bab ii kajian pustaka, kerangka berpikir, dan … · kata aneh, dan lain-lain. menurut martin...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka dan Hasil Penelitian Relevan
1. Hakikat Motivasi
a. Pengertian Motivasi
Motivasi merupakan energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu
perubahan pada diri seseorang yang tampak pada gejala kejiwaan, perasaan, dan
juga emosi sehingga mendorong individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu
dikarenakan adanya tujuan, kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan
(Majid, 2013: 309). Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Aunurrahman
(2012: 114) bahwa motivasi sebagai kekuatan yang mampu mengubah energi
dalam diri seseorang dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu.
Gray dalam Majid (2013: 307) menyatakan bahwa motivasi merupakan
sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seseorang individu yang
menyebabkan timbulnya antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu. Hamalik (2013: 158) mengartikan motivasi sebagai
perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya
perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Sementara Sardiman (2004: 75)
mengartikan motivasi sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-
kondisi tertentu, sehingga seorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia
tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan
tidak suak itu. Jadi, motivasi dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi
itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang.
Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan
yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak
atau berbuat (Uno, 2008: 3). Adapun Djamarah dalam Aunurrhaman (2012: 115)
menyatakan bahwa motivasi terkait erat dengan kebutuhan. Semakin besar
kebutuhan seseorang akan sesuatu yang ingin dicapai, maka akan kuat motivasi
untuk mencapainya. Kebutuhan yang kuat terhadap sesuatu akan mendorong
seseorang untuk mencapainya dengan sekuat tenaga.
9
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi
adalah dorongan dari diri seorang baik disebabkan faktor internal maupun
eksternal yang ditandai dengan perubahan perasaan dan emosi yang diwujudkan
dalam tindakan untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Pengertian Motivasi dalam Pembelajaran
Motivasi dalam pembelajaran merupakan hal penting yang saling
memengaruhi. Dalam peoses pembelajaran, motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Motivasi belajar menurut
Sardiman (2004: 75) adalah faktor psikis yang bersifat nonintelektual. Perannya
yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang, dan semangat
belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk
melakukan kegiatan belajar.
Suprijono (2009: 163) mendefinisikan motivasi belajar sebagai proses
yang memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku
yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama.
Pendapat lain dikemukakan oleh Wena (2014: 33) bahwa motivasi belajar dapat
dilihat dari karkteristik tingkah laku siswa yang menyangkut minat, ketajaman
perhatian, konsentrasi, dan ketekunan dalam kegiatan belajar. Selain itu, motivasi
belajar dapat juga dilihat dari indikator-indikator seperti keantusiasan dalam
belajar, rasa ingin tahu pada sisi pembelajaran, ketekunan dalam belajar, selalu
berusaha mencoba, dan aktif mengatasi tantangan yang ada dalam pembelajaran.
Dari berbagai asumsi yang telah disampaikan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa motivasi dalam pembelajaran adalah dorongan dalam diri
siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara lebih aktif sehingga tujuan belajar
tercapai.
c. Fungsi Motivasi dalam Pembelajaran
Menurut Sardiman (2004: 85), ada tiga fungsi motivasi, yaitu (1)
mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi; (2) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang
10
hendak dicapai; dan (3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan mana
yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan
perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Adapun pendapat Uno (2008: 17) tentang fungsi motivasi dalam belajar
adalah sebagai berikut: (1) mendorong manusia untuk melakukan suatu aktivitas
yang didasarkan atas pemenuhan kebutuhan; (2) menentukan arah tujuan yang
hendak dicapai; dan (3) menentukan perbuatan yang harus dilakukan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan fungsi motivasi dalam
pembelajaran antara lain adalah untuk mendorong, menggerakkan, dan
mengarahkan aktivitas-aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sehingga dapat
mencapai proses belajar dan hasil belajar yang maksimal.
d. Cara Membangkitkan Motivasi dalam Pembelajaran
Motivasi dalam pembelajaran yang tinggi tercermin dari perilaku siswa
yang tidak mudah putus asa dalam mencapai proses dan hasil belajar yang tinggi
meskipun mendapat berbagai kesulitan. Keller (dalam Wena, 2014: 35)
mengajukan empat jenis strategi dalam pengelolaan motivasi, yaitu
1) Strategi pengelolaan motivasional untu menarik perhatian, meliputi:
membangkitkan daya persepsi; keinginann untuk bertanya; dan
penggunaan strategi belajar yang bervariasi.
2) Strategi pengelolaan motivasional meningkatkan relevansi, diantaranya:
menyajikan isi pembelajaran yang berorientasi pada tujuan/
kompetensi; menggunakan strategi yang sesuai; dan menciptakan
keakraban.
3) Strategi pengelolaan motivasional menumbuhkan keyakinan diri siswa,
meliputi: menyajikan prasyarat belajar; memberi kesempatan untuk
suskses; dan memberi kesempatan untuk melakukan kontrol pribadi.
4) Strategi pengelolaan motivasional menumbuhkan kepuasan, meliputi:
memberi kesempatan mengaplikasikan pengetahuan yang dikuasai;
merencanakan umpan balik/ penguatan positif; dan mempertahankan
standar konsekuensi secara konsisten.
Strategi pengelolaan motivasional di atas perlu dilakukan dengan langkah
konkret. Berikut beberapa langkah konkret yang dikemukakan oleh Sardiman
(2004: 92-95). Ada beberapa contoh dan cara untuk menumbuhkan motivasi
dalam kegiatan belajar di sekolah. Beberapa bentuk dan cara motivasi tersebut
diantaranya (a) memberi angka; (b) hadiah; (c) saingan atau kompetisi; (d) ego-
11
involvement; (e) memberi ulangan; (f) mengetahui hasil; (g) pujian; (h) hukuman;
(i) hasrat untuk belajar; (j) minat; (k) tujuan yang diakui.
Adapun menurut Hamalik (2013: 166), guru dapat menggunakan berbagai
cara untuk menggerakan atau membangkitkan motivasi belajar siswanya, yaitu (a)
memberi angka; (b) pujian; (c) hadiah; (d) kerja kelompok; (e) persaingan; (f)
tujuan dan level of aspiration; (g) sarkasme; (h) penilaian; (i) karyawisata dan
ekskursi; (j); film pendidikan; (k) dan belajar melalui radio.
Secara umum pendapat Sardiman maupun Hamalik hampir sama, akan
tetapi pada pendapat Hamalik cenderung menggunakan cara yang lebih menarik
dalam meningkatkan motivasi belajar siswa yaitu lewat karyawisata, film pendek,
dan belajar melalui radio. Cara-cara tersebut merupakan beberapa contoh cara
menigkatkan motivasi belajar yang menarik sehingga motivasi belajar siswa
meningkat.
Sementara menurut pendapat Kyriacou (2009: 137), peran dorongan
keluarga dan orang tua diakui amat penting dalam memengaruhi level motivasi
akademis murid, meskipun keterikatannya bersifat kompleks, seperti dialami oleh
banyak orang tua dari para murid yang “tidak termotivasi”. Sejumlah studi tentang
praktik pengasuhan anak telah menyoroti bagaimana motivasi murid untuk
berprestasi di sekolah bisa dikembangkan oleh orang tua. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara guru menugaskan siswa agar setiap hasil ulangan
ditandatangani oleh orang tua dan dikumpulkan kembali sebagai bukti. Dengan
demikian, orang tua bisa memberi apresiasi nilai melalui pujian ataupun nasihat
agar anaknya selalu belajar dengan baik.
Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan dapat diambil kesimpulan
bahwa motivasi dalam pembelajaran dapat ditumbuhkan melalui kompetensi yang
dimiliki guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran secara bervariasi dan
pemberian apresiasi terhadap setiap proses dan hasil yang telah dicapai siswa
dapat tercapai. Termasuk penggunaan metode dan media pembelajaran yang
digunakan.
12
2. Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot menjadi Puisi
Berdasarkan Kurikulum 2013 pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah
dilaksanakan dengan berbasis teks. Pembelajaran berbasis teks tersebut
dituangkan dalam empat rumusan kompetensi, salah satunya yakni kompetensi
penggunaan atau keterampilan. Pada kompetensi penggunaan, pembelajaran
difokuskan pada kegiatan menginterpretasi makna, memproduksi, menyunting,
mengabstraksi, dan mengonversi suatu teks ke dalam bentuk yang lain sesuai
dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan.
Salah satu teks yang wajib dipelajari oleh siswa kelas X SMA/MA/SMK
adalah teks anekdot. Pembelajaran teks anekdot dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia diwujudkan secara tersurat dan runtut dalam bentuk Kompetensi Dasar
(KD). Untuk lebih jelasnya Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD)
yang harus dikuasi tentang keterampilan mengonversi teks anekdot dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut.
Tabel1. KI dan KD Keterampilan Mengonversi Teks pada Kelas X
Kompetensi Inti (KI) Kompetensi Dasar (KD)
4. Mengolah, menalar, dan menyaji
dalam ranah konret dan ranah
abstrak terkait dengan
pembangunan dari yang
dipeljainya di sekolah secara
mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai
kaidah keilmuan
4.5 Mengonversi teks anekdot,
laporan, hasil observasi, prosedur
komplkes, dan negosiasi ke dalam
bentuk yang lain sesuai dengan
struktur dan kaidah teks baik
secara lisan maupun tulisan.
Mengonversi adalah mengubah suatu bentuk, rupa, dan sebagainya ke
dalam bentuk atau rupa yang lain (Depdiknas, 2008: 74). Adapun mengonversi
teks adalah mengubah teks dalam bentuk lain sesuai dengan kaidah dan struktur
tanpa mengubah isinya. Kaitannya dengan keterampilan mengonversi teks
13
anekdot, menurut Kosasih (2013: 38) suatu teks anekdot dapat dikonversikan baik
ke dalam puisi, prosa ataupun drama. Mengonversi teks anekdot menjadi puisi
dapat diartikan sebagai mengubah teks anekdot menjadi puisi. Puisi hasil konversi
tersebut harus sesuai dengan tema teks anekdot yang telah ditentukan dengan
mencermati pemilihan diksi serta memiliki kemampuan untuk menuangkan ide
atau gagasan sehingga menarik untuk dibaca. Dengan demikian, tujuan dari
penulisan anekdot dapat tersampaikan dengan bahasa yang lebih kreatif lewat
puisi.
Mengonversi teks termasuk dalam keterampilan menulis. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan mengubah atau membuat tulisan dari suatu bentuk kebentuk
lain sesuai dengan kaidah dan struktur tanpa mengubah isinya. Untuk itu, dalam
mengonversi teks anekdot menjadi puisi dibutuhkan keterampilan menulis yang
baik sehingga mampu menciptakan puisi yang baik pula.
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang keterampilan menulis dalam
kompetensi mengonversi teks anekdot menjadi puisi, akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai kajian teori teks anekdot dan puisi. Berikut pembahasan
mengenai teks anekdot dan puisi.
a. Teks Anekdot
1) Pengertian Teks Anekdot
Sebagai salah satu genre teks yang wajib dipelajari siswa SMA/MA dalam
Kurikulum 2013, teks anekdot memberi banyak efek positif bagi siswa.
Penggunaan teks anekdot sebagai materi, sumber belajar, maupun sebagai sisipan
dalam pengembangan strategi pembelajaran mengarah pada pencapaian
keberhasilan belajar siswa. Dengan kata lain, teks anekdot mampu menjadi salah
satu sarana dalam pengembangan diri siswa, baik bagi perkembangan dan
peningkatan kompetensi kebahasaan, berbahasa, bersastra, maupun pembentukan
akhlak luhur dalam pembentukan karakter.
Teks anekdot adalah cerita singkat yang mengandung humor. Kadar
humornya terlihat dari ketidakmasukakalannya, keanehannya, kejutannya,
kebodohannya, sifat pengecohannya, kejanggalannya, kekontradiksiannya, dan
kenakalannya (Darmansyah, 2012: 148). Sesuai dengan jenis humor berbentuk
14
tulisan, maka kelucuan yang dimunculkan adalah melalui kata-kata. Baik arti yang
terkandung di dalamnya, maupun bentuk kata yang digunakan, seperti plesetan,
kata aneh, dan lain-lain. Menurut Martin (2003), istilah humor muncul pada abad
ke-18 seiring dengan dimulainya masa pendekatan humanistik. Istilah humor
digunakan untuk membedakan perilaku tertawa yang disebabkan hal-hal kurang
positif seperti saling ledek (comedy), celaan (sarcasm), sindiran (satire), dan
keanehan yang terjadi pada orang lain (ridicule). Oleh karena itu, uraian mengenai
humor juga menjelaskan tentang anekdot. Berdasarkan dua pendapat di atas, teks
anekdot sangat menonjolkan humor baik melalui kata-kata celaan, sindiran,
maupun plesetan.
Menurut Fatimah (2013: 219), teks anekdot merupakan cerita narasi
ataupun percakapan yang lucu dengan berbagi tujuan, baik hanya sekadar hiburan
atau senda gurau, sindirin, atau kritik tidak langsung. Dalam anekdot, cerita
menjadi menarik dan mengesankan karena biasanya mengenai orang penting atau
terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Namun, ada pengertian lain
bahwa anekdot dapat merupakan cerita rekaan yang tidak harus didasarkan pada
kenyataan yang terjadi di masyarakat. Partisipan atau pelaku di dalamnya pun
tidak harus orang penting.
Sementara menurut pendapat ahli lainnya, teks anekdot menjadi lucu
karena adanya hal konyol yang terkandung dalam cerita tersebut. Pendapat
tersebut didukung oleh Mahsun (2014: 18), teks anekdot merupakan teks yang
bertujuan untuk menceritakan berbagai reaksi emosional dalam sebuah cerita.
Peristiwa yang ditampilkan dalam teks anekdot membuat partisipan yang
mengalaminya merasa jengkel atau konyol. Pengertian tersebut juga senada
dengan pendapat Danandjaya (1997: 117), lelucon dan anekdot adalah dongeng-
dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan
ketawa bagi yang mendengarkannya maupun yang menceritakannya. Walaupun
demikian, bagi kolektif atau tokoh tertentu, yang menjadi sasaaran dongeng itu,
dapat menimbulkan rasa sakit hati. Perasaan jengkel dan konyol dalam teks
anekdot merupakan krisis yang ditanggapi dengan reaksi dari pertentangan antara
nyaman dan tidak nyaman, puas dan frustrasi, serta tercapai dan gagal.
15
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teks anekdot
merupakan teks cerita singkat yang lucu berupa sindiran, kritik, maupun
pengalaman yang didalamnya termuat hal-hal konyol sehingga partisipan merasa
terhibur.
2) Struktur Teks Anekdot
Struktur teks anekdot terdiri atas lima bagian atau struktur generik. Lima
bagian tersebut antara lain abstract, orientation, crisis, reaction, dan coda (Gerot
dan Wignell dalam Fatimah, 2013: 219). Abstraksi, yaitu bagian di awal paragraf
yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks secara umum. Orientasi, yaitu
bagian yang menunjukkan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana
peristiwa terjadi. Krisis, yaitu bagian di mana terjadi hal atau masalah yang unik
atau tidak biasa yang terjadi pada si penulis. Reaksi merupakan bagian bagaimana
cara penulis atau orang yang ditulis menyelesaikan masalah yang timbul di bagian
krisis tadi. Sementara yang terakhir yaitu koda, berisi simpulan dari cerita yang
dialami oleh penulis.
Mahsun (2014: 26) menyatakan pada teks anekdot perlu adanya reaksi dari
pelaku yang dialaminya. Hal tersebut yang membedakan dari struktur teks
anekdot dengan teks lainnya. Oleh karena itu, struktur pada teks anekdot berisi
orientasai, krisis, dan reaksi.
Dalam setiap struktur teks anekdot tersebut termuat beberapa kaidah
bahasa anekdot di antaranya: (1) penggunaan kata yang menunjukkan
pengandaian, (2) penggunaan kata yang maknanya bertentangan dengan
kenyataan, (3) penggunaan kata konjungsi urutan peristiwa, (4) dan penggunaan
konjungsi yang menyatakan akibat. Kaidah bahasa tersebut penting guna
tesusunnya teks anekdot yang baik.
3) Klasifikasi Teks Anekdot
Brunvand dalam Danandjaya (1997: 123) mengusulkan agar anekdot
diklasifikan menjadi tiga golongan, yakni jokes abaout religion (lelucon agama),
jokes about nationalities ( lelucon bangsa), dan jokes about sex (lelucon seks).
Sementara Danandjaya (1997: 123) mengklasifikasikan anekdot Indonesia ke
dalam tujuh kategori dengan perincian sebagai berikut:
16
1) Lelucon dan anekdot agama: tokoh agama, tokoh agama tertentu, dan
ajaran agama tertentu.
2) Lelucon dan anekdot seks: seks bangsa atau suku-suku bangsa, seks
tokoh agama, seks angkatan bersenjata, seks politik, seks orang biasa
dewsa, seks orang biasa kanak-kanak, dan lainnya.
3) Lelucon dan anekdot bangsa atau suku-bansga: bangsa atau suku
bangsa, tokoh tertentu suatu bangsa atau suku-bangsa.
4) Lelucon dan anekdot politik: tokoh politik dan paham politik tertentu.
5) Lelucon dan anekdot angkatan bersenjata: tokoh angkatan bersenjata
tertentu dan kesatuan angkatan bersenjata.
6) Lelucon dan anekdot seorang profesor: profesor tertentu dan profesor
pada umumnya.
7) Lelucon dan anekdot anggota kolektif lainnya.
Klasifikasi di atas semakin berkembang, tidak hanya menceritakan kisah
orang-orang terkenal saja namun juga orang atau masyarakat bisa dengan tema
yang lebih luas lagi.
b. Puisi
1) Pengertian Puisi
Menurut Waluyo (1995: 29), puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun
dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian
struktur fisik dan struktur batin. Dalam puisi bahasa yang digunakan bersifat
konotatif yang ditandai dengan kata konkret lewat pengimajinasian, pelambangan,
pengiasan, dan penggunaan bahasa figuratif.
Sementara Hasnun (2006: 203) menyatakan bahwa puisi adalah jenis
sastra yang terbentuk dari kata-kata tertentu yang memiliki kemudahan dan
pengertian tertentu. Dalam puisi terdapat makna tersirat yang disampaikan penulis
pada pembaca. Menurut Sulistyono (2008: 57) puisi adalah bentuk tulisan yang
kata-katanya memiliki pemusatan makna, mempunyai arti dalam tulisan, serta
adanya bentuk khusus dalam puisi. Dapat diartikan puisi mempunyai bentuk
pemilihan kata yang akan membentuk suatu rima sehingga tercipta puisi yang
indah. Pendapat tersebut juga didukung oleh Damayanti (2013: 12) bahwa puisi
merupakan karya seni imajinatif berbentuk sajian bahasa yang bernilai dan
disusun dengan memerhatikan irama, rima, dan kata-kata perlambangan.
17
Adapaun pendapat Burdick (2011: 4) mengenai puisi yaitu
Poetry as a form is not only a different way of writing, it is a different way
of presenting and viewing the world: metaphorically, symbolically and in
a condensed form. These effects allow a stronger impressionistic meaning
for the reader or listener. Usually in poetry, hefty ideas are represented
through relatively few words.
Pendapat Burdick di atas menjelaskan bahwa puisi tidak hanya berbeda
dalam bentuk penulisan, tetapi juga berbeda dalam penayajian metaforis dan
simbolis yang padat. Efek tersebut memungkinkan arti impresionik yang kuat
tentang puisi bagi pembaca atau pendengar. Biasanya dalam puisi, ide besar dan
kuat dipresentasikan melalui kata-kata yang relatif sedikit. Dari pendapat tersebut
dapat dikatakan bahwa puisi adalah metaforis dan simbol yang padat yang
disajikan melalui tulisan dengan kata-kata yang relatif sedikit.
Mengacu pada pendapat para ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa puisi
adalah karya sastra yang menuangkan pemikiran dan perasaan penulis dengan ciri
khusus yaitu adanya penggunaan bahasa yang indah dan sarat makna dengan
memerhatikan rima.
2) Unsur yang Membangun Puisi
Puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun.
Unsur-unsur tadi dinyatakan bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa
mengaitkan unsur yang lainnya, Waluyo (1995: 28) membagi unsur pembangun
puisi menjadi dua, yaitu unsur batin dan unsur fisik.
a) Unsur Batin
Unsur batin adalah sesuatu yang hendak diungkapkan penyair dengan perasaan
dan suasana. Ada empat unsur batin dalam puisi.
(1) Tema
Tema adalah ide pokok, gagasan utama, atau subjek yang diungkapkan oleh
penyair. Seorang penyair dalam menulis puisi tertentu ingin mengungkapkan
sesuatu yang dirasakan atau dipikirkannya pada pembaca.
(2) Perasaan Penyair (Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang
ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui
penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena dalam
18
menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat
dihayati oleh pembaca.
(3) Nada dan Suasana
Nada adalah sikap sang penyair terhadap pembacanya atau dengan kata lain
sikap sang penyair terhadap para penikmat karyanya. Suasana adalah keadaan
jiwa pembaca setelah membaca puisi/ akibat psikologis yang ditimbulkan puisi
terhadap pembaca.
(4) Amanat (Pesan)
Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau imbauan, pesan, tujuan
yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.
(b) Unsur Fisik
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar. Terdapat enam
unsur pembangun fisik dalam puisi
(1) Diksi atau Pilihan Kata
Diski adalah pilihan kata yang digunakan penyair dalam menulis suatu karya
puisi. Bahasa yang digunakan tidak hanya bermakna denotatif tetapi juga
konotatif untuk menggambarkannya.
(2) Pengimajian
Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan.
(3) Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang dapat menyarankan kepada pembaca
tentang suatu pengertian menyeluruh. Semakin tepat sang penyair
menggunakan kata-kata atau bahasa dalam karya sastranya maka akan semakin
kuat juga daya pemikat untuk penikmat sastra sehingga penikmat sastra akan
merasakan sensasi yang berbeda.
(4) Majas atau Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan
sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
19
mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna
lambang.
(5) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima, ritma, dan metrum. Rima adalah pengulangan
bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga
puisi menjadi menarik untuk dibaca. Ritma adalah pertentangan bunyi, tinggi
rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan
berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Metrum adalah perulangan
kata yang tetap bersifat statis.
(6) Tipografi atau Perwajahan
Tipografi puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna
tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi
bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut,
dan sebagainya.
3) Jenis-jenis Puisi
Waluyo (1995:135-144) mengungkapkan jenis-jenis puisi, antara lain:
a) Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Klasifikasi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan
yang hendak disampaikan.
(1) Puisi Naratif
Mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang
sederhana, ada yang sugestif, dan ada pula yang kompleks. Puisi-puisi
naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair. Balada adalah puisi yang
berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang
yang menjadi pusat perhatian. Romansa adalah jenis puisi cerita yang
menggunakan bahasa romantis yang berisi kisah percintaan yang
berhubungan dengan kesatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan
yang menambah percintaan mereka lebih memesonakan.
(2) Puisi Lirik
Mengungkapkan gagasan pribadi penyair atau aku liriknya. Jenis puisi ini
misalnya : elegi, ode, dan serenade. Elegi adalah puisi yang mengungkapkan
20
perasaan duka. Serenade adalah sajak percintaan yang dapat dinyanyikan.
Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau
suatu keadaan.
(3) Puisi Deskriptif
Puisi Deskriptif adalah puisi yang di dalamnya penyair bertindak sebagai
pemberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dapat
dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi ini antara lain puisi satire,
kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire adalah puisi yang
mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan,
namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Kritik
sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenagan penyair terhadap
keadaan atau terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan
kepincangan atau ketidakberesan orang lain.
b) Puisi Auditorium dan Puisi Kamar
Puisi Auditorium disebut pula puisi Hukla (puisi yang mementingkan suara
atau serangkai suara). Puisi auditorium adalah puisi yang cocok untuk
dibaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat mencapai
ratusan orang. Adapun puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian
atau dengan satu dua orang pendengar saja dikala berada di kamar atau
sebuah ruangan cukup kecil.
c) Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisik
Puisi Fisikal bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa
adanya, seperti hal-hal yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan objek
ciptaannya. Puisi Platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal
bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi metafisik adalah puisi yang bersifat
filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan
Tuhan. Puisi religius disatu pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik
(menggambarkan ide atau gagasan penyair) di lain pihak dapat disebut juga
sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan,
dan Tuhan).
d) Puisi Subjektif dan Puisi Objektif
21
Puisi subjektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan
gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi
objektif berarti juga puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair
itu sendiri. Puisi objektif disebut juga puisi impersonal.
e) Puisi Konkret
Puisi Konkret adalah puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati
keindahan bentuknya dari sudut penglihatan. Dalam puisi konkret, tanda
baca dan huruf-huruf sangat potensial membentuk gambar yang memiliki
arti.
f) Puisi Diafan, Gelap, dan Prismitis
Puisi Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif sehingga puisinya mirip
dengan bahasa sehari-hari. Pusi yang demikian akan sangat mudah dihayati
maknanya. Puisi Gelap adalah puisi yang terlalu banyak mengandung
lambang, kiasan, majas dan sebagainya. Puisi gelap biasanya sukar
ditafsirkan. Dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan
kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian
sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna
puisinya, namun tidak terlalu gelap.
g) Puisi Pernasian dan Puisi Inspiratif
Pernasian adalah sekelompok penyair Prancis pada pertengahan akhir abad
19 yang menunjukan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan.
Puisi Inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-
benar masuk ke dalam nuansa yang hendak dilukiskan. Suasana batin
penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu.
h) Stansa
Stansa artinya puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf
karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24.
i) Puisi Demonstrasi dan Pamflet
Puisi demonstrasi bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan
sekelompok bukan perasaan individual. Puisi pamflet juga megungkapkan
22
protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa
pamflet.
j) Alegori
Puisi ini mengungkapkan cerita yang isinya dimaksudkan untuk
memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang
terkenal ialah parabel yang juga disebut dongeng perumpamaan.
c. Keterampilan Menulis Puisi
1) Pengertian Keterampilan Menulis Puisi
Setiap manusia yang terlahir ke dunia pada hakikatnya mempunyai
keterampilan. Seiring bertambahnya usia keterampilan dapat bertambah ataupun
berkurang. Keterampilan dapat diartikan sebagai pengetahuan, kemampuan, dan
nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak
(Depdiknas, 2008). Keterampilan tersebut diartikan sebagai kemampuan untuk
mengeluarkan bakat dalam diri seseorang yang dapat bermanfaat bagi dirinya
sendiri ataupun orang lain.
Menurut Hamalik (2013: 73), keterampilan memiliki karakteristik yang
menunjukkan ikatan respon motorik, melibatkan koordinasi gerakan tangan, mata,
dan menuntut kaitan-kaitan organsiasi menjadi pola-pola respon yang kompleks.
Dalam pembelajaran yang perlu diperhatikan adalah penguasaan keterampilan
para siswa yang didasarkan pada pemahaman fakta, konsep, dan prinsip, bukan
hanya pada penguasaan kognitif semata. Keterampilan diperoleh melalui proses
belajar dan latihan secara intensif dan berkesinambungan. Keterampilan hanya
dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak berlatih (Tarigan,
2008: 1).
Dari beberapa pendapat yang disampaikan di atas dapat disimpulkan
bahwa keterampilan merupakan kemampuan dalam diri seseorang yang diperoleh
dengan proses berlatih secara berkesinambungan.
Sementara itu menulis yang merupakan salah satu dari keterampilan
berbahasa memiliki berbagai pengertian. Menulis merupakan suatu keterampilan
berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak
23
secara bertatap muka dengan orang lain (Tarigan, 2008: 3). Menulis atau
mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang
disampaikan penulis dapat dipahami pembaca. Sebagai bentuk keterampilan
berbahasa, menulis merupakan kegiatan yang bersifat mengungkapkan, dengan
maksud mengungkapkan gagasan, buah pikiran, dan atau perasaan kepada pihak
atau orang lain. Oleh karena itu, menulis merupakan kegiatan produktif dan
ekspresif.
Adapun Andayani (2015: 189) berpendapat bahwa menulis adalah
menurunkan atau melukiskan lambang-lambnag grafik yang menggambarkan
suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca
langsung lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka mamahmi bahasa dan
gambaran grafik itu. Hal senada juga diungkapkan oleh Burhanudin dalam
Andayani (2009: 28) bahwa menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan
melaui bahasa. Pada dasarnya menulis itu bukan hanya merupakan melahirkan
pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide,
pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis kepada
pembaca.
Menulis jauh lebih sulit sulit daripada bicara, alhasil banyak orang yang
sangat hebat dalam komunikasi lisan (berbicara) (Leo, 2010: 54). Akan tetapi,
kebanyakan orang kurang dalam menguasai keterampilan menulis. Untuk
menghasilkan tulisan yang baik, seseorang penulis hendaknya memiliki tiga
keterampilan dasar meliputi: (1) keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan
menggunakan ejaan, tanda baca, pembentukaan kata, pemilihan kata, serta
penggunaan kalimat efektif; (2) keterampilan penyajian, yaitu keterampilan
pembentukan dan pengembangan paragraf, keterampilan merinci pokok bahasan
dan subpokok bahasan ke dalam susunan yang sistematis; dan (3) keterampilan
perwajahan, yaitu keterampilan mengatur tipografi dan pemanfaatan sarana tulis
secara efektif dan efisien, tipe huruf, penjilidan, penyusunan tabel, dll.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa keterampilan
menulis adalah kemamapuan untuk menuangkan ide ke dalam bahasa tulis secara
jelas dan sistematis sehingga pesan yang ingin disampaikan penulis tersampaikan
24
pada pembaca secara baik. Kaitannya dengan keterampilan menulis puisi, maka
dapat simpulkan sebagai keterampilan menulis puisi adalah kemampuan
mengungkapkan ide dengan memasukan unsur batin dan unsur fisik puisi agar
tercipta puisi yang indah.
2) Tujuan dan Manfaat Menulis Puisi
Pada dasarnya tujuan menulis adalah sebagai alat komunikasi dalam
bentuk tulisan. Setiap jenis tulisan tentunya memiliki tujuan. Tarigan (2008: 24)
membagi tujuan menulis dilihat dari penulisnya yang belum berpengalaman
sebagai berikut: (1) memberitahukan atau mengajar; (2) meyakinkan atau
mendesak; (3) menghibur atau menyenangkan; dan (4) mengutarakan atau
mengekspresikan perasaan dan emosi yang berapi-api. Dari pendapat Tarigan
tersebut diketahui bahwa tujuan menulis, khusunya dalam menulis puisi yaitu
untuk menghibur dan berekspresi. Hal itu sesuai dengan peraturan Depdiknas
(2006: 22) bahwa dalam standar kompetensi menulis khususnya kemampuan
bersastra, yakni siswa diharapkan dapat mengekspresikan karya sastra yang
diminati (puisi, prosa, dan drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif serta
dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang telah dibaca.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa menulis puisi bertujuan
untuk mengekspresikan perasaan siswa secara kreatif yang bersifat memberi
informasi, menghibur ataupun sebagai media mengkritik.
Adapun manfaat menulis menurut Akhadiah (dalam Kartini, 2006: 5)
sebagai berikut:
a) Mengetahui potensi diri dengan dan kemampuan serta pengetahuan kita
tentang topik yang dipilih. Dengan mengembangkan topik itu kita
dipaksa berpikir, menggali pengetahuan, dan pengalaman yang
tersimpan dalam diri.
b) Dengan mengembangkan berbagai gagasan kita terpaksa bernalar,
menghubung-hubungkan, dan membandingkan fakta-fakta yang tidak
pernah kita lakukan kalau kita tidak menulis.
c) Lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi
sehubungan dengan topik yang ditulis. Dengan demikian, kegiatan
menulis dapat memperluas wawasan baik secara teoritis maupun
mengenai fakta-fakta yang berhubungan
25
d) Menulis berarti mengorganisasi gagasan secara sistematik serta
mengungkapkan secara tersurat. Dengan demikian, setiap permasalahan
yang semula samar-samar akan menjadi lebih jelas.
e) Melalui tulisan, kita dapat menjadi peninjau dan penilaian gagasan kita
secara objektif.
f) Lebih mudah memecahkan masalah dengan menganalisisnya secara
tersurat dalam konteks yang lebih konkret.
g) Dengan menulis, kita menjadi aktif berpikir sehingga kita dapat
menjadi penemu sekaligus pemecah masalah. Bukan hanya sekadar
penerima informasi yang pasif.
h) Membiasakan kita berpikir dan berbahasa secara tertib.
Kaitannya dengan puisi, menulis puisi memberikan manfaat bagi siswa
untuk lebih kreatif dalam mengembangkan ide, pikiran, pengalaman, perasaan
yang dituangkan dalam tulisan. Selain itu siswa akan lebih percaya diri terhadap
pemikirannya yang berasal dari kondisi lingkungan sekitar maupun daya
imajinasinya. Dengan kata lain, puisi bermanfaat bagi siswa sebagai media untuk
mengembangkan pemikirannya melalui tulisan yang kreatif dan indah.
Keterampilan menulis puisi juga bermanfaat dalam meningkatkan
pendidikan karakter. Puisi yang merupakan bagian dari sastra penting dipelajari
oleh para siswa. Hal tersebut didukung oleh pendapat Herfanda (2008:131) bahwa
sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah
perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang
bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit bagi munculnya
gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang
lebih baik. Hal itu dapat diwujudkan sebagai penguatan rasa cinta tanah air,
sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial-budaya. Jadi,
dengan mempelajari sastra khusunya menulis puisi dapat bermanfaat bagi siswa
dalam peningkatan pendidikan karakter serta mengekspresikan seni berbahasa.
Dari beberapa manfaat menulis puisi yang dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa menulis puisi bagi sisiwa bermanfaat untuk mengekspresikan
gagasan dan mengembangkannya dalam bentuk tulisan yang indah, informatif,
kritis, kreatif serta sarat makna melalui pendidikan karakter yang terkandung di
dalamnya.
26
3) Langkah-langkah Menulis Puisi
Sutedjo& Kasnadi (2008: 50) mengungkapkan langkah-langkah praktis
menulis puisi dengan mempertimbangkan unsur pembangun yang ada. Semakin
kreatif dalam menapaki langkah-langkah tersebut, tentunya semakin cepat dan
mudah pula untuk mampu menuliskannya. Adapun langkah-langkah praktis
menulis puisi secara umum adalah sebagai berikut.
a) Pemilihan aliran
Dikenal banyak sekali aliran dalam sastra Indonesia, misalnya; realisme,
naturalism, idealism, romantisme, dan sebagainya. Jika penyair bertindak
sebagai “juru potret” kehidupan, maka penyair tersebut masuk ke dalam aliran
realism, tetapi jika penyair memilih mengekspresikan kejiwaan dan pikirannya,
maka penyair tersebut tergolong penyair dengan aliran ekspresionisme.
b) Pemilihan tema
Tema dalam kepenulisan puisi menunjukkan masalah apa yang diangkat dalam
puisi. Tema yang sering diangkat menjadi sebuah puisi, misalnya; politik,
sosial, adat, keagmaan, keluarga, nasionalisme, cinta remaja, idola, dan
sebagainya.
c) Penentuan jenis puisi
Puisi terdiri dari berbagai jenis, misalnya; puisi kamar, puisi pamfletis, puisi
hymne, puisi ode, dan sebagainya. Oleh karena itu, penyair perlu
memerhatikan jenis puisi yang cocok dengannya.
d) Pencarian ide (ilham)
Pengalaman para penyair dalam memperoleh ide (ilham) ini beragam.
Misalnya: melalui perenungan, membaca puisi karya orang lain, mengamati
realitas sosial, menonton film, membaca berita, mengamati lingkungan sekitar,
pengalaman pribadi, dan sebagainya.
e) Mengeramkan ide (inkubasi)
Ibarat telur, ide (ilham) butuh dijelaskan. Oleh karena itu, sebelum ditetaskan
maka ide tersebut perlu melalui proses inkubasi atau pengeraman. Tahap ini
merupakan tahap persiapan untuk mewujudkan ide atau gagasan yang telah
dikandung, melintas-lintas, atau ide-ide yang selalu membayangi. Inkubasi
27
akan dapat “menetaskan” karya dengan kematangan umur yang dapat
dibanggakan.
f) Pemilihan diksi (kata) yang padat dan khas
Kata-kata dalam puisi ibarat roh mutiara yang akan memantulkan cahaya
estetis yang penting untuk dipahami. Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan
dalam sebuah puisi tentunya bukan kata-kata biasa, tetapi kata-kata khas,
padat, dan bermakna. Untuk itu, kata-kata dalam puisi biasanya bersifat
konotatif (gramatik), kias, bahkan simbolik.
g) Pemilihan permainan bunyi
Salah satu sarana untuk mewujudkan citraan (imagery) penyair adalah
penggunaan bahasa puitis dengan mengandalkan permainan bunyi. Aspek
bunyi ini juga dapat memberikan gambaran citraan terhadap pembaca.
h) Pembuatan larik yang menarik
Larik yang menarik dalam puisi biasanya banyak menggunakan permainan,
bunyi, baik rima maupun pilihan kata. Biasanya permainan bunyi ini
dimaksudkan untuk menciptakan nada dan suasan dalam puisi sehingga akan
tampak sikap penyair di dalam puisi yang ditulisnya.
i) Pemilihan pengucapan
Cara pengucapan adalah ciri khas seorang penyair. Gaya pengucapan ini
berkaitan juga dengan penggunaan gaya bahasa seseorang maupun penggunaan
imaji (citraan).
j) Pemanfaatan gaya bahasa
Salah satu sarana untuk mewujudkan estetika bahasa puisi adalah gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan saran yang banyak digunkan penyair untuk
mengungkapkan pengalaman kejiwaan ke dalan sebuah karya puisi. Gaya
bahasa meliputi: majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan.
k) Pemilihan tipografi
Tipografi atau sering disebut tata bentuk puisi ini merupakan aspek lain yang
perlu dipertimbangkan dalam menulis puisi dan memahami puisi. Oleh karena
itu, pilihan tipografi tentu akan membantu mengekspresikan isi dan maksud
pesan penyair yang ingin disampaikan kepada pembaca.
28
l) Pemuatan aspek psikologis (kejiwaan)
Aspek psikologis ini berkaitan erat dengan kesatuan pengucapan seorang
penyair. Di samping oleh kejiwaan penyair terhadap suatu persoalan, puisi
yang mengandung aspek psikologis ini akan melahirkan nada dalam puisi.
Nada, secara umum berkaitan dengan sikap penyair terhadap pembaca
berkaitan dengan feeling (sikap) yang dituangkan terhadap persoalan
(masalah).
m) Pemuatan aspek sosiologis (sosial kemasyarakatan)
Aspek sosiologis dalam puisi seringkali menjadi “kekuatan” puisi yang
menarik untuk dicermati. Aspek sosiologis ini berkaitan dengan kesatuan
pengucapan seorang penyair. Pengucapan dan aspek sosiologis puisi seringkali
melahirkan puisi-puisi yang berbobot dan berkualitas.
n) Pemilihan judul yang menarik
Pemilihan judul yang menarik menjadi hal yang harus dipikirkan dalam
menulis puisi. Sebuah judul yang baik harus mencerminkan isi puisi di sisi dan
di sisi yang lain penting untuk mempertimbangkan aspek kemenarikan seperti
indah, padat, dan bernas.
Dari langkah-langkah dalam menulis puisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa dalam menulis puisi hendaknya memahami unsur fisik maupun unsur batin
puisi kemudian merangkainya dalam bentuk bait dengan pemilihan kata yang
sarat makna.
3. Hakikat Model Pembelajaran Sinektik dengan Media Audio Visual
a. Model Pembelajaran Sinektik
1) Pengertian Model Pembelajaran Sinektik
Menurut Gordon (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2009: 252) sinektik
berarti strategi mempertemukan berbagai macam unsur, dengan menggunakan
kiasan untuk memeroleh satu pandangan baru. Model sinektik yang ditemukan
dan dirancang oleh Gordon ini berorientasi meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah, ekspresi kreatif, empati, dan wawasan dalam hubungan sosial. Hal
tersebut dikarenakan asumsi Gordon tentang kreativitas, yakni kreativitas penting
29
bagi kehidupan sehari-hari; proses kreatif tidak selamanya misterius; penemuan
atau inovasi yang dianggap kreatif sama rata di semua bidang dan ditandai oleh
proses intelektual yang sama.
Model sinektik diterapkan dengan melakukan metafora membandingan
satu objek dengan objek lain. Tujuannya yaitu untuk menciptakan lingkungan
belajar yang membangun kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah pada
siswa. Proses metaforik atau analogi tersebut diperlukan keterlibatan emosional
siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Paltasingh (2008: 1) yaitu
“Metaphors establish a relationship of likeness, the comparison of one
object or idea with another object or idea by using one in place of other.
Metaphors these substitutions the creative process occurs connecting the
familiar with the unfamiliar or creating a new idea from familiar ideas.
Metaphor introduced conceptual distance between the student and the
object or the subject matter and prompt original thoughts”.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa metafora membangun hubungan
kemiripan, perbandingan dari satu objek atau ide dengan objek lain atau ide
dengan menggunakan sesuatu di tempat lain. Melalui subtitusi ini terjadi proses
kreatif yang menghubungkan antara yang sudah akrab dengan yang masih asing
atau menciptakan sebuah ide baru dari ide-ide asing. Metafora memperkenalkan
konsep jarak antara siswa dengan objek atau pokok persoalan dan meminta
pikiran asli. Berdasarkan konsep yang dikemukan Paltasingh, maka sinektik
merupakan pendekatan pembelajaran dengan penggabungan unsur-unsur atau
gagasan-gagasan yang berbeda-beda yang tampaknya tidak relevan untuk
peningkatan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi kreatif, empati, dan
wawasan dalam hubungan sosial. Model ini menuntut keaktifan dan keterlibatan
siswa ke dalam karya sastra baik secara individu maupun kelompok. Guru hanya
berperan memonitor agar proses analogi dan metafora terarah dengan baik.
Adapun pendapat Aunurrahman (2012: 126) bahwa sinektik adalah salah
satu model pembelajaran yang didesain oleh Gordon yang pada dasarnya
diarahkan untuk mengembangkan kreativitas. Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Rusman (2012: 144) bahwa model sinektik bertujuan mengembangkan
kreativitas dan pemecahan masalah secara kreatif. Kedua pendapat tersebut
mengutamakan proses kreativitas sebagai langkah dalam tujuan pembelajaran.
30
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahawa model pembelajaran
sinektik adalah model pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk berprikir
kreatif dengan menuangkan gagasan atau pandangan baru dari hasil
penganalogian metafora.
2) Akivitas Metaforis dalam Model Pembelajaran Sinektik
Aktivitas metaforis dalam model sinektik dilakukan guna membangun
perumpamaan maupun membandingan objek satu dengan yang lainnya. Joyce,
Weil, & Calhoun (2009: 254) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis analogi yang
diterapkan dalam latihan model sinektik. Ketiga jenis analogi tersebut yaitu
a) Analogi Personal
Pada analogi personal siswa diharuskan berempati pada gagasan atau
subjek-subjek yang dibandingkan. Siswa harus merasa bahwa mereka menjadi
bagian dari unsur fisik dari masalah tersebut. Jadi, siswa diharuskan lepas dari
identitas diri sendiri menjadi objek lain yang akan dibandingan. Identifikasi
analogi personal dapat diterapkan pada orang, tumbuhan, hewan, atau benda-
benda mati.
Dalam kegiatan membuat analogi langsung, siswa melibatkan dirinya
sebagai objek yang dibandingkan. Misalnya, siswa disuruh membandingkan
dirinya dengan telepon genggam. Kemudian ditanyakan apa yang ingin dikuasai
jika siswa menjadi telepon? Nada dering apa yang ingin dipilih? Ingin berbicara
dengan siapa? Tujuan pertanyaan tersebut untuk mengarahkan jarak konseptual
agar terbentuk dengan baik, semakin besar jarak konseptualnya maka semakin
besar diperoleh gagasan baru. Gordon (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2009: 254-
255) mengidentifikasikan empat tingkat keterlibatan dalam analogi personal: (a)
deskripsi orang pertama terhadap fakta-fakta; (b) identifikasi orang pertama
terhadap emosi; (c) identifikasi empatik terhadap makhluk hidup; dan (d)
identifikasi empatik terhadap benda mati.
b) Analogi Langsung
Analogi langsung merupakan perbandingan dua objek atau konsep.
Perbandingan tidak harus selalu identik dalam segala hal. Fungsinya cukup
sederhana, yaitu untuk mentransposisikan kondisi-kondisi atau topik atau situasi
31
permasalahan yang asli pada situasi lain untuk menghadirkan pandangan baru
tentang gagasan atau masalah. Dapat dikatakan pada analogi langsung
perbandingan antara dua objek atau masalah tidak harus sama dalam semua aspek,
karena tujuan sebenarnya adalah mentransformasikan objek pada situasi lain
sehingga terbentuk cara pandang baru.
Pada analogi langsung dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan
pada siswa untuk menemukan masalah yang sejajar dengan situasi kehidupan
nyata. Misalnya, bagamana memakai pakain seperti mengunci pintu rumah?
Keduanya sama-sama seperti menyekap/menutupi sesuatu. Efektivitas analogi
langsung dapat dilihat dari jarak konseptualnya, semakin jauh jarak
konseptualnya, maka semakin baik analoginya.
c) Konflik Padat
Bentuk metafora ketiga adalah konflik padat, secara umum didefinisikan
sebagai frasa yang terdiri dari dua kata di mana kata-kata tersebut tampak
berlawanan dengan kata yang lain. Jadi, konflik padat mengombinasikan dua kata
yang berbeda atau berlawanan terhadap suatu objek sehingga terlihat dua
kerangka atau acuan yang berbeda.
Konflik padat bisa diciptakan dengan menghadirkan beberapa benda atau
meminta orang memanipulasinya. Misalnya, bagaimana jika komputer malu
tetapi agresif? Mesin apa yang seperti senyuman dan kerutan dahi? Tujuan
konflik padat ini untuk memperluas pemahaman siswa tentang penemuan objek
yang berkontradiktif kemudian menjelaskannya kenapa objek tersebut
berkontradiktif.
3) Langkah-langkah Model Pembelajaran Sinektik
Aunurrahman (2012: 163) berpendapat bahwa penerapan model sinektik
dalam proses pembelajaran dilakuakn secara enam tahap: (1) guru menugaskan
siswa untuk mendeskripsikan situasi yang ada sekarang; (2) siswa
mengembangkan berbagai analogi; (3) siswa menjadi bagian dari analoginya; (4)
siswa mengembangkan pikiran dalam bentuk deskripsi-deskripsi; (5) siswa
menyimpulkan; dan (6) guru mengarahkan agar siswa kembali pada tugas dan
32
masalah semula dengan menggunakan analogi-analogi terakhir atau dengan
menggunakan seluruh pengalaman sinektik.
Lain halnya dengan pendapat Aunurrahman yang membagi model sinektik
menjadi enam tahapan, Joyce, dkk. membagi model sinektik menjadi dua strategi.
Joyce, Weil, & Calhoun. (2009:257) menyatakan ada dua strategi dari model
pembelajaran sinektik, yaitu model pembelajaran yang menciptakan sesuatu yang
baru (creating something new) dan strategi pembelajaran untuk melazimkan
terhadap sesuatu yang masih asing (making the strange familiar). Tahapan dari
strategi pertama model pembelajaran sinektik dijelaskan dalam Tabel 2 di bawah
ini.
Tabel 2. Struktur Strategi Pertama Model Pembelajaran
Tahapan Struktur Strategi Pertama, Membuat Sesuatu yang Baru
Tahap Pertama
Mendeskripsikan Situasi Saat Ini
Guru meminta siswa untuk
mendeskripsikan situasi atau
topik yang mereka lihat saat ini.
Tahap kedua
Analogi Langsung
Siswa mengusulkan analogi-analogi
langsung, memilihnya, dan
mengeksplorasi
(mendeskripsikannya) lebih jauh
Tahap Ketiga
Analogi Personal
Siswa “menjadi” analogi yang telah
mereka pilih dalam tahap kedua tadi.
Tahap Keempat
Konflik Padat
Siswa mengambil deskripsi-deskripsi
dari tahap kedua dan ketiga,
mengusulkan beberapa analogi
konflik padat, dan memilih salah
satunya.
Tahap Kelima
Analogi Langsung
Siswa membuat dan memilih analogi
langsung yang lain, yang didasarkan
pada analogi konflik padat.
Tahap Keenam
Memeriksa Kembali Tugas Awal
Guru meminta siswa kembali pada
masalah awal dan menggunakan
analogi terakhir dan atau seluruh
pengalaman sinektiknya.
Sumber: Joyce, Weil, & Calhoun (2009: 258)
33
Adapun untuk strategi kedua model pembelajaran sinektik dijelaskan pada
Tabel 3 di bawah ini
Tabel 3. Struktur Strategi Kedua Model Pembelajaran
Tahapan Strategi Kedua, Membuat Sesuatu yang Asing
Tahapan Pertama
Input Substantif
Guru memberikan informasi tentang
topik baru
Tahap kedua
Analogi Langsung
Guru mengusulkan analogi langsung
dan meminta siswa
mendeskripsikannya.
Tahap Ketiga
Analogi Personal
Guru meminta siswa “menjadi”
analogi langsung
Tahap Keempat
Membandingkan Analogi-Analogi
Siswa mengidentifikasi dan
menjelaskan poin-poin kesamaan
antara materi baru dengan analogi
langsung.
Sumber: Joyce, Weil, & Calhoun
(2009: 265)
Tahap Kelima
Menjelaskan Perbedaan-
Perbedaan
Siswa menjelaskan di mana saja
analogi-analogi yang tidak sesuai
Tahap Keenam
Eksplorasi
Siswa mengeksplorasi kembali topik
asli.
Tahap Ketujuh
Membuat Analogi
Siswa menyiapkan analogi langsung
dan mengeksplorasi persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan.
Sumber: Joy
34
4) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Sinektik
Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran sinektik menurut
Sakdiahwati (2008: 167), yaitu sebagai berikut:
Kelebihan
a) Strategi ini bermanfaat untuk mengembangkan pengertian baru pada diri
siswa tentang suatu masalah sehingga dia sadar bagaimana bertingkah laku
dalam situasi tertentu.
b) Strategi ini bermanfaat karena dapat mengembangkan kejelasan pengertian
dan internalisasi pada diri siswa tentang materi baru.
c) Strategi ini dapat mengembangkan berpikir kreatif, baik pada diri siswa
maupun guru.
d) Strategi ini dilaksanakan dalam suasana kebebasan intelektual dan
kesamaan martabat antara siswa.
e) Strategi ini membantu siswa menemukan cara berpikir baru dalam
memecahkan suatu masalah.
Kekurangan
a) Sulit dilakukan oleh guru dan siswa yang sudah terbiasa menggunakan
cara lama yang menekankan pada penyampaian informasi.
b) Metode ini menitikberatkan pada berpikir reflektif dan imajinatif dalam
situasi tertentu, maka kemungkinan besar siswa kurang menguasai fakta-
fakta dan prosedur pelaksanaan atau keterampilan.
c) Kurang memadahinya sarana dan prasarana pendidikan di sekolah-
sekolah.
b. Media Audio Visual
1) Pengertian Media Pembelajaran
Media merupakan hal yang penting dalam menunjang proses belajar
mengajar. Dengan adanya media pembelajaran, peran guru menjadi semakin luas.
Sementara bagi siswa, media pembelajaran akan merangsang siswa untuk
memhamai materi dengan efektif dan efisien. Menurut Arsyad (2014: 4), media
pembelajaran adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang
mengandung materi intruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang
siswa untuk belajar. Pendapat senada juga dikatakan oleh Indriana (2011: 16)
media pengajaran adalah semua bahan dan alat fisik yang mungkin digunakan
untuk mengimplementasikan pengajaran dan memfasilitasi prestasi siswa terhadap
sasaran atau tujuan pengajaran. Kedua pendapat tersebut menyatakan bahwa
media pengajaran berperan dalam peningkatan proses belajar bagi siswa.
35
Aqib (2013: 50) mendefinisikan media pembelajaran sebagai segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dan merangsang
terjadinya proses belajar pada si pembelajar (siswa). Media pembelajaran tersebut
mencakup makna yang lebih luas dari alat peraga dan alat bantu mengajar. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Kustandi & Sutjipto (2011: 10), media
pembelajaran memiliki pengertian non-fisik yang dikenal sebagai software
(perngkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perngkat keras yang
merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa pada proses belajar baik di
dalam maupun di luar kelas. Sementara media pembelajaran memiliki pengertian
fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu sesuatu
benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindera.
Hamallik (dalam Arsyad, 2014: 2) menjelaskan bahwa guru/ pengajar
harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media
pembelajaran, yang meliputi:
(1) media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses
belajar mengajar; (2) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan; (3)
seluk-beluk proses belajar; (4) hubungan antara metode mengajar dan
media pembelajaran; (5) nilai atau manfaat metode pendidikan dalam
pembelajaran; (6) pemilihan dan penggunaan media pendidikan; (7)
berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan; (8) media pendidikan
dalam setiap mata pelajaran; dan (9) usaha inovasi dalam media
pendidikan.
Mengacu pada penjelasan para ahli dapat dirumuskan bahwa media
pembelajaran adalah perangkat komunikasi dalam pembelajaran baik perangakat
lunak maupun perangkat keras agar siswa mampu menerima materi ajar dengan
lebih mudah sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
2) Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran
Hamalik (dalam Arsyad, 2014: 19) mengemukakan bahwa pemakaian
media pembelajaran dalam proses belajar dapat membangkitkan keinginan dan
minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan
bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain
membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat
membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik
dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.
36
Pendapat Hamalik tersebut menitikberatkan fungsi penggunaan media terutama
bagi siswa.
Levi & Lentz (dalam Kustandi & Sutjipto, 2011: 20) mengemukakan
empat fungsi media pembelajaran, khususnya visual, yaitu (1) fungsi atensi,
menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi
pembelajaran; (2) fungsi afektif, terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika
belajar atau membaca; (3) fungsi kognitif, bertujuan untuk memahami dan
mengingat informasi atau pesan; dan (4) fungsi kompensatoris,
mengorganisasikan informasi dalam bentuk teks dan mengingatnya kembali.
Secara garis besar media pembelajaran berfungsi untuk membantu siswa
yang mengalamai kesulitan belajar dalam menerima dan memahami isi
pembelajaran sehingga tujuan dari proses dan hasil pembelajaran dapat tercapai.
Sudjana & Rivai (dalam Kustandi & Sutjipto, 2011: 25) berpendapat
bahwa media pembelajaran bermanfaat dalam proses pembelajaran, yaitu (a)
pembelajaran akan lebiih menarik perhatian siswa; (b) bahan pembelajaran akan
lebih jelas maknanya; (c) metode mengajar lebih bervariasi; dan (d) siswa dapat
lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan ujaran
guru, tetapi juga aktivitas mengamati, melakukan, mendemonstrasikan,
memerankan, dan lain-lain.
Manfaat media pembelajaran dalam proses belajar mengajar menurut
Arsyad (2014: 29-30) di antaranya: (1) media pembelajaran dapat memperjelas
penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan
proses dan hasil belajar; (2) media pembelajaran dapat meningkatkan dan
mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar,
interkasi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan
siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya; (3)
media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu; dan
(4) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa
tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka.
Dapat dikatakan bahwa adanya media pembelajaran sangat penting bagi
para guru maupun siswa. Guru lebih mudah menyampaikan materi secara variatif
37
sementara siswa didorong untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal
tersebut didukung oleh penelitian dari Barikly (2013) berjudul “Keefektifan
Model Pembelajaran Sinektik Berbantuan Media Film Pendek dalam
Pembelajaran Menulis Puisi pada Siswa Kelas VIII SMP N 2 Depok, Sleman.”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara
keterampilan menulis puisi yang menggunakan model pembelajaran sinektik
berbantuan media film pendek dengan siswa yang diberi pembelajaran tanpa
model sinektik berbantuan media film pendek.
3) Dasar Pertimbangan Media Pembelajaran
Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memilih suatu media
pembelajaran. Salah satu pertimbangan pemilihan media pembelajaran yaitu
disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Pada dasarnya media digunakan
untuk memudahkan kegiatan pembelajaran, bukan untuk menghambat kegiatan
pembelajaran. Maka dari itu guru harus cermat dalam menentukan media
pembelajaran yang akan digunakan.
Dick & Crey (dalam Sadiman, dkk., 2008: 86) menyebutkan bahwa ada
empat faktor dalam pemilihan media pembelajaran. Pertama, ketersedian sumber
setempat. Artinya, bila media yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber-
sumber yang ada, harus dibeli atau dibuat sendiri. Kedua, apakah untuk membeli
atau memproduksi sendiri tersebut ada dana, tenaga, dan fasilitasnya. Ketiga,
faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan, dan ketahanan media yang
bersangkutan untuk waktu yang lama. Artinya, media tersebut dapat digunakan
dimanapun dengan peralatan yang ada di sekitarnya dan kapanpun serta mudah
dipindahkan. Keempat, efektivitas biaya dalam waktu jangka yang panjang.
Dasar pertimbangan pemilihan media pembelajaran yang juga penting
adalah apakah guru dapat mengoperasikan media tersbut. Proyektor, transparasi
(OHP), proyektor slide dan film, komputer, dan peralatan canggih lainnya tidak
akan mempunyai arti apa-apa jika guru belum dapat menggunakannya dalam
proses pembelajaran sebagai upaya mempertinggi mutu dan hasil belajar (Arsyad,
2014: 75). Pendapat tersebut benar adanya karena nilai guna suatu media
pembelajaran tidak dapat dirasakan bila tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh
38
guru. Oleh sebab itu, kini guru dituntut untuk pintar dalam memilih dan
menggunakan media pembelajaran.
4) Media Berbasis Audio Visual
Jenis media yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran cukup
beragam, dari media yang sederhana sampai dengan media yang cukup rumit dan
canggih. Semuanya memilki kelemahan dan kekurangan masing-masing. Dari
sekian banyak media, media audio visual sangat efektif dan efisien diaplikasikan
dalam proses pembelajaran. Menurut Anitah (2009: 55), media audio visual
adalah media yang menunjukkan unsur auditif (pendengaran) maupun unsur
visual (penglihatan), jadi dapat dipandang maupun didengar suaranya. Pendapat
tersebut sejalan dengan Kustandi & Sutjipto (2011: 95) bahwa media audio visual
adalah media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan
pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Dapat dikatakan media audio visual
merupakan gabungan dari media audio juga visual.
Penggunaan media audio visual sangat baik diaplikasikan dalam proses
pembelajaran karena materi yang disampaikan bisa dilihat serta bisa didengar
sekaligus. Hal ini akan membuat daya imajinasi maupun daya ingat siswa bisa
meningkat. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
Haryoko (2009: 3) mengemukakan media audio visual dibagi menjadi dua
yaitu (a) audio visual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar
diam seperti film bingkai suara (sound slide), film bingkai suara, dan cetak suara;
(b) audio visual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan
gambar yang bergerak seperti film suara dan video kaset. Pembagian lain dari
media audio visual adalah (a) audio visual murni, yaitu baik unsur suara maupun
gambar berasal dari satu sumber seperti film video kaset; (b) audio visual tidak
murni, yaitu yang unsur suara dan unsur gambar berasal dari sumber yang
berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya dan slide proyektor
dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder.
Masih banyak pembagian media audio visual lainnya mengingat kini
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam dunia
39
pembelaajran semakin diperbaharui. Semuanya berkontribusi dalam penunjang
pembelajaran terlepas dari kelemagan dan kelebihan yang dimilikinya.
5) Video Sebagai Media Pembelajaran Berbasis Audio Visual
Dalam penelitian ini penulis menggunkan media audio visual berupa
video. Video merupakan suatu medium yang sangat efektif untuk membantu
proses pembelajaran, baik pembelajaran massal, individual, maupun
berkelompok. Video juga merupakan bahan ajar noncetak yang kaya informasi
dan tuntas karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung. Di samping itu,
video menambah suatu dimensi baru terhadap pembelajaran, hal ini karena
karakteristik teknologi video yang dapat menyajikan gambar bergerak pada siswa,
sekaligus suara yang meyertainya. Oleh karena itu, diharapkan siswa merasa
seperti berada di suatu tempat yang sama dengan yang ditampilkan pada video.
Daryanto menyatakan bahwa (2013: 88) media video adalah segala sesuatu
yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak
secara sekuensial. Sementara Desrianti, Rahardja, & Mulyani (2012: 138)
memberi definisi lebih luas mengenai video yaitu sebagai teknologi untuk
menangkap, merekam, memproses, mentransmisikan, dan menata ulang gambar
bergerak. Namun, pendapat tersebut cenderung mengacu pada pengolahan gambar
belum mencakup suara. Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa video adalah sajian gambar yang bergerak yang direkam atau
diciptakan dengan menggunakan efek suara.
Program video dapat dimanfaatkan dalam program pembelajaran, karena
dapat memberikan pengalaman yang tidak terduga kepada siswa, selain itu juga
program video dapat dikombinasikan dengan animasi dan pengaturan kecepatan
untuk mendemonstrasikan perubahan dari waktu ke waktu. Kemampuan video
dalam memvisualisasikan materi terutama efektif untuk membantu guru
menyampaikan materi yang bersifat dinamis. Materi yang memerlukan visualisasi
yang mendemonstrasikan hal-hal seperti gerakan motorik tertentu, seperti ekspresi
wajah maupun suasana tertentu sangat baik disajikan melalui video. Hal tersebut
berguna dalam pendeskripsian suatu materi secara jelas.
40
Kemajuan teknologi video tersedia dalam format kaset, CD, VCD, DVD,
dan lain-lain. Hal ini memudahkan dalam pemutaran video lewat video player,
VCD, DVD, LCD, maupun melalui televisi yang disesuaikan dengan fasilitas
yang ada di masing-masing sekolah. Sebuah video dapat dibuat sendiri oleh guru
ataupun dengan mengunduh lewat internet. Umumnya sebuah video yang
digunakan dalam media pembelajaran dapat diunduh dengan mudah melalui
media sosial youtube. Hal tersebut sangat efisien mengingat banyak video yang
diunggah sebagai media pembelajaran. Dengan demikian, guru dapat dengan
leluasa memilih video mana yang sesuai dengan materi ajar serta model
pembelajaran yang akan digunakan.
Dalam pemanfaatan video dalam proses pembelajaran, hendaknya tetap
memerhatikan evaluasi pembelajaran. Seperti yang diungkapkan Desrianti,
Rahardja, & Mulyani (2012: 136) yaitu sesudah program video diputar harus
diadakan diskusi agar siswa mampu memahami isi video, mampu mencari
pemecahan masalah, dan mampu menjawab pertanyaan. Selain itu perlu diadakan
tes agar mampu mengukur berapa banyak informasi yang dipahami siswa melalui
pemutaran video.
Keuntungan dan kelemahan menggunakan video menurut Daryanto (2013:
90), antara lain:
a) Ukuran tampilan video sangat fleksibel dan dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan.
b) Video merupakan bahan ajar non cetak yang kaya informasi dan lugas
karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung.
c) Video menambah suatu dimensi baru terhadap pembelajaran.
Sementara kelemahan dari media video anatara lain:
a) Fine details artinya media tayangnya tidak dapat menampilkan objek
sampai yang sekecil-kecilnya dengan sempurna.
b) Size information artinya tidak dapat menampilkan objek dengan ukuran
yang sebenarnya.
c) Third dimention artinya gambar yang diproyeksikan oleh video
umumnya berbentuk dua dimensi.
d) Opposition artinya pengambilan yang kurang tepat dapat menyebabkan
timbulnya keraguan penonton dalam menafsirkan gambar yang
dilihatnya.
e) Setting artinya kalau kita tampilkan adegan dua orang yang sedang
bercakap-cakap di antara banyak orang, akan sulit menebak settingnya.
41
f) Material pendukung video membutuhkan alat proyeksi untuk dapat
menampilkan gambar yang ada didalamnya.
g) Budget artinya biaya untuk membuat program video membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
c. Langkah-langkah Penerapan Model Pembelajaran Sinektik dengan Media
Audio Visual dalam Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi
Puisi
Berikut langkah-langkah penerapan model pembelajaran sinektik dengan
media audio visual dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi
puisi
1) Guru memberi salam, berdoa, dan mengondisikan siswa untuk siap
memulai pembelajaran.
2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan penjelasan tentang manfaat
menguasai materi pembelajaran.
3) Guru bertanya jawab mengulas materi yang telah dipelajari dan yang akan
dipelajari, yaitu mengonversi teks anekdot menjadi puisi.
4) Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa
setiap kelompoknya.
5) Guru menginstrusikan siswa untuk mengamati teks anekdot “Puntung
Rokok” dan contoh puisi “Ini Singapura bukan Indonesia”.
6) Guru menginstrusikan siswa untuk berdiskusi, bertanya jawab mengenai
pengertian, struktur, dan kaidah bahasa dalam puisi. Guru membimbing
dan menjelaskan materi yang belum dipahami siswa.
7) Guru memberi tugas masing-masing kelompok untuk mengonversi teks
anekdot menjadi puisi dengan tema kerusakan lingkungan.
8) Guru menjelaskan langkah-langkah mengonversi teks anekdot menjadi
puisi menggunakan model sinektik, yaitu
a) Guru menampilkan objek yang ditampilkan melalui video “Campaign
DBMP Kota Bandung-Sungai dan Asap Membawa Maut.”
b) Setiap kelompok memilih salah satu dari objek yang diamati (sampah,
sungai, banjir, dan asap) sesuai dengan kesepakatan.
42
c) Guru meminta siswa membuat analogi personal melalui deskripsi dari
objek yang diamati berupa poin-poin atau kata kunci dari objek yang
dipilihnya. Untuk membantu siswa, guru bisa memberikan pertanyaan.
Misal objek yang dipilih adalah banjir, maka guru dapat memberikan
pertanyaan yang dapat membantu membuat analogi langsung diantaranya
Bagaimana pendapat kalian tentang banjir?
Mengapa bisa terjadi banjir?
Kapan biasanya terjadi banjir?
Apa efek banjir?
Apa yang kamu lakukan saat banjir datang?
Bagaimana menanggulangi banjir?
c) Guru meminta siswa untuk membuat analogi langsung, yaitu membuat
perbandingan dari objek yang diamati dengan masalah yang dipilihnya.
Kemudian mendeskripsikannya dalam bentuk kalimat dengan bimbingan
guru. Contoh,
Bagaimana banjir seperti perayaan? Setiap tahun selalu dikirim Tuhan
sebagai bingkisan.
d) Guru meminta siswa untuk membuat konflik padat, yaitu
mengombinasikan dua kata yang berbeda atau berlawanan terhadap suatu
objek sehingga terlihat dua kerangka atau acuan yang berbeda.
Bagaimana banjir seperti selimut?Menyelimuti rumah dan menyelimuti
jalan. Namun, tak menghangatkan. Justru membuat penderitaan.
e) Siswa secara berkelompok mengembangkan pemikirannya tentang objek
yang dipilih kemudian dituliskan dalam bentuk puisi dengan
memerhatikan unsur batin dan unsur fisik puisi berdasarkan proses
sinektik yang telah dilaluinya.
Pada Musim Penghujan
Banjir sudah seperti perayaan
Yang setiap tahunnya
dikirim Tuhan sebagai bingkisan
43
Semuanya jadi tergenang
Pertokoan, perkantoran, sekolah, dan jalanan tampak lengang
Banyak yang menangis kelaparan
Dilanda dingin butuh kehangatan
Ada yang sakit-sakitan butuh segera pengobatan
Banjir sesukanya datang
Kapan, dan ke mana ia bertandang
Tak ada bisa yang melawan
Semua itu buah tangan manusia pecundang
Hobinya buang sampah sembarangan
Pada musim penghujan
Banjir bagai selimut dingin
Menyelimuti rumah, menyelimuti jalan
Namun tak menghangatkan
Justru membuat penderitaan
f) Selanjutnya para siswa berdiskusi kembali dengan kelompoknya tentang
kaidah dan struktur puisi dari hasil mengonversi teks anekdot.
9) Guru melakukan monitoring dan memberi masukan pada puisi-puisi siswa.
10) Setiap kelompok mempresentasikan hasil mengonversi teks anekdot
menjadi puisi di depan kelas dan dilanjutkan diskusi.
11) Guru membimbing serta memberi evaluasi dan refleksi tentang
mengonversi teks anekdot menjadi puisi menggunkan model pembelajran
sinektik dengan media audio visual.
12) Guru memberi tugas pada pertemuan selanjutnya.
13) Guru menutup pembelajaran dengan doa dan salam.
44
4. Penilaian dalam Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi
Model pembelajaran sinektik yang dirancang untuk meningkatkan
motivasi dan keterampilan mengonversi tek anekdot menjadi puisi ini diharapkan
mampu untuk mengatasi permasalahan siswa yaitu motivasi dalam pembelajaran
dan keterampilan mengonversi tek anekdot menjadi puisi. Dengan diterapkan
model pembejaran sinektik, siswa dapat terdorong untuk berpikir secara lebih
kreatif. Untuk mengetahui proses dan hasil belajar dapat berlangsung secara baik
atau tidak maka perlu adanya penilaian. Penilaian adalah suatu proses untuk
mengetahui apakah proses dan hasil suatu program telah sesuai dengan tujuan
atau kriteria yang telah ditetapkan (Suwandi, 2009a: 15). Penelitian ini
mengunakan dua bentuk penilaian untuk menilai keberhasilan dalam kegiatan
pembelajaran mengonversi tek anekdot menjadi puisi, yaitu penilaian motivasi
sebagai penilaian proses belajar dan penilain hasil karya siswa berupa puisi
sebagai penilaian hasil belajar.
a. Penilaian Motivasi Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi
Puisi
Motivasi dalam pembelajaran dapat dilihat atau disimpulkan dari usaha
yang kontinu walaupun sudah tidak dikontrol oleh guru. Dorongan aktivitas untuk
belajar yang dilakukan siswa muncul dengan sendirinya tanpa perlu disuruh.
Dengan kata lain, bila keinginan untuk belajar dari siswa sudah dimiliki maka
siswa disebut memiliki motivasi.
Supratiknya (2012: 44) menilai motivasi siswa dengan mengamati tingkah
laku siswa saat memerhatikan pejelasan guru, membuat catatan, menyimak
pelajaran, dan mengajukan pertanyaan. Cara untuk mengukur motivasi dalam
pembelajaran dapat juga diketahui dari bagaimana perhatian siswa terhadap materi
yang diajarkan dan konsentrasi siswa saat mengikuti proses pembelajaran ataupun
mengerjakan tugas. Lebih spesifiknya Wena (2014: 33) menetapkan indikator-
indikator dalam mengukur motivasi dalam pembelajaran, yaitu (1) keantusiasan
dalam belajar, (2) minat atau perhatian pada pembelajaran, (3) keterlibatan dalam
pembelajaran, (4) rasa ingin tahu pada isi pembelajaran, (5) ketekunan dalam
45
belajar, (6) selalu berusaha mencoba, dan (7) aktif mengatasi tantangan yang ada
dalam pembelajaran.
Dengan mempertimbangkan pendapat di atas, peneliti melakukan penilaian
motivasi pembelajaran dengan menggunakan pedoman sesuai dengan Tabel 4 di
bawah ini.
Tabel 4. Penilaian Motivasi Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi
Puisi
No Nama
siswa
Aspek penilaian motivasi pembelajaran Skor Nilai
Minat pada
pembelajaran
Keaktifan
selama
pembelajaran
Keantusiasan
dalam
pembelajaran
Keterlibatan
dalam
pembelajaran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sumber: diadaptasi dari Wena (2014: 33)
Keterangan
Nilai = Perolehan skor x 100
Jumlah skor maksimal
Adapun untuk menghitung perolehan skor dalam menilai motivasi
pembelajaran digunakan pedoman penilaian sesuai Tabel 5 di bawah ini.
46
Tabel 5. Pedoman Penilaian Motivasi Pembelajaran
Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi
Aspek yang dinilai Skor
Minat dalam pembelajaran
Siswa sangat berminat dalam memerhatikan seluruh kegiatan
pembelajaran dari awal sampai akhir atas kemauannya sendiri.
Siswa berminat dalam memerhatikan seluruh kegiatan
pembelajaran dari awal sampai akhir atas kemauannya sendiri.
Siswa cukup berminat dalam memerhatikan sebagian kegiatan
pembelajaran setelah disuruh oleh guru.
Siswa tidak berminat dalam memerhatikan kegiatan pembelajaran
dari awal sampai akhir.
Siswa sangat tidak berminat dalam memerhatikan kegiatan
pembelajaran dari awal sampai akhir.
5-1
5
4
3
2
1
Keaktifan selama pembelajaran
Siswa sangat aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan
melakukan umpan balik dengan penuh rasa percaya diri.
Siswa aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan melakukan
umpan balik namun kurang memiliki percaya diri.
Siswa cukup aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan
melakukan umpan balik setelah disuruh oleh guru.
Siswa tidak aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan
melakukan umpan balik namun tidak sesuai dengan konteks.
Siswa sangat tidak aktif dalam bertanya, menanggapi pertanyaan,
dan melakukan umpan balik dalam pembelajaran.
1-5
5
4
3
2
1
Keantusiasan dalam pembelajaran
Siswa sangat antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun
mengerjakan ulangan.
Siswa antusias dalam belajar, namun tidak semangat saat
mengerjakan tugas dan mengerjakan ulangan.
Siswa cukup antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun
mengerjakan ulangan.
Siswa tidak antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun
mengerjakan ulangan.
Siswa sangat tidak antusias dalam belajar, mengerjakan tugas
maupun mengerjakan ulangan.
5-1
5
4
3
2
1
Keterlibatan dalam pembelajaran
Siswa sangat terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan
bertanggung jawab dalam melakukan tugas.
Siswa terlibat dalam pemecahan masalah dan berdiskusi namun
kurang bertanggung jawab dalam melakukan tugas.
Siswa cukup terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan
bertanggung jawab dalam melakukan tugas setelah disuruh oleh
guru/ temannya.
5-1
5
4
3
47
Siswa tidak terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan
bertanggung jawab dalam melakukan tugas.
Siswa sangat tidak terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi,
dan mengerjakan tugas.
2
1
Skor maksimal 20
Sumber: diadaptasi dari Suwandi (2009a: 130)
b. Penilaian Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi
Pada penilian hasil pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi,
peneliti menggunakan penilaian tes tertulis. Siswa ditugasi untuk mengonversi
teks anekdot menjadi puisi. Keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi
tergolong dalam keterampilan menulis. Untuk itu, dalam melakukan penilaian
keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi, peneliti mengacu pada
penilaian kemampuan menulis puisi siswa yang dirujuk dari teori Nurgiyantoro.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 487), kisi-kisi rubrik penilaian menulis
siswa adalah (1) kebaharuan tema dan makna, (2) keaslian pengucapan, (3)
kekuatan imajinasi, (4) ketepatan diksi, (5) pendayaan pemajasan dan citraan, (6)
respon afektif guru. Dalam penelitian ini, “kebaharuan tema dan makna” diganti
dengan “kesesuaian tema dan makna”. Kemudian “keaslian pengucapan” tidak
digunakan dalam penilaian menulis puisi karena kurang sesuai dengan aspek
menulis puisi, maka diganti dengan penggunaan rima dalam puisi. Dari pendapat
Nurgiyantoro tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian dalam menulis puisi
mencakup unsur batin maupun unsur fisik puisi. Berikut rubrik penilain yang
digunakan dalam mengukur keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi
dijelaskan secara rinci pada Tabel 6 di bawah ini.
48
Tabel 6. Penilaian Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi
No Nama
siswa
Aspek yang dinilai Skor Nilai
Kesesuaian
tema dan
makna
Rima Imajinasi Diksi Majas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sumber: diadaptasi dari Nurgiyantoro (2010: 487)
Keterangan
Nilai = Perolehan skor x 100
Jumlah skor maksimal
Pedoman penskoran hasil mengonversi teks anekdot menjadi puisi
dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Pedoman Penskoran
Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi
Aspek yang dinilai
Skor
Kesesuaian tema dan makna
Isi puisi sesuai dengan tema, makna, dan struktur puisi yang
ditentukan.
Isi puisi cukup sesuai dengan tema, makna, dan struktur puisi yang
ditentukan.
Isi puisi kurang sesuai tema, makna, dan struktur puisi yang
ditentukan.
Isi puisi tidak sesuai dengan tema, makna, dan struktur puisi yang
ditentukan.
4-1
4
3
2
1
49
Rima
Rima yang digunakan menciptakan variasi bunyi indah dalam puisi.
Rima yang digunakan kurang menciptakan variasi bunyi yang indah
dalam puisi.
Rima yang digunakan cukup menciptakan variasi bunyi yang indah
dalam puisi.
Rima yang digunakan tidak menciptakan variasi bunyi yang indah
dalam puisi.
4-1
4
3
2
1
Pengimajian
Pengimajian yang digunakan sudah sesuai sehingga efek keindahan
yang ditimbulkan terasa dengan baik dan mendukung makna yang
diharapkan.
Pengimajian yang digunakan cukup sesuai sehingga efek keindahan
yang ditimbulkan terasa cukup baik dan cukup mendukung makna
yang diharapkan.
Pengimajian yang digunakan kurang sesuai sehingga efek keindahan
yang ditimbulkan kurang terasa dengan baik dan kurang mendukung
makna yang diharapkan.
Sama sekali tidak menggunakan pengimajian sehingga efek
keindahan yang ditimbulkan sama sekali tidak terasa dan tidak
mendukung makna yang diharapkan.
4-1
4
3
2
1
Penggunaan Diksi
Kata-kata yang digunakan padat, singkat, jelas, dan dapat
mengekspresikan perasaan dengan baik.
Kata-kata yang digunakan padat, singkat, jelas, dan cukup dapat
mengekspresikan perasaan dengan baik.
Kata-kata yang digunakan kurang mamapu mengekspresikan
perasaan.
Kata-kata yang digunakan sama sekali tidak dapat mengekspresikan
perasaan.
4-1
4
3
2
1
Majas
Majas yang digunakan mampu menimbulkan efek keindahan baik
dan sesuai konteks puisi.
Majas yang digunakan cukup mampu menimbulkan efek keindahan
dan cukup sesuai konteks puisi.
Majas yang digunakan kurang mampu menimbulkan efek keindahan
dan kurang sesuai konteks puisi.
Majas yang digunakan sama sekali tidak mampu menimbulkan efek
keindahan dan tidak sesuai konteks puisi.
4-1
4
3
2
1
Skor maksimal 20
Sumber: Didapatasi dari Nurgiyantoro (2010: 488)
50
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian yang penulis paparkan dapat disusun kerangka berpikir
di mana saat dilaksanakan pembelajaran sebelum dilakukan tindakan, guru
menemukan berbagai permasalahan. Masalah yang dihadapai sebelum tindakan
yaitu (1) kreativitas siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dalam
mengonversi teks anekdot menjadi puisi masih rendah; (2) rendahnya motivasi
siswa pada pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi, dan (3) siswa
mengalami kesulitan untuk menemukan ide dan menungakannya dalam tulisan.
Sementara permasalahan yang dialami guru mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu
guru kesulitan menemukan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran
mengonversi teks anekdot menjadi puisi. Selama ini proses belajar mengajar
berlangsung dengan metode konvensional sehingga siswa kurang aktif dan belum
mempunyai motivasi pembelajaran maksimal. Akibatnya, hasil menulis puisi nilai
rata-ratanya masih tergolong rendah.
Setelah melakukan observasi dan konsultasi terhadap guru mata pelajaran
bahasa Indonesia, peneliti merencanakan melakukan penelitian tindakan kelas
dengan menerapkan model pembelajaran sinektik untuk meningkatkan motivasi
dan keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi pada kelas X TKJ A
SMK Negeri 9 Surakarta. Tindakan penelitian kelas ini menggunakan dua siklus.
Siklus pertama dengan menerapkan model pembelajaran sinektik dengan media
audio visual dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi dengan
tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Untuk siklus kedua
menerapakan model pembejaran sinektik dengan media audio visual dengan tahap
merevisi peleksanaan tindakan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
Hasil akhir dari tindakan ini diduga keterampilan mengonversi teks
anekdot menjadi puisi pada siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dapat
meningkat. Guru mampu menggunakan model pembelajaran sinektik dengan
media aidio visual dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot sehingga
pembelajaran akan lebih menarik dan bervariasi serta terjadi timbal balik antara
guru dengan siswa. Berikut skema kerangka berpikir dalam penelitian ini
dijelaskan pada Gambar 1 di bawah ini.
51
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Kondisi Akhir
Motivasi dan kreativitas siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dalam megonversi teks anekdot
menjadi puisi diduga meningkat.
Siswa ampu menemukan ide dan mengungkapkannya dalam megonversi teks anekdot menjadi puisi
dengan bahasa tulis yang baik dan benar Motivasi siswa dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot
menjadi puisi meningkat
Guru
Kesulitan menemukan
model pembelajaran yang
tepat dalam pembelajaran
mengonversi teks anekdot
menjdi puisi
Siswa
Kreativitas dan motivasi
rendah serta kesulitan untuk
menemukan ide dan
mengungkapkannya dalam
tulisan anekdot menjdi puisi
Proses Belajar Mengajar
Berlangsung monoton dengan
metode ceramah, siswa kurang aktif
dan termotivasi belajar puisi, serta
tidak ada interaksi antar guru
dengan siswa
Kondisi Awal
Motivasi dan kreativitas siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dalam megonversi teks anekdot
menjadi puisi rendah
Tindakan
Kolaborasi Peneliti dengan Guru
Perencanaan
Pelaksanaan
Observasi
Refleksi
Penerapan model
pembelajaran sinektik
dengan media audio
visual
52
C. Hopotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir dapat dinyatakan bahwa:
1. Penerapan model pembelajaran sinektik dengan media audio visual dapat
meningkatkan motivasi pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi
puisi pada siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta tahun ajaran
2015/2016.
2. Penerapan Model Pembelajaran Sinektik dengan media audio visual dapat
meningkatkan keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi pada
siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.