bab ii kajian teori 2.1 komunikasi massa -...

24
16 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Komunikasi Massa: Di antara berbagai macam level komunikasi yang telah diuraikan oleh para ahli, komunikasi massa memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan Ilmu Komunikasi, hal tersebut disebabkan oleh, beberapa keunggulannya yang dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar, dan sekaligus menjadi kontrol sosial bagi masyarakat, dengan menyebarkan ide ide baru. Berikut ini adalah beberapa ciri yang membedakan komunikasi massa dengan level komunikasi yang lain (Nurudin 2008:19-31) : a) Komunikator dalam komunikasi massa melembaga, yang artinya gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga yang menyerupai sebuah sistem. Adapun pengertian sistem yang merujuk pada “Sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi”. b) Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen atau beragam, yang berarti terdiri dari beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, serta memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda. c) Pesannya bersifat umum, yang memiliki arti pesan pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan pesannya ditujukan pada khalayak yang plural. d) Komunikasinya berlangsung satu arah, yang merujuk pada khalayak yang tidak bisa langsung memberikan respons kepada komunikatornya (media massa yang bersangkutan). Kalaupun bisa sifatnya tertunda.

Upload: phunghanh

Post on 18-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Komunikasi Massa:

Di antara berbagai macam level komunikasi yang telah diuraikan oleh

para ahli, komunikasi massa memberikan kontribusi yang besar dalam

perkembangan Ilmu Komunikasi, hal tersebut disebabkan oleh, beberapa

keunggulannya yang dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar, dan

sekaligus menjadi kontrol sosial bagi masyarakat, dengan menyebarkan ide ide

baru. Berikut ini adalah beberapa ciri yang membedakan komunikasi massa

dengan level komunikasi yang lain (Nurudin 2008:19-31) :

a) Komunikator dalam komunikasi massa melembaga, yang artinya

gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam

sebuah lembaga yang menyerupai sebuah sistem. Adapun pengertian

sistem yang merujuk pada “Sekelompok orang, pedoman, dan media

yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide,

gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat kesepakatan

dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi

sumber informasi”.

b) Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen atau beragam,

yang berarti terdiri dari beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status

sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, serta memiliki agama

dan kepercayaan yang berbeda.

c) Pesannya bersifat umum, yang memiliki arti pesan pesan dalam

komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau kelompok

masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan pesannya ditujukan pada

khalayak yang plural.

d) Komunikasinya berlangsung satu arah, yang merujuk pada khalayak yang

tidak bisa langsung memberikan respons kepada komunikatornya (media

massa yang bersangkutan). Kalaupun bisa sifatnya tertunda.

17

e) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan yang berarti bahwa

dalam komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran

pesan pesannya. Serempak berarti khalayak bisa menikmati media

tersebut hampir bersamaan.

f) Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis, yang memiliki arti

bahwa media sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada

khalayaknya sangat membutuhkan peralatan teknis. Peralatan teknis

dimaksudkan kepada media elektronik.

g) Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper yang sering juga disebut

dengan penapis informasi/penjaga gawang, adalah orang yang sangat

berperan dalam penyebaran informasi media massa. Gatekeeper ini

berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi,

menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan

lebih mudah dipahami.

Menurut sejarah, awal kemunculan komunikasi massa, bermula dari

semakin berkembangnya teknologi, dan keinginan untuk menyampaikan ide,

gagasan, serta propaganda politik dengan menggunakan media yang memiliki

kemampuan untuk menjangkau khalayak luas.

Nurudin menjelaskan bahwa komunikasi masa adalah komunikasi melalui

media massa (media cetak dan elektronik). Sebab awal perkembangannya,

komunikasi massa berasal dari kata media of mass communication (media

komunikasi massa), yang merujuk pada media massa atau saluran yang dihasilkan

oleh teknologi modern (Nurudin 2007:4).

Kemajuan teknologi sebagaimana diyakini memberikan kontribusi

terhadap perkembangan komunikasi massa, menurut Gunaratne (Mc Quail

2011:27) telah terjadi sejak awal penemuan mesin cetak oleh Gutenberg.

Gutenberg dianggap memberikan kontribusi terhadap perkembangan teknologi

komunikasi, karena penemuan mesin cetak pada abad ke 15, meskipun jauh

sebelumnya telah diketahui dan diterapkan di China dan Korea mengenai teknik

percetakan dan penggunaan huruf yang dapat digeser geser.

18

Penyebaran ide skala besar (massal), telah terjadi sejak masa lampau, yaitu

pada penyebaran mengenai kesadaran dan kewajiban politik serta agama. Pada

awal abad pertengahan, gereja di Eropa memiliki alat yang terperinci dan efektif

untuk memastikan penyiaran kepada semua orang tanpa terkecuali. Peristiwa ini

dapat dikatakan sebagai komunikasi massa, kendati sebagian besar bebas dari

bentuk media seperti pengertian saat ini, terlepas dari adanya teks yang berkaitan

dengan agama. Kemunculan media independen dalam bentuk cetak, menimbulkan

kekhawatiran bagi penguasa gereja dan Negara, hal tersebut didasari pada

pemikiran mengenai potensi kehilangan kontrol yang diwakili media, dan

penyebaran ide ide baru yang bersifat menyimpang. Propaganda negatif yang

dilancarkan pada masa perang agama yang terjadi abad ke-16 menjadi bukti. Hal

tersebut merupakan peristiwa bersejarah ketika komunikasi massa, yaitu media

cetak memperoleh definisi sosial dan budaya tertentu yang tidak dapat ditarik

kembali (Mc Quail 2011:26).

Dalam kajian komunikasi massa terdapat perbedaan istilah antara mass

communication dan mass communications, Back dan Whitney (Nurudin 2007:5-6)

menjelaskan bahwa mass communications lebih menunjuk pada media mekanis

yang digunakan, yakni media massa, sedangkan mass communication lebih

menunjuk pada teori atau proses teoritik. Nurudin menjelaskan bahwa tidak perlu

membedakan secara tajam mengenai istilah communication dan communications,

sebab bahasan komunikasi massa tidak lepas dari proses dan peran media

massanya yang saling mendukung satu sama lain (Nurudin 2007:5-6).

Selain memiliki perbedaan dari istilah antara mass communications dan

mass communication, komunikasi massa, juga mempunyai batasan konseptual

yang membedakan arti, massa dalam komunikasi massa. Bramson (Mc Quail

2011:60) menjelaskan bahwa massa awalnya cenderung diasosiasikan secara

negatif, yaitu merujuk pada gerombolan, atau orang biasa yang biasanya

dipandang tidak berpendidikan, tak acuh, dan berpotensi irasional untuk dikontrol

jika masyarakat ini berubah menjadi perusuh atau pengacau, namun di sisi lain

juga dapat dipandang positif, yang kerap dikonotasikan dengan solidaritas pekerja

biasa yang dibentuk melawan ketertindasan.

19

Konsep massa yang kerap digunakan untuk kaum kelas rendah, mulai

mengalami perubahan makna sejak munculnya media yang kemampuannya dalam

hal ini mampu menjangkau orang dalam jumlah banyak. Blummer (Mc Quail

2011:63) mulai mengenalkan istilah khalayak yang diyakini lebih besar dari

kelompok, kerumunan, maupun publik. Khalayak ini sangat tersebar dan

anggotanya tidak mengenal satu sama lain. Khalayak umumnya heterogen dalam

hal yang terdiri atas sejumlah besar orang dari berbagai strata sosial dan kelompok

demografi,tetapi juga homogen dalam hal pilihan objek ketertarikan tertentu dan

menurut persepsi mereka yang ingin dimanipulasi. Serupa dengan hal tersebut,

Nurdin menjelaskan bahwa, massa dalam komunikasi massa lebih menunjuk pada

penerima pesan seperti khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca

yang berkaitan dengan peran media massa (Nurudin 2007:4).

Berdasarkan ragam bentuknya, media massa dibedakan menjadi media

elektronik (televisi,radio), media cetak (surat kabar, majalah dan tabloid), buku,

film, dan yang terbaru yaitu internet (Nurudin 2007:5).

Di Indonesia beragam bentuk media massa, yang merupakan sarana

komunikasi massa, telah digolongkan sebagai lembaga sosial, atau disebut dengan

pers, oleh Dewan Perwakilan Rakyat, berikut bunyi Undang Undang nomor 40

tahun 1999 pasal 1 ayat 1 :

“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi

massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,

dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,

suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik

maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan

media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran

yang tersedia”

(Tebba 2005:183).

Pers di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu pers nasional dan pers

asing, pers nasional adalah pers yang dikelola oleh perusahaan pers Indonesia,

sedangkan pers asing adalah pers yang dikelola oleh perusahaan pers asing (Tebba

2005:184).

20

2.2 Surat Kabar

Surat kabar dipercaya memiliki bentuk inovasi yang lebih baik daripada

buku yang dicetak, terutama dengan penemuan bentuk literatur, sosial dan budaya

baru. Keunggulannya dibandingkan dengan bentuk komunikasi budaya yang lain,

terletak pada orientasinya kepada individu dan kepada realitas, kegunaannya serta

sifat yang sekular, diyakini cocok bagi kebutuhan kelas baru, yaitu pelaku bisnis

yang berbasis di kota kecil. Mc Quail menjelaskan lebih lanjut bahwa

kebaruannya bukan hanya pada teknologi atau cara penyebarannya saja, tetapi

juga pada fungsinya bagi kelas tertentu dalam perubahan iklim sosial politik yang

lebih liberal (Mc Quail 2011:30-31).

Dalam sejarah perkembangannya, pamflet, dan buletin merupakan

purwarupa dari surat kabar, yang bahkan telah ditemukan selama hampir dua ratus

tahun setelah penemuan mesin cetak, yaitu sejak akhir abad ke 16 dan awal abad

ke 17 (Mc Quail 2011:30). Raymond (Mc Quail 2011:30) menjelaskan bahwa

peran buku mulai tergantikan dengan pendahulu surat kabar ini, buletin yang

berisi tentang peristiwa baru dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan serta jual

beli Internasional, mulai disebarkan melalui sistem layanan pos. Aktivitas ini

merupakan perluasan dari aktivitas lama yang dilakukan pemerintah dengan

tujuan diplomatik, komersial maupun pribadi.

Surat kabar awal mulai diterbitkan secara komersial, atau dijual untuk

umum dengan karakternya yang terbuka, sehingga masyarakat dapat

menggunakannya untuk memperoleh informasi, rekaman, isu pengalihan dan

gosip. Surat kabar komersial pada abad ke 17, tidak berasal dari satu sumber

tertentu, tetapi merupakan kumpulan penerbit dan pencetak. Kerajaan atau

pemerintah juga menerbitkan surat kabar, dengan ciri khas yang tidak jauh

berbeda, hanya saja lebih difungsikan sebagai alat pemerintah dan perwakilan dari

suara penguasa (Mc Quail 2011:30).

Semangat perjuangan untuk mewakili kebebasan, seiring dengan kemajuan

teknologi dan ekonomi, merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada awal

sejarah surat kabar sebagai lawan potensial dari pemerintah, hal tersebut tampak

pada kekerasan yang dilakukan terhadap para pencetak, penyunting dan wartawan.

21

Perjuangan surat kabar yang mengusung kebebasan berpendapat, dianggap

sebagai pergerakan hak hak kebebasan, demokrasi, yang mewakili warga negara

dalam jumlah besar (Mc Quail 2011:31). Penguasa sering menganggap pers yang

melakukan perlawanan sebagai pihak yang menyulitkan dan menyebalkan,

meskipun menurut Schroeder (Mc Quail 2011:32) pers terkadang juga bekerja

untuk pemerintah.

Surat kabar di Indonesia sebagaimana telah ditetapkan menurut aturan

hukum yang berlaku sebagai lembaga sosial, diharapkan mampu melaksanakan

fungsinya sesuai dengan undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pasal

3 ayat 1 dan 2 (Tebba 2005:185), yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,

pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat

berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

2.3 Berita

Berita dan surat kabar, merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sebab

sebagaimana sejarah dan fungsinya, surat kabar diyakini sebagai salah satu media

massa yang menyampaikan informasi atau yang disebut dengan berita kepada

target pembacanya. Secara sederhana, berita adalah jalan cerita tentang peristiwa.

Hal ini dapat dikatakan bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal yaitu

peristiwa dan jalan cerita. Jalan cerita tanpa peristiwa, dan peristiwa tanpa cerita

tidak dapat dikatakan sebagai sebuah berita (Tebba 2005:55).

Tidak semua cerita dan peristiwa dalam kehidupan sehari hari dapat

dimuat dalam pemberitaan, Tebba menjelaskan lebih lanjut bahwa peristiwa yang

diberitakan tergantung pada beberapa hal, yaitu:

”a) Aktualitas.

b) Jarak (dekat jauhnya) peristiwa dari khalayak (pembaca,

pendengar, penonton).

c) Penting tidaknya orang/figur yang diberitakan.

d) Keluarbiasaan peristiwa.

e) Akibat yang mungkin ditimbulkan dari berita itu.

f) Ketegangan dalam peristiwa.

g) Konflik dalam peristiwa.

h) Perilaku seks.

22

i) Kemajuan kemajuan yang diberitakan.

j) Emosi yang ditimbulkan oleh peristiwa.

k) Humor yang terkandung dalam peristiwa”

(Tebba 2005:55).

Berita juga dapat dibagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut

pandang melihatnya, seperti berikut:

”a) Sifat kejadian yang dibedakan antara berita yang terduga

seperti misalnya perayaan hari nasional, dan dapat juga

dibedakan sebagai berita yang tidak terduga, misalnya saja

ledakan bom, kebakaran, kecelakaan lalu lintas, dan

semacamnya.

b) Cakupan isi berita yang terbagi pada berita politik, ekonomi,

kebudayaan, pendidikan, hukum, seni, agama, kejahatan,

olahraga, militer, laporan ilmu pengetahuan dan teknologi,

serta sebagainya.

c) Bentuk penyajian berita yang dibedakan, seperti berita

langsung (sportnews), berita komprehensif (Comprehensive

news), dan feature” (Tebba 2005:56).

Sebagaimana berita telah dibedakan berdasarkan sudut pandang

melihatnya, dalam hal menulispun setiap berita memiliki ketentuan penulisan

yang berbeda, seperti misalnya berita langsung, biasanya ditulis dengan piramida

terbalik, dimana semua yang dianggap paling penting diletakkan pada lead atau

intro. Oleh sebab itu dalam sebuah lead, sebaiknya mencakup 5 W + 1 H, yaitu

(Tebba 2005:57):

”a) What (Apa yang terjadi)

b) Who (Siapa yang terlibat dalam peristiwa)

c) Where (Dimana peristiwa terjadi)

b) When (Kapan peristiwa terjadi)

c) Why (Mengapa terjadi)

d) How (Bagaimana melihat peristiwanya)”

Piramida terbalik dibutuhkan agar khalayak yang terlalu sibuk, bisa tetap

mengikuti peristiwa yang terjadi, selain itu gaya piramida terbalik juga

memudahkan para redaktur, produser atau penyunting untuk memotong bagian

berita yang kurang penting yang terletak pada bagian bawah, ketentuan seperti ini

biasanya berlaku pada media cetak seperti majalah atau surat kabar (Tebba

2005:57).

23

2.4 Rubrik

Setiap materi berita media cetak, yang diterbitkan, baik itu surat kabar,

majalah, maupun semacamnya, secara umum telah dikategorikan ke dalam

beberapa rubrik yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat

memiliki arti sebagai kepala ruangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah,

dan sebagainya: : surat kabar membuka -- untuk menampung pendapat pembaca.

Effendy menjelaskan, bahwa secara etimologi rubrik berasal dari bahasa Belanda

yaitu Rubriek, yang memiliki definisi ruangan pada halaman surat kabar, majalah

atau media cetak lainnya, mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan

masyarakat; misalnya rubrik wanita, rubrik olahraga, rubrik pendapat pembaca

dan sebagainya (Effendy 1989:316).

2.5 Wacana Perspektif Foucault

Bahasan mengenai wacana memiliki peran penting, dalam kajian media

massa, termasuk diantaranya membongkar praktik kekuasaan. Serupa dengan hal

tersebut Foucault (Eryanto 2001:65) menjelaskan bahwa wacana tidaklah

dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan lebih

kepada sesuatu yang memproduksi lain seperti misalnya sebuah gagasan, konsep

atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,

konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Bahkan lebih lanjut diyakini

bahwa, suatu wacana memiliki keterkaitan dengan kekuasaan, karena strategi

kuasa berlangsung di mana-mana.

Eriyanto menjelaskan lebih lanjut bahwa, jika banyak teoretisi lebih

memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih

kepada individu, subjek yang kecil. Kuasa tidak dimaknai dalam term

"kepemilikan", di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu,

melainkan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi

yang secara strategis berkaitan satu sama lain.

Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di

mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan

24

dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi

menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam.

Sebagai contoh dapat disebut hubungan-hubungan sosial ekonomi, hubungan-

hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas

kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.

Setiap rnasyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut

kebenaran: beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada

instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada

macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan

kebenaran (Eryanto 2001:65-66).

Bagi Foucault (Eryanto 2001:66), kekuasaan selalu terakumulasikan

melalui pengetahuan, yang memiliki efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, selalu

memproduksi pengetahuan sebagai dasar dari kekuasaannya, yang dalam hal ini

hampir tidak mungkin mampu berdiri jika tidak ditopang oleh suatu ekonomi

politik kebenaran. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada

kuasa tanpa pengetahuan, konsep ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui

kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi

kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat

pengetahuan dan wacana tertentu, atau dengan kata lain suatu wacana

menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.

Kebenaran yang dimaksud oleh Foucault (Eryanto 2001:67), tidak

dipahami sebagai suatu konsep yang abstrak, melainkan sengaja diproduksi setiap

kekuasaan, untuk menghasilkan kebenaran sendiri yang menggiring khalayak

untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap

kekuasaan selalu berpura pura menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang

disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.

Foucault (Eryanto 2001:71-72 ) mengatakan lebih lanjut bahwa wacana

yang menghasilkan hubungan antara kekuasaan disatu sisi dan pengetahuan disisi

lain, dapat disimbolkan, bukan hanya secara referensial, melainkan juga produktif

dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu, antara lain melalui bahasa,

25

moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu,

melainkan turut menghasilkan perilaku nilai-nilai, dan ideologi.

Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif melalui penindasan dan

pengekangan, sebagaimana menurut analisis Foucault (Eryanto 2001:68-69)

terhadap hilangnya bentuk menghukum pada paruh kedua abad ke-18 yang

awalnya masih berbentuk hukuman keji dengan, pancung, dan cambuk yang

bahkan dipertontonkan di depan publik, hingga kemudian digantikan oleh

pelaksanaan hukuman yang tidak sewenang wenang, dan semakin tidak

menyentuh tubuh seperti misalnya hukuman penjara yang membentuk publik

menjadi disiplin. Dengan kata lain publik dikontrol, dan diatur, secara positif,

yaitu dengan undang-undang yang memuat ketentuan penghukuman ditetapkan.

Eriyanto menjelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran Foucault, bahwa

sebagaimana, kehidupan bukan diatur melalui serangkaian represi, melainkan

melalui kekuatannya memberikan definisi dan melakukan regulasi, maka

berbagai regulasi itu di antaranya yang menentukan manusia, memilah,

mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah,

mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah mana

yang tidak.

Di sini, kekuasaan dipahami sebagai serangkaian prosedur yang

memproduksi, rnenyebarkan, dan mereproduksi pernyataan pernyataan. Misalnya,

definisi normal dan abnormal jelas merupakan pendefinisan sosial. Lewat definisi

semacam ini, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik seperti ini, yang

tidak norrnal sehingga tidak baik seperti itu. Kalau ingin baik dan disebut normal,

berperilakulah seperti ini, sebab kalau berperilaku seperti itu tidak normal dan

tidak baik. Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga

dibentuk, dikontrol. dan disiplinkan. Misalnya, pembagian kerja dalam rumah

tangga. Wacana yang berkembang menyatakan laki laki yang bekerja di luar

rumah menghidupi keluarganya, sementara perempuan berada di dalam rumah

mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak.

Definisi pembagian kerja perempuan dan laki laki ini mernbentuk individu

bagaimana seharusnya yang baik itu dan bagaimana pula menjadi perempuan

26

yang baik. Keberhasilan laki laki kalau ia bisa menghidupi keluarganya, dan akan

dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaliknya

dikenakan pada perempuan. Kalau ada perempuan yang bekerja, apalagi malam

hari, akan ditanggapi secara buruk menelantarkan anak anak. Sehingga kalau

karena pekerjaannya itu, anak-anak menjadi tidak terurus dan nakal, maka yang

disalahkan adalah perempuan karena ia memang yang bertugas mendidik anak-

anak. Berbagai simbol wacana seperti moral laki laki baik seperti ini, wanita baik

seperti itu), aturan hukum (wanita yang bekerja di malam hari harus meminta izin

dari suami) membentuk jaring bagaimana hubungan kekuasaan itu hendak

dikontrol dan didisiplinkan (Eryanto 2001:72-73).

Selain regulasi yang didefinisikan dalam norma masyarakat, Eriyanto juga

menjelaskan bahwa regulasi dalam perspektif Foucault dapat dilihat pada undang

undang yang dibuat. Kepada individu diberikan aturan tertulis mengenai hukuman

bagi setiap pelanggaran. Hukuman diterapkan bukan untuk balas dendam, tetapi

mencegah pengulangan tindak kejahatan. Pelaksanaan hukuman diarahkan pada

kesadaran, hasrat, dan kehendak individu, menjadi penaklukan ide. Gagasan untuk

berbuat jahat dikalahkan dengan pikiran mengenai beratnya hukuman. Kuasa

menghukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada

individu.

Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa,

melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu yang mampu

menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat Di dalam

prosedur pemenjaraan, hukuman dilaksanakan bukan untuk menghapus kejahatan

atau penjahat, melainkan untuk mengoreksi, melatih, dan menormalkan individu.

Foucoult menjelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan dengan sengaja menghasilkan

realitas, normalisasi, regulasi, dan bahkan melalui wacana, yang tujuannya

mengoreksi serta membuat individu menjadi patuh dan berguna (Eryanto

2001:69).

Foucault (Eryanto 2001:67) menolak pandangan yang menyatakan

kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa seperti raja, negara, pemerintah, ayah,

laki-laki, sebagaimana subjek tersebut kerap dianggap melarang, membatasi, atau

27

menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kekuasaan dalam

pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi

bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk

pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk

subjektivitas dan perilaku lebih dari secara sederhana.

Serupa dengan hal tersebut Staple (Eryanto 2001:69-70) menyatakan

pendapatnya bahwa, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin,

normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern

atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan

dikontrol melalui sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi

lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan

masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Kekuasaan dalam masyarakat modern

terutama tidak bekerja secara terang-terangan, dengan adanya Raja yang

memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur

kehidupan seseorang.

Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, dan tanpa disadari dengan

praktik disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini di antaranya melalui penetapan aturan

dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang

menghasilkan keteraturan. Kontrol juga dilakukan dengan memberi ganjaran bagi

yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar, bahkan kontrol mental lewat

aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut, individu modern dikontrol tanpa

sadari. Semakin dia merasa bebas, sesungguhnya semakin ia masuk dalam

perangkap kekuasaan yang mengontrol dan mengatur dirinya.

Eriyanto secara keseluruhan menguraikan perspektif Foucoult mengenai

wacana dalam 2 bagian, yaitu produksi wacana dan wacana terpinggirkan,

sebagaimana berikut:

A. Produksi Wacana

Wacana dan keterkaitannya dengan realitas, menjadi salah satu fokus

penting bagi Foucoult, untuk membongkar praktik kekuasaan. Realitas itu sendiri,

menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan, apabila tidak mempunyai akses

28

dengan pembentukan struktur diskursif. Persepsi serta cara menafsirkan objek dan

peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif. Struktur

diskursif membuat objek atau peristiwa terlihat nyata.

Struktur wacana dari realitas, tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak

dan tertutup. Pandangan tentang suatu objek dibentuk dalam batas batas yang

telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut, sebagaimana wacana dicirikan

oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan

dipandang benar sedangkan yang lain tidak. Dengan kata lain wacana tertentu

membatasi pandangan khalayak, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-

batas yang telah ditentukan, serta mengalihkan khalayak pada jalan pikiran

tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Ketika aturan dari wacana

dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan.

Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang

tak diterima mengenai suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur

diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.

Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan

gabungan dari peristiwa-peristiwa ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh

kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, khalayak mengkategorisasi dan

menafsirkan pungalaman serta peristiwa, dengan mengikuti struktur yang tersedia

dan dalam menafsirkan tersebut, khalayak sukar keluar dari struktur diskursif

yang terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar, dan secara

sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur

diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir.

Mekanisme struktur diskursif tersebut dapat dilihat dari bagaimana suatu cara

berpikir didikte dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh

struktur diskursif, bukan dengan yang lain (Eryanto 2001:73-76).

B. Wacana Terpinggirkan

Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat beragam wacana yang berbeda

satu sama lain, sehingga kemudian kekuasaan memilih dan mendukung wacana

tertentu, sebagaimana wacana yang dipilih oleh kekuasaan menjadi dominan,

29

sedangkan wacana wacana lainnya akan menjadi “terpinggirkan”(marginalized)

atau “terpendam” (submerged).

Terdapat dua konsekuensi dari wacana dominan. Pertama, wacana

dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami.

Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena kekuasaan dalam wacana

dominan memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi

hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain.

Kedua. struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran.

Batas batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan, tetapi juga

menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap

kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya menciptakan

rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu

ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan,

disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu, dalam analisis

wacana perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan

bagaimana reproduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat.

Analisis wacana bukanlah melihat apa yang sebenarnya terjadi, tetapi

bagaimana setiap kelompok, terutama yang berkuasa, memproduksi kebenaran

atas suatu wacana. Produksi kebenaran itu terutama akan disebarkan dengan

berbagai organ yang dimiliki.

Wacana semacam ini tidak banyak dikedepankan dalam pemberitaan.

Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pemberitaan ini membawa

beberapa kesimpulan. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk

mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu

peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah

wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam

perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa

jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang,

suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan, dan

menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu, seperti misalnya

wacana yang kerap memarjinalkan kaum perempuan, hal tersebut dapat dilihat

melalui terbentuknya wacana dominan bahwa perempuan itu lemah, di bawah

laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.

30

2.6 Ideologi

Eriyanto menjelaskan bahwa salah satu konsep ideologi yang penting

untuk dibahas dalam wacana media adalah konsep ideologi Althusser,yang

memfokuskan pandangannya pada dialektika yang dikarakteristikkan dengan

kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. (Eriyanto 2001:98)

Salah satu ciri khas dari teori Althusser menurut Cahyadi (Eriyanto

2001:99) mengenai ideologi, adalah,konsepnya mengenai subjek dan ideologi,

yang pada intinya saling berkaitan, yaitu ideologi memerlukan subjek dan subjek

memerlukan ideologi. Ideologi yang merupakan rumusan dari individu individu

tertentu, keberlakuannya menuntut tidak hanya kelompok yang bersangkutan

tetapi juga selain membutuhkan subjek,ideologi turut menciptakan subjek, atau

yang dikenal dengan istilah interpelasi. Dalam interpelasi individu konkret

direkrut menjadi subjek ideologi.

Althusser (Eriyanto 2001:99-100) berpendapat bahwa kehidupan manusia

sebagai subjek sangat berkaitan dengan struktur yang bukan ciptaannya melainkan

ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Oleh karenanya individu individu yang

merupakan subjek bagi struktur tidak lain hanya dimanfaatkan untuk pelayanan

kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.

Macdonell (Eriyanto 2001:100) berpandangan bahwa konsepsi Althusser

atas ideologi , menempatkan seseorang bukan pada posisi tertentu dalam suatu

relasi sosial tetapi juga hubungan antara individu dengan relasi sosial tersebut.

Relasi yang dimaksudkan, adalah imajiner, karena ia bekerja melalui

pengetahuan/ pengakuan dan identifikasi untuk menempatkan atau menyapa

seseorang dalam posisi tertentu. Ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek

dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu.

Tolson (Eriyanto 2001: 101-102) menjelaskan lebih lanjut bahwa

interpelasi juga terjadi dalam isi media. Teks media diyakini selalu menyapa

seseorang dan menempatkan seseorang ketika harus membaca atau melihat suatu

teks, oleh karena isi media pada dasarnya bukan ditujukan untuk dirinya sendiri,

melainkan ditujukan untuk berkomunikasi dengan khalayak. Interpelasi berkaitan

dengan identifikasi, bagaimana, dan dengan siapa seseorang mengidentifikasi

31

dirinya dari teks yang disediakan. Bagian yang penting dari interpelasi adalah,

menunjukkan posisi ideologi yang diambil ketika membaca teks media.

Ideologi dalam keterkaitannya dengan wacana, yang dalam hal ini adalah

teks berita, kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak netral dan berlangsung

secara alamiah, karena didalamnya kerap diisi dengan kepentingan kepentingan

media massa untuk berebut pengaruhnya terhadap khalayak. Oleh karena itu,

cerminan dari ideologi suatu media, bisa dilihat dari teks berita yang

dimunculkan, seperti misalnya ideologi femininis, antifeminis, kapitalis, sosialis,

dan sebagainya (Eriyanto2001:14)

2.7 Feminisme

Sudarminta (Hardiman 2010:201) menjelaskan bahwa feminisme adalah

berbagai paham atau aliran pemikiran dan gerakan politik, ekonomi, sosial-budaya

(termasuk di dalamnya gerakan etis) yang memiliki keprihatinan dan kepedulian

terhadap realitas gender yang memperjuangkan kesamaan hak dan membela

kepentingan kaum perempuan. Dalam realitas politik, ekonomi, dan budaya

patriarki selama berabad abad, kesamaan hak dan kepentingan kaum perempuan

cenderung diabaikan atau bahkan ditindas.

2.8 Subordinasi

Subordinasi telah menjadi fokus perhatian penting dalam melihat

diskriminasi atau ketidakadilan gender. Dalam situs resminya, Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan, bahwa arti dari

subordinasi adalah, suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang

dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain1. Fakih menjelaskan

lebih lanjut bahwa subordinasi dapat terlihat terjadi pada perempuan ketika,

misalnya, anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga

1 Dalam Aplikasi Data dan Informasi PP dan KPA. Subordinasi (Online)

http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=article&id=98:sub

ordinasi&catid=52:bentuk-ketidakadilan-gender&Itemid=108 diunduh pada 2 Desember 2012

pukul 21.00 WIB

32

perempuan tidak bisa tampil memimpin, yang berakibat pada munculnya sikap

yang menempatkan perempuan tidak pada posisi penting. Praktik tersebut

sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Fakih 2012

15-16).

2.9 ”Ruang Publik”

Ruang publik secara etimologi berasal dari bahasa latin, yaitu ‟publicus‟ ,

yang pada konteks masyarakat romawi kuno memiliki dua arti, yang pertama

adalah milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; dan arti yang kedua,

sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk dengan kata lain untuk itu adalah

‟umum‟. Dalam konsep tersebut sudah tersirat dua hal, yakni suatu ‟ruang‟ tempat

hal hal yang bersifat umum dibicarakan, dan suatu subyek hukum, yakni rakyat

atau negara. Ruang di zaman Yunani Romawi terletak di luar rumah, yaitu di jalan

jalan, alun alun, dan di arena teater. Sementara itu ‟ruang‟ yang berada di bawah

kekuasaan pater familias (ayah), disebut privatus, maka kemudian tidak hanya

ada res publica (hal publik), melainkan juga res privata (hal privat). Kendati

distingsi eskplisit tentang ‟privat‟ dan ‟publik‟ itu adalah sebuah gagasan modern

yang belum berkembang dalam masyarakat kuno. Publicus juga mengandung arti

lain yang terkait dengan kekuasaan para pejabat negara. Dalam masyarakat Eropa

abad pertengahan pemaknaan kata publicus tidak banyak bergeser dari hal hal

yang dimengerti di zaman Yunani dan Romawi kuno (Hardiman 2010:4).

Mulai abad ke 18 kata ‟publik‟ dihubungkan dengan sesuatu yang baru,

yakni dengan tulis menulis sebagai ‟publik pembaca‟ yang di Jerman sejak waktu

itu disebut Lesepublicum, seiring dengan semakin berkembangnya percetakan dan

pos yang membuat intensitas tulis menulis menjadi sangat tinggi dan menyentuh

persoalan persoalan publik. Di dalam masyarakat sendiri terbentuk suatu lapisan

sosial kaum terdidik yang dapat membaca dan menulis sehingga membentuk

‟publik‟ sendiri, yakni ‟publik‟ pembaca. Penyebaran buku buku akibat penemuan

mesin cetak telah menghasilkan perkembangan yang sangat menakjubkan dalam

membangun kepedulian warga tergadap persoalan persoalan publik (Hardiman

2010:6).

33

Habermas (Hardiman 2010:269-270) merumuskan ”public sphere” atau

ruang publik dalam penjelasan berikut: ”Dengan 'ruang publik' kami maksudkan

pertama tama suatu wilayah kehidupan sosial kita di mana apa yang disebut opini

publik terbentuk. Akses kepada ruang publik terbuka bagi semua warga negara.

Sebagian dari ruang publik terbentuk dalam setiap pembicaraan di mana pribadi

pribadi berkumpul untuk membentuk suatu 'publik'. Bila publik menjadi besar,

komunikasi ini menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan pengaruh ; zaman

sekarang surat kabar dan majalah,radio,dan televisi menjadi ruang publik”

Dalam definisi tersebut, tiga unsur seperti media, pembicaraan, dan opini

publik secara erat terhubung. Ruang publik bukan merupakan suatu ruang fisik,

tetapi ruang sosial yang diproduksi oleh tindakan komunikatif. Ruang publik juga

bukan suatu institusi atau organisasi politik,melainkan suatu ruang tempat warga

negara terlibat dalam diskusi mengenai isi publik. Habermas (Hardiman

2010:270-271) menjelaskan lebih lanjut bahwa kemunculan "public sphere",

dimulai pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 di Paris,dan London, yaitu

timbul debat dan diskusi yang terjadi di salon salon dan kafetaria. Di situ orang

orang berkumpul dan berdiskusi mengenai isu publik. Diskusi ini difasilitasi oleh

penerbitan lembaran lembaran berita dan surat kabar, yang merupakan forum bagi

debat politik dimana orang (laki laki dan golongan menengah) dapat melontarkan

kritik kepada pemerintah. Meskipun hanya mewakili kaum borjuis, ruang publik

mewujudkan gagasan mengenai komunitas warganegara, yang berkumpul

bersama sebagai orang orang sederajat dalam suatu forum masyarakat sipil,dan

berbeda dari otoritas negara dan ruang privat keluarga. Forum itu mampu

membentuk opini melalui debat debat rasional.

Habermas (Hardiman 2010:194-195) menjelaskan lebih lanjut bahwa, pada

masa transisi kapitalisme liberal abad ke 19 menuju tahap kapitalisme yang

dikendalikan oleh monopoli dan negara abad ke 20, ruang publik mulai memasuki

masa kemunduran. Refeodalisasi yang merujuk pada pengertian bahwa negara dan

pasar melakukan intervensi intervensi hegemonis ke dalam ruang publik,

membuat ruang publik yang di dalam era pencerahan borjuis abad ke 18 berciri

otonom dan kritis terhadap ekonomi dan birokrasi, kini malah semakin

34

memprihatinkan, karena cenderung dijadikan arena kepentingan kepentingan

pasar dan birokrasi.

Wilayah wilayah privat dan keseharian warga negara, mulai dieksploitasi

dan diangkat ke ranah publik demi kepentingan komersial. Serupa dengan hal

tersebut Habermas (Hardiman 2010:195) mengatakan lebih lanjut bahwa

kepentingan kepentingan pribadi korporasi korporasi bisnis memiliki fungsi

fungsi politis untuk mengendalikan media dan bahkan birokrasi birokrasi negara,

sehingga kebijakan kebijakan negara lebih mengekspresikan kepentingan bisnis,

selain itu pihak birokrasi sendiri juga mulai mencampuri urusan urusan wilayah

privat dan keseharian warga negara, dan mengaburkan perbedaan antara ranah

privat dan publik yang dalam era borjuis cukup jelas dipertahankan.

Segala bentuk aspirasi dan pendapat warga negara sudah beralih fungsi

dari sekedar berpartisipasi menyikapi permasalahan yang terjadi demi

kepentingan bersama, menjadi sekedar hiburan yang dibentuk oleh media demi

kepentingan komersial. Habermas (Hardiman 2010:195) berpendapat bahwa

ruang publik di dalam negara negara kapitalis maju telah dirampas oleh kekuatan

investasi raksasa yang segera mengubah ruang lingkup perdebatan rasional yang

bebas menjadi lingkup manipulasi,konsumsi, dan pasivitas. Opini publik bahkan

bukan lagi mencerminkan aspirasi murni masyarakat warga, melainkan

merupakan hasil bentukan para elit media yang berkolaborasi dengan para elit

pasar dan birokrasi.

Warga masyarakat secara tidak langsung dipaksa dan dibatasi untuk lebih

memperhatikan pemberitaan pemberitaan bentukan media. Segala berita,

informasi, komentar, dan kontribusi dalam media,telah berubah fungsinya menjadi

komoditas komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang,seperti komoditas

komoditas lain dalam bisnis kapitalis. Istilah 'refeodalisasi sendiri berubah

memiliki arti selain hegemoni pasar atas demokrasi, yaitu : ruang publik tidak

menjadi arena diskursus bagi masyarakat warga, melainkan menjadi panggung

representasi diri para elit media yang menjadi alat kepantingan kepentingan pasar

dan kekuasaan (Hardiman 2010:196).

35

2.10 Penelitian Sebelumnya

Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

SEPTIAN

WIDYA

WARDANI

(362006048)

ANALISIS

WACANA

FEMINISME

SARA MILLS

PADA

PROGRAM

TUPPERWARE

SHE CAN! ON

RADIO (Studi

Kasus di radio

Female

Semarang Tahun

2010)

Menggambarkan

strategi wacana

yang dilakukan

dalam membangun

representasi

perempuan.

Analisis

Wacana

Metode

Sara Mills

(Analisis

wacana

Feminisme)

Radio Female Semarang

melalui program

Tupperware She Can! on

Radio telah

merepresentasikan

perempuan dengan baik.

Perempuan tidak hanya

diposisikan sebagai obyek

namun juga diberi

kesempatan menjadi

subyek dalam

perbincangan. Peran

perempuan di sektor

publik tampil sebagai

sosok yang tak kalah dari

laki-laki, namun dalam

sektor domestik

perempuan tetap

bertanggungjawab.

MARTHA

PRISCILLA

MADA

WAROUW

(362006073)

REPRESETASI

FEMINISME

DALAM

PROGRAM

REALITY

SHOW TAKE

HIM OUT

INDONESIA

(Analisis

Wacana Feminis

Sara Mills)

Menggambarkan

representasi

feminisme dalam

program reality

show Take Him

Out Indonesia

(analisis wacana

perspektif feminis

Sara Mills).

Analisis

Wacana

Metode

Sara Mills

(Analisis

Wacana

Feminisme)

Tayangan Take Him Out

telah berupaya untuk

merepresenatsikan

dengan apik mengenai

kondisi perempuan dalam

memperjuangkan hak

untuk memilih untuk

menemukan pasangan,

walaupun pada

realitasnya kelanjutan

hubungan tersebut

dikembalikan kepada

36

pasangan yang dipilih.

MARIA

DOROTEA.

D.A.

STEVIANITA

(362008078)

REPRESENTA

SI FEMINIS

DALAM BUKU

13

PEREMPUAN

KARYA

YONATHAN

RAHARDJO

Menggambarkan

representasi

feminis dalam

buku 13

Perempuan karya

Yonathan

Rahardjo

Analisis

Wacana

Kritis

Metode

Sara Mills

(Analisis

Wacana

Feminisme)

Enam cerpen menunjukan

ideologi perjuangan

gender, dengan empat

diantaranya beraliran

liberal (”Cermin

Peninggalan”, ”Rumah

Warisan”, ”Korban

Banjir” dan ”Hubungan

Abadi”) dan dua cerpen

menampilkan ideologi

feminis sosialis

(”Kekuatanku” dan ”Ingat

Pesan Sarni”). Sementara

tujuh cerpen lainnya

menampilkan ideologi

patriakhi dari pengarang.

Meski masih patriakhi,

penggambaran

perempuan yang

ditampilkan pada setiap

cerpennya, tidak lagi

perempuan yang lemah,

pasif dan tidak berdaya.

Kedekatan Yonathan

dengan perempuan-

perempuan dalam

hidupnya, menjadikan

Yonathan Rahardjo

sensitif mengangkat

pengalaman hidupnya

menjadi kenyataan baru.

Hasilnya muncullah

gambaran-gambaran

37

perempuan apa adanya

dan berbeda. Berdasarkan

hal ini, pengarang dapat

dikategorikan sebagai

„feminis setengah jalan‟,

karena pandangan

feminismenya masih

terangkai dalam bingkai

pemikiran dan perspektif

patriarki. Hal ini

disebabkan kesadaran

akan perjuangan feminis

beserta alirannya belum

sepenuhnya menjadi

pemikiran dari Yonathan

Rahardjo. Faktor lainnya

adalah karena kelelakian

pengarang, latar belakang

pendidikan dan

lingkungan dimana

Yonathan Rahardjo tinggal

turut memberikan pengaruh.

NATALIA

ANGGREAN

Y (51404108)

TINGKAT

PENGETAHUA

N REMAJA

SURABAYA

MENGENAI

RUBRIK

"DETEKSI" DI

HARIAN

JAWA POS

Mengetahui

tingkat

pengetahuan

Surabaya

mengenai rubrik

Deteksi di harian

Jawa Pos.

Survei Melalui rubrik “DetEksi” di

harian Jawa Pos, khususnya

remaja di Surabaya dapat

mengetahui fenomena

fenomena remaja yang

terjadi, karena berdasarkan

analisa diketahui bahwa

sebagian besar responden

menyatakan pengetahuan

mereka tentang rubrik

“DetEksi” bertambah

38

setelah membaca rubrik

”DetEksi”, melalui Rubrik

“DetEksi”, para responden

dapat mengetahui informasi

mengenai musik, film,

buku-buku baru, game,

pacaran remaja, otomotif,

dan lain lain yang

sebelumnya belum mereka

ketahui menjadi tahu.

Terdapat hubungan bahwa

semakin tinggi frekuensi,

durasi dan atensi responden

membaca rubrik “DetEksi”

maka semakin banyak pula

pengetahuan yang mereka

dapat baik itu pengetahuan

tentang informasi yang

disampaikan maupun

karakteristik rubrik ini

39

2.11 Kerangka Pikir

Bagan 2.1

Kerangka Pikir

Minat Baca

Khalayak usia

muda menurun

Persaingan

Media Massa

(Media Cetak/

Surat Kabar)

“Ruang Publik”

Jawa Pos Mengemas

pesan dan opini

target pembaca usia

muda

Rubrik DetEksi

Jawa Pos

Isi Rubrik

Deteksi

Jawa Pos

Analisis Wacana Kritis

Sara Mills

Wacana

Subordinasi

Perempuan Pada

Rubrik DetEksi

Jawa Pos