bab ii kerangka teori, hasil penelitian, dan...
TRANSCRIPT
23
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. Pengertian
1. Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga yang
merupakan kewajiban Negara bagi pemenuhan kebutuhan kesejahteraan warga
negara. Pelayanan Publik bukan hanya sebagai dasar instrumen berjalannya birokrasi
kewajiban negara, melainkan bahwa pelayanan publik merupakan hal dasar bagi
terwujudnya kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan warga negara dalam berbagai
aspek sosial. Terdapat berbagai macam pengertian mengenai Pelayanan Publik, yaitu
sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
tentang pelayanan publik di sebutkan bahwa:
“pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang –
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
24
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.”1
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, disebutkan bahwa:
“Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang – undangan.”2
SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012
tentang standar pelayanan peradilan disebutkan bahwa:
“pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak – hak sipil setiap warga
negara dan penduduk atas suatu barang dan jasa atau pelayanan administrative
yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”3
Istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum,
masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia
Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang banyak, ramai.4 Dengan demikian
pelayanan publik adalah segala bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dan keinginan 1 Pasal (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan
publik.
2 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
3 SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart
Pelayanan Publik.
4 Lijan Poltak Sinambela dkk, Op.Cit., h.5.
25
masyarakat atas barang, jasa, atau pelayanan administrarif yang dilaksanakan oleh
pemerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan. Pengertian pelayanan
publik dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai berikut :
Dalam Perspektif ekonomi, pelayanan publik adalah semua bentuk pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah (sektor publik yang diperlukan warga negara
sebagai konsumen).5
Sementara dari optik politik, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik
merupakan refleksi dari pelaksanaan negara dalam melayani warga negaranya
berdasarkan kontrak sosial pembentukan negara oleh elemen – elemen warga
negara. Peran negara dalam pelanyanan publik tersebut dilaksanakan oleh
suatu pemerintahan yang dijalankan oleh kekuatan politik yang berkuasa.6
Dari sisi sosial budaya, pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat demi mencapai kesejahteraan yang dalam
pelaksanaannya kental akan nilai- nilai, sistem kepercayaan dan kearifan lokal
yang berlaku.7
Sedangkan dari perspektif hukum, pelayanan publik dapat dilihat sebagai
suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau peraturan perundang –
undangan kepada pemerintah untuk memenuhi hak – hak dasar warga negara
atau penduduknya atas suatu pelayanan.8
5 Sirajuddin, Didik Sukriono, dan Winardi, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Keterbukaan
Informasi dan Partisipasi, Setara Press, 2012, h. 11.
6 Ibid.
7 Ibid, h. 12.
8 Ibid.
26
Ukuran keadilan dalam pelayanan publik sangat diperlukan, sebab tanpa
adanya keadilan maka pelayanan publik yang sebenarnya akan condong ke hal yang
lain dan melupakan prinsip dasar pelayanan publik dan merugikan masyarakat. Untuk
itu Pemerintah perlu membuat kebijakan – kebijakan tertentu agar tercipta pelayanan
publik yang baik dan terstruktur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Terdapat 4 jenis kebijakan yang penyusunan dan implementasinya yang
keterlibatan pemerintah yang berbeda. Protective regulatory policy merupakan
kebijakan yang dimaksud untuk melindungi kelompok minoritas, rentan, miskin, dan
mereka yang terisolasi.9 Kedua, competitive regulatory policy, yaitu kebijakan yang
dimaksudkan untuk mendorong kompetisi antar pelaksana kebijakan guna
mewujudkan efisiensi pelayanan publik.10
Ketiga, adalah distributive regulatory
policy. Jenis kebijakan ini dimaksudkan untuk melakukan distributive sumber daya
kepada masyarakat.11
Terakhir adalah kebijakan restributif. Jenis kebijakan ini
dimaksudkan untuk melakukan alokasi sumber daya yang ada di masyarakat.
Pelayanan Publik yang diberikan oleh peradilan diatur di dalam SK Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart
Pelayanan Peradilan. Standart Pelayanan Pengadilan dalam Surat Keputusan ini
merupakan standar pelayanan yang bersifat nasional dan memberikan pedoman bagi
semua badan peradilan di semua lingkungan peradilan pada semua tingkatan untuk
menyusun Standar Pelayanan Pengadilan pada masing-masing satuan kerja.
9 Lijan Poltak Sinambela, Op.Cit.,h. 15.
10 Ibid.
11 Ibid.
27
Pengertian mengenai Standar pelayanan publik adalah suatu tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian
kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara pelayanan kepada
masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan Pelayanan
pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang disediakan
oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya berdasarkan
peraturan-perundang-undangan dan prinsip-prinsip pelayanan publik.
Penyelenggara pelayanan pengadilan yang selanjutnya disebut penyelenggara
adalah setiap satuan kerja yang melakukan kegiatan pelayanan pengadilan. Dan
Pelaksana pelayanan pengadilan yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat,
pegawai, petugas, dan setiap orang yang bertugas melaksanakan tindakan atau
serangkaian tindakan pelayanan pengadilan. Sedangkan Masyarakat adalah yang
berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan pengadilan, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Surat keputusan ini dibuat berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 tahun
2009 tentang pelayanan publik. Menurut Aria Sujudi yakni Anggota Tim
pembaharuan MA standart pelayanan publik berbeda dengan SOP. SK MA Nomor
026 tahun 2012 tentang standart pelayanan peradilan hanya berlaku pada pengadilan
tingkat pertama dan banding dalam empat lingkungan peradilan serta MA. Standart
pelayanan ini disusun dengan tujuan ganda. Selain untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pengadilan bagi pencari keadilan dan masyarakat, standart pelayanan ini
28
juga diperuntukkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga
peradilan.
Dalam SK MA ini secara garis besar terdapat 4 jenis pelayanan di pengadilan,
yaitu pelayanan administrasi persidangan, pelayanan bantuan hukum, pelayanan
pengaduan dan pelayanan informasi. Sedangkan jika dilihat dari sistematika, SK MA
ini terdiri atas Ketentuan Umum, Standart Pelayanan Umum, Standart Pelayanan
pada Badan Peradilan Umum, Standart Pelayanan pada badan Peradilan Agama,
Standart Pelayanan pada Badan Peradilan Tata Usaha Negara dan Standart Pelayanan
pada Badan Peradilan Militer.
Dalam Poin ke Tiga SK MA No.026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan
Peradilan, berbunyi “Memerintahkan kepada setiap satuan kerja pada Badan
Peradilan untuk menyusun Standart Pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang
diberikan oleh masing – masing satuan kerja tersebut selambat – lambatnya 6 (enam)
bulan sejak tanggal ditetapkannya Surat Keputusan ini.” Maksud dari poin ke Tiga ini
adalah dengan adanya surat keputusan ini tiap – tiap Badan Peradilan di tingkat
manapun wajib membuat standart pelayanan yang baru dan baik sesuai dengan jenis
pelayanan yang akan diberikan dalam Badan Peradilan tersebut. Hal inilah yang
menjadi dasar bahwa setiap Badan Peradilan di tingkat manapun membuat
pembaharuan pelayanan publik untuk mempermudah pencari keadilan untuk
mendapatkan kemudahan dalam memperoleh keadilan.
Maksud dengan dikeluarkannya SK MA ini adalah sebagai bentuk komitmen
pengadilan kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas,
29
sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menilai kualitas pelayanan pengadilan,
sebagai tolok ukur bagi setiap satuan kerja dalam penyelenggaraan pelayanan, dan
sebagai pedoman bagi setiap satuan kerja dalam menyusun Standart Pelayanan
Pengadilan pada masing – masing satuan kerja.
2. Pengertian Pencari Keadilan
Pencari Keadilan adalah setiap orang atau warga masyarakat yang memiliki
hak – hak untuk diperjuangkan dalam hukum untuk memperoleh keadilan. Pencari
keadilan dapat disebut dengan istilah klien. Klien yang dimaksud seseorang atau
perorangan atau warga masyarakat atau pihak lain yang sama – sama berupaya
mencari dan memperjuangkan keadilan dalam hukum. Dalam kaitannya, pencari
keadilan memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan, hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 28 H ayat (2) Undang - Undang Dasar 1945 yakni: “setiap orang berhak
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.”
Dalam penelitian ini pencari keadilan yan dimaksud adalah Tersangka dan
terdakwa dengan pengertian menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang – Undang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana.” Menurut J.C.T Simorangkir bahwa yang dimaksud dengan tersangka
adalah “seseorang yang telah disangkakan melakukan suatu tindak pidana dan masih
dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini
30
mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di persidangan.”12
Sedangkan, Menurut
Darwaterdan Prints tersangka adalah “seseorang yang disangka, sebagai pelaku suatu
delik pidana” (dalam hal ini tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah
atau tidak”.13
Sedangkan Sedangkan menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang – Undang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “terdakwa adalah seorang tersangka yang
dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.” Pengertian mengenai Peradilan
Pemulihan Terpadu juga dapat dilihat dari pendapat J.C.T Simorangkir, bahwa yang
dimaksud dengan terdakwa adalah “seseorang yang diduga telah melakukan suatu
tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka
persidangan.”14
Tersangka dan terdakwa memiliki hak – hak sejak ia mulai diperiksa. Hak –
hak yang dimiliki oleh tersangka dan yakni diatur dalam KUHAP (Kitab Undang
Hukum Pidana) dari pasal 50 sampai dengan pasal 68. Hak – Hak tersebut, meliputi:
1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50
ayat (1), (2), dan (3)).
2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti plehnya
tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a
dan b).
12 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2014, h. 53.
13 Ibid.
14 Ibid, h. 54.
31
3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan
hakim (Pasal 52).
4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)).
5. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
(pasal 54).
6. Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk
oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi
tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma –
cuma.
7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk
menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat
(2)).
8. Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka aatu terdakwa yang
ditahan (pasal 58).
9. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah
dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan
hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan
dengan keluarga yang dimaksud (Pasal 59 dan 60).
10. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan
perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau untuk
kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
11. Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat – menyurat dengan
penasihat hukumnya (Pasal 62).
32
12. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima
kunjungan kerohaniawan (Pasal 63).
13. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de
charge (Pasal 65).
14. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).
15. Hak terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hukum yang
mengadili perkaranya. (Pasal 27 ayat (1), Undang – Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman)
Sedangkan para pencari keadilan terdapat dalam bagian menimbang Surat
Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No. W 12-U12/152 /HK008/9/2015
tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu pada
Pengadilan Negeri Salatiga, yakni sebagai berikut: (lampiran III)
a. Bahwa perempuan dan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga,
berhak mendapatkan perlindungan, pendampingan dan/atau bimbingan rohani
dalam setiap perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapinya.
b. Bahwa sarana pelayanan peradilan pemulihan harus memperhatikan dan
mempunyai akses yang dapat dijangkau oleh penyandang cacat (disabilitas).
c. Bahwa merupakan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan
bantuan kepada setiap anak baik terhadap yang menjadi pelaku maupun
korban baik bantuan hukum maupun bantuan lainnya, yang dalam
pelaksanaannya dapat melibatkan peran masyarakat.
33
d. Bahwa pelayanan peradilan pemulihan harus dapat menyediakan akses atau
sarana bagi saksi dan korban untuk memberikan kesaksian tanpa berhadapan
langsung dalam pemeriksaan persidangan.
B. Teori Hukum
1. Teori Keadilan Bermartabat
Teori keadilan bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hukum.
Teori Keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu skopa atau
cangkupan yang, antara lain; dapat dilihat dari susunan atau lapisan ilmu hukum yang
meliputi filsafat hukum atau philosophy of law di tempat pertama. Pada lapisan
kedua, terdapat teori hukum (legal theory). Sementara itu dogmatik hukum atau ilmu
hukum positif berada di tempat ketiga. Hukum dan praktik hukum berada pada
susunan atau lapisan ilmu hukum yang keempat.15
Walau dalam teori keadilan
bermartabat terdapat lapisan – lapisan dalam ilmu hukum, pada dasarnya lapisan –
lapisan atau komponen tersebut saling kait – mengkait.
Ruang lingkup teori keadilan bermartabat tidak hanya pengungkapan dimensi
yang abstrak dari kaidah dan asas – asas hukum yang berlaku. Lebih jauh dari pada
itu, teori keadilan bermartabat mengungkap pula semua kaidah dan asas – asas
hukum yang berlaku di dalam sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum dimaksud
yaitu sistem bukum positif Indonesia; atau sistem hukum berdasarkan Pancasila.16
15 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 2.
16 Ibid, h. 43.
34
Teori keadilan bermartabat, disebut bermartabat karena teori yang dimaksud
adalah merupakan suatu bentuk pemahaman dan penjelasan yang memadai (ilmiah)
serta mengenai konherensi dari konsep – konsep hukum di dalam kaidah dan asas –
asas hukum yang berlaku serta doktrin – doktrin yang sejatinya merupakan wajah,
struktur atau susunan dan isi serta ruh atau roh (the spirit) dari masyarakat dan bangsa
yang ada di dalam sistem hukum berdasarkan pancasila, yang dijelaskan oleh teori
keadilan bermartabat itu sendiri.17
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori keadilan bermartabat adalah
teori yang mengatakan bahwa keadilan adalah keadilan yang bukan sama rata
melainkan sesuai dengan ukuran keadilan bagi setiap manusia.
2. Teori Pemidanaan
Istilah teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory.
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan
perbuatan pidana.18
Pada dasarnya teori pemidanaan muncul akibat perubahan pola
kehidupan masyarakat terhadap perbuatan pidana yakni berupa kejahatan. Perbuatan
pidana merupakan :
“perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan,
yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditumbulkan oleh kelakuan orang,
17 Ibid., h.62.
18 H. Salim, HS., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, h. 149.
35
sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.” (Moelyatno, 2000: 54.19
Sanksi terhadap perbuatan pidana yakni kejahatan digolongkan menjadi 2
macam jenis dan diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, yaitu
pidana pokok dan tambahan. Pidana pokok merupakan pidana utama yang ditujukan
kepada pelaku kejahatan. Pidana Pokok terdiri atas pidana mati, pidana kurungan,
pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan Pidana tambahan merupakan pidana
yang bersifat hanya sebagai penambah pidana pokok yang ditujukan kepada pelaku
kejahatan. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak – hak tertentu, pengumuman
putusan hakim, dan perampasan barang – barang tertentu.
Teori pemidanaan merupakan teori – teori yang mengkaji dan menganalisis
mengapa negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan,
apakah karena adanya unsure pembalasan atau menakuti masyarakat, dan atau
melindungi atau memperbaiki masyarakat.
Tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dari suatu
pemidanaan, yakni sebagai berikut :
a) Untuk memperbaiki pribadi pelaku kejahatan;
b) Membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana;
c) Membuat pelaku kejahatan tertentu tidak mampu untuk melakukan perbuatan
tindak pidana
19 Ibid.
36
Dalam perkembangannya teori pemidanaan terbagi menjadi 3 jenis teori
pemidanaan, yakni teori absolute atau teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan
(Doeltheorie), dan teori gabungan (Gemengdetheoerie).
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (Teori Retributif)
Teori absolute berasal dari bahasa Inggris, yaitu Absolute Theory,
Sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu Absolute Therorieen. Teori absolute
berpijak pada prinsip pembalasan kembali.
L.,J. van Apeldoorn mengemukakan pandangannya tentang teori
absolute. Teori absolute adalah :
“teori yang membernarkan adanya hukuman hanya semata – mata atas
dasar delik yang dilakukan. Hanya dijatuhkan hukuman “quia
pecattum est” artinya karena orang membuat kejahatan. Tujuan
Hukum terletak pada hukuman itu sendiri. Hukuman merupakan
akibat mutlak dari sesuatu delik, balasan dari kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku.”20
Sedangkan, Muladi juga mengemukakan pandangan terhadap esensi
teori absolute. Teori absolute (teori retributif) memandang bahwa :
“pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah
dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan
itu sendiri.”21
20 Ibid., h. 152.
21 Ibid.
37
Berdasarkan dua pendapat yang tela dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa teori absolute memiliki ciri – ciri tertentu. Ciri pokok atau karakteristik
teori retributif, yaitu :
1. Tujuan Pidana adalah semata – mata untuk pembalasan;
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana – sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat.
3. Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidana;
4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
5. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.22
Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana
dijatuhkan semata – mata karena orang yang telah melakukan suatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi
bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.23
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorie)
Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorie) dapat disebut sebagai
teori nisbi yang menjadi dasar penjatuhan hukuman pidana kejahatan bagi
22 Rahman Amin, “Teori – Teori Pemidanaan dalam Hukum”, 4 Mei 2015,
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-hukum.html, dikunjungi
pada tanggal 4 November 2016 pukul 13.25. 23 H. Salim HS., Op.,Cit., h. 152.
38
pelaku kejahatan. Teori ini menjadi dasar penjatuhan hukuman pidana
kejahatan bagi pelaku kejahatan dan dibagi menjadi 2 macam ajaran, yaitu
ajaran Prevensi Umum (generale preventive) dan Prevensi Spesial (Special
Preventie).
Teori relative dibagi menjadi 2 macam teori, yakni teori yang menakut
– nakuti (asfhrikkingstheorien) dan teori memperbaiki penjahat. Teori yang
menakut – nakuti (asfhrikkingstheorien) berpendapat bahwa:
“tujuan hukuman adalah menakut – nakuti perbuatan kejahatan, baik
yang menakut – nakuti seluruh anggota masyakarat (general preventive)
maupun yang menakut – nakuti pelaku sendiri (special preventive), yaitu
untuk mencegah perbuatan ulang.”24
Sedangkan teori memperbaiki kejahatan bahwa tujuan hukum adalah
untuk memperbaiki penjahat, dalam hal ini mendidik dan membimbing
oejahat menjadi orang yang baik dalam lingkup masyarakat.
3. Teori Gabungan (Gemengdetheorie)
Teori Gabungan (Gemengdetheorie) merupakan gabungan dari teori
absolut atau teori pembalasan (Teori Retributif) dan teori relatif atau teori
tujuan (Doeltheorie). Dalam bahasa Inggris disebut combination theory.
Sementara dalam bahasa Belanda disebut Gemengdetheorie.
24 Ibid, h. 158.
39
C. Asas – Asas Hukum
Asas hukum adalah asas pendekatan ilmu hukum yang merupakan landasan
utama atau yang menjadi dasar acuan untuk pembuatan suatu aturan hukum. Asas
hukum adalah aturan dasar dan prinsip – prinsip hukum yang abstrak dan pada
umumnya mendasari peraturan konkrit dan pelaksanaan hukum.
Dalam bahasa Inggris, kata “asas” yakni “principle”, sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia ada tiga pengertian kata “asas”, yakni : (1) hukum
dasar, (2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan (3)
dasar cita-cita. Asas hukum merupakan asas yang menjadi unsure penting dan pokok.
Asas (Principle) merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar,
sebagai tumpuan, sebagai patok pangkal, sebagai fondamen, sebagai tempat untuk
menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak kita jelaskan.25
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum merupakan “jantungnya”
peraturan hukum. Karena menurut Satjipto, asas hukum adalah landasan yang paling
luas bagi lahirnya seuatu peraturan hukum.26
Sedangkan menurut Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa:
“asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit,
melainkan merupakan pikiran yang dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar
belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam atau dibelakang sistem
hukum yang terjelma dalam peraturan perundang – undangan dan putusan hakim
25 Sirajuddin, Didik Sukriono, dan Winardi, Op.Cit., h.21. 26 Ibid, h. 22.
40
yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat – sifat
umum dalam peraturan konkrit tersebut.”27
1. Asas – asas Pelayanan Publik
Menurut Pasal 4 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, dikemukakan penyelenggaraan asas – asas pelayanan publik, meliputi :
a. Kepentingan umum, artinya pemberian pelayanan publik tidak boleh
mengutamakan pribadi dan/atau kelompok;
b. Kepastian hukum, artinya jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan;
c. Kesamaan hak, artinya pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi;
d. Keseimbangan hak dan kewajiban, artinya pemenuhan hak harus sebanding
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun
penerima pelayanan;
e. Keprofesionalan, artinya pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi
sesuai dengan bidang tugas;
f. Partisipatif, artinya peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan
harapan masyarakat;
27 Ibid, h. 23.
41
g. Persamaan Perlakuan/ tidak diskriminatif, artinya setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil;
h. Keterbukaan, artinya setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi tentang pelayanan yang diinginkan;
i. Akuntabilitas, artinya proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan;
j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, artinya Pemberian
kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam
pelayanan;
k. Ketepatan waktu, artinya Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat
waktu sesuai dengan standar pelayanaan; dan
l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, artinya Setiap jenis pelayanan
dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63 /KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, asas – asas pelayanan publik, meliputi :
1. Transparansi
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas
42
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan.
3. Kondisional
Sesuai dengan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap
berpegang dengan prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipatif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan Hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, dan agama,
golongan, gender, dan status ekonomi.
6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban
masing – masing pihak.
2. Asas Praduga Tak Bersalah
Dalam teori hukum dikenal asas actus non facit reum nisi mens sit rea, yang
menyatakan bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah
bilamana maksudnya tak bersalah.28
Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),
28 Siswanto Sunarso, Filsafat Hukum Pidana Konsep, Dimensi, dan Aplikasi, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, h. 291
43
artinya setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut dan atau dihadapkan di
depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada dasarnya asas praduga tak bersalah merupakan tafsir yang digunakan
bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan sebelum adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah dan tetap dapat
menggunakan hak – haknya sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan
“dianggap tidak bersalah” adalah berkaitan dengan hak – hak seorang yang
melakukan suatu perbuatan. Melalui putusan pengadilan berdasarkan bukti – bukti
yang tidak meragukan majelis hakim dalam hal ini dapat dikatakan bukti – bukti
tersebut tidak dapat membuktikan bahwa seseorang bersalah, harus diartikan sebagai
akhir dari perlindungan hukum atas seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk
dianggap tidak bersalah.
3. Asas – Asas Peradilan
Asas – asas hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik
diantaranya meliputi hal – hal sebagai berikut :
a. Asas kebebasan hakim
Hakim dalam menjalankan intitusinya dalam peradilan harus merdeka
dan bebas tanpa adanya intervensi atau campur tangan pihak manapun agar
dalam putusan dapat seadil –adilnya dan tidak bersifat memihak. Meskipun
demikian kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judicial tidaklah
44
mutlak sifatnya. Secara mikro, hakim dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945,
Undang – Undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan perilaku atau
kepentingan para pihak. Sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh sistem
pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.29
Asas ini juga tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 48 tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian keadilan.”
maksudnya adalah hakim harus benar – benar melakukan sendiri tugas,
fungsi, dan kewajibannya tanpa ada bantuan pihak lain.
b. Hakim bersifat menunggu
Asas ini berarti bahwa inisiatif berperkara di pengadilan ada pada
pihak – pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu
datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (iudex ne procedat ex officio).
Jadi aka nada proses atau tidak, ada penuntutan hak atau tidak diserahkan
sepenuhnya kepada pihak – pihak yang berkepentingan.30
c. Pemeriksaan berlangsung terbuka
Asas ini terdapat pada Pasal 13 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “semua
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang –
undang menentukan lain.” Maksud dari asas ini adalah setiap orang dapat
29 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit., h. 67.
30 Ibid.
45
hadir, mendegar, dan menyaksikan jalannya proses pemeriksaan perkara di
pengadilan.
Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan tidak
memihak, adil dan serta untuk melindungi hak asasi manusia dalam bidang
peradilan, sesuai peraturan hukum yang berlaku. Asas ini membuka social
control dari masyarakat, yaitu dengan meletakkan peradilan dibawah
pengawasan umum.31
d. Hakim aktif
Hakim selaku pemimpin sidang harus bersikap aktif dalam memimpin
jalannya persidangan dari awal hingga akhir persidangan.
e. Asas hakim bersifat Pasif (Tut Wuri)
Asas ini berarti hakim hanya membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapai peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
f. Asas kesamaan (audi et Alteram Partem)
Asas ini berarti setiap orang atau pihak manapun yang berperkara
dalam peradilan harus diperlakukan dan diberikan kesempatan yang sama dan
adil untuk membela, melindungi kepentingan yang bersangkutan dan
memperoleh keadilan. Dalam hal ini hakim harus bersikap netral atau tidak
memihak pihak manapun agar tidak terjadi peradilan berat sebelah.
31 Ibid., h. 68.
46
g. Asas Objektivitas
Asas ini berarti dalam memeriksa dan memberikan putusan hakim
harus bersikap objektif dan tidak boleh memihak/apriori/ netral terhadap pihak
manapun.
h. Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
Asas ini dimaksudkan untuk menjaga agar hakim tidak sewenang –
wenang dalam menjatuhkan putusan. Putusan yang tidak lengkap
pertimbangannya merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan putusan
tersebut harus dibatalkan.
4. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan
Dalam menjalankan fungsinya, Kekuasaan kehakiman selain menjalankan
fungsinya “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” juga dilakukan
secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 2 ayat (4) Undang – Undang Nomor
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dapat dikatakan bahwa:
“peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu
menghendaki peradilan cepat, tepat, adil, dan biaya ringan, tidak diperlukan
pemeriksaan dan acara yang berbelit – belit yang dapat menyebabkan proses sampai
bertahun – tahun, bahkan kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris para pencari
keadilan.”32
Yang dimaksud dengan “ sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif dengan cara atau prosedur yang
32Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan” salah satu bentuk penyelesaian sengketa
berdasarkan asas peradilan cepat, seerhana, biaya ringan”, PT Alumni, Bandung, 2013, hlm. 55.
47
jelas, mudah dimengerti, dipahami, atau tidak rumit atau tidak berbelit – belit.33
Dengan demikian konsep kesederhanaan dalam beracara dan kesederhanaan
perumusan peraturan – peraturan hukum acara akan mempermudah, sehingga akan
mempercepat jalannya proses peradilan yang tentunya menguntungkan para pencari
keadilan.
Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang serendah
mungkin, sehingga daoat dipikul oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam
pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan.34
Apabila biaya perkara sangat tinggi akan membuat
masyarakat terkhusus para pencari keadilan akan enggan untuk berperkara di
pengadilan, sehingga keadilan hanya akan menjadi faktor yang diidam – idamkan
saja.
Yang dimaksud dengan “Peradilan Cepat” adalah menyanglut masalah
jalannya peradilan dengan ukuran waktu atau masa acara persidangan berlangsung.35
Kesederhanaan prosedur dalam proses persidangan sangat diperlukan, hal ini
dikarenakan keterbatasan waktu agar tidak berlangsung lama. Penyelesaian perkara
dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan masalah – masalah baru serta
terjadinya perubahan – perubahan keadaan bagi eksekusi putusan hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit – belit. Makin
33 Ibid.
34 Ibid, hlm. 56.
35 Ibid, hlm. 57.
48
sedikit dan sederhana formalitas – formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam
beracara di pengadilan semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami,
sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang menjamin adanya
kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di
muka pengadilan. kata tepat ditujukan kepada jalannya peradilan.36
5. Asas Keadilan
Keadilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah landasan berlaku
adil terhadap manusia yang menjadi warga masyarakat. Keadilan adalah semua hal
yang berkenaan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antarmanusia, keadilan
berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan
kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan,
semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.
D. Hasil Penelitian
1. Standar Pelayanan Pengadilan Negeri Salatiga
Pengadilan Negeri Salatiga yang beralamat di Jl.Veteran No.4 Salatiga, Jawa
Tengah berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.
026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan sebagai dasar bagi setiap
satuan kerja pada seluruh badan peradilan dalam memberikan pelayanan publik
adalah melalui Surat Keputusan tersebut menjadi dasar Pengadilan Negeri Salatiga
untuk menerapkan standar peradilan yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku
36 Ibid.
49
dan menjadi dasar untuk melahirkan program pelayanan publik terbaru berbasis
keadilan yakni Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang salah satunya berupa
konseling.
Melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 026/KMA/SK/II/2012
tentang Standar Pelayanan Peradilan, Pengadilan Negeri Salatiga membuat Pelayanan
Publik berbasis keadilan yakni Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dan Pengadilan
Negeri Salatiga mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga
No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan
Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga untuk mengatur
mengenai tatacara pelayanan, biaya pelayanan peradilan, dan penetapan – penetapan
untuk penunjukan konseling yang merupakan bagian dari Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T).
Pengertian mengenai Standart Pelayanan Peradilan terdapat pada bagian
ketentuan umum huruf C angka 3 yang berisi:
“Standart Pelayanan Peradilan adalah standar pelayanan yang bersifat
nasional dan memberikan pedoman bagi semua badan peradilan di semua lingkungan
peradilan pada semua tingkatan untuk menyusun Standar Pelayanan Pengadilan pada
masing-masing satuan kerja.”
Sedangkan pengertian pelayanan pengadilan terdapat pada bagian ketentuan
umum huruf C angka 1 yang berisi:
50
“Pelayanan Pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang
disediakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya
berdasarkan peraturan-perundang-undangan dan prinsip-prinsip pelayanan publik.”
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dasar peraturan perundang – undangan
yang ada dalam pelayanan peradilan yang dimaksud adalah Kitab Undang Hukum
Acara Pidana untuk perkara pidana dan Kitab Undang Hukum Acara Perdata untuk
perkara perdata. Eksistensi KUHAP dalam standart pelayanan peradilan dalam SK ini
saling berhubungan dimana KUHAP digunakan sebagai patokan dalam mengeluarkan
putusan. KUHAP digunakan sebagai acuan dalam mengeluarkan serta memutus suatu
perkara dan menjadi faktor penting dari sebuah sistem peradilan pidana. Ketika suatu
program yang bersifat umum demi kepentingan masyarakat atau publik maka harus
berdasarkan peraturan perundang – undangan bukan berdasarkan surat keputusan.
Apabila suatu program dibentuk berdasarkan surat keputusan maka hal tersebut telah
melanggar peraturan perundang – undangan.
Penyelenggara pelayanan peradilan adalah satuan kerja yang melakukan
kegiatan pelayanan pengadilan dengan pelaksana pengadilan yakni pejabat, pegawai,
petugas, dan setiap orang yang melakukan serangkaian kegiatan atau tindakan
pelayanan pengadilan. Sedangkan Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga
negara maupun penduduk sebagai orang perseorangan, kelompok, maupun badan
hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan pengadilan, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
51
Dalam bagian ketentuan umum huruf J angka 3 dikatakan bahwa:
“Penyusunan Standart Pelayanan Pengadilan pada satuan kerja dilakukan dengan
mengikutsertakan masyarakat dan pemangku kepentingan.” Dan pada angka 4
dikatakan bahwa: “Penyusunan standart pelayanan pengadilan pada tiap – tiap satuan
kerja dilakukan dengan berpedoman pada UU Pelayanan Publik dan Standart
Pelayanan Pengadilan.” Oleh karena itu melalui standart pelayanan peradilan ini
seluruh ketentuan yang berlaku menjadi hal dasar dalam pelayanan publik Pengadilan
Negeri Salatiga dengan membentuk Program Peradilan Pemulihan
Terpadu(P3T).(Lampiran I)
2. Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) Pengadilan Negeri Salatiga
Dasar pembentukanPeradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah berdasarkan
Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012
tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian Putusan Nomor 3 yang
menetapkan bahwa: “memerintahkan kepada setiap satuan kerja pada Badan
Peradilan untuk menyusun Standart Pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang
diberikan oleh masing – masing satuan kerja tersebut selambat – lambatnya 6 (enam)
bulan sejak tanggal ditetapkannya Surat Keputusan ini.” Dan berdasarkan pada huruf
J angka 1 yang berisi:
“dalam waktu selambat – lambatnya 1 (satu) tahun sejak Standar Pelayanan
Pengadilan diberlakukan, setiap satuan kerja pada semua lingkungan badan peradilan
di semua tingkatan, wajib menyusun standart pelayanan peradilan yang disesuaikan
dengan kondisi pada masing – masing satuan kerja, dan kebutuhan masyarakat pada
wilayah hukumnya.”
52
Serta berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W
12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan
Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga sebagai dasar
pengaturan mengenai program peradilan pemulihan terpadu (P3T) yang berbasis
keadilan. SK ini berisi mengenai sistem pelayanan peradilan terpadu untuk
pencapaian keadilan dalam perkara pidana maupun perdata, pembentukan team
pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga,
pengaturan tatacara pelayanan, biaya pelayanan peradilan, dan penetapan – penetapan
untuk penunjukan konseling. Dan dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan juga
dalam bagian menimbang mengenai hak – hak pencari keadilan terdapat dalam
bagian menimbang yakni sebagai berikut: (lampiran II)
a. Bahwa perempuan dan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga,
berhak mendapatkan perlindungan, pendampingan dan/atau bimbingan rohani
dalam setiap perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapinya.
b. Bahwa sarana pelayanan peradilan pemulihan harus memperhatikan dan
mempunyai akses yang dapat dijangkau oleh penyandang cacat (disabilitas).
c. Bahwa merupakan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan
bantuan kepada setiap anak baik terhadap yang menjadi pelaku maupun
korban baik bantuan hukum maupun bantuan lainnya, yang dalam
pelaksanaannya dapat melibatkan peran masyarakat.
53
d. Bahwa pelayanan peradilan pemulihan harus dapat menyediakan akses atau
sarana bagi saksi dan korban untuk memberikan kesaksian tanpa berhadapan
langsung dalam pemeriksaan persidangan
Peradilan Pemulihan terpadu adalah sebuah program unggulan dan program
inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk
mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep
keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik pengadilan yang bertujuan
pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan dengan hukum
yakni pelaku/ korban. Melalui wawancara dengan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai
jaksa Penuntut Umum pada tanggal 26 Agustus 2016, kata Terpadu dapat diartikan
sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan di Pengadilan Negeri
Salatiga yakni berupa bimbingan konseling yang dilakukan oleh Psikologi, Pendeta,
atau Konsuler yang sebelumnya telah ditunjuk melalui SOP.37
Melalui wawancara dengan narasumber lain yakni Ibu Henny Trimira
Handayani, SH., MH., sebagai Ketua Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 22
Agustus 2016, bentuk Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang diberikan kepada
pelaku dan korban selaku pencari keadilan adalah dengan tujuan sebagai berikut :
Untuk membangun sarana, prasarana dan model penanganan peradilan
pemulihan terpadu yang dapat membantu pemulihan keadaan mental atau
rokhani bagi korban, pelaku maupun pihak – pihak yang berperkara melalui
penyediaan fasilitas- fasilitas dan lembaga konseling, agar dapat membantu
37 Wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum , Kejaksaan Negeri Salatiga, 6 Agutus 2016.
54
para pihak yang berhadapan dengan hukum dapat memperbaiki kualitas
kehidupannya ;
untuk membuka ruang dialog intersubyektif terbuka bagi hakim dengan para
pihak yang berhadapan dengan hukum melalui bantuan konsuler, sehingga
hakim dapat memahami keadilan yang lebih substantive;
membuka stigma negatif masyarakat ketika hakim berupaya berdialog
dengan para pihak dalam memahami permasalahan suatu perkara; dan
untuk mendamaikan perkara sebelum perkara diputus.38
Kemudian melalui wawancara dengan Ibu Henny Trimira Handayani,
SH.,MH., sebagai Ketua Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 22 Agustus 2016;
Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai Panitera Muda Pidana dan Bapak Adhi
Agus Ardhianto SH., sebagai Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Salatiga yang
dilakukan pada tanggal 30 Mei 2016 dan 28 Juni 2016 ; Bapak Ferdiansyah
SH,MH.,sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Umum ; dan Bapak Fajar Yulianto,
SH., sebagai Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 26 Agustus 2016, bahwa bentuk
peradilan pemulihan terpadu yang diberikan kepada pelaku dan korban terkait
konseling, yaitu sebagai berikut :
dilihat dari sisi pelaku yakni apakah pelaku tersebut telah benar – benar
menyesal atau tidak ataukah hanya berpura – pura menyesal yang dalam hal
ini berarti memberi penilaian. Jika dalam penilaian tersebut pelaku masih
dapat dibina/dibimbing maka pada saat itu juga pengadilan memberikan
38 Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga, Salatiga, 22 Agustus 2016.
55
penawaran kepada pelaku apakah mau dilakukan bimbingan atau tidak.
Penilaian tersebut dilakukan oleh hakim dan jaksa.
Dari sisi korban, dilakukan dengan penilaian yang sama, untuk perkara
pidana ada dalam bentuk diversi atau sidang melalui ruang teleconference
untuk perkara pidana anak dan selanjutnya dapat dilakukan bimbingan atau
konseling karena ada pemikiran bahwa anak masih dapat untuk dibina.
Bimbingan berupa konseling ini berguna untuk para pihak dalam hal
mendapatkan pencerahan batin atau rohani bagi pelaku agar tidak
mengulangi kejahatan yang diperbuat. Dan pemulihan bagi korban, biasanya
untuk pemulihan korban lebih banyak dalam hal perlindungan korban anak.
Bentuk rekomendasi/referensi yang diberikan oleh pihak konselor kepada
hakim ada dalam bentuk dokumen (resume) yang sebelum persidangan tersebut
bersifat rahasia dan tidak dapat diberitahukan kepada pihak manapun kecuali hakim
(hanya pada hakim) sampai selesai persidangan dan dokumen tersebut setelah
persidangan baru dapat dibuka secara terbuka. Kerena hal tersebut dapat
mempengaruhi pemikiran – pemikiran si korban. terkait dengan Jaksa bisa saja jaksa
meminta rekomendasi/referensi konselor namun hanya dapat digunakan sebagai
kepentingan memperkuat fakta – fakta dalam persidangan.
Pada dasarnya program bimbingan atau konseling yang diberikan dilakukan
dengan cara mempertemukan pihak yang membutuhkan dengan pihak konselor yakni
psikolog atau rohaniawan untuk selanjutnya dilakukan bimbingan konseling tersebut.
Model pelayanan konseling tersebut mengadopsi lembaga BP4 pada KUA dan
56
lembaga pendampingan perempuan dan anak yang terdapat di kepolisian dalam
perkara pidana anak dan tindak pidana susila.39
Pemulihan tersebut dilakukan selama
proses perkara berjalan dan dilakukan saat persidangan berlangsung yang diharapkan
hasil dari proses pemulihan dengan konseling tersebut dapat menjadi masukan atau
referensi bagi hakim untuk memperjelas titik terang dalam memutus perkaranya,
sekaligus memberi manfaat bagi korban/pelaku/para pihak yakni berupa pemulihan
mental/jiwa.
Lembaga konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) berjalan sejak
penandatanganan MOU pada tanggal 21 September 2015 dengan perantara
Pengadilan Negeri Salatiga dengan PemKot Salatiga , Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang
kemudian dilanjutkan dengan penandatangan MoU lain dengan perantara Pengadilan
Negeri Salatiga dengan Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga dan Rumah Sakit Paru
Dr. Ario Irawan Salatiga yang diterapkan dalam perkara perdata yakni terkhusus
perceraian dan dalam perkata pidana. Adapun dalam SOP pelaksanaan lembaga
konseling adalah upaya konseling ditawarkan oleh Hakim atau Majelis Hakim pada
saat persidangan dan Konseling dilakukan di luar jam persidangan oleh konsuler
(Psikolog/Rohaniawan/pendamping) yang ditunjuk. Proses konseling diharapkan
dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan.40
39 http://inovasi.mahkamahagung.go.id/inovasi-
detail/PELAYANAN%20PERADILAN%20PEMULIHAN%20TERPADU%20%20P3T, di akses
pada tanggal 8 Agustus 2016, pukul 11.50.
40 Ibid.
57
Sistem Peradilan Pidana atau yang disingkat dengan SPP adalah hukum acara
pidana dalam arti yang luas sementara istilah hukum acara pidana saja adalah SPP.
Kedudukan program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam sistem peradilan
pidana (SPP) dalam hal ini adalah bahwa program Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) hanyalah sebagai program unggulan pengadilan dan tidak dicantumkan dan
diatur di dalam sistem peradilan pidana (SPP). Konsep dasar sistem peradilan pidana
Indonesia pada dasarnya adalah apa yang telah diundangkan dalam KUHP dan
ketentuan lain di luar KUHP yang secara keseluruhan menjadi satu yaitu sistem
peradilan pidana Indonesia.41
Terkait implementasi dan kedudukan program peradilan pemulihan terpadu
(P3T) dalam sistem peradilan pidana adalah yang dalam hal ini terkait dengan
Independensi kedudukan hakim dan jaksa bahwa hakim dan jaksa tidak terpengaruh
sama sekali dengan adanya program ini. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya hakim hanya memiliki keperluan dalam hal untuk untuk mengetahui segala
hal yang berkaitan dengan perkara yang ditangani, serta referensi yang diberikan oleh
ahli atau konselor hanya sebagai salah satu acuan hakim untuk dapat menemukan titik
terang dalam perkara yang ditangani.
Referensi yang diusulkan/diberikan kepada hakim tidak bersifat mengikat
hakim. Oleh karenanya adanya program peradilan pemulihan terpadu (P3T) tidak
mempengaruhi independensi hakim dalam mengurus serta memutus suatu perkara.
41 Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2009, hlm. 99.
58
Terkait Independensi yag dimiliki oleh Jaksa penuntut umum, Independensi yang
dimiliki jaksa Penuntut Umum sama dengan Hakim, yakni tidak dapat dipengaruhi
oleh hal apapun dikarenakan jaksa memiliki pemikiran sendiri yang tidak dapat di
intervensi oleh hal apapun serta jaksa pada dasarnya telah memiliki kewenangan
tersendiri dalam hal tuntutan.
3. Perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt, terdakwa Feri Tri
Wahyudi Bin Sudirman
Perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt, atas nama Terdakwa Feri Tri
Wahyudi Bin Sudirman, umur 28 tahun, jenis kelamin laki – laki, kebangsaan
Indonesia, yang bertempat tinggal di Jl. Tirtomoyo No. 37 Rt 04 Rw 01 B Kec.
Bandungan Kab. Semarang, agama Islam, pekerjaan Swasta, atas dakwaannya terjerat
pidana dalam pasal 480 ayat (1) KUHP yakni: “barang siapa membeli, menyewa,
menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
diperoleh dari kejahatan penadahan.”
Bahwa sebelumnya pada hari Sabtu, tanggal 24 Januari 2015 sekitar pukul
02.30 di depan rumah yang terletak di Gg. Jerukan Rt 11 Rw 02 Kalioso kel.
Kutowinangun Kec. Tingkir Kota Salatiga, telah terjadi tindak pidana pencurian
sepeda motor yang dilakukan oleh Saksi Abdurrohim Dwi Cahya (dalam berkas
terpisah). Motor yang dicuri yakni Yamaha Vega tahun 2007 dengan Nomor Polisi
59
H-2938-QB warna hitam. Yang kemudian oleh Saksi Abdurrohim Dwi Cahya hasil
motor curian tersebut diambil kerangka motornya dan di titipkan di rumah Saksi
Andhika Fendi Yohanes untuk dijual dan rangka tersebut berhasil di beli oleh sdr
TOLE (DPO).
Dalam perkara tersebut terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman sekitar
bulan Februari Tahun 2015 sekira pada jam 18.30 WIB atau setidak – tidaknya pada
tahun lain dalam tahun 2015 telah membeli rangka sepeda motor hasil curian sebesar
Rp 200.000,- dari sdr TOLE (DPO) di Lopait Rawa Permai Tuntang Kabupaten
Semarang dalam rangka untuk memenuhi pesanan rangka dari Saksi Hendri Susilo
yang meminta untuk dirakitkan menjadi motor trail yang dalam perkara tersebut
Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah membeli rakitan motor tersebut
tanpa dilengkapi dengan surat – surat kepemilikan yang sah.
Bahwa rakitan yang sebelumnya masih berupa rangka oleh Terdakwa dengan
sengaja nomor rangka tersebut di hilangkan dengan cara menggerinda. Hasil rakitan
motor trail yang dilakukan oleh Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman
memperoleh pendapatan keuntungan sejumlah Rp 200.000,- dari Saksi Hendri Susilo.
Dengan demikian Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah melakukan
tindak pidana kejahatan penadahan dan memberikan dakwaan pada Pasal 480 ayat (1)
KUHP yakni “barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima
hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan,
menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu benda, yang
60
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.”
Dalam perkara tersebut Pengadilan Negeri Salatiga yang menerima, memeriksa dan
memutus perkara pidana telah menjatuhkan penetapan penunjukan konseling untuk
kepentingan terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan Penetapan
No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt., pada tanggal 28 Oktober 2015. (Lampiran III)
Berdasarkan Penetapan konseling dengan Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN,Slt.,
yang diperuntukkan bagi terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan maksud
bahwa penyimpangan perilaku yang telah dilakukan oleh terdakwa telah melanggar
norma - norma hukum pidana dan harus dilakukan upaya untuk meningkatkan
kualitas perilaku dan pengendalian diri terdakwa yang bertujuan untuk pemulihan
secara amental agar terdakwa dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam penetapan tersebut telah ditetapkan bahwa
Sdr..Dra. Siti Zumrotun, M.ag selaku Psikolog/Rohaniawan, yang ditetapkan sebagai
konsuler dalam perkara tersebut adalah untuk mendampingi dan memberikan
bimbingan terhadap terdakwa dan hasilnya dilaporkan pada majelis hakim. Melalui
penetapan ini terdakwa mendapatkan hak – haknya untuk mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.42
Serta melalui penetapan ini hakim dapat
menggali lebih dalam, memahami nilai – nilai hukum yang ada dan rasa keadilan
yang sebenarnya.43
42 Lihat Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
43 Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
61
Dalam perkara tersebut memang benar bahwa Terdakwa Feri Tri Wahyudi
Bin Sudirman telah menerima konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)
yang ditawarkan oleh hakim sebelumnya. Akan tetapi yang terjadi adalah Konseling
dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang ditawarkan tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan sebelumnya.
Pada tataran ide proses konseling berdasarkan Surat Penetapan Konseling
dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan persidangan yang setelah proses
konseling berakhir, konselor yang telah ditunjuk sebelumnya membuat hasil
konseling yang kemudian diberikan kepada hakim secara tertutup dan dibacakan pada
saat pembacaan putusan sebagai salah satu bahan pertimbangan jika diperlukan. Fakta
yang terjadi adalah Konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang telah
berjalan sempat berhenti, hal ini dikarenakan terdakwa merasa disalahkan dan
dihakimi dalam proses konseling yang dilakukan oleh pihak konselor sehingga
terdakwa tidak memahami tujuan dari konseling.
Berdasarkan perkara tersebut hubungan antara Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) dengan perkara yang ada terkait dengan bimbingan atau konseling adalah pihak
yang bermasalah yang berhadapan dengan hukum mendapatkan pencerahan melalui
pilihan bimbingan atau konseling tersebut. Dengan adanya peradilan pemulihan
terpadu (P3T) tersebut memudahkan jalan para pencari keadilan dalam hal
penyelesaian konflik dan perkara – perkara yang sedang berlangsung.
62
Namun untuk menjalankan Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)
masih jauh dari kata mudah untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan bahwa adanya
posisi pelaku selaku pencari keadilan dalam memperoleh keadilan yang tidak
seimbang. Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah dalam hal ini adalah keadilan.
Keadilan yang harus didapat dan diperoleh oleh pencari keadilan adalah kepastian
mengenai hak – haknya dalam memperoleh keadilan yang dalam perkara tersebut ada
kekhawatiran para pencari keadilan bahwa hakim akan berat sebelah dalam memutus
perkara, serta dalam SK Ketua Pengadilan Negeri Salatiga Nomor W 12-U12/152
/HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Pengadilan Negeri
Salatiga bahwa tidak dicantumkan secara jelas mengenai hak – hak
tersangka/terdakwa selaku pencari keadilan.
E. Analisis
Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah program unggulan dan program
inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk
mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep
keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik Pengadilan Negeri Salatiga
yang bertujuan pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan
dengan hukum yakni pelaku/korban. Untuk menyesuaikan dengan hukum yang ada
maka dibuat pengaturan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yakni dengan Surat
Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015
tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu Pada
Pengadilan Negeri Salatiga, dengan dasar pembentukannya adalah melalui Surat
63
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart
Pelayanan Peradilan.
Pada dasarnya Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) di Pengadilan Negeri
Salatiga tidak sesuai dengan amanat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yakni
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart
Pelayanan Peradilan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan,
tidak ada ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan acuan
Surat Keputusan, melainkan bahwa penyelenggaraan pelayanan Publik harus
berdasarkan peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip pelayanan publik.
Ketentuan tersebut terlihat pada pengertian mengenai Pelayanan Pengadilan dalam
bagian Ketentuan Umum huruf D angka 3 yakni:
“Pelayanan Pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang
disediakan oleh Mahkamah Agung dan badan – badan peradilan dibawahnya
berdasarkan peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip pelayanan
publik.”
Dengan demikian apabila Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak sesuai
dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang
Standart Pelayanan Peradilan maka akan menimbulkan kerugian bagi para pencari
keadilan sehingga berdasarkan hal tersebut pencari keadilan dapat mengadukan
pelayanan publik yang ada di Pengadilan Negeri Salatiga yakni terkait Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T). Hak Pengaduan atas Pelayanan Pengadilan para pencari
keadilan dapat dilihat pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026
64
tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian Ketentuan Umum
huruf F angka 1, yakni:
“masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik
pengadilan dalam hal :
a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar larangan;dan
b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standart
pelayanan.”
Tidak hanya itu Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) juga melanggar
ketentuan mengenai proses persidangan yang ditunda demi berlangsungnya proses
peradilan pemulihan terpadu yakni konseling. Padahal ketentuan mengenai pelayanan
persidangan pidana telah diatur di dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian III Standar
Pelayanan Peradilan pada Badan Peradilan Umum huruf C angka 1. Dapat dikatakan
bahwa ketentuan dan prosedur yang ada dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan
Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan
Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga tidak sesuai dengan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart
Pelayanan Peradilan.
Melalui bebagai wawancara yang penulis lakukan dengan para narasumber
yakni wawancara dengan Ibu Henny Trimira Handayani, SH., MH., sebagai Ketua
Pengadilan Negeri Salatiga; Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai panitera muda
pidana dan Bapak Adhi Agus Ardhianto, SH., sebagai panitera pengganti di
pengadilan Negeri Salatiga; Ba]pak Ferdiansyah, SH., MH., sebagai Kepala Seksi
65
Tindak Pidana Umum; dan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai Jaksa Penuntut umum
tersebut diatas bahwa Kegiatan Konseling yang ada dalam Program Peradilan
pemulihan terpadu (P3T) yang dapat memberi manfaat bagi para pencari keadilan
yakni pelaku/ terdakwa, hakim, dan jaksa penuntut umum. Manfaat tersebut yakni
sebagai berikut:
Dari sisi Hakim, hakim yang pada awalnya tidak tahu segala - galanya
menjadi lebih mudah mengetahui dan terbantu mengenai masukan – masukan
serta melalui referensi dari konselor tersebut hakim dapat mengetahui tentang
latar belakang pelaku melakukan tindak pidana, korban dapat ikut serta dalam
tercetusnya tindak pidana atau kenapa korban menjadi pihak yang dirugikan
oleh pelaku, saksi mengenai hal yang sebenarnya atau kondisi sebenarnya
(psikis atau psikologis) dari pihak yang bermasalah tersebut adalah agar
dalam memutus suatu perkara hakim menjadi lebih adil dan seimbang dalam
putusannya dan tidak berat sebelah.
Dari sisi Jaksa Penuntut Umum, Jaksa terbantu dalam hal pembuktian yang
dapat memperkuat fakta – fakta dalam persidangan dan lebih memperjelas
lagi mengenai fakta – fakta dalam persidangan.
Bagi para pencari keadilan atau berkonteks pada masyarakat bahwa perbuatan
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang dianggap meresahkan masyarakat
itu adalah dengan adanya konseling tersebut maka pelaku yang meresahkan
masyarakat menjadi sadar dan mengakui kesalahan yang diperbuat dan ketika
pelaku kembali ke masyarakat maka pelaku tidak lagi meresahkan masyarakat
66
dan berguna bagi masyarakat. Dan untuk korban, korban menjadi tidak resah
akan perbuatan pelaku dan beban mental korban menjadi lega atau
memperbaiki mental korban akibat perbuatan pelaku.
Kemudian fakta – fakta yang ada terkait dengan peradilan pemulihan terpadu
(P3T) yakni sebagai berikut :
bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) merupakan program yang
bersifat unggulan serta inovasi dan bukan merupakan program yang
sebenarnya yang tercantum dan diatur dalam sistem peradilan pidana (SPP).
Bahwa Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dibuat berdasarkan
amanat dari Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012
tentang Standart Pelayanan Peradilan, dalam hal pembaharuan inovasi
pelayanan publik di Pengadilan Negeri.
Bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dilaksanakan atas dasar
ketentuan yang telah dicantumkan dalam SK Ketua Pengadilan Negeri
Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan
Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga.
Bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dianggap mengganggu
proses sidang pokok yang sedang berlangsung.
Bahwa melalui program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dianggap
memberatkan para pencari keadilan.
67
Terkait dengan teori keadilan bermartabat, Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) dalam penerapannya sesuai dengan teori keadilan bermartabat. Teori keadilan
bermartabat adalah teori yang mengatakan bahwa keadilan adalah keadilan yang
bukan sama rata melainkan sesuai dengan ukuran keadilan bagi setiap manusia.
Faktanya adalah bahwa Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) pada
dasarnya mengutamakan demi tercapainya keadilan bagi para pencari keadilan.
Ukuran Keadilan yang sebagaimana dimaksud dalam teori keadilan bermartabat
dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah dalam hal kepastian mengenai hak
– hak pencari keadilan yakni hak – hak pelaku/terdakwa . Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) dalam tataran ide adalah memposisikan pelaku/ terdakwa sebagai
orang yang mencari keadilan yang perlu untuk dijunjung tinggi mengenai hak –
haknya dalam memperoleh keadilan.
Melalui Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adanya potensi bagi hakim untuk
berdialog dengan para pencari keadilan agar dalam menangani suatu perkara hakim
dapat memahami keadilan yang lebih subtansive dan tidak merugikan terdakwa
selaku pencari keadilan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori keadilan
bermartabat dan peradilan pemulihan terpadu sudah sejalan.
Terkait dengan teori pemidanaan, Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam
penerapannya tidak bertentangan dengan teori pemidanaan. Pada dasarnya dalam
teori pemidanaan hanya ditujukan penjatuhan hukumannya kepada pelaku yang
melakukan perbuatan pidana. Teori pemidanaan merupakan teori – teori yang
68
mengkaji dan menganalisis mengapa negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang
telah melakukan kejahatan, apakah karena adanya unsur pembalasan atau menakuti
masyarakat, dan atau melindungi atau memperbaiki masyarakat
Pada tataran Filosofis Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) sudah sesuai dan
cocok dengan teori pemidanaan terkhusus dalam teori relative atau teori tujuan
(Doeltheorie) atau dapat disebut sebagai teori nisbi. Hal ini dikarenakan dalam teori
relatif ada 2 macam teori penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku kejahatan
yakni teori yang menakut – nakuti dan teori memperbaiki penjahat. Dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) memiliki tujuan untuk pemulihan atau restorative bagi
pihak yang berperkara dalam hukum yakni pelaku/ terdakwa . Sehingga tujuan
pemulihan dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) sudah sesuai dengan teori
pemidanaan terkhusus dalam teori relative yakni teori untuk memperbaiki penjahat. .
Berdasarkan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 63 /KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, bahwa Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak sesuai/ tidak
sejalan dengan kedua peraturan tersebut dimana kedua peraturan tersebut mengatur
mengenai asas – asas pelayanan publik. Hal ini dikarenakan bahwa Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) kurang memperhatikan asas – asas pelayanan publik yakni
:
69
kepastian hukum yang artinya jaminan hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan dimana dalam Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) memperhatikan mengenai jaminan hak – hak terdakwa yakni hak untuk
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim tanpa
adanya proses paksaan.
Kesamaan hak memperoleh keadilan, keterbukaan dalam hal ini transparansi,
dan akuntabilitas, serta fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan
bagi pelaku/ terdakwa yang tidak memakai pengacara.
Keprofesionalan yang artinya harus sesuai dengan kompetensi yang sesuai
dengan bidang tugas dan Partisipatif yang artinya peningkatan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat dimana dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) pihak yang bersangkutan dapat memberikan
pelayanan dengan bimbingan dengan baik
Ketepatan waktu yang artinya penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan
tepat waktu sesuai dengan standart pelayanan. Faktanya adalah dalam
Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) proses persidangan menjadi lama dan
mengganggu proses sidang pokok yang sedang berlangsung.
Dalam perkembangannya kedudukan Peradilan Peradilan Pemulihan Terpadu
dalam sistem peradilan pidana (SPP) adalah bahwa program Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) hanyalah sebagai program unggulan pengadilan serta tidak
dicantumkan dan diatur di dalam sistem peradilan pidana (SPP), tidak hanya itu
70
kedudukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam sistem peradilan pidana juga
menyalahi aturan yang berlaku dimana Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)
menyimpang dan bertentangan dengan konteks yang ada dalam Hukum Acara Pidana
yang dicantumkan di dalam KUHAP mengenai proses pemeriksaan persidangan
yang ditunda dan dilakukan pada saat proses pemeriksaan persidangan dan proses
persidangan baru dilanjutkan kembali ketika proses konseling dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) selesai. Tatacara pelaksanaan proses pemeriksaan
persidangan yang ditunda dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T}) tidak diatur
didalam KUHAP. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 145 – 232 pada Bab XVI
KUHAP, dimana tidak ada ketentuan bahwa proses pemeriksaan persidangan dapat
ditunda demi proses Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T).
Tidak hanya itu Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) juga melanggar
ketentuan di dalam KUHAP mengenai sumber pembentukan Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) dan ketentuan mengenai proses tatacaradimana seharusnya sebuah
program pengadilan dibuat berdasarkan Peraturan Perundang – undangan bukan
berdasarkan turunan Surat Keputusan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 KUHAP
yakni:
“Undang – undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam
lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.”
Dan dapat dilihat dalam Pasal 3 KUHAP yakni:
]“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini.”
71
Dengan demikian kedudukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak
berada di dalam cangkupan Sistem Peradilan Pidana (SPP) melainkan berada di luar
cangkupan Sistem peradilan pidana (SPP) serta menyalahi atau menyimpang dari
aturan dan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Acara Pidana yang ada dalam Pasal
2 dan Pasal 3 KUHAP.
Dengan kondisi kedudukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak berada
di dalam cangkupan Sistem Peradilan Pidana (SPP) melainkan berada di luar
cangkupan Sistem peradilan pidana (SPP) maka mengakibatkan adanya potensi
Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) menyalahi sistem peradilan pidana
(SPP), yakni menyalahi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan
membuat pelayanan publik menjadi tidak sepenuhnya benar – benar terlaksana
dengan baik.
Peradilan pemulihan Terpadu (P3T) yang menyalahi sistem peradilan pidana
(SPP) dikarenakan bahwa melalui peradilan pemulihan terpadu sistem peradilan
pidana yang pada awalnya berjalan dengan lancar mendapatkan intervensi padahal
proses persidangan belum selesai. Hal ini dikarenakan pada dasarnya proses
persidangan yang seharusnya berjalan sesuai dengan ketentuan yang dicantumkan
dalam Sistem Peradilan Pidana menjadi terganggu dengan adanya Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) yakni dengan melakukan proses konseling di tengah –
tengah proses peradilan dan dilakukan di luar ruangan sidang sehingga membuat
persidangan menjadi terhenti sementara dan hakim beserta pihak lain menjadi
menunggu hasil dari konseling tersebut.
72
Pendapat penulis juga dikuatkan oleh pernyataan dalam hasil wawancara
dengan bapak Ferdiansyah SH,MH., sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Umum,
bahwa peradilan pemulihan terpadu (P3T) mengganggu jalannya proses persidangan
dan membuat proses persidangan menjadi lama serta memberatkan jaksa dan pencari
keadilan yang membutuhkan proses cepat dalam persidangan. Hal ini dikarenakan
Jaksa Penuntut Umum dianggap memberatkan dan menambah tugas Jaksa Penuntut
Umum. Jaksa Penuntut Umum menjadi terpaksa melanggar SOP. Dalam SOP, Jaksa
Penuntut Umum hanya ditugaskan untuk membawa Pelaku untuk keluar lapas yang
dibawa ke Pengadilan Negeri dan masuk ke dalam sel tahanan pengadilan yang
tersedia di pengadilan kemudian membawa masuk Pelaku ke keruang sidang untuk
mengikuti persidangan dan terakhir membawa kembali Pelaku ke dalam sel tahanan
pengadilan yang kemuadian membawa kembali ke rutan. Oleh karenanya jika pelaku
kabur atau melarikan diri saat proses konseling yang dilakukan diluar ruang
persidangan maka pertanggung jawaban tersebut merupakan pertanggungjawaban
jaksa.
Sedangkan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang menyalahi asas praduga
tak bersalah (presumption of innocence) dapat dilihat bahwa melalui program ini
hakim menjadi tidak adil karena telah memiliki asumsi terebih dahulu. Dengan
program ini ada kemungkinan bahwa tersangka atau terdakwa akan mendapatkan dan
ditempatlkan dalam posisi yang berbeda. Dalam hal ini sebelum adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap maka tersangka atau terdakwa harus dipandang secara
subjektif. Sedangkan dalam fakta yang ada bahwa tersangka atau terdakwa dipandang
secara subjektif sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
73
Pendapat penulis diperkuat dengan adanya pernyataan M. Yahya Harahap, S.H., yang
di dalam bukunya disebutkan, mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya
Harahap menulis sebagai berikut:
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki
hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang
diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang
dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak
pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap
tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh
putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”44
Dengan demikian implementasi / penerapan Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) dalam pelayanan publik bagi pencari keadilan menjadi tidak terlaksana dengan
baik. Hal ini dikarenakan bahwa proses yang terjadi tidak sesuai dengan asas- asas
yang ada walaupun sesuai dengan teori – teori yang ada. Sehingga menimbulkan
beberapa kerugian. Kerugian tersebut, yakni sebagai berikut:
proses persidangan yang lama dan menunggu karena terganggunya
proses sidang pokok yang sedang berlangsung sehingga memberatkan
pelaku/korban. Hal ini dikarenakan proses perkara yang sedang
berlangsung menjadi tidak selesai dan harus menunggu proses
konseling tersebut selesai/ berakhir maka sidang dapat dilanjutkan.
Dengan demikian proses persidangan menjadi lebih lama.
Dari sisi Jaksa Penuntut Umum dianggap memberatkan dan
menambah tugas Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum
menjadi terpaksa melanggar SOP.
44 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2663/tentang-asas-praduga-tak-bersalah
74
Padahal dalam Pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa peradilan dilakukan “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan Pasal 2
ayat (4) dikatakan bahwa “peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya
ringan”. Sehingga Peradilan Pemulihan terpadu telah melanggar asas peradilan cepat,
sederhana, biaya ringan.
Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) belum sesuai dengan asas – asas yang
terdapat dalam peradilan. Ketidaksesuaian terdapat dalam asas peradilan yakni pada
asas pemeriksaan berlangsung terbuka yakni bahwa maksud dari asas ini adalah
setiap orang dapat hadir, mendegar, dan menyaksikan jalannya proses pemeriksaan
perkara di pengadilan sedangkan dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) proses
berjalannya Konseling tersebut dilakukan di luar persidangan dan hanya dihadiri oleh
Konselor yang telah ditunjuk, bersifat tertutup dan hasil Konseling dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) tersebut juga bersifat tertutup sampai pembacaan putusan
dalam persidangan.
Akan tetapi tujuan yang ada dalam asas pemeriksaan berlangsung terbuka
sesuai dengan tujuan yang dimiliki oleh Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yakni
sama – sama untuk kepentingan para pencari keadilan agar dalam prosesnya tidak
memihak, adil dan serta untuk melindungi hak asasi manusia dalam bidang peradilan,
sesuai peraturan hukum yang berlaku.
Ketidaksesuaian lain juga terdapat pada asas kebebasan hakim yang dalam hal
ini terkait dengan independensi hakim dan keaktifan hakim. Hal ini dikarenakan
bahwa hasil konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tersebut baru
75
setengah berjalan yang berisi nasehat – nasehat kepada pelaku/ terdakwa sehingga
seolah – olah menggantikan posisi hakim. Sedangkan tugas seorang konselor adalah
hanya untuk membimbing pelaku/ terdakwa. sehingga dapat dikatakan independensi
hakim dan keaktifan hakim terganggu. Ketidaksesuaian Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) juga terdapat dalam asas keadilan dimana dalam peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) posisi pelaku/ korban pada saat dijalannya proses konseling
mendapatkan tekanan dari pihak konselor yang seharusnya tugas konselor adalah
hanya sebagai pembimbing pelaku/ terdakwa untuk pemulihan agar pelaku/korban
nantinya tidak merugikan masyarakat.
Berdasarkan perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt atas nama Terdakwa Feri
Tri Wahyudi Bin Sudirman, Peran Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yakni
konseling belum terlaksana dengan baik. Pelaksanaan Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) memang sudah sesuai dengan prosedur yang tertera pada Surat Keputusan
Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang
Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu Pada
Pengadilan Negeri Salatiga, akan tetapi hasil akhir dari program Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) yakni konseling tidak menghasilkan apa – apa.
Ketidakberhasilan tersebut disebabkan oleh berberapa faktor, yakni :
bahwa peradilan pemulihan terpadu (P3T) belum sepenuhnya
dilakukan persiapan yang matang terhadap perkara tersebut. Persiapan
matang yang dimakud adalah dalam hal memberikan informasi
mengenai tujuan dan manfaat Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)
dikarenakan hakim pada saat itu hanya memberitahukan dan
76
menjelaskan kepada pelaku bahwa saat itu Pengadilan Negeri Salatiga
memiliki Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dimana salah
satu sarannya adalah Konseling.
Bahwa dalam perkara tersebut pelaku menyetujui untuk dilakukannya
proses konseling, namun tidak terlaksana dengan baik dikarenakan
proses konseling yang sempat berlangsung berhenti dan pelaku/
terdakwa merasa mendapatkan tekanan dari pihak konselor bukan
mendapat bimbingan yang seharusnya didapat pelaku/ terdakwa.
Pelaku lebih memilih mengutamakan hasil putusan pengadilan yang
dikeluarkan oleh hakim, yakni dalam hal penjatuhan pidana.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Program Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) dalam penerapannya di Pengadilan Negeri Salatiga hanya sebatas
penerapan saja sesuai dengan prosedur yang telah dikeluarkan dan belum tercapai
tujuan yang diharapkan oleh Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T). Tujuan
yang hendak dicapai oleh Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah mewujudkan
pelayanan publik dengan konsep keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya
milik pengadilan yang bertujuan pada pemulihan atau restorative bagi para pihak
yang berhadapan dengan hukum yakni pelaku/ terdakwa.
Akan tetapi tujuan tersebut belum tercapai sebagaimana yang diharapkan.
Hanya berupa ekspektasi saja dan masih belum sempurna serta masih memiliki
banyak kekurangan. Kekurangan – kekurangan tersebut yakni sebagai berikut :
77
Kurang sinkronisasi, koordinasi, pemberitahuan awal atau pemberitahuan
lebih lanjut dan kerjasama lebih lanjut dengan pihak – pihak terkait. Dalam
hal ini kerjasama yang dilakukan kurang diperluas sehingga membuat para
pencari keadilan bingung akan manfaat dari Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) bagi mereka.
Keaktifan pihak Pengadilan masih tergolong kurang untuk memilih konselor,
menghubungi konselor, dan dalam hal penentuan jadwal konseling yang tepat
agar tidak menggangu proses persidangan serta tidak memerlukan waktu yang
lama.
Kebutuhan anggaran dana/ biaya yang minim. Bahwa sepanjang Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) dijalankan pihak pengadilan kekurangan biaya
dalam hal untuk mendatangkan konselor (sarana transportasi) dan biaya piket.
Pengadilan Negeri Salatiga hanya mengandalkan MoU bahwa biaya tersebut
ditanggung sendiri – sendiri “nirlaba”.
Bagi para pencari keadilan yakni Pelaku/ terdakwa dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) Hak – Hak tersangka, terdakwa pada tataran ide
diutamakan dan di prioritaskan. Namun dalam tataran praktis penerapan/
implementasinya adalah belum ada kejelasan mengenai aspek konseling bagi
ketercapaian keadilan.
Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam penerapannya di persidangan
hanya diperuntukkan untuk membantu hakim untuk mengetahui latar belakang,
situasi kondisi yang dialami oleh pelaku/terdakwa demi membantu berlangsungnya
78
proses persidangan dan setelah berakhirnya proses persidangan yakni setelah putusan
Hasil Konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) akan bersifat terbuka dan
disimpan bersamaan dengan berkas perkara di Pengadilan Negeri Salatiga. Namun
pada proses untuk mengetahui latar belakang dan kondisi pelaku/terdakwa pada
dasarnya sudah dilakukan saat proses pemeriksaan persidangan sehingga bagi penulis
hal tersebut tidaklah diperlukan. Sehingga lebih baik bila Proses Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) dilakukan saat setelah adanya putusan pengadilan oleh hakim yang
berkekuatan hukum tetap.