bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hakikat dari IPA
2.1.1.1. Pengertian IPA
IPA menurut Mariana dan Praginda dalam bukunya yang berjudul
“Hakikat IPA dan Pendidikan IPA” (2009:6), Ilmu Pengetahuan Alam
merupakan makna alam dan berbagai fenomenanya atau perilaku ataupun
karakteristik yang dikemas menjadi sekumpulan teori maupun konsep
melalui serangkaian proses ilmiah yang dilakukan manusia. Teori maupun
konsep yang terorganisir ini menjadi sebuah inspirasi terciptanya teknologi
yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.
Sumaji, dkk (1998:31) menyatakan bahwa sains adalah suatu disiplin
ilmu yang terdiri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk dalam
physical sciences adalah ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogi,
meteorologi, dan fisika, sedangkan life sciences meliputi biologi, zoologi dan
fisiologi.
Menurut BSNP (2006:1), Karakteristik mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam dapat dilihat melalui dua aspek yaitu biologis dan fisis.
Aspek biologis, mata pelajaran IPA mengkaji berbagai persoalan yang berkait
dengan berbagai fenomena pada makhluk hidup pada berbagai tingkat
organisasi kehidupan dan interaksinya dengan faktor lingkungan, pada
dimensi ruang dan waktu. Untuk aspek fisis, IPA memfokuskan diri pada
benda tak hidup, mulai dari benda tak hidup yang dikenal dalam kehidupan
sehari-hari seperti air, tanah, udara, batuan dan logam, sampai dengan benda-
benda di luar bumi dalam susunan tata surya dan sistem galaksi di alam
semesta.
8
Masih menurut BSNP (2006:1), untuk aspek kimia, IPA mengkaji
berbagai fenomena atau gejala kimia baik pada makhluk hidup maupun pada
benda tak hidup yang ada di alam semesta. Ketiga aspek tersebut, ialah aspek
biologis (biotis), fisis, dan khemis, dikaji secara simultan sehingga
menghasilkan konsep yang utuh yang menggambarkan konsep-konsep dalam
bidang kajian IPA. Khusus untuk materi Bumi dan Antariksa dapat dikaji
secara lebih dalam dari segi struktur maupun kejadiannya.
2.1.1.2. Kopetensi Dasar Pembelajaran IPA
Dalam penerapannya, IPA juga memiliki peranan penting dalam
perkembangan peradaban manusia atau dapat dikatakan peranan IPA dalam
memajukan perkembangan manusia seiring berjalannya waktu, baik dalam
hal manusia mengembangkan berbagai teknologi yang dipakai untuk
menunjang kehidupannya, maupun dalam hal menerapkan konsep IPA dalam
kehidupan bermasyarakat, baik aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan. Oleh karena itu, struktur IPA juga tidak dapat
dilepaskan dari peranan IPA dalam hal tersebut.
Dalam buku yang berjudul “Hakikat IPA dan Pendidikan IPA” (2009:6)
Mariana dan Praginda juga mengemukakan untuk menjembatani cara berfikir
saintis dengan pola berfikir peserta didik. Dengan berbagai pendekatan
pembelajaran terkini dan disesuaikan dengan kondisi peserta didik saat ini,
beberapa model dalam pembelajaran IPA secara kontekstual dapat
memberikan gambaran bagi para pendidik agar pembelajaran IPA di sekolah
dapat berhasil.
Osborne & Dillon (2008) menyatakan “that the primary goal of science
education cannot be simply to produce the next generation of scientist.”
Bahwa tujuan utama dari pendidikan IPA tak hanya sesederhana
memproduksi generasi ilmuan di masa yang akan datang saja. Lebih lanjut
dikemukakan “ … and that this needs to be an education that will develop an
understanding of the major explanatory themes that science has to offer and
contribute to their ability to engage critically with science in their future
9
lives.” Yang secara singkat berarti ilmu pengetahuan ini dibutuhkan untuk
mengembangkan pengertian anak tentang berbagai penjelasan peristiwa di
alam dan juga memberikan kontribusi terhadap kemampuan anak di masa
yang akan datang.
2.1.1.3. Pembelajaran IPA di SD
Pembelajaran juga sering disebut dengan istilah lain yaitu belajar
mengajar yang terdiri atas dua kata antara belajar dan mengajar istilah itu
merupakan terjemahan dari “instructional”. Seseorang dapat dikatan belajar
ketika seseorang sedang melakukan aktivitas melalui interaksi dengan
lingkungan interaksi sekitar berawal dari faktor yang berasal dari dalam
maupun faktor dari luar diri sendiri. Sesuai yang dinyatakan Moh. Suardi
pada bukunya yang berjudul “Belajar dan Pembelajaran” (2015:10).
Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai
bentuk seperti berubah pengetahuannya, kecakapan dan kemampuannya,
daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada dalam
individu.
Pembelajaran adalah suatu usaha yang melibatkan dan menggunakan
pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan
kurikulum, yang nantinya akan terjadi proses interaksi guru atau pendidik
dengan peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Moh.
Suardi, 2015:07). Pembelajaran bisa juga diartikan sebagai kegiatan guru
secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar
secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru,
dimana pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
membelajarkan siswa agar siswa dapat belajar dengan lebih aktif (Dimyati
dan Mudjiono, 2002:113 ).
Menurut Syaiful Sagala (2007:63) pembelajaran mempunyai dua
karakteristik yaitu Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses
mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa untuk sekedar
10
mendengar, mencatatkan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses
berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan
proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan
berpikir itu akan dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri.
Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi memberi
pengertian tentang Ilmu Pengetahuan Alam atau sering kita kenal dengan IPA
yaitu ilmu yang seharusnya dibelajarkan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan Cuma kumpulan dari
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip
saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya
menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan
kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat
membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang alam sekitar.
Kegiatan pembelajaran IPA mencakup pengembangan kemampuan
dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban,
menyempurnakan jawaban tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana”
tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara
sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi. Kegiatan
tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah.
Metode ilmiah dalam mempelajari IPA itu sendiri telah diperkenalkan sejak
abad ke-16 (Galileo Galilei dan Francis Bacon) yang meliputi
mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesa, memprediksi konsekuensi
dari hipotesis, melakukan eksperimen untuk menguji prediksi, dan
11
merumuskan hukum umum yang sederhana yang diorganisasikan dari
hipotesis, prediksi, dan eksperimen (Pusat Kurikulum, 2006).
Dalam belajar IPA peserta didik diarahkan untuk membandingkan hasil
prediksi peserta didik dengan teori melalui eksperimen dengan menggunakan
metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana
bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari, yang didasarkan pada metode ilmiah. Pembelajaran IPA
menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi
agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari
tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam.
Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan
dengan keterampilan proses penyelidikan atau “inquiry skills” yang meliputi
mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan, menyusun
hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menjawab pertanyaan,
mengklasifikasikan, mengolah, dan menganalisis data, menerapkan ide pada
situasi baru, menggunakan peralatan sederhana serta mengkomunikasikan
informasi dalam berbagai cara, yaitu dengan gambar, lisan, tulisan, dan
sebagainya. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang
meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis,
tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan
keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain.
Oleh karena itu pembelajaran IPA di sekolah sebaiknya:
1) memberikan pengalaman pada peserta didik sehingga mereka
kompeten melakukan pengukuran berbagai besaran fisis,
2) menanamkan pada peserta didik pentingnya pengamatan empiris dalam
menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis). Hipotesis ini dapat berasal
daripengamatan terhadap kejadian sehari-hari yang memerlukan
pembuktian secara ilmiah,
12
3) latihan berpikir kuantitatif yang mendukung kegiatan belajar
matematika, yaitu sebagai penerapan matematika pada masalah-
masalah nyata yang berkaitan dengan peristiwa alam,
4) memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam
kegiatan perancangan dan pembuatan alat-alat sederhana maupun
penjelasan berbagai gejala dan keampuhan IPA dalam menjawab
berbagai masalah.
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses belajar yang
dibangun oleh guru ini diharapkan mampu membangun karakteristik mental
siswa dan juga keaktifan siswa dalam memperoleh pengetahuan yang mereka
butuhkan. Sedangkan pembelajaran IPA di fokuskan pada proses inkuiri dan
berbuat sehingga dapat membantu peserta didik mendapatkan pemahaman
tentang gejala-gejala yang terjadi di alam sekitarnya.
2.1.1.4. Penilaian IPA SD
Hakikat IPA yang dinyatakan oleh Sri Sulistyorini (2007:9) dapat
dipandang dari segi produk, proses dan pengembangan sikap. Artinya, belajar
IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil (produk) dan dimensi
pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut bersifat saling terkait.
Ini berarti proses belajar mengajar IPA seharusnya mengandung ketiga
dimensi tersebut.
Sedangkan hakikat IPA menurut Depdiknas (2006) meliputi empat
unsur utama yaitu:
1) Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup,
serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang
dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open
ended.
13
2) Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah. metode
ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau
percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.
3) Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.
4) Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan
Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
2.1.1.5. Pendapat dan kesimpulan tentang hakikat IPA
Dalam pembelajaran IPA sangat banyak dapat diterapkan model
pembelajaran salah satunya adalah model pembelajaran seperti model
pembelajaran yang sering di guakan adalah model pembelajaran ceramah,
tanya jawb penugasan dan lain – lain, model - model pembelajaran seperti ini
merupakan model pembelajaran yang sering digunakan oleh guru pada
umumnya dalam pembelajaran sehingga siswa cenderung bosan dikelas maka
dari itu diperlukan model pembelajaran yang menarik, salah satunya model
yang menarik diterapkan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ialah
model pembelajaran VAK yang dapat memunculkan gambar (visual) dan
suara (audio) kedalam ruang kelas sehingga siswa akan tertarik apa bila video
yang ditayangkan juga menarik.
Dari beberapa hakikat IPA yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa
pengertian dari Ilmu Pengetahuan Alam ialah ilmu yang mempelajarai
tentang semua kejadian atau fenomena yang terjadi di alam semesta baik di
bumi maupun diluar angkasa baik itu mahluk hidup maupun mahluk yang
tidak hidup.
2.1.2. Hasil Belajar IPA
2.1.2.1. Pengertian
Tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik jika hasil belajar
sesuai dengan standar yang diharapkan dalam proses pembelajaran tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar harus dirumuskan dengan baik
untuk dapat dievaluasi pada akhir pembelajaran. Hasil belajar seseorang tidak
14
langsung kelihatan tanpa orang itu melakukan sesuatu untuk memperlihatkan
kemampuan yang diperolehnya melalui belajar. Namun demikian, hasil
belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap
dan tingkah lakunya.
Hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai siswa dalam
mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang
ditetapkan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Syah,
Muhibbin (1997: 91-92) menyatakan bahwa hasil belajar juga dapat dilihat
dari tiga aspek, yaitu secara kuantitatif, institusional, dan kualitatif. Aspek
kuantitatif menekankan pada pengisian dan pengembangan kemampuan
kognitif dengan fakta-fakta yang berarti.
Aspek insitusional atau kelembagaan menekankan pada ukuran
seberapa baik perolehan belajar siswa yang dinyatakan dalam angka-angka.
Sedangkan aspek kualitatif menekankan pada seberapa baik pemahaman dan
penafsiran siswa terhadap lingkungan di sekitarnya. Sehingga dapat
memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan definisi dan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat
diamati setelah mengikuti program belajar mengajar dalam bentuk tingkat
penguasaan siswa terhadap pengetahuan dan ketrampilan. Dengan demikian,
hasil belajar IPA harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan IPA yang telah
tercantum dalam kurikulum dengan tidak melupakan hakiakt IPA itu sendiri.
Hasil belajar IPA dikelompokkan berdasarkan hakikat sains yang meliputi
IPA sebagai produk, proses, dan sikap ilmiah. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar IPA meliputi pencapaian IPA sebagai
produk, proses dan sikap ilmiah.
Dalam segi produk, siswa daharapkan dapat memahami konsep-konsep
IPA dan keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi proses, siswa
diharapkan memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan,
gagasan, dan menerapkan konsep yang diperolehnya untuk memecahkan
masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehahri-hari. Dari segi ilmiah,
15
siswa diharapkan mempunyai minat untuk mempelajari benda-benda di
sekitarnya, bersikap ingin tahu, tekun, kritis, mawas diri, bertanggung jawab,
dapat bekerja sama dan mandiri, serta mengenal dan mengembangkan rasa
cinta terhadap alam sekitar dan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,
hasil belajar yang dikembangkan di SD adalah hasil belajar yang mencakup
penguasaan produk, proses, dan sikap ilmiah.
Contoh dalam materi gaya, dimensi produk yang akan diperoleh siswa
adalah pemahaman konsep tentang pengertian gaya, macam-macam gaya,
dan pengaruh gaya terhadap benda. Dari dimensi proses, siswa diharapkan
memiliki kemampuan mengembangkan pengetahuan tentang berbagai
macam jenis gaya dan mampu mengkomunikasikan gagasan tentang
pengaruh gaya terhadap bentuk benda dan gerak benda. Serta siswa juga
diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep tentang gaya dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Sedangkan dari dimensi sikap ilmiah yang akan diperoleh
siswa meliputi sikap ingin tahu mengenai berbagai macam gaya dan dapat
berpikir kritis untuk memecahkan berbagai macam permasalahan tentang
gaya dan pengaruhnya terhadap benda.
2.1.2.2. Pengukuran Hasil Belajar IPA
Pengukuran hasil belajar IPA ditentukan dengan menghitung rata – rata
dari nilai yang dimiliki siswa tiap tahunnya dengan standar yang sudah di
tetapkan oleh pemerintah pusat tentang standar kelulusan siswa atau disebut
dengan KKM, kemudian akan di ketahui hasil setelah menghitung rata – rata
dari pencapaian siswa dan akan memunculkan hasil yaitu :
a) Rendah apabila hasil dari rata – rata nilai siswa kurang dari batas tuntas
yang sudah ditetapkan.
b) Tinggi apabila hasil rata – rata dari nilai siswa mampu mencapai batas
tuntas atau lebih dari batas tuntas.
16
Teknik pengambilan nilai siswa dilakukan menggunakan beberapa
langkah salah satunya ialah dengan melakukan :
1) Dengan dilakukannya Tes atau evaluasi. Tes atau evaluasi biasa
dilakukan tiap akhir semester adapun yang dilakukan diakhir
pembelajaran setelah beberapa materi selesai seperti ulangan harian.
Tes atau evaluasi ini digunakan untuk mengukur sejauh mana siswa
mampu memahami materi yang diajarkan oleh guru.
2) Melakukan tanya jawab dengan siswa seputar materi yang sedang
diajarkan. Penting dalam melakukan tanya jawab dengan siswa karena
dengan kita melakukan tanya jawab ini tidak hanya memberikan
permasalahan kepada siswa namun malah menjadikan siswa nantinya
dapat berfikir kritis dan tanggap dengan permasalahan serta juga
melatih mental berbicara siswa, dengan bertanya jawab guru juga dapat
menilai sejauh mana mereka dapat menjawab pertanyaan guru dan dari
sinilah guru paham akan kekurangan siswa dalam pemahaman materi
yang diajarkan.
3) Melakukan pembagian kelompok. Dalam pembagian kelompok bukan
hanya sekedar membagi mereka menjadi beberapa kelompok, namun
tujuan dalam pembagian kelompok ini adalah “apakah siswa sudah bisa
bertanggung jawab untuk tugas kelompok yang telah diberikan” dengan
memberikan tugaskepada tiap kelompok berarti kita melatih siswa
untuk bertanggung jawab atas permasalahan yang diberikan dengan
begitu siswa akan bisa lebih pandai dalam bersosialisasi untuk
memecahkan suatu masalah.
4) Persentasi. Persentasi biasanya dilakukan sesaat setelah guru membagi
mereka dalam kelompok kemudian setelah semua kelompok selesai,
siswa maju untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Dalam
persentasi hasil kerja ini yang paling nampak dilatih ialah mental siswa,
namun bukan hanya mental tetapi juga dalam segi pembawaan hasil
yang mereka diskusikan apakah mereka siap dengan hasil mereka atau
tidak.
17
2.1.3. Model Pembelajaran VAK
2.1.3.1. Pengertian VAK
Barbara Prashnig dalam bukunya yang berjudul “The Power of
Learning Styles” (2007:44), mengatakan bahwa Model pembelajaran VAK
adalah dasar bagi Neuro Linguistic Programming (NPL - kajian tetang “kata-
kata dan Saraf”), yang memperhitungkan melalui modelis (indra) dimana
orang – orang memproses dan menyimpan informasi. Model yang sudah
diciptakan pada tahun 1970, dan sekarang sudah digunakan luas untuk proses
pembelajaran.
Menurut Sugiyanto (2008:101) model pembelajaran Visual Auditori
Kinestetik (VAK) adalah strategi pembelajaran yang menekankan bahwa
belajar haruslah memanfaatkan alat indra yang dimiliki siswa. Menurut
Nurhasanah (2010) pembelajaran dengan model pembelajaran Visual
Auditori Kinestetik (VAK) adalah suatu pembelajaran yang memanfaatkan
gaya belajar setiap individu dengan tujuan agar semua kebiasaan belajar siswa
akan terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan model pembelajaran Visual Auditori
Kinestetik (VAK) adalah model pembelajaran yang mengkombinasikan
ketiga gaya belajar (melihat, mendengar, dan bergerak) setiap individu
dengan cara memanfaatkan potensi yang telah dimiliki dengan melatih dan
mengembangkannya, agar semua kebiasaan belajar siswa terpenuhi.
Menurut DePorter, (1999:112) VAK (Visual, Auditory, Kinesthetic)
merupakan tiga modalitas yang dimiliki oleh setiap manusia. Ketiga
modalitas tersebut kemudian dikenal sebagai gaya belajar. Gaya belajar
merupakan kombinasi dari bagaimana seseorang dapat menyerap dan
kemudian mengatur serta mengolah informasi.
Pembelajaran dengan model ini mementingkan pengalaman belajar
secara langsung dan menyenangkan bagi siswa. Pengalaman belajar secara
langsung dengan cara belajar dengan melihat dan mengingat (Visual), belajar
dengan mendengar (Auditory), dan belajar dengan gerak dan emosi
(Kinestethic) (DePorter dkk. 1999). Menurut Herdian, model pembelajaran
VAK merupakan suatu model pembelajaran yang menganggap pembelajaran
18
akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut (Visual, Auditory,
Kinestethic), dan dapat diartikan bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan
memanfaatkan potensi siswa yang telah dimilikinya dengan melatih dan
mengembangkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar langsung dengan bebas
menggunakan modalitas yang dimilikinya untuk mencapai pemahaman dan
pembelajaran yang efektif.
Pemanfaatan dan pengembangan potensi siswa dalam pembelajaran ini
harus memperhatikan kebutuhan dan gaya belajar siswa. Bagi siswa visual,
akan mudah belajar dengan bantuan media dua dimensi seperti menggunakan
grafik, gambar, chart, model, dan semacamnya. Siswa auditory, akan lebih
mudah belajar melalui pendengaran atau sesuatu yang diucapkan atau dengan
media audio. Sedangkan siswa dengan tipe kinestethic, akan mudah belajar
sambil melakukan kegiatan tertentu, misalnya eksperimen, bongkar pasang,
membuat model, memanipulasi benda, dan sebagainya yang berhubungan
dengan system gerak. (Suyatno. 2009:60)
2.1.3.2. Karakteristik Model Pembelajaran VAK
Menurut Bobbi DrPorter dalam bukunya yang berjudul “Quantum
Learning” disampaikan bahwa ada beberapa karakteristik dalam model
pembelajaran VAK yang memacu kepada ketiga gaya belajar, yaitu sebagai
berikut :
a. Gaya visual (belajar dengan cara melihat)
Visual berarti adalah sesuatu yang dapat dilihat dengan mata melalui
bentuk kegiatan mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca,
dan juga menggunakan alat peraga ataupun video. Bagi siswa yang bergaya
belajar visual, yang memegang peranan penting adalah mata/penglihatan
(visual). Dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya
lebih banyak dititik beratkan pada peragaan/media, ajak siswa ke objek-objek
yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat
peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis.
19
Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar visual
menurut Bobbi DrPorter dalam bukunya yang berjudul “Quantum Learning”
dijelaskan jika semua pertanyaan – pertanyaan ini dijawab “ya”,
kemungkinan siswa tersebut adalah pembelajar visual. Bentuk pertanyaan
meliputi : “Apakah kamu perlu melihat informasi baik dalam bentuk tulisan
atau tabel, grafik atau gambar untuk mengingat?”, kemudian “Apakah kamu
lebih memilih untuk melihat peta dari pada mendengarkan petunjuk?”.
b. Gaya auditori (belajar dengan cara mendengar)
Jika kita dengar kata audio yang pertama tebayangkan ialah “suara”,
maka dari itu audio disini berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
suara. Dalam pembelajaran kita juga melakukan kegiatan tersebut seperti
mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, mengemukakan pendapat,
gagasan, menanggapi dan beragumentasi. Seorang siswa lebih suka
mendengarkan kaset audio, ceramah-kuliah, diskusi, debat dan instruksi
(perintah) verbal. Alat rekam sangat membantu pembelajaran pelajar tipe
auditori. Dr. Wenger (dalam Rose Colin dan Nicholl, (2002:143)
merekomendasikan setelah membaca sesuatu yang baru, deskripsikan dan
ucapkan apa yang sudah dibaca tadi sambil menutup mata dengan suara
lantang. Alasannya setelah dibaca, divisualisasikan (ketika mengingat dengan
mata tertutup) dan dideskripsikan dengan lantang, maka secara otomatis telah
belajar dan menyimpannya dalam multi-sensori.
Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar auditori
dijelaskan oleh Bobbi DrPorter dalam bukunya yang berjudul “Quantum
Learning”, mengutarakan pertanyaan yang pertama ialah “Apakah kamu
mengulangi informasi dengan lantang untuk bisa mengingatnya?” kemudia
“Bisakah kamu menggikuti pelajaran hanya dengan mendengarkan informasi
yang disampaikan?”, “Apakah kamu lebih suka mendengarkan berita melalui
radio ketimbang membaca di koran?” dan yang terakhir “Apakah kamu lebih
mempelajari bahasa dengan mendengar pembicaraan aslinya?”, kemungkinan
20
siswa yang menjawab “ya” tentang pertanyaan – pertanyaan yang diajukan,
kemungkinan siswa pembelajar auditori.
c. Gaya Kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh)
Belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung. Seorang siswa
lebih suka menangani, bergerak, menyentuh dan merasakan/mengalami
sendiri, gerakan tubuh (aktivitas fisik). Bagi siswa kinestetik belajar itu
haruslah mengalami dan melakukan.
Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar kinestetik
atau gerak disampaikan oleh Bobbi DrPorter dalam bukunya yang berjudul
“Quantum Learning” yaitu siswa yang menjawab “ya” pada pertanyaan
berikut “Apakah kamu pembelajar sambil praktik?” dan “Apakah kamu bisa
berfikir lebih baik saat sedang bergerak?”, begitu menurut Bobbi DrPorter
untuk mengenal anak yang dapat belajar dengan kinestetik.
Model pembelajaran Visual Auditori Kinestetik (VAK) menganggap
bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga gaya belajar
tersebut, dengan kata lain manfaatkanlah potensi siswa yang telah dimilikinya
dengan melatih dan mengembangkannya. Dalam beberapa hal, seseorang
memanfaatkan ketiga gaya tersebut. Kebanyakan orang menunjukkan
kelebihsukaan dan kecenderungan pada satu gaya belajar tertentu
dibandingkan dua gaya lainnya. Rose Colin dan Nicholl (2002:131)
menyatakan tentang suatu studi yang dilakukan terhadap lebih dari 5.000
siswa di Amerika Serikat, Hongkong, dan Jepang, kelas 5 hingga 12,
menunjukkan kecenderungan belajar Visual 29 %, Auditori 34 %, Kinestetik
37 %.
Namun pada saat mereka mencapai usia dewasa, kelebihsukaan pada
gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi, menurut Lynn O’Brien,
direktur Studi Diagnostik Spesifikasi Rockville, Maryland, (dalam Rose
Colin dan Nicholl, 2002:131) yang melakukan studi tersebut. Menurut pakar
neurolinguistik Michael Grinder, penulis buku Righting the Educational
Canveyor Belt (dalam Rose Colin dan Nicholl, 2002:132) dalam sekelompok
yang terdiri 30 siswa, ternyata 20 orang mempunyai cukup kecenderungan
21
Visual, Auditori, dan Kinestetik sehingga mereka mampu belajar tidak peduli
bagaimana subjek itu disampaikan, yang lainnya sekitar 20% dari kelompok
itu begitu menyukai satu gaya belajar saja sehingga mereka mempunyai
kesulitan besar untuk belajar sesuatu jika disampaikan tidak dengan gaya
yang mereka sukai. Grinder (dalam Rose Colin dan Nicholl, 2002:132)
menyebutkan mereka sebagai HV (Hanya Visual), HS (Hanya Auditori), HK
(Hanya Kinestetik). Kombinasi dari ketiga gaya belajar tersebut di dalam
proses pembelajaran matematika contohnya.
a) Membaca LKS dan memperhatikan guru dalam penyampaian konsep
(sudah melihatnya).
b) Menyusun pertanyaan dan merekam jawaban dari teman yang
melakukan presentasi (sudah mendengarnya).
c) Menulis dan mencatat butir-butir penting hasil presentasi yang
disampaikan teman (sudah menanganinya secara fisik).
Kegiatan pembelajarannya merupakan kombinasi dari ketiga kebiasaan
belajar anak tersebut. Model pembelajaran Visual Auditori Kinestetik (VAK)
adalah strategi pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah
memanfaatkan alat indra yang dimiliki siswa (Icha:2011). Menurut
Nurhasanah (2010) pembelajaran dengan model pembelajaran Visual
Auditori Kinestetik (VAK) adalah suatu pembelajaran yang memanfaatkan
gaya belajar setiap individu dengan tujuan agar semua kebiasaan belajar siswa
akan terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan Model pembelajaran Visual Auditori
Kinestetik (VAK) adalah model pembelajaran yang mengkombinasikan
ketiga gaya belajar (melihat, mendengar, dan bergerak) setiap individu
dengan cara memanfaatkan potensi yang telah dimiliki dengan melatih dan
mengembangkannya, agar semua kebiasaan belajar siswa terpenuhi.
2.1.3.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran VAK
Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan, tidak
terkecuali model pembelajaran Visual Auditori Kinestetik (VAK) juga
memiliki kelebihan dan kelemahan diantaranya sebagai berikut.
22
1) Kelebihan Model Pembelajaran VAK
Kelebihan model pembelajaran Visual Auditori Kinestetik (VAK)
adalah sebagai berikut :
a) Pembelajaran akan lebih efektif, karena mengkombinasikan ketiga gaya
belajar.
b) Mampu melatih dan mengembangkan potensi siswa yang telah dimiliki
oleh pribadi masing-masing.
c) Memunculkan suasana belajar yang lebih baik, menarik dan efektif
d) Memberikan pengalaman langsung kepada siswa.
e) Mampu melibatkan siswa secara maksimal dalam menemukan dan
memahami suatu konsep melalui kegiatan fisik seperti demonstrasi,
percobaan, observasi, dan diskusi aktif.
f) Mampu menjangkau setiap gaya pembelajaran siswa.
g) Siswa yang memiliki kemampuan bagus tidak akan terhambat oleh
siswa yang lemah dalam belajar karena model ini mampu melayani
kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
2) Kelemahan Model Pembelajaran VAK
Kelemahan dari model pembelajaran Visual Auditori Kinestetik (VAK)
yaitu tidak banyak orang mampu mengkombinasikan ketiga gaya belajar
tersebut. Sehingga orang yang hanya mampu menggunakan satu gaya belajar,
hanya akan mampu menangkap materi jika menggunakan metode yang lebih
memfokuskan kepada salah satu gaya belajar yang didominasi. (Janghyunita,
2012:3)
2.1.3.4. Langkah – Langkah Model Pembelajaran VAK
1. Tahap persiapan (kegiatan pendahuluan)
Pada kegiatan pendahuluan guru memberikan motivasi untuk
membangkitkan minat siswa dalam belajar, memberikan perasaan positif
mengenai pengalaman belajar yang akan datang kepada siswa, dan
menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk menjadikan siswa lebih
siap dalam menerima pelajaran.
a) Memberikan sugesti positif
23
b) Memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa
c) Memberikan tujuan yang jelas dan bermakna
d) Membangkitkan rasa ingin tahu
e) Menciptakan lingkungan fisik yang positif
f) Menciptakan lingkungan emosional yang positif
g) Menciptakan lingkungan sosial yang positif
h) Menenangkan rasa takut
i) Menyingkirkan hambatan-hambatan belajar
j) Banyak bertanya dan mengemukakan berbagai masalah
k) Merangsang rasa ingin tahu siswa
l) Mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal
2. Tahap Penyampaian (kegiatan inti pada eksplorasi)
Pada kegiatan inti guru mengarahkan siswa untuk menemukan materi
pelajaran yang baru secara mandiri, menyenangkan, relevan, melibatkan
pancaindera, yang sesuai dengan gaya belajar VAK. Tahap ini biasa disebut
eksplorasi.
a) Uji coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan
b) Pengamatan fenomena dunia nyata
c) Pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh
d) Presentasi interaktif
e) Grafik dan sarana yang presentasi brwarna-warni
f) Aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar
g) Proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim
h) Latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok)
i) Pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual
j) Pelatihan memecahkan masalah
3. Tahap Pelatihan (kegiatan inti pada elaborasi)
Pada tahap pelatihan guru membantu siswa untuk mengintegrasi dan
menyerap pengetahuan serta keterampilan baru dengan berbagai cara yang
disesuaikan dengan gaya belajar VAK.
24
a) Aktivitas pemrosesan siswa
b) Usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali
c) Simulasi dunia-nyata
d) Permainan dalam belajar
e) Pelatihan aksi pembelajaran
f) Aktivitas pemecahan masalah
g) Refleksi dan artikulasi individu
h) Dialog berpasangan atau berkelompok
i) Pengajaran dan tinjauan kolaboratif
j) Aktivitas praktis membangun keterampilan
k) Mengajar balik
4. Tahap penampilan hasil (kegiatan inti pada konfirmasi)
Tahap penampilan hasil merupakan tahap seorang guru membantu
siswa dalam menerapkan dan memperluas pengetahuan maupun keterampilan
baru yang mereka dapatkan, pada kegiatan belajar sehingga hasil belajar
mengalami peningkatan. (Ngalimun, 2012:76).
Media-media yang dapat digunakan adalah media segala jenis media
yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran VAK. Hal yang perlu
diperhatikan adalah media yang digunakan harus dapat memenuhi ketiga
modalitas belajar. Siswa dengan modalitas belajar visual dapat dibantu
dengan media gambar, poster, grafik, dsb. Siswa dengan modalitas belajar
auditory dibantu dengan media suara atau musik-musik yang dapat
merangsang minat belajar atau memberikan kesan menyenangkan, rileks, dan
nyaman bagi siswa, sementara bagi siswa kinesthetic diperlukan media-media
pembelajaran yang dapat mengoptimalkan fungsi gerak siswa.
2.1.4. Multimedia
2.1.4.1.Pengertian Multimedia
Pengertian dari multimedia sendiri berasal dari kata multi diartikan
sebagai banyak atau bermacam – macam, kemudian dari suku kata media alat
atau sesuatu untuk menyampaikan dan membawakan sesuatu. Pengertian dari
para ahli mengatakan bahwa multimedia secara umum memiliki kombinasi
25
tiga gaya atau tiga element yaitu suara, kemudian gambar dan yang terakhir
adalah teks atau tulisan menurut Rosch dalam buku M.Suryanto (2005:20)
Pendapat lain tentang multimedia ialah menurut Turban dkk, dalam
bukunya M.Suyanto (2005:21) mengatakan bahwa multimedia itu merupakan
alat yang dapat menciptakan persentasi secara dinamis dan interaktif yang
mengkombinasikan teks atau kalimat atau kata, kemudian grafik atau gambar,
kemudian animasi, audio atau suara dan gambar video, maka dari itu
multimedia ini juga diartikan sebagai seperakngkat media yang
mengkombinasikan dari unsur-unsur atau dari berbagai media yang relevan
dalam hubungannya dengan tujuan – tujuan instruksional. Seiring dengan
bergantinya zaman juga mempengaruhi penggunaan media yang di
pergunakan didalam proses belajar mengajar, dalam segi pendidikan
multimedia ikut memberikan dorongan bagi siswa untuk lebih tertarik untuk
belajar dikelas, selain itu mutimedia ini dipergunakan dengan menampilkan
gambar suara bahkan video saat ini, namun didalam proses pembelajaran
multimedia ini digunakan bukan sebagai sumber belajar namun sebagai
dukungan dalam pembelajaran yaitu sebagai perantara dalam penyampaian
materi yang akan di ajarkan dalam proses belajar mengajar.
Mutimedia ini juga diartikan sebagai perangkat yang memanfaatkan
komputer didalam pembuatan ataupun didalam pengabungan teks (tulisan),
grafik (gambar), audio (suara), dan gambar bergerak (video dan animasi)
yang akan digambungkan, menurut Hofstetter di dalam bukunya M.Suyanto
(2005:21). Dari pengertian Hofstetter ini kita dapat mengetahui bahwa
multimedia ini digunakan dengan menggabungkan berbagai macam unsur
atau aspek dengan menggunakan komputer sebagai bahan dalam penyatuan
atau pengabungannya. Perangkat media seperti komputer sekarang sudah
menjadi hal yang biasa dikalangan pendidikan namun masih belum
dimanfaatkan dengan baik di dalam proses pembelajaran. Penggunaaan
teknologi multimedia sebenarnya sangat menbantu dalam meningkatkan
minat belajar siswa dan motivasi siswa. Apalagi didalam tenologi multimedia
26
ini dapat berupa berbagai macam informasi yang dianggap sebagai penunjang
maupun pendukung didalam mendapatkan dan menyampaikan informasi.
2.1.4.2.Peranan Multimedia
Peranan multimedia didalam pembelajaran ialah sebagai media
pembelajaran itu sendiri menurut Kemp dan Dayton (1985) dalam buku “Ajar
Pendidikan Dalam Keperawatan” yang disusun oleh Ns. Roymond H.
Simamora, M.Kep (2009:66) mengungkapkan beberapa peranan media
didalam pembelajaran, yaitu :
a. Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih memenuhi standar.
b. Pembelajaran dapat lebih menarik.
c. Pembelajaran lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar.
d. Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat dipersingkat.
e. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan.
f. Proses pembelajaran dapat berlangsung kapan pun dan di mana pun
diperlukan.
2.2. Hasil Penelitian yang Relevan
Retno Kartikasari (2011) dengan judul “Upaya peningkatan
pembelajaran IPA kelas v melalui penerapan model VAK di SDN Merjosari
1 Malang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model VAK
pada pembelajaran IPA di Kelas V SDN Merjosari 1 Malang dapat
dilaksanakan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perolehan
keberhasilan guru dalam menerapkan model VAK, pada siklus I pertemuan 1
sebesar 80, pertemuan 2 yaitu 90, kemudian meningkat di siklus II yaitu pada
pertemuan 1 sebesar 95, dan pertemuan 2 yaitu 95. Aktivitas siswa juga
mengalami peningkatan yaitu rata-rata aktivitas siswa pada siklus I
pertemuan 1 sebesar 65, pertemuan 2 sebesar 73, dan disiklus II pertemuan 1
sebesar 82, pertemuan 2 sebesar 85. Hasil belajar siswa pada siklus I
mencapai rata-rata 67,05 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 59%,
sedangkan di siklus II rata-rata meningkat menjadi 71,98 dengan persentase
ketuntasan sebesar 87,09%. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan
27
bahwa penerapan model VAK dapat meningkatkan pembelajaran IPA siswa
kelas V SDN Merjosari 1 Malang.Untuk itu disarankan agar guru menerapkan
model VAK dalam pembelajaran IPA.
Reni Dwi Lestari (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
penerapan model pembelajaran VAK (visual, auditori, kinestetik) terhadap
hasil belajar IPA kelas III SDN Tanjungrejo 2 Malang”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar
siswa kelas III A sebgai kelompok eksperimen dan siswa kelas III B sebagai
kelompok kontrol. Rata-rata nilai kemampuan akhir (post test) siswa
kelompok eksperimen 85,21 lebih tinggi dari pada rata-rata nilai kemampuan
akhir (post test) siswa kelompok kontrol 76,63. Rata-rata peningkatan nilai
hasil belajar (gain score) siswa kelompok eksperimen 28,13 lebih tinggi dari
pada rata-rata nilai hasil belajar (gain score) siswa kelompok kontrol 18,80.
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dan pengaruh penerapan
model pembalajaran VAK terhadap hasil belajar IPA siswa kelas III materi
benda dan sifatnya SDN Tanjungrejo 2 Malang.
Tejo Pratomo (2014) : “Penggunaan model VAK dengan multimedia
dalam meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Jombang Tahun
Ajaran 2013/2014”. Penggunaan Model VAK dengan Multimedia dalam
Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SDN Jombang Tahun
Ajaran 2013/2014. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
penggunaan model pembelajaran VAK (Visualization, Auditory, and
Kinestic) dengan multimedia dalam meningkatkan hasil belajar IPA.
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam tiga
siklus dengan jumlah subjek 18 siswa. Analisis data yang digunakan adalah
analisis kualitatif dan kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa: Penggunaan
model VAK dengan multimedia dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa
kelas IV. Kendala yang dihadapi adalah: siswa pandai lebih mendominasi
diskusi dan persentasi belum berjalan baik. Solusinya adalah: guru
memotivasi siswa untuk percaya diri dalam diskusi kelompok dan guru
28
memberikan arahan agar siswa memperhatikan kegiatan persentasi.
Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan model VAK dengan
multimedia dalam peningkatan pembelajaran IPA siswa kelas IV SDN
Jombang Tahun Ajaran 2013/2014 maka dapat disimpulkan: (1) penggunaan
model VAK dengan multimedia dalam peningkatan pembelajaran IPA siswa
kelas IV SDN Jombang Tahun Ajaran 2013/2014. (2) penggunaan model
VAK dengan multimedia dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas
IV SDN Jombang Tahun Ajaran 2013/2014 dengan prosentase siswa yang
tuntas siklus I sebesar 77,78% (14 siswa), siklus II sebesar 83,33% (15 siswa),
dan siklus III sebesar 94,44% (17 siswa), dapat disimpulkan dengan hasil
yang ada bahwa pembelajaran menggunakan model VAK dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Shinta Mania (2015) penelitian yang berjudul “Penggunaan model
visual auditory kinesthethic (VAK) dengan multimedia dalam peningkatan
pembelajaran IPA tentang pesawat sederhana pada siswa kelas V SDN 1
Kuwarasan Tahun Ajaran 2014/2015”. Penggunaan Model Visual Auditory
Kinesthetic (VAK) dengan Mutimedia dalam Peningkatan Pembelajaran IPA
Tentang Pesawat Sederhana pada Siswa Kelas V SD. Tujuan penelitian ini
yaitu untuk meningkatkan pembelajaran IPA tentang pesawat sederhana pada
siswa kelas V SD. Subjek penelitian ini siswa kelas V SDN 1 Kuwarasan
sejumlah 32 siswa. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dalam tiga
siklus. Setiap siklus terdapat dua pertemuan terdiri dari tahap perencanaan,
pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Teknik pengumpulan data
dengan tes, observasi, dan wawancara. Validitas data menggunakan
triangulasi data dan sumber. Analisis data dilakukan melalui analisis data
kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan
model VAK dengan multimedia dapat meningkatkan pembelajaran IPA
tentang pesawat sederhana pada siswa kelas V SD. Hasil pening-katan
penggunaan model VAK dengan multimedia bagi guru pada siklus I sebesar
79,56%. Pada siklus II sebesar 88,75%. Pada siklus III sebesar 95,38%.
Sedangkan bagi siswa pada siklus I sebesar 57,31%. Pada siklus II sebesar
29
79%. Pada siklus III sebesar 93,25%. Peningkatan persentase ketuntasan
proses dan hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 75% Pada siklus II sebesar
82,81%. Pada siklus III sebesar 92,09%. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa penggunaan model VAK dengan multimedia dapat
meningkatkan pembelajaran IPA tentang pesawat sederhana pada siswa kelas
V SDN 1 Kuwarasan Ta-hun Ajaran 2014/2015.
Agus Bayu Saputra (2014) dalam penelitiannya yang berjudul
“Implementasi model pembelajaran VAK berbantuan media audio visual
untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV B SD No 2 Banyuasri”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPA
siswa kelas IVB semester I SD No 2 Banyuasri, Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng, tahun pelajaran 2012/2013. Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari
empat tahap yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi dan
refleksi. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IVB yang berjumlah 35
orang, terdiri dari 13 orang laki-laki dan 22 orang perempuan. Metode
pengumpulan data mempergunakan metode tes berupa tes obyektif dan esai.
Data hasil belajar dianalisis dengan metode analisis statistik deskriptif
kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi model
pembelajaran VAK berbantuan media audio visual dapat meningkatkan hasil
belajar IPA siswa sebesar 9,57%. Hasil belajar IPA siswa pada siklus I
sebesar 70,57% dengan kriteria sedang, mengalami peningkatan pada siklus
II sebesar 80,14% dengan kriteria tinggi. Sedangkan, ketuntasan belajar
secara klasikal pada siklus I sebesar 71,43% dengan kriteria sedang,
mengalami peningkatan sebesar 11,43% pada siklus II menjadi 82,86%
dengan kriteria tinggi. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran VAK dapat menigkatkan hasil belajar.
30
2.3. Kerangka Pikir
Berdasarkan berbagai permasalahan yang ada penulis berusaha mencari
permasalahan yang terjadi di dalam pembelajaran IPA SD Negeri 1
Gemawang, dengan menerapkan model pembelajaran VAK. Pada
pembelajaran IPA disini mencoba menggunakan model pembelajaran VAK
dalam penyampaian isi pembelajaran supaya siswa dapat memahami
pembelajaran yang disampaikan. Model pembelajaran VAK merupakan suatu
model pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi dengan
tiga gaya belajar VAK.
Maka dari itu dalam kerangka pikir ditarik kembali kesimpulan bahwa
jika didalam pembelajaran IPA kita menggunakan model pembelajaran VAK
maka hasil belajar siswa akan meningkat, karena dengan menggunakan model
pembelajaran VAK yang memiliki kelebihan seperti halnya siswa bisa lebih
mudah dalam memahami materi yang diajarkan oleh guru, ketimbang mereka
hanya menyimak tanpa ada suatu pandangan tertentu atau tanpa ada suatu
gambaran secara nyata didalam proses belajar mengajar berlangsung.
2.4. Hipotesis / Produk Hipotetik
Penerapan model pembelajaran VAK dapat meningkatkan hasil belajar
IPA siswa kelas V semester II tahun pelajaran 2015/2016 SD Negeri 1
Gemawang.