bab ii landasan teori 1. · permainan modern yang menjadikan orang-orang pada zaman sekarang kurang...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Olahraga Tradisional
a. Hakikat Olahraga Tradisional
Olahraga tradisional adalah olahraga asli yang berasal dari tiap-tiap daerah
di Indonesia, belum dikenal secara luas, namun populer didaerah asalnya. Berikut
beberapa contohnya diantaranya adalah loncat batu di Nias, cemparingan di jawa
tengah, Gentao di Bima, paraga di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.
Olahraga tradisional merupakan olahraga yang berasal asli dari berbagai daerah di
wilayah indonesia, olahraga tradisional ini memang kurang dikenal akan tetapi
disebagian daerah olahraga tradisional ini cukup populer dan sering dimainkan.
Akan tetapi pada saat ini olahraga tradisional mulai tergerus oleh permainan
permainan modern yang menjadikan orang-orang pada zaman sekarang kurang
bahkan tidak mengetahui olahraga tradisional.
Disamping itu olahraga tradisional sebagai aset kekayaan budaya bangsa.
Sudah sepatutnya diangkat kembali untuk menunjukkan perannya dalam usaha
mewujudkan persatuan bangsa dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu olahraga
tradisional perlu mendapat perioritas yang lebih besar dari pemerintah pusat dan
daerah untuk turut serta bahu membahu menggali melestarikan dan
mengembangkan kembali sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan
masyarakat di seluruh Indonesia. Didalam perkembangannya olahraga tradisional
ini banyak sekali terpengaruh oleh kemajuan teknologi yang pesat, dimana
komunikasi antar bangsa menjadi lebih mudah, dan bukan suatu hal yang tidak
mungkin jika nilai-nilai budaya yang terkandung dalam olahraga tradisional ini
sedikit banyak akan berkurang. Maka perlu adanya suatu usaha pelestarian dan
pengembangan olahraga tradisional khususnya di Sulawesi Selatan.
Olahraga tradisional juga memiliki dimensi lain, yakni potensi bagi upaya
untuk mendukung pariwisata. Keunikan olahraga tradisional akan dapat menarik
minat banyak wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Olahraga
12
tradsional pun memiliki dampak ekonomis terutama bagi masyarakat didaerah-
daerah tersebut.Selain itu, olahraga tradisional ini berdampak positif pula bagi
terwujudnya masyarakat yang sehat, bugar dan berkecukupan gerak. Karena
didalamnya terkandung berbagai aktivitas dan gerak fisik yang mendukung
kesehatan. Untuk itu, pelestarian, pembinaan dan pengembangan olahraga
tradisional adalah keniscayaan. Karena olahraga tradisional memiliki daya dan
kekuatan yang menyebabkan kita sebagai bangsa memiliki “kekebalan budaya”
agar tak punah dan gagap dalam pergaulan dengan komunitas global.
Olahraga tradisional sebagai asset kekayaan budaya bangsa dapat menjadi
pondasi yang kokoh dan kuat dalam membangun “nation and character” sebagai
upaya mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam olahraga tradisional ini
lebih menitik beratkan pada permainan. Menurut kamus umum tentang definisi
olahraga tradisional adalah “aktivitas fisik yang dilakukan secara sadar dan
disengaja serta menggunakan aturan atas dasar kebiasaan yang secara turun
temurun terjadi disuatu masyarakat”. Olahraga tradisional ini dalam pelaksanaan
aturan permainan disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Sedangkan pengertian permainan termasuk bergerak, artinya permainan selalu
diiringi oleh gerakan. Bukan hanya gerakan jasmani saja, tetapi juga gerakan jiwa.
Berikut adalah olahraga tradisional yang berkembang di berbagai daerah di
Indonesia seperti olahraga tradisional “paraga” yang dimainkan dan sering
dipertunjukan oleh masyarakat Suku Bugis Makassar di Sulawesi selatan.
b. Olahraga Tradisional Sebagai Olahraga Rekreasi
Olahrga tradisional sering di kaitkan sebagai olahrga rekreasi di karenakan
didalam permainan olahrga tradisional mengandung bebrapa aspek dan unsur
olahrga rekreasi seperti hiburan, kesenangan, dan kebutuhan interaksi sosial,
olahraga ini juga mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitas jasmani bagi
pelakunya bahkan olahrga tradisional dapat menarik perhatian turis manca Negara
untuk datang menyaksikan olahrga tradisional tersebut karena memiliki nilai
keunikan tersendiri.
Olahrga rekreasi adalah kegitaan yang dilakukan untuk penyegaran kembali
jasmani dan rohani seseorang. Kegiatan yang umum dilakukan untuk rekreasi
13
adalah wisata, olahrga permainan dan hobi. Kegiatan rekreasi umumnya biasa
dilakukan pada akhir pekan. Secara umum rekreasi dapat di bedakan dalam dua
golangan besar yaitu rekreasi pada tempat tertutup dan rekreasi di alam terbuka.
Rekreasi bermanfaat untuk memulihkan kondisi tubuh dan pikiran serta
mengembalikan kesegaran.
Rekreasi adalah “kegiatan atau pengalaman sukarela yang dilakukan oleh
seseorang di waktu luangnya yang memberikan kepuasan dan kenikmatan
pribadi”. Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang
system keolahrgaan Nasional Bab 1 pasal 1 ayat 12 menyatakan bahwa “olahrga
rekreasi adalah olahrga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan
kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai
budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan”.
Olahrga rekreasi merupakan kegiatan fisik yang dilakukan pada waktu luang
sebagai sarana peningkatan kesehatan serta pemberi kesenangan.
Menurut Hariyono (1998:10) “ olahraga rekreasi adalah kegiatan fisik yang
dilakukan pada waktu senggang berdasarkan keinginan atau kehendak yang
timbul karena memberi kepuasan atau kesenangan”. Dari pendapat diatas dapat di
simpulkan bahwa olahrga rekreasi mempunyai tujuan sebagai berikut :
1) Pengisi waktu luang
2) Pelepas lelah, kebosanan dan kepenatan
3) Sebagai keseimbangan subsistem activity (kegiatan pengganti atau
pelengkap)
4) Sebagai pemenuhan fungsi social
5) Untuk kesegaran jasmani dan olahraga yang menyenangkan
6) Memperoleh kesenangan dengan olahrga
7) Memperkenalkan bahwasannya olahraga itu menyenangkan.
Berdasarkan konsep yang diberikan oleh De Mello (dalam Ariani, dkk,
1997), seorang ahli cerita dalam membaca atau mempelajari folklorelisan, maka
ada tiga hakekat permainan rakyat, yaitu untuk menghibur diri, menumbuhkan
kreatifitas, dan membentuk kepribadian.
Beberapa persyaratan teknik dalam olahraga tradisional yang harus kita
kuasai adalah sebagai berikut :
14
1) Kekuatantubuh
2) Kelenturantubuh
3) Kecepatangerak
4) Kecepatanreaksi (kecepatandanketepatannya).
Klasifikasi olahraga tradisional di indonesia dapat di kemukakan sebagai
berikut:
a) Olahraga seorang diri, contohnya olahrga tradisional loncat batu di
Nias sumatra utara
b) Olahrga berpasangan dan berlawanan, contohnya olahrga pencak silat
sebagai warisan budaya indonesia
c) Olahraga tradisional pacuan, contohnya karapan sapi di Madura
d) Olahraga tradisional beregu yang membutuhkan ketangkasan dan
kekompakan, contohnya olahrag sepak raga atau paraga yang di
permainkan oleh masyarakat suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan
e) Olahraga tradisional kelompok bergilir contohnya sondah mandah
c. Nilai-Nilai Budaya Yang Terkandung Didalam Permainan Olahraga
Tradisional
Sedikitnya ada tujuh nilai kebudayaan yang terkandung dalam permainan olahrga
tradisional, antara lain:
1) Nilai demokrasi
2) Nilai pendidikan
3) Nilai keperibadian
4) Nilai keberanian.
5) Nilai kesehatan
6) Nilai persatuan
7) Nilai moral
Menurut Dharmamulyo (1999) menyebutkanunsur-unsur nilai budaya
yangterkandung dalam permainan tradisionalyaitu:
a) Nilai Kesenangan ataukegembiraan
b) Rasa berteman
c) Nilai demokrasi
15
d) Nilai kepemimpinan
e) Rasa tanggung jawab
f) Nilai Kebersamaan
g) Nilai kepatuhan
h) Melatih kecakapan berfikir
i) Nilai kejujuran dan sportifitas
j) Melatih mengenal lingkungan.
2. Permaian
a. Hakikat Permainan
Permainan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh
kesenangan, permainan atau sering disebut dengan game merupakan suatu sarana
hiburan yang diminati dan dimainkan oleh banyak orang baik dari kalangan anak-
anak, remaja maupun orang dewasa. Permainan ini terdiri dari permainan
tradisional dan permainanmodern. Permainan tradisional merupakan segala
bentuk permainan yang telah ada sejak zaman dahulu dan diwariskan secara
turun-menurun dari generasi ke generasi. Pada umumnya, permainan tradisional
sangat susah untuk dicari dari mana asal muasalnya, maupun mengenai siapa
penciptanya. Biasanya permainan tradisional yang tumbuh danberkembang dalam
suatu masyarakatmencerminkan warna kebudayaan setempat. Permainan
tradisional merupakan bentuk budaya suatu bangsa. Permainan tradisional bangsa
Indonesia adalah merupakan bentuk budaya bangsa Indonesia yang tersebar luas
di berbagai daerah di Indonesia. Permainan tradisional tersebut merupakan
aktivitas bangsa yang me nduduki tempat penting dalam kehidupan masyarakat
dan merupakan sumber daya yang amat besar serta mempunyai nilai dalam
menanamkan sikap dan keterampilan. Permainan tradisional merupakan wadah
kegiatan masyarakat sebagai hiburan ataupun penyaluran kreativi tas di waktu
luang dan sebagai sarana sosialisasi.
Menurut Sadiman, (1993:75) “permainan (games) adalah setiap kontes
antara pemain yang berinteraksi satu sama lain dengan mengikuti aturan-aturan
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu pula. Sedangkan menurut KBBI
Permainan adalah sesuatu yang digunakan untuk bermain, barang atau sesuatu
16
yang dipermainkan. Permainan adalah bentuk aktivitas yang menyenangkan yang
dilakukan semata-mata untuk aktivitas itu sendiri, bukan karena ingin
memperoleh sesuatu yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Jadi permainan adalah
cara bermain dengan mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat dilakukan secara
individu maupun berkelompok guna mencapai tujuan tertentu. Alat permainan
adalah semua alat bermain yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk
memenuhi naluri bermainnya dan memiliki barbagai macam sifat, seperti
bongkarpasang, mengelompokkan, memadukan, mencari padanannya, merangkai,
membentuk, atau menyusun sesuai dengan bentuk aslinya.
Menurut Soetoto Pontjopoetro (2005:17) ada beberapa macam teori tentang
bermain diantaranya adalah :
1) Teori Rekreasi Atau Teori Pelepasan
Teori ini diutarakan oleh bangsa Jerman yang bernama Schaller dan Lizarazus,
menerangkan bahwa permainan itu merupakan kegiatan manusia yang berlawanan
dengan kinerja dan kesungguhan hidup, tetapi permainan itu merupakan imbangan
antara kerja dengan istirahat.
2) Teori Surplus Atau Teori Kelebihan Tenaga
Kelebihan tenaga (kekuatan atau vitalitas) pada anak atau orang dewasa yang
belum digunakan, disalurkan untuk bermain. Kelebihan tenaga yang dimaksudkan
sebagai kelebihan energi, kelebihan kekuatan hidup dan vitalitas, yang dianggap
oleh manusia untuk memeliharanya melalui permainan.
3) Teori Sublimasi
Oleh El Clafarede (Swiss), bahwa permainan bukan hanya mempelajari fungsi
hidup (Teori Groos), tetapi juga merupakan proses sublimasi (menjadi lebih
mulia, tinggi atau indah), yaitu dengan bermain insting, yang tadinya rendah dapat
mengalami peningkatan menjadi tinggi.
4) Teori Buhier
Oleh Karl Buhier (Jerman), bahwa permainan itu kecuali mempelajari fungsi
hidup (Teori Groos), juga merupakan “function Lost” (nafsu berfungsi).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila perbuatan seperti berjalan, berlari, dan
lompat itu mempunyai kegunaan bagi kehidupannya kelak, di samping itu
haruslah anak mempunyai kemauan untuk berjalan, berlari dan lompat.
17
5) Teori Reinkarnasi
Maksud teori tersebut ialah bahwa anak-anak selalu bermain dengan permainan
yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya.
Terkait dengan beberapa teori bermain, ada macam-macam tahapan
perkembangan bermain yang mencerminkan tingkat perkembangan sosial anak
sesuai perkembangan usia dikemukakan oleh Mildred Parten (dalam Martuti,
2008:15) adalah sebagai berikut :
1) Unoccupied Play
Sebenarnya anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain, ia hanya
mengamati kejadian di sekitarnya yang menarik perhatian.
2) Solitary Play (bermain sendiri)
Anak sibuk bermain sendiri, dan terlihat tidak memperhatikan kehadiran anak-
anak lain di sekitarnya. Biasanya ini terlihat pada anak yang berusia amat muda.
3) Onlooker Play (pengamat)
Anak suka mengamati anak-anak lain yang sedang bermain dan terlihat adanya
minat yang semakin besar terhadap yang diamatinya. Jenis kegiatan bermain ini
pada umumnya tampak pada anak berusia dua tahun.
4) Pararel Play (bermain pararel)
Kegiatan bermain ini dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama
tetapi tidak berhubungan. Mereka melakukan hal yang sama secara sendiri-sendiri
pada saat bersamaan, tetapi tidak saling berhubungan, misalnya dua orang anak
yang bermain mobil-mobilan, bermain menyusun balok.
5) Associative Play (bermain asosiatif)
Dalam kegiatan bermain, anak belum terlihat kerjasama, namun sudah ada
interkasi misalnya saling tukar atau pinjam permainan. Misalnya, anak yang
sedang menyusun gambar, mereka bisa saja menyusun saling bertukar gambar,
melakukan interaksi tetapi sebenarnya kegiatan menyusun gambar itu mereka
lakukan sendiri-sendiri.
6) Cooperative Play (bermain bersama)
Adanya pembagian tugas dan pembagian peran diantara anak-anak yang terlibat
dalam permainan untuk mencapai satu tujuan merupakan ciri bermain bersama.
18
Misalnya bermain pasar-pasaran dimana dalam permainan ada yang berperan
sebagai penjual dan pembeli. Kegiatan ini dilakukan pada anak berusia 5 tahun.
Sedangkan, perkembangan bermain untuk menyesuaikan lingkungan sosial
dikemukakan oleh Turner dan Helms (dalam Martuti, 2008:19) yang menekankan
bahwa : “kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi anak.” Secara garis besar
kegiatan bermain dibedakan menjadi 3 kategori yaitu :
1) Bermain Menjelajahi dan Manipulatif (Exploratory and Manipulative Play)
Kegiatan ini bisa diamati sejak masa bayi, anak sering menunjukkan rasa senang
atau antusiasme yang besar sewaktu ia bermain atau mengamati benda-benda
disekelilingnya.
2) Bermain Menghancurkan (Destructive Play)
Bermain menghancurkan mulai tampak pada awal masa balita. Kita sering melihat
anak bermain sambil menghancurkan balok-balok kayu yang sudah disusunnya
dengan susah payah dan berhati-hati, lalu menatanya kembali hanya untuk
dihancurkannya kembali.
3) Bermain Khayal atau Pura-pura (Imaginative or Make-Believe Play)
Kegiatan bermain khayal atau pura-pura, mulai dilakukan sejak anak berusia 3
tahunan. Kegiatan bermain khayal atau pura-pura ini melibatkan unsur imajinasi
dan peniruan terhadap perilaku orang dewasa. Misalnya bermain masak-masakan,
pasar-pasaran, sekolah-sekolahan dan lain-lain.
Menurut Sadiman (2009:76), menyatakan bahwa setiap permainan harus
mempunyai empat komponen utama, yaitu:
a) Adanya pemain, biasanya lebih dari dua orang
b) Adanya lingkungan dimana para pemain berinteraksi
c) Adanya aturan-aturan main,dan
d) Adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Menurut Mayke Tedjasaputra (2003:10) ada beberapa macam permainan
yang memiliki aturan-aturan tertentu dan tujuan tertentu pula. Adapun macam-
macam permainan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Permainan Individual
Permainan ini peserta didik memainkan untuk menguji kemampuan sendiri
karena sebagian besar permainan itu dilakukannya sendiri. Peserta didik
19
bermain tanpa menghiraukan apa yang dilakukan oleh peserta didik lain
disekitarnya. Contoh permainan individual adalah lompat tali, menyusun
puzzle, menyusun balok-balok, dan sebagainya.
b) Permainan Beregu
Permainan beregu ini mempunyai aturan-aturan yang diberikan sebelum
permainan dimulai. Aturan permainan harus dimengerti oleh setiap pemain
dan bersedia mengikuti aturan permainan.
c) Permainan Kooperatif
Permainan ini ditandai dengan adanya kerjasama atau pembagian tugas dan
pembagian peran antara peserta didik yang terlibat dalam permainan tersebut
untuk mencapai tujuan dari kegiatan bermain. Permainan kerjasama dapat
dilihat saat peserta didik mengerjakan suatu proyek atau tugas secara
bersama-sama dalam kelompok kecil atau kelompok besar sekaligus.Bermain
dengan bekerjasama ini bisa dimulai oleh peserta didik sendiri atau dengan
arahan dari guru. Permainan ini dapat mengembangkan keterampilan sosial
dan konstruktif bagi peserta didik. Dalam permainan ini peserta didik dapat
berperan serta dalam usaha untuk belajar memecahkan masalah secara
bersama-sama.
d) Permainan Sosial
Permainan sosial adalah kegiatan bermain peserta didik dengan teman-
temannya sendiri. Pada permainan ini peserta didik berpartisipasi dalam
kegiatan bermain dengan peserta didik lainnya sesuai perannya masing-
masing yang sudah disepakati sebalumnya. Contohnya seperti permainan
polisi dengan pencuri, atau lompat tali beregu.
e) Permainan Dengan Aturan Tertentu
Permainan ini ditandai dengan adanya kegiatan bermain yang menggunakan
aturan-aturan tertentu. Dalam permainan ini peserta didik diharapkan dapat
bersikap sportif. Contoh dari permainan ini adalah sepak bola, permainan ular
tangga, monopoli, gobak sodor, dan sebagainya.
b. Prinsip-Prinsip Permainan
Bebrapa bentuk prinsip-prinsip permaianan adalah sebagai berikut :
20
1) Dimainkan dua orang atau lebih secara interaktif.
2) Mempunyai tujuan-tujuan tertentu.
3) Adanya pemenang dalam setiap permainan.
Menurut Mildred Parten (1932) dilihat dari perkembangan sosial, bermain dapat
dikelompokkan menjadi lima macam :
a) Solitary games (bermain sendiri)
b) Onlooker games (bermain dengan melihat temannya bermain)
c) Parallel games (bermain paralel dengan temannya), bermain denganmateri
yang sama, tetapi masing-masing bekerja sendiri
d) Associative games(bermain beramai-ramai), anak bermain bersamasama
tanpa ada suatu organisasi
e) Cooperative games(bermain kooperatif), ada aturan dan pembagianperan,
salah satu anak menolak bermian, permainan tidak akanterlaksana.
c. Permainan Tradisional
Permainan tradisional sering disebut juga permainan rakyat, merupakan
permainan yang tumbuh dan berkembang pada masa lalu terutama tumbuh di
masyarakat pedesaan. Permainan tradisional tumbuh dan berkembang berdasar
kebutuhan masyarakat setempat (Yunus:1981). Kebanyakan permainan tradisional
dipengaruhi oleh alam lingkungannya, oleh karena permainan ini selalu menarik,
menghibur sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu.
Permainan tradisional menurut Yunus, (1981) umumnya bersifat rekreatif,
karena banyak memerlukan kreasi anak. Permainan ini biasanya merekonstruksi
berbagai kegiatan sosial dalam masyarakat. Permainan tradisonal mendapat
pengaruh yang kuat dari budaya setempat, oleh karena itu permainan tradisonal
mengalami perubahan baik berupa pergantian, penambahan maupun pengurangan
sesuai dengan kondisi daerah setempat. Dengan demikian, permainan tradisional
meskipun nama permainannya berbeda antar daerah, namun memiliki persamaan
atau kemiripan dalam cara memainkannya.
Menurut Yunus, (1981) “Permainan tradisional adalah suatu hasil budaya
masyarakat, yang berasal dari zaman yang sangat tua, yang telah tumbuh dan
hidup hinngga sekarang, dengan masyarakat pendukungnya yang terdiri atas tua
muda, laki perempuan, kaya miskin, rakyat bangsawan dengan rakyat biasa tiada
21
bedanya. Permainan tradisional bukanlah hanya sekedar alat penghibur hati,
sekedar penyegar pikiran, atau sekedar sarana berolah raga, tetapi memiliki
berbagai latar belakang yang bercorak rekreatif, kompetitif, paedogogis, magis
dan religius. Permainan tradisional juga menjadikan orang bersifat terampil, ulet,
cekatan, tangkas dan lain sebagainya.
Permainan tradisional di sini identik dengan istilah lain yang juga lazim
digunakan yaitu olahraga tradisonal. Olahraga tradisional merupakan keaneka
ragaman budaya yang perlu dilestarikan. Hal ini dikarenakan permainan atau
olahraga tradisonal memiliki kedudukan yang sama dalam rangka melestarikan,
memelihara bahkan mengembangkan unsur yang memiliki kaitan erat dengan
kebiasaan tradisi dan kebiasaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut
Uhamisastra (2010:2) Permainan tradisional adalah : “permainan yang penuh
dengan nilai-nilai dan norma-norma luhur yang berguna bagi anak-anak untuk
memahami dan mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan”. Sedangkan
menurut Khamdani (2010:8) permainan tradisonal merupakan : “suatu jenis
permainan yang timbul atas dasar permainan rakyat disuatu wilayah tertentu”.
Berdasarkan pendapat diatas, penulis menyimpulkan bahwa permainan tradisional
merupakan permainan yang dimainkan oleh anak-anak pada suatu daerah tertentu
yang merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang didaerah tersebut.
Dengan demikian, permainan tradisional tidak dapat dipisahkan dengan
kebudayaan daerah setempat yang berhubungan dengan aktivitas bermain dan
menjadi ciri atau tradisi suatu masyarakat tertentu.Pada permainan tradisional ada
juga yang mengandung gerak fisik seperti : permainan gobak sodor, permainan
enkle, permainan beteng-betengan. Ada juga olahraga tradisonal yang kandungan
gerak fisiknya sangat minim tapi kaya akan nilai seni seperti nyanyian dan doa-
doa saklar. Selain itu, menurut Kurniati (dalam Utami, 2012:4) menjelaskan
bahwa : “permainan tradisonal pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding”. Permainan
untuk bermain lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang, bersifat hiburan dan
banyak dilakukan oleh anak-anak, sedangkan permainan untuk bertanding hanya
sedikit memiliki sifat tersebut. Ciri-ciri pada permainan tradisional yang
digunakan untuk bertanding adalah terorganisir, bersifat kompetitif dimainkan
22
paling sedikit dua orang dan mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang
menang dan yang kalah serta mempunyai peraturan yang dapat diterima bersama.
Setelah mengetahui pernyataan diatas, ini menandakan macam bentuk dan jenis
permainan tradisonal sangat banyak pilihan sehingga memberikan kesempatan
pembelajaran pada siswa untuk melakukan aktifitas pendidikan jasmani di
sekolah.
Menurut Misbach (2006:13) hasil analisa teoritis dan rekomendasi pada
permainan tradisional yang bermuatan “edukatif”, bertujuan untuk :
1) Permainan tradisional mampu menstimulasi aspek-aspek perkembangan gerak,
kognitif, emosi, bahasa dan sosial.
2) Permainan tradisional untuk menstimulasi perkembangan anak melalui media
alamiah yang beragam.
3) Perlunya mengembangkan pilihan permainan yang berbasis teknologi yang
tidak mengandung kekerasan dan pornografi.
4) Mengenalkan sejak dini pada anak mengenai nilai-nilai budaya yang
mengandung pesan moral yang didasari kearifan lokal.
5) Penanaman nilai-nilai moral untuk membentuk karakter.
Selain itu, menurut Khamdani (2010:95) terdapat tujuh nilai budaya yang
terkandung dalam permainan tradisonal, yaitu :
a) Nilai Demokrasi
b) Nilai Pendidikan
c) Nilai Kepribadian
d) Nilai Keberanian
e) Nilai Kesehatan
f) Nilai Persatuan
g) Nilai Moral.
Beberapa bentuk permainan tradisional yang didapatkan di berbagai daerah
di Indinesia seperti permainan tradisional loncat batu di Nias Sumatra utara,
permainan tradisional karapan sapi di Madura, dan Permainan tradisional yang
sudah membentuk olahrga tradisional yaitu permainan paraga di Sulawesi selatan.
23
3. Masyarakat Etnik Sulawesi Selatan
Didaerah Sulwesi Selatan terdapat dua suku masyrakat yang memainkan
permaianan tradisional paragayaitu suku Bugis dan suku Makassar.
a. Suku Bugis
Orang bugis adalah salahsatu dari berbagai suku bangsa di Asia Tenggara
dengan populasi lebih dari empat juta orang. Mereka mendiami bagian brat daya
pulau sulawesi.Mereka termasuk kedalam rumpun keluarga besar
austronesia.Akibat evolusi internal serta interaksi mereka dari berbagai peradaban
luar (Cina, India, Islam dan Eropa), Penduduk Austronesia yang terbesar di
wilayah lautan asia tenggara sejak sebelum Masehi tersebut, kemudian
berkembang berbagai suku bangsa, dengan tradisi dan budaya yang berbeda-beda.
Yang terkenal di antara mereka itu kecuali Bugis antara lain Melayu, Jawa, dan
Bali. Seiring dengan terpisahnya proses perjalanan sejarah dengan rumpun
induknya (Austronesia) yang berlangsung selama berabad-abad tercipta pula
jurang peradaban yang kian dalam anatara berbagai suku bangsa tersebut dengan
“sepupu” mereka dari rumpun Austronesia lainnya seperti Melanesia, Polinesia,
dan Micronesia. Sebaliknya suku bangsa yang bermukiman di berbagai wilayah
lautan Asia Tenggara tetap menjaga hubungan antara satu sama lain sehingga
mereka bnyak memiliki banyak persamaan.
Kontak yang berkesinambungan, lingkungan geografis seperti iklim dan
kondisi alam yang hampir sama, serta sekian banyak ikatan sejarah, politik, dan
perniagaan yang menghubungkan mereka, membuat orang-orang Barat secara
berurutan menyebut wilayah tersebut sebagai “dunia Melayu”, “Indonesia dan
Malaysia”. Berhubung konotasi politik dan negara yang kini menyertai ketiga
nama tersebut maka dalam buku ini digunakan istilah “Nusantara” untuk
menyebut wilayah serta rupa suku bangsa yang berdiam di wilayah yang
mengelilingi orang Bugis itu. Meskipun orang Bugis sudah tidak asing lagi bagi
pembaca novel Joseph Conrad atau bagi yang pernah melihat perahu mereka
berlabuh di berbagai bandar di indonesia, tetapi di bandingkan dengan suku-suku
lainnya orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan salahsatu
suku bangsa yang paling tidak dikenal di Nusantara. Ironisnya dari sedikit
24
pengetahuan yang beredar mengenai mereka sebagian besar diantaranya justru
merupakan informasi yang keliru. Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa
orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dahulu kala, anggapan itu bersumber dari
banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai
wilayah Nusantara dari Singapura sampai ke Papua, dan dari bagian selata
Filipina hingga ke pantai barat laut Australia.
Adapula yang mengatakan orang Bugis pernah berhasil menyebrangi
samudra Hindia sampai ke Madagaskar. Orang pun beranggapan bahwa orang
Bugis mungkin merupakan pelaut yang paling ulung yang ada di wilayah Asia
Tenggara. Padahal didalam kenyataan yang sebenarnya orang Bugis pada
dasarnya adalah Petani. Sedangkan aktivitas maritim mereka barulah benar-benar
berkembang pada abad ke-18 Masehi. Adapun perahu “phinisi” yang terkenal dan
dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru
di temukan antara penghujung abad ke-19 hingga dekade 1930-an. Demikian pula
hanya dengan predikat bajak laut yang di berikan kepada orang Bugis, sama sekali
keliru dan tidak berdasar. Terlepas dari itu semua orang Bugis mempunyai ciri
khas dan sangat menarik, mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah
Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak
mengandung pengaruh india, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas
mereka. Orang bugis yang memiliki tradisi yang kesusastraan, baik lisan maupun
tulisan. Berbagai karya sastra tulis yang berkembang seiring dengan tradisi lisan,
hingga kini masih tetap di baca dan di saling ulang.
Perpaduan antara tradisi lisan dan sastra tulis itu kemudian menghasilkan
epos sastra terbesar di dunia yakni La Galigo yang lebih panjang dari
Mahabarata. Selanjutnya sejak awal abad ke-17 Masehi setelah menganut agama
Islam orang Bugis bersama orang Aceh dan Minangkabau di Sumtra, orang
Melayu di Sumatra, Kalimantan dan Malaysia, orang Moro di Mindanao, orang
banjar di kalimantan, orang sunda di jawa barat, dan orang Madura di pulau
Madura di Jawa Timur di cap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas
ke Islamannya. Orang Bugis malah menjadi agama Islam sebagai bagaian integral
dan isensial dari adat istiadat dan budaya mereka. Meskipun demikian pada saat
25
yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra Islam tetap mereka pertahankan
sampai abad ke-20.
Salah satu peninggalan darai pra Islam itu, yang mungkin paling menarik
adalah (tradisi) para bissu sebuah kelompok yang terdiri atas pendeta-pendeta
“wadam” yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap dapat
berkomunikasi dengan Dewa-Dewa leluhur. Bagi suku-suku lain di sekitarnya
orang bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter, keras dan sanagat
menjunjung tinggi kehormatan, bial perlu demi mempertahankan kehormatan
mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat
keras itu orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sanagat
menghargai orang lain dan sangat tinggi rasa kesetiakawanannya. Dalam
kehidupan masyarakat Bugis sendiri interaksi sehari-hari pada umumnya
berdasarkan sistem patron-klien sistem kelompok kesetiakawanan antara seorang
peminpin dengan pengikutnya, yang saling kait mengait dan bersifat menyeluruh,
namun demikian mereka tetap memiliki rasa keperibadian yang kuat. Meskipun
orang bugis merupakan salah satu suku yang memiliki sistem hirarkis paling rumit
dan tampak kaku, akan tetapi pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk
mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun denagan
kekayaan, tetap merupakan faktor pendorong utama yang menggerakkan roda
kehidupan sosial ke masyarakatan mereka.
Mungkin ciri khas yang berlawanan itulah yang membuat orang bugis
memiliki mobilitas snagat tinggi dan memungkinkan mereka menjadi perantau. Di
seluruh wilayah Nusantara di semenenjang Melayu dan Singapura hingga pesisir
barat Papua, dari Filipina Selatan dan Kalimantan Utara hingga Nusa Tenggara
dapat di jumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan,
pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau pekerjaan apa saja yang
dianggap mereka sesui dengan kondisi ruang dan waktu. Tidak pelak lagi
kemepuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri, merupakan modal
terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan dimana-mana selama
berabad-abad. Dan walau mereka sering menyesuaikan diri dengan keadaan
sekitarnya orang bugis tetap mampu mempe rtahankan identitas “kebugisan”
mereka. Pilras (2006 : 1-5).
26
1) Letak Geografis dan Demografi Suku Bugis
Sejak awal kondisi geografis dan ekologis pulau Sulawesi kuhususnya yang
terletak di semenanjung barat daya merupakan faktor yang menentukan perjalanan
sejarah dan pembentukan identitas orang Bugis. Meskipun wilayah Sulawesi
cukup luas (191.800 km²) lebih luas dari gabungan pulau jawa dan madura
(128.000 km²), serta merupakan salah satu pulau terbesar di Nusantara, namun
pulau Sulawesi kurang di kurang dikenal luas. Pada abad ke-16 masehi, pelaut
Eropa pertama yang mengunjungi pualau sulawesi menghabiskan waktu tiga
puluh tahun untuk menyadari bahwa tempat yang mereka datangi sebenarnya
merupakan sebuah pulau besar, bukan dua pualau berbeda (pulau Celebes di utara
dan pulau Macacar di selatan). Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek
moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari dunia
atas yang turun (manurung) atau dari dunia bawah yang naik (tompo) untuk
membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya
orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak
perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan
etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya.
Kata Bugis berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan
"ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang
terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten
Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat LaSattumpugi menamakan
dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To
Ugi atau orang-orang pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah
dari We Cudai dan bersaudara dengan BataraLattu ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak,
termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna
Ware (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra
La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal
dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi
lain di Sulawesi seperti Buton. Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di
Indonesia, yang terletak dibagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar,
dahulu disebut ''Ujung pandang''. Sampai dengan Juni 2006, jumlah penduduk di
27
Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 7.520.204 jiwa, dengan pembagian 3.602.000
laki-laki dan 63.918.204 orang perempuan dan memiliki relief berupa jazirah-
jazirah yang panjang serta pipih yang ditandai fakta bahwa tidak ada titik daratan
yang jauhnya melebihi 90 km dari batas pantai. Kondisi yang demikian
menjadikan pulau Sulawesi memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian
daratannya bergunung-gunung. Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8°
Lintang Selatan dan116°48' - 122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya 62.482,54
km². Provinsi iniberbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara,
Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat, dan Laut
Flores di selatan. Kombinasi ini meghamparkan alam yang mempesona dipandang
baik daridaerah pesisir maupun daerah ketinggian. Sekitar 30.000 tahun silam,
pulau Sulawesi telah dihuni oleh manusia.
Peninggalan peradaban di masa tersebutditemukan di gua-gua bukit kapur
daerah Maros kurang lebih 30 km dariMakassar, ibukota Propinsi Sulawesi
Selatan. Peninggalan prasejarah lainnya yang berupa alat batu peeble dan flake
serta fosil babi dan gajah yang telah punah, dikumpulkan dari teras sungai di
Lembah Wallanae, diantara Soppeng dan Sengkang, Sulawesi Selatan. Pada masa
keemasan perdagangan rempah-rempah di abad ke 15 sampai dengan abad ke19,
Kerajaan Bone dan Makassar yang perkasa berperan sebagai pintu gerbang ke pusat
penghasil rempah, Kepulauan Maluku. Sejarah itu telah memantapkan opini
bahwa Sulawesi Selatan memiliki peran yang sangat strategis bagi perkembangan
Kawasan Timur Indonesia. Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku utama
yaitu Toraja, Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Toraja terkenal memiliki
keunikan tradisi yang tampak pada upacara kematian, rumah tradisional yang
beratap melengkungdan ukiran cantik dengan warna natural. Sedangkan suku
Bugis, Makassar danMandar terkenal sebagai pelaut yang patriotik. Dengan
perahu layar tradisionalnya, Pinisi, mereka menjelajah sampai ke utara Australia,
beberapapulau di Samudra Pasifik, bahkan sampai ke pantai Afrika. Hasil
penelitian sejarahwan Australia Utara bernama Peter G. Spillet M,
mengungkapkan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa orang Sulawesi
Selatanlah yang pertama mendarat di Australia dan bukannya Abel
Tasman(Belanda) atau James Cook (Inggris) tahun 1642.
28
Upaya pelurusan fakta sejarah tersebut dilakukan Peter yang kemudian
dijuluki Daeng Makulle dengan sangathati-hati melalui jejak, buku-buku sejarah
berupa hubungan orang Makassar dengan orang Aborigin (Merege). Orang
Makassar tiba di sana dengan menggunakan transportasi perahu. Orang Eropa
yang pertama kali mendarat di Sulawesi Utara dan Selatan adalah orang portugis,
para pedagang eropa itu tersebut mula-mula mendarat di pesisir barat Sulawesi
Selatan pada 1530. Akan tetapi pedagang portugis yang berpangkalan di Malaka
baru menjalin hubungan perdagangan secara teratur dengan Sulawesi Selatanpada
1559. Pada 1625, ketika hampir semua negara besar di Eropa (Belanda, Denmark,
Inggris, Perancis, Portugis) telah membuka pos perdagangan di makassar, barulah
proses pemetaan pulau Sulawesi menghasilkan peta dengan mutu yang cukup
memadai. Sebelumnya peta yang di buat oleh orang-orang Eropa sama sekali
tidak memberikan gambaran pulau Sulawesi yang sebenarnya.
Peta di terbitkan sejak 1534 hingga 1580 hanya berisi rekaan garis besar
pesisir pantai barat dan pesisir utara pulau Sulawesi. Peta tersebut sama sakali
tidak memuat teluk besar serta garis pantai di pesisir selatan dan timur pualau
Sulawesi. (Pelras:2006) “Premires Donees”. Tidak mengherankan jika pada
awalnya para pemeta Eropa mengira bahwa pulau Sulawesi itu terpisah, karena
pada saat itu pulau Sulawesi pun tidak memiliki jalan darat yang menghubungkan
keempat semenanjungnya yang membentang ke empat arah dari deretan
pegunungan pada pangkal pulau. Ketika itu ke empat semenanjung Sulawesi
praktis lebih mudah di capai lewat jalur laut kareana jalan darat baru di bangun
pada abad ke 1920-an, sebelumnya menelusuri pantai dengan berjalan kaki, naik
kuda pun sebenarnya tidak mudah kareana sebagian besar kawasan pantai
Sulawesi terjepit di antara gunung dan laut, sedangkan bagian lainnya adalah
daerah berawa dan terhalang oleh hutan bakau. Pelras (2006:5-7).
2) Sistem Kekerabatan
Sebagaimana umumnya pada masyarakat Austronesia khususnya orang-
orang Nusantara seperti Melayu, Jawa, Kalimantan, dan Filipina, orang Bugis pun
menganut sistem kekerabatan bilateral atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai
cognatic seseorang di telusuri dari garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu.
29
Satu hal yang umum pula berlaku di kalangan masyarakat Eropa, meskipun tidak
berlaku secara universal. Sebaliknya sistem kekrabatan kebanyakan masyarakat
non-Eropa, yang banyak di teliti oleh para ahli antropologi pada umumnya
menganut prinsip parilineal atau matrilineal.
Terminologi kekrabatan masyarakat bugis cukup sederhana dan tergolong
sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang berasal dari garis generasi
yang sama, baik laki-laki maupun perempuan saudara laki-laki maupun
perempuan atau sepupu di masukkan kedalam kategori “saudara” (sumpung lolo,
disebut juga silessureng atau se’ajing ‘satu asal’). Yang paling penting adalah
apakah dia apakah dia lebih tua (daeng = kaka) atau lebih muda (anri = adik).
Begitupula dengan halnya generasi yang dibawahnya panggilan untuk mereka
sama yakni (ana = anak) termasuk untuk anak kandung, kemanakan laki-lakai dan
perempuan, anak dari sepupu laki-laki dan perempuan, meskipun ada istilah
(anaure = kepenakan) untuk kepenakan laki-laki dan perempuan. Selanjunya baik
keturunan ‘ana’ maupun ‘anaure’ akan di sapa sebagai (eppo’ = cucu). Sementara
itu semua kerabat yang seangkatan dengan ayah atau ibunya akan di sapa (ama-
ure atau amure = paman) atau (ina-ure = bibi). Sedangkan orang tua dari bapak,
ibu, paman, dan bibi akan di sapa ‘nene’. (yang berarti kakek ataupun nenek).
Sementara itu biasanya akan sulit menentukan apakah orang yang di sapa
dengan sapaan-sapaan tersebut diatas benar-benar memiliki hubungan kekerabatan
dengan mereka. Hal itu di sebabkan adanya kecenderungan untuk secara otomatis
menyapa orang-orang dekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan,
dengan sapaan sesui dengan generasi mereka masing-masing. Misalnya seorang
bapak akan otomatis menyapa putra sahabatnya dengan sapaan ana’ bukan karena
adanya hubungan darah dengannya, akan tetapi berasal dari generasi satu tingkat
dibawahnya (satu generasi dengan anaknya). Tentu juga pasti ada sapaan untuk
menentukan secara pasti hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan
menambahkan istilah khusus misalnya: silessureng rialeku (saudara saya sendiri)
atau anri ipa’ku (adik ipar saya) atau dalam sastra kuno ina teng-ncajianganga-a
(ibu yang tidak melahirkan saya sebagai pengganti anaure yaitu (bibi). Didalam
sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah di perhitungkan,
30
konsep terpenting bukanlah marga yang tidak dikenal dalam masyarakat Bugis,
akan tetapi percabangan dari kedua sisi.
Dengan kata lain setiap orang memiliki dua garis nenek moyang, yakni garis
nenek moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan
terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang
kakek-nenek yakni orang tua bapak dan orang tua ibu, merekalah yang disebut
sebagai nenek wakkang (kakek-nenek pangkuan). Kemudian kedua pasang kakek-
nenek tersebut memiliki pola orang tua yang berjumlah empat pasang (nene uttu
“kakek-nenek lutut”). Lalu ke empat pasang kakek-nenek tersebut memiliki pula
orang tua yang berjumlah enam belas pasang “nenek palakaje” (kakek nenek
telapak kakai). Dua pasang kakek nenek menurungkan sepupu pertama empat
pasang orang tua dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua. Delapan pasang
dari orangtua kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga. Dan akhirnya enam belas
pasang orang tua dari orang tuanya orang tua kakaek-nenenk menurunkan sepupu
empat kali. Secara berturut-turut sepupu pertama, kedua, ketiga, dan keempat
dalam bahasa bugis disebut sappo siseng, sappo wekkadua, sappo wekkatellu, dan
sappo wekka eppa.
Jadi setiap orang di kelilingi oleh kerabat yang berasal dari dua cabang,
garis bapak maupun garis ibu mulai dari yang paling dekat, misalnya cabang dari
kedua orang tuanya (sausara, kemanakan, cucu kemanakan) hingga kerabat jauh
yang berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis
sepupu mereka. Hubungan kekerabatan tersebut biasanya disebut dengan istilah
asseajingeng (memeiliki asal usul sama). Jauh dekatnya hubungan kekerabatan di
tentukan oleh lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan
berdasarkan nenek moyang tersebut baik dari pihak bapak maupun ibu,
menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan dan memisahkan mereka
dengan “orang lain” (tau laeng). Masyarakat bugis tidak memiliki suatu kelompok
kekerabatan bilateral yang mengutamakan salahsatu pasangan nenek moyang saja
sebagai mana halnya dengan orang Toraja tetangga mereka yang hanya
memusatkan inti kelompok keluarga masing-masing pada sebuah rumah keluarga
(tongkonan). Yang terpenting dalam masyarakat bugis adalah di capanya derajat
yang tinggi dalam sistem stratifikasi sosial. Pelras (2006:175-177).
31
3) Perkawinan
Bagi masyarakat bugis, perkawinan berati siala saling mengambil satu sama
lain, jadi perkawinan adalah ikatan timbal-balik, walaupun mereka berasal dari
status sosial yang berbeda, tetapi setelah mereka menjadi suami istri mereka
merupakan mitra. Hanya saja perkawinan bukan hanya sekedar merupakan
penyatukan dua mempelai semata akan tetapi suatu upacara penyatuan dan
persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya
denagan maksud kian mempereratnya (mappassideppe mabela-e’ atau
mendekatkan yang sudah jauh) di kalangan masayarakat baiasa perkawinan
umumnya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang
sama (masalah”patron-klien” akan di abhas lebih lanjut), sehingga mereka akan
saling memahami sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah
lain, cenderung menjaling hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang yang
telah mereka kenal baik melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan
adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi “bukan orang lain” (tania tau
laeng) hal ini juga sering di tempuh oleh dua sahabat atau mitra usaha yang
bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak
kecil.
Idealnya perkawinan di langsungkan dengan keluarga sendiri, perkawinan
antara sepupu, sepepu paralel (yaitu keduanya melalui sisi ibu dan sisi bapak) atau
pun sepupu silang yaitu satu dari sisi ibu maupun satu dari sisi bapak, dianggap
sebagai perjodohan terbaik. Ada silang pendapat dikalangan masyarakat Bugis
tentang lapisan sepupu yang ke berapa yang boleh dan tidak boleh di kawini.
Banyak yang menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali
(perkawinan semacam ini disebut siala marola) “terlalu panas” sehingga
hubungan seperti itu jarang terjadi, kecuali di kalangan bangsawan tertinggi.
“darah biru” yang mengalir dalam tubuh mereka dan harus di pelihara membuat
mereka melakukan hal itu sebagaimana halnya dengan tokoh-tokoh yang ada
didalam La Galigo. Sementara masyarakat biasa lebih menyukai perkawinan
dengan sepupu kedua (siala me’meng), lalu sepeupu ketiga dan keempat. Hal
penting lainnya adalah pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari
generasi atau angkatan yang berbeda.
32
Pasangan yang hendak menikah sebaiknya bersal dari generasi atau
“angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan kemanakan perempuan,
atau bibi dan kemanakan laki-laki dilarang, dan hubungan badan diantara mereka
akan dianggap sebagai salimara (hubungan sumbang, inses) sementra itu,
perkawinan dengan anak dari sepupu keberapa pun sebaiknya di hindari. Naskah
silsilah yang ada menunjukkan bahwa aturan ini di tegakkan dengan sangat ketat,
dan jarang sekali terjadi pelanggaran. Mengingat seringnya para bangsawan,
begitu pula dengan anak-anak mereka kawin dengan perempuan dengan berusia
jauh lebih muda dari mereka, menyebabkan banyak putra bangsawan yang sebaya
usianya dengan kemanakan mereka. Namun tidak ada paman atau bibi yang kawin
dengan kemanakan mereka walaupun usia mereka sebaya. Bagi kaum bangsawan
faktor lain yang harus di perhatikan yang paling penting malah adalah kesesuaian
derajat antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan bangsawan laki-laki yang
di perbolehkan kawin denagan pasangan berstatus lebih rendah, bangsawan
perempuan sama sekali tidak di perbolehkan menikah dengan yang lebih rendah
derajatnya.
Semakin tinggi status kebangsawanan seseorang, semakin ketat pula aturan
yang di berlakukan. Hal itu masih tetap berlaku hingga kini, namun di kalangan
bangsawan rendah kompromi kian hari kian cenderung terjadi. Istri utama pria
bangsawan tinggi (yang tidak mesti istri pertama) biasanya memiliki derajat
kebangsawanan yang sama dengan suaminya. Sementara istri-istri lainnya biasa
berasal dari kalangan lebih rendah, atau bahkan orang biasa. Selama sisitem
politik Bugis tradisional berlaku perinsip ini tetap di pegang teguh, karena akan
berdampak terhadap status keturunan mereka dan hak pewarisan tahta. Namun
demikian pertimbangan harta kekayaan sewaktu-waktu bisa menyebabkan di
abaikannya perinsip tersebut. Dahulu khususnya di kalangan orang Wajo’, laki-
laki dari keluarga kaya seriangkali di izinkan mengawini perempuan berstatus
lebih tinggi setelah melalui proses mangellidara atau “memebeli darah” yaitu
membeli derajat (kebangsawanan). Dalam proses pwrkawinan pihak laki-laki
harus memberiakan mas kawin kepada perempuan, Mas kawin terdiri atas dua
bagian sompa (secara harfiah berti “prsembahan” dan sebetulnya berbeda dengan
mahar dalam Islam) yang sekarang di simbolkan dengan sejumlah uang rella’
33
(yakni rial, mata uang portugis yang sebelumnya berlaku, antara lain di Malaka).
Rella di tetapkan sesuai status perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua
adalah dui menre’ (secara harfiah yang berarti denagan “uang naik”) adalah “uang
antaran” pihak pria kepada keluarga pihak perempuan untuk digunakan sebagai
pelaksanaan pesta perkawinan. Besarnya dui menre’ di tentukan oleh keluarga si
perempuan.
Selain itu di tambahkan pula yang dinamakan lise kawing (hadiah
perkawinan) dalam Islam disebut mahar atau hadiah kepada mempelai perempuan
baiasanya dalam bentuk uang akra akhir-akhir ini mahar kadang-kadang di ganti
dengan mushaf Alquran. Sebelum masa penjajahan belanda, laki-laki dari luar
wilayah tempat tinggal perempuan harus membayar pajak pallawa tana (secara
harfiah “penghalang tanah”) kepada penguasa setempat yang besarnya sesuai
sompa. Pelras (2006:178-180).
Upacara pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang bugis untuk
menunjukkan posisinya dalam masyarakat misalnya, dengan menjalankan ritual-
ritual, mengenakan pakain, perhiasan, dan pernak-pernik lain tertentu sesuai
dengan tingkat kebangsawanan dan status sosial mereka, selain itu identitas,
status, dan jumlah tamu yang hadir juga merupakan gambaran luasnya hubungan
dan pengaruh sosial seseorang. Pesta perkawinan juga merupakan ajang bagi
pihak keluarga mempelai laki-laki dan perempuan untuk mempertontongkan
kekayaan mereka, kekayaan keluarga mempelai laki-laki dapat di lihat dari
besarnya dui’ menre’ (uang mahar) yang mereka persembahkan kepada mempelai
perempuan. Millar, Bugis wedings didalam Pelras (2006:184).
Salah satu dari tiga pengetahuan utama yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Bugis untuk menempatkan diri pada hierarki masyarakat adalah pengetahuan
tentang individu diperlakukan dalam ritual resmi khususnya pada acara
perkawinan. Proses penyelenggaraan perkawinan masyarakat Bugis harus
dipatuhi, mengingat hubungan intim antara laki-laki dan perempuan menurut
masyarakat Bugis tanpa didahului dengan penyelenggaraan pesta perkawinan,
dianggap sebagai perbuatan yang sangat memalukan (mappakasiri’). Akibat rasa
malu tersebut akan berujung pada beban moral yang dirasakan oleh anggota
keluarga.
34
Dalam kehidupan manusia Bugis Makassar, siri’ merupakan unsur yang
prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilaipun yang paling berharga untuk
dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari siri’. Siri’ adalah jiwa mereka,
harga diri mereka, martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan untuk
membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka
manusia Bugis akan bersedia mengorbankan apa saja termasuk jiwanya yang
berharga demi tegakknya siri’ dalam kehidupan mereka (Abdullah:37). Ada
beberapa tahap yang harus di lewati pada masyarakat bugis pada saat melakukan
pernikahan :
a) Tahap Penjajakan (Mappese’-pese’)
Tahap penjajakan ini dilakukan secara rahasia dan dilakukan oleh seseorang
perempuan paruh baya, yang akan melakukan kunjungan kepada keluarga
perempuan untuk mengetahui jati diri calon mempelai. Dari hasil penyelidikan,
apabila diketahui calon mempelai belum ada yang meminang, maka tahap yang
dilakukan selanjutnya adalah melakukan lamaran. Jika kemudian terjadi
kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta mallino (duta resmi)seperti
penjelasan informan Mardiah berikut ini:
Mappese’-pese’ merupakan proses awal sebelum melakukan Perkawinan.
Apabila pihak perempuan belum ada yang meminang, maka akan dilakukan
pelamaran secara resmi oleh keluarga laki-laki (Wawancara, 29 Januari 2012).
Biasanya orang yang datang mammanu’-manu’ adalah orang yang datang
tahap penjajakan supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama
dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanu’-manu’ dengan orang tua
calon perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akanmemberi tahukan kepada
keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
b) Kunjungan Lamaran (Madduta)
Pihak laki-laki mengirim utusan (keluarga atau orang kepercayaan) untuk
menyampaikan lamaran. Pada proses pelamaran, biasanya orang tua laki-laki
tidak terlibat dan pihak laki-laki juga tidak ikut serta. Utusan disebut sebagai to
madduta sedangkan pihak perempuan disebut sebagai to ridutai. To madduta
35
harus berhati-hati, bijaksana dan pandai membawa diri agar kedua orang tua gadis
tidak tersinggung. Proses pelamaran bertujuan untuk mengetahui bahwa
perempuan yang dilamar sudah ada yang meminang atau tidak. Penentuan waktu
perkawinan ditentukan oleh pihak perempuan setelah dirundingkan oleh keluarga
perempuan. Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi.
Jadi duta mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki ke rumah
perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah
dirintis sebelumnya pada waktu tahap penjajakan dan mammanu’-manu’seperti
penjelasan informan Rahmatang berikut ini: Massita-sita (kumpul-kumpul
keluarga) dilakukan setelah proses mappese’-pese’. Pada acara ini pihak keluarga
perempuan mengundang pihak keluarga terdekatnya serta orang-orang yang
dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada waktu pelamaran
(Wawancara,28 Januari 2012 ).
Tujuan memanggil keluarga berkumpul pada proses kumpul-kumpul
keluarga untuk memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan pelamaran. Setelah rombongan to madduta (utusan) datang, kemudian
dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah
pembicaraan antara utusan dengan to riaddutai, kemudian pihak perempuan
pertama mengangkat bicara, lalu pihak laki-laki mengutarakan maksud
kedatangannya.
c) Penerimaan lamaran (Mappettu ada)
Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji
yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya seperti
penjelasan informan berikut ini:
Apabila perempuan sudah menerima lamaran pihak laki-laki, maka pihak
perempuan masih merasa perlu untuk merundingkan dengan keluarganya. Apabila
telah disepakati dengan keluarga, barulah kemudian acara mappettu ada dilakukan
(Wawancara, 29 januari 2012).
Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang
bertalian dengan upacara perkawinan seperti tanra esso (penentuan hari), balanca
(uang belanja) doi menre (uang naik) dan sompa (emas kawin) dan lain-lain.
36
Apabila lamaran itu telah diterima oleh pihak keluarga gadis, untuk suatu
proses peminangan bagi orang kebanyakan, maka pada kesempatan itu juga kedua
belah pihak membicarakan jumlah mas kawin (sompa) dan uang belanja (dui’
balanca) yang merupakan kewajiban pihak keluarga laki-laki untuk biaya
pelaksanaan upacara/pesta perkawinan itu (Tang, 2009).
Setelah acara penerimaan lamaran selesai, maka para hadirin disuguhi
hidangan yang terdiri dari kue-kue tradisional masyarakat Bugis yang pada
umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis dikemudian hari.
Masih ada kemungkinan pesta perkawinan tidak bisa dilakukan, apabila tidak
terjadi kesepakatan anatara kedua pihak. Ketidak sepakatan biasanya disebabkan
ketidakmampuan pihak laki-laki untuk memenuhi sejumlah uang belanja yang
ditetapkan.
d) Penyerahan uang belanja (Mappenre’ dui)
Uang belanja atau dui menere’ merupakan uang antaran yang harus
diserahkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai biaya dari
prosesi perkawinan. Penyerahan uang belanja ini juga menelan biaya yang
banyak, dimana keluarga perempuan akan membuat persiapan yang besar untuk
menyambut kedatangan rombongan calon mempelai laki-laki yang akan
membawa uang antaran.Informan Rahmatang menjelaskan tentang uang belanja
berikut ini:
Di Desa Pakkasalo pada tahun 2003 lalu, waktu Agustina menikah,
sebelumnya pada acara mappenre dui, tidak ada sama sekali keluarga yang
dipanggil hanya mereka. Keluarga laki-laki juga tidak banyak yang datang. Ini
sebenarnya bagus juga karena bisa berhemat. Tidak banyak lagi biaya yang
dikeluarkan (Wawancara, 29 Januari 2012).
Saat ini, ada beberapa orang yang sudah mulai meninggalkan proses ini,
dimana hanya ada penyerahan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan
tanpa mengundang banyak orang dan melakukan penyambutan. Ini dilakukan
untuk menghemat pengeluaran. Dalam masyarakat Bugis, proses ini disebut
siponcing.
e) Pesta tudang botting (pesta perkawinan)
37
Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya diadakan acara resepsi
(walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan
sekaligus menjadi saksi atas Perkawinan kedua mempelai agar masyarakat tidak
berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan. Secara
umum proses ini terbagi atas dua tahapan, antara lain:
Upacara Sebelum Akad Perkawinan: Setelah tercipta kesepakatan antara
kedua pihak, kesibukan akan dimulai. Semakin tinggi status sosial dari keluarga
yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan
yang dilakukan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan
bahwa akan ada pesta perkawinan kepada seluruh keluarga dan rekan-rekan. Hal
ini dilakukan oleh beberapa orang perempuan dan laki-laki dengan menggunakan
pakaian adat. Kegiatan ini dinamakan dengan mappaisseng. Tiga malam berturut-
turut sebelum hari perkawinan calon pengantin mappasau (mandi uap), calon
pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng
sampai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis.
Setelah acara mappasau (mandi uap), calon pengantin dirias untuk upacara
mappacci atau tudang penni. Acara wenni mappacci secara simbolik
menggunakan daun pacci (pacar), dimana setelah acara ini berarti calon mempelai
telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah
tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk: mappaccing ati (bersih hati) ,
mappaccing nawa-nawa (bersih fikiran), mappaccing pangkaukeng (bersih/baik
tingkah laku /perbuatan), mappaccing ateka (bersih itikat).Setelah pelaksanaan
acara mappacci, maka dilanjutkan dengan akad nikah (kalau belum melakukan
akad nikah). Pada masyarakat Bugis Bone kadang melaksanakan akad nikah
sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah kawissoro. Kalau
sudah melaksanakan kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara
mappasilukang dan makkarawa yang dipimpin oleh indo botting. Pada acara
resepsi sebelum tamu datang, akan diadakan penyelenggaraan upacara khatam Al-
Qur’an (mappanretemme). Pada acara resepsi juga akan ditampilkan acara hiburan
(musik) untuk menghibur para tamu yang datang.
Pertemuan resmi setelah perkawinan: Setelah pesta selesai, maka akan
diadakan acara menginap tiga malam, dimana perempuan menginap di rumah
38
laki-laki. Saat ini tiga malam masa menginap dipersingkat mejadi satu malam.
Setelah acara ini selesai, maka dilanjutkan dengan siara kubur. Prosesi ini ditutup
dengan acara massitabaiseng atau pertemuan antara mertua dengan mertua.Pada
acara resepsi ada yang dinamakan dengan ana botting, hal ini dinilai mempunyai
andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan pada masyarakat Bugis
Bone. Sebenarnya pada masyarakat Bugis, ana botting tidak dikenal dalam
sejarah, dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh balibotting dan
passepik yang bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan. Ana botting
dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung nilai-nilai
kemanusiaan dan merupakan ciri khas kebudayaan masyarakat Bugis pada
umumnya dan orang Bugis pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk kepada
berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan
sikap-sikap serta hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat satu
kelompok penduduk tertentu.
4) Agama dan Ritual
Agama merupakan unsur penting yang menentukan identitas suatu
masyarakat. oleh karena itu, diterimanya Islam sebagai agama orang Bugis
merupakan suatu peristiwa yang sangat penting. Orang Bugis bersama orang
Aceh, Melayu, Banjar, Sunda, Madura, dan tentu saja orang Makassar dianggap
termasuk di antara orang Indonesia yang paling kuat dan tangguh memeluk ajaran
Islam. Dan memang hampir semua orang Bugis adalah penganut agama Islam,
kecuali komunitas kecil To-Lotang yang menganut aliran kepercayaan pribumi.
Sejak abad ke-17 mereka bermukim tertama di Amparita (sidenreng) populasinya
di abad ke 1980-an mungkin tidak lebih dari 20.000 orang. Kekecualian lain
adalah sekian ratus orang keristen Bugis (di soppeng). Para penganut agama Islam
biasanya di persatuakan oleh satukan oleh satu ikatan persaudaraan sesama
muslim (ukhuwah Islamiyah) yang menjadikan muslim yang satu bersaudar
dengan muslim yang lainya.
Kemungkinan besar hal inilah yang yang mendasari kecenderungan orang-
orang Bugis, Mandar, Ma’senrenmpulu, dan Makassar membentuk semacam
etitas supra etnis Bugis Makassar yang semakin kuat sebagai sesama orang Islam
39
Sulawsi Selatan. Berbagai etnis terbuat akan senang hati memperkenalkan diri
mereka kepada orang luara sebagai “orang Bugis-Makassar”. Hanya saja realistis
ke Islaman orang Bugis sebenarnya jauh lebih kompleks dari gambaran tersebut.
Di satu sisi, agama Islam memang telah menjadi bagian dan hadir dalam begitu
banyak aspek kehidupan orang Bugis. Hal itu dapat di lihat pada peraktik
peribadatan mereka nama-nama muslim yang mereka sandang hadirnya mesjid
dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, universitas-
universitas Islam, dan sebagainya serta berbagai bentuk istitusi lainnya. Akan
tetapi di sisi lain orang yang pernah berhubungan langsung dengan berbagai
komunitas Bugis di Sulawesi Selatan, baik di desa maupun di kota di kalangan
masyarakat biasa maupun di kalangan bangsawan, tentu perna pula menyaksikan
berbagai unsur kepercayaan pra-Islam yang masih tersisa. Misalnya, ritual-ritual
masyarakat, kepercayaan mereka terhadap mitos pra-Islam, persembahan kepada
benda-benda pusaka dan tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah
pendeta bissu yang masih tetap berperan aktif. Padahal semua unsur tersebut
sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka anut.
Di terimanya Islam di kalangan elite Sulawesi Selatan sejak awal proses
Islamisasi tampaknaya berbarenagan dengan dua kecenderungan yang saling
berlawanan yakni kuatnya keinginan kalanagan bangsawan tinggi untuk tetap
mempertahankan sinkretisme, dan kecenderungan kalangan pedagang dan pelaut
untuk menerapkan ajaran Islam yang benar (ortodoks). Akan tetapi hal itu bukan
berarti bahwa semua bangsawan pasti cenderung ke arah sinkretisme, atau
peraktik sinkratisme hanya ada pada kalangan bangsawan tinggi. Demikian pula
denagan sebaliknya orang yang berasal dari aristokrat bangsawan tinggi adapula
yang menganut dan taat menjalankan ajaran Islam yang benar. La
Maddaremmeng, Raja Bone abad ke-17, misalnya memutuskan untuk menetapkan
syariat Islam, melarang praktik-peraktik tahayul menghalau bissu dari
kerajaannya, dan memerdekakan budak. La Madaremmeng adalah seorang sufi
yang sejumlah tulisannya masih beredar di kalangan ulama Bugis. Peran sufime
dan terekat dalam penyebaran Islam di Sulawesi Selatan memang sangat besar.
Contoh sufi lainnya adalah Syekh Yusuf yang sanagat terkenal dan
memiliki hubungan dekat dengan keluarga penguasa Goa. Di usia 19 tahun,
40
tepatnya pada 1645 beliau meninggalkan Makassar menuju Mekah. Sebelumnya,
ia singgah belajar pada sufi Nuruddin ar-Raniri di Aceh, kemudian ke Yaman dan
sempat berguru kepada dua orang sufi. Setelah belajar di Mekah Syekh Yusuf
selanjutnya ke Damsyik, lagi-lagi untuk mendalami tasawwuf. Di sanalah dia
mengenal dengan ajaran tarekat Khawatiyya. Sekembalinya dari Mekah pada
1678, Syekh Yusuf begitu terkejut menyaksikan buruknya penerapan ajaran Islam
di Sualawesi Selatan. Dimana-mana orang berjudi, minum tuak, menghirup
candu, serta menyembah dan memuja berhala dengan bebas, bahkan di tolerir oleh
penguasa atau raja-raja muslim. Usahanya memberantas peraktik-peraktik yang
bertolak belakang dengan ajaran Islam di tentang keras oleh pra bangsawan yang
masi memegang teguh sinkretisme dan dapat mungkin berusah mempertahankan
taradisi yang berlaku di tengah masyarakat. selang beberapa saat kemudian Syekh
Yusuf meninggalkan makassar menuju Bnten, Jawa Barat. Sebelumnya ia
menunjuk salah seorang muridnya untuk menyebarluaskan tarekat Khalawatiyya
di Sulawesi Selatan. Pada mulanya tarekat tersebut hanya di pusatkan di
lingkungan bangsawan (Brunessen, “Khalawatiyya”).
Setelah proses Islamisasi hubungan perniagaan, politik dan intelektual
Sulawesi Selatan dan pulau-pulau lainnya di Asia Tenggara dan dengan kerajaan
lainnya seperti Aceh, Malaka, Sulu, Brunei, Banjarmasin, Banten, Buton dan
Ternate semakin berkembang pesat, hubungan serupa juga di jalani dengan
berbagai wilayah Asia lainnya termasuk di negara-negara muslim di India dan
Timur Tengah serta tentu saja Mekah, tempat banyak kalangan muda menuntut
ilmu agama dan kembali sebagai ulama terpelajar, dan meyebarluaskan
pengetahuan kepada masyarakat. Hasilnya dampak pembaharuan pemikiran Islam
di dunia muslim pada masa itu, cepat atau lambat akan masuk pula ke Sulawesi
Selatan. Pada abad ke 18 babak baru perkembangan khazanah pemikiran Islam di
sulawesi selatan di warnai dengan penulisan Buku Budi Istiharat Indra Bustanil
Arifin oleh seorang penulis bugis yang dikenal namanya. Karya tersebut agaknya
banyak di ilhami tradisi lisan Melayu, Indo, Persia, dan jika bukan saduran, mirip
dengan mahkota segala raja (Melayu) atau Tajus-Salatin (Arab) yang di tulis di
Aceh seabad sebelumnya di tulis oleh Syeh Bukhori Al-johari.
41
Naskah tersebut serta naskah yang serupa lainnya beisi kisah-kisah untuk
menggantikan mitos-mitos paganisme (dari zaman pra-Islam) tentang raja sebagai
turunan dewata yang menjadi landasan kekuasaan kaum aristokrat. Kisah-
kisahnya di beri muatan ideologi berbasis Islam yaitu penguasa dianggap tidak
lebih dari wakil atau khalifah Tuhan dimuka bumi. Sebenarnya ideologi seperti itu
bukanlah hal baru di dunia Melayu, dan merupakan konsep pemikiran Islam
zaman pertengahan dan dipengaruhi oleh pemikiran persia, raja di pandang
sebagai “Bayangan Tuhan” pemikiran ini dijadikan konsep dasar sejumlah
kesultanan Melayu, sehingga tentu telah berkenalan pula dengan konsep itu
(Milner, “Malay Kingship”) Pelras (2006 : 209-2012).
5) Kesastraan dan Seni
Meskipun orang Bugis kaya akan sastra lisan dan tulisan tulisan namun hal
itu sangat jarang di teliti dan jauh kurang dikenal daripada sastra Melayu, Jawa,
atau Bali, Padahal kesusastraan Bugis tidak kalah banyak jenis dan bentuknya
termasuk didalamnya adala salah satu karya epos terpanjang di dunia, kronik
sejarah, ikhtisar perundang-undangan, almanak, risalah hal-hal peraktis, kumpulan
kata-kata mutiara, teks ritual pra Islam, karya-karya Islami, dongeng dan berbagai
cerita, berbagai jenis sajak kecuali teks drama (teater).
Berbeda dengan kebudayaan Sunda, Jawa, Madura, dan Bali, kebudayaan
Bugis tradisional tidak mengenal seni pertunjukan teaterikal, baik yang di
lakonkan oleh manusia maupun dalam bentuk wayang kulit, seni tari Bugis pun
tidak berisi cerita (sendratari). Sedangkan seni musik bugis berbeda dengan
gamelangan karena sebagian besar menggunakan alat musik Austronesia murni
yang banyak diantaranya berupa alat musik tak bernada, sementara pertunjukan
seni suara, baik lagu-lagu bernada datar (untuk epos atau pembacaan doa),
maupun lagu-lagu yang berirama melodis (untuk menyampaikan cerita atau
sajak), adalah salahsatu medium utama untuk menyajikan karya sastra (baiak
sastra lisan, maupun sastra tulisan) yang tampaknya tidak memperlihatkan
pengaruh India. (Pelras, 2006:224-225).
a) Musik,Tari, Dan Lagu-Lagu Ritual
Musik dan bunyi-bunyian tak bernada berperang penting dalam ritus Bugis
kuno, yang masih terlihat dalam peraktik bissu sampai kini. Di bunyikannya juga
42
kancnci (kancing) dan bermacam-macam bunyi-bunyian dari besi atau bambu
dalam beberapa ritus rakyat merupakan salah satu warisan ritus Bugis kuno yang
di sederhanakan. Dalam ritus itu mantra tidak di ucapkan dengan suara keras dan
tidak ada lagu atau taraian ritual yang menyertainya. Sedangkan yang khas dalam
upacara bissu justru digunakannya juga ucapan serta nyanyian doa pujian dan
syair ritual serta diadakannya tarian ritual. Adapun teks ritual bissu sebagian besar
diantaranya merupakan lagu-lagu vokal murni. Sedangkan sabo’ suatu mantara
yang di lagukan sambil menari dalam suatu lingkaran, hanya di iringi tabuhan
gendang. Alat musik utama dalam ritual bissu adalah gendang (gendrang) berkulit
dua yang di tabuh oleh pemainnya dengan kedua tangannya. Gendang itu, tanpa
nyanyian, di tabuh oleh pemain gendang bukan bissu, antara lain untuk
mengiringi tarian ma’giri (tarian menikam diri sendiri) yang dilakukan oleh bissu
dalam keadaan kesurupan (a’soloreng) gendang juga ditabu untuk mengiringi
mantra yang dinyanyikan dalam upacara “membangunkan” bajak keramat yang
dianggap “sedang tidur”, sebelum di turunkan untuk membajak sawah pertama
kali dalam upacara ma’palili.
Bunyi-bunian tak bernanda (poni-oni) yang digunakan dalam upacara bissu
memiliki berbagai macam jenis dan bentuk. Ada yang terbuat dari besi (tetti’-
laguni, suji kamma, ana beccing, dan sebagainya) yang saling dibenturkan yang
satu dengan yang lain. Ada pula yang terbuat dari bambu seperti lea-lea, yang
digunakan sepasang-sepasang untuk memukul sebatang kayu atau sebila bambu
lain secara silih berganti. Di samping itu, digunakan pula gong besar (juga disebut
gong dalam bahasa Bugis) yang di pukul dengan palu khusus, dan kancnci,
sepasang simbal kuningan yang saling dibenturkan dan saling digesekkan.
Berbeda dengan bunyi gong yang berdengung, kancnci menghasilkan bunyi yang
agak “ menusuk gendang telinga”. Di samping pemakaiannya dalam ritual bissu
kumpulan sebagian atau seluruh alat tersebut di tambah serunai (pui’-pui)
sehingga berbentuk semacam “orkes” yang di namakan gaukeng atau gau datu,
dapat dimainkan pada kesempatan upacara perkawinan atau upacara paska
kelahiran anak di kalanagan bangsawan tinggi.
Suatu bentuk musik perkusi khas dapat di temukan pada ritual ma’-
padendang (menumbuk lesung) yang dilakukan pada saat pesta panen atau ketika
43
terjadi gerhana. Instrumen besar yang terbuat dari batang pohon yang di lubangi
tersebut di gantung bebereapa inci diatas lubang di tanah yang berfungsi sebagai
“kota pemantul suara”. Para muda-mudi menggunakan tongkat kayu sebagai
pengganti alu bambu yang digunakan menumbuk padi bergantian menumbuk
lesung sepanjang siang dan malam mengikuti irama, gadis-gadis menumbuk
lubang lesung dengan ketukan teratur, semantara para pemuda menumbuk kedua
ujung lesung dengan irama lebih bersingkope. “ alat musik” itu kadang-kadang di
sertai pula gendang dan gong. (Pelras, 2006, halaman 225-226) .
b) Tulisan Dan Aktivitas Baca Tulis
Menurut Pelras (2006), orang Bugis mungkin telah mengenal dunia tulis-
menulis jauh lebih lama dari sangkaan mereka sendiri atau perkiraan ilmuwan
asing. Sebuah tradisi lisan Sulawesi Selatan menghubungkan penciptaan aksara
Bugis Makassar yang kini digunakan, dengan seorang yang bernama Daeng
Pammate, Syahbandar Makassar pada masa pemerintahan raja Gowa, Daeng
Matanre Tumparisi’ Kallonna (±1511-1548). Ini tidak serta merta berarti orang
itulah yang telah menciptakan akasara tersebut dari nol, mengingat miripnya
aksara Bugis Makassar dengan aksara yang digunakan di Sumatra, Filipina,
Flores, dan Sumbawa.
Kemiripan itu justru mengisyaratkan adanya persamaan asal-usul aksara
mereka yang berasal dari periode jauh sebelum abad ke-16. Carawfurd
(Descriptive Dictonary : 88) sudah memperhatikan bahwa aksara Bugis berbeda
dengan aksara jawa yang memiliki urutan Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Aksara bugis
menggunakan sistematika urutan ( ka, ga, nga, pa, ba, ma, ta, da, na, nra, ca, ja,
nya, nca, ya, ra, la, wa, sa, ha) yang lebih dekat dengan aksara Sanskerta, yang
juga digunakan dalam aksara ka, ga, nga Melayu Sumatra Selatan, dan mirip
dengan sistematika yang di pakai dalam kajian linguistik modern. Apa yang
dilakukan Daeng Pammate’ mungkin sekedar melakukan perubahan, baik
terhadap aksara awal Makassar (yang berbeda dengan aksara Bugis), maupun
terhadap pemanfaatan tulisan untuk tujuan-tujuan baru. Isi kronik sejarah
Makassar dan Bugis yang kian rinci sejak abad ke-16 merupakan indikasi semakin
banyaknya pula sumber-sumber tertulis pada masa itu. Akan halnya aksara Bugis,
kita tahu pasti bahwa aksara itu telah mengalami beberapa perubahan seiring
44
bergantinya waktu. Huruf ngka, mpa, nca, yang hanya terdapat dalam aksara
Bugis dan tidak di temukan dalam aksara Makassar, tampaknya baru ditambahkan
belakangan. Mungkin pada abad ke-19.
Pada beberapa manuskrip tua La Galigo terdapat beberapa aksara yang
berbeda bentuknya dengan yang kini digunakan. Di Luwu’ terdapat pula tradisi
penulisan dokumen yang mula-mula hanya beredar di lingkungan bangsawan
tinggi yang di tulis dengan aksara khusus yang disebut samparana. Aksara ini
mungkin memiliki susunan kata sama dengan aksara Bugis yang penggunanannya
disebutkan terdapat dalam sejumlah naskh dari Luwu’ yang tersimpan di
Perpustakaan Museum Nasional Jakarta (Noorduyn dan M. Salim, “Buginese
Characters”, 351-352). Hal menarik dari susunan suku katanya adalah adanya
aksara tertentu, bukan hanya konsonan ganda, namun juga konsonan rangkap nta,
nda, dan nja (yang juga terdapat dalam aksara Ka, Ga, Nga, Melayu, tetapi tidak
ditemukan pada aksara Bugis biasa).
b. Suku Makassar
Suku Makassar merupakan sebutan terhadap salahsatu suku etnis yang
mendiami daerah Sualawesi Selatan tepatnya didaerah kabupaten Gowa, Takalar,
Jeneponto, Bantaeng dan beberapa daerah lainnya. Selain itu kata Makassar juga
selalu diidentikkan dengan nama sebuah kerajaan pada zaman dahulu yakni
kerajaan Makassar. Menurut Basang, 1972:1-2 didalam Faidi, 2014:3-8, kata
makassar berasal dari kata Mangkasarak. Sedangkan kata Mangkasarak sendiri
merupakan gabungan dari prefiks Mang mengandung makna dua hal yaitu
memiliki sifat seperti yang terkandung dalam dasarnya dan menjadi atau
menjelma diri seperti yang dinyatakan oleh kata pangkalnya. Sedangkan kata
dasar Kasarak mengandung arti terang, nyata, jelas, tegas, tampak, besar. Dengan
demikian maka kata Mangkasarak mengandung arti memiliki sifat besar (mulia)
dan berterus terang (jujur).
Beberapa penulis terdahulu sering mengidentikkan suku Makassar dengan
suku Bugis. Dalam berbagai penulisan hasil penelitian terdahulu begitu banyak
yang menuliskan keduanya dalam satu sebutan, yaitu Bugis-Makassar.
Kemungkinan besar hal tersebut terjadi karena keduanya merupakan dua etnis
45
yang sama-sama berasal dari rumpun Melayu-Dutro sehingga keduanyapun
memiliki kebudayaan yang hampir sama satu sama lain.
Sebuah pemikiran mengatakan bahwa Bugis dan Makassar merupakan dua
suku etnis yang serumpun, kemungkinan besar lebih di dasarkan pada sebuah
peristiwa penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan gowa terhadap kerajaan Bone
dan Wajo. Meski demikian keduanya merupakan suku etnis yang memiliki
kekhasan masing-masing. Dari segi bahasa misalnya suku Bugis dan suku
Makassar memiliki bahasa yang berbeda meski uku Bugis dan Makassar sama-
sama termasuk dalam satu rumpun bahasa Sulawesi Selatan, tetapi keduanya
berasal dari sub-kelompok yang berbeda.
Bahasa Makassar termasuk dalam sub-kelompok yang sama dengan bahasa
Bentong, Konjo, dan Selayar. Sedangkan bahasa Bugis bagian dari sub-kelompok
yang sama dengan bahasa Campalagian dan dua bahasa di pulau Kalimantan yaitu
bahasa Embaloh dan bahasa Taman. Perbedaan kelompok dan bahasa tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa Bugis dan Makassar memiliki ke Khasan
masing-masing. Konon kerajaan Makasaar tersebut merupakan salah satu
kerajaan yang begitu keras menentang penjajahan Belanda. Dalam kegigihannya
melawan pasukan Belanda, Makassar memiliki toko pahlawan yang dikenal
dengan nama Karaeng Galesong. Karaeng Galesong merupakan salah satu tokoh
sentral Gowa yang terkenal karena kegagahannya dalam menentang belanda,
beliau merupakan salah satu tokoh yang tak kenal menyerah dan tak takluk
kepada pasukan Belanda. Bersama armada lautnya yang perkasa Karaeng
Galesong senang tiasa memerangi pasukan kapal laut Belanda yang mereka temui.
Akibat keganasannya tersebut, para pasukan Belanda menjulukinya dengan
sebutan “Si Bajak Laut”.
Terlepas dari itu orang-orang makassar sendiri menyebut diri mereka
dengan sebutan Mangkasara yang berarti “mereka bersifat terbuka” selain itu
orang-orang Makassar sendiri terkenal dengan panggilan Daeng. Selain suku
makassar daerah Sulawesi Selatan didiami oleh beberapa suku etnis yaitu suku
Bugis, Mandar dan Toraja. Dalam sejarahnya suku Makassar merupakan suku
etnis yang memiliki karakter suka berperang, penakluk demokratis dalam
pemerintahan dan terutama mereka dianggap sebagai penguasa laut, adapun
46
sebutan penguasa laut bagi suku Makassar di dasarkan pada sejarah kejayaan suku
Makassar, khususnya kerajaan Gowa yang mampu menaklikan bebrapa pulau di
indonesia. Selain itu mereka juga menjelajah hingga sampai ke daratan Brunei dan
Australia.
Peter G.Spellet M seorang sejarawan asal Australia Utara yang di juluki
Daeng Makulle, mengungkapkan sebuah fakta tak terbantahkan mengenai orang
pertama yang mendarat di pulau Austarlia. Dalam penelitian tersebut di
ungkapkan bahwa orang-orang yang pertamakali mendarat di kepulauan Austarlia
adalah orang-orang dari Sulawesi Selatan. Penelitian tersebut sekaligus
menggugurkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa orang belanda (Abel
Tasman) ataupun orang Inggris (James Cook) yang mendarat pertama kali di
Australia pada tahun 1642 M. Penelitian Peter tersebut dilakukan dengan cara
menelusuri jejak-jejak dalam buku-buku sejarah terkait dengan hubungan orang-
orang Makassar dengan orang-orang suku Aborigin (Merage). Dalam hal ini di
ungkapkan pula bahwa orang-orang Sulawesi Selatan mendarat di pulau Australia
dengan menggunakan alat transportasi laut tradisional atau perahu.
Terkait dengan kebiasaan orang-orang Makassar yang suka merantau dan
menyebrangi lautan tersebut, saat ini suku Makassar sendiri kian tersebar di
berbagai daerah baik di kepulauan Sulawesi maupun di kepulauan lainnya. Meski
demikian, Sulawesi Selatan tetap menjadi rujukan geografis utama ketika
membahas mengenai keberadaan suku Makassar. (Faidi, 2014:2-7).
1) Kondisi Geografis dan Populasi Penduduk
Di antara beberapa suku etnis yang tinggal di Sulawesi Selatan, suku
Makassar memiliki populasi penduduk terbesar kedua setelah suku Bugis. Pada
tahun 2010, populasi penduduk Sulawesi Selatan secara keseluruhan mencapai
8.032.551 jiwa. Jika di sesuaikan dengan masing-masing etnis maka suku bugis
yang menduduki tingkat teratas yakni dengan populasi penduduk mencapai 41,9
persen. Sedangkan suku Makassar berada di tingkatan kedua dengan populasi
penduduk 25,43 persen, di susul dibawahnya adalah suku Toraja dengan populasi
penduduk 9,02 persen dan berikutnya di susul oleh suku Mandar denagn populasi
penduduk 6,1 persen. Secara umum para penduduk suku Makassar tersebut
47
tersebar di beebrapa daerah di Sulawesi Selatan, yaitu di kota Makassar,
kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Bulukumba, Maros dan
Pangkep bahkan tidak menuntut kemungkinan saat ini sudah banyak suku
Makassar yang sudah tercampur atau hidup berdampingan dengan suku-suku etnis
lainnya dan tersebar ke berbagai daerah Sulawesi lainnya.
Menurut Abu Hamid, 1994:21 didalam Faidi, 2014:9 daerah inti dari
pemukiman para penduduk suku Makassar meliputi tiga kabupaten yakni Gowa,
Takalar dan Jeneponto. Sedangkan orang-orang makassar yang berada di darah
lainnya khususnya di kabupaten Maros dan Bantaeng dianggap sebagian sudah
bercampur dengan suku Bugis. Secara geografis kota Makassar, disebelah utara
kota Makassar terdapat Kabupaten Maros yang berbatasan dengan Kabupaten
Pangkep, pada bagian sebelah utara dan sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Bone, sedangkan pada sebelah selatan Kabupaten Maros secara
berurutan terdapat kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto kemudian Bantaeng.
Dalam derah kelima kabupaten tersebut terdapa dua buah gunung yang tinggi
menjulang yaitu gunung Bawakaraeng dan Lompobattang. Kabupaten Gowa,
Maros, Jeneponto dan Bantaeng tepat berada dibawah kaki kedua gunung
tersebut. Selain itu keberadaan gunung itulah yang menjadi pembatas antara
Kabupaten Gowa dan Maros dengan Kabupaten Sinjai yang berada di bagian
pesisir timur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelima kabupaten tersebut
sebagian besar wilayahnya terdiri dari atas daratan tinggi, perbukitan. Sedangkan
daratan rendah di wilayah ini hanya terdapat pada bagian pesisir pantai. (Faidi,
2014 : 8-12).
48
2) Sistem Bahasa
Gambar 2.1: Aksara lontara Makassar.
Sumber : (Faidi, 2014 : 32)
Secara umum derah Sulwesi Selatan memiliki bahasa daerah yang sampai
saat ini masih digunakan, yaitu bahasa Makassar, bahasa Bugis, bahasa Mandar
dan bahasa Toraja. Secara keseluruhan, berbagai macam bahasa daerah yang ada
di Sulawesi Selatan tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Melayu polinesia,
yaitu sebuah rumpun bahasa yang secara umum digunakan di berbagai daerah di
Indonesia. Sedangkan bahasa Makassar sendiri merupakan bahasa asli para
penduduk suku Makassar, sejauh ini bahasa Makassar masih digunakan sebagai
bahasa sehari-hari oleh warga suku Makassar khususnya oleh orang-orang
Makassar yang mendiami daerah pedalaman sedangkan orang-orang Makasar
yang tinggal didaerah perkotaan, sebagian sudah menggunakan bahasa Indonesia
dalam kehidupannya sehari-hari. Aksara lontara dapat di kategorikan dalam tiga
bagian yaitu aksara lontara toa jangang-jangang, lontara sulapa appa’ dan lontara
bilang-bilang. Aksara lontara jangang-jangang, merupakan aksara lontara yang
digunakan pada zaman dahulu, dan aksara lontara sulapa appa’ adalah aksara
lontara yang merupakan jenis huruf yang paling umum digunakan oleh
masyarakat Makassar.
Sedangkan yang di maksud dengan aksara lontara bilang-bilang adalah jenis
huruf lontara yang secara khusus digunakan oleh kalangan kerajaan, khusunya
yang berkaitan dengan rahsia-rahasia kerajaan. Aksara lontara di Makassar mulai
49
diperkenalkan pertama kali pada masa pemerintahan Sombayya ri gowa IX, yaitu
Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tompa’risi Kallonna (1512-1546).
Berabagai pendapat mengatakan bahwa aksara lontara di ciptakan oleh Daeng
Pammate, yang saat itu menjabat sebagai syahbadar sekaligus merangkap menjadi
tomailalang, mangkubumi kerajaan Gowa. Pendapat tersebut di dasarkan pada
lontara Gowa yang di tulis sekitar abad ke-16 seperti yang di kutip oleh Ahmad
M.Sewang dalam lontara tersebut di ungkapkan sebagai berikut:
“lapa anne karaeng uru mappare’ rapang bicara timu-timu ribunduka,
sabannara namenne kareanga nikana Daeng Pammate, ia sabannara, ia
tomailalang ia tominne Daeng Pammate’ ampareki lontara’ Mangkasaraka”.
Artinya: “baru saja inilah To mapa’risi’ kallonna yang perama membuat
undang-undang dan peraturan perang. Shabadar dari raja ini bernama Daeng
Pammate, dia shabadar dan dia juga to mailalang. Dan Daeng Pammate juga ini
adalah penyusun lontara Makassar”.
Pendapat yang mengatakan bahwa Daeng Pammate merupakan pencipta
pertama aksara lontara kunci dasarnya terletak pada kata appareki lontara’ tetapi
pendapat tersebut kemudian di abntah oleh beberapa peneliti sesudahnya sebut
saja diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rahman dan Muhammad
Salim. Dalam penelitian tersebut di ungkapkan sebuah alasan yang lebih masuk
akal yakni adanya sureq Galigo yang di tulis dalam aksara lontara pada abad XIV.
Karena Itu Pulah, Mattulada mengungkapkan bahwa Daeng Pammate hanya
menyempurnakan sisitem huruf lontara yang telah ada sebelummya. (Faidi, 2014 :
32-38).
3) Sistem Agama
Sebelum agama Islam masuk ke Nusantara, sebagian besar masyarakat
menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme. Kala itu, masyarakat
Nusantara mempercayai adanya dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, benda-
benda keramat, dan lain sebagainya. Pada tahap selanjutnya kepercayaan tersebut
sedikit demi sedikit mulai tergeser setelah masuknya beberapa agama lain seperti
agama Islam dan Kristen. Meski demikian, kepercayaan animisme dan dinamisme
tersebut tidak sepenuhnya hilang dan lenyap. Bahkan, kepercayaan tersebut
bertahan di tengah-tengah pesatnya perkembangan agama-agama lainnya. Jika
50
pada satu sisi, kita menemukan nilai-nilai Islam, maka pada sisi yang lainnya kita
dapat menemukan beberapa unsur yang mengandung nilai-nilai animisme
tersebut. Pada zaman dahulu, masyarakat suku Makassar mempercayai
keberadaan dewa-dewa penguasa dunia. Suku Makassar mempercayai adanya
Dewa Sarea (Dewa Langit). Dewa Langit ini diyakini sebagai dewa penguasa
langit yang bersemayam di langit tertinggi.
Orang Makassar biasanya melakukan pemujaan terhadap dewa ini melalui
upacara abbuak, yakni sebuah upacara pemujaan kepada dewa langit yang
dilakukan dibagian atas rumah (Samulayang). Suku Makassar juga mempercayai
adanya dewa-dewa yang menguasai tempat-tempat tertentu. Sebut saja
diantaranya adalah Dewata Mattanrue (DewataPatatoe). Menurut mereka, dewa
ini bertahta di Gunung Latimojong. Sosok dewa yang cukup populer, yakni dewa
Batara Guru dipercayai merupakan keturunan dari Dewata Patatoe tersebut. Suku
Makassar juga mempercayai bahwa benda-benda pustaka tersebut merupakan
tempat roh-roh nenk moyang yang biasa datang. Oleh karenanya benda-benda
pusaka tersebut harus dirawat dan dijaga agar roh-roh yang menghuni didalamnya
tidak marah dan dapat menimbulkan bencana. Bahkan, mereka juga mempercayai
bahwa benda-benda pusaka tersebut dapat membantu orang-orang yang meminta
bantuan kepadanya.
Di tengah-tengah bercoloknya kepercayaan animisme dan dinamisme
tersebut, Islam mulai masuk ke daerah Sulawesi Selatan. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke daerah Sulawesi Selatan pada tahun 1605.
Teori ini sepenuhnya didasarkan pada kedatangan tiga tokoh ulama dari
Minangkabau, yaitu Datuk Ribandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang.
Konon, ketiga tokoh ini diundang oleh raja Gowa untuk mengajarkan agama
Islam baik dilakukan kerajaan maupun kepada masyarakat Gowa secara
keseluruhan. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa Islam telah masuk ke daerah
Sulawesi Selatan jauh sebelum kedatangan ketiga Datuk tersebut. Menurut
pendapat ini, Islam mulai masuk ke daerah tersebut kurang lebih terjadi pada
tahun 1320. Teori ini di dasarkan pada seorang keturunan Nabi yang datang
pertama kali didaerah tersebut, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini.
Sayyid Jamaluddin ini merupakan kakak kandung dari empat ulama besar yang
51
merupakan bagian dari Wali Songo, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul
Yakin atau Sunan Giri, Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel, Sayyid Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sedangkan dalam kalangan suku Makassar
sendiri, Islam mulai masuk dalam kerajaan Gowa pada 1605, yakni pada masa
pemerintahan I Manga’rangi Daeng Marabbia. Raja inilah yang menganut agama
Islam pertama kali dalam kerajaan Gowa.
Semenjak itu, kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam. Seiring waktu,
dalam jenjang kurang lebih enam tahun, kerajaan Gowa telah mampu
mengIslamkan bebrapa kerajaan di sekitarnya. Semenjak saat itulah, agama Islam
mulai berkembang dan meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku
Makassar. Begitu banyak adat dan tradisi suku Makassar yang dipengaruhi oleh
nilai-nilai Islam. Karena itu pulah, banyak yang mengatakan bahwa suku
Makassar merupakan penganut agama Islam yang kokoh dan taat. Salah satu
contoh perpaduan unsur-unsur Islam dengan nilai-nilai adat suku Makassar dapat
di lihat dalam adat pangadakkang. Saat ini adat tersebut telah melebur denagan
nilai-nilai Islam menjadi satu lembaga adat baru yang dikenal dengan sebutan
Syara. Lembaga ini memiliki fungsi yang mengurusi berbagai persoalan dalam
dua bidang sekaligus, yakni masalah agama dan masalah adat. Dalam praktik
kesehariaannya, begitu sulit untuk memisahkan peristiwa agama dan adat. Bagi
mereka, pelanggaran terhadap adat sama halnya dengan pelanggaran terhadap
agama. Dengan demikian, tidak heran bila dalam suku Makassar kita sering
menemukan beberapa istilah yang menjadi indikasi perpaduan keduanya, yakni
istilah “adat diagamakan” dan “agama diadatkan”. (Faidi, 2014 : 40-46).
4) Sistem kekerabatan
Dalam sistem kekrabatan suku Makassar, setidaknya ada dua kategori
keluarga, yaitu keluarga inti (batih) atau disebut pula dengan sianakang dan
keluarga luar (biji pammarakamg). Keluarga batih biasanya terdiri dari ayah, ibu,
dan anak. Pemegang peranan penting dalam lingkup keluarga ini berada di tangan
ayah. Jika ayah meninggal, maka peran penting tersebut bisa di gantikan oleh
anak laki-laki tertua. Sedangkan seorang ibu memiliki tanggung jawab untuk
mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Pendapat lain mengatakan, pada
dasarnya sistem kekeluargaan suku Makassar tidak mengenal perbedaan antara
52
keluarga batih dan keluarga luar. Mereka hanya mengenal sebuah konsep
kekeluargaan yang mereka sebut dengan (sispamanakkang).
Pengertian sipamanakkang bagai suku Makassar sebenarnya terkait erat
denngan lokasi tempat tinggal mereka yang disebut dengan ballak sipamanakkang
tersebut dianggap sebagai anggota keluarga dan termasuk dalam satuan keluarga
sipamanakkang. Meski demikian, dalam suku Makassar jarang sekali di temukan
adanya suatu keluarga sipamanakkang yang terdiri dari begitu banyak anggota
keluarga. Hal demikian terjadi karena adanya nilai dan norma yang menuntut
sikalabine (pasangan suami istri) yang sudah bertambah besar anggotanya, harus
mendirikan rumah tangga baru yang terpisah dari keluarga orang tuanya. Terkait
dengan hal menentukan garis keturunan, suku Makassar menganut sistem billineal
atau disebut pula billateral descent, yakni sebuah sistem keturunan yang di hitung
dari garis ayah dan ibu. Meski demikian, konsep kekerabatan dalam sistem
bilateral tersebut di batasi oleh kreteria sibija, yakni hitunagan kerabat menurut
keturunan darah.
Secara biologis, sibija mengandung pengertian keturunan yang berasal dari
satu sumber darah. Hal ini mennadakan bahwa kekerabatan di hitung secara
vertikal, sedangkan secara sosiologis, sibija dapat di artikan sebagai perhituingan
kekrabatan secara horizontal misalnya memulai kawin-mawin. Menurut Abu
Hamid, orang-orang Makassar beranggapan bahwa sistem kekerabatan orang
Makassar secara umum di dasarkan pada sebuah pandangan kosmogoni yang
disebut sulapa’ eppa’ (segi empat). Suku Makassar mengenal empat generasi
orang tua, empat generasi anak cucu, dan empat lapisan sepupu dari ibu. Denagn
demikian, setiap anggota keluarga yang berada di sekitar kekerabatan
sulapa’eppe’ tersebut terhitung dalam satu rumpun kerabat. Sistem kekrabatan ini
dikenal oleh kalangan umum masyarakat suku Makassar, terutama dalam lapisan
tubaji (lapisan masyarakat menengah) dan lapisan karaeng (bangsawan). (Faidi,
2014 : 48-51).
5) Sistem Adat dan Kemasyarakatan
Seperti yang pernah di singgung sebelumya, perkembangan agama Islam di
kalanagan suku Makassar cukup pesat. Nilia-nilai Islam sedikit demi sedikit
53
terserat dan berbaur denagn adat istiadat suku Makassar. Bahkan, keduanya telah
menyatu menjadi satuan lembaga tak terpisahkan yang disebut syara. Jika ada
yang melanggar adat, maka ia juga telah melanggar agama dan begitupun
sebaliknya. Seseorang yang melakukan pelanggaran terhadapa adat, maka ia akan
dikenakan sangsi dan hukuman. Hukuman dan sangsi dalam adata suku Makassar
biasanya berupa pengucilan oleh kalangan masyarakat, pengucilan tersebut bisa
saja berbentuk pengusiran keluar kampung serta sang pelanggar akan di jauhi dan
tidak akan di bantu jika sedang mengalami kesusahan.
Sehubungan dengan hukum, suku Makassar mengenal pangadakkang
sebagai hukum adat yang merupakan gabungan dari keseluruhan sistem, norma
yang ada. Pangadakkang merupaka hukum adat bagi suku Makassar yang
dijadikan sebagai pedoman tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari, pedoman
bagi kehidupan rumah tangga, pedoman dalam menentukan lapanagn hidup dan
lain sebagainya. Pada dasarnya adat panagdakkang ini mengandung beberapa
unsur penting yang saling melengkapi antara satu sama lain. Sebut saja
diantaranya adalah unsur ade’ (sistem adat dan norma) dan syara (hukum islam
dan pranata-pranata sosial). Seiring dengan perkembangan zaman, pelapisan
sosial suku Makassar juga mengalami perubaha, saat ini lapisan masyarakat suku
Makassar di dasarkan pada empat hal yaitu derajat dan keturunan masa lalu,
kedudukan dan peranannya dalam masyarakat, tingkat pendidikan dan ilmu
pengetahuan, serta kedudukan dan tingkat kemampuan ekonomi.
Kreteria lapaisan sosial yang di dasarkan pada derajat dan keturunan
merupakan pola pelapisan sosial yang sangat tertutup. Sedangkan tiga di antara
empat kriteria pelapisan sosial lainya bersifat sangat terbuka. Seorang dapat secara
bebas memasuki lapisan-lapisan sosial tertentu, dengan begitu setiap orang
memiliki kebebasan untuk meningkatkan kualitas diri dan keluar gaya demi
menjadi seorang yang terpandang, baik dalam segi ekonomi, pengetahuan, dan
kedudukan dan perayaan dalam masyarakat. (Faidi, 2014:51-57).
6) Falsafah Hidup
Dimana pun suku-suku tinggal, mereka selalu memiliki kearifan lokal yang
mewarnai kehidupan. Kearifan suku Makassar sendiri nampak dalam falsafah
54
hidup yang mereka yakini pengertahuan tradisional dan upacara-upacara yang
mereka jalankan, serta kesenian yang mereka hasilkan. Sebagaimana kita tahu,
bahwa setiap masyarakat suku etnis tertentu pastilah memiliki konsep hidupnya
masing-masing. Keberadaan konsep hidup itulah yang kemudian tercermin dalam
tingkah laku masyarakatnya. Begitu pulah dengan masyarakat suku Makassar
yang ada didaerah Sulawesi Selatan, mereka menjalankan roda kehidupan mereka
dengan di dasarkan pada sebuah falsafah hidup yang disebut dengan sirik na
pacce’. sirik na pacce’ merupakan sebuah ungkapan dalam bahasa Makassar yang
terdiri dari dua unsur yang dapat di kaji secara terpisah, yaitu sirik (rasa malu) dan
pacce (rasa pedih).
Meski demikian keduanya merupakan satu kesatuan konsep hidup
masyarakat suku Makassar, khususnya dalam kehidupan sosial ke masyarakatan.
Dengan begitu, keduanya harus senangtiasa di terapkan secara bersama-sama
demi menciptakan kehidupan sosial yang rukun, damai, sejahtera, dan saling
hormat-menghormati antara satu dengan yang lainnya. Secara harfiah kata sirik
memiliki arti sebagai rasa malu. Selain itu, kata sirik itu sendiri dapat di artikan
sebagai harkat, martabat, kehormatan dan harga diri. Denagan demikian, dapat
dikatakan bahwa kata sirik itu sendiri lebih merupakan sebuah perasaan malu
dalam diri seseorang yang cukup erat kaitannya denagan persoalan harkat,
martabat, kehormatan dan harga diri manusia. Dalam kehidupan masyarakat suku
Makassar, sirik menjadi sebuah pegangan hidup yang menuntut seseorang untuk
senangtisa menjaga harkat, martabat, kehormatan dan harga dirinya baik individu
keluarga dan seterusnya. Selain itu, konsepsi sirik ini yang sekaligus menjadi
pendorong dalam menciptakan hubungan sosial yang sehat, saling menghormati,
serta saling menjaga anatara satu dengan yang lain. Dari beberapa pengertian
tersebut dapat dikatakan sirik dan pacce merupakan dua konsep hidup yang
memiliki target dalam tujuan yang berbeda.
Jika sirik lebih mengarah pada sebuah siakap individu terthadap dirinya,
maka pacce lebih mengarah pada pembentukan sikap individu terhadap orang
lain. Meski demikian keduanya merupakan sebuah konsep hidup yang saling
terkait dan saling melengkapi anatara satu sama lain. Konsep hidup sirik dan
pacce itulah yang mengarahkan tingkahlaku masyarakat suku Makassar dalam
55
membangun dan menciptakan individu-individu yang adil, baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain. (Faidi, 2014:94-97).
7) Keseniaan Tradisional
Kesenian tradisional hasil karya seni seuatu masyarakat dapat menunjuakan
seberapa tinggi tingakat kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Suku Makassar
memiliki kekayaan seni tari dan seni sastra tradisional. Masing-masing memiliki
makna tersendiri. Kesenian suku Makassar di Sulawesi Selatan dikenal sebagai
kebudayaan tinggi dalam konteks masa kini. Karena pada dasarnya, seni tidak
hanya menyentuh aspek bentuk (morfologis), tapi lebih dari itu dia mampu
memberikan konstribusi psikologis. Disamping memberikan kesadaran estetis,
juga mampu melahirkan kesadaran etis. Diantara kedua nilai tersebut, tentunya
tidak terlepas dari sejauhmana masyarakat kesenian (public art) mampu
mengapresiasi dan menginterpretasikan makna dan simbol dari sebuah pesan yang
dituangkan dalam karya seni.
Arnold Hausser, seorang filosof sekaligus sosiolog seni asal Jerman
mengindentifikasi bahwa masyarakat seni terbagi menjadi empat golongan. Yang
pertama: Budaya Masyarakat Seni Elit, yaitu masyarakat seni intelektual yang
banyak memberikan konstribusi perkembangan seni dalam suatu daerah. Kedua:
Budaya Masyarakat Seni Populer, yaitu masyarakat seni intelektual yang hanya
mengedepankan kepentingan subjektifitas terhadap kebutuhan estetik yang
berjalan sesuai dengan konteks (zaman). Misalnya dokter, pengusaha, dan
politikus. Ketiga: Budaya Masyarakat Seni Massa. Yaitu budaya masyarakat
golongan menengah kebawah, biasanya golongan ini hanya mementingkan aspek
kesenangan dan mudah larut dalam perkembangan peradaban. Dan yang keempat:
Budaya Masyarakat Seni Rakyat. Masyarakat seni ini terbentuk secara spontanitas
melalui kepolosan. Golongan ini juga senantiasa mempertahankan wasiat seni
para leluhurnya. Mengenal kebudayaan propinsi Sulawesi Selatan berarti
mengenal adat kebudayaan yang ada di seluruh daerah Sulawesi Selatan. Di Sulsel
terdapat Banyak suku/etnis tapi yang paling mayoritas ada 3 kelompok etnis yaitu
Makassar, Bugis dan Toraja.
56
Demikian juga dalam pemakaian bahasa sehari-hari ke 3 etnis tersebut lebih
dominan. Kebudayaan yang paling terkenal bahkan hingga ke luar negeri adalah
budaya dan adat Tanah Toraja yang sangat khas dan sangat menarik. Untuk rumah
tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi Selatan yang berasal dari Bugis,
Makassar dan Tana toraja dari segi arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut
hampir sama bentuknya. Rumah-rumah adat tersebut dibangun diatas tiang-tiang
sehingga rumah adat yang ada di sana mempunyai kolong dibawah rumahnya.
Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap tingkatannya dengan
status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan, orang
berpangkat atau hanya rakyat biasa. Berikut adalah kesenian dan kebudayaan
suku Makassar di Sulawesi Selatan antara lain sebagai berikut:
a. Tari Pakkareana
Tari Pakarena adalah tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang diiringi
oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam
suling (puik-puik). Selain tari pakarena yang selama ini dimainkan oleh maestro
tari pakarena Maccoppong Daeng Rannu (alm) di kabupaten Gowa, juga ada jenis
tari pakarena lain yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu “Tari
Pakarena Gantarang”. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini
berasal dari sebuah perkampungan yang merupakan pusat kerajaan di Pulau
Selayar pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata. Tarian yang dimainkan oleh
kurang lebih empat orang penari perempuan ini pertama kali ditampilkan pada
abad ke 17 tepatnya tahun 1903 saat Pangali Patta Raja dinobatkan sebagai Raja
di Gantarang Lalang Bata. Tidak ada data yang menyebutkan sejak kapan tarian
ini ada dan siapa yang menciptakan Tari Pakarena Gantarang ini namun
masyarakat meyakini bahwa Tari Pakarena Gantarang berkaitan dengan
kemunculan Tumanurung.
Tumanurung merupakan bidadari yang turun dari langit untuk untuk
memberikan petunjuk kepada manusia di bumi. Petunjuk yang diberikan tersebut
berupa symbol - simbol berupa gerakan kemudian dikenal sebagai Tari Pakarena
Gantarang. Hal ini hampir senada dengan apa yang dituturkan oleh salah seorang
pemain Tari Pakarena Makassar Munasih Nadjamuddin. Wanita yang sering
disama Mama Muna ini mengatakan bahwa Tari Pakarena berawal dari kisah
57
perpisahan penghuni botting langi (Negeri Kayangan) dengan penghuni lino
(bumi) zaman dahulu. Sebelum berpisah, botting langi mengajarkan kepada
penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam hingga cara berburu
lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan inilah yang kemudian
menjadi tarian ritual ketika penduduk di bumi menyampaikan rasa syukur pada
penghuni langit. Tak mengherankan jika gerakan dari tarian ini sangat artistik dan
sarat makna, halus bahkan sangat sulit dibedakan satu dengan yang lainnya.
Tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Setiap gerakan memiliki makna khusus. Posisi
duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar
mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan
mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu
lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal
ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.
Tari Pakarena Gantarang diiringi alat music berupa gendang, kannong-kannong,
gong, kancing dan pui-pui. Sedangkan kostum dari penarinya adalah, baju pahang
(tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-
perhiasan khas Kabupaten Selayar. Tahun 2007, Tari Pakarena Gantarang
mewakili Sulawesi Selatan dan Indonesia pada Acara Jembatan Budaya 2007
Indonesia–Malaysia di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC).
b. Tari Ganrang Bulo
Tari gandrang buloadalah tarian tradisional yang diiringi oleh tabuan
gendang dan biasa disertai dengan suara tabuan bambu. Kata gandrang bulo
sendiri berasal dari dua kata, yaitu “gandrang” yang berarti tabuan atau
pulukulan dan “bulo” yang berarti bambu. Gandrang bulo biasanya dimainkan
oleh beberapa orang dengan suasana yang ceria dan ramai, didalamnya biasanya
diselipkan dialog diaolog mengenai humor ataupun keadan yang menarik disekitar
kita. Ketika masa penjajahan, Gandrang Bulo disulap bukan sekadar tari-tarian,
melainkan tempat pembangkit semangat perjuangan dengan mengejek dan
menertawakan penjajah dan antek-anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas
menjadi kesenian rakyat yang amat populer. Rakyat dan seniman membangun
basis-basis perlawanan dari atas panggung.
58
4. Sulawsesi Selatan
Berdasarkan sumber-sumber yang dapat di andalkan bahwa provinsi
Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36'
Bujur Timur. Luas wilayahnya 45.764,53 km². Provinsi ini berbatasan dengan
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara
di timur, Selat Makassar di barat dan Laut Flores di selatan.
(Gambar 2.2 peta sulawesi selatan Sumber: Max Oulton 2013)
Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam bahasa Inggris:
(Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara
PulauKalimantan disebelah barat dan Kepulauan Maluku disebelah timur. Dengan
luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di
dunia. Di Indonesia hanya luas Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Papua
sajalah yang lebih luas wilayahnya daripada Pulau Sulawesi, sementara dari segi
populasi hanya Pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya
daripada Sulawesi. Namun perlu di ketahui bahwa di tanah sulawesi selatan di
huni oleh empat kelompok etnis suku yang mendiami, diantaranya adalah suku
Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja berikut adalah gambaran peta yang didiami
oleh empat etnis suku tersebut.
59
Gambar 2.3 Peta pembayangan sulawesi selatan dalam La Galigo. Sumber :
Pilras.(1996:8).
a) Etimologi
Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di
Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata wesi yang
berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi
hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat
Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa atau orang-orang Portugis yang
datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang
menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan.
b) Geografi
Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua,
Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 kilometer persegi.
Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar
yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke
timur laut, timur, dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian
barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku
oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo disebelah barat, Filipina di
utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku disebelah timur.
c) Sejarah
Sejak abad ke-13, akses terhadap barang perdagangan berharga dan sumber
mineral besi mulai mengubah pola lama budaya disulawesi, dan ini
60
memungkinkan individu yang ambisius untuk membangun unit politik yang lebih
besar. Tidak diketahui mengapa kedua hal tersebut muncul bersama-sama,
mungkin salah satu adalah hasil yang lain. Pada 1400an, sejumlah kerajaan
pertanian yang baru telah muncul di barat lembah Cenrana, serta didaerah pantai
selatan dan di pantai timur dekat Parepare yang modern. Orang-orang Eropa
pertama yang mengunjungi pulau ini (yang dipercayai sebagai negara kepulauan
karena bentuknya yang mengerut) adalah pelaut Portugis pada tahun 1525,
dikirim dari Maluku untuk mencari emas, yang kepulauan memiliki reputasi
penghasil. Belanda tiba pada tahun 1605 dan dengan cepat diikuti oleh Inggris,
lalu mendirikan pabrik di Makassar. Sejak 1660, Belanda berperang melawan
Kerajaan Gowa Makasar terutama di bagian pesisir barat yang berkuasa. Pada
tahun 1669, Laksamana Speelman memaksa penguasa, Sultan Hasanuddin, untuk
menandatangani Perjanjian Bongaya, yang menyerahkan kontrol perdagangan ke
Perusahaan Hindia Belanda. Belanda dibantu dalam penaklukan mereka oleh
panglima perang Bugis Arung Palakka, penguasa kerajaan Bugis Bone. Belanda
membangun benteng di Ujung Pandang, sedangkan Arung Palakka menjadi
penguasa daerah dan kerajaan Bone menjadi dominan. Perkembangan politik dan
budaya tampaknya telah melambat sebagai akibat dari status quo. Pada tahun
1905 seluruh Sulawesi menjadi bagian dari koloni negara Belanda dari Hindia
Belanda sampai pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II. Selama Revolusi
Nasional Indonesia, "Turk" Westerling Kapten Belanda membunuh sedikitnya
4.000 orang selama Kampanye Sulawesi Selatan Setelah penyerahan kedaulatan
pada Desember 1949, Sulawesi menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat
(RIS). Dan pada tahun 1950 menjadi tergabung dalam kesatuan Republik
Indonesia.
5. Keterampilan Gerak
a. Hakikat Keterampilan Gerak
Gerakan terampil (skill movements) adalah gerakan yang mengandung
derajat efisiensi dalam pelaksanaannya. Untuk menguasai gerakan kerampilan
memerlukan peroses belajar, dan untuk melakukan gerak keterampilan diperlukan
61
keterampilan gerak atau ketangkasan dan penguasaan gerak. Gerakan
keterampilan dapat di klasifikasi berdasarkan 2 sudut pandang yaitu sudut
pandang sebagai kontinum vertikal dan kontinum horizontal sebagai berikut:
a) Kontinum vertikal yaitu pengklasifikasian berdasarkan derajat kesukaran atau
level kompleksitas gerakan yang meliputi tiga level yaitu :
Keterampilan adaptif sederhana
Keterampilan adaptif terpadu dan
Keterampilan adaptif kompleks.
Keterampilan adaptif sederhana adalah keterampilan yang dihasilkan dari
penyesuaian gerak dasar fundamental dengan sesuai atau kondisi tertentu pada
saat melakukan gerakan. Misalnya berlari dengan melewati bermacam-macam
rintangan
Ketrampilan adaptif terpadu adalah keterampilan yang dihasilkan dari
perpaduan antara gerak dasar fundamental dengan penggunaan pelengkapan atau
alat tertentu. Misalnya memukul bola menggunakan raket.
Keterampilan adaptif kompleks adalah keterampilan yang memerlukan
penguasaan bentuk gerak dan koordinasi banyak bagian tubuh, misalnya
menyemes bola dalam bolavoli.
b) Kontinum horizontal yaitu pengklaisfikaisan berdasarkan tingkat penguasaan
keterampilan oleh pelajar ataulevel ketangkasan, yang meliputi 4 level yaitu:
Pemula (beginner)
Madya (intermediate)
Maju (advance)
Mahir atau berketerampilan tinggi (highly skilled)
Batasan setiap tingkat pada dasarnya sulit untuk dibuat secara pasti. Sifat
pembatasan cenderung bersifat taksiran. Hanya orang-orang yang ahli dibidang
keterampilan gerak bersangkutan yang mampu menaksir secara baik.
b. Keterampilan Gerak (Motor Skill)
Keterampilan gerak pada dasarnya dihasilkan dari pengembangan pola-pola
gerak. Contohnya pola gerak berjalan dapat menjadi basis untuk menguasai
keterampilan gerak dalam berjalan cepat, pola gerak berlari dapat menjadi basis
ketrampilan gerak dalam berlari cepat. Perpaduan atau rangkain pola gerak
62
berjalan, berlari, dan menyepak dapat menjadi basis menggiring dan menendang
bola ke gawang dalam sepak bola, perpaduan atau rangkaian pola gerak berjalan,
melompat, dan memukul dapat menjadi basis keterampilan gerak menyemes
dalam bola voli. Perlu di fahami mengenai perbedaan pengertian keterampilan
gerak (motor skills) dengan penegertian gerak yang terampil (skilled movement).
Untuk mencapai tingkat keterampilan gerak yang baik diperlukan proses belajar
dan berlatih dalam jangka waktu tertentu. Lamanya waktu belajar yang diperlukan
untuk menjadi terampil sangat tergantung pada tingkat kesulitan dan kompleksitas
gerakan. Makin tinggi tingkat kesulitan dan komleksitas gerakan, makin lama
waktu yang diperlukan untuk menjadi trampil melakukannya. Faktor bakat, minat,
kesungguhan berusaha, dan tingkat kemampuan gerak juga menentukan lamanya
waktu belajar yang diperlukan untuk menjadi terampil. Seseorang yang memiliki
keterampilan gerak dapat dikatakan sebagai seseorang yang mampu melakukan
gerakan yang terampil.
Seseorang dikatakan memiliki gerakan yang terampil apabila seseorang
tersebut mampu melakukan gerakan dengan benar, kofisien, dan efektif dikatakan
benar apabila pelaksanaan gerakan sesuai prinsip-prinsip mekanis dalam sistem
gerak tubuh. Mekanisme sistem gerak tubuh berlangsung secara terkoordinasi
dengan baik dan tidak ada pemaksaan-pemaksaan pada otot-otot bagian tubuh
yang seharusnya bersinegi. Tidak ada kontraksi pada otot-otot yang seharusnya
tidak berkontraksi dalam pelaksanaan gerakan tertentu hal ini dapat menghasilkan
gerakan yang efisien. Gerakan yang efisien adalah gerakan yang pelaksanaanya
dapat mencapai hasil sebaik-baiknya dengan menggunakan tenaga sekecil
mungkin. Sedangkan dikatakan efektif apabila pelaksanaan gerakan sesuai dengan
keinginan dengan tujuan yang ingin di capai dalam melakukan gerakan.
Keterampilan gerak (motor skill) adalah suatu tingkat kualitas penguasaan
dalam melakukan aktifitas gerak tubuh dimana koordinasi beberapa bagian tubuh
atau keseluruhan bagian tubuh dapat berfungsi dengan baik. Menurut (Sugiyanto,
2015:28).“Keterampilan gerak adalah perilaku yang diperlihatkan secara halus,
baik yang terkendali dan dikoordinasi gerakan otot” (Oxendine, 1984:14).
Menurut Sugiyanto (2015:28) gerakan keterampilan dapat dapat
diklasifikasi berdasarkan berbagai sudut pandang yaitu:
63
a) Berdasarkan Kecermatan Gerak
1. Keterampilan gerak kasar (gross motor skill)
“Keterampilan gerak kasar (gross motor skill) adalah gerak yang melibatkan
kelompok otot besar. Pada keterampilan olahraga seperti lompat tinggi,
jump shoot, menendang bola” (Oxendine, 1984:18). Sedangkan menurut
Drowatzky (1981:16) “gerak yang memerlukan interaksi dari banyak otot
dengan aktifitas badan atau tubuh pada umumnya seperti lari, menangkap,
melempar dan keterampilan menggunakan raket”.
2. Keterampilan gerak halus (fine motor skill)
“Keterampilan gerak halus (fine motor skill) adalah keterampilan yang
melibatkan kelompok otot kecil atau gerakan dengan rentangan yang sangat
terbatas. Aktivitas tersebut biasanya melibatkan kemampuan manipulatif
dari tangan dan jari” (Oxendine, 1984:18). Sedangkan menurut Cratty
(1973:17) “keterampilan gerak halus (fine motor skill ) adalah tindakan
gerak yang melibatkan kelompok otot-otot yang lebih kecil untuk bekerja” .
b) Berdasarkan Titik Awal dan Akhir Gerakan
1. Keterampilan gerak diskrit (discrete motor skill)
“Keterampilan gerak diskrit (discrete motor skill) adalah keterampilan gerak
yang satuan geraknya dapat ditandai dengan jelas awak dan akhirnya.
Misalnya gerak melempar bola” (Sugiyanto, 2015:29). Sedangkan menurut
Drowatzky (1981:17) “keterampilan gerak diskrit (discrete motor skill)
adalah peristiwa tunggal dengan satu permulaan dan akhir digambarkan
secara jelas”.
2. Keterampilan gerak serial (serial motor skill)
“Keterampilan gerak serial (serial motor skill) adalah keterampilan gerak
diskret yang dilakukan berulang-ulang. Misalnya gerak mengguling depan
beberapa kali berturut-turut” (Sugiyanto, 2015:29). Sedangkan menurut
Oxendine (1984:16) “keterampilan gerak serial (serial motor skill) adalah
gerak serial tugasnya sama dengan tugas-tugas gerak diskrit yang memiliki
gerakan awal dan akhir yang berbeda”.
3. Keterampilan gerak kontinyu (continuous motor skill)
64
“Keterampilan gerak kontinyu (continuous motor skill) adalah keterampilan
gerak yang merupakan rangkaian gerakan yang dilakukan secara berlanjut.
Misalnya gerakan berenang” (Sugiyanto, 2015:29). Oxendine (1984:16)
berpendapat bahwa “keterampilan gerak kontinyu (continuous motor skill)
adalah keterampilan yang tidak memiliki titik terminasi yang ditentukan.
Seperti berjalan, berenang, juggling, ski”.
c) Berdasarkan Stabilitas Lingkungan
1. Keterampilan gerak tertutup (close motor skill)
“Keterampilan gerak tertutup (close motor skill) adalah keterampilan gerak
yang dilakukan dalam lingkungan hidup yang stabil atau dapat diprediksi
daimana pelaku menentukan kapan akan memulai tindakan. Contohnya
mengancingkan baju, memanjat tangga” (Magill, 2001:7). Sedangkan
menurut Sugiyanto (2015:29) “keterampilan gerak tertutup (close motor
skill) adalah keterampilan gerak yang dilakukan pada lingkungan yang
stabil dan dapat siprediksi, dilakukan karena stimulus dari dalam diri
pelaku, tanpa dipengaruhi stimulus dari luar. Misalnya berjalan, berlari,
melempar”.
2. Keterampilan gerak terbuka (open motor skill)
“Keterampilan gerak terbuka (open motor skill) adalah keterampilan gerak
yang melibatkan lingkungan hidup yang sulit prediksi kestabilannya,
dimana suatu objek atau konteks lingkungan dalam gerak dan menentukan
kapan memulai tindakan. Misalnya, mengendarai mobil, melangkah ke
eskalator yang bergerak, menangkap bola” (Magill, 2001:7). Sedangkan
menurut Sugiyanto (2015:29) “keterampilan gerak terbuka (open motor
skill)adalah keterampilan gerak yang dilakukan dalam kondisi yang terus
berubah-ubah, dilakukan selain karena stimulus dari dalam juga
dipengaruhi oleh stimulus dari luar. Misalnya bermain sepak bola,
bertinju”.
d) Berdasarkan Kompleksitas Rangkaian Gerakan
1. Keterampilan gerak sederhana (simple motor skill)
Keterampilan gerak sederhana (simple motor skill)adalahketerampilan
gerak yang hanya terdiri atas satu atau dua elemen gerak saja. Misalnya
65
menangkap bola, melempar bola, menendang bola” (Sugiyanto,
2015:29).
2. Keterampilan gerak sederhana (complex motor skill)
Keterampilan gerak sederhana (complex motor skill) adalah keterampilan
gerak yang terdiri atas beberapa elemen gerak yang harus
dikoordinasikan menjadi satu rangkaian gerak. Misalnya menyemes
bolavoli, rangkaian gerak senam lantai, loncat indah” (Sugiyanto,
2015:29). Pada olahraga basket keterampilan ini pada saat pemain
melakukan dribble bola melewati lawan, melakukan gerakan tipuan saaat
mendribel bola.
Berdasarkan materi keterampilan gerak diatas dapat di simpulkan bahwa
didalam memainkan permainan olahraga tradisional paraga yang dimainkan oleh
masyarakat suku Bugis dan Makassar terdapat bebrapa unsur keterampilan gerak
yang ada didalamnya seperti keterampilan gerak menjagling bola parraga,
menyepak, menyundul, dan keterampilan gerak dalam membentuk formasi
bermain paraga.
6. Ketangkasan fisik
a. Hakikat ketangkasan fisik
Secara harfiah ketangkasan adalah kecepatan, kepandaian serta kecerdasan
yang dimiliki oleh seseorang. Untuk melatihnya seseorang biasanya dilatih
melalui sebuah game atau melalui olahraga. Fungsinya adalah untuk melatih dan
mengoptimalkan fungsi otak, sedangkan fungsinya melalui sebuah olahraga
adalah untuk menjaga kebugaran serta melatih pertahanan diri.
Ketangkasan fisik adalah kemahiran, kebolehan dan keupayaan untuk
mengubah pergerakan dan posisi tubuhbadan dengan pantas dan tepat tanpa hilang
keseimbangan badan diruangtertentu. Ketangkasan dipengaruhi oleh kekuatan,
kepantasan, keseimbangan, posisi pusat gravity, kemahiran dan koordinasi.
Menurut Strand, Scantiling dan Jonhson, (1977), memberi definisi tentang
ketangkasan “Ketangkasan sebagai kebolehan untuk mengubah posisi badan
dengan cepatdan tepat”. Menurut Dangsina Moeloek (1984:8) menggunakan
istilah ketangkasan. Ketangkasan adalah kemampuan merubah secara tepat arah
66
tubuh atau bagian tubuh tanpa gangguan pada keseimbangan. Menurut Annarino,
(1976) ketangkasan merupakan salahsatu unsur dalam faktor fisiomotor yang di
perolehi daripada tindakan sistem saraf ke atas sisitem otot dengan reaksi otot
yang betul untuk menghasilkan pergerakan yang diinginkan. Sedangkan menurut
Jhonson dan Nilson menyatakan bahwa ketangkasan merupakan kebolehan fisikal
seseorang yang dapat merubah kedudukan badan dan arah secara tepat dan cepat.
Sifat ketangkasan bukan saja melibatkan kepantasan tetapi juga termasuk
kebolehan badan membuat perubahan pergerakan atau arah pergerakan secara
tiba-tiba (Hunsicker 1974). Menurut Harman et al. (2000), ketangkasan adalah
kemampuan untuk berhenti, bergerak dan menukar arah pergerakan badan atau
bahagian badan dengan pantas dalam berbagai gaya lakuan. Dalam hal ini,
sekiranya seseorang pemain itu kurang tangkas, mungkin disebabkan oleh sistem
biomekanik dan pergerakan badan yang kurang lancar.
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketangkasan
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi ketangkasan seseorang adalah:
1) Kecepatan reaksi dan kecepatan gerak yang baik.
2) Kemampuan tubuh dalam mengatur keseimbangan.
3) Kelentukan sendi-sendi tubuh.
4) Kemampuan menghentikan gerakan tubuh dengan cepat
Menurut Clarke (1976) faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketangkasan terdiri
daripada faktor umur, tahap kematangan, berat badan, jenis bentuk badan,
kelelahan dan kondisi lingkungan sekitar.Adapun menurut Dangsina Moeloek dan
Arjadino Tjokro (1984 : 8-9) faktor-faktor yang mempengaruhi ketangkasan
adalah :
1. Tipe tubuh
Seperti telah dijelaskan dalam pengertian ketangkasan bahwa gerakan-gerakan
ketangkasan menuntut terjadinya pengurangan dan pemacuan tubuh secara
bergantian. Dimana momentum sama dengan massa dikalikan kecepatan.
Dihubungkan dengan tipe tubuh, maka orang yang tergolong mesomorfi dan
mesoektomorfi lebih tangkas dari sektomorf dan endomorf.
2. Usia
ketangkasan anak meningkat sampai kira-kira usia 12 tahun (memasuki
67
pertumbuhan cepat). Selama periode tersebut (3 tahun) ketangkasan tidak
meningkat, bahkan menurun. Setelah masa pertumbuhan berlalu,
ketangkasanmeningkat lagi secara mantap sampai anak mencapai maturitas dan
setelah itu menurun kembali.
3. Jenis kelamin
Anak laki-laki menunjukkan ketangkasan sedikit lebih baik dari pada anak
wanita sebelum mencapai usia pubertas. Setelah pubertas perbedaan tampak
lebih mencolok.
4. Berat badan
Berat badan yang berlebihan secara langsung mengurangi ketangkasan.
5. Kelelahan
Kelelahan mengurangi ketangkasan terutama karena menurunnya koordinasi.
Sehubungan dengan hal itu penting untuk memelihara daya tahan
kardiovaskuler dan otot agar kelelahan tidak mudah timbul.
Berdasarkan materi yang tersebut diatas mengenai tentang ketangkasan
fisik didalam permainan olahraga tradisional paraga yang dimainkan oleh
masyarakat suku Bugis dan Makasar perlu di ketahui bahwa didalam permainan
paragajuga terdapat nilai belajar ketangkasan didalammya karena didalam
memainkan permaianan paraga pemain parraga dituntut untuk tangkas dalam
menyepak bola raga serta tangkas dalam menjagling bola raga.
B. Penelitian Yang Relevan
Dalam penelitian ini tidak mengesampingkan karya-karya terdahulu sebagai
rujukan dalam penulisan serta acuan dalam penelitian selnjutnya, penelitian yang
relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Dosenseni
budaya Universitas negeri Muhammadiyah Makassar, beliau lulusan Doktor
antropologi dari universitas hasanuddin Makassar beliau adalah Muh. Faisal
MRA, yang penelitiannya berjudul “Nilai-Nilai Estetika Tari Paraga”. Penelitian
ini merujuk kesenian budaya yaitu nilai-nilai estetika yang terkandung didalam
permainan tari paraga di Sulawesi selatan.
C. Kerangka Berpikir
68
Masyarakat suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, memiliki beragam
tradisi kesenian yang unik dan khas, salah satunya adalah permainan paraga.
Paraga merupakan bahasa Bugis untuk menyebut sebuah permainan bola (raga)
yang disepak menggunakan kaki. Orang Makassar menyebutnya aqraga.
Permainan ini memiliki nilai olahraga dan seni yang tinggi, yakni memadukan
antara seni pencak silat dan ketangkasan dan permainan ini masih bertahan hingga
kini. Permainan paraga sebenarnya bukan asli dari Sulsel, namun berasal dari
Nias, Sumatra Utara. Paraga masuk ke Sulsel dibawa oleh pedagang Bugis dan
Makassar dari Sumatra. Permainan ini berkembang pesat pada masa Kerajaan
Gowa di abad 15-16 Masehi. Mulanya, hanya kaum bangsawan yang memainkan
paraga, namun lambat-laun meluas ke masyarakat umum.
Olahraga permainan tradisional Paraga adalah sebuah taradisi yang di
permainkan oleh masyarakat suku Bugismakassar di Sulawesi Selatan.Paraga
merupakan perpaduan anatara unsur kemampuan fisik, permainan, olahraga,
sekaligus kesenian tradisional. Kesenian olahraga budaya ini selalu dimainkan
dengan iringan musik yang terdiri dari genrang (gendang), dan gong, juga calong-
calong (alat musik yang terbuat dari bambu) dan dimainkan dengan cara dipukul
menggunakan potongan kayu agar para pemainnya tetap bersemangat.Orang
Sulsel percaya bahwa paraga sudah ada sebelum permainan bola modern muncul.
Permainan paraga menuntut ketangkasan dan kelincahan pemainnya dalam
mengumpan dan menendang bola. Tidak heran jika dahulu paraga menjadi salah
satu ukuran kesempurnaan pemuda Sulsel. Bahkan, seorang pemuda belum bisa
menikah sebelum mahir bermain paraga. Paraga juga pernah menjadi ukuran
status sosial dimana para pemainnya akan dikelompokkan sesuai derajat sosial
mereka di masyarakat.
Di Sualwesi Selatan khususnya di kota Makassar dan sekitarnya, dalam
berbagai seremonial atau pesta rakyat, permainan paraga masih digelar sebagai
pendukung acara. Para pemain paragabiasanya adalah para pemuda yang terampil
dan terlatih baik. Mereka mengenakan pakaian adat yang terdiri dari passapu
(penutup kepala khas Makassar berbetuk segi tiga), baju tutup (jas tradisional),
dan lipa sabbe (sarung khas Makassar yang terbuat dari kain sutera), para pemuda
ini beratraksi.Hingga kini, kentalnya corak Islami masih melekat pada atraksi
69
permainan paraga, setiap kali melakukan atraksi paraga, para pemainnya kerap
melafalkan ”Lailahaillalah” dengan nada yang teratur.
Gambar : 2.4 Konsep kerangka berpikir
Dari kerangka berpikir tersebut dapat dijelaskan bahwa didaerah Sulawesi
Selatan terdapat permaina olahrga tradisional yang dimainkan oleh masyarakat
suku Bugis Makassar yang disebut paraga, stelah peneliti melakukan observasi
mendalam terkait mengenai permainan paragatersebut, peniliti melihat keunikan
tersendiri didalam pelaksanaan permaian tersebut, dari hal tersebut peneliti
70
tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang mendalam terkait tentang
permainan olahraga tradisional paraga. Peneliti ingin mengetahui sejarah
perkembangan paraga di Sulawesi selatan, nilai-nilai olahraga apa yang
terkandung didalam permainan paraga tersebut, bagaimana pandangan masyarakat
terkait dengan olahraga taradisional paraga, serta peneliti ingin menegetahui
eksistensi masyarakat dalam memainkan olahraga tradisional paraga.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan
menggunakan teori fenomenologi dengan pendekatan hermeneutik dimana
peneliti memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang lain dalam situasi
tertentu. Dalam hal ini peneliti akan melakukan pengamatan secara langsung
terhadap objek yang akan diteliti tentang bagaimana tradisi permainan Paraga di
Sulawesi Selatan di tinjau dari aspek keterampilan gerak dan ketangkasan fisik
didalam permaianan paraga. Dalam implementasinya akan dilaksanakan
penelitian langsung dilapangan dengan melakukan wawancara mendalam, serta
pengamatan secara langsung terhadap kegiatan tradisi permaianan Paraga
masyrakat suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan.