bab ii kerangka teori identitas urban dan hibriditas...bisa memiliki lebih dari satu identitas,...
TRANSCRIPT
-
17
BAB II
KERANGKA TEORI IDENTITAS URBAN DAN HIBRIDITAS
Merumuskan sebuah identitas perkotaan (urban) tak lepas dari karakteristik
dan citra kota itu sendiri. Dalam hal ini, penulis hendak menguraikan identitas urban
sebagai pintu masuk teori yang dapat membantu mejembatani penelitian ini. Di
mana dalam merumuskan suatu identitas urban, terlebih kita perlu mencari citra
suatu kota itu sendiri. Sehingga penulis pada bab II ini memulai merumuskan
kerangka teori identitas urban dengan pendekatan teorinya Kevin Lynch dan
beberapa tokoh yang memiliki kompetensi sama dalam teori ini. Kevin Lynch,
sebagai peneliti kota, karya-karyanya banyak dijadikan sebagai referensi primer
dalam sebuah penelitian perencanaan atau identitas kota. Pada bagian ini teori
identitas Sheldon Stryker, Peter J. Burke, Chris Barker adalah teori-teori yang cukup
mendukung dalam rumusan kerangka teori identitas urban ini. Di samping itu,
sebagai upaya menelisik lahirnya proses persilangan budaya (hybrid culture) dalam
masyarakat urban, maka hemat penulis penting menggunakan pendekatan teori
hibriditasnya Hommi K. Bhabha yang juga hendak penulis jelaskan lebih mendalam
pada bab ini.
-
18
A. Tinjauan Teoritik Identitas Urban
1. Identitas dan Perubahan Sosial
Secara konseptual subyektivitas dan identitas memiliki hubungan erat,
bahkan tidak bisa dipisahkan. Seperti yang dikemukakan Chris Barker, ia
menegaskan bahwa identitas sepenuhnya merupakan suatu kontruksi sosial
budaya. Identitas tidak serta merta dapat eksis di luar representasi atau akulturasi
budaya.1 Istilah identitas berasal dari bahasa latin, idem, yang berarti kesamaan dan
keberlangsungan. Istilah ini populer digunakan secara leksikal sejak abad-20, dan
kerap digunakan dengan maksud; (a) kondisi menjadi sama atau identik; (b) kondisi
menjadi orang atau sesuatu yang spesifik dan bukan yang lain; (c) karakter yang
berbeda yang dimiliki oleh seorang individu. Identitas dalam kajian ilmiah dapat
dimaknai secara sederhana sebagai konsep mengenai siapa seseorang atau
kelompok orang dikenali oleh orang atau kelompok lain, atau juga mengenai
seseornag dikenali dalam kelompoknya (Jenkin, 2004: 5). Dijelaskan juga dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa Identitas merupakan ciri-ciri atau
keadaan khusus seseorang.2
Identitas secara umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat makna
yang disematkan pada diri seseorang baik sebagai pribadi, kelompok dan sosial.
1 Barker, 2005: 170-171
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, cetakan petama (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan balai pustaka, 1999).
-
19
Lebih lanjut, dalam teori identitas yang dipopulerkan oleh Sheldon Stryker (1980),
identitas erat dengan saling mempengaruhi antara seseorang sebagai individu
dengan struktur sosial yang lebih luas (masyarakat). Peter J. Burke, mengatakan
bahwa identitas adalah bagaimana orang berperan dalam masyarakat untuk
menemukan makna dirinya. Maka di sini identitas bisa menjadi kontrol dan
panduan dalam setiap tindakan manusia. Manusia dalam memperoleh identitas
bisa memiliki lebih dari satu identitas, menurut perannya yang berbeda dalam
interaksi sosial. Dengan demikian, identitas dapat dimaknai diri sebagai ayah, ibu,
rekan kerja, teman, dan sebagai salah satu dari sekian banyak kemungkinan peran
sesuai yang bisa dimainkan seseorang.3
Identitas dalam lingkup sosial memang mempunyai peran yang berbeda
sesuai dengan konteks diri itu berada, tetapi identitas itu mempunyai kekhasan
yang suatu saat tertentu berpotensi mengalami perubahan. Identitas dengan
sendirinya merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif. Sebagaimana
semua kenyataan subyektif berhubungan secara dialektif dengan masyarakat.
Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia
dipelihara, dimodifikasi, bahkan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial.
Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan
identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas individu,
3Jan Assmann dan John Czaplicka “Collective Memory and Cultural Identity” ini New
German Critique, No.65.pp125-133.1995. NC: Duke University Press, 129.
-
20
dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan,
memeliharanya, memodifikasinya atau membentuknya kembali.4
Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber
dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial
dengan beragam jenis nilai, norma, dan ikatan emosional yang berkembang dalam
kelompok tersebut. Identitas tersebut merupakan identitas kolektif yang tidak
mensyaratkan masing-masing anggota kelompok sosial tersebut untuk saling
mengenal dan memiliki hubungan personal yang dekat. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang
berasal dari pengetahuannya selama berada dalam kelompok sosial tertentu
dengan disertai internalisasi nilai-nilai, emosi, partisipasi, rasa peduli dan bangga
sebagai anggota kelompok tersebut.5
Lebih lanjut identitas juga difahami sebagai keterkaitan identitas dengan
batas-batas etnis. Sebagaimana yang dijelaskan Fredrik Barth, dalam tulisannya ia
menjelaskan bahwa dalam interaksi antar etnis, batasan-batasan etnis
dipertahankan dengan teguh karena batasan-batasan tersebut adalah juga batasan
sosial. Bahkan dalam interaksi dengan yang kain, batasan-batasan etnis dikelola
oleh komunitasnya sebagai identitas yang menunjuk keanggotaan. Karenanya
4 Lihat juga Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), 235-236. 5 Lihat juga dalam Disertasinya M. Mukhsin Jamil, Dinamika Identitas dan Strategi Adaptasi
Minoritas Syi’ah Jepara (Semarang: UIN Walisongo, 2011), 65-67.
-
21
intensitas interaksi yang terjadi antara orang berbeda etnis akan memperkecil
perbedaan, tetapi kekhasan kultural akan kuat jika terus terimplikasi dalam
perilaku. Dengan kata lain perbedaan kultural akan tetap menjadi unit yang
signifikan, jika perbedaan yang ada tetap tercermin dalam perilaku.6
Perubahan masyarakat tradisional (agraris) ke masyarakat industri
(modern) akibat dari derasnya proses modernisasi dengan berbagai nilai dan
teknologi yang ditawarkan (Munandar Soelaiman, 1998: 93).7 Hal ini karena
modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial,
termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, deferensiasi, sekulerisasi,
sentralisasi, dan sebagainya. Bahkan modernisasi dianggap sebagai proses
transformasi nilai. Artinya untuk mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai
tradisional secara total harus diganti dengan nseperangkat struktur dan nilai-nilai
modern.8
Masyarakat urban mula-mula barangkali dibagi dalam kotak-kotak rapat
oleh struktur sosial ganda (plural), batas-batas interaksi antara kelompok-kelompok
etnis telah memudar akibat bangunan-bangunan perkotaan dan penduduk yang
kian padat. Dalam studinya tentang sebuah kota kecil di Jawa, Clifford Geertz
menyayangkan tidak adanya integrasi antara berbagai kelompok etnis dan budaya
6 Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, The Social Organization of Culture Difference
(Oslo: Johansen&Nielsen Boktrykkeri, 1969), 15. 7 Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993),
93. 8 Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 2006), 23.
-
22
di dalam kota. Geertz menggunakan istilah “hollow town) (kota kosong) untuk
menggambarkan situasi di mana suatu masyarakat kota bukan merupakan struktur
sosial yang terintegrasi namun lebih bersifat kombinsi daripada masyarakat-
masyarakat kecil.9
Melalui suatu proses yang digambarkan di atas, ada kesadaran yang
semakin tumbuh tentang masalah-masalah bersama, suatu peningkatan rasa
perkotaan. Penghuni kota menyadari bahwa mereka akan pindah keluar dari
lingkungan wilayah tempat tinggal maupun dari pekerjaan mereka untuk
menduduki posisi sosial dan pemukiman yang baru. Karena monopolisasi etnis
pekerjaan yang tradisional sedang mengalami keruntuhan, maka kesempatan-
kesempatan bekerja, dalam teori, terbuka untuk semua anggota kelompok etnis.10
Sedangkan melihat dinamika kelompok masyarakat pedesaan, bahwa dalam
perpaduan beberapa orang atau kelompok suku atau keturunan di pedesaan
dilatarbelakangi oleh dorongan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang sama dari
sekumpulan individu. Situasi ini oleh Cooley11 disebut community atau masyarakat
setempat (selanjutnya disebut komunitas). Menurut Cooley12, identitas sosial
9Clifford Geertz, The Social History of an Indonesia Town (MIT Press, Cambridge 1965), 153-
204. 10Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan
Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), 58. 11Charles Horton Cooley, Human Nature and the Social Order (New York: Scribners, 2005),
5. 12Cooley populer dengan salah satu konsep dalam karyanya, “Concept of the Looking Glas
Self”, bahwa konsep hubungan diri ini atau bagaimana seseorang memandang diri sendiri bukanlah fenomena tersendiri. Melainkan mencakup hal-hal lain. Ia mengatakan bahwa masyarakat dengan
-
23
komunitas adalah anggota-anggota kelompok secara fisik berdekatan satu sama lain
jumlah anggotanya kecil, kelanggengan hubungan antar anggota kelompok dan
keakraban relasi sosial.13
2. Kontruksi Kultural Masyarakat Urban
Masyarakat perkotaan sering diidentikan dengan masyarakat modern dan
dipertentangkan dengan masyarakat pedesaan yang akrab dengan sebutan
masyarakat tradisional, terutama dilihat dari aspek kulturnya. Masyarakat modern
adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai
budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan sehingga disebut masyarakat kota.
Masyarakat modern sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan
masyarakat perkotaan. Tetapi perbedaan tersebut tidak mempunyai hubungan
dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern,
seberapapun kecilnya desa, tentu ada pengaruh dari kota. Pembedaan antara
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakikatnya bersifat gradual.
Sulit untuk memberikan batasan yang dimaksudkan dengan perkotaan karena
adanya hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang
dinamakan urbanisme.
individu tidak menunjukkan fenomena yang dapat dipisahkan, namun hanya aspek kolektif dan distributif dari hal yang sama. Lebih lanjut Cooley juga menegaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan yang melekat untuk menjangkau, berinteraksi, atau bersosialisasi dengan orang-orang atau benda-benda yang mengelilinginya.
13Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafmdo Perada, 1982), 138.
-
24
Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian
masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri
kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian khusus
masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan
perumahan. Tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi. Orang-orang perkotaan
sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, artinya oleh hanya sekedarnya
atau apa adanya. Hal ini disebabkan oleh pandangan warga kota sekitarnya. Kalau
menghidangkan makanan misalnya, yang diutamakan adalah bahwa yang
menghidangkannya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Kehidupan
keagamaan masyarakat perkotaan berkurang jika dibandingkan dengan kehidupan
keagamaan di desa. Kegiatan-kegiatan keagamaan hanya berpusat pada tempat
peribadatan, seperti Masjid, Gereja. Sedangkan di luar itu, kehidupan masyarakat
berada dalam lingkungan ekonomi, perdagangan. Cara kehidupan demikian
mempunyai kecenderungan ke arah keduniawian, jika dibandingkan dengan
kehidupan masyarakat desa yang cenderung ke arah keagamaan yang ketat.14
Masyarkat perkotaan pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa
harus bergantung pada orang lain. Yang terpenting di sini adalah manusia
perorangan atau individu. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut
masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih
14 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan
Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), 7-8.
-
25
didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. Perubahan-perubahan
sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam
menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan
antara golongan satu dengan golongan lainnya. Seperti dikatakan Daniel Lemer
dalam teori modernisasinya yang terkenal, bahwa dengan adanya urbanisasi timbul
struktur-struktur komunikasi, yang secara psikologi individual dinamakan “empati”,
yaitu kemampuan psikologis seseorang membayangkan dirinya dalam peranan
sosial lain yang ada di waktu itu.15
Kota merupakan suatu masalah tersendiri. Kota bukan merupakan, seperti
halnya desa, suatu struktur sosial yang kurang lebih homogen, yang unsur-unsurnya
cenderung terulang-ulang seperti suatu corak kertas hiasan dinding (yang berjumbai
di pinggir-pinggirnya) di sekuruh pedesaan. Kota lebih merupakan suatu gabungan,
dan hanya tersusun secara kebetulan dari struktur-struktur sosial yang terpisah-
pisah, dan yang paling penting adalah birokrasi pemerintahan, jaringan pasar, dan
semacam versi terbalik dari sistem desa.16 Masyarakat perkotaan yang kita ketahui
selalu identik dengan sifat yang individual, egois, materialistis, penuh kemewahan,
dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah, dan
pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah tempat kesuksesan
seseorang. Kehidupan masyarakat kota, lebih melihat kota pada dua sisi, yaitu
15 Daniel Lemer, The Passing of Traditional Society (New York: The Free Press, 1958). 16 Clifford Geertz, The Social History of an Indonesian Town (Cambridge: Massachussets,
1965), 24.
-
26
aspek fisik dan aspek mental. Pertama aspek fisik, pada aspek fisik ini lebih melihat
pada aspek struktur sosial kota yang dapat diperinci dalam beberapa gejala sebagai
berikut:
a. Heterogenitas sosial. Kehidupan penduduk mendorong terjadinya
persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak memilih-
milih yang paling menguntungkan bagi dirinya sehingga tercapai
spesialisasi.
b. Hubungan sekunder, Jika hubungan antarpenduduk di desa disebut
primer, hubungan atarpenduduk di kota disebut sekunder. Pengenalan
dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup tertentu. Hal ini
karena tempat tinggal juga cukup terpencar dan saling mengenal hanya
menurut perhatian antarpihak. Pengawasan sekunder. Di kota orang
tidak memedulikan perilaku pribadi sesamanya. Meskipun ada kontrol
sosial, sifatnya nonpribadi. Selama tidak merugikan bagi umum,
tindakan dapat ditoleransikan.
c. Toleransi sosial. Orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara
sosial berjauhan.
d. Mobilitas sosial. Di sini yang dimaksudkan adalah perubahan status
sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan dalam jenjang
kemasyarakatan. Dalam kehidupan kota, segalanya diprofesionalkan,
-
27
dan melalui profesinya orang dapat naik posisinya. Selain usaha dan
perjuangan pribadi untuk berhasil, secara kelompok seprofesi juga ada
solidaritas kelas. Ikatan sukarela. Secara sukarela orang
menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya.
Individualisasi. Ini merupakan akibat dari sejnis atomisasi. Orang dapat
memutuskan hal-hal secara pribadi, menentukan kariernya tanpa
desakan orang lain. Segregasi keruangan. Akibat kompetisi ruang
terjadi pola sosial berdasarkan persebaran tempat tinggal sekaligus
kegiatan sosial-ekonomis. Maka terjadilah semacam pemisahan
berdasarkan ras. Misalnya ada wilayah kaum Cina, Arab, orang patuh
beragama (kauman) dan lainnya.
Kedua, aspek mental lebih melihat pada aspek kejiwaan masyarakat
kota. Adapun kejiwaan masyarakat kota dapat diperinci atas beberapa
gejala. Atomisasi dan pembentukan massa, kepekaan terhadap
rangsangan dan sikap masabodo, egalisasi dan sensasi, industri
kesenangan dan pengisisan waktu luang.17
Di samping karakteristik masyarakat urban yang telah dijelaskan di atas,
dalam masyarakat urban beragam bentuk rumah adat yang kaya di Indonesia,
menunjukkan hasil yang utuh dari usaha masyarakat mencakup tempat hunian bagi
17 Daldjoeni, Seluk Beluk Masyarakat Kota (Bandung: Alumni, 1997), 51-57.
-
28
keluarganya. Perkembangan ini mengandung unsur tanggungjawab setiap keluarga
mengupayakan pengadaan perumahannya sendiri, baik secara individual maupun
kolektif. Proses perumahan dikembangkan atas dasar unit keluarga sebagai intinya,
terintegrasi secara imbang dengan lingkungan sekitarnya. Ini adalah ciri pokok
perkembangan rumah adat Indonesia yang sekaligus membuktikan bahwa
perumahan berada dalam dua dominan berbeda yaitu: domein privat, yakni upaya
merumahkan sendiri yang berlawanan dengan perumahan domein publik yang
berupaya merumahkan warga secara formal. Pola perumahan yang diusahakan oleh
masyarakat masih terus berlangsung, baik di kota maupun desa dalam keadaan dan
proses yang berbeda, karena daya dukung lingkungan sudah amat terbatas dan
kemampuan masyarakat umumnya rendah.18
Kota adalah ruang domisili sekaligus arena sosialisasi dan praktik budaya
para pemukimnya. Ekspresi kultural itu dapat diakomodasi secara selayaknya.
Dinamika kehidupan masyarakat urban dalam mencari sebuah identitas baru
sebagai eksistensi dalam sebuah kelompok atau komunitasnya tak lepas dari
kontruksi lingkungan sosial, budaya dan tradisi. Lingkungan, bagi masyarakat urban
mendorong untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam komunitas atau
18 Lihat Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusyairi,
(eds.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia (Jakarta: Ombak, 2005), 3.
-
29
pengorganisasian sebuah pemukiman. Pada situasi inilah masyarakat urban akan
menentukan identitasnya yang baru.19
Studi-studi sosial secara definitif mengenal istilah pembedaan masyarakat
dalam dua tipologi, yaitu masyarakat pedesaan dan perkotaan. Desa didefinisikan
sebagai wilayah sosial dengan karakteristik khas masyarakatnya, seperti
mengutamakan harmonisasi ketimbang konflik, mematuhi nilai tradisional, memiliki
semangat kolektivitas, kekeluargaan, dan berbagai karakteristik sopan-santun atau
ramah-tamah lainnya. Sedangkan kota digambarkan sebagai wilayah yang dihuni
oleh masyarakat berkarakteristik individualis, egois, kompetitif, produktif, dan
berbagai karakteristik manusia modern lainnya. Menilik pada tipologi tersebut,
Durkheim menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat solidaritas
mekanik ke masyarakat solidaritas organik.20
Maka kedua tipologi masyarakat di atas dapat dipetakan bahwa Desa
merupakan sebuah pengertian sosial atau konsep yang merujuk pada orang-orang
atau sekumpulan individu, yang saling berhubungan antara satu sama lain dan
tinggal di suatu tempat di luar daerah perkotaan. Hubungan sosial masyarakat
pedesaan kerap didasarkan pada kekuatan ikatan tali persaudaraan, kolektifitas,
kekeluargaan dan ikatan perasaan secara psikologis. Hubungan-hubungan sosial
19Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, “The quest for urban identity in the
changing context of the city northern cyorus”, http://ww.webjournal.unior.it (www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2002, 261.
20Durkheim, The Division of Labour,,
http://ww.webjournal.unior.it/http://www.elsevier.com/locate/cities
-
30
pedesaan mencerminkan kesatuan-kesatuan kelompok yang didasari hubungan
kekerabatan atau garis keturunan.21
3. Kerangka Konseptual tentang Identitas Urban
Kota adalah produk fisik dari tautan berbagai macam jaringan yang saling
bekerjasama, seperti jaringan ekonomi, budaya, sosial dan politik. Kota merupakan
produk budaya yang beragam satu dengan lainnya, karena jaringan
pembentukannya sangat beragam. Menurut Munford (1968), kota sangat spesifik
terhadap budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis, meskipun memiliki latar
belakang budaya yang serupa. Meskipun tiap kota sangat spesifik, tetapi Lynch
percaya bahwa ada kesepakatan publik mengenai elemen-elemen yang dikenal
pada suatu kota.22
Identitifikasi citra kota dengan proses yang panjang dapat membentuk
identitas baru sebuah kota. Kevin Lynch mendefinisikan identitas urban tidak dalam
arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna
individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta
pengenalannya sebagai entitas tersendiri. Lynch menegaskan bahwa identitas kota
adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu
21Durkheim, The Division of Labour,,, 22 Kevin Lynch , A Theory of Good City Form (M.I.T. Press, Cambridge, Massachusetts, 1981)
-
31
yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara
mengakar oleh sosial, ekonomi, budaya masyarakat kota itu sendiri.23
Teori identitas urban ini dipengaruhi oleh teori yang diformulasikan Kevin
Lynch, seorang tokoh peneliti kota. Risetnya yang cukup populer didasarkan pada
citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan
bahwa betapa pentingnya citra mental karena citra jelas akan memberikan banyak
kontribusi penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi
dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman, identitas yang kuat terhadap
suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat lain. Menurut
Lynch, bahwa citra lingkungan merupakan proses dua arah antara pengamat
dengan benda yang diamati, atau disebut juga sebagai kesan atau persepsi antara
pengamat terhadap lingkungannya. “The creation of the environmental image is a
two way process between observer and observed” Agrumentasi Lynch di atas
menandakan bahwa dalam proses pembentukan sebuah identitas urban terbentuk
melalui suatu pengamatan citra atas kota itu sendiri, hal ini dapat berkembang
dengan waktu yang lama untuk menjadi sebuah identitas kolektif (masyarakat
urban). Citra bukanlah identitas urban, melainkan sebuah identitas urban dapat
dibentuk oleh proses pemaknaan citra kota.24
23 Kevin Lynch, The Image of The City (M.I.T. Press, Cambridge, Massachusetts, 1960), 131. 24 Kevin Lynch, The Image of The City,,
-
32
Identitas sebagai seuatu ciri khas sebuah kota berarti sesuatu yang secara
kuat menunjukkan kesamaan dan kesatuan, sehingga dapat dibedakan dari yang
lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Kevin Lynch, ia beranggapan bahwa
identitas kota adalah sesuatu hal unik yang membedakan dengan kota lainnya.
Identitas sebuah kota memiliki peranan penting bagi masyarakat lokal maupun
pengunjung dalam konteks berbeda, karena kota-kota secara bertahap berubah dan
berevolusi ke dalam bentuk yang baru, dan identitas perkotaannya dibentuk melalui
interaksi kompleks antara elemen-elemen alam, sosial, dan lingkungan yang
terbagangun.25 Namun secara teknis, identitas perkotaan merupakan sesuatu yang
secara tegas konstan dalam konteks perubahan tersebut. Lingkungan perkotaanpun
harus dipertimbangkan dalam perspektif kesejarahan, tidak hanya sejarah dari
arsitektur bangunan yang dibangun sebelumnya, melainkan keseluruhan kehidupan
sosial ekonomi perkotaannya, dengan pertimbangan utama terhadap kehidupan
manusiannya, bentuk bangunan dan alam.26
Kota-kota terus berubah dan berkembang dalam bentuk baru, di mana
identitas perkotaan diciptakan melalui interaksi yang kompleks dari unsur-unsur
alam, sosial dan bangunan. Oleh karena itu, lingkungan perkotaan harus
dipertimbangkan dari perspektif sejarah, bukan hanya dengan memahami
25 Derya Oktay, “How Can Urban Context Maintain Urban Identity and Sustainability?:
Evaluations od Taormina (Sicily) and Kyrenia” (North Cyprus). http://ww.webjournal.unior.it (www.elsevier.com/locate/cities)
26Gede Budi Suprayoga, “Identitas Kota Sawahlunto Paska Kejayaan Pertambangan Batu Bara”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 19 / No. 2 Agustus 2008, 2.
http://ww.webjournal.unior.it/http://www.elsevier.com/locate/cities
-
33
signifikansi historis bangunan, namun melalui evaluasi perkotaan konteks lokal.
Sehubungan dengan aktivitas manusia, bentuk bangunan dan alam. Tingkat yang
paling dasar, kota-kota diidentifikasi dalam hal pengaturan geografis mereka;
namun unsur-unsur yang dibangun adalah bentuk paling penting dalam
mempengaruhi identitas kedua dengan cara yang positif dan negatif dalam waktu
singkat. Hal ini juga penting dalam penciptaan “dalam arti tempat”, merupakan
faktor penting guna mencapai identitas dan keberlanjutan pemukiman perkotaan
seperti yang dinyatakan oleh banyak theoritis.27 Identitas perkotaan erat terkait
dengan keberlanjutan perkotaan, faktor penting untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat urban di kota, mencakup aspek-aspek lingkungan, ekonomi
dan sosial.
Berdasarkan sudut demografis, kota dirumuskan sebagai pengelompokan
orang atau penduduk dalam ukuran jumlah dan wilayah tertentu. Sebagai suatu
prosedur yang umum, kota (urban) adalah tempat pemukiman yang mempunyai
jumlah penduduk besar. Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban
community. Pengertian ini lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta ciri-ciri
kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian khusus
masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek, seperti pakaian, makanan dan
27 Lihat juga Derya Oktay, “How can urban context maintain urban identity and
sustainability?: Evaluations of Taormina (Sicily) and Kyrenia (North Cyprus” (www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2006, 1-4.
http://www.elsevier.com/locate/cities
-
34
perumahan, tetapi lebih luas lagi.28 Dalam kajian kehidupan keberagamaan, banyak
ahli menggunakan konsep Geertz tentang agama yang melihatnya sebagai pola
bagi tindakan. Dalam hal ini agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai
kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain itu, agama juga merupakan pola
dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia dan tampak dalam
kehidupan kesehariannya. Di sini agama dianggap sebagai bagian dari sistem
kebudayaan.29
Pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai atau sistem evaluatif, dan
pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau sistem pengetahuan
manusia. Hubungan antara pola bagi dan pola dari tindakan itu terletak pada
sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan.30 Maka Geertz juga
menekankan bahwa kontruksi sosial terkait dengan sistem pengetahuan atau
refleksi dan pengetahuan berkesadaran yang melibatkan seperangkat pengalaman
manusia di dalam kaitannya dengan sosial kulturalnya.31 Tradisi lokal mengandung
ambivalensi. Sebagai alat untuk menciptakan lokasi sosial dan membentuk
solidaritas di suatu ruang yang terbatas, yang berada di atas segala perbedaan dan
keberadaan dalam status sosial, prestise kultural, dan peluang-peluang ekonomi,
28 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 35-44. 29 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9. 30Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 1-2. 31 Lihat juga Mark R. Woodward dalam tulisannya Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus
Kebatinan (Yogyakarta: LkiS, 2001), 366.
-
35
tradisi lokal memang dapat menegakkan integrasi sosial. Tetapi pada saat yang
sama menyebabkan terciptanya batas-batas dan garis pemisah baru. 32 Solidaritas
sosial masyarakat urban dalam merepresentasikan religositasnya dapat dielaborasi
melalui serangkaian interaksi masyarakat dengan sistem ruang. Ruang sebagai
kelengkapan yang terdiri dari kekuatan simbolisme dalam membangun jaringan
bangunan terjadi dominasi dan subordinasi. Ruang juga membentuk solidaritas dan
kerjasama antar manusia.33
Ruang sosial memiliki keragaman objek, alam dan sosial, termasuk
didalamnya jaringan dan jalur yang mampu memfasilitasi pertukaran suatu barang
dan informasi. Pada prinsipnya, ruang sosial tidak selalu jaringan pertukaran barang
saja tetapi juga relasi yang terbangun. Ruang dapat mengkontruksi masyarakat
secara alami tanpa selalu mempengaruhi secara materialitas.34
Social space contains a great diversity of objects, both natural and social, including the networks and pathways which facilitate the exchange of material things and information. Such 'objects' are thus not only things but also relations. As objects, they possess discernible peculiarities, contour and form. Social labour transforms them, rearranging their positions within spatia-temporal configurations without necessarily affecting their materiality, their natural state.
32 Hans Dieter Evers dan Rudigrff, Urbanisme di Asia Tenggara; Makna dan Kekuasaan
dalam Ruang-Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), 168. 33 Peter Conoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), 36. 34 Henri Lefebvre, The Production of Space (Oxford, OX, UK: Cambridge, Massachusets,
USA: Blackwell, 1991), 76-77.
-
36
B. Teori Hibriditas atau Liminalitas Hommi K. Bhabha
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan “integrasi” sebagai
pembauran hingga menjadi kesatuan. Kata kesatuan mengisyaratkan berbagai
macam elemen yang berbeda satu sama lain mengalami proses pembauran. Jika
pembauran telah mencapai suatu perhimpunan, maka gejala perubahan ini dinamai
integrasi. Dalam bahasa inggris, integrasi (integration) antara lain bermakna
keseluruhan atau kesempurnaan.35 Homi K. Bhabha adalah seorang doktor filsafat
dari Oxford University yang lahir dalam masyarakat Paris Bombay, India. Bhabha
juga seorang pengajar di beberapa universitas, antara lain Princeton, Pennylvania,
juga School of Cristism and Theory di Darmouth Coledge. Kajian pascakolonial
Bhabha cukup dipengaruhi oleh para pemikir post-strukturalis seperti Jacques
Derrida, Jacques Lacan, dan Michel Foucault. Bagi Bhabha antara teori dengan
praktek tidak dapat dipilih salah satu saja untuk dikritik. Teori dan praktek berada
bersebelahan. Teori adalah wahana ideologi dan dalam mewujudkannya, teori
menciptakan situasi politis. Dengan menyandingkan teori dan praktek, Bhabha
berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan
hibriditas. Bhabha melukiskan bagaimana budaya-budaya itu bergerak keluar masuk
ruang ketiga dengan indahnya.36
35 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta: Balai Pustaka, 1998). 36 36Homy K Bhabha, The Location of Culture (London and New York: Routletge, 1994), 36.
-
37
Sistem budaya sebagai identitas kultural merupakan representasi
masyarakat hibrid, dan beragam kultur membuka ruang kontruksi suatu
kebudayaan dalam masyarakat dengan pemaknaan baru yang terus berkembang.
Seperti kata Hommi K. Bhaba, budaya dan sistem budaya terbentuk dalam ruang
ketiga. Independensi itu mengambil wajah dalam hibriditas. Di mana, hibriditas
identitas memunculkan diri dalam budaya, bahasa, ras dan sebagainya. Menurut
Benhabib (2000), budaya adalah konteks di mana kita perlu menempatkan diri,
untuk itu hanya berdasarkan interpretasi, orientasi dan nilai-nilai yang diberikan
oleh budaya bahwa kita dapat merumuskan identitas kita untuk mengatakan, ‘siapa
kita’ dan ‘darimana kita berasal’.37
Berdasarkan pandangan Bhabha, maka cultural studies memaknai identitas
sebagai sebuah entitas yang dapat diubah menurut sejarah, waktu dan ruang
tertentu. Identitas bukanlah sesuatu yang melekat begitu saja, tetapi merupakan
serangkaian proses yang terus berkembang menjadi seperti yang tercitrakan.
Mereka membuat dan mendefinisikan dirinya dalam sebuah kontruksi yang ideal
tentang diri mereka. Sebagai konsekuensinya mereka akan tergabung dalam sebuah
solidaritas kebersamaan atas dasar gagasan yang serupa. Dengan demikian, proses
identifikasi seseorang dari pengaruh lngkungan sosial sehingga melahirkan sebuah
identitas baru sangat dimungkinkan. Sebagimana Canclini yang mengintrodusir
37 Culture is the context within which we need to situate the self, for it is only by virtue of
the interpretations, orientations and values provided by culture that we can formulate our identities, say ‘who we are’, and ‘where we are coming from
-
38
kecenderungan persentuhan budaya antar kultur ini sebagai budaya hibrida atau
hybrid culture (budaya hybrid).38
Upaya mewujudkan identitas sosial dapat dijembatani oleh Homi K Bhabha
dalam karyanya “The Location of Culture”, ia menyatakan bahwa keterikatan
multikultural merupakan hasil dari kesadaran bersama atas apa yang dirasakan
bersama oleh masyarakat tradisional yang lahir sepanjang sejarah itu terjadi.
Bahkan suatu perbedaan dalam lintas budaya tidak bukanlah sesuatu penghalang
atas kesedaran dimana mereka menempati ruang yang sama. Pemahaman atas
hibriditas ini bukan sekedar nalar final atau sebuah realitas, tetapi bagaimana kita
menuju artikulasi aktivitas manusia yang memberi nilai rasionalitas yang ia
rasakan.39 Rumusan tentang hybrid culture bukanlah sesuatu yang baru di
Indonesia, sebagaimana Soekarno pada pidatonya menjawab permintaan BPUPKI
tentang dasar negara Indonesia yang segera berdiri dengan sangat sadar memilih
pandangan yang khas dianut oleh Barat, yakni mendasarkan negara pada
38Bagi Canclini, dijelaskan dalam bukunya Hybrid Cultures: Strategies for Entering and
Leaving Modernity (Minneapolis London: University of Minnesota Press, 1995), xxiii. Bahwa studi tentang hibriditas telah mengubah bicara tentang identitas, budaya, perbedaan, ketidaksetaraan, multi budaya, dan tentang pasangan konseptual yang digunakan untuk mengatur konflik dalam ilmu sosial. Yakni tradisi atau modernitas, lokalitas atau global. Mengapa isu hibriditas begitu penting, bagi Canclini istilah hibriditas secara khusus untuk mengidentifikasi merupakan hasil dari karakterisasi konsekuensi sejak awal modernitas, bahasa elit dan populer pasca terjadinya ekspansi Eropa ke Amerika. Canclini berpendapat bahwa inti dari gagasan budaya hibrid adalah gagasan antropologi yang berfokus pada tradisi dan sosiologi dengan berkonsentrasi pada modernitas. Di samping itu juga studi hibriditas ini merupakan disiplin dalam mempelajari produksi ketidaksetaraan melalui segmentasi pasar tenaga kerja di mana perbedaan dalam pekerjaan, gaji, dan status beralih ke kelompok yang berada berdasarkan faktor-faktor kelas, jenis kelamin, dan ras.
39Homy K Bhabha, The Location of Culture (London and New York: Routletge, 1994), 245-247.
-
39
kebangsaan, bukan pada etnis, agama, atau pandangan politik. Dengan demikian,
identitas Indonesia akan terus berada dalam ruang tarik-ulur yang bergerak, yakni
ruang ketiga, ruang ambang.40
Berkembangnya perayaan ritual keagamaan yang dibingkai model
kebudayaan lokal secara kolektif, Canclini dalam argumentasinya cukup meyakinkan,
bahwa identias bukanlah sesuatu yang melekat begitu saja. Tetapi merupakan
serangkaian proses yang terus menerus berkembang menjadi seperti yang
tercitrakan (dalam hal ini simbol-simbol ritual sosial kegamaan dan kebudayaan).
Sebagaimana Canclini yang mengintrodusir kecenderungan persentuhan budaya
antar kultur ini sebagai hybrid culture (Canclini, 1995). Maka, ruang-ruang bersama
dalam tradisi kultural keagamaan masyarakat urban merupakan jalan yang kuat
untuk menjadi identitas kolektif. Tradisi ini sebagai strategi adaptasi masyarakat
muslim dalam menghadapi dinamika zaman. Secara lebih luas, pemaknaan terhadap
tradisi sebagai bentuk konstruksi simbol komunal yang mengikat bersama. Maka
konstruksi dimaksudkan di atas sebagai bentuk penempelan simbol-simbol kultural
yang kemudian menjadi identitas pribadi atau kolektif. Kontruksi kultural seperti
yang dijelaskan Homi K. Bhaba di atas, mengembangkan hibriditas dalam wacana
antara asli dan campur dengan konteks kekuasaan politik kultural penjajah di mana
ia merumuskannya bahwa hibriditas merupakan produk kontruksi kultural kolonial
40 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 152.
-
40
yang mau tetap membagi strata identitas murni asli penjajah dengan ketinggian
kultur yang didiskriminasikan dengan kaum campuran.
Hybridity is the sign of productivity og colonial power, its shifting forces and fixities: it is the name for the strategic reversal of the process of domination through disavowl (that is, the production of discriminatory identities that scure the pure an original identity of authority). Hybridity is the revolution of the assumption of colonial identity through the repetition of discriminatory identity effects.41
Bhabha membangun pemikiran tentang hibriditas di atas fondasi pemikiran
Edward Said dan Fanon. Bhabha belajar dari Said melalui karyanya yang klasik,
Orientalisme bahwa kecenderungan studi orang Eropa terhadap Asia bersifat Eropa
centris dan oposisi biner. Menurut Said, studi orientalisme adalah upaya untuk
menjinakkan orang Asia dan memandang mereka sebagai subyek yang diam, di
bawah kuasa Eropa. Hasilnya, gambaran tentang Timur adalah gambaran yang
homogen, baku dan merendahkan.42 Dari Fanon, yang mengkaji mereka yang
terjajah dalam buku Black Skin White Masks, Bhabha belajar bahwa dari sisi orang
yang dijajah ada hasrat untuk menjadi sama sekaligus takut terhadap penjajah.43
Proses elaborasi pemikiran di atas, Bhabha mengintegrasikan keduanya. Bagi
Bhabha, relasi penjajah dan pihak terjajah bukan oposisi biner. Dalam relasi tersebut
ada timbal balik di antara mereka, si penjajah tidak pernah bisa sepenuhnya
41 Homi K. Bhabha, “Sign Taken for Wonders” in H.L. Gates Jr. (ed.), Chicago: Yniversity of
Chicago Press, 1985. 42 Homy K Bhabha, The Location,, 43 Fanon, Black Skin White Masks, 1986.
-
41
menguasai si terjajah. Si terjajah tidak pernah sepenuhnya takluk kepada penjajah.
Keadaan inilah yang membuka ruang negosiasi antara mereka.
Kelompok esensialisme meyakini, identitas adalah sesuatu yang alami.
Argumentasinya bahwa seseorang atau sekelompok orang, secara alami terlahir
sebagai orang beretnis tertentu. Secara natral, orang Jawa misalnya, memiliki
karakteristik fisik dan budaya tertentu, yang membedakannya dengan etnik yang
lain. Berbeda dengan kelompok anti esensialisme, yang beranggapan bahwa
identitas sepenuhnya dibangun secara sosial. Karena itu tidak ada yang disebut
identitas baku. Ien Ang dalam bukunya On Not Speaking Chinese44, menjelaskan
bahwa Hibriditas merupakan cara pandang yang berada di luar pemahaman
essensialisme dan anti essensialisme. Hibriditas mempermasalahkan segala bentuk
identitas yang bersifat kaku. Dalam essensialisme, kekakuan dan kebakuan itu
adalah etnik yang alami. Dalam anti essensialisme kekakuan itu adalah pilihan bebas.
Hibriditas mampu melampaui batas etnis, tetapi tidak menghapuskannya secara
total. Hibriditas mengaburkan batas sekaligus mengafirmasi batas identitas dalam
pengertian yang cair. Dengan demikian, disini hibriditas menolak pemahaman
essensialis yang melihat identitas sebagai sesuatu yang baku, kaku, dan alami. Ia
juga menolak pandangan anti essensialisme yang memutlakkan pilihan bebas
manusia dalam menentukan identitasnya. Hibriditas meyakini tidak ada satu
44 Ien Ang, On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West (London:
Routledge, 2001)
-
42
kategori identitas yang murni. Bahkan, Ieng Ang juga menolak pemahaman akan
identitas yang tidak punya batas sama sekali.45
Keberagaman kebudayaan dalam masyarakat multikultural melahirkan
tradisi dan identitas lokal masyarakat beragama. William James mengatakan untuk
mencapai kondisi kehidupan mereka dengan penyerahan diri dan menahan hawa
nafsu guna memperoleh kebahagiaan yang penuh gairah, sesuai dengan kebutuhan
mereka. Di sini pula agama menurut James telah memberikan kepada anggota-
anggota dari setiap kelompok, itu suatu ikatan yang kuat untuk kepercayaan
tradisional yang dihayati bersama tentang eksistensi kebudayaan mereka. 46
Berbagai sumber, bentuk dan ekspresi suatu kebudayaan dimanapun berada
merupakan perpaduan elemen tradisi lokal dengan keragaman budaya dan tradisi
lokal yang lain. Pada perkembangan berikutnya perpaduan budaya yang terjadi
bukan hanya berlangsung secara lokal atau antar etnis tetapi lebih luas lagi, bahkan
merupakan sebuah langkah atau proses persilangan budaya universal yang
berlangsung melalui interaksi sosial dan komunikasi budaya dengan berbagai
bangsa dan media, diantaranya melalui medium kesenian, pergaulan sehari-hari,
bahkan medium “tuker-tambah” budaya dengan unsur-unsurnya yang spesifik.
(Adipurnomo, 2013:26). Proses ini menciptakan sebuah kolase atau mosaik budaya
45 Darwin Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2014),
24-26. 46 Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Kelompok dan Perubahan Politik
(Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 1993), 198.
-
43
baru, antara lain perpaduan antar dua unsur budaya atau lebih, utamanya melalui
cara-cara tradisional yang diikuti terbentuknya entitas budaya baru. Dalam kajian
Homy K Bhabha, salah satu tokoh dalam kajian poskolonial, hibriditas merupakan
salah satu konsep yang penting.47
Seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann, pergulatan yang
terjadi dalam pembentukan identitas merupakan proses dialektika yang terjadi
terus menerus dalam kehidupan manusia dengan lingkungan sosialnya. Dialektika
tersebut terjadi dua arah, yaitu ke luar (antara individu dengan lingkungan
sosialnya) dan ke dalam (antara kebutuhan individu dengan identitas yang
terbentuk karena pengaruh lingkungan dan interaksi sosial). Sementara Burke dan
Stets menyatakan, identitas terbentuk karena posisi interaksi dan negosiasi terus-
menerus antara agensi atau pelaku dan struktur sosial.48
Gagasan tentang identitas masyarakat urban telah banyak ditelitian.
Sebagaimana hasil riset beberapa karya yang didapat penulis, setidaknya ada
beberapa contoh hasil penelitian, diantaranya: “The quest for urban identity in the
changing context of the city northern cyorus”, salah satu karya Derya Oktay,
pengajar di Eastern Mediterranean University. Derya Oktay, dalam karyanya
berupaya menjelaskan dinamika masyarakat urban dalam mencari sebuah identitas
baru melalui sebuah komunitas. Dalam hal ini Derya menawarkan sebuah teori
47 Homy K Bhabha, The Location of Culture (New York: Routletge, 1994), 122. 48Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 220-221.
-
44
identitas urban sebagai hasil studi kasus di konteks pemukiman Cipriot.49 Identitas
masyarakat urban terus mengalami perubahan seiring perkembangan sosial
budaya yang ada. Berbicara pada wilayah identitas kolektif, seperti Dolores Hayden
menegaskan bahwa identitas erat dengan memori (Haydn, 1997:9). Hal itu hadir
melalui suatu memori dan rasa antara masa lalu, sekarang dan masa depan secara
kontinuitas. Membangun makna identitas memerlukan sebuah kontinuitas narasi.50
Jika berbagai macam elemen yang berada satu sama lain merujuk pada
kemajemukan sosial yang telah pula mencapai suatu kehidupan bermasyarakat,
maka proses ini dinamai integrasi sosial. Dalam disiplin sosiologi51, integrasi sosial
berarti proses penyesuaian unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki
keserasian fungsi. Dengan demikian, ada dua unsur pokok integrasi sosial. Pertama,
pembauran atau penyesuaian, sedangkan unsur kedua adalah unsur fungsional. Jika
kemajemukan sosial gagal mencapai pembauran atau penyesuaian satu sama lain
maka kemajemukan sosial berarti disintegrasi sosial. Dengan kata lain,
kemajemukan gagal membentuk (disfungsional) masyarakat.52
49Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, “The quest for urban identity in the
changing context of the city northern cyorus”, (www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2002, 261.
50 William J.V Neill, Urban Planning and Cultural Identity (New York: Routledge, 2004), 10. 51Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (New York: The Free Press a Dvision of
Macmillan, 1984), 158-160 52Muhammad, Semarangan Lintas,,
http://www.elsevier.com/locate/cities
-
45
Integrasi sosial di atas menjadi substansi daripada proses identifikasi
identitas masyarakat urban. Identitas bukanlah sesuatu yang alami, dapat
dikontruksi dan tidak tunggal. Jankis mengatakan bahwa identitas dan identifikasi
mengindikasikan bahwa keduanya memiliki jalinan yang kuat. Kontribusi teori ini
penekannannya mengenai pentingnya identifikasi sebagai rujukan identitas, karena
tanpa tahapan identifikasi tidak akan memahami siapa adalah siapa atau apa adalah
apa.53
53 Richard Jankins, Social Identity (London and New York: Routledge Taylor&Francis Group,
2004), 1-3.