bab ii landasan teori 2.1. perilaku prososial 2.1 ......13 bab ii landasan teori 2.1. perilaku...

40
13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dayakisni dan Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dayakisni dan Hudaniah, (2006) menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong (Faturochman, 2006). Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong,

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 13

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1. PERILAKU PROSOSIAL

    2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial

    Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala

    tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan

    suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan

    mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dayakisni

    dan Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan

    orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi

    distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga

    menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi

    positif pada orang lain.

    William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku

    prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik

    atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam

    arti secara material maupun psikologis. Dayakisni dan Hudaniah, (2006)

    menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang

    memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi,

    fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi

    pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong

    (Faturochman, 2006).

    Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa

    perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang

    lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong,

  • 14

    menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.

    Menurut Staub (1978) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:

    pertama, tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan

    pada pihak pelaku; kedua, tindakan itu dilahirkan secara sukarela; dan ketiga,

    tindakan itu menghasilkan kebaikan.

    Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan

    bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku positif yang

    memberikan sesuatu manfaat bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik

    ataupun psikologis yang memberi keuntungan pada orang lain atau dirinya

    sendiri.

    2.1.2. Aspek-aspek Perilaku Prososial

    Aspek-aspek dalam prososial menurut Eisenberg dan Mussen (1989)

    adalah sebagai berikut:

    a. Berbagi (Sharing).

    Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan

    duka. Sharing diberikan bila penerima menunjukkan kesukaran dan ada

    tindakan melalui dukungan. Perilaku berbagi dapat ditunjukkan pula dengan

    perilaku saling bercerita tentang pengalaman hidup, mencurahkan isi hati.

    b. Kerjasama (Cooperative).

    Kesediaan untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain demi

    tercapainya suatu tujuan cooperative dan biasanya saling menguntungkan,

    saling memberi atau saling menolong dan menyenangkan.

  • 15

    c. Menyumbang (Donating).

    Kesediaan berderma, memberi secara sukarela sebagian barang miliknya

    untuk orang yang membutuhkan dan dapat juga ditunjukkan dengan perbuatan

    memberikan sesuatu kepada orang yang memerlukan.

    d. Menolong (Helping).

    Kesediaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang dalam kesulitan

    meliputi membagi dengan orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan

    terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya

    kegiatan orang lain.

    e. Kejujuran (Honesty)

    Kesediaan untuk berkata, bersikap apa adanya serta menunjukkan

    keadaan yang tulus hati.

    f. Kedermawanan (Generosity)

    Kesediaan memberi secara sukarela untuk orang lain yang

    membutuhkan.

    Selanjutnya, Staub (1978) mengemukakan bahwa nilai-nilai pribadi dan

    norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi

    itu merupakan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan

    tindakan prososial, seperti:

    a. Tanggung jawab.

    Kemauan atau kesiapan seseorang untuk memberikan ganjaran berupa

    jasa yang dibutuhkan orang lain.

    b. Kedekatan (proximity).

    Kemudahan dalam pendekatan pada setiap kontak yang terjadi dengan

    orang lain. Dalam hal ini dimana adanya suatu hubungan yang sering dilakukan.

  • 16

    c. Keadilan.

    Kesediaan seseorang untuk membantu orang lain serta memberikan

    ganjaran yang tepat sesuai kebutuhan orang lain. Dimensi ini menekankan pada

    sikap yang cepat dan tepat dalam pertanyaan, keluhan, dan masalah orang lain.

    d. Kebenaran.

    Dimensi yang menekankan kemampuan seseorang untuk menyampaikan

    kepastian dan membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri orang lain.

    Raven dan Rubin (Rizal, 1997) membagi perilaku prososial menjadi dua

    bentuk, antara lain:

    a. Kerja sama (cooperation).

    Kerja sama adalah perilaku prososial yang memiliki peran dalam

    pencapaian tujuan bersama.

    b. Altruisme.

    Altruisme berbeda dengan kerja sama dalam hal keuntungan yang

    diperoleh orang yang terlibat, altruisme dilakukan tanpa mengharapkan

    keuntungan bagi diri sendiri.

    Wispe (dalam Mahmud, 2003) juga mengklasifikasikan bentuk perilaku

    prososial, antara lain:

    a. Simpati (Sympathy)

    Perilaku yang didasarkan atas perasaan yang positif terhadap orang lain.

    Peduli dan ikut merasakan kesedihan dan kesakitan yang dialami orang lain.

    b. Bekerja sama (Cooperation)

    Kerja sama diartikan sebagai bentuk perilaku saling membantu pihak-

    pihak yang terlibat untuk mencapai tujuan bersama.

  • 17

    c. Membantu atau menolong (Helping)

    Perilaku mengambil bagian atau membantu urusan orang lain agar orang

    tersebut dapat mencapai tujuannya.

    d. Berderma atau menyumbang (Donating)

    Perilaku menghadiahkan atau memberikan suatu sumbangan kepada

    orang lain, biasanya berupa amal.

    e. Altruistik (Altruism)

    Merujuk pada tindakan yang dilakukan untuk memberikan keuntungan

    kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.

    Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-

    aspek prososial yaitu berbagi, kerjasama, menyumbang, menolong, kejujuran,

    dan kedermawanan. Selanjutnya, aspek-aspek prososial dari Eisenberg dan

    Munssen inilah yang juga akan digunakan peneliti untuk menyusun alat ukur

    perilaku prososial.

    2.1.3. TEORI PERILAKU PROSOSIAL

    2.1.3.1. Secara Umum

    Penulis menggunakan teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura.

    Bandura adalah seorang ahli teori belajar sosial tradisional, hampir semua

    tingkah laku manusia dipelajari dan dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di

    lingkungan seperti reward, punishment, dan modelling. Efek dari reward dan

    punishment disebut reinforcement sedangkan modeling adalah proses belajar

    melalui proses observasi orang lain yang menolong. Ditinjau dari perspektif

    teori belajar tradisional, respon prososial diinterpretasi sebagai konsekuensi dari

    reinforcement langsung (reward). Karakter moral diartikan sebagai kebiasaan

    belajar dan sifat baik yang dipelajari dari orang tua dan guru. Sebagai

  • 18

    konsekuensi dari pengulangan pengalaman, anak belajar respon mana yang

    menyebabkan pujian orang tua.

    Dua konsep penting yang dikenalkan adalah observational learning dan

    cognitive regulator. Bandura menjadi pelopor dalam observational learning ini.

    Menurut pandangan Bandura, observational learning meliputi empat jenis

    proses, yakni atensi, retensi, produksi motor dan motivasi. Individu mengimitasi

    jika ia mengikuti model, masuk dalam pikirannya apa yang telah diobservasi,

    dapat menerjemahkan secara fisik perilaku yang telah diobservasi dan motivasi

    untuk melakukan hal seperti itu (Sears, 1999).

    Bandura sangat menekankan pada faktor kognitif internal. Pengaruh

    eksternal dipercaya mempengaruhi perilaku melalui proses mediasi kognisi.

    Individu secara simbolis memanipulasi informasi yang diperoleh dari

    pengalaman sehingga ia mampu menguji dan menghasilkan pengetahuan baru.

    Aktivitas kognitif juga mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu.

    Bandura, dengan teori sosial kognitifnya mengungkapkan bahwa intensi dan

    proses evaluasi diri memainkan peran yang penting dalam pengaturan diri.

    Penggunaan representasi kognitif membuat individu dapat mengantisipasi

    perilaku yang keluar dan bertindak dengan cara yang diharapkan. Individu juga

    menyusun tujuan untuk dirinya dan mengevaluasinya secara negatif jika mereka

    tidak konsisten antara representasi kognitif dengan perilaku yang sesuai.

    Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar internal

    dan aturan dengan mengimitasi model dan memahami penjelasan perilaku moral

    dari orang-orang yang mensosialisasikan nilai. Reaksi orang lain ini pada

    tingkah laku anak-anak membantu mereka untuk memahami signifikansi

    sosialnya. Oleh karena itu perkembangan moral termasuk perilaku prososial,

  • 19

    dipandang sebagai hasil interaksi antara tekanan sosial dan perubahan kapasitas

    kognitif individu.

    2.1.3.2. Secara khusus bagi Prososial

    Albert Bandura mengungkapkan teori pembelajaran social yang sangat

    menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.

    Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial

    adalah faktor sosial dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan dalam

    pembelajaran sosial. Faktor kognitif berupa ekspektasi atau penerimaan siswa

    untuk meraih keberhasilan, faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap

    model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Bandura mengembangkan model

    desterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku,

    person atau kognitif dan lingkungan. Ketiga faktor ini dapat saling berinteraksi

    dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku

    memengaruhi lingkungan, dan faktor person atau kognitif memengaruhi

    perilaku, Sears (1999).

    Dalam hal ini empati dapat berperan sebagai faktor kognitif dalam

    pembelajaran sosial. Di mana salah satu komponen empati adalah ketrampilan

    kognitif, ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan

    pandangan orang lain. Sedangkan pola asuh demokratis dapat berperan sebagai

    faktor lingkungan, dan prososial berperan sebagai perilakunya. Menurut

    Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai

    model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan bahwa perilaku

    manusia dalam konteks interaksi akan terjadi proses timbal balik yang

    berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan lingkungan. Kondisi

    lingkungan sangat berpengaruh pada pola belajar sosial karena sebagian besar

  • 20

    manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku

    orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan

    pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam

    pembelajaran.

    Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil

    interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Dapat disimpulkan juga

    bahwa perilaku prososial adalah hasil interaksi faktor kognitif (empati) dan

    lingkungan (pola asuh demoktratis).

    2.1.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKU

    PROSOSIAL

    Menurut Eissenberg dan Mussen (1989), ada tujuh faktor utama yang

    mempengaruhi perilaku prososial anak:

    a. Faktor Biologis

    Faktor biologis memegang peranan penting dalam kapasitas untuk

    berperilaku prososial. Ada dasar genetik yang menyebabkan timbulnya

    perbedaan individual dalam intensi prososial. Faktor genetik mengendalikan

    respon prososial beberapa spesies hewan dan hal ini digeneralisasi pada

    manusia.

    b. Budaya masyarakat setempat

    Perilaku, motivasi, orientasi dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu

    juga diarahkan oleh budaya tempat individu tersebut tinggal. Semua aspek

    perilaku dan fungsi psikologis yang diperoleh paling tidak juga dipengaruhi

    oleh aspek budaya. Keanggotaan dalam suatu kelompok budaya hanya bisa

    digunakan untuk memperkirakan kecenderungan hati individu untuk bertindak

    secara prososial dalam berbagai aspek budaya.

  • 21

    c. Pengalaman sosialisasi

    Pengalaman sosialisasi yang dimaksud adalah banyaknya interaksi anak

    dengan agen-agen sosialisasi seperti orang tua yang merupakan agen sosialisasi

    utama, teman sebaya, guru dan media massa. Pengalaman sosialisasi ini penting

    dalam membentuk kecenderungan prososial anak. Sebagian besar perilaku

    prososial anak dipelajari individu dari orang tua pada masa kanak-kanak.

    d. Proses kognitif

    Perilaku prososial melibatkan beberapa proses kognitif yang

    fundamental, yaitu:

    1) Intelegensi.

    Menurut teori perkembangan kognitif, setiap individu

    mempersepsi lingkungan sesuai dengan jalan pikirannya. Individu juga

    mempersepsi dan mengorganisasikan stimulus serta berperilaku sesuai

    dengan tingkat intelegensinya. Moral reasoning dan moral judgement

    merupakan manifestasi dari intelegensi yang selalu berubah dan

    berkembang sesuai dengan fungsi kognitif.

    2) Persepsi terhadap kebutuhan orang lain.

    Anak yang berada pada masa kanak-kanak awal kurang dapat

    memperkirakan kebutuhan orang lain secara tepat dan mengalami

    kesulitan untuk membedakan antara kebutuhan dirinya sendiri dengan

    kebutuhan orang lain. Penelitian Pearl (dalam Eissenberg & Mussen,

    1989) menyatakan bahwa seorang anak baru bisa memahami kebutuhan

    orang lain ketika berada pada tingkat tiga sekolah dasar. Kemampuan

    untuk mengenali permasalahan yang dialami oleh orang lain akan

    meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kemampuan ini nantinya

    akan meningkatkan respon prososial anak.

  • 22

    3) Alih peran (role taking).

    Role taking adalah kemampuan untuk memahami dan menarik

    kesimpulan dari perasaan, reaksi emosi, pemikiran, pandangan ,

    motivasi dan keinginan orang lain. Piaget (dalam Eissenberg & Mussen,

    1989) mengemukakan bahwa pada masa kanak-kanak awal, anak tidak

    mempunyai kematangan kognitif yang cukup memadai untuk bisa

    menerima sudut pandang orang lain. Anak-anak yang belum sampai

    pada periode operasional konkrit (usia kurang dari tujuh tahun) hanya

    bisa memperhatikan satu dimensi dari suatu situasi pada suatu waktu dan

    tidak bisa mempertimbagkan beberapa aspek masalah atau bermacam-

    macam perspektif secara serentak. Saat mulai memasuki masa

    operasional konkrit (7-12 tahun) anak mulai dapat memperhatikan

    beberapa aspek masalah pada satu waktu dan dapat menimbang

    hubungan timbal balik serta menerima sudut pandang orang lain.

    Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Favell, Botkin, Wright

    dan Javus, Kurde, Selman, Shantz (dalam Eissenberg & Mussen, 1989)

    mendukung pendapat Piaget dan menyatakan bahwa kemampuan alih

    peran akan meningkat pada masa kanak-kanak. Menurut Eissenberg dan

    Mussen (1989), kemampuan alih peran sebagai perantara perilaku

    prososial secara sistematik telah teruji. Kemampuan alih peran bisa

    memfasilitasi perilaku prososial yang dimotivasi oleh kepedulian

    terhadap orang lain.

    4) Keterampilan memecahkan masalah interpersonal.

    Keterampilan memecahkan masalah interpersonal meliputi

    adanya sensitivitas terhadap permasalahan interpersonal, kemampuan

    untuk menentukan beragam solusi dan langkah-langkah yang diperlukan

  • 23

    untuk merealisasikan solusi tersebut dan kemampuan

    mempertimbangkan konsekuensi sosial suatu perilaku bagi orang lain

    sebagaimana konsekuensi bagi dirinya sendiri.

    5) Atribusi terhadap orang lain.

    Atribusi yang dimaksud adalah penilaian terhadap motivasi dan

    penyebab suatu perilaku yang dilakukan oleh orang lain. Penyebab suatu

    permasalahan bisa berkaitan dengan faktor yang bisa dikontrol oleh

    seseorang misalnya faktor ketidakmampuan fisik karena kelainan

    genetik. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) anak usia sekolah lebih

    cenderung membantu orang lain yang mengalami masalah akibat faktor

    yang tidak bisa dikontrol.

    6) Penalaran moral.

    Tahap penalaran moral merupakan faktor signifikan yang

    mempengaruhi kecenderungan hati seseorang untuk bertindak secara

    prososial. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) korelasi antara tahap

    penalaran moral dengan perilaku moral tidak begitu tinggi karena

    perilaku prososial dipengaruhioleh banyak faktor seperti reaksi emosi,

    kompetensi, kebutuhan dan keinginan seseorang pada suatu waktu.

    e. Respon emosional

    Respon emosional adalah adanya perasaan bersalah, kepedulian terhadap

    orang lain. Respon emosi ini akan muncul baik ketika ada ataupun tidak ada

    orang lain.

    f. Faktor karakteristik individu

    Faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan intensi prososial

    adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan yang tercermin melalui usia serta

  • 24

    tipe kepribadian. Karakter tertentu pada diri individu yang merupakan kondisi

    tetap dan hasil belajar juga berpengaruh pada perilaku prososial.

    g. Faktor situasional

    Tekanan-tekanan eksternal, peristiwa sosial juga mempengaruhi respon

    prososial seseorang. Faktor situasional terdiri dari dua subkategori yaitu

    peristiwa yang baru saja terjadi pada diri secara kebetulan dan mempunyai efek

    panjang serta mempengaruhi seluruh sisi kehidupan seseorang. Subkategori

    yang kedua adalah sesuatu yang berhubungan dengan konteks sosial yaitu

    situasi atau keadaan yang menghambat individu, misalnya situasi emosi pada

    suatu waktu dan karakteristik personal.

    Menurut Staub (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang

    melakukan prososial:

    a. Pemerolehan diri (Self Gain).

    Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan

    sesuatu, misalnya : ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

    b. Norma-norma (Personal value and norms).

    Adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial pada individu selama

    mengalami sosialisasi dan sebagian nilai serta norma tersebut berkaitan dengan

    tindakan prososial, seperti menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya

    norma timbal balik.

    c. Empati (Empathy)

    Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman

    orang lain, jadi kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan

    peran. Terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Agnes Permatasari (2008)

    dalam jurnalnya yang berjudul hubungan antara empati dengan kecenderungan

  • 25

    perilaku prososial pada perawat di RSU Kardinah Tegal, menunjukkan

    hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel empati dengan variabel

    kecenderungan perilaku prososial pada perawat dengan koefisien korelasi (r)

    sebesar 0,790 peluang kesalahan (p) sebesar 0,000 (p< 0,01). Hal senada juga

    diungkapkan oleh Agustin Pujiyanti (2000) mengenai kontribusi empati

    terhadap perilaku prososial pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi dan

    hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p <

    0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan

    demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan

    terhadap perilaku prososial pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi

    terhadap prososial sebesar 50,4 %.

    Menurut Piliavin (dalam Hudaniah dan Dayakisni, 2006) ada beberapa

    faktor situasional dan faktor dari dalam diri yang menentukan tindakan

    prososial, yaitu :

    a. Faktor situasional

    i. Bystander

    Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian

    mempunyai pengaruh sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat

    memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan

    darurat. Staub (1978) dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang

    berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial

    dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain

    akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma social yang

    dimotivasi oleh harapan untuk mendapat pujian.

  • 26

    ii. Daya tarik

    Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki

    daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan

    bantuan. Apapun factor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander

    kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons untuk

    menolong, (Clark, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006).

    Seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal

    mirip dengan dirinya (Krebs, dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).

    Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena adanya pertalian keduanya,

    kesamaan latar belakang atau ras (Staub, 1979. Bringham. 1991; dalam

    Hudaniah dan Dayakisni, 2006).

    iii. Atribusi terhadap korban

    Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain

    bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar

    kendali korban (atribusi internal) (Weiner, 1980). Oleh karena itu, seseorang

    akan lebih bersedia member bantuan kepada pengemis yang cacat dan tua

    dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda.

    iv. Ada model

    Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat

    mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.

    Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial

    adalah faktor social dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan

    dalam pembelajaran sosial. Faktor sosial mencakup pengamatan siswa

    terhadap model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Penelitian yang juga

    dilakukan oleh Grusec (dalam Mahmud, 2003) menunjukkan bahwa ada

    bukti kuat jika model memperlihatkan perilaku menolong, berbagi atau

  • 27

    menunjukkan perhatian kepada orang lain, maka anak akan melakukan hal

    yang sama, karena ada proses identifikasi mandiri (dominasi sosial,

    nonkonformitas dan bertujuan) termasuk didalamnya penggunaan perilaku

    menolong yang dilakukan oleh orang tuanya.

    v. Desakan waktu

    Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong,

    sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya

    untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya (Sarwono,

    2005).

    vi. Sifat kebutuhan korban

    Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban

    benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang

    layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimacy of need), dan

    bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari

    orang lain (atribusi ekternal) (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).

    b. Faktor dari dalam diri.

    i. Suasana hati (mood).

    Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk

    menolong (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Emosi positif secara umum

    meningkatkan tingkah laku menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang

    sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil.

    ii. Sifat

    Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara

    karakteristik seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong seperti

    sifat pemaaf (forgiveness), pemantauan diri (self monitoring), adanya

  • 28

    kebutuhan akan persetujuan (need of approval), memiliki internal locus of

    control dan egosentris yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006).

    iii. Jenis Kelamin.

    Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong

    sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan.

    iv. Tempat tinggal

    Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong

    daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan.

    Menurut Vasta (dalam Weiner,1980) ada beberapa faktor penentu dalam

    perkembangan perilaku prososial anak, yaitu :

    a. Faktor kognitif dan afektif

    1) Penalaran moral

    Menurut Piaget dan Kohlberg, proses penalaran moral

    merupakan inti dari perkembangan moral. Oleh karena itu ada hubungan

    yang positif antara penalaran moral dengan perilaku prososial. Eisenberg

    (1989) menyatakan bahwa hubungan positif antara penalaran moral

    dengan perilaku prososial sedikit lemah.

    2) Pengambilan perspektif

    Pengambilan perspektif merupakan kemampuan seseorang untuk

    mengerti situasi dan sudut pandang orang lain. Pengambilan perspektif

    ini bisa secara fisik, sosial, maupun afektif.

    3) Empati

    Empati yaitu kemampuan untuk merasakan emosi, perasaan, dan

    kesulitan orang lain. Menurut Hoffman (Eisenberg & Mussen, 1989),

    pada masa kanak-kanak akhir, empati berkembang secara penuh dan

  • 29

    memungkinkan anak untuk menggeneralisasi respon empatik kepada

    semua kelompok orang.

    4) Atribusi

    Anak akan bersikap lebih simpatik dan prososial ketika mereka

    bisa menganggap bahwa permasalahan yang terjadi berada di luar

    kontrol atau tanggung jawab orang yang memerlukan bantuan.

    b. Faktor sosial dan keluarga

    Faktor sosial dan keluarga yang mempengaruhi perilaku prososial anak

    yaitu :

    1) Penguatan

    Pujian akan mendorong anak untuk menampilkan perilaku

    prososial apabila pujian itu ditujukan langsung pada diri anak yaitu

    bahwa anak tersebut adalah anak yang suka membantu dan baik hati

    daripada ditujukan pada cara anak memberikan bantuan. Penguatan yang

    memberikan peran yang amat penting meskipun tidak ada keterlibatan

    psikologis dalam proses memberikan bantuan.penguatan yang

    diberikana bisa berupa balasan kebaikan anak dengan sesuatu yang

    meyenangkan mereka.

    2) Modelling dan media

    Perilaku prososial anak sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka

    lihat dari tingkah laku orang lain. Penelitian Eron (dalam Vasta, 1995)

    menunjukkan bahwa anak-anak akan lebih mudah menunjukkan perilaku

    berbagi dan membantu setelah mereka mengamati model atau seseorang

    yang menunjukkan perilaku yang hampir sama. Kehadiran orang lain

    dengan perilaku prososial tertentu juga bisa menjadi model sosial bagi

    orang di sekitarnya. Model yang berkuasa, lebih berkompeten dan

  • 30

    mempunyai kedudukan penting akan lebih sering ditiru. Model yang

    ditiru bisa ditampilkan melalui berbagai media, misalnya televisi

    pendidikan anak yang menyiarkan tema-tema moral dan perilaku

    prososial dan buku bacaan. Model sosial di layar televisi juga dapat

    menciptakan norma sosial yang mendukung terbentuknya perilaku

    prososial para penontonnya.

    Berdasarkan uraian di atas, perilaku prososial tidak selamanya sama

    pada setiap individu. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang

    mempengaruhi perilaku prososial tersebut seperti pemerolehan diri, norma-

    norma, empati, bystander, daya tarik, atribudi terhadap korban, model pola asuh

    atau perilaku orang tua, desakan waktu, sifat kebutuhan korban, suasana hati,

    sifat, jenis kelamin, dan tempat tinggal.

    2.2. EMPATI

    2.2.1. PENGERTIAN EMPATI

    Empati (dari Bahasa Yunani εµπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik")

    didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi,

    dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan

    seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan

    mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain.

    Sejalan dengan pendapat ahli di atas Johnson, Check, dan Smither

    (1983), mengemukakan empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi

    atau keadaan orang lain. Seseorang yang empati digambarkan sebagai orang

    yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta

    bersifat humanistik. Selain itu Kartono (1987) mengatakan empati adalah

    pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara

    menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologi orang tersebut, tanpa

  • 31

    sungguh-sungguh mengalami yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan.

    Pendapat tersebut selaras dengan penjabaran Koestner, Franz & Weinberger

    (1990) yang mengartikan empati sebagai kemampuan menempatkan diri dalam

    pikiran dan perasaan orang lain, tanpa harus terlibat secara nyata di dalamnya.

    Higgins (1982) juga mengungkapkan pendapat senada yang menyatakan

    bahwa dengan empati seseorang dapat memahami pandangan orang lain,

    kebutuhan-kebutuhannya serta pemikiran dan tindakannya. Ditambahkan oleh

    Chaplin (2000) bahwa empati adalah realisasi dan pengertian terhadap perasaan,

    kebutuhan dan penderitaan pribadi orang lain.

    Menurut Walgito (2002), empati sebagai tanggapan afeksi seseorang

    terhadap suatu hal yang dialami orang lain seolah-olah mengalami sendiri hal

    tersebut dan diwujudkan dengan bentuk menolong, menghibur, berbagi dan

    bekerjasama dengan orang lain, sedangkan Djauzi dan Supartondo (2004)

    mengartikan empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan orang lain,

    yang secara garis besar empati ini dibagi dalam proses deteksi keadaan efektif

    dan respon yang sesuai.

    Di samping itu masih ada lagi pendapat (Eisenberg, 1994) yang

    menyebutkan bahwa empati merupakan respon emosional, berasal dari

    pemahaman terhadap keadaan keadaan emosi dan keadaan orang lain, dan

    sangat sesuai dengan pengalaman yang diterima oleh orang lain. Pada

    umumnya, para ahli menyetujui bahwa respon empatik melibatkan komponen

    kognitif dan afektif, namun mereka berbeda dalam penekanannya masing-

    masing. Pendapat Hoffman (dalam Elvin, 2001), peneliti perkembangan empati

    antara lain mengenai skema empati, penyusunan teori tentang peranan empati

    dalam proses internalisasi, dasar empati dalam filosofi Barat, berpendapat

  • 32

    bahwa empati merupakan respon afektif seseorang yang sangat sesuai dengan

    situasi orang lain yang diamati.

    Satu aspek terpenting dari empati adalah apa yang disebut sebagai

    pengambilan perspektif (perspective taking), yaitu sebuah kemampuan khas

    yang dimiliki individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang

    orang lain. Perspective taking memungkinkan seseorang mampu mengantisipasi

    perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dari sana dapat terbangun

    hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan.

    Empati dengan simpati adalah dua hal yang bisa dikatakan “serupa tapi

    tak sama”. Simpati dipandang sebagai kesadaran yang tinggi terhadap

    penderitaan orang lain, dan biasanya orang ingin meringankannya. Simpati

    merupakan kecenderungan terlibat atau menempatkan diri pada posisi orang lain

    secara emosional dan terdorong untuk mengurangi penderitaan, kekecewaan

    atau kemarahan orang lain secara nyata.

    Kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan inilah yang

    membedakan simpati dengan empati. Simpati dianggap berpangkal dari empati

    karena simpati merupakan konsekuensi adanya empati. Sedangkan empati tidak

    hanya menempatkan diri pada posisi orang lain, tetapi lebih jauh dan dalam diri

    kita masuk kekejadian atau peristiwa yang menimpa orang lain secara nalar.

    Kita ikut merasakan sekaligus memikirkan kejadian itu sebagaimana dirasakan

    dan dipikirkan orang lain.

    Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa empati

    merupakan kecenderungan seseorang untuk memahami pikiran-pikiran,

    perasaan-perasaan, kondisi, keadaan orang lain tanpa harus terlibat secara nyata

    di dalamnya.

  • 33

    2.2.2. ASPEK-ASPEK EMPATI

    Davis (1983) menjabarkan komponen kognitif dari empati terdiri dari

    aspek perspective taking and fantasy, sedangkan komponen afektifnya terdiri

    dari aspek empatic concern dan personal distress. Penjabaran tersebut menjadi

    dasar pada penelitian ini.

    a. Pengambilan Perspektif (perspective taking).

    Kecenderungan seseorang untuk mengambil alih sudut pandang orang

    lain secara spontan. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu

    memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain. Pentingnya

    kemampuan pengambilan perspektif untuk perilaku non-egosentrik, yaitu

    perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri tetapi pada kepentingan

    orang lain. Pengambilan perspektif yang tinggi berhubungan dengan baiknya

    fungsi sosial seseorang. Kemampuan ini, seiring dengan antisipasi seseorang

    terhadap perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dapat dibangun

    hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan. Pengambilan

    perspektif juga berhubungan secara positif dengan reaksi emosional dan

    perilaku menolong pada orang dewasa.

    b. Imajinasi (Fantasy)

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imajinasi adalah daya pikir

    untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan,

    karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.

    Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan

    yang dialami orang lain. Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke

    dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada

    buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam drama. Fantasi berdasarkan

  • 34

    penelitian Stotland, dkk (Davis1983) berpengaruh pada reaksi emosi terhadap

    orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.

    c. Perhatian Empatik (Empatic concern).

    Menyatakan bahwa perhatian empatik meliputi perasaan simpatik, belas

    kasihan dan peduli (lebih terfokus pada orang lain). Orientasi seseorang

    terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan. Aspek ini berpijak pada

    penelitian Coke (dalam Davis, 1983) yang berhubungan positif dengan reaksi

    emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Selanjutnya (Davis,

    1983) menyatakan bahwa perhatian empatik merupakan cermin dari perasaan

    kehangatan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian

    terhadap orang lain.

    d. Distress Pribadi (Personal Distress).

    Sears, Freedman, dan Peplau (1994) mendefinisikan personal Distress

    sebagai kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi

    kesulitan orang lain, dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

    Dalam skala pengukur distress pribadi, reaksi-reaksi yang dianggap

    mencerminkan hal ini adalah ketakutan, kegelisahan, cemas, khawatir kalau

    tidak menolong, terganggu, dan terkejut atau bingung dalam menghadapi orang

    lain yang kesulitan. Distress pribadi yang tinggi berhubungan dengan rendahnya

    fungsi sosial. Tingginya distress pribadi menunjukkan kurangnya kemampuan

    dalam sosialisasi.

    Rose (dalam Hogan, 1980) mengemukakan lima aspek yang merupakan

    karakterstik orang yang berempati tinggi (highly empathic concern) yaitu :

    a. Kemampuan dalam berperan imajinatif

    b. Sadar akan pengaruh seseorang terhadap orang lain.

  • 35

    c. Memiliki kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain.

    d. Memiliki pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain.

    e. Mempunyai rasa pengertian sosial.

    Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-

    aspek empati adalah pengambilan perspektif, imajinasi, perhatian empatik,

    distress pribadi. Aspek-aspek di atas inilah yang akan digunakan peneliti untuk

    membuat skala penelitian.

    2.2.3. MANFAAT EMPATI

    Ada beberapa manfaat yang dapat ditemukan dalam kehidupan pribadi

    dan sosial saat mempunyai kemampuan berempati, diantaranya adalah :

    2.2.3.1. Secara Umum

    1) Menghilangkan kesombongan.

    Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa

    yang terjadi pada diri orang lain akan dapat terjadi pula pada diri kita. Disaat

    membayangkan kondisi ini maka seseorang akan terhindar dari kesombongan

    atau tinggi hati karena apapun akan dapat terjadi pada diri kita jika Tuhan

    berkehendak. Orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung

    memiliki jiwa rendah hati dan memahami kehidupan ini dengan baik. Roda

    senantiasa berputar, itulah kehidupan.

    2) Menyesuaikan diri.

    Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri

    bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon (dalam Hadiyanti, 1992)

    menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan

    dalam sifat optimis, fleksibel, dan kematangan emosi.

  • 36

    3) Meningkatkan harga diri.

    Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (dalam Jones,

    1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dana

    menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi

    menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang (Kurtinez dan

    Gewirts, 1984).

    4) Meningkatkan pemahaman diri.

    Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan

    seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan

    perilakunya. Hal ini akan menyebabkan individu lebih sadar dan

    memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya.

    2.2.3.2. Secara Khusus bagi Prososial

    1) Menghilangkan sikap egois dan mudah memberikan pertolongan.

    Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat

    menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Dengan

    mengembangkan kemampuan empati, maka seseorang akan berusaha berbicara,

    berpikir, dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan

    mudah memberikan pertolongan kepada orang lain.

    2) Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri.

    Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha untuk melakukan evaluasi

    diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat

    diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian

    dari merefleksikan keadaan tersebut dalam diri sendiri sehingga mampu

    menolong orang lain dengan tulus ikhlas.

  • 37

    3) Mempercepat hubungan dengan orang lain.

    Lauster (1995) berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk

    berempati, maka salah paham, perdebatan, dan ketidaksepakatan antar individu

    dapat dihindari sehingga dimungkinkan terjadinya kerjasama sangat besar dan

    mudah.

    Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat

    empat secara umum adalah, menghilangkan kesombongan, meningkatkan harga

    diri, meningkatkan pemahaman diri dan menyesuaikan diri sedangkan secara

    khusus bagi prososial adalah menghilangkan sikap egois dan mudah

    memberikan pertolongan mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol

    diri, dan mempercepat hubungan dengan orang lain.

    2.3. REMAJA

    2.3.1. PENGERTIAN REMAJA

    Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang

    berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari

    bahasa inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas

    mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik (Hurlock,1999).

    Piaget (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia

    dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak

    lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada

    dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya adalah masalah hak, integrasi

    dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan

    dengan masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang

    mencolok, tranformasi yang khas dari cara berfikir remaja memungkinkan

    untuk mencapai integrasi dalam sebuah hubungan sosial orang dewasa.

  • 38

    Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai masa

    penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa

    dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial

    mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.

    Berdasarkan uraian di atas dapat diambil ke simpulan bahwa masa

    remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju dewasa.

    Pada masa remaja terdapat berbagai perubahan, diantaranya terjadi perubahan

    intelektual dan cara berfikir remaja, terjadinya perubahan fisik yang sangat

    cepat, terjadinya perubahan social, di mana remaja memulai berintegrasi dengan

    masyarakat luas serta pada masa remaja mulai meyakini kemampuannya,

    potensi serta cita-cita diri. Selanjutnya pada masa remaja terdapat tugas-tugas

    perkembangan yang sebaiknya dipenuhi sehingga pada akhirnya remaja bisa

    dengan menetapkan langkah ke tahapan perkembangan selanjutnya.

    2.3.2. BATASAN USIA REMAJA

    Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli.

    Diantaranya adalah Monks, dkk (1999) yaitu masa remaja awal, masa remaja

    pertengahan, dan masa remaja akhir. Batasan remaja yang diungkapkan oleh

    Monks, dkk (1999) tidak jauh berbeda dengan pendapat Kartono (1999) yang

    membagi masa remaja menjadi masa pra pubertas, masa pubertas dan masa

    adolesensi. Monks, dkk (1999) membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga

    tahap, yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18) dan remaja

    akhir (18-21 tahun).

    Menurut Hurlock (1999) remaja adalah mereka yang berada pada usia

    12-18 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada

  • 39

    pada rentang 12-23 tahun. Sedangkan menurut Thornburgh (dalam Elvin, 2001)

    membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:

    a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun.

    Pada masa ini terjadi masa peralihan antara tahapan presosialization

    (tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong

    apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tetapi menolong

    itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), Sears (1999).

    b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun.

    Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-

    kanakan, namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran

    akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan

    nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan

    etis. Selain itu pada remaja pertengahan akan memasuki tahapan awarness

    (tahapan dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat

    tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi menjadi lebih

    sensitif terhadap norma sosial dan belajar bertingkah laku prososial) Sears

    (1999).

    c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

    Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Remaja

    sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digarikannya

    sendiri, dengan itikad baik dan keberanian. Remaja mulai memahami arah

    kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai

    pendirian tertentu berdasarkan pola yang jelas yang baru ditemukannya

    (Kartono, 1990). Selain itu remaja akhir ini mulai memasuki tahap

    internalization (tahap ini perilaku menolong dapat memberikan kepuasan secara

    intrinsik dan membuat orang merasa nyaman), Sears (1999).

  • 40

    Dari batasan-batasan remaja yang dikemukakan oleh para tokoh di atas,

    peneliti menggunakan batasan remaja Thronburgh 11-19 tahun dengan

    pertimbangan pada usia remaja sudah mulai memasuki tahapan dimana anak

    belajar menolong untuk remaja awal, belajar bertingkah laku prososial dan

    sensitif terhadap norma sosial untuk remaja pertengahan, dan untuk remaja

    akhir belajar berperilaku menolong yang akan memberikan kepuasan secara

    intrinsik dan membuat orang merasa nyaman.

    2.3.3. TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA

    Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya

    dipenuhi. Menurut Hurlock (1999), adapun tugas perkembangan remaja itu

    adalah :

    a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya sejenis

    atau lawan jenis. Remaja belajar untuk bergaul dengan baik, dalam hal ini

    remaja juga berusaha untuk dapat menarik perhatian lawan jenis.

    b. Mencapai peran sosial pria dan wanita. Remaja belajar untuk memerankan

    peran seks yang diakui sesuai dengan adanya tuntutan dari lingkungan.

    c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

    Remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan fisik

    yang terjadi padanya dan diharapkan sudah tidak lagi mengalami

    kecanggungan.

    d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

    perilaku sosial remaja diharapkan dapat sesuai dengan tuntutan sosial yang

    ada dilingkungannya.

    e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya.

    Remaja diharapkan dapat membawa diri diamanapun dia berada dan tidak

  • 41

    bergantung pada orang lain. Ada suatu tuntutan bahwa remaja harus mampu

    mandiri, bukan dalam hal ekonomi tetapi dalam kehidupan sosial.

    f. Mempersiapkan karir ekonomi. Remaja diharapkan mulai menata masa

    depannya sebagai masa persiapan bekerja.

    g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. Remaja mulai membangun

    hubungan dengan lawan jenis namun bukan semata-mata bersenang-senang

    tetapi untuk mencari pasangan hidup.

    Berdasarkan pemaparan di atas, tugas perkembangan remaja yang

    berhubungan dengan perilaku prososial adalah mengharapkan dan mencapai

    perilaku sosial yang bertanggung jawab perilaku sosial remaja diharapkan dapat

    sesuai dengan tuntutan sosial yang ada dilingkungannya.

    2.4. POLA ASUH ORANG TUA

    2.4.1. PENGERTIAN POLA ASUH

    Orang tua dan keluarga merupakan faktor yang paling signifikan pada

    perkembangan kepribadian selama masa kanak-kanak akhir. Hubungan orang

    tua-anak, situasi keluarga dan interaksi antar saudara kandung memainkan peran

    yang penting dalam membentuk kepribadian mereka. Hubungan orang tua-anak

    sangat penting dalam menentukan perkembangan kepribadian dan sosial,

    sehingga perlu diberikan perhatian khusus.

    Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat

    berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan

    kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut

    berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktornya adalah

    praktik pengasuhan anak. Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek

    dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi

  • 42

    orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg,

    1993).

    Penelitian kontemporer pada gaya pola asuh berasal dari penelitian

    terkenal Baumrind (1991) dalam anak dan keluarganya menunjukkan bahwa

    gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada

    studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari

    praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek

    tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari

    konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan

    kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang

    anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh

    dipandang sebagai karakteristik orang tua yang membedakan keefektifan dari

    praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling

    & Steinberg, 1993).

    Dengan demikian kebiasaan cara atau gaya orang tua ketika mereka

    berinteraksi dengan anak-anaknya merupakan dimensi pola asuh yang penting.

    Perkembangan mentalitas anak memiliki proses pencarian yang panjang bagi

    orang tua untuk meningkatkan kemampuan perkembangan sosio-emosional

    (Bornstein, 2002)

    Menurut Diana Baumrind, pola asuh orang tua atau parenting style

    adalah suatu cara bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anak. Pola asuh

    ini tentunya juga berkaitan erat dengan bagaimana kepribadian anak akan

    terbentuk. Pola asuh perilaku orang tua terhadap anaknya terdiri atas dua aspek

    penting, yaitu parental responsiveness (derajat seberapa besar respon orang tua

    terhadap kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku mendukung) dan parental

  • 43

    demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap perilaku bertanggung

    jawab anak).

    Faktor lingkungan sosial yang memiliki sumbangan terhadap

    perkembangan sosial anak ialah keluarga, khususnya orang tua terutama pada

    masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang

    tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu

    ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-

    bentuk perilaku sosial tertentu pada anaknya.

    Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh

    adalah merupakan suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat,

    mendidik dan membimbing anak kecil.

    Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

    pola asuh adalah segala sesuatu yang dilakukan orang tua (pengasuh) terhadap

    anak (yang diasuh) yang meliputi kegiatan seperti memelihara, melindungi dan

    mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan anak tersebut serta

    cara orang tua mengkomunikasikan sikap dan kepercayaan kepada anak-

    anaknya.

    2.4.2. PENGERTIAN POLA ASUH DEMOKRATIS

    Menurut Utami Munandar (1982), pola asuh demokratis adalah cara

    mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi

    dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh demokratis

    adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan

    anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh

    pengertian antara orang tua dan anak (Gunarsa, 1995). Dengan kata lain, pola

    asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan

  • 44

    pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-

    batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.

    Dalam pola asuh ini dipandang bahwa kebebasan pribadi untuk

    memenuhi keinginan dan kebutuhannya baru bisa tercapai dengan sempurna

    apabila anak mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan

    diri dengan lingkungan baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini anak diberi

    kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan mengendalikan diri serta

    menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan. Oleh karena

    itu sebelum anak mampu mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri, maka

    dalam dirinya perlu ditumbuhkan perangkat aturan sebagai alat kontrol yang

    dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku

    di lingkungannya.

    Pengontrolan dalam hal ini, walaupun dalam bentuk apapun hendaknya

    selalu ditujukan supaya anak memiliki sikap bertanggung jawab terhadap

    dirinya sendiri dan terhadap lingkungan masyarakat. Dengan demikian anak itu

    akan memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang bernilai

    bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dalam hal ini perlu disadari bahwa

    kontrol yang ketat harus diimbangi dengan dorongan kuat yang positif agar

    individu tidak hanya merasa tertekan tetapi juga dihargai sebagai pribadi yang

    bebas.

    Komunikasi antara orang tua dengan anak atau anak dengan orang tua

    dan aturan intern keluarga merupakan hasil dari kesepakatan yang telah

    disetujui dan dimengerti bersama. Untuk hal ini Baumrind (1991) menekankan

    bahwa dalam pengasuhan autoritatif mengandung beberapa prinsip : pertama,

    kebebasan dan pengendalian merupakan prinsip yang saling mengisi, dan bukan

    suatu pertentangan. Kedua, hubungan orang tua dengan anak memiliki fungsi

  • 45

    bagi orang tua dan anak. Ketiga, adanya kontrol yang diimbangi dengan

    pemberian dukungan dan semangat. Keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai

    yaitu kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung

    jawab terhadap lingkungan masyarakat.

    Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola

    asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menggunakan

    kebebasan dan pengendalian, dan ada kontrol yang diimbangi dengan

    pemberian dukungan oleh orang tua kepada anak.

    2.4.3. CIRI-CIRI POLA ASUH ASUH DEMOKRATIS.

    Pola asuh demokratis, memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh

    beberapa ahli di bawah ini:

    a. Stewart dan Koch (dalam Elaine, 1990) menyatakan ciri-cirinya adalah:

    1) Orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak.

    2) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak- anaknya

    terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.

    3) Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan

    menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-

    anaknya.

    4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasannya kepada anak,

    mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi

    hangat dan penuh pengertian.

  • 46

    b. Menurut Hurlock (1999) pola asuhan demokratis ditandai dengan ciri-ciri:

    1) Anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol

    internalnya.

    2) Anak diakui keberadaannya oleh orang tua.

    3) Anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

    c. Menurut Zahara Idris (dalam Shochib, 1998), dimensi pola asuh demokratis

    meliputi:

    1) Musyawarah dalam keluarga. Pola asuh demokratis selalu memberi

    kesempatan kepada keluarga dalam hal ini anak untuk membicarakan dan

    menyepakati peraturan keluarga, membicarakan kegiatan-kegiatan yang akan

    dilakukan bersama keluarga serta memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.

    2) Kebebasan yang terkendali. Orang tua yang menerapkan pola asuh

    demokratis dalam mendidik anak-anak akan selalu memberikan kebebasan

    dalam berpendapat, dalam menyampaikan keinginan anak, serta berusaha

    mendengarkan keluhan, penjelasan dengan segala pertimbangan yang bijaksana,

    3) Pengarahan dari orang tua. Memberi pengarahan adalah salah satu ciri

    pola asuh demokratis, karena dalam pengarahan akan termuat penjelasan-

    penjelasan mengenai nilai-nilai hidup, moral, norma yang baik dan penting

    dalam kehidupan ini.

    4) Bimbingan dan perhatian. Pola asuh demokratis memberikan

    perhatian mengenai kebutuhan anak dari hal kecil sampai besar, misalnya

    adalah kebutuhan pokok anak, kebutuhan sekolah, kebutuhan bermain, namun

    tidak lepas dari bimbingan yang mengarah ke pencapaian masa depan anak.

    5) Saling menghormati antar anggota keluarga. Dalam pengasuhan ini,

    ditekankan adanya sikap saling menghormati dan menghargai antar anggota

  • 47

    keluarga baik dalam bersikap, bertutur kata agar tercipta keharmonisan dalam

    keluarga.

    6) Komunikasi dua arah. Bentuk komunikasi dua arah antara orang tua

    dan anak sangat dihargai dan diterapkan dalam pola asuh ini, karena komunikasi

    yang baik adalah bila adanya pihak yang mendengarkan dan mengutarakan

    pendapat baik dalam mengkomunikasikan masalah, maupun keinginan.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi pola asuh

    yang nantinya juga digunakan dalam penyusunan angket adalah adanya

    musyawarah dalam keluarga, kebebasan yang terkendali, pengarahan dari orang

    tua, bimbingan dan perhatian, saling menghormati antar anggota keluarga, dan

    komunikasi dua arah.

    2.4.4. MANFAAT POLA ASUH DEMOKRATIS.

    2.4.4.1. Secara Umum

    1) Mengembangkan perasaan diterima.

    Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993) dan Nur

    Hidayah (1995) (dalam Mohammad Shocib (1998) adalah bahwa dalam pola

    asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang

    dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak

    remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh

    sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan

    mereka memahami, menerima dan menginternalisasi ”pesan” nilai moral yang

    diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.

    2) Mengembangkan emosional yang positif.

    Pendapat Fromm, seperti yang dikutip Abu Ahmadi (1991) bahwa anak

    yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratis,

  • 48

    perkembangannya emosionalnya lebih matang dan dapat menerima kekuasaan

    secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter,

    memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti.

    2.4.4.2. Secara Khusus bagi Perilaku Prososial

    1) Mengembangkan kemandirian dan keyakinan.

    Baumrid dan Black (dalam Kusjamilah, 2001), dari hasil penelitiannya

    menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang demokratis akan

    menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-

    tindakan prososial, mandiri serta mampu membuat keputusan sendiri yang akan

    berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.

    2) Mengembangkan kontrol diri.

    Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol

    terhadap perilaku sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat.

    Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan

    yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang

    tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif baik dalam tingkah

    laku menolong (Danny, 1991).

    3) Mengembangkan sikap terbuka dan jujur.

    Pola asuh demokratis ini ditandai dengan sikap terbuka dan jujur antara

    orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama.

    Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan

    keinginannya. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara

    orang tua dan anak. Rumah tangga yang hangat dan demokratis, juga berarti

    bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan

    kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembang sebagai individu dan bahwa

  • 49

    orang tua memberinya kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu

    yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua adalah mengembangkan individu yang

    berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor

    hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Elanie, 1990).

    Berdasarkan pemamparan di atas, dapat disimpulkan manfaat pola asuh

    demokratis secara umum adalah mengembangkan kemandirian dan keyakinan

    dan mengembangkan emosional yang positif; sedangkan manfaat secara khusus

    bagi prososial adalah mengembangkan kemandirian dan keyakinan,

    mengembangkan kontrol diri dan mengembangkan sikap terbuka.

    2.5. EMPATI DAN POLA ASUH DEMOKRATIS SEBAGAI

    PREDIKTOR PERILAKU PROSOSIAL.

    Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah perilaku yang

    memerluka proses pembelajaran dalam rentang kehidupan ini. Definisi prososial

    sendiri adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa

    harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan

    tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang

    menolong. Dalam teori pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Albert

    Bandura, ada dua faktor penting yang memengaruhi proses pembelajaran

    perilaku individu, pertama adalah faktor kognitif dan faktor lingkungan.

    Faktor kognitif dalam penelitian ini adalah empati yang juga merupakan

    salah satu faktor munculnya perilaku prososial. Empati adalah kemampuan

    seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, jadi

    kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran Staub (dalam

    Hudaniah & Dayakisni, 2006). Ini merupakan faktor kognitif dari munculnya

    tindakan prososial, karena dalam empati terdapat ketrampilan kognitif,

  • 50

    ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan

    pandangan orang lain. Dalam empati juga terdapat komponen afektif. Tujuan

    dari komponen afektif ini adalah menolong individu menguasai ketrampilan

    hidup (life skills). Ketrampilan-ketrampilan psikologis yang termasuk dalam life

    skills salah satunya mendengarkan dan memahami secara empatik (empatic

    understanding), tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga

    mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk

    meringankan penderitaan mereka. Kepedulian untuk menolong seseorang

    merupakan definisi penting dari prososial. Tingkah laku prososial (prosocial

    behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain

    tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang

    melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi

    orang yang menolong.

    Faktor lingkungan dalam proses pembelajaran sosial yang dalam hal ini

    adalah perilaku prososial ini yaitu lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga

    ini lebih terfokus pada gaya pola asuh orang tua yang diterapkan untuk

    mendidik anak-anaknya. Gaya pola asuh orang tua ini termasuk juga model

    perilaku dari orang tua dalam memberikan asuhan bagi anak-anaknya. Menurut

    Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai

    model merupakan tindakan belajar.

    Model prososial yang lebih berpengaruh dari yang disediakan oleh

    media, adalah model yang disediakan oleh orang tua. Coles (1997) menyatakan

    bahwa kuncinya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi “baik” dan

    untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri. Anak-anak belajar

    dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua mereka

    dalam kehidupan sehari-hari.

  • 51

    Coles yakin bahwa masa sekolah dasar adalah masa yang penting di

    mana anak dapat mengembangkan atau gagal mengembangkan suatu kesadaran.

    Tanpa model dan pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah

    bertumbuh menjadi remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang

    dewasa yang sama tidak menyenangkannya. Rasa empati anak ditingkatkan

    ketika ketika orang tua dapat mendiskusikan emosi-emosi, tetapi penghambat

    utama perkembangan empati adalah penggunaan rasa marah oleh orang tua

    sebagai cara utama untuk mengontrol anak-anaknya.

    2.6. MODEL PENELITIAN

    Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model penelitian

    yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    Model Penelitian

    Keterangan:

    X1: Empati

    X2: Pola Asuh Demokratis

    Y : Perilaku Prososial

    X1

    X2 X2

    Y

  • 52

    2.7. HIPOTESIS

    Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis yang diajukan

    dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Empati dan pola asuh demokratis

    sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja PPA Solo.