasikan garis
besar materi, menuliskan materi, serta menentukan format dan tata letak.
2.1.2 Pembelajaran Tematik Terpadu
Implementasi kurikulum 2013 menggunakan pendekatan pembelajaran
tematik. Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu
20
yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perhatian, aktivitas belajar, dan
pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Ibnu (2013:21) menyatakan
bahwa “tematik terpadu memuat konsep pembelajaran yang menggunakan tema
untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna kepada siswa.” Penjelasan serupa dinyatakan Depdiknas,
2006:5 (dalam Trianto (2011:147)) yang menyatakan bahwa “istilah pembelajaran
tematik pada dasarnya adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna kepada siswa.” Penjelasan tersebut dipertegas oleh
Mulyasa (2013:170) yang menyatakan “pembelajaran berbasis tematik terpadu
yang diterapkan pada tingkatan pendidikan dasar menyuguhkan proses belajar
berdasarkan tema untuk kemudian dikombinasikan dengan mata pelajaran
lainnya.” Pembelajaran terpadu adalah suatu pendekatan untuk mengembangkan
pengetahuan siswa berdasarkan pada interaksi dengan lingkungan dan
pengalaman kehidupan siswa. Sri Anitah (2003) (dalam Trianto (2011:150))
menyatakan “pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep yang menggunakan
pendekatan pembelajaran yang melibatkan konsep-konsep secara terkoneksi baik
secara inter maupun antar-mata pelajaran.” Lebih lanjut Hadi Subroto (2000:9)
(dalam Trianto (2011:151)) menegaskan bahwa:
Pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang diawali dengan
suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan
pokok bahasan lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep
lain, yang dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik
dalam satu bidang studi atau lebih, dan dengan beragam
pengalaman belajar siswa, maka pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Maka pada umumnya pembelajaran tematik/terpadu
adalah pembelajaran yang menggunakan tema tertentu untuk
mengaitkan antara beberapa isi mata pelajaran dan pengalaman
kehidupan nyata sehari-hari siswa sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna bagi siswa.
Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa implementasi tematik
terpadu bertujuan untuk melatih pemahaman siswa terhadap materi pelajaran agar
pengetahuan yang didapat tidak parsial (sepotong-potong). Dengan melakukan
proses pembelajaran menggunakan tema siswa mampu memahami materi dan
21
konsep secara utuh. Pemahaman secara utuh berdampak pada perkembangan
kepribadian, kedewasaan, serta pengetahuan siswa. Bila diterapkan secara
berkelanjutan akan menjadi modal penting untuk memecahkan permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.2.1 Karakteristik Tematik Terpadu
Karakteristik yang harus dimunculkan dalam tematik terpadu menurut
Ibnu (2013:44-55) diantaranya adalah:
1. Berpusat pada siswa (student centered)
Dalam proses pembelajaran berbasis tematik terpadu siswa dipandang sebagai
subjek belajar yang secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar dan
bukan dipandang hanya sebagai objek semata. Paradigma siswa belajar dengan
cara DDCT (Duduk Dengar Catat dan Hafalkan) secara perlahan harus diubah.
Guru hanya berperan sebagai fasilitator dimana guru memberi ruang yang luas
agar siswa dapat berekspresi sesuai dengan tema yang diajarkan.
2. Memberikan pengalaman langsung (direct experience)
Siswa dihadapkan pada pembelajaran yang konkret, bukan hanya sekedar
mendengarkan penjelasan dari guru ataupun membaca dari buku teks pelajaran
yang ada. Siswa dapat mengamati, meraba, merasakan, serta membayangkan
secara nyata objek yang dipelajari. Akan sangat membantu apabila objek yang
dipelajari berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehari-hari.
3. Tidak terjadi pemisahan materi pelajaran secara jelas
Penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi sebuah tema bukan berarti
menghilangkan esensi mata pelajaran sehingga mengaburkan tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Hal ini dimaksudkan agar siswa memahami
suatu substansi materi secara utuh.
4. Bersifat fleksibel
Dalam proses belajar mengajar guru harus dapat bersikap luwes (fleksibel).
Dalam implementasinya guru harus dapat mengaitkan satu materi pelajaran
dengan materi pelajaran lainnya, bahkan guru harus mampu mengaitkan
dengan nilai yang berlaku di lingkungan sehari-hari siswa seperti nilai agama,
kesopanan, dan lain sebagainya.
22
5. Hasil pembelajaran disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa
Salah satu penyempurnaan pola pikir perumusan kurikulum diketahui bahwa
standar kompetensi lulusan (SKL) kurikulum 2013 diturunkan dari kebutuhan
siswa. Dengan kata lain materi pelajaran yang dikuasai oleh siswa merupakan
hal yang nantinya sangat berguna, dibutuhkan, serta dapat memberikan
pengaruh bagi perkembangan intelektual dan kehidupan siswa.
6. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dengan suasana yang
menyenangkan (joyfull learning)
7. Mengembangkan komunikasi siswa
Pembelajaran tematik menekankan adanya interaksi dengan siswa dengan
siswa maupun siswa dengan guru. Kemampuan berinteraksi merupakan salah
satu indikator untuk mengukur keaktifan siswa. Kemampuan berinteraksi ini
perlu dilatih karena tuntutan dunia kerja saat ini mengharuskan seseorang
mempunyai kemampuan interaksi yang baik dengan orang lain agar dapat
membangun team work yang berkompeten, bukan hanya mengandalkan
kemampuan akademis semata.
8. Menekankan proses daripada hasil
2.1.3 Pembelajaran Saintifik di SD
Di dalam kurikulum 2013 proses pembelajaran diimplementasikan dengan
menggunakan pendekatan saintifik. Kurikulum 2013 menganut pandangan bahwa
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Siswa
adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk aktif mencari, mengolah,
mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mulyasa (2014:99) yang menyatakan bahwa “pendekatan yang
dilatihkan dan diunggulkan adalah pendekatan saintifik (saintific approach).
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik menekankan keterlibatan siswa dalam
berbagai kegiatan yang memungkinkan siswa aktif dalam proses mangamati,
menanya, mencoba, menalar, mengomunikasikan, dan membangun jejaring.”
Empat kemampuan yang disebutkan pertama dibutuhkan dalam rangka
pembentukan kemampuan personal, sedangkan membangun jejaring merupakan
kemampuan interpersonal. Pendekatan saintifik juga berguna untuk melatih
23
kemampuan soft skill dan hard skill. Hal ini sesuai dengan pendapat Imas &
Berlin (2014:26) yang menyatakan bahwa “proses pembelajaran Kurikulum 2013
khususnya di tingkat Sekolah Dasar dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan saintifik yang menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.” Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan menyeimbangkan
antara soft skill dan hard skill. Dalam pedoman pembelajaran tematik terpadu
(Permendikbud No 57 Tahun 2014) dinyatakan bahwa dalam implementasi
kurikulum 2013 pendekatan yang digunakan adalah pendekatan saintifik. Di
dalam pembelajaran siswa difasilitasi untuk terlibat secara aktif mengembangkan
potensi yang dimiliki untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Keaktifan
siswa ini terlampir dalam lampiran I Permendikbud No 57 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa “pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan
pendekatan pembelajaran saintifik”. Lebih lanjut Hosnan (2014:34) menyatakan
“implementasi kurikulum 2013 dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik
adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa secara
aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan mengamati,
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis
data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep.”
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran terdapat langkah-langkah
pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Hosnan (2014: 37) mengemukakan 6
langkah yang digunakan dalam saintifik yaitu “a) mengamati (observing); b)
menanya (questioning); c) mengumpulkan informasi; d) mengasosiasi/mengolah
informasi/menalar (associating); e) mengomunikasikan; dan f) membentuk
jejaring (networking).” Langkah pembelajaran saintifik juga dikemukakan oleh
Imas & Berlin (2014:26) yang menyatakan bahwa terdapat 5 langkah dalam
mengimplementasikan saintifik yaitu “a) mengamati (observing); b) menanya
(questioning); c) menalar (associating); d) mencoba (experimenting); dan e)
membentuk jejaring atau mengomunikasikan (networking).” Langkah serupa
dijelaskan dalam Permendikbud Nomor 81A tentang Implementasi Kurikulum
dimana terdapat 5 langkah dalam mengimplementasikan saintifik yaitu “a)
24
mengamati; b) menanya; c) mengumpulkan informasi/eksperimen; d)
mengasosiasikan/mengolah informasi; dan e) mengomunikasikan.”
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa penerapan
pendekatan saintifik menuntut keterlibatan aktif siswa karena pada dasarnya
mereka adalah pusat dari tujuan dan pembentukan kompetensi yang ingin dicapai.
Dalam pendekatan saintifik setiap materi pembelajaran yang baru harus dikaitkan
dengan pengetahuan dan pengalaman siswa yang sudah ada sebelumnya.
Pendekatan ini diharapkan mampu meningkatkan tingkat berpikir kritis dan
kreativitas siswa. Dalam mengimplementasikan pendekatan saintifik dalam proses
pembelajaran terdapat 5 langkah/tahapan yang harus dilakukan yaitu mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi/menalar, dan
mengomunikasikan.
2.1.4 Modul Pembelajaran Tematik Terpadu dalam Pendekatan Saintifik
Berdasarkan uraian mengenai bahan ajar modul, model pembelajaran
tematik terpadu, dan pendekatan saintifik dapat diketahui bahwa modul yang akan
dikembangkan merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan
menggabungkan beberapa materi pelajaran menjadi satu kesatuan tema yang utuh
dengan menggunakan pendekatan saintifik.
Fakta di lapangan yang mengungkapkan bahwa masih terdapat
permasalahan terkait dengan materi pelajaran pada buku siswa masih berdiri
sendiri serta masih kurang sesuainya silabus, KD, serta substansi materi pada
buku pegangan siswa, maka dapat diidentifikasi karakter bahan ajar modul yang
akan peneliti susun adalah sebagai berikut:
1. Dikemas sesuai dengan karakteristik siswa
2. Menggunakan bahasa yang komunikatif sesuai dengan tingkat pengetahuan dan
pemahaman siswa
3. Menggunakan pendekatan saintifik
4. Modul dibuat dalam lingkup satu subtema yang terdiri dari enam pembelajaran
5. Memadukan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik serta mengedepankan
nilai religi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
25
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini
yaitu: “Pengembangan Modul Pembelajaran Sains Berbasis Integrasi Islam-Sains
untuk Peserta Didik Difabel Netra MI/SD Kelas 5 Semester 2 Materi Pokok Bumi
dan Alam Semesta” oleh F. Yuliawati, M.A. Rokhimawan, J. Suprihatiningrum
pada tahun 2013. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti diperoleh
kesimpulan bahwa modul yang dikembangkan layak digunakan karena memiliki
kualitas Baik (B) dengan persentase keidealan sebesar 74,31%, berdasarkan
penilaian dari 1 ahli media (pendidik SLB), dan reviewer (2 pendidik SD inklusi
dan 1 pendidik SLB).
Penelitian sejenis dilakukan oleh Izzati, dkk (2013) dengan judul
“Pengembangan Modul Tematik dan Inovatif Berkarakter pada Tema Pencemaran
Lingkungan untuk Siswa Kelas VII SMP”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diketahui bahwa modul yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan
keaktifan, hasil belajar, dan karakter siswa. Peningkatan keaktifan siswa dapat
dilihat dari kegiatan praktikum dan diskusi yang dilakukan. Keaktifan siswa pada
saat praktikum mencapai 75% dan pada saat diskusi mencapai 80,5%. Dapat
disimpulkan bahwa terjadi peningkatan keaktifan sebesar 5,5%. Peningkatan hasil
belajar diketahui dari ketercapaian KKM IPA secara klasikal sebesar 100% dari
KKM yang ditentukan sebesar 75. Peningkatan karakter siswa dianalisis
menggunakan uji gain yang menunjukkan bahwa peningkatan karakter siswa
secara menyeluruh berada pada kategori sedang dengan perolehan faktor-g
sebesar 0,35. Perolehan peningkatan karakter dalam kategori sedang bukan berarti
pengembangan modul tidak memberikan hasil yang maksimal. Hal ini
dikarenakan jangka waktu penelitian yang terbatas.
I Gusti Ayu Rusmiati, dkk (2003) melakukan penelitian dengan judul
“Pengembangan Modul IPA dengan Pendekatan Kontekstual untuk Kelas V SD
Negeri 2 Semarapura Tengah”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui
bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata hasil belajar sebelum dan sesudah
menggunakan modul IPA kontekstual. Nilai rata-rata pretest sebesar 52,33 dan
nilai rata-rata posttest siswa yakni 81,67 berada pada kualifikasi baik dan berada
26
di atas KKM mata pelajaran IPA sebesar 70. Melihat rata-rata nilai posttest lebih
besar dari rata-rata nilai pretest dapat disimpulkan bahwa penggunaan modul IPA
dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Nasrul Fauzi (2015) melakukan penelitian “Pengembangan Modul
Pembelajaran IPA Berbasis Nilai-Nilai Humanis John P. Miller untuk
Meningkatkan Kepekaan Sosial Peserta Didik MI/SD Kelas IV”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan layak digunakan sebagai media
pembelajaran. Hal ini didasarkan pada skor penilaian yang diperoleh melalui
tahap uji coba yang mencapai kategori baik. Observasi nilai-nilai humanis
(kepekaan sosial) pada uji coba skala kecil mencapai 87,01% dan pada uji coba
skala besar sebelum penggunaan modul mencapai 46,5% menjadi 83% setelah
menggunakan modul yang berarti kepekaan sosial siswa meningkat secara
signifikan.
Berdasarkan beberapa penelitian relevan diatas peneliti akan melakukan
penelitian serupa dengan pengembangan bahan ajar modul pembelajaran tematik
integratif subtema Hubungan Makhluk Hidup dalam Ekosistem pendekatan
saintifik untuk kelas 5 SD.
2.3 Kerangka Berpikir
Dalam kegiatan proses belajar mengajar diperlukan bahan ajar yang
mendukung ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan. Bahan ajar dapat
berupa modul pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk mempermudah
siswa dalam memahami materi. Berdasarkan penjelasan dalam kajian teori
sebelumnya bahwa untuk membuat modul pembelajaran yang baik harus
memperhatikan beberapa hal. Penggunaan modul pembelajaran yang dilakukan
oleh penelitian sebelumnya terbukti efektif dalam menunjang proses pembelajaran
serta dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Melihat permasalahan yang terjadi dalam mengimplementasikan
kurikulum 2013 yang berkenaan dengan buku pegangan siswa yang masih
dipandang sebagai sumber belajar utama peneliti akan mengembangkan modul
pembelajaran dengan subtema Hubungan Makhluk Hidup dalam Ekosistem.
Modul yang dikembangkan diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami
27
materi dan melatih kemandirian siswa dalam proses belajar mengajar. Modul
disusun berdasarkan karakteristik siswa dan berisi substansi yang bersifat
kontekstual sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Materi yang disajikan
dalam modul dikemas berbasis tema agar muatan dalam modul tidak lagi terpisah-
pisah. Selain itu materi yang ada pada modul diajarkan melalui pendekatan
saintifik untuk melatih tingkat berpikir siswa serta metih daya kreativitas.
Dengan mengembangkan modul pembelajaran tematik integratif dengan
pendekatan saintifik diharapkan efektivitas pembelajaran dapat tercapai dan
tentunya meningkatkan hasil belajar siswa.
2.4 Hipotesis Pengembangan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan hipotesis pengembangan sebagai berikut:
1. Modul pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik untuk siswa kelas 5 SD
dapat dikembangkan dengan model desain pembelajaran ADDIE dengan
langkah analysis, design, development, implementation, dan evaluation.
2. Modul pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik untuk siswa kelas 5 SD
pembelajaran tematik integratif valid.
3. Modul pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik untuk siswa kelas 5 SD
pembelajaran tematik integratif efektif.