bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori ......layanan primer perlu dilaksanakan secara...
TRANSCRIPT
-
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Odha dan layanan ART
Human Immnunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan pada stadium akhir menyebabkan
kondisi klinis yang dikenal sebagai Acquared Immunodeficiency Sindrom (AIDS).
Orang dengan HIV/AIDS (odha) adalah sebutan untuk orang yang di dalam tubuhnya
telah terinfeksi virus HIV/AIDS yang diketahui melalui pemeriksaan laboratorium
(Depkes RI, 2006). Penularan penyakit HIV ini melalui hubungan seksual yang berisiko
tanpa menggunakan kondom, melalui pajanan darah terinfeksi, produk darah atau
transplantasi organ dan jaringan yang terkontaminasi virus HIV, dan penularan melalui
ibu yang positif HIV ke anaknya (Depkes RI, 2006; KPA, 2013). Kejadian penularan
melalui hubungan heteroseksual di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun
(Kemenkes, 2014a). Oleh karena itu, penyakit HIV masih sebagai salah satu masalah
kesehatan masyarakat utama di Indonesia.
Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup dan
berisiko untuk menularkan virus tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, diperlukan
suatu strategi untuk mencegah penularannya. Sejak ditemukannya obat ARV dan
kombinasi ART, telah terjadi perubahan terhadap penurunan morbilitas dan mortalitas
HIV/AIDS dari 60% menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan usia harapan hidup
odha(WHO, 2003, Depkes RI, 2006). Meskipun terapi ARV tidak mampu
meyembuhkan penyakit, namun terapi ARV ternyata mampu menurunkan kasus-kasus
infeksi baru HIV, seperti pengalaman pada negara-negara berkembang di Afrika
-
13
Selatan, Nepal, Kamboja, dan lainnya (UNAIDS, 2012). Oleh karena itu, pemerintah
telah mengupayakan untuk meningkatkan perawatan, dukungan dan pengobatan pada
odha, melalui penyelenggaraan layanan HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan (LKB). Dengan LKB diharapkan layanan odha dalam pengobatan
lebih optimal, disertai perbaikan kualitas hidup dan penurunan penularan pada
komunitas yang lebih luas.
Layanan HIV/AIDS pada LKB adalah suatu layanan dengan melibatkan petugas
kesehatan dan para pemangku kepentingan secara luas, yang dilandasi prinsip dasar
antara lain: hak azasi manusia; kesetaraan akses layanan; penyelenggaraan layanan HIV
dan IMS yang berkualitas; mengutamakan kebutuhan odha dan keluarganya;
memperhatikan kebutuhan kelompok populasi kunci dan populasi rentan lainnya;
keterlibatan keluarga dan odha; penerapan perawatan kronik; layanan terapi ARV
dengan pendekatan kesehatan masyarakat; mengurangi hambatan dalam mengakses
layanan; menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi, serta mengarus utamakan gender (Kemenkes RI, 2012).
Perluasan layanan skrining pemeriksaan HIV di layanan kesehatan primer,
cukup baik untuk lebih banyak mengungkapkan kasus-kasus baru HIV di masyarakat,
namun apabila tidak disertai perluasan layanan pengobatan ARV, hal tersebut akan
menimbulkan masalah baru seperti meningkatkannya jumlah odha yang tidak
mendapatkan terapi, lost to follow up, adherence ARV yang berdampak terhadap
munculnya resistensi terhadap ARV. Oleh karena itu, penanggulangan HIV pada
layanan primer perlu dilaksanakan secara komprehensif, meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam semua bentuk layanan.
-
14
2.1.2 Situasi masalah HIV dan AIDS di Indonesia
Analisis laporan perkembangan HIV/AIDS Triwulan III Tahun 2014 dari
Kemenkes RI (2014a), diketahui bahwa jumlah kasus infeksi baru HIV yang dilaporkan
sejumlah 8.908 orang, kasus tersebut meningkat sebanyak dua kali lipat menjadi
84,01% (4.067 orang) dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 4.841 orang infeksi
baru HIV pada periode yang sama. Prosentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada
kelompok umur 25-49 tahun (73,6%), diikuti umur 20-24 tahun (14,9 %). Komposisi
umur tersebut tidak berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prosentase faktor
risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (55%), laki seks
laki (17%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (6%). Apabila
dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya (2013), prosentase
risiko pada heteroseksual cenderung meningkat, sedangkan penularan melalui jarum
suntik tidak steril cenderung menurun (Kemenkes RI, 2013a, 2014a).
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan baru pada Triwulan III Tahun 2014,
ternyata menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya (2013), yaitu dari 320 orang menjadi 1.492 orang. Prosentase AIDS pada
Triwulan III (2014) tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti
kelompok umur 20-29 tahun (26,0%). Komposisi umur tersebut dan faktor risiko
penularan tidak berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2013a,
2014a).
Gambaran situasi penyakit HIV di Propinsi Bali per-Juni 2014 dilaporkan
sebesar 9.051 orang, meningkat sebanyak 27,96% dibandingkan dengan tahun 2013
(7.073 orang). Sedangkan jumlah kasus AIDS sebanyak 4.261 orang, meningkat sebesar
27,42 % dibandingkan tahun sebelumnya sejumlah 3.344 orang (Kemenkes RI, 2013a,
2014a).
-
15
Peningkatan jumlah kasus HIV di Propinsi Bali perlu dipikirkan untuk
pengembangan layanan obat ARV. Saat ini layanan ART yang tersedia di Bali baru
sebanyak 12 layanan yang tersebar di rumah sakit rujukan daerah. Perluasan layanan
tersebut perlu dipikirkan pada periode mendatang. Berikut adalah grafik perkembangan
kasus HIV/AIDS di Indonesia dan Propinsi Bali seperti yang terlihat di bawah ini.
Gambar 2.1 Perbandingan temuan kasus HIV dan AIDS di Indonesia,
periode tahun 1987-2014 (Sumber : Laporan Kemenkes, 2014)
Sedangkan situasi perkembangan kasus HIV di Propinsi Bali, dapat dilihat pada grafik
dibawah ini.
Gambar 2.2 Jumlah Kasus HIV/AIDS Kumulatif berdasarkan Jenis Kelamin,
Dari tahun 1987-2013. (Sumber : Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2013)
859
7195 6048
10362 9739
21591 21031 21511
29037
15534
5184 3665 4655
5114 6073 6907 7312
8747 6266
1700
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
s.d 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah kasus HIV Jumlah Kasus AIDS
050
100150200250300350400450500550600650700750800850900950
100010501100
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
Laki-laki Perempuan
-
16
Model matematik epidemi HIV di Indonesia menunjukkan proyeksi jumlah
orang dengan HIV/AIDS (odha), meningkat pesat sampai dengan tahun 2016 jika tidak
dilakukan percepatan upaya pencegahan dan pengobatan (Kemenkes RI, 2013c).
Walaupun sampai saat ini Indonesia masih berada pada situasi epidemi terkonsentrasi,
namun dikhawatirkan Indonesia dapat menjadi negara dengan status HIV epidemi
meluas, apabila tidak ada penanganan yang memadai. Apalagi dua provinsi di Indonesia
(Papua dan Papua Barat) telah berada pada situasi epidemi meluas (KPA Nasional,
2013). Oleh karena itu perlu menerapkan strategi global yang dicanangkan oleh WHO
untuk mencapai “universal access”.
2.1.3 Studi terkait perawatan HIV di layanan primer
Strategi global sektor kesehatan yang dicanangkan oleh WHO (2011), dalam
penanganan HIV/AIDS Tahun 2011-2015, adalah upaya pencapaian akses universal
dalam penanganan penyakit HIV di seluruh dunia, dengan tujuan tercapainya “Getting
to Zero”. Strateginya meliputi 4 komponen penting, yaitu: mengoptimalkan fungsi
pencegahan, tatalaksana diagnosis, dukungan dan perawatan HIV; memperluas
pengaruh respon kesehatan dalam penanganan HIV; memperkuat sistem kesehatan dan
berkelanjutan; dan mengurangi kerentanan serta menghilangkan hambatan terhadap
akses layanan (WHO, 2011). Oleh karena itu, banyak negara telah menerapkan
perluasan cakupan akses layanan ART.
Penelitian tentang “Antiretroviral therapy in primary health care : Experience of
the Kayelitsha Programme in South Africa, Case Study” menunjukkan bahwa
pengembangan perawatan, dukungan dan pengobatan ARV ke layanan primer dapat
meningkatkan motivasi dan kepatuhan odha dalam berobat, mengurangi efek samping
ARV, dan meningkatkan kelangsungan hidup odha. Perluasan akses layanan ARV ke
-
17
layanan primer juga dapat meningkatkan dukungan psikososial kepada odha,
mempromosikan keterbukaan dan mengurangi stigma, serta membantu odha untuk
menjaga keluarganya tetap utuh dan kestabilan ekonomi keluarga odha (WHO, 2003).
Sejalan dengan kebijakan strategi WHO tersebut, arah kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ditekankan pada rencana aksi pengembangan
dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu di kabupaten/kota
(Kemenkes RI, 2013c). Hal tersebut sejalan dengan penelitian evaluasi strategi
pencegahan HIV-AIDS di Liberia diketahui bahwa, kebutuhan sumber daya yang
memadai dan membangun kapasitas masyarakat dalam pelaksanaan program
pencegahan HIV-AIDS sangat penting dalam mengatasi masalah penanganan HIV-
AIDS di negara berkembang (Kennedy, et al., 2004). Penelitian lain terkait dampak dari
intervensi pencegahan HIV di layanan primer ternyata juga dapat meningkatkan
keterampilan dan merubah cara pandang tenaga kesehatan terhadap penyakit HIV-AIDS
ini (Bluespruce, et al., 2001).
Hasil penelitian tentang integrasi perawatan dan dukungan HIV/AIDS pada
layanan primer di Propinsi Gaunteng Afrika Selatan, didapatkan bahwa sumber daya
manusia, (pengetahuan dan ketrampilan petugas, adanya pelatihan, beban kerja, moral
dan motivasi petugas kesehatan), infrastruktur layanan, petunjuk dan pelaksanaan teknis
manajemen perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP), jejaring rujukan, koordinasi
perencanaan dan komunikasi diantara petugas, berperan dalam keberhasilan integrasi
pelaksanaan PDP HIV/AIDS di layanan primer (Modiba, et al., 2002). Oleh karena itu,
untuk keberhasilan pengembangan layanan ART di puskesmas, ketersediaan sumber
daya manusia dan pelatihan keterampilan tenaga kesehatan dalam penanganan HIV-
AIDS penting untuk diperhatikan.
-
18
Penanggulangan penyakit HIV dan pengembangan program ke layanan primer
perlu memperhatikan sisi kemampuan keuangan daerah (Kemenkes RI, 2007). Strategi
yang diharapkan adalah meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV-AIDS
(Kemenkes RI, 2010). Julio Frank (2009), dalam “Reinventing primary health care: the
need for systems integration” menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam
pengembangan program layanan primer di negara berkembang adalah terkait masalah
finansial, pengembangan manajemen, dan kerjasama tim. Hal senada dari pernyataan
Ooms G., et al.( 2008), tentang pembiayaan kesehatan dalam penanggulangan HIV-
AIDS, perlu tambahan dana yang digunakan untuk memberikan pelatihan, keterampilan
dan pengalihan tugas, sistem jejaring rujukan, jaminan kualitas layanan serta logistik
dan manajemen pasokan dalam pengembangan jejaring layanan.
Penelitian analisis biaya kesehatan pengobatan HIV/AIDS di beberapa negara
(Ethiopia, Malawi, Rwanda, Afrika Selatan, dan Zambia) diketahui bahwa perluasan
jangkauan layanan ARV akan mengurangi beban biaya kesehatan pemerintah
dikemudian hari (Tagar, et al., 2014). Pembiayaan kesehatan merupakan pengelolaan
berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk
mendukung penyelenggaraan layanan kesehatan, guna mencapai derajad kesehatan yang
setinggi-tingginya (SKN, 2012). Saat ini, sumber dana program penanggulangan
HIV/AIDS berasal dari APBN dan APBD, donor internasional seperti Global Fund, UN
Agencies (multilateral), Pemerintah Australia melalui DFAT dan Pemerintah Amerika
Serikat melalui USAID (bilateral) (Musiah D, 2014). Jadi, masalah finansial penting
untuk diperhatikan demi keberlangsungan pelaksanaan program HIV di Indonesia
terutama di layanan primer.
Penelitian Angkasawati, et al. (2009), tentang kesiapan petugas puskesmas
dalam penanggulangan Infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS pada layanan
-
19
antenatal, diketahui bahwa sarana dan prasarana, perlengkapan laboratorium dan reagen,
beban kerja tambahan, kejelasan sistem pencatatan dan pelaporan, belum adanya standar
operasional prosedur (SOP) tentang integrasi IMS dan HIV menjadi faktor penghambat
dalam pelaksanaan program tersebut. Sehingga dalam pengembangan layanan ARV ke
puskesmas, perlu memperhatikan kesiapan sarana dan prasarana pendukung.
Studi penilaian kesiapan fasilitas layanan kesehatan primer dalam desentralisasi
program HIV-AIDS di Nigeria, diketahui bahwa komponen yang dinilai dalam
pengembangan program HIV selain sumber daya manusia adalah ketersediaan fasilitas
layanan kesehatan untuk program HIV-AIDS, obat-obatan dan sistem farmasi, fasilitas
laboratorium dan pengelolaan sampah medis, serta hubungan dan dukungan faktor-
faktor eksternal sebagai penentu dalam kesiapan sebuah layanan (USAID, 2014).
Dengan demikian, sarana prasarana penunjang, alat-alat kesehatan, sarana laboratorium,
dan obat-obatan berperan penting dalam menilai kesiapan puskesmas sebagai satelit
ART.
Untuk menggerakkan fungsi-fungsi layanan di puskesmas agar berhasil dan
berdaya guna, diperlukan peningkatan manajemen dan sistem informasi
penanggulangan HIV/AIDS yang akuntabel dan transparan, serta informatif (Kemenkes,
2013). Permenkes RI NO.75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, pada
pasal 43, dijelaskan bahwa setiap puskesmas wajib melakukan kegiatan sistem
informasi yang dapat diselenggarakan secara elektronik maupun non elektronik. Sistem
informasi puskesmas paling sedikit mencakup: pencatatan dan pelaporan kegiatan
puskesmas dan jaringannya; survey lapangan; laporan lintas sektor terkait, dan laporan
jejaring fasilitas layanan kesehatan di wilayah kerjanya (Menkes RI, 2014).
Penelitian Shade, et al.(2014), tentang dukungan penggunaan teknologi
informasi pada perawatan, dukungan dan pengobatan penderita HIV-AIDS di layanan
-
20
kesehatan, ternyata meningkatkan keberhasilan secara signifikan dalam penanggulangan
HIV. Sejalan dengan penelitian di tempat lain terhadap ketersediaan sistem informasi
elektronik juga dapat meningkatkan manajemen mutu dan status kesehatan pasien
HIV/AIDS di layanan kesehatan (Virga, et al., 2012). Peraturan Menkes No.21 Tahun
2013, menekankan bahwa keberhasilan dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS di
kabupaten/kota, salah satunya terselenggaranya sistem pencatatan, pelaporan, dan
evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi (Kemenkes, 2013d, 2014b).
Rendahnya kualitas informasi dari penyedia layanan kesehatan kepada pasien terbukti
sebagai penghambat kepatuhan pengobatan odha (Mills, et al., 2010). Dengan demikian,
kesiapan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, tidak terlepas dari kesiapan
dukungan sistem manajemen dan informasi HIV/AIDS, yang dikenal sebagai SIHA
(Sistem Informasi HIV-AIDS).
2.1.4 Standar puskesmas sebagai satelit ART
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja
(Kepmenkes RI, 2014b). Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer dalam sistem
layanan kesehatan di Indonesia digolongkan dalam strata I. Sebagai provider pemberi
layananan kesehatan primer dalam perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS,
puskesmas memiliki tugas, fungsi, sumber daya manusia serta kompetensi yang
disesuaikan dengan golongan strata satu. Secara umum puskesmas memberikan
pelayanan odha untuk stadium 1 dan 2 yang tidak memerlukan rawat inap atau kondisi
odha telah stabil (Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan standar minimal layanan ARV di puskesmas Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur dijelaskan bahwa untuk menjadi satelit ARV, puskesmas harus
mempunyai satu rumah sakit pengampu. Pasien odha yang ditangani oleh puskesmas
-
21
adalah pasien pria dan wanita dewasa (di atas 14 tahun), dan apabila ada wanita hamil
harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke rumah sakit pengampu. Pasien yang ditangani
oleh puskesmas adalah pasien yang telah dinilai stabil oleh rumah sakit pengampu.
Apabila ada masalah dengan ARV, pasien bisa dirujuk kembali ke rumah sakit dan
puskesmas hanya melayani obat ARV lini pertama (Dinas Kesehatan Prop.Jawa Timur,
2013).
Laporan global UNAIDS (2014), tentang capaian penanggulangan HIV/AIDS di
negara-negara Asia seperti Nepal, Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Papua New
Guinea, telah berhasil menurunkan jumlah infeksi baru HIV dan kematian terkait AIDS,
dan ternyata negara-negara tersebut memiliki akses yang luas terhadap layanan ART.
Hal senada juga terjadi pada penelitian perluasan akses jangkauan layanan ART di
layanan primer di wilayah Afrika, Zambia, dan India, secara efektif memperlihatkan
keberhasilan dalam penurunan kasus infeksi baru HIV dan mengurangi beban biaya
kesehatan ke depan (Eaton, et al., 2014). Oleh karena itu, pengalaman di negara-negara
lain tersebut menunjukkan semakin banyak jumlah akses layanan ART bagi pasien
odha, semakin berhasil dalam penanggulangan penyakit HIV di masyarakat.
Pengembangan layanan satelit ART secara komprehensif dan berkesinambungan
pada layanan primer (puskesmas), komponen standar yang perlu dipersiapkan adalah
seperti di bawah ini (Depkes RI, 2007, Kemenkes RI, 2011 dan Surat edaran Kemenkes
RI, 2013e).
1) Mempunyai tim tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, konselor, laboratorium,
dan tenaga farmasi) yang telah terlatih tentang HIV/AIDS.
2) Telah berlangsungnya kegiatan konseling dan test HIV sukarela (klinik VCT) dan
konseling test HIV atas inisiasi petugas (KTS dan KTIP) serta kegiatan program
pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak (PPIA).
3) Memiliki jejaring dengan rumah sakit pengampunya.
-
22
4) Fasilitas klinik infeksi menular Seksual (IMS), diagnosis dan tatalaksana IMS dan
infeksi opportunistik (IO) ringan.
5) Tersedia sarana laboratorium atau memiliki jejaring dengan laboratorium lainnya
terlatih HIV dan sumber daya lain, seperti alat pemeriksaan fisik yang sederhana,
obat simptomatis dan analgesik yang esensial untuk puskesmas serta obat
profilaksis Infeksi Oportunistik (IO).
6) Diusulkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dan disetujui oleh dinas kesehatan
provinsi.
7) Membentuk tim perawatan berbasis rumah / komunitas, yang anggotanya terdiri
dari petugas kesehatan puskesmas sebagai koordinator, pembimbing dan
pendukung teknis, anggota LSM, relawan/kader dari masyarakat, tenaga
penyembuh tradisional (kalau ada) yang dihormati dan telah di SK kan oleh kepala
puskesmas.
8) Tersedia layanan penemuan intensif kasus TB secara sistematis dan pemantauan
minum obat TB dan ARV.
9) Memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan berobat, menangani efek
samping ringan, dan layanan rujukan ke jejaring layanan strata II dan III (inisiasi
ARV) apabila diperlukan.
10) Pencatatan dan pelaporan (komputer, rekam medik), bahan komunikasi, informasi
dan edukasi tentang penyakit HIV-AIDS dan penyakit infeksi menular sexual
lainnya.
Keberhasilan dalam penanggulangan HIV-AIDS terletak pada upaya intervensi
yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan serta terintegrasi pada
program layanan kesehatan (UNAIDS, 2014, USAIDS, 2014). Berbagai intervensi
-
23
program secara komprehensif dalam penanggulangan HIV/AIDS dapat digambarkan
seperti diagram di bawah ini.
Gambar 2.3. Intervensi komprehensif dan layanan terpadu. (Sumber : Scaling up for most at risk population, “Upaya Mendukung Penanggulangan HIV-
AIDS, manual organisasi masy. sipil, versi 1, 2013)
2.1.5 Stigma, diskriminasi dan pemanfaatan layanan ART
Penyakit HIV berbeda dengan penyakit lainnya, oleh karena pengaruh stigma
dan diskriminasi. Stigma merupakan cap atau tanda yang umumnya bersifat negatif
yang diberikan kepada seseorang ataupun kelompok, sedangkan diskriminasi perlakuan
yang berbeda terhadap seseorang atau kelompok (Kemenkes RI, 2011a, 2011b).
Upaya mereduksi stigma dan diskriminasi terkait HIV-AIDS, sangat penting
dalam keberhasilan penanggulangan penyakit HIV dan pengembangan program di
masyarakat (KPAN, 2010). Parker dan Aggleton (2002), dalam “HIV/AIDS-related
Stigma and Discrimination: A Conseptual Framework and an Agenda for Action”,
menjelaskan Stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV di masyarakat erat
kaitannya dengan masalah seksualitas, gender, ras dan etnis, penyakit homoseksual,
-
24
kemiskinan, penyakit akibat prostitusi (sex bebas), dan ketakutan terhadap penularan,
sehingga penyakit HIV terhambat dalam mendapatkan akses layanan kesehatan, seperti
penemuan kasus dan upaya pengobatan.
Penelitian Sekoni dan Owoaje (2013), tentang stigma HIV/AIDS di kalangan
petugas kesehatan di layanan primer Llorin-Nigeria, ternyata 87,7% responden dari
tenaga kesehatan takut terhadap penularan HIV dan 97,7% pasien odha mengalami
diskriminasi. Hasil kajian studi analisis tentang stigma dan diskriminasi di Nigeria,
didapatkan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap odha dapat terwujud dalam
berbagai cara, seperti pengabaian, perbedaan perlakuan, penolakan pada pengobatan,
test dan pengungkapan status tanpa persetujuan, penghindaran diri, prosedur
pengendalian infeksi yang tidak terjamin, dan menghakimi berdasarkan masalah
moralitas (Monjok, et al., 2009). Dengan demikian, perlakuan yang berbeda pada
penyakit HIV, akan berdampak buruk pada perilaku odha dalam mencari pelayanan
kesehatan dan perlu dipikirkan untuk perluasan jangkauan layanan ART.
Penelitian Eka Sari Ridwan, et al.(2010), tentang hambatan odha dalam akses
pelayanan kesehatan, salah satunya terkait dengan hambatan kultural dan stigma sosial
yang menganggap odha dan pasangannya sebagai pendosa. Sejalan dengan penelitian
kepatuhan odha minum obat di Kota Bandung dan Cimahi, diketahui bahwa stigma dan
diskriminasi odha berpengaruh terhadap kepatuhan untuk teratur minum obat ARV
(Yuniar, et al., 2013). Stigma dan dikriminasi juga menyebabkan beberapa program
intervensi Pemerintah Kota Bandung tidak berjalan sesuai yang direncanakan
(Nurhayati, 2013).
2.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan uraian dari kajian pustaka, pengembangan layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV/AIDS di layanan primer diketahui banyak faktor yang
-
25
berperan terhadap keberhasilan pengembangan layanan tersebut, baik faktor dari
internal maupun eksternal puskesmas. Untuk memberikan batasan terkait kesiapan
pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, maka penelitian ini akan
menggunakan konsep seperti di bawah ini.
2.2.1 Konsep kesiapan layanan puskesmas
Kesiapan adalah hal yang penting dan harus tersedia ketika memberikan sesuatu
layanan. Kesiapan tersebut akan dipengaruhi oleh dukungan baik internal maupun
eksternal puskesmas, sebaliknya dikatakan tidak siap bila ditemukan berbagai hambatan
sumber daya pelaksanaan layanan. Kesiapan dalam penelitian ini pengertiannya adalah
ketersediaan sumberdaya dan kemampuan personil sesuai dengan standar kompentensi
di layanan puskesmas. Kesiapan puskesmas sebagai satelit ART adalah ketersediaan
sumber daya dan kemampuan petugas kesehatan puskesmas untuk memberikan
perawatan, dukungan dan pengobatan antiretroviral bagi odha secara komprehensif dan
berkesinambungan secara mandiri sesuai tugas dan wewenang tenaga medis di
puskesmas.
Puskesmas dikatakan siap sebagai satelit ART apabila puskesmas mempunyai
kemampuan dalam mengelola perawatan odha secara mandiri dan ada dukungan sumber
daya yang meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasana penunjang, alat kesehatan
dan farmasi, pembiayaan dan manajemen informasi data. Sebaliknya, dikatakan tidak
siap bila ada hambatan dan tidak sesuai dengan ketentuan standar layanan. Kesiapan
tersebut dinilai dari kemampuan layanan puskesmas mulai dari penemuan kasus,
melakukan inisiasi ART, pemantauan terapi, sampai kepada pencatatan dan pelaporan
kasus sesuai dengan tugas, wewenang dan fungsi pokok puskesmas, yang diketahaui
-
26
dari hasil observasi dengan menggunakan daftar tilik standar layanan ART dan
wawancara mendalam.
2.2.2 Konsep puskesmas sebagai satelit ART
Pengertian satelit dalam penelitian ini adalah sarana pelayanan kesehatan yang
memberikan layanan bagi odha, dapat berupa puskesmas, rumah sakit maupun klinik
lainnya. Puskesmas sebagai satelit ART adalah puskesmas yang mampu memberikan
layanan secara komprehensif meliputi perawatan, dukungan dan pengobatan bagi odha,
mulai dari penemuan kasus baru, persiapan inisiasi ARV, pemberian obat ARV,
pemantauan adherence pengobatan dan penanganan infeksi oportunistik ringan, serta
pencatatan dan pelaporan SIHA yang dilakukan secara mandiri sesuai dengan
kewenangan layanan primer. Sedangkan puskesmas sebagai satelit ARV adalah layanan
yang diberikan bagi odha hanya sebatas melanjutkan obat ARV rumah sakit tanpa
memerlukan pemeriksaan penunjang awal, dan dilakukan pada odha yang telah stabil.
Terapi yang diberikan sebagai satelit ARV sesuai dengan rekomendasi dari rumah sakit
pengampu. Jadi perbedaannya adalah terletak pada kemandirian puskesmas dalam
memberikan terapi ARV terhadap odha. Oleh karena itu, sumber daya yang diperlukan
sebagai satelit ART lebih kompleks daripada satelit ARV.
2.2.3 Konsep SDM kesehatan di puskesmas
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan dalam penelitian ini yang dimaksud
adalah tersedianya tim tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, konselor,
administrator, petugas laboratorium, farmasi, dll) yang telah dilatih tentang HIV/AIDS
khususnya dalam pelatihan pemberian ART (CST). Menurut PP No.32/1996, sumber
daya manusia (SDM) kesehatan adalah semua orang yang bekerja aktif dibidang
-
27
kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal dibidang kesehatan maupun tidak,
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.
Standar SDM kesehatan puskesmas dalam memberikan dukungan perawatan
dan pengobatan pada ODHA yaitu tersedia tim di fasilitas layanan kesehatan primer
yang menjalin jejaring dengan layanan kesehatan skunder di wilayahnya. Tim tenaga
kesehatan tersebut terdiri dari dokter, bidan, perawat, konselor yang terlatih, pengelola
data, petugas IMS, petugas laboratorium, petugas KIA/KB, petugas PDP, Petugas
PTRM (kalau ada), Kader atau relawan yang dapat melaksanakan tugas sesuai keadaan
(Kemenkes RI, 2011b, 2012)
2.2.4 Konsep infrastruktur (sarana dan prasana) layanan ART
Infrastruktur (fasilitas dan sarana) dalam penelitian ini yaitu tersedianya fasilitas
penunjang seperti ruangan layanan untuk pasien odha dan sarana penunjang
laboratorium lainnya, untuk kegiatan layanan satelit ART yang meliputi jenis, jumlah
dan kecukupannya. Sarana yang tersedia seperti adanya form pencatatan dan pelaporan
(ikhtisar perawatan, kartu pasien, register ART, register stok obat, skrining TB, laporan
bulanan), ruang penyimpanan logistik (ARV dan reagen) mengikuti ruang penyimpanan
pada umumnya.
Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan segala sesuatu baik berupa alat dan /
atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik
peningkatan, pencegahan, pengobatan, maupun pemulihan yang dilakukan oleh
pemerintah/masyarakat (SKN, 2012).
Ketersediaan fasilitas kesehatan dalam penelitian ini terkait dengan tempat yang
digunakan untuk memberikan layanan ART, seperti tersedia ruangan konseling yang
memadai dan cukup privasi. Sedangkan sarana merupakan penunjang dalam
menyelenggarakan layanan kesehatan. Ketersediaan sarana dalam penelitian ini terkait
dengan peralatan pemeriksaan fisik sederhana, peralatan untuk mengumpulkan dan
-
28
transportasi sediaan laboratorium, bahan komunikasi, informasi dan edukasi HIV-AIDS,
kondom, alat suntik seteril (kalau ada) (Kemenkes RI, 2007).
2.2.5 Konsep manajemen dan informasi data layanan HIV/AIDS
Keberhasilan dalam memberikan pelayanan ART tidak terlepas dari peran
manajemen dan informasi data secara baik dan benar. Sistem manajemen dan informasi
data HIV/AIDS yang dimaksud pada penelitian ini adalah tersedianya sistem pencatatan
dan pelaporan yang terintegrasi dengan kegiatan layanan HIV/AIDS baik secara manual
maupun komputer. Manajemen informasi HIV/AIDS dikatakan baik apabila puskesmas
mampu membuat laporan bulanan layanan HIV/AIDS dan program SIHA dari
Kemenkes RI dan mengirimkan laporan tersebut ke rumah sakit pengampu/dinas
kesehatan sesuai kesepakatan.
Manajemen dalam penelitian ini adalah kesiapan pimpinan puskesmas dan staf
untuk melakukan perencanaan, koordinasi, integrasi, regulasi, monitoring dan evaluasi
program kegiatan penanggulangan HIV dan pengembangan layanan satelit ART di
puskesmas. Sedangkan informasi data kesehatan berkaitan dengan pengolahan dan
pengelolaan data pada kegiatan layanan HIV-AIDS di puskesmas. Kegiatan yang
berkaitan dengan informasi dalam penelitian ini adalah kesiapan dalam pengelolaan,
pelaksanaan dan dukungan sumber daya untuk menyelenggarakan pencatatan dan
pelaporan kegiatan layanan satelit ART.
2.2.6 Konsep pembiayaan kesehatan program HIV/AIDS di layanan primer
Peran pembiayaan menjadi hal yang essensial dalam pelaksanaan suatu program.
Pengertian pembiayaan kesehatan dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbagai
upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung
penyelenggaraan layanan kesehatan, guna mencapai derajad kesehatan yang setinggi-
tingginya (SKN, 2012). Sumber pembiayaan /finansial dari penelitian ini yaitu tersedia
-
29
dukungan dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program HIV/AIDS yang berasal
dari berbagai sumber untuk kegiatan layanan ART, yang diketahui dari hasil diskusi
baik dengan kepala puskesmas maupun dengan pemegang kebijakan. Puskesmas
dikatakan siap apabila ada alokasi dana yang dianggarakan untuk kegiatan layanan
HIV/AIDS, seperti untuk kegiatan layanan penemuan kasus HIV, perawatan, dukungan
dan pengobatan odha di puskesmas.
2.2.7 Konsep farmasi dan alat kesehatan layanan ART di puskesmas
Ketersediaan farmasi dan alat kesehatan (alkes) sangat penting dalam
menunjang layanan medis. Sediaan farmasi dan alkes merupakan sarana penunjang
berupa obat-obat esensial dasar dan alat-alat kesehatan untuk menunjang kegiatan
layanan puskesmas. Ketersediaan farmasi dan alat kesehatan dalam penelitian ini adalah
tersedianya alat-alat pemeriksaan kesehatan dasar (seperti tensi, stetoskope, timbangan,
dll.), dukungan obat-obat ARV, dan obat-obatan esensial untuk infeksi oportunistik
meliputi jenis, jumlah dan kualitasnya, yang diketahui dari hasil wawancara dengan
kepala puskesmas dan observasi di lapangan. Puskesmas dikatakan siap apabila ada
dukungan pengadaan obat ARV dan alat kesehatan lainnya dari pemerintah, melalui
dinas kesehatan/rumah sakit.
2.2.8 Konsep stigma dan diskriminasi penyakit HIV
Stigma dalam penelitian ini adalah cap atau tanda yang bersifat negatif baik dari
dalam diri odha maupun dari luar (petugas kesehatan dan masyarakat) akibat penyakit
HIV yang diderita oleh seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perlakuan yang
berbeda diberikan kepada seseorang atau kelompok akibat status HIV yang diderita oleh
seseorang atau kelompok. Stigma dan diskriminasi tersebut dalam penelitian ini dapat
diketahui melalui cara pandang seseorang terhadap penyakit HIV/AIDS pada saat
dilakukan diskusi/wawancara.
-
30
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Framework sistem kesehatan dunia
Pengembangan program jejaring layanan ART bagi penderita HIV ke layanan
primer, tidak terlepas dari konsep sistem kesehatan yang direkomendasikan oleh Badan
Kesehatan Dunia (WHO). Berdasarkan rekomendasi WHO (2011), untuk mewujudkan
universal accsess dalam sistem pelayanan kesehatan terutama di negara-negara
berkembang, perlu dilakukan dengan cara mereformasi terhadap enam blok sistem
bangunan kesehatan.
Berikut adalah kerangka sistem kesehatan menurut WHO seperti terlihat pada
skema di bawah ini.
Gambar 2.4 Kerangka six building block sistem kesehatan WHO.
(Sumber : www.who.int/health services/health systems framework/en)
Sejalan dengan konsep sistem kesehatan WHO tersebut, pengelolaan kesehatan
di Indonesia tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yang terdiri dari:
subsistem upaya kesehatan; penelitian dan pengembangan kesehatan; pembiayaan
kesehatan; sumber daya manusia kesehatan; sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
makanan; manajemen, informasi, dan regulasi; dan pemberdayaan masyarakat (SKN,
2012). Konsep tersebut juga tertuang dalam strategi penanggulangan HIV-AIDS di
Service Delivery
Health Workforce
Information
Medical Products, Vaccines
and Technologies
Financing
Leadership &
Governance
Responsiveness
Improved Health
Improved Efficinecy
Access
Coverage
Efficiency
Quality
Safety
Risk Protection
-
31
Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.21 Tahun 2013 tentang
penanggulangan HIV dan AIDS, diantaranya: meningkatkan pembiayaan
penanggulangan HIV/AIDS; meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber
daya manusia (SDM) yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV-AIDS;
meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan pengobatan, dan pemeriksaan penunjang
HIV/AIDS, serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan
bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV/AIDS; dan meningkatkan
manajemen penanggulangan HIV/AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan
berhasilguna (Kemenkes RI, 2013c, 2013d).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pedoman penerapan layanan
komprehensif berkesinambungan (Kemenkes RI, 2012) menjelaskan bahwa, integrasi
dukungan, perawatan dan pengobatan HIV/AIDS ke dalam layanan primer, dapat
meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan program. Strategi program treatment 2.0
yang dicanangkan oleh WHO tujuannya adalah untuk penyederhanan pemberian terapi
ARV, penggunaan teknik diagnosis dan pemantauan sederhana di tempat, mengurangi
biaya, mengadaptasi sistem layanan sesuai kondisi setempat dan melibatkan
masyarakat.
Ekman, et al. (2008), menjelaskan tiga cara integrasi dapat dicapai yaitu
integrasi pada tingkat layanan kesehatan (termasuk integrasi layanan dan perawatan
terpadu), integrasi manajemen (alokasi sumber daya, pelatihan dan pengawasan dan
informasi sistem) dan integrasi organisasi (koordinasi antara penyedia, lintas sektoral
dan masyarakat). Sejalan dengan strategi penanggulangan HIV di Indonesia, perlunya
meningkatkan cakupan dan kualitas layanan pencegahan dan perawatan HIV melalui
layanan komprehensif dan berkesinambungan di tingkat kabupaten/kota(Kemenkes RI,
2012, 2013e).
-
32
2.3.2 Teori Kurt Lewin
Anderson dalam Notoamodjo (2012: 233-235), menjelaskan prilaku individu
dalam penggunaan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor karakterisitik
predisposisi, karakteristik pendukung dan karakteristik kebutuhan. Karakteristik
predisposisi digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu cenderung
menggunakan layanan kesehatan yang berbeda-beda, tergantung dari ciri-ciri demografi,
struktur sosial dan manfaat kesehatan. Karakterisktik pendukung dalam pelayanan
kesehatan akan dipengaruhi oleh kemampuan konsumen untuk membayar. Sedangkan
Karakteristik kebutuhan, penggunaan pelayanan kesehatan semata-mata terwujud dalam
tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.
Kurt Lewin (1970), berpendapat perilaku manusia adalah suatu keadaan yang
seimbang antara kekuatan pendorong (driving force) dengan kekuatan penahan
(restining force). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidak seimbangan antara
kedua kekuatan tersebut dalam diri seseorang, sehingga menimbulkan perubahan
prilaku. Perubahan prilaku pada diri seseorang bisa terjadi oleh karena kekuatan
pendorong meningkat, sedangkan kekuatan penahan bisa tetap atau menurun
(Notoatmodjo, 2012). Hal tersebut penting diketahui ketika mempelajari prilaku odha
dalam memilih layanan ARV di fasilitas kesehatan, oleh karena penyakit HIV masih
terjadi stigma dan diskriminasi di masyarakat.
2.3.2 Framework stigma dan diskriminasi
Stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV/AIDS menimbulkan hambatan
utama untuk mengakses dukungan dan perawatan bagi odha (Sekoni and Owoaje,
2013). Stigma terhadap odha terjadi oleh karena penyakit HIV dianggap sebagai
penyakit menular dan mematikan, kurangnya pengetahuan terhadap penyakit tersebut,
takut membahas HIV dan AIDS, penolakan dari budaya perilaku yang terkait dengan
HIV (pekerja seks, pengguna narkoba), dan ketidaksetaraan gender, serta kebijakan
-
33
yang tidak tepat termasuk menghubungkan HIV dengan penyakit sosial (Parker and
Aggleton, 2003). Akibat stigma dan penolakan tersebut akan terjadi diskriminasi dalam
pemberian layanan.
Gambar 2.3 di bawah ini menjelaskan konsep terjadinya stigma dan diskriminasi
terhadap penyakit HIV serta dampaknya terhadap akses dan pemanfaatan program
layanan kesehatan dalam penanggulangan HIV di masyarakat.
Gambar 2.5
Konsep stigma dan diskrimiminasi, akses dan pemanfaatan layanan kesehatan. (Sumber : HIV/AIDS –related stigma and discrimination (modifikasi). Horizon Program. Parker, et al., 2003)
2.4 Model Penelitian
Berdasarkan kajian literatur penerapan layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV/AIDS di layanan primer, dapat disusun model penelitian seperti
terlihat pada gambar di bawah. Model penelitian ini mengkombinasi teori framework
sistem kesehatan WHO, Teori Kurt Lewin dan teori framework stigma dan diskrimansi
Penyebab Stigma: 1. HIV adalah penyakit
menular dan mematikan.
2. Kurangnya pengetahuan.
3. Takut membahas HIV dan AIDS.
4. Penolakan dari budaya perilaku yang terkait dengan HIV (pekerja seks, pengguna narkoba)
5. Ketidaksetaraan gender.
6. Kebijakan yang tidak tepat termasuk menghubungkan HIV dengan penyakit sosial.
Efek :
1. Dampak negatif pada pencegahan dan pengendalian HIV, sehingga mengakibatkan penyebaran HIV di masyarakat
2. Mengurangi akses dan pemanfaatan layanan terkait HIV.
Takut
Disk
rimin
asi
Rasa
bersalah
dan Malu
Stigma dan
Penolakan
-
34
pada penyakit HIV, yang berperan dalam kesiapan puskesmas untuk dikembangkan
sebagai layanan satelit ART.
Pada diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa, beberapa faktor yang berperan
dalam pengembangan layanan satelit ART adalah faktor internal layanan puskesmas
sendiri sebagai provider dan faktor eksternal yang meliputi dukungan kebijakan,
masyarakat, prilaku odha sebagai pengguna layanan dan faktor-faktor lain. Faktor-
faktor tersebut bisa berfungsi sebagai pendorong maupun penghambat pelaksanaan
pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, tergantung dari situasi dan kondisi
yang terjadi di lapangan.
Gambar 2.6 Model penelitian pengembangan layanan satelit ART
di Puskesmas se-Kabupaten Badung
Kesiapan Pengembangan
Layanan Satelit ART di
Puskesmas
INTERNAL PUSKESMAS
1. SDM Kesehatan.
2. Infrastruktur (fasilitas
dan sarana)
3. Sistem Manajemen
informasi HIV/AIDS
4. Pembiayaan /finansial
5. Ketersediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan
6. Sikap dan Motivasi
Kebijakan
Pemerintah
Masyarakat
FAKTOR PENDORONG
FAKTOR PENGHAMBAT
Odha
Kebijakan
Pemerintah Masyarakat
Odha
EKTERNAL
1. Budaya
stempat.
2. Politik
3. Peran
Swasta.
4. LSM
5. Tenaga
penjangkau
6. Dukungan
rumah sakit.
EKSTERNAL PUSKESMAS
EKSTERNAL PUSKESMAS
-
35
Faktor-faktor dari internal puskesmas yang berperan meliputi ketersediaan
sumber daya tenaga kesehatan yang telah dilatih CST, fasilitas dan sarana sebagai
penunjang sebagai satelit ART, pembiayaan/finasial, sistim informasi HIV-AIDS di
puskesmas, ketersediaan obat ARV dan infeksi Oportunistik, sikap dan motivasi
petugas puskesmas dalam pelaksanaan program pengembangan HIV/AIDS, dieksplorasi
melalui wawancara mendalam kepada kepala puskesmas dan pemegang program
HIV/AIDS di puskesmas.
Faktor-faktor eksternal yang berperan terhadap kesiapan layanan puskesmas
adalah dukungan dari kebijakan dan pemegang kebijakan pemerintah daerah setempat,
dukungan rumah sakit, peran partisipasi masyarakat terhadap program penanggulangan
dan perawatan HIV, peran LSM, swasta dan tenaga penjangkau lapangan, serta persepsi
odha sebagai pengguna layanan puskesmas. Faktor eksternal tersebut diexplorasi
melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah terhadap pihak-pihak
terkait.