bab ii kajian teori -...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Komunikasi
Komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin : communis yang
berarti ‘sama’, communico, communication atau communicate yang berarti
membuat sama (make to common). Komunikasi dapat terjadi apabila ada
kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab
itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu
dengan yang lainnya (Mulyana, 2007: 46).
Pada umumnya komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak (komunikator dan komunikan), apabila tidak
ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat
dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukan sikap tertentu,
misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu, cara seperti itu
disebut dengan komunikasi non-verbal (Mulyana, 2007: 46).
Definisi komunikasi menurut John Fiske (1990) dua mazhab utama yang
tercermin dalam model komunikasi. Pertama mazhab proses yang melihat
komunikasi sebagai transmisi pesan. Dalam mazhab ini mereka tertarik dengan
bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan
menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan
saluran dan media komunikasi. Mazhab ini cenderung membahas kegagalan
komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di
mana kegagalan tersebut terjadi. Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai
produksi dan pertukaran makna. Hal ini berkenaan dengan bagaimana pesan
berinteraksi dengan orang-orang dalam menghasilkan makna.
Model komunikasi yang dikemukakan John Fiske mempunyai sifat dan fungsi
untuk menjelaskan suatu fenomena yang diamati. Terkadang ada beberapa model
yang tampak bertentangan, misalnya model S-R (stimulus-respons) dan model
interaksional. Kondisi ini disebabkan karena adanya paradigma yang berbeda itu,
sehingga ilmuwan sosial yang berpandangan objektif/positivistik menganggap
9
bahwa ada keteraturan dalam perilaku manusia (manusia cenderung dianggap
pasif), seperti perilaku alam, tidak jarang menggunakan model matematik,
misalnya dalam bentuk hipotesis yang harus diuji melalui perhitungan statistik.
Pengertian lain dari komunikasi juga merupakan simbol karena dalam
komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau
menandakan sesuatu hal lain. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat
bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang
diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Simbol dapat berupa bentuk suara
tanda pada kertas, gerakan, dan lain-lain yang digunakan dalam berbagai fakta
dengan definisi kelompok lain (Samovar dkk, 2010: 22-23).
Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam berinteraksi, penyimbolan
memungkinkan suatu budaya disampaikan dari generasi ke generasi melalui
media tradisional. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui makna pesan
Tari Dolalak Versi Mlaranan, dimana tarian sebagai Media Tradisional dan
terdapat simbol dan makna yang terkandung didalam pementasan Tari Dolalak
Versi Mlaranan.
2.2 Media Komunikasi Tradisional
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Sering juga disebut
sebagai kesenian rakyat. Dalam hal ini seni ditafsirkan sebagai media komunikasi
untuk berekspresi, untuk menyampaikan pesan, kesan, dan tanggapam manusia
terhadap stimulasi dari lingkungannya. Menurut Coseteng dan Nemenzo
(Fernandez 1982), mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk
verbal, gerakan, lisan, dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh
rakyat, dan diperdengarkan atau dipertunjukan oleh dan atau untuk mereka
dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan
mendidik.
10
Media tradisional, seperti halnya media massa lainnya, pada dasarnya tidak
dapat banyak diharapkan mampu mengubah sikap dan tingkah laku komunikan
secara langsung. Variabel-variabel yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan untuk menerima dan mempraktikan suatu ide baru tidak hanya
ditentukan oleh individu yang bersangkutan. Pengaruh dari pihak ketiga seperti
keluarga terdekat, kerabat, pemuka masyarakat, dan lingkungan budaya sering
kali ikut menentukan.
Media tradisional memiliki kespesifikan tanda-tanda informasi yang
dilontarkan dalam pertunjukan-pertunjukan tradisional seperti kesenian daerah
yang berupa tarian daerah. Dalam kespesifikan tanda menjadi suatu kesulitan
dalam memahami tanda-tanda non-verbal yang umumnya tidak disadari.
2.3 Tanda Dalam Komunikasi
Hartoki dan Rahmanto dalam Alex Sobur (2009: 155) menjelaskan bahwa
secara etimologis simbol berasal dari bahasa Yunani, “sym-ballein” yang artinya
melemparkan suatu benda atau perbuatan dan dikaitkan dengan ide. Simbol
disebabkan oleh adanya metonimi, yaitu nama untuk benda lain yang
diasosiasikan menjadi atributnya atau metafora. Contoh, si topi merah untuk
seseorang yang menggunakan topi berwarna merah, untuk metafora contohnya
adalah ibukota, merujuk pada suatu kota yang dijadikan pusat pemerintajan dari
suatu Negara. Simbol melibatkan tiga unsure, yaitu simbol itu sendiri, rujukan,
serta hubungan antara simbol dengan rujukan.
Simbol mengkomunikasikan sesuatu secara tersirat, namun proses
pemaknaannya lebih mendalam dibanding tanda dan dapat memiliki beberapa
makna. Spesifikasi pemaknaan simbol terletak pada cakupan khalayak yang dapat
mencernanya. Simbol hanya dapat diartikam oleh manusia yang memiliki akal
dan pikiran untuk menalaah suatu hal. Contoh, balon misalnya, makna dan sebuah
simbol yang menyertakan balon di dalamnya dapat diartikan sebagai kebebasan
dan keceriaan, namun dapat juga diartikan sebagai sifat kekanaan.
11
Jika dikaitkan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah simbol,
maka rujukan dalam simbol balon adalah balon terdiri atas berbagai macam warna
dan biasanya merupakan warna-warna cerah, selain itu ditinjau dari bentuknya
yang bulat/lonjong menyiratkan bahwa balon memiliki sifat yang fleksibel dan
tidak kaku, dan yang terakhir, balon biasanya diberi tali pengikat dan pemberat
seperti batu untuk menjaga agar tidak lepas saat dipegang, selain itu sifat nyata
balon yang mudah terbang karena berisi gas helium diartikan sebagai simbol
kebebasan.
Budiono Herusantoto (Sobur 2009: 160) membuat table perbedaan antara
isyarat, tanda dan simbol/ lambang. Secara garis besar tanda diartikan sebagai
sesuatu yang memiliki arti, dan beliau menyebutkan bahwa tanda hanya memiliki
dua arti, atau dengan kata lain memiliki makna yang lebih sempit jika
dibandingkan dengan simbol yang memiliki makna lebih mendalam. Keterbatasan
pemaknaan yang dimiliki oleh tanda menyebabkan tanda dapat dimaknai bukan
hanya oleh manusia, namun juga oleh binatang setelah diajarkan berulang-ulang.
Simbol dan tanda keduannya sama-sama berusaha menjembatani komunikasi.
Tersampaikannya pesan secara tepat dari komunikator kepada komunikan
merupakan tujuan utama dari komunikasi. Oleh sebab itu, demi tercapainya tujuan
tersebut, keberadaan simbol dan tanda dalam kehidupan kita sehari-hari perlu
dimaknai secara sama oleh berbagai lapisan masyarakat.
2.4 Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sederetan luar objek-objek,
peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif (data tidak berupa angka-angka)1. Secara
etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani : semeion yang berarti
“tanda” tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi
sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang
mempelajari sederet luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
1 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2005) H:
6
12
sebagai tanda2. Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik
merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna
terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan
atau teks3.
Apabila studi ini menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan
dengan interpretasi yang dihasilkannya, itu adalah kerja semantic, semiotic.
Apabila studi tentang tanda ini mementingkan hubungan antara tanda dengan
pengirim dan penerimanya, itu adalah kerja pragmatik semiotik. Sebaliknya, studi
semiotika dengan fenomena apapun dimulai dengan penjelasan sintaksis,
kemudian dilanjutkan penelitian dari segi semantik dan pragmatic (Sudjiman dan
Van Zoest, 1996: 6).
Semiotika didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda yang pada dasarnya
merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu system apapun yang
memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau
sebagai sesuatu yang bermakna. Menurut Charles S. Pierce (1986: 4) maka
semiotik tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin tentang
tanda-tanda. Sementara bagi Ferdinand De Saussure (1996: 16) semiologi sebuah
ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di
dalam masyarakat (Budiman, 2004: 4).
Istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk kepada
ilmu tentang tanda-tanda adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Satu-
satunya perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes (1978: 124), adalah
bahwa istilaj semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi
lingustik Saussuren, sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para
penutur bahasa Inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircian (Budiman
2004: 4).
2 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung PT. Rosdakarya, 2006) H: 95 3 Pawito Ph. D, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: L.KiS Pelangi Aksara, 2007) Hal: 155
13
Dalam semiotika Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memakan hal-hal (things), Memaknai (to
signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan
(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusikan system terstruktur dari tanda. Tanda menandakan sesuatu
selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antarsuatu objek atau
ide dari suatu tanda.
Konsep dasar mengenai semiotika mengikat bersama seperangkat teori yang
amat luas berurusan dengan siimbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk
nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan
maknanya dan begaimana tanda disusun. Secara umum studi tentang tanda
merujuk pada semiotika (Sobur, 2004: 15-16). Pesan – pesan yang disampaikan
dan diterima sama seperti perkacapan, berikut beberapa rangkuman dari
pembahasan tentang semiotika menurut Pines (Berger, 2000: 14):
a. Semiotika menaruh perhatian pada bagaimana makna diciptakan dan
disampaikan melalui teks dan khususnya melalui narasi (atau cerita),
b. Focus perhatian semiotika dari semiotika adalah tanda yang ditemukan
dalam teks, tanda-tanda dapat dipahami sebagai kombinasi dari penanda
dan petanda,
c. Bahasa dalam semiotika adalah sebuah institusi sosial yang menjelaskan
bagaimana kata-kata digunakan, percakapan adalah aksi individual yang
berdasar pada bahasa,
d. Teks dapat dilihat melalui kesamaannya dengan percakapan dan
mengimplikasikan tata bahasa (grammar) atau bahasa yang akhirnya
membuat teks menjadi bermakna. Terdapat kode-kode pembicaraan yang
membuat tanda-tanda pada narasi dapat dimengerti dan juga membentuk
tindakan-tindakan.
14
2.4.1 Semiotika Roland Barthes
Teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes sebagai salah
satu pemikir strukturalis yang mempraktikan model lingustik dan semiologi
Saussuren. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud memahami
kehidupan. Menusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan
menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut
adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan
lingkungan.
Semiologi Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam
hai ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to
sommunicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Sobur, 2003: 15).
Dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua
tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penannda dan petanda yang didalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang
diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan
petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang
dilakukan Saussure. Bagi Barthes mitos bermain pada wilayah pertandaan kedua
atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna
adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini
menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru
15
mendenotasikan sesuatu hal yang Ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini
mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juba
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.
Tambahan ini merupakan sumbangan barthes yang amat berharga atas
penyempurnaan terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada
penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata.
Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat
memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin
dapat dilakukan pada level denotatif. Lebih dari itu, disamping gagasannya dapat
dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini
memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan
terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop.
Dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide
Saussure pada semua aspek kehidupan sosial. Bagi Barthes, semiologi bertujuan
untuk memahami system tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh
fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap
sebagai sebuah lingkaran lingustik. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut
sebagai konotator, terbentuk dari kata-kata (kesatuan penanda dan petanda) dari
system yang bersangkutan. Beberapa tanda dapat terjadi secara berkelompok
membentuk sebuah konotator tunggal. Dalam Sobur (2009: 63) bahasa
merupakan system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Dalam studinya tentang tanda, Barthes
menambahkan pesan pembaca (the reader). Penambahan area ini dikarenakan,
meskipun konotasi merupakan sifat asli dari tanda, agar tanda tersebut dapat aktif
dan berfungsi maka dibutuhkan peran pembaca.
16
Peta Tanda Roland Barthes
Mitologi Roland Barthes
1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda)
3. Denotative Sign
(Tanda Denotatif)
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Tabel 1 Sumber: Sobur, Semiotika Komunikasi, 2009
Peta Tanda Roland Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2), namun pada saat yang bersamaan, tanda
denotative adalah juga penanda konotatif (4). Hanya jika kita mengenal tanda
“tikus” barulah konotasi seperti licik dan suka memanfaatkan dapat dimengerti.
Dalam penelitian ini, peta tanda Barthes berfungsi sebagai acuan dan
batasan bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Pertama, mengidentifikasikan
penanda dan petanda dalam Pementasan Tari Dolalak Versi Mlaranan, kemudian
memaknai tanda-tanda tersebut di level pemaknaan denotatif dan selanjutnya
memaknai ke tingkatan yang lebih dalam lagi yaitu pemaknaan konotatif, yang
akhirnya akan menghasilkan sebuah mitos yang berkembang di masyarakat.
A. Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotasi)
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan
signifies di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, dan dalam semiotika
Barthes, ia menyebutkannya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda.
Maka dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang
M
I
T
O
S
17
melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotaso diasosiasikan dengan
ketertutupan makna (Sobur, 2009: 70).
Menurut Lyons (dalam Sobur, 2009: 263), denotasi adalah hubungan yang
digunakan dalam tingkat pertama pada kata secara bebas memegang peranan
penting di dalam ujaran. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikam sebagai
makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan
referensi atau acuan. Proses signifikasi denotasi biasanya mengacu pada
penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Misalnya,
ketika seseorang mengucapkan kata “anjing” maka yang dimaksudkan dari
pengucapan kata “anjing” tersebut adalah konsep tentang keanjingan, seperti
berkaki empat, mamalia, ekornya selalu bergoyang, menggigit dan suka
menggonggong. Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem
signifikasi tingkat pertama, yang kemudia dilanjutkan oleh system signifikasi
konotasi yang berada di tingkat kedua.
B. Sistem Pemaknaan Tingkat Kedua (Konotasi)
Istilah konotasi digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap
kedua, kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotate” yang
memiliki arti “menjadi tanda” serta mengarah pada makna-makna cultural yang
terpisah dengan kata atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna konotatif
adalah gabungan antara makna denotatif dengan segala gambar, ingatan dan
perasaan yang muncul ketika indera kita bersinggungan dengan petanda. Sehingga
akan terjadi interaksi saat petanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya, Contohnya ketika kita
menyebutkan kata “vespa”, makna denotasi “vespa” menurut KBBI adalah skuter,
kendaraan bermotor beroda dua yang rodanya lebih kecil daripada sepeda motor.
Namun secara konotatif kata “vespa” akan dimaknai sebagai sesuatu yang
membuat bahagia, mengingatkan akan perjalanan ke suatu tempat dan identik
dengan seseorang yang terlibat dalam ingatan akan kata “vespa” tersebut.
18
Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai mitos serta
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada
makna yang menepel pada suatu kata karena sejarah pemakainya, oleh karena itu
dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Jika denotasi sebuah kata
dianggap sebagai objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata dianggap
sebagai makna subjektif atau emosionalnya. Dalam Sobur (2009; 263) Arthur Asa
Berger menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-
hal yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif
dalam pengertian bahwa terdapat pergeseran dari makna umum (denotatif) karena
sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Jika makna denotatif hamper bisa
dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka
yang jumlahnya lebih kecil.
C. Mitos
Dalam Alex Sobur (2009: 71) Budiman mengatakan pada kerangka
Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology yang disebutnya sebagai mitos
dan memiliki fungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang
berlaku pada periode tertentu. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda, dan tanda.
Mitos biasanya dianggap sama dengan dongeng, dan dianggap sebagai
cerita yang aneh serta sulit dipahami maknanya kalau diterima kebenarannya
karena kisahnya irasional (tidak masuk akal). Mitos meneliti teks-teks kuno dan
berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai
suku bangsa di dunia.
2.5 Diakronik
Kata Diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui dan
khronas yang berarti waktu masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan
suatu bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya
19
menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia. Linguistik diakronis adalah semua
yang memiliki ciri evolusi.
Diakronis hanya hadir dalam parole karena segala perubahan pertama kali
dilontarkan individu sebelum masuk dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman
memiliki: ich war, wir waren, sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI
menafsirkannya: ich was, wir waren dan dalam bahasa Inggris: I was, we were.
Nah, bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was? Saussure. Linguistik
diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang
berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu
menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka.
2.6 Teori Makna
Konsep makna telah menarik disiplin ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi,
antropologi, dan lingustik. Beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata
makna ketika mereka mendefinisikan komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia
Moss menyatakan, “komunikasi adalah proses pembentukan makna diantara dua
orang atau lebih” (Sobur, 2001: 255). Para ahli mengakui istilah makna (meaning)
memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The
Meaning Of Meaning, Ogden dan Richards (1972, 186-187) telah mengumpulkan
tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan
sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang tertentu, yakni
dalam bidang linguistik (Sobur, 2001: 255).
Pada sistem budaya, semakin banyak orang berkomunikasi semakin banyak
pemahaman suatu makna yang kita peroleh. Penafsiran akan sesuatu makna pada
dasarnya dinilai bersifat pribadi setiap orang. Sejak Olato, John Locke, Witt
Geinstein, dan BrodBeck (1963), makna dimaknakan dengan uraian yang sering
membingungkan daripada menjelaskan. Dalam hal ini Brodbeck membagi makna
pada tiga corak, sebagai berikut:
1. Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) adalah objek,
pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut, dalam uraian
20
2. Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference
process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang
ditunjukan lambang (disebut rujukan atau referent).
3. Makna yang menunjukan arti (significance) yaitu suatu istilah sejauh
dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain, contoh: benda bernyala
karena ada phlogistion, kini setelah ditemukan oksigen phlogistion
tidak berarti lagi.
4. Makna intesional, yaitu makna yang dimaksud oleh seorang pemakai
lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan
rujukan. Makna ini tidak terdapat pada pikiran orang yang dimiliki
dirinya saja (Sobur, 2004: 262).
Pada dasarnya makna sebenarnya ada pada kepala kita, bukan terletak pada
suatu lambang. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata itu
mempunyai makna, yang dimaksudkan sebenarnya kata-kata itu mendorong orang
untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu.
Makna dapat digolongkan kedalam makna denotatif dan konotatif. Makna
denotatif adalah makna yang sebenarnya (factual), seperti yang kita temukan
dalam kamus. Makna denotatif bersifat public, terdapat sejumlah kata yang
bermakna denotatif namun ada juga bermakna konotatif, lebih bersifat pribadi
yakni makna diluar rujukan objektifnya. Dengan kata lain makna konotatif lebih
bersifat subyektif daripada makna denotatif (Sobur, 2003: 263)
2.7 Simbol
Simbol atau sering disebut juga lambang secara etimologis berasal dari kata
Yunani “sym-ballaein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda,
perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko & Rahmanto, 1998: 133). Namun,
adapula yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau cirri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000: 10). Simbol
terjadi berdasarkan metomini, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau
21
yang menjadi atributnya dan metafora, yaitu pemaknaan kata atau ungkapan lain
untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.
Penggunaan simbol dalam wujud budayanya, ternyata dilaksanakan dengan
penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut dari
generasi ke generasi berikutnya. Sebuah simbol adalah sesuatu yang secara
sengaja digunakan untuk menunjukkan sebuah benda lainnya. Benda ditunjukan
oleh simbol itu terhadap apa yang dimaksudkan kelompok sosial itu sendiri.
Kluckholn, menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif,
sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang
perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang
sifatnya kongkrit (Geertz; 1992, 5). Dalam usahanya untuk memahami
kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan
penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut.
Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya
perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description).
Simbol merupakan representasi dari realitas empiris, maka jika realitas
empiris berubah, simbol-simbol budaya itu pun akan mengalami perubahan.
Kebudayaan sebagai proses bukanlah suatu akhir tetapi selalu berkembang.
Dengan demikian kebudayaan adalah sesuatu yang gelisah, yang terus- menerus
bergerak secara dinamis dan pendek. Sifat diaklektis mengisyaratkan adanya suatu
“continuum”, suatu kesinambungan sejarah (Sobur, 2003: 180).
2.8 Perbandingan dengan skripsi terdahulu
Sebagai perbandingan terhadap orisinalitas penelitian yang dilakukan peneliti
mengenai Perubahan Simbol Dan Pergeseran Makna Pementasan Tari Dolalak
Versi Mlaranan , adapun sebelumnya terdapat dua penelitian yang telah
melakukan penelitian mengenai Tarian Dolalak dan satu penelitian mengenai
pergeseran makna dan fungsi Reog Banjarharjo.
1. Penelitian sebelumnya Hidayat (2015, Universitas Jendral Soedirman)
meneliti mengenai “Eksistensi Tari Dolalak Di Desa Brenggong
22
Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo”, fokus penelitian tersebut
ada pada eksistensi Tari Dolalak yang ada pada Sanggar Arum Sari
dengan memodifikasi seni gerak, seni rupa, dan seni musik. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi,
serta dokumentasi. Data penelitian kemudian dianalisis interaktif, melalui
tiga komponen analisis yaitu pengumpulan data, penyajian data , reduksi
data danb verifikasi. Validitas data yang digunakan adalah trianggulasi
data sumber. Lokasi penelitian yang diambil oleh peneliti adalah Desa
Brenggong Kecamatan Purworejo. Sasaran utama dalam penelitian ini
adalah ketua dan anggota sanggar tari Arum Sari.
2. Penelitian mengenai Perubahan Orientasi Pada Pesan Verbal Tembang
Dalam Seni Tradisional Angguk Dan Dolalak (Isbandi, FISIP UPN),
penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus terhadap Seni
Tradisional Angguk Dan Dolalak, dalam penelitian ini fokus kepada
perubahan tembang (verbal) yang dahulunya bersifat religi sekarang
lagunya lebih popular, teori komunikasi yang digunakan adalah Teori
Budaya Organisasi (Pacanowsky dan O’ Donnel Trujillo).
3. Penelitian mengenai Peran Tari Dolalak Dalam Penyebaran Islam Di
Desa Kaliharjo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo (1936-2007)
oleh Salimah; Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta;
2007. Dalam Penelitian ini membahas tentang sejarah kesenian Islam
khususnya tari Dolalak dan berupaya memberikan sumbangan dalam
rangka melestarikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan budaya
daerah.
4. Penelitian oleh Andri Fitrianto (Universitas Negeri Semarang, 2003),
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, mengenai:
Perubahan Makna Dan Fungsi Reog Banjarharjo Dalam Kehidupan
Masyarakat (Studi Kasus Desa Banjarharjo, Kecamatan Banjarharjo,
Kabupaten Brebes). Metode penelitian yang digunakan adalah metode
23
penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi.
Penelitian tersebut dianalisa menggunakan teori Strukturasi Giddens
bahwa peubahan makna yang terjadi pada Reog Banjarharjo baik
perubahan pada makna dan fungsinya disebabkan oleh agen dan struktur.
Dari ketiga penelitian tentang tari Dolalak, yang menjadi pembeda antara
skripsi terdahulu dengan skripsi yang akan peneliti lakukan adalah pada
jenis pendekatannya,. Peneliti menggunakan analisis semiotika Roland
Barthes. Sedangkan perbedaan penelitian tentang pergeseran makna juga
terlihat pada skripsi mengenai Reog Banjarharjo , dalam penelitian
tersebut penggunakan pendekatan fenomenologi.
Penelitian oleh Rifiana Trifena Pangila (Universitas Kristen Satya
Wacana 2009), Fakultas Komunikasi Ilmu Sosial Dan Komunikasi.
Dalam penelitian yang dilakukan Oleh Rifiana memiliki judul penelitian :
Strategi Komunikasi “Kesenian Tari Dolalak” Di Kabupaten Purworejo
Dalam Mempertahankan Eksistensi. Metode Penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif. Teori Strategi Komunikasi, Strategi Bertahan
menurut Talcott Parsons (AGIL) dimana sesuai dengan judul skripsinya
yang membahas mengenai eksistensi Tarian Dolalak.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian
berjudul “Pergeseran Makna Bentuk Sajian Tarian Dolalak Versi
Mlaranan periode 1980 – 2015”, dengan metodologi penelitian kualitatif,
dengan jenis penelitian deskriptif eksplanatif untuk menjelaskan
pergeseran yang terjadi dalam tarian Dolalak dan menggunakan teori
semiotika Roland Barthes.
24
2.9 Kerangka Berpikir
Gambar 4
Kerangka Berpikir
Semiotika Roland Barthes
Teori Makna
Menjelaskan Pergeseran
Makna Tari Dolak Dolalak
Versi Mlaranan Periode 1980-
2015 (Diakronik)
Makna Pesan
Makna (Denotasi, Konotasi, Dan
Mitos) Dan Fungsi
Bentuk Sajian Pementasan Tarian
Dolalak Versi Mlaranan