bab ii landasan teori 2.1 jembatan underpass
TRANSCRIPT
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Jembatan Underpass
Underpass adalah suatu jalan tembusan melintang yang berada dibawah
jalan atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki sebagai jalur alternatif guna
mengurangi kemacetan.
Menurut beberapa ahli teknik sipil, underpass didefinisikan sebagai
sebuah jalan tembusan yang berada di bawah permukaan jalan yang mempunyai
panjang kurang dari 0.1 mil atau 1.60934 km. Pada umumnya underpass ini
digunakan untuk lalu litas kendaraan berupa mobil, motor dan kereta api namun
terkadang juga dikhususkan buat pejalan kaki maupun pengguna sepeda. Fungsi
dari underpass yang lain diantaranya adalah sebagai sarana untuk memperbaiki
geometrik jalan sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi
pengguna kendaraan maupun bagi pejalan kaki.
Gambar 2.1 Layout lokasi pembangunan Underpass Karanglo
5
Gambar 2.2 Struktur jembatan Underpass Karanglo
Menurut Kusnadi (2010) bagian bagian jembatan jembatan secara umum
dibagi menjadi 6 bagian utama :
1. Bangunan atas
Merupakan bangunan yang mempunyai fungsi sebagai penampang
melintang yang menampung beban-beban yang ditimbulkan oleh lalu
lintas kendaraan maupun orang diatasnya kemudian akan disalurkan
kepada bangunan bawah.
2. Landasan
Merupakan ujung bawah dari bangunan atas yang fungsinya untuk
menyalurkan gaya-gaya yang berasal dari bangunan diatasnya menuju
bangunan dibawahnya. Landasan ini mempunyai 2 jenis yaitu landasan
sendi dan landasan roll.
6
3. Bangunan bawah
Merupakan bangunan yang berfungsi untuk menerima dan memopang
beban yang diberikan oleh bangunan atas dan kemudian disalurkan ke
pondasi yang berada di tanah.
4. Pondasi
Adalah bagian pada jembatan yang memiliki fungsi menerima beban-
beban yang disalurkan dari atas kemudian diteruskan menuju tanah.
5. Oprit
Adalah suatu timbunan yang berada dibelakang abutment. Sedangkan
abutment sendiri adalah tiang yang berada di ujung jembatan, dan jika
berada di tengah bentang dan diapit oleh dua abutment maka disebut
dengan pilar. Timbunan ini haruslah sepadat mungkin untuk
menghindari terjadinya penurunan (settlement).
6. Bangunan pengaman jembatan
Merupakan bangunan yang berfungsi sebagai pengaman terhadap
pengaruh sungai atau jalan yang bersangkutan baik secara langsung
ataupun tidak lang sung.
2.1.1 Slab Underpass
Slab merupakan suatu plat yang memliki fungsi untuk menyalurkan beban
mati maupun beban hidup ke rangka pendukung. Pada banyak pekerjaan
konstruksi, penggunaan slab wajib dipakai untuk memperkuat struktur
jembatan yang ada. Dalam penerapannya, baik untuk konstruksi jembatan
maupun konstruksi lainya, perhitungan slab harus dilakukan untuk
memastikan bahwa pengerjaan sesuai dengan rencana dan hasil konstruksi
tersebut bisa maksimal.
7
Gambar 2.3 Struktur slab Underpass
Slab atau plat ini merupaksan salah satu unsur penting dalam
pembangunan jembatan baik jembatan antara sungai dan laut, jembatan
underpass maupun overpass. Yang memiliki fungsi untuk memisahkan antara
ruang bawah dan juga ruang atas pada konstruksi jembatan yang sedang
dibangun. Salah satu fungsinya ialah untuk menambah kekakuan dari
bangunan tersebut dan juga dapat meredam kebisingan pada ruang atas
maupun bawah.
Dalam perhitungan slab yang akan digunakan untuk struktur jembatan,
maka ada beberapa elemen penting yang harus diperhatikan karena plat ini
akan berfungsi untuk menahan beban dan juga untuk menyalurkan pada
elemen jembatan lainnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perhitungan
slab atau plat ini adalah :
1. Berat plat itu sendiri
2. Berat mati tambahan, yaitu berat dari total keseluruhan bahan konstruksi
yang dipakai dalam pembangunan jembatan.
3. Berat lalu lintas, yaitu berat kendaraan yang akan melintasi atas jembatan
tersebut. Berat kendaraan ini akan sangat mempengaruhi perhitungan
elemen penahan jembatan underpass yang dibangun.
8
Perhitungan Penulangan Slab Underpas
Untuk fc’ ≤ 30 MPa = β1 = 0.85
Untuk fc’ > 30 MPa = β1 = 0,85 – 0,05 x (fc’ – 30)/7 ………….…...(2.1)
Rasio tulangan pada kondisi balance,
ρb = β1 x 0,85 x
x (
) ……………………………………….…...(2.2)
Faktor tahanan momen maksimum,
Rmax = 0,75 x ρb x fy x (
) ………………………………...(2.3)
Jarak tulangan terhadap sisi luar beton,
ds = ts +
………………………………………..……………………….(2.4)
Tebal efektif plat lantai,
D = h – ds …………………………………………...……..……………...(2.5)
Momen nominal rencana,
Mn =
…………………………………………..……………………….(2.6)
Factor tahanan momen,
Rn = Mn x 10-6
/ (b x d2) …………………………………………..………(2.7)
Rn < Rmax (OK)
Rasio tulangan yang diperlukan,
ρ = 0,85 x
x ( √(
) ) ………………………………...…...(2.8)
Luas tulangan yang diperlukan,
As = ρ x b x d ……………………………………...………...……………(2.9)
Jarak tulangan yang diperlukan,
S =
x 2
x
……………………………………………………..……..(2.10)
Jarak tulangan maksimum,
Smax = 2 x h ……………………………………...…………………...…..(2.11)
Luas tulangan terpakai,
As =
x 2
x
……………………………………...……………………(2.12)
9
Kontrol Lendutan Slab
Modulus elastis beton,
Ec = 4700 x √ …………………………………...………………...….(2.13)
Modulus elastisitas baja tulangan Es = 200000 Mpa
Beban merata (tak terfaktor) pada slab,
Q = QD + QL ………………………………………..……………………(2.14)
Batas maksimum lendutan yang diijinkan,
Lx/240 ………………………………………………………………...….(2.15)
Momen inersia brutto penampang slab,
Ig =
x b x h
3 ………………………………………...……………..…..(2.16)
Modulus keruntuhan lentur beton,
fr = 0,7 x √ ……………………………………………………………(2.17)
Nilai perbandingan modulus elastisitas,,
N = Ea / Ec ………………………………………...………………….....(2.18)
Jarak garis netral terhadap sisi atas beton,
c = n x As/b ……………………………………………………………....(2.19)
Momen inersia penampang retak yang ditranformasikan ke beton,
Icr =
x b x c
3 + n x As x (d-c)
2 ……………………………………….…(2.20)
yt =
………………………………………...………………………...…(2.21)
Momen retak,
Mcr = fr x
………………………………………………...………...….(2.22)
Momen maksimum akibat beban (tanpa factor beban),
Ma =
x Q x Lx
2 ……………………………………………..…………..(2.23)
Inersia efektif untuk perhitungan lendutan,
Ie = (
)2
x Ig + * (
) + x Icr …………………………..….….….(2.24)
Lendutan elastis seketika aibat beban mati dan beban hidup,
ɠe =
x Q x Lx
4 / (Ec x Ie) ………………………………….……………(2.25)
10
Rasio tulangan slab lantai,
ρ = (
) ……………………………………..………………………….(2.26)
Factor ketergantungan waktu untuk beban mati (jangka waktu >5 tahun),
C = 2.0
λ = (
) …………………………………………....……..…………(2.27)
Lendutan jangka panjang akibat rangkak dan susut,
ɠg = λ x
x Q x Lx
4 / (Ec x Ie) …………………………………………….(2.28)
Lendutan total,
ɠtot = ɠe + ɠg …………………………………………………………..…..(2.29)
Kontrol,
ɠtot ≤
……………………………………………………………….....(2.30)
2.1.2 Bangunan Bawah Jembatan
Bangunan bawah pada umumnya terletak disebelah bawah bangunan atas yang
mempunyai fungsi untuk menerima/memikul beban-beban yang diberikan
bangunan atas dan kemudian menyalurkannya ke pondasi. Bagian-bagian yang
termasuk dalam bangunan bawah jembatan yaitu seperti :
a. Kepala Jembatan (Abutment)
Yaitu bagian jembatan pada ujung-ujung jembatan, selain sebagai
pendukung bagi bangunan atas juga berfungsi sebagai penahan tanah.
Bentuk umum abutment yang sering dijumpai baik pada jembatan lama
maupun jembatan baru pada prinsipnya semua sama yaitu sebagai
pendukung bangunan atas, tetapi yang paling dominan ditinjau dari
kondisi lapangan seperti daya dukung tanah dasar dan penurunan
(settlement) yang terjadi. Adapun jenis abutment ini dapat dibuat dari
bahan seperti batu atau beton bertulang dengan kondisi konstruksi seperti
dinding atau tembok.
11
b. Plat injak
Plat injak adalah bagian dan bangunan jembatan bawah yang berfungsi
untuk menyalurkan beban yang diterima diatasnya secara merata ke tanah
dibawahnya dan juga untuk mencegah terjadinya defleksi yang terjadi
pada permukaan jalan.
c. Pondasi
Pondasi adalah bagian jembatan yang tertanam didalam tanah. Fungsi dari
pondasi adalah untuk menahan beban bangunan yang berada diatasnya dan
meneruskannya ke tanah dasr, baik kea rah vertikal maupun horizontal.
Dalam perencanaan suatu konstruksi atau banguan yang kuat, stabil dan
ekonomis, perlu diperhitungkan hal-hal sebagai berikut :
Daya dukung tanah serta sifat-sifat tanah
Jenis serta besar kecilnya bangunan yang dibuat
Keadaan lingkungan lokasi pelaksanaan
Peralatan yang tersedia
Waktu pelaksanaan yang tersedia
Pondasi terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Pondasi Dangkal (Pondasi Langsung)
Pondasi dangkal adalah pondasi yang mendukung bagian bawah
secara langsung pada tanah. Pondasi ini terbagi menjadi :
Pondasi Menerus (Continous Footing)
Pondasi Telapak (Footing)
Pondasi Setempat (Individual Footing)
2. Pondasi Dalam (Pondasi Tak Langsung)
Pondasi dalam adalah beban pondasi yang dipikul akan diteruskan ke
lapisan tanah yang mampu memikulnya. Untuk menyalurkan beban
bangunan tersebut ke lapisan tanah keras maka dibuat suatu
konstruksi penerus yang disebut pondasi tiang atau pondasi sumuran.
12
Pondasi dalam terdiri :
Pondasi Tiang Pancang
Pondasi tiang pancang digunakan bila tanah pendukung berada
pada kedalaman >8 meter, yang berdasarkan tes penyelidikan di
lapangan.
Pondasi Sumuran
Pondasi sumuran digunakan bila tanah pendukung berada pada
kedalaman 2-8 meter. Bentuk penampang pondasi ini adalah
bundar, segi empat dan oval.
d. Dinding Sayap (Wing Wall)
Dinding sayap adalah bagian dan bangunan bawah jembatan yang
berfungsi untuk menahan tegangan tanah dan memberikan kestabilan pada
posisi tanah terhadap jembatan.
e. Landasan/Perletakan
Merupakan bagian ujung bawah dari suatu bangunan ats yang berfungsi
menyalurkan gaya-gaya reaksi dari bangunan atas kepada banguanan
bawah. Menurut fungsinya dibedakan landasan sendi (fixed bearing) dan
landasan gerak (movable bearing).
2.2 Pembebanan Jembatan Underpass
2.2.1 Kelompok pembebanan dan simbol untuk beban
Menurut SNI 1725-2016, beban permanen dan transien harus
diperhitungkan dalam perencanaan jembatan adalah sebagai berikut :
Beban Permanen
MS = beban mati komponen struktural dan non struktural jembatan
MA = beban mati perkerasan dan utilitas
TA = gaya horizontal akibat tekanan tanah
PL = gaya-gaya yang terjadi pada struktur jembatan yang disebabkan
oleh proses pelaksanaan, termasuk semua gaya yang terjadi akibat
perubahan statika yang terjadi pada konstruksi segmental
PR = prategang
13
Beban Transien
SH = gaya akibat susut/rangkak
TB = gaya akibat rem
TR = gaya sentrifugal
TC = gaya akibat tumbukan kendaraan
TV = gaya akibat tumbukan kapal
EQ = gaya gempa
BF = gaya friksi
TD = beban lajur “D”
TT = beban truk “T”
TP = beban pejalan kaki
SE = beban akibat penurunan
ET = gaya akibat temperature gradien
EUn = gaya akibat temperature seragam
EF = gaya apung
EWs = beban angin pada struktur
EWl = beban angina pada kendaraan
EU = beban arus dan hanyutan
Faktor untuk setiap beban kombinasi pembebanan harus diambil seperti
yang ditentukan pada Tabel 2.1. Kombinasi pembebanan harus dikalikan
dengan faktorbeban yang sesuai. (SNI 1725:2016)
14
Tabel 2.1. Kombinasi beban umum untuk keadaan batas kelayanan dan ultimit
Keadaan
Batas
MS
MA
TA
PR
PL
SH
TT
TD
TB
TR
TP
EU EWS EWL BF EUn TG ES Gunakan salah satu
EQ TC TV
Kuat I Γp 1,8 1,00 - - 1,00 0,50/120 γTQ γES
Kuat II Γp 1,4 1,00 - - 1,00 0,50/120 γTQ γES
Kuat III γp - 1,00 1,40 - 1,00 0,50/120 γTQ γES
Kuat IV γp - 1,00 - - 1,00 0,50/120 - -
Kuat V Γp - 1,00 0,4 1,00 1,00 0,50/120 γTQ γES
Ekstrem
I
γp γEQ 1,00 - - 1,00 - - - 1,00
Ekstrem
II
Γp 0,50 1,00 - - 1,00 - - - 1,00 1,00
Daya
layan I
1,00 1,00 1,00 0,3 1,00 1,00 1,00/1,20 γTQ γES
Daya
layan II
1,00 1,30 1,00 - - 1,00 1,00/1,20 - -
Daya
layan III
1,00 0,80 1,00 - - 1,00 1,00/1,20 γTQ γES
Daya
layan IV
1,00 - 1,00 0,70 - 1,00 1,00/1,20 - 1,00
Fatik
(TD dan
TR)
- 0,75 - - - - - - -
Catatan: γp dapat berupa γMS, γMA, γTA, γPR, γPL, γSH tergantung beban yang ditinjau γEQ adalah
factor beban hidup kondisi gempa
(SNI 1725:2016)
2.2.2 Beban Permanen
Massa setiap bagian bangunan harus diitung berdasarkan dimensi yang
tertera dalam gambar dan berat jenis bahan yang digunakan. Berat dari bagian-
bagian bangunan tersebut adalah massa dikalikan dengan percepatan gravitasi (g).
Percepatan gravitasi yang digunakan dalam standar ini adalah 9,81 m/detik2.
Besarnya kerapatan massa dan berat isi untuk berbagai macam bahan yang
diberikan pada Tabel 2.2.
15
Tabel 2.2. Berat isi untuk beban mati
No. Bahan Berat isi
(kN/m3)
Kerapatan
massa
(kg/m3)
1 Lapisan permukaan beraspal (bituminous
wearing surfaces)
22,0 2245
2 Besi tuang (cast iron) 71,0 7240
3 Timbunan tanah dipadatkan (compacted
sand, silt or clay)
17,2 1755
4 Kerikil dipadatkan (rolled gravel,
macadam or ballast)
18,8-22,7 1920-2315
5 Beton aspal (asphalt concrete) 22,0 2245
6 Beton ringan (low density) 12,25-19,6 1250-2000
7 Beton f’c < 35 MPa 22,0-25,0 2320
35 < f’c < 105 MPa 22 + 0,022
f’c
2240 + 2,29
f’c
8 Baja (steel) 78,5 7850
9 Kayu (ringan) 7,8 800
10 Kayu keras (hard wood) 11,0 1125
Pengambilan kerapatan massa yang besar, aman untuk suatu keadaan batas
akan tetapi tidak untuk keadaan lainya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat
digunakan faktor beban terkurangi. Akan tetapi, apabila kerapatan massa diambil
dari suatu jajaran nilai, dan nilai yang sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan
tepat, perencana harus memilih diantar nilai tersebut yang memberikan keadaan
yang paling kritis.
Beban mati jembatan merupakan kumpulan berat untuk setiap komponen
struktural maupun nonstruktural. Setiap komponen ini haruslah dianggap sebagai
suatu kesatuan aksi yang tidak terpisahkan pada saat menerapkan faktor beban
noral dan factor beban terkurangi. (SNI 1725:2016)
2.2.2.1 Berat sendiri (MS)
Berat sendiri adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan
elemen struktural, ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap.
Adapun faktor beban-beban yang digunakan untuk berat sendiri dapat pada Tabel
2.3.
16
Tabel 2.3. Faktor beban untuk berat sendiri
Tipe bahan Faktor beban (γMS)
Keadaan Batas Layan (γsMS) Keadaan Batan Ultimit (γ
uMS)
Bahan Biasa Terkurangi
Tetap Baja 1,00 1,10 0,90
Alumunium 1,00 1,10 0,90
Beton pracetak 1,00 1,20 0,85
Beton di cor ditempat 1,00 1,30 0,75
Kayu 1,00 1,40 0,70
(SNI 1725:2016)
Beberapa beban yang termasuk dalam beban Berat Sendiri (MS) dalam
perencanaan ulang struktur bawah Underpass ini ialah diantaranya,
- Berat slab beton,
P = pslab x lslab x tslab x berat jenis beton ………………..……………….(2.31)
- Berat trotoar taman,
P = pslab x lslab x tslab x berat jenis beton …………………………….…...(2.32)
- Berat barrier tepi,
P = pslab x lslab x tslab x berat jenis beton ………………………………....(2.33)
a. Ketebalan yang diizinkan untuk pelapisan kembali permukaan
Semua jembatan nharus direncanakan untuk bias memikul beban
tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelaisan kembali
di kemudian hari kecuali ditentukan lain oleh instansi yang berwenang.
Lapisan ini harus ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum
dalam gambar rencana.
b. Sarana lain di jembatan
Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada
jembatan harus dihitung seakurat mungkin. Berat pipa utuk saluran air
bersih, saluran air kotor dan lain-lainnya harus ditinjau pada keadaan
kosong dan penuh sehingga keadaan yang paling membahayakan dapat
diperhitungkan.
17
2.2.2.2 Beban mati tambahan/utilitas (MA)
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu, nilai faktor beban mati
tambahan yang berada dengan ketentuan pada Tabel 2.4 boleh digunakan dengan
persetujuan instansi yang berwenang. Hal ini bias dilakukan apabila instansi
tersebut melakukan pengawasan terhadap beban mati tambahan pada jembatan,
sehingga tidak dilalui selama umur jembatan. (SNI 1725:2016)
Tabel 2.4. Faktor beban mati tambahan/utilitas (MA)
Tipe Bahan Faktor Beban (γMA)
Keadaan Batas Layan (γS
MA) Keadaan Batas Ultimit (γuMA)
Keadaan Biasa Terkurangi
Tetap Umum 1,00(1)
2,00 0,70
Khusus
(terawasi)
1,00 1,40 0,80
Catatan(1)
: faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas
(SNI 1725:2016)
2.2.2.3 Beban akibat tekanan tanah (TA)
Koefisien tekanan tanah nominal harus dihitung berdasarkan sifat-sifat
tanah. Yaitu, kepadatan, kadar kelembaban, kohesi sudut geser dalam dan lain
sebagainya harus diperoleh berdasarkan hasil pengukuran dan pengujian tanah
baik di lapangan maupun laboratorium. Bila tidak diperoleh data yang cukup,
maka karakteristik tanah dapat ditentukan sesuai dengan ketentuan pada pasal ini.
Tekanan tanah lateral pada keadaan batas daya layan dihitung berdasarkan nilai
nominal dari γs , c dan 1.
Tekanan tanah lateral pada keadaan batas kekuatan dihitung dengan
menggunakan nilai nominal dari γs dan nilai rencana dari c serta 1. Nilai-nilai
rencana dari c serta 1 diperoleh dari nominal dengan menggunakan factor reduksi
kekuatan. Kemudian tekanan tanah lateral yang diperoleh masih berupa nilai
nominal dan selanjutnya harus dikalikan dengan factor beban yang sesuai seperti
tercantum pada Tabel 2.5. (SNI 1725:2016)
18
Tabel 2.5. Faktor beban akibat tekanan tanah
Tipe Bahan Faktor Beban (γTA)
Keadaan Batas Layan (γS
TA) Keadaan Batas Ultimit (γuTA)
Tekanan tanah Biasa Terkurangi
Tetap Tekanan tanah vertical 1,00 1,25 0,80
Tekanan tanah lateral
Aktif 1,00 1,25 0,80
Pasif 1,00 1,40 0,70
Diam 1,00 (1)
Catatan(1)
: tekanan tanah lateral dalam keadaan diam biasanya tidak diperhitungkan pada
keadaan batas ultimit
(SNI 1725:2016)
Tanah yang berada dibelakang dinding penahan biasanya mendapatkan
beban tambahan yang bekerja apabila beban lalu lintas bekerja pada bagian daerah
keruntuhan aktif teoritis. Besarnya beban tambahan ini adalah setara dengan tanah
setebal 0,7 m yang bekerja secara merata pada bagian tanah yang dilewati oleh
beban lalu lintas tersebut. Faktor pengaruh pengurangan dari beban tambahan ini
tidak perlu diperhitungkan dan faktor beban yang digunakan harus sama seperti
yang telah ditentukan dalam menghitung tekanan tanah areh lateral.
Tekanan tanah lateral dalam keadaan diam umumnya tidak
diperhitungkan pada keadaan batas kekuatan. Apabila keadaan demikian timbul,
maka faktor beban untuk keadaan bats kekuatan yang digunakan untuk
menghitung nilai rencana dari tekanan tanah dalam keadaan diam harus sama
seperti untuk tekanan tanah dalam keadaan aktif. Faktor beban dalam keadaan
batas daya layan untuk tekanan tanah dalam keadaan diam adalah 1,0, tetapi harus
hati-hati dalam pemilihan nilai nominal yang memadai pada waktu menghitung
tekanan tanah. (SNI 1725:2016)
Pemadatan
Jika digunakan peralatan pemadatan mekanik pada jarak setengah
tinggi dinding penahan tanah, diambil sebagai perbedaan elevasi diantara
titik level perkerasan yang berpotongan dengan bagian belakang dinding
dan dasar dinding, maka pengaruh tekanan tanah tambahan akibat
pemadatan harus diperhitungkan.
19
Keberadaan air
Jika air tidak diperbolehkan keluar dari dinding penahan tanah, maka
pengaruh tekanan air hidrostatik harus ditambahkan terhadap tekanan
tanah. Jika air dapat tergenang dibelakang dinding penahan tanah, maka
dinding harus direncanakan untuk memikul gaya hidrostatik akibat
tekanan air ditambah dengan tekanan tanah.
Berat jenis terendam tanah harus digunakan untuk perhitungan tekanan
tanah yang berada dibawah muka air. Jika level muka air berbeda antara
muka dinding, maka pengaruh rembesan terhadap kestabilan dinding dan
potensi piping harus diperhitungkan. Tekanan air pori harus ditambahkan
terhadap tekanan tanah efektif dalam penentuan tekanan tanah lateral total.
Pengaruh gempa
Pengaruh inersia dinding dan kemungkinan amplifikasi tekanan tanah
aktif dan atau mobilisasi massa tanah pasif akibat gaya gempa harus
diperhitungkan.
2.2.2.4 Pengaruh tetap pelaksanaan
Pengaruh tetap pelaksanaan adalah beban yang disebabkan oleh metode
dan urutan pelaksanaan pekerjaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai
kaitan dengan aksi-aksi lainya, seperti pra-penegangan dan berat sendiri. Dalam
hal ini, pengaruh faktor ini tetap harus dikombinasikan dengan aksi-aksi tersebut
dengan faktor beban yang sesuai. (SNI 1725:2016)
Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan aksi rencana
lainnya, maka pengaruh tersebut harus dimasukkan dalam bats daya layan dan
batas ultimit mengguanakan faktor beban sesuai dengan Tabel dibawah ini.
Tabel 2.6. Faktor beban akibat pengaruh pelaksanaan
Tipe Bahan Faktor Beban (γPL)
Keadaan Batas Layan (γS
PL) Keadaan Batas Ultimit (γuPL)
Biasa Terkurangi
Tetap 1,00 1,00 1,00
(SNI 1725:2016)
20
2.2.3 Beban lalu lintas
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D”
dan beban truk “T. beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan
kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung
pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 gandar yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar
terdiri atas dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi
pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per jalur lalu
lintas rencana.
Secara umum, beban “D” akakn menjadi beban penentu dalam
perhitungan jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang,
sedangkan beban “T” digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.
Dalam keadaan tertentu beban “D” yang nilainya telah diturunkan atau dinaikan
dapat digunakan. (SNI 1725:2016)
Lajur lalu lintas rencana
Secara umum, jumlah ;lajur lalu lintas rencana ditentukan dengan
mengambil bagian integer dari hasil pembagian lebar bersih jembatan (w)
dalam mm dengan lebar jalur rencana sebesar 2750 mm. perencana harus
memperhitungkan kemungkinan berubahnya lebar bersih jembatan di masa
depan sehubungan dengan perubahan fungsi dari bagian jembatan. Jumlah
maksimum lajur lalu lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bias
dilihat dalam tabel dibawah. Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar
dengan sumbu memanjang jembatan.
21
Tabel 2.7. Jumlah lajur lalu lintas rencana
Tipe jembatan (1) Lebar Bersih Jembatan (2)
(mm)
Jumlah Lajur Lalu Lintas
Rencana (n)
Satu Lajur 3000 ≤ w < 5250 1
Dua Arah, tanpa Median 5250 ≤ w < 7500 2
7500 ≤ w < 10,000 3
10,000 ≤ w < 12,500 4
12,500 ≤ w < 15,250 5
15,250 ≤ w 6
Dua Arah, dengan Median 5500 ≤ w ≤ 8000 2
8250 ≤ w ≤ 10,750 3
11,000 ≤ w ≤ 13,500 4
13,750 ≤ w ≤ 16,250 5
16,500 ≤ w 6
Catatan (1) : Untuk jembatan type lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan
oleh instansi yang berwenang.
Catatan (2) : Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk
satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dan median untuk banyak arah.
Berdasarkan tabel diatas, bila lebar bersih jembatan berkisar antara 3000
mm sampai 5000 mm, maka jumlah lajur rencana harus diambil satu lajur lalu
lintas rencana dan lebar jalur rencana harus diambil sebagai lebar jalur lalu
lintas. Jika jembatan mempunyai lebar bersih antara 5250 mm dan 7500 mm,
maka jembatan harus direncanakan memiliki dua jalur rencana, masing
masing selebar lebar bersih jembatan dibagi dua. Jika jembatan mempunyai
lebar bersih antara 7750 mm dan 10000 mm, maka jembatan harus
direncanakan memiliki tiga lajur rencana, masing-masing seebar lebar bersih
jembatan dibagi tiga.
2.2.3.1 Beban Lajur D
Beban lajur D terdiri dari beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan
beban garis terpusat (BGT) seperti terlihat pada gambar 2.1. adapun faktor beban
yang digunakan untuk lajur D seperti pada Tabel 2.8.
22
Tabel 2.8. Faktor beban untuk beban lajur “D”
Tipe Beban Jembatan Faktor beban (γTD)
Keadaan Batas Layan
(γS
TD)
Keadaan Batas
Ultimit (γuTD)
Transien Beton 1,00 1,80
Bokd Girder baja 1,00 2,00
(SNI 1725:2016)
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dengan q
tergantung pada panjang bentang yang dibebani total (L) sebagai berikut :
L<30 m; q = 9.0 kPa
L>30 m; q = 9.0 (0.5 +
) kPa …………………………...…..……..(2.34)
Gambar 2.4 Beban lajur D
(SNI 1725:2016)
Beban lajur D ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas seperti
ditunjukan pada gambar 2.4. Selain beban terbagi rata BTR, beban lajur D juga
termasuk beban garis terpusat (BGT) sebesar p kN/m. besarnya intensitas p adalah
49 kN/m. Beban garis terpusat (BGT) pada garis menerus akan ditempatkan
dalam kedudukan lateral sama yaitu tegak lurus arah lalu lintas pada dua bentang
agar momen lentur negative menjadi maksimum. (SNI 1725:2016)
Distribusi beban D
Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR
dan BGT dari beban “D” secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Kemudian untuk alternatif penempatan dalam arah memanjang dapat dilihat
pada ganbar 2.5.
23
Gambar 2.5 Alternatif penempatan beban “D” dalam arah memanjang
(SNI 1725:2016)
24
Respons terhadap beban lajur D
Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk
memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan.
Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan beban jalur “D” tersebar pada
seluruh lebar balok (tidak termasuk parapet, kerb dan trotoar) dengan
intensitas 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.
2.2.3.2 Beban Truk “T”
Beban truk T tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban D. besarnya
beban truk T ditunjukan pada Gambar 2.6. Umumnya hanya ada satu truk yang
diperbolehkan untuk ditempatkan dalam tiap lajur lalu lintas rencana untuk
panjang penuh jembatan, namun untuk jembatan sangat panjang dapat
ditempatkan lebih dari satu truk pada satu lajur lalu lintas rencana. Beban truk T
harus ditempatkan di tengah lajur lalu lintas jalan jembatan. (SNI 1725:2016)
Gambar 2.6 Beban truk T
(SNI 1725:2016)
Tabel 2.9. Faktor beban untuk beban T
Tipe Beban Jembatan Faktor beban (γTA)
Keadaan Batas Layan
(γS
TT)
Keadaan Batas
Ultimit (γuTT)
Transien Beton 1,00 1,80
Box Girder Baja 1,00 2,00
(SNI 1725:2016)
Pembebanan truk “T” terdiri atas kendaraan truk semi-trailer yang
mempunyai susunan dan berat gandar seperti terlihat pada gambar diatas. Berat
25
dari tiap-tiap gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang
merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2
gandar tersebut bias diubah ubah dari 4,0 m sampai dengan 9,0 m untuk
mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
Posisi dan penyebaran pembebanan truk “T” dalam arah melintang
Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, umumnya hanya
ada satu kendaraan truk “T” yang bias ditempatkan pada satu lajur lalu lintas
rencana. Untuk jembatan sangat panjang dan dapat ditempatkan lebih dari satu
truk pada satu lajur lalu lintas rencana.
Kendaraan truk “T” ini harus ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas
rencana seperti terlihat pada Gambar 2.6. Jumlah maksimum lajur lalu lintas
rencana dapat dilihat dalam tabel, tetapi jumlah yang lebih kecil bisa
digunakan dalam perencanaan apabila menghasilkan pengaruh yang lebih
besar. Hanya jumlah lajur lalu lintas rencana dalam nilai bulat harus
digunakan. Lajur lalu lintas rencana bias ditempatkan dimana saja pada lajur
jembatan.
Kondisi factor kepadatan lajur
Ketentuan pasal ini tidak boleh digunakan untuk perencanaan keadaan
batas fatik dan fraktur, dimana hanya satu jalan rencana yang diperhitungkan
dan tidak bergantung dari jumlah total lajur rencana. Jika perencana
menggunakan factor distribusi beban kendaraan untuk satu lajur, maka
pengaruh beban truk harus direduksi dengan factor 1,20. Tetapi perencana
menggunakan lever rule atau metode statika lainnya untuk mendapatkan factor
distribusi beban kendaraan, maka pengaruh beban truk tidak perlu direduksi.
Kecuali ditentukan lain pad pasal ini, pengaruh beban hidup harus
ditentukan dengan mempertimbangkan setiap kemungkinan kombinasi jumlah
jalur yang terisi dikaliakn dengan factor kepadatan lajur yang sesuai untuk
memperhitungkan kemungkinan terisinya jalur rencana oleh beban hidup. Jika
perencana tidak mempunyai data yang diperlukan maka nilai-nilai pada tabel
dibawah ini.
26
- Dapat digunakan saat meniliti jika hanya satu jalur terisi
- Boleh digunakan saat meniliti pengaruh beban hidup jika ada tiga atau
lebih lajur terisi
Jumlah lajur yang dibebani Faktor kepadatan lajur
1 1,2
2 ≤ 1
Untuk tujuan menentukan jumlah lajur ketika kombinasi pembebanan
mencakup beban pejalan kaki seperti yang ditentukan dalam pasal 8.9
dengan satu atau lebih lajur kendaraan, maka perencana harus menentukan
bahwa beban pejalan kakiakan mengisi salah satu lajur kendaraan.
Factor-faktor yang ditentukan dalam tabel diatas tidak boleh digunakan
untuk menentukan factor distribusi beban kendaraan. Dalam hal ini
perencana harus menggunakan lever rule untuk menentukan beban yang
bekerja pada balok eksterior.
2.2.3.3 Gaya Rem (TB)
Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan akibat rem dan traksi
harus ditinjau dan berlaku untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini
diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebsar 5% dari beban lajur D yang
dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan factor beban
dinamis ada dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horizontal
dalam satu arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m diatas
permukaan lantai kendaraan. Beban lajur D disini tidak boleh direduksi jika
panjang bentang melebihi 30 m, digunakan rumus q = 9 kPa. (SNI 1725:2016)
2.2.3.4 Pembebanan untuk pejalan kaki (TP)
Semua komponen trotoar yang mempunyai lebar lebih dari 600 mm harus
direncanakan untuk memikul beban pejalan kaki dengan intensitas 5 kPa dan
dianggap bekerja secara bersamaan dengan beban kendaraan pada masing lajur
27
kendaraan. Jika trotoar dapat dinaiki maka, beban pejalan kaki tidak perlu
dianggap bekerja secara bersamaan dengan beban kendaraan. Jika ada
kemungkinan trotoar berubah fungsi dimasa depan menjadi lajur kendaraan, maka
beban hidup kendaraan harus diterapkan pada jarak 250 mm dari tepi parapet
untuk perencanaan komponen jembatan lainya. Dalam hal ini faktor beban
dinamis tidak perlu dipertimbangkan. (SNI 1725:2016)
2.2.3.5 Faktor Beban Dinamis
Faktor beban dinamis (FBD) merupaakan hasil interaksi antara kendaraan
yang bergerak dengan jembatan. Besaran BGT berasal dari pembebanan lajur D
dan beban roda dari pembebanan truk T harus cukup untuk memberikan terjadinya
interaksi antara kendaraan yang bergerak diatas jembatan. Besarnya nilai tambah
dinyatakan dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada kendaraan bats
daya layan dan beban ultimit.
Kecuali jika diperbolehkan dalam pasal 8.1 pada SNI 1725:2016, beban
statis truk rencana harus diperbesar sesuai FBD berdasarkan gambar 2.7. gaya
sentrifugal dan gaya rem tidak perlu diperbesar. Factor beban dinamis tidak perlu
diterapkan pada beban pejalan kaki atau beban terbagi rata BTR. Komponen
jembatan yang da di dalam tanah yang tercangkup dalam pasal 12, maka dapat
digunakan factor beban dinamis.
Factor beban dinamis tidak perlu diterapkan untuk :
- Dinding penahan tanah yang tidak memikul reaksi vertical dari struktur
atas jembatan, dan
- Komponen fondasi yang seluruhnya berada dibawah permukaan tanah.
Factor Beban Dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan
yang bergerak dan jembatan. Besarnya FBD tergantung pada frekuensi dasar dari
suspense kendaraan, biasanya antara 2Hz sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan
frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan
sebagai beban statis ekuivalen.
Besarnya BGT dari pembebanan lajur “D” dan beban roda dari
pembebanan Truk “T” harus cukup untuk memberikan terjadinya interkasi antar
28
kendaraan yang bergerak dengan jembatan denghan dikali FBD. Besarnya nilai
tambah dinyatakan dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada
keadaan batas daya layan dan batas ultimit. BTR dari pembebanan lajur “D” tidak
dikali dengan FBD. Untuk pembebanan “D”, FBD merupakan fungsi panjang
bentang ekuivalen seperti tercantum pada Gambar 2.7. Untuk bentang tunggal
panjang bentang ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sbenarnya.
Untuk bentang menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus :
LE = √ ……………………………………………..……………..(2.35)
Keterangan:
LAV : panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan
secara menerus
LMAX : panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang
disambungkan secara menerus
Untuk pembebanan truk “T”, FBD diambil 30%. Nilai FBD yang dihitung
digunakan pada seluruh bagian bangunanyang berada diatas permukaan tanah.
Untuk bangunan bagian bawah dan fondasi yang berada dibawah garis
permukaan, nilai FBD harus diambil sebagai peralihan linier dari nilai pada garis
permukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m. untuk bangunan yang
terkubur,seperti halnya gorong-gorong dan struktur baja-tanah, nilai FBD jangan
diambil kurang dari 40% untuk kedalaman nol dan jangan kuirang dari 10%
untuk kedalaman 2 m. untuk kedalaman antara bias diinterpolasi linier. Nilai FBD
yang digunakan untuk kedalaman yang dipilih harus diterapkan untuk bangunan
seutuhnya.
29
Gambar 2.7 Faktor beban dinamis untuk beban T untuk pembebanan lajur “D”
(SNI 1725:2016)
2.2.3.6 Beban Fatik
Beban fatik merupakan satu beban truk dengan tiga gandar, dimana jarak
gandar tengah dan gandar belakang merupakan jarak yang konstan sebesar 5000
mm. Frekuensi beban fatik harus diambil sebesar Lalu lintas Harian (LHR) untuk
satu lajur lalu lintas rencana. Frekuensi ini harus digunakan untuk semua
komponen jembatan, juga untuk komponen jembatan yang memikul jumlah truk
yang lebih sedikit. Jika tidak ada informasi yang lebih lengkap dan akurat, maka
perencana dapat menentukan jumlah truk harian rata-rata untuk satu jalur sebesar:
LHRSL = pt x LHR ……………………………………………………..……..(2.36)
Dimana,
LHR = jumlah truk rata-rata per hari dalam satu arah selama umur rencana
LHRSL = jumlah truk rata-rata per hari dalam satu lajur selama umur rencana
pt = fraksi truk dalam satu lajur sesuai Tabel 2.10.
Tabel 2.10. Fraksi lalu lintas truk dalam satu lajur (p)
Jumlah lajur truk pt
1 1,00
2 0,85
3 atau lebih 0,80
Bila tidak terdapat informasi yang akurat mengenai lalu lintas harian rata-
rata, maka dapat digunakan LHR berdasarkan klasifikasi jalan sesuai Table 2.11.
30
Tabel 2.11. LHR berdasarkan klasifikasi jalan
Kelas fungsional Kelas rencana
Tipe I : kelas Tipe II
LHR Kelas
Primer Arteri I Semua lalu
lintas
I
Kolektor II ≥10.000 I
<10.000 II
Sekunder Arteri II ≥20.000 I
<20.000 II
Kolektor NA ≥6.000 II
<6.000 III
Arteri NA ≥500 III
<500 IV
(SNI 1725:2016)
2.2.4 Beban lingkungan
2.2.4.1 Beban angin
Tekanan angin horizontal diasumsikan karena adanya angin rencana
dengan kecepatan rencana dasar (VB) sebear 90 hingga 126 km/jam. Beban angin
harus diasumsikan terdistribusi secara merata pada permukaan yang terekspos
oleh angin. Luas area yang diperhitungkan adalah luas area dari semua komponen,
termasuk sistem lantai dan railing yang diambil tegak lurus terhadap arah angin.
Untuk jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari 10000 mm
dihitung dengan persamaan sebagai berikut. (SNI 1725:2016) Z0
VDZ = 2,5 x V0 x
…………..……..………………………(2.37)
Dengan tidak adanya data yang lebih tepat, tekanan angina rencana dalam
Mpa ditetapkan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
PD = PB x (
………………………………..………………………..(2.38)
Dimana:
VDZ = kecepatan angina rencana pada elevasi rencana (km/jam)
V10 = kecepatan angin pada elevasi 10000 mm diatass permukaan tanah atau
permukaan air rencana (km/jam)
VB = kecepatan angina rencana yaitu 90 sampai 126 km/jam pada elevasi
1000 mm
31
Z = elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau permukaan air dimana
beban angin dihitung (Z > 10000 mm)
Vo = kecepatan gesekan angina, yang merupakan karakteristik meteorologi
sebagaimana ditentukan pada tabel 2.12 (km/jam)
Zo = panjang gesekan hulu jembatan yang merupakan karakteristik
meteorologi ditentukan pada Tabel 2.12 (mm)
PB = Tekanan angin dasar, ditentukan pada Tabel 2.13 (Mpa)
PD = Tekanan angin rencana (Mpa)
Tabel 2.12. LHR berdasarkan klasifikasi jalan
Kondisi Lahan terbuka Sub Urban Kota Vo (km/jam) 13,2 17,6 19,3
Zo (mm) 70 1000 2500
(SNI 1725:2016)
Tabel 2.13. LHR berdasarkan klasifikasi jalan
Komponen Bangunan Atas Angin tekan (Mpa) Angin Hisap (Mpa)
Rangka, Kolom, dan Pelengkung 0,0024 0,0012
Balok 0,0024 N/A
Permukaan datar 0,0019 N/A
(SNI 1725:2016)
2.2.4.2 Pengaruh gempa
Menurut SNI 1725:2016 jembatan harus direncanakan agar memiliki
kemungkinan kecil untuk mengalami keruntuhan, namun dapat mengalami
kerusakan yang signifikan dan gangguan terhadap pelayanan akibat gempa. Beban
gempa diambil sebagai gaya horizontal yang ditentukan berdasarkan perkalian
antara koefisien respons elastic (Csm) dengan berat struktur ekuivalen yang
kemudian dimodifikasi respons (Rd) dengan persamaan berikut :
EQ =
x Wt …………………..………………………...…………….(2.39)
Dimana :
EQ = gaya gempa horizontal statis (kN)
Csm = koefisien respon gempa elastis
Rd = faktor modifikasi respons (Tabel 2.14 dan Tabel 2.15 )
32
Wt = berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang sesuai
(kN)
Koefisien respon gempa elastis :
f. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, koefisien respon gempa elastic (Csm)
didapat dari persamaan :
Csm = (SDS – As)
+ As ………………..……………………………..(2.40)
g. Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan T, dan lebih kecil atau sama
dengan Ts, respon spectra percepatan, Csm sama dengan SDS.
h. Untuk periode lebih besar dari Ts, koefisien respon gempa elastic Csm
didapatkan dari persamaan :
Csm =
…………………………………………………..…………...(2.41)
Tabel 2.14. Faktor Modifikasi Respon (R) untuk bangunan bawah
Bangunan bawah Kategori kepentingan
Sangat penting Penting Lainnya
Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0
Tiang/kolom beton bertulang
Tiang vertical 1,5 2,0 3,0
Tiang miring 1,5 1,5 2,0
Kolom tunggal 1,5 2,0 3,0
Tiang baja dan komposit
Tiang vertical 1,5 3,5 5,0
Tiang miring 1,5 2,0 3,0
Kolom majemuk 1,5 3,5 5,0
(SNI 1725:2016)
Tabel 2.15. Faktor Modifikasi Respon (R) untuk hubungan antar Elemen Struktur
Hubungan elemen struktur Semua kategori kepentingan
Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8
Sambungan muai (dilatasi) pada banguan atas 0,8
Kolom, pilar, atau tiang dengan bangunan atas 1,0
Kolom atau pilar dengan fondasi 1,0
(SNI 1725:2016)
2.3 Abutment Jembatan
Abutment adalah bangunan bawah jembatan yang terletak pada kedua
ujung pilar – pilar jembatan, yang mempunyai fungsi sebagai pemikul seluruh
beban hidup (Angin, kendaraan, dll) dan mati (beban gelagar, plat, dll) pada
33
jembatan. Ada beberapa jenis abutment atau biasa disebut kepala jembatan ini,
tetapi pemilihannya perlu mempertimbangkan tinggi, macam bangunan atas,
kondisi tanah, demikian pula dengan kondisi bangunannya. Bentuk struktur
dari kepala jembatan yang umum diperlihatkan seperti pada Gambar 2.8 dan
hubungan antara macam serta tinggi kepala jembatan sebaiknya disesuaikan
dengan gambar 2.9.
Gambar 2.8 Bentuk Umum Kepala Jembatan
(Sosrodarsono dan Nakazawa, 1994)
Jika abutment atau kepala jembatan semakin tinggi, maka berat tanah
timbunan dan tekanan tanah aktif makin tinggi pula, sehingga sering kali
dibuat bermacam macam bentuk mereduksi pengaruh-pengaruh tersebut.
Gambar 2.9 Tinggi Pemakaian Kepala Jembatan untuk Berbagai Bentuk
(Sosrodarsono dan Nakazawa, 1994)
34
Gaya keluar yang bekerja pada kepala jembatan umumnya tidak akan
menimbulkan persoalan bila hanya gaya gaya seperti Gambar 2.10 saja yang
diperhitungkan. Namun jka jembatan berada didaerah gempa maka perlu
diperhitungkan gaya akibat gempa. Pada jembatan jalan kereta api, gaya
sentrifugal atau beban kejut juga perlu diperhitungkan.
Gambar 2.10 Gaya Luar yang bekerja pada Kepala Jembatan
(Sosrodarsono dan Nakazawa, 1994)
2.3.1 Kontrol Stabilitas Abutment
Syarat aman terhadap geser
SF =
…………...……...……………………...………(2.42)
Syarat aman terhadap guling
SF =
………………………..……………………...…………(2.43)
Syarat aman terhadap daya dukung tanah
SF =
……………………………………...………..………….(2.44)
Syarat aman terhadap eksentrisitas
e =
………………………..………………...(2.45)
Kontrol terhadap tegangan
σ =
……………………..…..……………………..(2.46)
σmaks = Qijin (OK)
σmin ≤ Qijin (OK)
35
FK (Faktor Keamanan) : FK > 1,5 (kondisi normal)
FK > 1,2 (kondisi gempa)
Daya dukung tanah dasar pondasi berdasarkan rumus Terzhagi untuk
pondasi lingkaran dinyatakan oleh persamaan :
Qult = 1,3 x c x Nc + Po x Nq + 0,3 x γ x B x Nγ ……………..…(2.47)
Qijin =
………………..………………………………………(2.48)
Dimana,
C = Kohesi tanah (kN/m2)
Po = Df x γ = tekanan overburden dasar pondasi (kN/m2)
Df = Kedalaman pondasi (m)
γ = Berat volume tanah (kN/m2)
B = Diameter pondasi (m)
Nc, Nq, N γ = koefisien kapasitas daya dukung Terzhagi (Tabel 2.16)
Qult = Daya dukung ultimate tanah pondasi
SF = Faktor keamanan, dan harga SF = 3
(Sosrodarsono dan Nakazawa, 1994)
Tabel 2.16. Nilai-nilai faktor daya dukung Terzhagi
Keruntuhan geser umum Keruntuhan geser local
Nc Nq Nγ Nc’ Nq’ Nγ’
0 5,7 1,0 0,0 5,7 1,0 0,00
5 7,3 1,6 0,5 6,7 1,4 0,2
10 9,6 2,7 1,2 8,0 1,9 0,5
15 12,9 4,4 2,5 9,7 2,7 0,9
20 17,7 7,4 5,0 11,8 3,9 1,7
25 25,1 12,7 9,7 14,8 5,6 3,2
30 37,2 22,5 19,7 19,0 8,3 5,7
34 52,6 36,5 35,0 23,7 11,7 9,0
35 57,8 41,4 42,4 25,2 12,6 10,1
40 95,7 81,3 100,4 34,9 20,5 18,8
45 172,3 173,3 297,5 51,2 35,1 37,7
48 287,9 287,9 780,1 66,8 50,5 60,4
50 347,6 415,1 1153,2 81,3 65,6 87,1
(Hardiyanto, 2003)
36
Nilai-nilai porositas (n), angka pori (e), dan berat volume (W) pada
keadaan asli di alam dan berbagai jenis tanah yang disarankan oleh Terzhagi
(1947) dapa dilihat pada Tabel 2.17.
Tabel 2.17. Nilai-nilai tipikal n, e, w, γd, dan γb untuk tanah asli
Macam Tanah N
(%)
E W
(%)
γd
(kN/m2)
γb
(kN/m2)
Pasir seragam, tidak padat 46 0,85 32 14,3 18,9
Pasir seragam, padat 34 0,51 19 17,5 20,9
Pasir berbutir campuran,
tidak padat
40 0,67 25 15,9 19,9
Pasir berbutir campuran,
padat
30 0,43 16 18,6 21,6
Lempung lunak sedikit
organic
66 1,90 70 - 15,8
Lempung lunak sangat
organic
75 3,00 110 - 14,3
(Hardiyanto, 2003)
2.3.2 PenulanganAbutment
Penulangan pada abutment dianggap sama dengan penulangan balok dan
pelat. Batas-batas penulangan pada abutment menggunakan rumus yang sama
seperti penulangan dibawah ini :
1. Rencana dengan diameter (b) dan kedalaman (d).
Kperlu =
……………………..……………………………….(2.49)
2. Rasio penulangan dapat diperoleh dengan persamaan :
ω = 0,85 - √
…………………..………………..(2.50)
ρ = ω x
……………………..………………………………(2.51)
ρb = 0,85 x β1 x
x (
) …………………..……………..(2.52)
Menurut SNI 287-2013 untuk fc’ antara 17 s/d 28 MPa, β1 harus
diambil sebesar 0,85. Untuk fc’ diatas β1 harus direduksi sebesar 0,05
untuk setiap kelebihan kekuatan sebesar 7 MPa diatas 28 MPa, tetapi β1
tidak boleh kurang dari 0,65.
37
ρmax = 0,75 x ρb ……………………………………………………(2.53)
ρmin =
…………………………...……………………………...(2.54)
pemeriksaan terhadap rasio tulangan : ρmin < ρ < ρmax
3. Perhitungan luas tulangan yang digunakan
Asperlu = ρ x b x drencana …………………..…………………………(2.55)
4. Kontrol momen kapasitas terhadap momen ultimate
a =
…………………………………………...……..(2.56)
Mn =As x fy x (d -
…………………………………..…………(2.57)
Syarat, Mn ≥ Mu (OK)
5. Kontrol tulangan geser
Gaya geser yang mampu dipikul oleh beton
Vc =
x √ x b x d ………………………………..………….(2.58)
Kekuatan geser nominal yang dihitung
Vu ≤ Vn ………………………………..…………………………...(2.59)
Vu ≤ (Vc + Vs ) …………………… ………………………….…..(2.60)
Jika beton mampu memikul gaya geser sendiri, maka direncanakan
tulangan geser dengan menghitung kekuatan geser nominal yang
diperlukan untuk tulangan geser.
Vsperlu =
…………………...………………………………...(2.61)
Luas tulangan geser :
Asv =
x π x d
2 ……………………..…………...………………….(2.62)
Jarak Sengkang maksimum tulangan geser :
Smax =
……………………………………...……………………(2.63)
Kekuatan geser nominal yang disediakan oleh tulangan geser :
Vsada =
……………………..…………………………...(2.64)
Syarat, Vsada > Vsperlu (OK)
38
2.4 Dinding Penahan Tanah
Dinding penahan tanah adalah suatu konstruksi yang digunakan atau
dimanfaatkan untuk menstabilkan tanah atau bahan-bahan lain yang kondisi
masa bahannya tidak memiliki kemiringan alami (natural slope), dan juga
digunakan untuk menahan atau menopang timbunan tanah (soil bank).
Bangunan dindin penahan tanah digunakan untuk menahan tekanan tanah
lateral yang digunakan oleh tanah urug atau tanah asli yang labil. Kestabilan
dinding penahan tanah ini didapatkan dari berat struktur yang ditahan dan juga
berat tanah diatas maupun di sampingnya. Gerakan tanah lateral tanah relative
terhadap dinding sangat berpengaruh pada besar dan distribusi tekanan tanah
pada dinding penahan tanah.
Berbagai macam dan jenis dinding penahan tanah konvensional anatara
lain adalah tembok dinding pasangan batu bata, dinding gravitasi, dinding
semi gravitasi, dinding tipe menyandar, dinding kantilever,dinding penahan
yang diperkuat dengan penopang, reinforced retaining wall, diniding
counterfort, dan dinding krib. Namun, seiring dengan perkembangan
teknologidan metode pelaksanaannya, pada saat ini sudah ada yang disebut
dengan dinding penahan tanah modern (modern retaining wall). Macam-
macam dari dinding penahan tanah modern ini ialah antar lain bored pile wall,
secant pile wall, berliner dan soldier pile (Asiyanto,2012).
39
Gambar 2.11 jenis-jenis dinding penahan tanah
Dinding Gravitasi (Gravitasi Wall)
Dinding gravitasi wall ini biasanya dibuat dari beton murni (tanpa tulangan)
atau dari passangan batu kali. Stabilitas untuk konstruksi hanya diperoleh
dengan mengandalkan berat sendir dari konstruksi tersebut. Biasanya tinggi
dari jenis dinding penahan tanah ini tidak lebih dari 4 meter.
Dinding Penahan Kantilever (Cantilever Retaining Wall)
Dinding penahan tanah type kantilever ini terbuat dari beton bertulang yang
tersusun dari suatu dinding vertikal dan tampak lantai. Yang masing-masing
berperan sebagai balok atau plat kantilever. Sedangkan untuk stabilitas
konstruksi ini diperoleh dari berat sendiri dinding penahan tanah dan berat
tanah diatas tumit tapak (hell). Terdapat 3 bagian struktur yang berfungsi
sebagi kantilever, yaitu bagian dinding penahan vertikal (steem), tumit tapak
40
dan ujung kaki tapak (toe). Biasanya ketinggian dari jenis dinding penahan
tanah ini tidak lebih dari 6-7 meter.
Dinding Kontrafort (Counterfort Wall)
Apabila terjadi tekanan aktif pada dinding vertikal cukup besar, maka bagian
dinding vertikal dan tumit perlu disatukan (kontrafort). Kontrafort berfungsi
sebgai pengikat tarik dinding vertikal dan ditempatkan pada bagian timbunan
dengan interval jarak tertentu. Dinding kontrafort akan lebih ekonomis
digunakan jika ketinggian dari dinding lebih dari 7 meter.
Dinding Butters (Butters Wall)
Dinding penahan tanah ini hampir sama dengan jenis dinding kontrafort,
hanya berbeda pada bagian kontrafort yang diletakkan di depan dinding.
Dalam hal ini, struktur kontrafort berfungsi memikul tegangan tekan dan pada
dinding ini, untuk bagian tumit lebih pendek daripada bagian kaki. Untuk
stabilitas konstruksinya diperoleh dari berat sendiri dinding penahan tanah dan
berat tanah diatas tumit tapak. Dinding ini juga lebih ekonomis untuk
ketinggian dinding yang lebih dari 7 meter.
Abutment Jembatan (bridge Abutment)
Struktur ini berfungsi seperti dinding penahan tanah yang memberikan
tahanan horizontal dari tanah timbunan dibelakangnya. Dalam
perencanaannya, struktur ini lebih dianggap sebagai balok yang dijepit pada
dasar dan ditumpu bebas pada bagian atasnya.
Boks Culvert
Boks ini dapat dibuat dengan satu atau dua lubang, dan berfungsi sebagai
portal kaku tertutup yang dapat menahan tekanan tanah lateral dan beban
vertical dari atas struktur tersebut.
2.5 Analisa Parameter Tanah
Analisa Analisa parameter tanah dilakukan untuk membuat stratigrafi
parameter tanah di daerah yang akan direncanakan. Dasar yang digunakan
untuk membuat stratigrafi tanah yaitu dengan menggunakan pendekatan
statistik sederhana.
41
Pendekatan statistik yang digunakan dalam mengambil keputusan adalah
berdasarkan besar koefisien variasi (CV) dari suatu distribusi nilai parameter
tanah. Dimana distribusi sebaran suatu nilai dapat diterima jika harga
koefisien variasi dari sebaran tersebut antara 10 – 20 %. Jika nilai sebran
tersebut >20%, maka harus dilakukan pembagian layer kembali. Pembagian
lapisan tanah didasarkan atas korelasi SPT pada Tabel 2.18 dan Tabel 2.19
dibawah ini.
Tabel 2.18. Konsistensi Tanah untuk tanah Dominan Lanau dan Lempung
Konsistensi tanah Taksiran harga kekuatan
geser undrained Cu
Taksiran
harga SPT,
harga N
Taksiran harga tahanan
conus ,qc (dari Sondir)
kPa Ton/m2 Kg/cm
2 kPa
Sangat lunak (very
soft)
0 – 12,5 1 -1,25 0 -2,5 0 – 10 0 – 1000
Lunak (soft) 12,5 – 25 1,25 -5 2,5 – 5 10 -20 1000 – 2000
Menengah
(medium)
25 – 50 2,5 - 5 5 -10 20 -40 2000 – 4000
Kaku (stiff) 50 – 100 5 - 10 10 -20 40 -75 4000 – 7500
Sangat kaku (very
stiff)
100 – 200 10 – 20 20 – 40 75 – 150 7500 – 15000
Keras (hard) >200 >20 >40 >150 >15000
(Mochtar, 2012)
Tabel 2.19. Pedoman Memperkirakan harga dari harga N-SPT untuk Tanah Dominan Pasir
Kondisi kepadatan Realitive
Density
(kepadatan
relative) Rd
Perkiraan harga
NSPT
Perkiraan
Harga ( ) Perkiraan
berat volume
jenuh, γsat
(ton/m3)
Very loose (sangat
renggang)
0% – 15% 0 – 4 0 – 28 < 1,60
Loose (renggang) 15% - 35% 4 – 10 28 – 30 1,50 – 2,00
Medium
(menengah)
35% - 65% 10 -30 30 – 36 1,75 – 2,10
Dense (rapat) 65% - 85% 30 – 50 36 – 41 1,75 – 2,25
Very dense (sangat
rapat)
85% - 100% >50 41
(Teng, 1962)
42
Tabel 2.20. Hubungan antara Parameter Tanah untuk Tanah Lempung
Cohesive Soil
N (blows) <4 4 – 6 6 -15 16 -25 >25
γ (kN/m3) 14 – 18 16 – 18 16 -18 16 – 20 .20
qu (kPa) <25 20 -50 30 - 60 40 -200 >100
Consistency Very Soft Soft Medium Stiff Hard
(J.E Bowles, 1984)
Poisson’s Ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara regangan lateral
dan longitudinal. Tabel dibawah ini merupakan Poisson’s ratio untuk beberapa
material tanah.
Tabel 2.21. Tabel untuk Poisson’s Ratio
Type of Soil µ
Clay, saturated 0,4 – 0,5
Clay, unsaturated 0,1 – 0,3
Sandy clay 0,2 – 0,3
Silt 0,3 0,35
Sand, gravelly sand 0,1 – 1,00
Commonly used 0,3 – 0,4
Rock 0,1 – 0,4 (depends somewhat on type of
rock)
Loess 0,1 – 0,3
Ice 0,36
Concrete 0,15
Penentuan Modulus Young untuk beberapa jenis tanah ditentukan
berdasarkan data tekan, water content, kepadatan, dsb seperti pada tabel
dibawah ini.
43
Tabel 2.22. Tabel Penentuan Modulus Young pada Beberapa jenis Tanah
Soil Es
Ksf Mpa
Clay
Very soft 50 – 250 2 – 15
Soft 100 – 500 5 – 25
Medium 300 – 1000 15 – 50
Hard 1000 – 2000 50 – 100
Sandy 500 – 5000 25 – 250
Glacial till
Loose 200 – 3200 10 – 150
Dense 3000 – 15000 150 – 720
Very dense 10000 – 30000 500 – 1440
Loess 300 – 12000 15 – 60
Sand
Silty 150 – 450 5 – 20
Loose 200 – 500 10 – 25
Dense 1000 – 1700 50 – 81
Sand and gravel
Loose 1000 – 3000 50 – 150
Dense 2000 – 4000 100 – 200
Shale 3000 – 300000 150 – 5000
Silt 40 – 400 2 – 20
2.6 Tekanan Tanah lateral
Rankine (1857) mengembangkan teori tekanan lateral tanah dari kondisi
keruntuhan tanah di depan dan di belakang dinding penahan tanah yang
berdasar pada konsep kesetimbangan plastis. Tekanan tanah saat dinding
diijinkan bergerak yang menyebabkan tekanan horisontal berkurang terus
menerus hingga keadaan setimbang dinamakan tekanan aktif, sedangkan
tekanan horisontal yang bertambah karena dinding terdorong ke dalam
dinamakan tekanan pasif.
Caquot-Kerisel (1948) mengasumsikan permukaan runtuh di belakang
dinding sebagai persamaan melengkung yang dituangkan dalam koefisien
tekanan tanah aktif dan pasif.
Padfield dan Mair (1984) mengembangkan kembali teori-teori Rankine
dan Caquot-Kerisel untuk menghitung tekanan tanah pada penggalian tanah
yang dalam dengan membaginya pada tanah kohesif dan tanah non-kohesif.
44
2.6.1 Tanah kohesif
Perhitungan tekanan tanah pada tekanan tanah kohesif harus
mempertimbangkan adhesi antara dinding penahan tanah dan tanahnya yang
dapat dijabarkan dalam rumusan berikut.
σa = σvKa – 2cKac …………………………………………..……(2.65)
Ka = tan2(45-
) ……………………………...…………………...(2.67)
Kac = √
……………………………………...…...….(2.68)
σp = σvKp – 2cKpc …………………………………………...…...(2.69)
Kp = tan2(45-
) ……………………………………...…………...(2.70)
Kpc = √
…………………………………...……...….(2.71)
dimana,
σa = tekanan tanah aktif total (horizontal) pada dinding
σp = tekanan tanah pasif total (horizontal) pada dinding
c = kohesi tanah (su disaat kondisi tanah 100% jenuh)
= sudut keruntuhan tanah
cw = adhesi antara tanah dan dinding = su
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
Kp = koefisien tekanan tanah pasif
Adhesi antara tanah dan dinding untuk kasus penggalian dalam belum
dipelajari lebih lanjut, akan tetapi masih bisa menggunakan studi kasus pada
pondasi tiang dan nilai faktor reduksi α dapat dicari melalui tabel berikut.
Tabel 2.23. Nilai untuk memperkirakan tahanan Kulit Tiang Bor Ditanah Lempung
Metode Konstruksi Α
Metode kering menggunakan light weight slurry 0.5
Dibor dengan menggunakan lumpur bentonite 0.3
Tiang bell yang ujungnya terletak pada tanah yang kekerasanya hampir sama
dengan tanah sekitar kulit tiang
0.3
kekerasannya hampir sama dengan tanah disekitar 0.15
(Reese, 1978)
45
Perlu diketahui pada tanah kohesif, terdapat zona tegangan retak pada
belakang dinding dan dapat dihitung kedalamanya sebagai berikut.
σp =
√ ………………………………………………...……………(2.72)
Saat tegangan retak terjadi, tanah sudah tidak bisa lagi menahan tarik yang
terjadi. Agar lebih konservatif, disarankan untuk menghitung tekanan akibat
lingkungan dan hujan pada zona tersebut.
2.6.2 Tanah non kohesif
Kelebihan tekanan air tanah pada tanah non-kohesif akan menghilang
sesaat geser terjadi. Sebagai hasilnya, perhitungan tekanan tanahnya harus
pada tekanan efektif. Seandainya terdapat gesekan antara dinding dan tanah,
tekanan tanah pada tanah non-kohesif dapat dihitung sebgai berikut.
σ'a = Ka (σv – u) – 2c’Kac …………………………………..……..(2.73)
Kac = √
………………………………...…...………(2.74)
σa = σa + u …………………………………...……………….....(2.75)
σ’p = Kp (σv – u) – 2c’Kpc ………………………………………....(2.76)
Kpc = √
…………………………………………..…(2.77)
dimana,
σ’a = tekanan tanah aktif efektif (horizontal) pada dinding
σ’p = tekanan tanah pasif efektif (horizontal) pada dinding
σa = tekanan tanah aktif total
σp = tekanan tanah pasif total
c’ = kohesi tanah efektif
c’w = adhesi efektif antara tanah dan dinding
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
Kp = koefisien tekanan tanah pasif
u = tekanan air tanah
untuk kebanyakan tanah non-kohesif, c’ = 0, c’w = 0, maka Kac = Ka , Kpc
= Kp dan zona tegangan retak tidak terjadi.
46
2.7 Secant Pile
Secant pile atau bisa juga dikenal dengan istilah retaining wall pile
beruntun adalah jenis dinding penahan tanah yang jarak antar pilenya
berdempetan dan saling bersinggungan satu sama lain yang bergua untuk
mendapatkan daya tanah terhadap tekanan tanah (tekanan lateral).
Dua jenis pile yang digunakan memiliki karakteristik masing-masing yang
berbeda. Hal ini dikarenakan kedua jenis pile ini memiliki fungsi yang tidak sama.
Salah satu pilenya menggunakan tulangan (Secondary pile) dan yang satunya
tanpa menggunakan tulangan (Primary pile). Secondary pile ini berfungsi sebagai
elemen struktural yang memberikan kapasitas lentur sistem secant pile.
Sedangkan primary pile berfungsi sebagai penutup galian dan pengendap.
Gambar 2.12 Primary pile dan Secondary pile saling menempel satu sama lain untuk
membentuk dinding
Dalam lapangan secant pile digunakan untuk menghindari agar tanah dan
material lainya tidak mengalami penurunan atau longsor, juga agar untuk menjaga
kestabilan dan daya dukung dari tanah di sekitar pondasi ini. Untuk mengetahui
kestabilan dari tanah di sekitar secant pile dapat dilakukan dengan cara
pengukuran. Adapun alat ukur yang digunakan untuk mengukur atau mengikat
pondasi secant pile dengan tanah adalah angkuar yang dipasang dengan sudut
kemiringan tertentu kedalam tanah..
47
Gambar 2.13 Plan Koordinat Secant Pile dan Bore Pile pada Underpass Karanglo
Gambar 2.14 Koordinat Titik Primary Pile (kiri)
48
Gambar 2.15 Koordinat Titik Primary Pile (kanan)
Gambar 2.16 Koordinat Titik Secondary Pile (kiri)
49
Gambar 2.17 Koordinat Titik Secondary Pile (kanan)
Gambar 2.18 Koordinat Titik Bore Pile (tengah)
Perhitungan daya dukung tiang didasarkan pada dua hal, yaitu tahanan
ujung tiang (end bearing capacity) dan tahanan gesekan tiang (Friction bearing
capacity).
Qu = Qp + Qs ......................................................................................(2.78)
dengan :
Qu = kapasitas tiang ultimate (maksimal),
Qp = kapasitas ujung tiang,
Qs = kapasitas gesekan tiang.
50
a. Kontrol Kedalaman Dinding Berdasarkan Hydrodynamic
Kedalaman yang aman terhadap Hydrodynamic adalah konstruksi dinding
yang aman pada saat proses penggalian, sehingga nanti arah aliran air tanagh tidak
akan menjadi masalah yang serius dan penggalian akan dapat dilakukan.
i (gradien hidrolis) x SF < icr (gradien hidrolis kritis)
iexit x 1.2 < icritical
x 1.2 <
…………………………………………………………(2.79)
dengan,
= Perbedaan tinggi muka air tanah dengan dredge line
Dc = Kedalaman aman berdasarkan hydrodynamic
= Berat jenis efektif tanah
w = Berat jenis air
b. Kontrol terhadap Uplift
Adanya beban uplift dan air tanah mengakibatkan konstruksi terkena
bahaya beban angkat keatas. Untuk itu dilakukan anallisa antara kesetimbangan
beban dengan uplift, sebagai berikut ini :
Fu = w.hw.A……………………………………......……………...….(2.80)
SF =
> 1,2………………………………………...…...…...(2.81)
dengan,
Fu = gaya uplift
w = berat jenis air
hw = tinggi air
A = luas plat
c. Metode Pengerjaan Secant Pile
1. Penentuan titik pengeboran
Penentuan titik pengrboran ini dilakukan dengan cara menggunakan alat
theodolite / water pass dengan mengacu gambar kerja yang telah disetujui.
Pengukran ini dilakukan dari dua sisi yang saling tegak lurus agar
51
diperoleh hasil yang maksimal. Setelah titik-titik galian pondasi didapat,
maka proses penggalian dapat dimulai.
2. Pengeboran dengan Auger
Pengeboran pertama di gunakan auger sebagai mata bor dan soilmec
sebagai mesinnya. Urutan pengeboran dilakukan mulai dari titik 1, 3, 5,
dan seterus nya (spasi 1 primary pile). Hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadi nya kelongsoran. Kemudian setelah primary pile 1, 3,
5 telah dicor, kemudian pengeboran dilanjutkan ke primary pile 2, 4, 6 dan
seterusnya.
3. Pemasangan casing
Setelah proses pengeboran selesai barulah akan dilakukan pengecoran,
tetapi sebelum dilakukan nya pengecoran terlebih dahulu dipasang casing
dan dilanjutkan dengan pemasangan pipa tremi kedalam lobang bor.
4. Pengeboran dan pengambilan tanah dengan Bucket Bor
Setelah pengeboran telah mencapai kedalaman yang ditentukan kemudian
mata bor yang di gunakan pun di ganti dengan mata bor Bucket, Bucket
yaitu untuk membuang tanah atau lumpur di dasar lubang.
5. Pemindahan tanah hasil ke permukaan
Tanah hasil pengeboran di letakan di sekitar lobang bor sebelum nanti di
angkut menggunakan truck untuk di keluarkan dari area proyek.
6. Memasukan keranjang besi yang sudah dirakit hanya untuk secondary pile
Pengangkatan tulangan baja serta untuk memasukkan nya kedalam lobang
bor di gunakan bantuan alat berat berupa excavator dan crane, di
gantungkan saling penyanggah di tiap ujung tulangan besi, lalu di
dekatkan ke lobang lobang bor lalu di masukan secara vertikal.Setelah
ujung tulangan di masukan kedalam lobang bor lalu bagian atas nya di
gantungkan pada casing supaya dapat di lakukan penyambungan untuk
tulangan selanjutnya. Tulangan selanjutnya kembali di angkat seperti
tulangan pertama lalu di lakukanlah penyambungan, penyambungan di
lakukan menggunakan mesin las listrik. Jarak antara tiap sambungan
tulangan pertama dan tulangan selanjutnya adalah kurang lebih 1 meter.
52
7. Pengecoran primary pile
Setelah proses pengeboran selesai barulah akan dilakukan pengecoran
primary pile, tetapi sebelum dilakukan nya pengecoran terlebih dahulu
dipasang casing dan dilanjutkan dengan pemasangan pipa tremi kedalam
lobang bor.
8. Pengecoran Secondary pile
Setelah proses pemasangan tulangan baja maka proses selanjutnya adalah
pengecoran beton dengan mutu beton K-350. Proses ini pun sama seperti
pengecoran pada primary pile mulai dari pemasangan casing, pemasangan
pipa tremi dan pengambilan sample beton baru kemudian dilakukan
pengecoran beton kedalam lobang bor.
9. Pencabutan casing dan pipa tremi
Pada saat lobang bor sudah terisi penuh oleh beton maka pipa tremi dan
casing harus di angkat keluar. Setelah peroses pengecoran secondary pile
selesai maka terbentuklah pondasi secant pile
d. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan:
1. Penggunaan secant pile tidak membutuhkan area yang luas untuk
membuat konstruksi dan menahan rembesan air.
2. Dapat diterapkan pada tanah dengan kondisi sulit atau level muka
air yang tinggi.
Kekurangan :
1. Waktu pengerjaaan lebih lama karena pengecoran dinding banyak.
2. Pelaksanaan pemasangan yang tidak presisi akan membuat bentuk
secant pile tidak rata.
2.8 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif
Tekanan tanah aktif
Seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.3, akibat dinding penahan yang
berotasi kearah kiri terhadap titik A, maka tekanan tanah yang bekerja pada
dinding penahan tanah akan berkurang perlahan-lahan sampai akhirnya
53
mencapai harga yang seimbang. Tekanan tanah yang mempunyai harga tetap
atau seimbang dalam kondisi ini disebut tekanan tanah aktif.
Gambar 2.19 Dinding yang berotasi akibat tekanan tanah aktif
Menurut teori Rankine, untuk tanah berpasir tidak kohesif, besarnya gaya
lateral pada satuan lebar dinding akibat tekanan tanah aktif pada dinding
setinggi H dapat dinyatakan pada persamaan berikut.
Pa = ½ γs H2 Ka ……………………………………..…………………...(2.82)
dengan
γs = berat isi tanah
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
Ka = cos x √ –
√ –
……………………………….……...….(2.83)
= sudut geser dalam
i = sudut tanah timbunan
Untuk tanah timbunan datar (i = 00), besarnya koefisien tekanan tanah aktif
menjadi :
Ka =
= tg
2 (45
0 -
) ………………………………...…..………...(2.84)
Tekanan tanah pasif
Seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.4, dinding penahan berotasi ke
kanan terhadap titik A, atau dengan kata lain dinding mendekati tanah isian,
maka tekanan tanah yang bekerja pada dinding penahan akan bertambah
54
secara perlahan-lahan sampai mencapai suatu harga tetap. Tekanan tanah yang
mempunyai harga tetap pada kondisi ini disebut tekanan tanah pasif.
Menurut teori Rankine, untuk tanah pasif tidak kohesif, besarnya gaya
lateral pada dinding akibat tekanan tanah pasif setinggi H dapat dinyatakan
dalam persamaan berikut :
Pp = ½ γs H2 Kp ………………………………..………………………..(2.85)
Gambar 2.20 Dinding mendekati tanah isian (tekanan pasif)
Dengan Kp adalah koefisien tekanan tanah pasif yang besarnya dinyatakan
oleh persamaan.
Kp = cos x √ –
√ –
………………………………...………….(2.86)
Untuk tanah timbunan datar (i = 00), besarnya koefisien tekanan tanah pasif
menjadi :
Ka =
= tg
2 (45
0 +
) ……………………………………….……..(2.87)
Tekanan tanah seimbang
Yaitu tekanan tanah yang bekerja pada dinding, yang mempunyai nilai tengah
antara kedua tekanan diats disebut dengan tekanan tanah seimbang (statis).
Penetapan besarnya nilai tekanan tanah seimbang ckup sulit, sehingga untuk
praktisnya dalam perhitungan lebih sering dipakai tekanan tanah aktif dan
pasif.
55
2.9 Perhitungan Stabilitas pada Secant pile
Syarat aman terhadap geser
SF =
………………………………..……………………….(2.88)
Syarat aman terhadap guling
SF =
………………………………...………………………………(2.89)
Syarat aman terhadap daya dukung tanah
SF =
………………………………………………………………….(2.90)
Syarat aman terhadap eksentrisitas
e =
………………………..………………………..(2.91)
Kontrol terhadap tegangan
σ =
………………………………………………………..(2.92)
σmaks = Qijin (OK)
σmin ≤ Qijin (OK)
FK (Faktor Keamanan) : FK > 1,5 (kondisi normal)
FK > 1,2 (kondisi gempa)
Daya dukung tanah dasar pondasi berdasarkan rumus Terzhagi untuk pondasi
lingkaran dinyatakan oleh persamaan :
Qult = 1,3 x c x Nc + Po x Nq + 0,3 x γ x B x Nγ …………………...…(2.93)
Qijin =
…………………………...………………………………….(2.94)
Dimana,
C = Kohesi tanah (kN/m2) B = Diameter pondasi (m)
Po = Df x γ = tekanan overburden dasar pondasi (kN/m2)
Df = Kedalaman pondasi (m)
γ = Berat volume tanah (kN/m2)
Nc, Nq, N γ = koefisien kapasitas daya dukung Terzhagi (Tabel 2.21)
Qult = Daya dukung ultimate tanah pondasi
SF = Faktor keamanan, dan harga SF = 3
(Sosrodarsono dan Nakazawa, 1994)
56
2.10 Penulangan Secant Pile
Mentukan Luas:
Ag =
x π x d
2 ……………………………………………………………...(2.95)
Menghitung momen dan gaya aksial
e =
………………………………………………………………..…..(2.96)
Pemeriksaan Pnb
d = D – selimut – sengkang -
Dtulangan ………………………………….(2.97)
d’ = selimut + sengkang + Dtulangan ……………………………………….(2.98)
As1 = As1’ =
x Ast …………………………………………………………(2.99)
As2 = As2’ =
x Ast ……………………………………………………...…(2.100)
cb =
………………………………………………………….…...(2.101)
ab = β x cb …………………………………………..………………….….(2.102)
fs1’ =
………………………………………………….….(2.103)
fs2’ =
………………………………………………….(2.104)
Pnb = (β x fc’ x D x ab + As1’ x fs1’ - As2’ x fs2’- As1 x fy) ………………(2.105)
ϕ Pnb = 0,65 x Pnb …………………………………………………………(2.106)
Kontrol,
Pu < ϕ Pnb
Memeriksa kekuatan penampang kolom bulat
Ds = D – 2(jarak selimut ke pusat tulangan) ……………………………..(2.107)
ρs =
…………………………………………………………..(2.108)
m =
………………………………………………………..………(2.109)
Persamaan untuk penampang kolom bulat dengan keruntuhan hancur tarik
ditentukan :
Pn = β fc’ D2 {√(
)
(
)} ………………(2.110)
Kontrol,
57
Pn > Pn perlu
ϕ Pn= 0,7 x Pn ………………………………………………………….…..(2.111)
Merencanakan tulangan spiral,
Menurut SNI 2847-2013 Pasal 7.10.4. Untuk konstruksi cor ditempat,
ukuran spiral tidak boleh melebihi diameter 10 mm, ukuran spasi bersih antar
spiral memiliki batasan yaitu tidak boleh melebihi 75 mm atau tidak kurang dari
25 mm.
Dc = h – 2d ………………………………………………………………(2.112)
Ac =
π Dc
2 ……………………………………………………………..(2.113)
ρs = 0,45 (
)
…………………………………………………..(2.114)
Sedangkan untuk spasi spoiral adalah,
s =
…………………………………………………………..(2.115)