bab ii kajian teori dan penelitian yang relevan...

14
7 BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Teori a. Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei tahun 1889 dengan nama R.M Suwardi Suryaningrat. Masa mudanya dipengaruhi oleh suasana kesusastraan Jawa, agama Islam, Hinduisme, kesenian dengan cabang-cabangnya seperti kesenian gending, seni suara dan seni sastra (Abdurrachman Suryomihardjo, 1986 : 52). Tepat pada usia 40 tahun menurut perhitungan tahun Jawa, namanya diganti menjadi Ki Hadjar Dewantara (Darsiti Soeratman, 1983 : 3). Semenjak saat itu beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya (Sugihartono dkk, 2007 : 124). Dengan nama Suwardi Suryaningrat ia dikenang sebagai Bapak Pergerakan Nasional, dan dengan nama Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional (Harahap, 1980 : 3). Ki Hadjar Dewantara pertama kali masuk Europeesche Lagere School (ELS), yakni sekolah dasar berbahasa Belanda (Abdurrachman Suryomihardjo, 1986 : 5). Sesudah tamat Sekolah Dasar Belanda tersebut, pada tahun 1904 Ki Hadjar Dewantara masuk Kweekschool (sekolah guru) di Yogyakarta (Darsiti Soeratman, 1984 : 18) . Tetapi tak lama kemudian,

Upload: vannguyet

Post on 02-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

7

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Kajian Teori

a. Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei

tahun 1889 dengan nama R.M Suwardi Suryaningrat. Masa mudanya

dipengaruhi oleh suasana kesusastraan Jawa, agama Islam, Hinduisme,

kesenian dengan cabang-cabangnya seperti kesenian gending, seni suara dan

seni sastra (Abdurrachman Suryomihardjo, 1986 : 52). Tepat pada usia 40

tahun menurut perhitungan tahun Jawa, namanya diganti menjadi Ki Hadjar

Dewantara (Darsiti Soeratman, 1983 : 3). Semenjak saat itu beliau tidak lagi

menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini

dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara

fisik maupun hatinya (Sugihartono dkk, 2007 : 124). Dengan nama Suwardi

Suryaningrat ia dikenang sebagai Bapak Pergerakan Nasional, dan dengan

nama Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional (Harahap,

1980 : 3).

Ki Hadjar Dewantara pertama kali masuk Europeesche Lagere

School (ELS), yakni sekolah dasar berbahasa Belanda (Abdurrachman

Suryomihardjo, 1986 : 5). Sesudah tamat Sekolah Dasar Belanda tersebut,

pada tahun 1904 Ki Hadjar Dewantara masuk Kweekschool (sekolah guru)

di Yogyakarta (Darsiti Soeratman, 1984 : 18) . Tetapi tak lama kemudian,

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

8

atas tawaran dokter Wahidin Sudiro Husodo, Ki Hadjar melanjutkan

pelajarannya ke sekolah dokter Jawa atau STOVIA (School Tot Opleiding

Van Indische Arsten). Ki Hadjar juga sempat aktif dalam organisasi Budi

Utomo (BU) dan Sarikat Islam (SI), namun akhirnya ia menggabungkan diri

pada Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo dalam Indische Partij

(IP). Ketiga pemimpin tersebut kemudian dikenal dengan nama Tiga

Serangkai.

Pada permulaan bulan Juli tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda

berniat mengumpulkan sumbangan dari warga termasuk pribumi untuk

perayaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis.

Pesta peringatan itu akan diselenggarakan pada bulan November tahun

tersebut. Saat itu timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk

Suwardi. Bersama dengan Cipto Mangunkusumo pada permulaan Juli 1913,

beliau membentuk “Committee tot Herdenking van Nederlandsch

Honderdjarige Vrijheid” (panitia peringatan 100 tahun kemerdekaan

Nederland) yang dalam bahasa Indonesia disingkat “Komisi Bumiputera”.

Panitia bermaksud akan mengeluarkan isi hati rakyat, memprotes adanya

perayaan kemerdekaan Belanda karena rakyat Indonesia dipaksa secara

halus harus memungut uang sampai ke pelosok-pelosok (Haryanto, 2011 :

3).

Bagi siapa yang mengetahui keadaan-keadaan di daerah jajahan

segera mengerti, bahwa pemungutan uang semacam itu berarti paksaan dan

jauh dari usaha sokongan sukarela. Lagipula perayaan tersebut diadakan

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

9

untuk kemerdekaan suatu negeri yang tidak ingin memberi kemerdekaan

kepada negeri jajahan. Dalam keadaan demikian itulah, Suwardi menulis

sebuah risalah yang juga merupakan pencanangan perjuangan berjudul

“Andaikata Aku Seorang Belanda” (Abdurrachman Suryomihardjo, 1986 :

57).

Ki Hadjar memberi tamparan yang hebat kepada penjajah namun

dengan cara yang tidak kasar, tidak dengan maki-maki, senantiasa tetap

sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, juga

memberi pandangan-pandangan yang dapat direnungkan oleh pihak Belanda

maupun pihak kita (Dwi Siswoyo, 2008 : 164). Tulisan “Andaikata Aku

seorang Belanda” ( Als ik eens Nederlander was ) dimuat dalam surat

kabar De Express pimpinan Douwes Dekker. Kutipan tulisan tersebut antara

lain sebagai berikut.

“…Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan

pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri

kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi

juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk

dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah

menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja

penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama

menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan

bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada

kepentingan sedikit pun baginya…”.

(Sumber: Bambang S. Dewantara, 1989 : 59 - 65)

Akibat terlalu banyak protes dalam artikel dan tulisan di brosur,

ketiga pemimpin Indische Party (IP) dalam Tiga Serangkai itu ditangkap,

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

10

ditahan dan dikenakan hukuman buang. Ketiganya memilih negeri Belanda

sebagai tempat pengasingan mereka (Darsiti Soeratman, 1984 : 45 - 46).

Ketika di negeri Belanda, perhatian Ki Hadjar Dewantara tertuju pada

masalah-masalah pendidikan dan pengajaran di samping bidang sosial

politik. Ia aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische

Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-

citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga

pada tahun 1915 beliau memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah

pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan

lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya tersebut, Ki Hadjar

terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Frobel dan

Montessori. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam

mengembangkan sistem pendidikannya sendiri (Haryanto, 2011 : 4).

Tokoh Ki Hadjar Dewantara dalam seluruh kehidupan dan

perjuangannya tidak mungkin dipisahkan dari Perguruan Taman Siswa yang

didirikannya. Ki Hadjar sudah menyatu dengan Taman Siswa (Ki Suratman

dalam Dwi Siswoyo dkk, 2007 : 165). Secara khusus, Ki Hadjar Dewantara

mendefinisikan Taman Siswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan

pembangunan masyarakat, yang menggunakan pendidikan dalam arti luas

sebagai sarananya. Dengan demikian wajarlah kiranya bahwa perjuangan

Taman Siswa, juga tidak mungkin lepas dari permasalahan kebudayaan

tersebut (Dwi Siswoyo dkk, 2007 : 165)

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

11

Taman Siswa lahir pada 3 Juli 1922 dengan nama asli “Nationall

Onderwejis Instituut Taman Siswa”. Taman Siswa didirikan atas dasar

keprihatinan terhadap situasi dan nasib bangsa Indonesia yang terjajah.

Taman Siswa selalu berusaha untuk bersatu dengan rakyat, maka dalam

waktu yang singkat Ki Hadjar Dewantara mendapatkan pengikut yang

banyak (Darsiti Soeratman, 1983 : 2). Taman Siswa merupakan badan

perjuangan yang berjiwa nasional; suatu pergerakan sosial yang

menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya (Sartono

Kartodirdjo dalam Darsiti Soeratman, 1983 : 2). Taman Siswa tidak hanya

menghendaki pembentukan intelek, tetapi juga dan terutama pendidikan

dalam arti pemeliharaan dan latihan susila (Ki Hadjar Dewantara, 1977 :

58).

b. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dihormati dan dikagumi sebagai bapak

pendidikan nasional dan tanggal kelahirannya ditetapkan oleh pemerintah

sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar

Dewantara bercorak nasional pada awalnya muncul dalam rangka

mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional

yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri (Haryanto, 2011 : 14).

Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan

perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari

belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila

rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas,

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

12

dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan

semakin tinggi (Sugihartono dkk, 2007 : 124).

Lorens dalam kamus filsafat (1996 : 793 - 794) menjelaskan bahwa

pemikiran merupakan sebuah aktivitas dalam bentuk kegiatan mental

beserta hasilnya, yang berkenaan dengan aspek metafisika, universalia, dan

epistemology, yang tergantung pada pandangan seseorang. Pengertian

tersebut diperjelas Lorenz dengan menggunakan pendekatan platonic

bahwa, pemikiran dapat diartikan sebagai sebuah dialog batin dengan

menggunakan ide-ide abstrak yang sama sekali tidak fiktif dan memiliki

realitasnya sendiri. Selanjutnya, pola-pola pemikiran atau pendekatan

filosofis terhadap permasalahan bidang pendidikan dan pengajaran disebut

dengan filsafat pendidikan (Ali Saifullah, 1991 : 118).

Buku Taman Siswa Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan

yang diterbitkan pada tahun 1990 oleh Persatuan Bekas Murid Taman Siswa

memuat salah satu tulisan Herbert Anthony Shadeg tentang filsafat

pendidikan Ki Hadjar Dewanatara. Shadeg membenarkan fakta bahwa

gagasan Dewantara mengenai pendidikan telah dipengaruhi oleh pemikiran

tokoh pendidikan lainnya seperti John Dewey, Frobel dan Montessori.

Dewantara setuju dengan gagasan Dewey yang merumuskan bahwa

pendidikan ialah termasuk suatu kepercayaan kepada kemampuan

lingkungan untuk mendukung aktivitas-aktivitas yang berguna, dengan

syarat bahwa lingkungan didekati dan diperlakukan dengan cara yang tepat.

Ki Hadjar Dewantara ingin meluaskan pengajaran kepada massa, karena

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

13

pendidikan itu tidak hanya terbatas pada golongan atas saja. Keluasan

pikiran Dewantara, toleransinya yang besar memberi contoh-contoh yang

bagus didalam lembaga pendidikan Taman Siswa. Kebebasan dijunjung

atas dasar umum saling menghormati. Shadeg menarik kesimpulan bahwa

Dewantara adalah seorang nasionalistis yang masih menjaga sifat

tradisional, natural, kultural maupun aset-aset spiritual bangsanya sendiri.

Inilah yang menjadi kekuatan dalam mendasari filsafat pendidikannya

seperti diwujudkan dalam Taman Siswa, yang kemudian mempengaruhi dan

membentuk sistem pendidikan di seluruh Indonesia.

Ali Saifullah H.A dalam bukunya yang berjudul Antara Filsafat dan

Pendidikan, mengemukakan bahwa teori pendidikan menurut Ki Hadjar

Dewantara memang menunjukkan adanya sesuatu yang dianggap penting

dalam kaitannya dengan pembahasan hubungan antara filsafat dan teori

pendidikan, sebagai salah satu contoh yakni definisi pendidikan nasional

dari Ki Hadjar Dewantara:

“Pendidikan Nasional ialah pendidikan yang berdasarkan garis-garis

hidup bangsanya (kultural nasional) dan ditujukan untuk keperluan peri

kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga

bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk

kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia.”

Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan

dasar-dasar filsafat pendidikan nasionalnya dan yang dijadikan asas dasar

pendidikan dalam perguruan Taman Siswa yang dibentuknya.

Dewantaraisme mendasarkan diri pada filsafat tradisional, dimana

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

14

didalamnya termasuk cabang metafisika, yang mengakui hakekat kenyataan

yang bersifat metafisis transendental (Ali Saifullah, 1991 : 126). Buah

pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara

keseluruhan yang didalamnya banyak terdapat perbedaan-perbedaan dan

dalam pelaksanaan pendidikan tersebut tidak boleh membeda-bedakan

agama, ras, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status

sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai

kemerdekaan yang asasi (Sugihartono dkk, 2007 : 125).

c. Pendidikan Karakter

Istilah “karakter” dalam bahasa Yunani dan Latin “character”

berasal dari kata “charassein” yang artinya mengukir corak yang tetap dan

tidak terhapuskan (Kristi Wardani, 2010 : 232). “Karakter” merupakan

sebuah kata yang artinya watak, ciri khas seseorang sehingga ia berbeda dari

orang lain ( Sastrapradja, 1978 : 247). Karakter adalah cara berpikir dan

berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup bekerja sama,

baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu

yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan

siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat

(Suyanto dalam Kristi Wardani, 2010 : 232)

Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan

peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai luhur

sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan

pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

15

dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik

secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan

(Haryanto, 2011 : 4).

Menurut Zainal Aqib dalam bukunya yang berjudul Pendidikan

Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa, pendidikan karakter

sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting di setiap tindakan

edukatif maupun campur tangan intensional bagi kemajuan pendidikan.

Matra ini adalah individu, sosial dan moral.

Jika kita tilik dari pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter

sesungguhnya bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia.

Beberapa pendidik Indonesia yang kita kenal seperti Kartini, Ki Hadjar

Dewantara, Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Natsir, dan lain-lain, telah

mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk

kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang

mereka alami (Zainal Aqib, 2011 : 40).

Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya telah berjasa dalam

menanam rasa cinta air kepada bangsa Indonesia. Selain itu, Taman Siswa

juga menekankan kepada kehalusan budi dan moral yang tinggi. Ini adalah

merupakan salah satu syarat yang pokok bagi ketahanan nasional. Suatu

bangsa akan jaya apabila bangsa itu memiliki moral yang tinggi, dan suatu

bangsa akan binasa apabila bangsa itu telah rusak moralnya (Mukti Ali

dalam 50 Tahun Taman Siswa, 1976 : 48).

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

16

d. Revitalisasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata revitalisasi sebagai

proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang

sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi juga adalah usaha

menumbuhkembangkan hal yang bernilai guna kelangsungan hidup (Tim

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989 :

1004). Jadi, revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi

vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali

(untuk kehidupan dan sebagainya).

Revitalisasi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai serangkaian

usaha pengkajian kembali pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk

pendidikan, yang masih relevan bagi masyarakat dan bangsa kita dalam era

pembangunan khususnya pembangunan karakter bangsa. Revitalisasi ini

dirasa perlu dan penting oleh penulis karena pemikiran dan ajaran Ki Hadjar

Dewantara kini nyaris menjadi slogan-slogan tanpa arti. Kita lebih

mengenal teori-teori asing mengenai pendidikan (Tilaar, 1995 : 507).

Sehingga revitalisasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang mengandung

kebijakan-kebijakan pendidikan yang sangat dalam dan lahir dari budaya

bangsa Indonesia diharapkan dapat diajarkan, dikembangkan dan diterapkan

kembali dalam praktik pendidikan di Indonesia.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

17

B. Penelitian Yang Relevan

Berikut ini dikemukakan penelitian yang relevan dengan penelitian

ini:

Ki Hadjar Dewantara dalam buku yang berjudul Pengaruh Keluarga

Terhadap Moral, menyatakan bahwa menurut keadaan organisasi sekolah

(sifat dan bentuk perguruan) pada jaman sekarang, nyata sekali bahwa

kewajiban perguruan itu sebagian besar ialah mendidik kecerdasan pikiran

serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan kepandaian. Pendidikan

budipekerti hanya sambil lalu saja dilakukan. Sehingga tiga alam

pendidikan yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pemuda harus

diperhatikan kepentingannya untuk pendidikan.

Zainal Aqib dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter

Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa menyatakan bahwa platform

pendidkan karakter bangsa Indonesia telah dipelopori oleh tokoh pendidikan

kita Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam tiga kalimat (walaupun

konsep ini belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh bangsa kita), yang

berbunyi: Ing ngarsa sung tuladha, Ing Madya Mangun karsa, Tut wuri

handayani.

Fimeir Liadidalam Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan Volume

2 No.1 April 2004: “Pendidikan Karakteristik Sebuah Alternatif”,

menyatakan bahwa pendidikan karakter sepertinya harus menjadi sebuah

alternatif dalam memperbaiki kondisi karakter bangsa ini, setidaknya untuk

mengurangi julukan negatif yang diberikan kepada bangsa ini.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

18

Pembentukan dan penanaman karakter melalui sekolah merupakan

usaha mulia yang sangat mendesak untuk dilakukan, bahkan kalau kita

berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggung jawab bukan hanya

mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,

tetapi juga mempunyai karakter dan kepribadian. Dengan demikian, sekolah

sebagai lingkungan pembentukan pendidikan karakter mestilah

diberdayakan kembali.

Kandideus Cendo (Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi Filsafat

dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta), dalam skripsinya

tahun 1988 yang berjudul “Studi Filosofis Terhadap Konsepsi Ki Hadjar

Dewantara Tentang Faham Kebangsaan Sebagai Pencerminan Kepribadian

Indonesia”, memberikan analisa bahwa bagi Bangsa Indonesia kesadaran

akan Pendidikan Nasional menjadi suatu realisasi dengan berdirinya

Perguruan Nasional Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara. Konsepsi

pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara merupakan landasan yang

fundamental dalam perjuangan kebangsaan. Kesadaran berbangsa hanya

dapat dicapai lewat pendidikan.

Kristi Wardani dalam karya tulisnya yang berjudul “Peran Guru

Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar

Dewantara” (Proceedings of The 4th International Conference on Teacher

Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10

November 2010 Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

19

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata

Tamansiswa Yogyakarta), menyimpulkan bahwa upaya mewujudkan

peradaban bangsa melalui pendidikan karakter bangsa tidak pernah terlepas

dari lingkungan pendidikan baik didalam keluarga, sekolah dan masyarakat.

Guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang

berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Dewasa ini, tuntutan dan peran guru

semakin kompleks, tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik

akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya yang

berlaku di Indonesia. Guru diharapkan menjadi model dan teladan bagi anak

didiknya dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah

pikir, olah hati dan olah rasa. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang

berkarakter kuat, perlu kiranya diterapkan konsep pendidikan Ki Hadjar

Dewantara dengan sistem among, tut wuri handayani dan tringa.

Suharti (Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga), dalam skripsinya di tahun 2005

dengan judul “Sistem Pendidikan Among Dalam Pergerakan Nasional

Indonesia Tahun 1922 – 1932”, memberikan kesimpulan bahwa nilai-nilai

yang terkandung dalam sistem among yang dicetuskan oleh Ki Hadjar

Dewantara hakikatnya juga terdapat dalam kehidupan di bidang pendidikan

dan kehidupan sosial. Sistem Among menjadi tuntunan para pendidik di

Indonesia agar menjadi guru yang dapat mendidik dengan baik, sistem ini

juga masih sangat relevan untuk masa sekarang, dapat diterapkan dalam

keluarga, sekolah, masyarakat maupun lembaga pemerintahan.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/564/3/T1... · Definisi pendidikan nasional tersebut telah disesuaikan dengan dasar

20

Mulyono dalam skripsinya yang berjudul “Studi Filosofis Tentang

Ide Pendidikan Ki Hadjar Dewantara” (Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa tahun 1985),

memberikan kesimpulan diantaranya:

1. Ki Hadjar Dewantara merakyatkan pendidikan dan mendidik rakyat.

2. Teori pendidikan Tamansiswa merupakan saringan kebudayaan

nasional.

3. Ide pendidikan Ki Hadjar Dewantara sesuai dengan hakekat pendidikan

yang sebenarnya.