bab ii landasan teori 2.1 psychological...

30
9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being Penelitian tentang psychological well-being menurut Diener & Jahoda (dalam Ryff, 1989) mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan dan penderitaan daripada bagaimana individu dapat berfungsi secara positif (positive psychological function). Ryff (1989) juga menuliskan bahwa selama hampir 20 tahun terakhir, studi tentang psychological well-being berkisar diantara dua konsep utama dari positive psychological functioning. Formulasi pertama dari Bradburn (1969) yaitu perbedaan antara afek positif dan afek negatif yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseimbangan diantara keduanya. Formulasi yang kedua, menekankan kepuasan hidup ( life satisfaction) sebagai kunci utama dari well-being. Formulasi yang kedua ini juga berkaitan dengan seberapa baik seseorang mampu untuk berfungsi secara positif dalam hidupnya (Andrews & McKennell; Andrews & Withey; Bryant & Veroff, Campbell, Converse & Rodgers, dalam Ryff & Keyes 1995). Formulasi pertama dari Bradburn (1969) disebut dengan subjective well-being atau hedonic well-being. Sedangkan formulasi kedua dari Ryff (1989) disebut dengan psychological well-being atau eudaimonic well-being (Ryan & Deci 2001).

Upload: phungnga

Post on 29-Jul-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

9

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Psychological Well-being

2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being

Penelitian tentang psychological well-being menurut Diener & Jahoda (dalam

Ryff, 1989) mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi

lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan dan penderitaan daripada bagaimana

individu dapat berfungsi secara positif (positive psychological function). Ryff (1989)

juga menuliskan bahwa selama hampir 20 tahun terakhir, studi tentang psychological

well-being berkisar diantara dua konsep utama dari positive psychological

functioning.

Formulasi pertama dari Bradburn (1969) yaitu perbedaan antara afek positif

dan afek negatif yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseimbangan diantara

keduanya. Formulasi yang kedua, menekankan kepuasan hidup (life satisfaction)

sebagai kunci utama dari well-being. Formulasi yang kedua ini juga berkaitan dengan

seberapa baik seseorang mampu untuk berfungsi secara positif dalam hidupnya

(Andrews & McKennell; Andrews & Withey; Bryant & Veroff, Campbell, Converse

& Rodgers, dalam Ryff & Keyes 1995). Formulasi pertama dari Bradburn (1969)

disebut dengan subjective well-being atau hedonic well-being. Sedangkan formulasi

kedua dari Ryff (1989) disebut dengan psychological well-being atau eudaimonic

well-being (Ryan & Deci 2001).

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

10

Pengertian psychological well-being sendiri menurut Ryff (1989) merupakan

realisasi dari pencapaian penuh dari potensi individu yang individu dapat menerima

segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang

positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti mampu

memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup,

serta terus mengembangkan pribadinya. Keyes, Shotkin & Ryff (2002) kemudian

juga menambahkan bahwa psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan

keseimbangan antara efek positif dan negatif, namun psychological well-being

melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup.

Psychological well-being Ryff pada awalnya merupakan integrasi beberapa

teori psikologi klinis dan psikologi perkembangan yang merujuk pada pendefinisian

positive psychological function, diantaranya adalah self actualization menurut

Maslow (1968), formulation of maturity menurut Alport (1961), account of

individuations menurut C.G. Jung (1933), fully functioning person menurut C. Roger

(1961). Selain itu juga merujuk pada teori perkembangan psikososial menurut

Erikson (1959) dan menurut Buhler (1935) serta teori perubahan kepribadian menurut

Neugarten (1973) dalam (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995). Menurut Ryff (1989)

konsep-konsep mengenai positive psychological function dapat diintegrasikan

menjadi sebuah model psychological well-being yang multidimensional dan

memiliki enam dimensi atau aspek psikologis. Masing-masing aspek menjelaskan

tantangan berbeda-beda yang akan dihadapi oleh individu dalam usahanya berfungsi

secara penuh dan positif (Ryff 1989, Ryf & Keyes 1995, Keyes, Shmotkin & Ryff).

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

11

Dalam perkembangan teori psychological well-being Ryff & Singer (2008) juga

menyebutkan bahwa dalam pengoperasionalan setiap aspek psychological well-being

memerlukan kajian-kajian empirik lain. Salah satu contohnya adalah Ryff & Singer

(2008) memasukkan kajian dari Frankl tentang will to meaning guna lebih

mengoperasionalkan aspek tujuan hidup dalam teori psychological well-being.

Pengertian psychological well-being yang digunakan adalah pengertian dari

Ryff (1989) yang menyimpulkan psychological well-being merupakan keadaan

individu yang dapat menyadari dirinya serta memfungsikan seluruh fungsi dirinya

yang ditandai dengan 6 aspek yaitu individu memiliki penerimaan diri (self

acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others),

otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery),

tujuan hidup (purpose of life), serta perkembangan pribadi (personal growth).

2.1.2 Aspek-aspek Psychological Well-Being

Menurut Ryff psychological well-being terdiri dari enam aspek yaitu

penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive

relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta perkembangan pribadi

(personal growth). (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995, Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002,

Ryff & Singer 2008). Dalam pengoperasionalan setiap aspek psychological well-

being memerlukan kajian-kajian empirik lain Ryff & Singer (2008), keadaan ini

membuat pengkajian setiap dimensi psychological well-being dapat terus

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

12

berkembang. Ryff & Singer (2008) mendeskripsikan aspek-aspek psychological well-

being seperti gambar di bawah ini :

Gambar 2.1 Aspek Psychological Well-Being

Penjelasan setiap aspek psychological well-being sebagai berikut :

2.1.2.1 Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Aspek ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan

juga merupakan karakteristik utama dari individu yang mencapai aktualisasi diri,

berfungsi secara optimal dan dewasa (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).

Ryff & Singer (2008) menjelaskan dimensi ini dengan beberapa perspektif

para pakar psikologi.

Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki

harga diri yang positif, hal tersebut didefinisikan sebagai fitur utama dari

kesehatan mental (Jahoda) serta karakteristik aktualisasi diri (Maslow),

fungsi yang optimal (Rogers), dan kematangan (Alport). Teori tentang

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

13

rentang kehidupan juga menekankan pentingnya penerimaan diri,

termasuk yang menjadi masa lalu kehidupan (Erikson, Neugarten).

Tujuan konsep individuasi (Jung) semakin menggarisbawahi perlunya

berdamai dengan sisi gelap dari diri sendiri (the shadow). Selanjutnya,

kedua formulasi dari Erikson tentang integritas ego dan individuasi Jung

menekankan semacam penerimaan diri yang lebih kaya dari standar harga

diri yang diperlihatkan. Ini semacam evaluasi diri jangka panjang dan

melibatkan kesadaran dan penerimaan, baik kekuatan dan kelemahan

pribadi.

Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan dapat memiliki sifat

positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk

sifat baik dan buruk, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan masa lalu.

Sedangkan orang yang memiliki penerimaan diri rendah akan merasa tidak puas

dengan dirinya sendiri, kecewa dengan apa yang telah terjadi pada masa lalu, merasa

terganggu dengan kualitas pribadi, serta mempunyai keinginan yang berbeda dari

keadaan dirinya. (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).

2.1.2.2 Hubungan Positif dengan Orang lain (Positif Relations with Others)

Dimensi hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan

untuk mencintai dilihat juga sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental.

Hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari

kedewasaan (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).

Selanjutnya Ryff & Singer (2008) juga menjelaskan aspek hubungan positif

dengan orang lain sebagai berikut;

Dimensi hubungan positif dengan orang lain menggambarkan

ranah antar pribadi sebagai fitur utama dari kehidupan yang positif dan

kehidupan yang baik. Etika Aristotales mencontohkan tentang bagian

panjang persahabatan dan cinta. Otobiografi Mill menawarkan banyak

detail tentang cinta yang besar dalam hidup. Russel melihat kasih sayang

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

14

sebagai salah satu dari sumber kebahagiaan. Jahoda pada gilirannya

menyebutkan kemampuan untuk mencintai menjadi komponen utama dari

kesehatan mental, sedangkan Maslow menggambarkan aktualisasi diri

dengan memiliki perasaan yang kuat atau empati dan kasih sayang untuk

semua kehidupan baik manusia, kapasitas cinta yang besar, persahabatan

yang mendalam dan menutup identifikasi kepada orang lain. Hubungan

yang hangat juga diajukan sebagai kriteria kematangan (Allport). Teori

perkembangan kedewasaan (Erikson) menekankan pencapaian serikat

dengan orang lain (keintiman) serta bimbingan dan arah orang lain. Di

luar semua perspektif tersebut terdapat filosofi tentang “kriteria bagus”

dalam kehidupan yang baik (Becker 1992) yang menggarisbawahi

keutamaan cinta, empati dan kasih sayang. Dalam perspekstif budaya, ini

merupakan pengakuan universal sebagai fitur utama tentang bagaimana

untuk hidup.

Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan positif

dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan

saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang

lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman, serta memahami

konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sedangkan orang

yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki sedikit

hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tebuka dan perhatian

terhadap orang lain. (Ryff & Keyes 1995, Ryf & Singer 2008).

2.1.2.3 Otonomi (Autonomy)

Individu yang sudah mencapai aktualisasi diri dideskripsikan sebagai orang

yang menampilkan sikap otonomi (autonomy). Individu yang berfungsi secara

lengkap ini juga dideskripsikan memiliki internal locus of control dalam

mengevaluasi dirinya, maksudnya individu tersebut tidak meminta persetujuan dari

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

15

orang lain namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya

(Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).

Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai

aspek kemandirian sebagai berikut;

Banyak dari kerangka kerja konseptual mendasari model

multidimensional kesejahteraan yang menekankan kualitas penentuan

nasib sendiri, kemerdekaan dan pengaturan perilaku dari dalam diri.

Misalnya aktualisasi diri digambarkan sebagai fungsi yang otonom dan

"resistensi terhadap enkulturasi" (Maslow). Orang yang berfungsi

sepenuhnya (fully function person) dijelaskan oleh Rogers memiliki

internal locus evaluasi, di mana seseorang tidak melihat ke orang lain

untuk disetujui, namun mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi.

Individuasi juga digambarkan sebagai keterlibatan "pembebasan dari

konvensi" (Jung), yang tidak lagi menyerah dari keyakinan kolektif,

ketakutan, dan hukum dari massa. Ide eksistensial hidup dalam "iktikad

buruk" (Sartre 1956) menyampaikan pentingnya untuk mengubah hidup

dalam tiap tahun kemudian kehidupan, dan saling berhubungan dengan

mendapatkan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan

sehari-hari. Aspek kesejahteraan ini tidak diragukan lagi paling berbudaya

barat dari semua dimensi lainya.

Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik maka individu tersebut akan

mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan berperilaku dengan cara

tertentu, mampu mengatur perilaku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan

standar pribadi. Individu yang memiliki otonomi yang rendah akan terlalu

memikirkan tuntutan dan evaluasi orang lain, bergantung kepada orang lain untuk

mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap

tekanan sosial (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

16

2.1.2.4 Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan suatu

lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, dapat didefinisikan

sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Penguasaan lingkungan yang baik

dapat dilihat dari sejauh mana individu dapat mengambil keuntungan dari peluang-

peluang yang ada di lingkungan.

Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai

aspek penguasaan lingkungan sebagai berikut :

Jahoda mendefinisikan kemampuan individu untuk memilih atau

menciptakan lingkungan yang cocok sesuai kondisi fisik sebagai

karakteristik kunci dari kesehatan mental. Teori perkembangan hidup juga

menekankan pentingnya kemampuan memanipulasi dan mengontrol

lingkungan yang kompleks. Terutama di usia pertengahan, serta kapasitas

untuk bertindak dan mengubah dunia sekitarnya melalui kegiatan mental

dan fisik. Kriteria Allport tentang kematangan termasuk kapasitas untuk

"memperpanjang diri" oleh Wich maksudnya mampu berpartisipasi dalam

bidang signifikan atau berusaha yang melampaui diri. Bersama-sama,

perspektif ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam penguasaan

lingkungan adalah patisari penting dari suatu kerangka terpadu pada

fungsi psikologis yang positif. Meskipun daerah kesejahteraan ini

tampaknya memiliki kesejajaran dengan konstruksi psikologis lain,

seperti kontrol diri dan efikasi diri, penekanan pada menemukan atau

menciptakan konteks sekitarnya yang sesuai dengan kebutuhan pribadi

seseorang dan kapasitas unik untuk penguasaan lingkungan.

Individu yang memiliki penguasaan yang baik tehadap lingkungannya ditandai

dengan kemampuannya dalam memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang

sesuai dengan kebutuhan, nilai-nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal

sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga dapat

mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental.

Sedangkan individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

17

mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk

mengubah atau meningkatkan apa yang di luar dirinya serta tidak menyadari peluang

yang ada di lingkungan (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).

2.1.2.5 Tujuan Hidup (Purpose of Life)

Individu memiliki keyakinan bahwa hidup ini bermakna dan hidup ini menuju

ke sebuah target tertentu yang selalu berubah merupakan suatu karakteristik

kesehatan mental.

Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai

aspek tujuan hidup sebagai berikut :

Dimensi well-being ini berkembang dari perspektif eksistensial,

khususnya konsep pencarian makna (search for meaning) Frankl yang

berfokus dalam mengarahkan dan membantu manusia menemukan makna

dan tujuan hidup melalui penderitaan (suffering). Pembentukan makna

dan pengarahan hidup juga merupakan tantangan mendasar hidup otentik

menurut Sartre. Sementara pandangan ini cenderung menekankan

keinginan untuk bermakna dalam menghadapi apa yang mengerikan, atau

tidak masuk akal dalam hidup, tema tujuan juga terlihat dalam literatur

lain kurang terfokus pada kegelapan, penekanan Russell pada semangat,

misalnya, pada dasarnya adalah tentang aktif mengikutsertakan dan

memiliki sikap reflektif terhadap kehidupan. Definisi Jahoda tentang

kesehatan mental memberikan penekanan eksplisit untuk pentingnya

kepercayaan yang memberikan satu rasa tujuan dan makna hidup. Definisi

Allport yang akhir termasuk rasa pengarahan diri dan intensionalitas.

Akhirnya, teori perkembangan rentang hidup mengacu pada tujuan

mengubah atau tujuan yang mencirikan tahap kehidupan yang berbeda,

seperti menjadi kreatif atau produktif di usia setengah baya, dan menuju

ke arah integrasi emosional di kemudian hari.

Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik akan memiliki target dan cita-

cita dalam hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalu adalah

bermakna, individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan tertentu

yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sedangkan individu yang kurang

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

18

memiliki tujuan hidup akan kurang memaknai hidupnya, tidak memiliki tujuan dalam

hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan

cita-cita (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).

2.1.2.6 Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Individu dalam berfungsi secara optimal secara psikologis harus berkembang,

mengembangkan potensi-potensinya, untuk tumbuh dan maju. Pemanfaatkan secara

optimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang

penting dalam psychological well-being. Individu yang terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus berkembang bukan

hanya mencari suatu titik yang diam di mana semua masalah terselesaikan.

Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai

aspek pertumbuhan pribadi sebagai berikut;

Dari semua aspek kesejahteraan, pertumbuhan pribadi adalah yang

paling mendekati arti tentang eudaimonia Aristotales. Seperti yang secara

eksplisit berkaitan dengan realisasi diri individu. Bagian dari fungsi

positif sehingga dinamis, yang melibatkan suatu proses terus-menerus

untuk mengembangkan potensi seseorang. Aktualisasi diri, seperti yang

dirumuskan oleh Maslow, dan diuraikan oleh Norton, terpusat pada

realisasi potensi pribadi, seperti konsepsi positif Jahoda tentang kesehatan

mental. Rogers juga menggambarkan orang yang berfungsi penuh

memiliki keterbukaan terhadap pengalaman dan dia terus

mengembangkannya, daripada mencapai keadaan tetap di mana semua

masalah diselesaikan. Teori rentang kehidupan (Buhler, Erikson,

Neugarten, Jung) juga memberikan penekanan eksplisit pada

pertumbuhan lanjutan dan menghadapi tantangan baru pada periode yang

berbeda dari kehidupan.

Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki perasaan

yang terus berkembang, melihat diri sendiri sebagi sesuatu yang terus berkembang,

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

19

menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri

dan perilakunya dalam waktu-kewaktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam

perkembangan dirinya akan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang

stagnan, kurang meningkat dalam perilaku dari waktu-kewaktu, merasa bosan dengan

hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu (Ryff & Keyes

1995, Ryff & Singer 2008).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

2.1.3.1 Faktor Demografis

Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan

budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff dan Singer (1996) menemukan beberapa

faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological well-

being seseorang

a) Usia

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1996) menunjukkan

beberapa aspek dari psychological well-being seperti penguasaan lingkungan dan

otonomi menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia. Khususnya dari

dewasa awal (usia 18 tahun – 29 tahun) ke dewasa madya (usia 30 tahun – 64 tahun).

Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun

khususnya dari dewasa ke lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan

penerimaan diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bila ditinjau

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

20

berdasarkan usia. Karasawa dkk (2011) juga mendapatkan hasil penelitian bahwa usia

mempengaruhi perkembangan psychological well-being.

b) Jenis Kelamin

Penelititan Karasawa, Ryff dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan tingkat psychological well-being jika ditinjau dari jenis kelamin yang

dimiliki. Pada dimensi otonomi terlihat perbedaan yang signifikan antara laki-laki

dan perempuan. Laki-laki mempunyai otonomi yang lebih tinggi dibandingkan

perempuan pada masa usia 35 tahun - 54 tahun, kemudian wanita yang berbalik

mempunyai psychological well-being lebih tinggi pada usia 55 tahun - 74 tahun.

c) Status Sosial Ekonomi

Hasil penelitian longitudinal Wiscousin (dalam Ryff & Singer 1996)

menunjukkan bahwa psychological well-being lebih tinggi pada individu yang

memiliki pendidikan lebih tinggi, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan

perkembangan pribadi, baik pada wanita maupun pria. Selanjutnya individu yang

mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukan psychological well-

being yang lebih baik pula

d) Budaya

Penelitian yang dilaksanakan oleh Karasawa, Ryff dkk (2011) melihat

psychological well-being dalam dua prespektif kebudayaan yang berbeda yaitu

kebudayaan Jepang dan Amerika. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa

tingkat psychological well-being yang dimiliki masyarakat Jepang sangat berbeda

dengan yang dimiliki masyarakat Amerika dalam setiap aspek/dimensinya.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

21

2.1.3.2 Pemberian Arti Terhadap Hidup

Menurut Ryff (1989) pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi

kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological well-being.

Pengalaman tersebut mencakup berbagai hal dan berbagai periode kehidupan yang

dialami oleh individu. Pengalaman individu tersebut dapat berupa pengalaman

religius, pengalaman pernah mengalami pelecehan.

2.1.3.3 Kepribadian

Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being,

Schumutte & Ryff (1997) menemukan sifat neurotik, ektrovet dan conscientiousness

adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi psychological well-being

khususnya dimensi penerimaan diri,penguasaan lingkungan dan tujuan hidup.

2.2 Ethnic Identity

2.2.1 Pengertian Ethnic Identity

Ethnic identity atau ethnic identity didefinisikan dengan berbagai macam

cara dan banyak ahli. Jean Phinney (1996, 2003) yang sekarang menjadi ahli dan

mengembangkannya, mengakui ketidaksamaan definisi-definisi tentang ethnic

identity membuat generalisasi dan perbandingan lintas kajian menjadi sulit dan

mendua. Oleh sebab itu menurutnya definisi itu merupakan konsep psikologis, bahwa

ethnic identity adalah suatu konstruk dinamis, multidimensional yang merujuk kepada

identitas diri, atau ia merasa diri sebagai anggota dari satu kelompok etnik tertentu

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

22

(Phinney 1996, Phinney 2003). Menurut pandangannya seseorang mengklaim suatu

identitas dalam konteks satu sub-kelompok mempunyai kesamaan keturunan dan

memiliki bersama satu kebudayaan yang sama, ras, agama, bahasa, kekerabatan, atau

tempat asal-usul. Phinney juga menambahkan bahwa ethnic identity bukanlah satu

yang sudah pasti (fixed) melainkan cair (fluid) dan pemahaman dinamis tentang diri

dan latar belakang etnik. Identitas diri itu dikonstruksi dan dimodifikasi ketika

individu-individu meyadari etnisitas mereka, dengan setting sosiokultural yang luas

(Phinney, 2003).

Selanjutnya Phinney & Ong (2007) menjelaskan bahwa sebagian besar

penelitian tentang ethnic identity telah didasarkan pada studi identitas kelompok oleh

para psikolog sosial (misalnya, Tajfel & Turner, 1986). Dari perspektif ini, identitas

etnik merupakan aspek sosial identitas, yang didefinisikan oleh Tajfel (1981) sebagai

bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan yang didapatkannya

sebagai anggota kelompok sosial sekaligus dengan nilai dan makna emosional yang

melekat sebagai anggota. Definisi tersebut menunjukkan konstruksi yang

multidimensional (Phinney & Ong 2007).

Identitas etnik berasal dari rasa keberadaan umat dalam suatu kelompok,

budaya, dan pengaturan tertentu. Namun identitas etnik tidak hanya pengetahuan dan

pemahaman tentang afiliasi in group seseorang, bahkan wawasan dan pemahaman

tersebut adalah sebagai bagian dari itu. Pencapaian identitas etnik berasal dari

pengalaman, tapi pengalaman juga tidak cukup untuk memproduksinya. Karena

identitas etnik seseorang dibangun dari waktu ke waktu, tindakan dan pilihan individu

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

23

penting dalam proses pembentukannya (Phinney & Ong 2007). Kesimpulan tentang

identitas etnik yang selalu berkembang seiring berjalannya waktu ini juga

memberikan kontibusi dalam perkembangan ilmunya. Ada beberapa penelitian oleh

Phinney dan koleganya yang muncul hingga mempengaruhi konstruksi bangunan

teori ethnic identity dari waktu ke waktu. Menurut Phinney (1990), Phinney dan

Alipora (1990), Phinney (1996) ethnic identity adalah sebuah konstruksi kompleks

yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada

kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan

berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial

kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang

berhubungan dengan etnisitas. Jadi, ethnic identity akan membuat seseorang memiliki

harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Phinney & Ong (2007)

mendefinisikan identitas etnik adalah rasa diri sebagai anggota kelompok yang

berkembang dari waktu ke waktu melalui proses aktif penyidikan, belajar, dan

komitmen. Sedangkan dalam penelitian ini pengertian, konstruksi bangunan teori dan

alat ukur yang digunakan akan disesuaikan dengan bangunan teori ethnic identity

Phinney & Ong (2007) dengan aspek eksplorasi (penyidikan, belajar) dan komitmen

menjadi aspek utama dan menjadi komponen utama dalam konstruk multigroup

ethnic identity measure – revised (MEIM – R).

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

24

2.2.2 Komponen Ethnic Identity / Ethnic identity

Komponen ethnic identity Phinney (1989) telah mengalami banyak

perkembangan sejak dimunculkan pada tahun 1989. Beberapa penelitian mengenai

ethnic identity juga digunakan Phinney untuk memperbaharui konseptualisasi ethnic

identitynya. Dalam review terbaru dari ethnic identity, Ashmore dkk dalam Phinney

& Ong 2007) berusaha untuk mengidentifikasi komponen-komponen utama dari

identitas kelompok dan memberikan kerangka yang berguna untuk pemahaman

identitas etnik dalam arti luas. Review sebagian besar adalah pada gambaran teori

serta bukti empiris yang ada. Namun, sangat membantu sebagai dasar untuk

memeriksa aspek identitas etnik. Dalam hal ini bagian yang dipertimbangkan sebagai

komponen identitas etnik yang telah diidentifikasi oleh Ashmore dkk serta peneliti

lainnya. Secara khusus, akan dibahas kategorisasi diri, komitmen dan keterikatan,

eksplorasi, keterlibatan perilaku, sikap ingroup, nilai-nilai etnik dan keyakinan,

pentingnya atau arti-penting dari keanggotaan kelompok, dan identitas etnik dalam

kaitannya dengan identitas nasional Phinney & Ong (2007).

2.2.2.1 Kategorisasi Diri dan Pelabelan

Kategorisasi diri, yaitu mengidentifikasi diri sendiri sebagai anggota dari

kelompok sosial tertentu Phinney & Ong (2007). Pengukuran identitas etnik harus

dimulai dengan memverifikasi bahwa individu-individu yang dipelajari pada

kenyataannya mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok tertentu. Ini bisa

dilakukan baik dengan pertanyaan terbuka atau dengan daftar yang tepat inklusif

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

25

(Phinney, 1992). Untuk tujuan ini, tidak dipedulikan apakah label adalah kelompok

etnik atau kelompok ras (terlepas dari bagaimana istilah ini didefinisikan dan apakah

mereka dalam lingkup luas atau sempit). Individu dapat menggunakan berbagai

pelabelan atau kategori, tergantung pada situasi, misalnya, orang yang sama mungkin

menggunakan istilah Cina, Amerika Cina, Asia, atau Asia / Kepulauan Pasifik, atau

alternatif lain seperti, Meksiko Amerika, Latin, Hispanik, atau bahkan Maya.

Penggunaan label dipengaruhi untuk batas tertentu tergantung konteksnya dan dengan

bagaimana seseorang terlihat oleh orang lain, sehingga orang tidak dapat dengan

mudah menggunakan label yang berbeda dengan penampilan kelompoknya (Phinney

& Ong 2007).

Kategorisasi diri peserta penelitian dapat diperoleh melalui kedua pertanyaan

terbuka dan daftar cek. Karena mungkin ada perbedaan, maka juga berguna untuk

meminta individu untuk melaporkan latar belakang (etnik, ras, atau bangsa) dari

kedua orang tua. Prosedur ini memungkinkan untuk identifikasi etnik campuran

individu yang mungkin mengidentifikasikan diri hanya dengan satu kelompok, dan

juga dapat membantu memperjelas latar belakang spesifik responden, misalnya,

dalam kasus responden yang menganggap dirinya orang Latin, sedangkan kedua

orang tua menyebut dirinya Meksiko. Peneliti kemudian dapat membuat keputusan

tentang kriteria yang digunakan dalam mengkategorikan peserta untuk tujuan

tertentu. Namun demikian, kategori atau label itu sendiri adalah kurang penting

secara psikologis daripada makna dari kategori bagi individu sendiri (Phinney & Ong

2007).

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

26

2.2.2.2 Komitmen dan Keterikatan

Phinney & Ong (2007) menjelaskan bahwa sebuah komitmen, atau rasa

memiliki (sense of belonging), menjadi hal yang paling penting sebagai komponen

identitas etnik. Keterikatan atau rasa komitmen dimasukkan oleh Ashmore dkk 2004

(dalam Phinney & Ong 2007) sebagai kunci komponen identitas kelompok. Istilah

komitmen telah digunakan baik dalam psikologi sosial (misalnya, Ellemers, Spears,

& Doosje, dalam Phinney & Ong 2007) dan psikologi perkembangan (Roberts dkk.

dalam Phinney & Ong 2007) untuk merujuk pada keterikatan pribadi yang kuat

dalam kelompok.

Selanjutnya, sesuai dengan model perkembangan (Marcia, 1980; Phinney,

1989, 1993), komitmen saja tidak dapat mendefinisikan kepercayaan diri dan

kematangan dalam pencapaian identitas. Ini karena komitmen diidentifikasi dari

orang tua atau panutan lainnya yang belum sepenuhnya diinternalisasi oleh individu.

Demikian juga komitmen disebut tertutup, ketika individu tidak memiliki pemahaman

yang jelas tentang makna dan implikasi komitmen kelompoknya. Sebaliknya, rasa

aman dan kestabilan diri didefinisikan sebagai pencapaian identitas yang

mencerminkan pengetahuan dan pemahaman tentang etnik yang didasarkan pada

proses eksplorasi (Phinney & Ong 2007).

2.2.2.3 Eksplorasi

Eksplorasi, didefinisikan sebagai pencarian informasi dan pengalaman yang

relevan dengan etnik seseorang, Eksplorasi dapat melibatkan berbagai kegiatan,

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

27

seperti membaca dan berbicara kepada orang-orang, belajar praktek budaya, dan

menghadiri acara budaya. Meskipun eksplorasi paling sering terjadi pada remaja, itu

adalah proses yang berkelanjutan yang dapat terus dari waktu ke waktu, mungkin

sepanjang hidup (Phinney, 2006), tergantung pada pengalaman individu. Eksplorasi

menjadi hal yang penting dalam prosesnya, karena tanpa proses itu, komitmen

seseorang mungkin kurang baik dan lebih tunduk pada perubahan dengan

pengalaman baru (Phinney & Ong 2007).

2.2.2.4 Perilaku Keetnisan

Perilaku etnik telah dimasukkan dalam banyak ukuran identitas etnik, praktek

etnik dan interaksi sosial termasuk dalam versi asli dari MEIM (Phinney, 1992).

Pengukuran ethnic identity dikembangkan oleh kelompok tertentu (misalnya, Felix-

Ortiz, Newcomb, & Myers, 1994) umumnya termasuk perilaku seperti berbicara

bahasa, makan-makanan, dan bergaul dengan anggota kelompok seseorang.

Pengetahuan dan penggunaan bahasa etnik, secara khusus telah dianggap oleh

beberapa peneliti menjadi aspek kunci dalam identitas etnik. Perilaku adalah

tindakan yang dapat mengekspresikan identitas, etnik dan perilaku umumnya

berkorelasi dengan aspek-aspek lain dari identitas etnik. Namun, identitas etnik

adalah struktur internal yang dapat eksis tanpa perilaku. Perilaku terkait dengan

budaya seseorang atau kelompok etnik telah dipelajari sebagai aspek akulturasi,

berbeda dengan identitas etnik (Berry, Phinney, Sam, & Vedder, 2006 dalam Phinney

& Ong 2007). Untuk kejelasan konseptual, perilaku harus dipertimbangkan secara

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

28

terpisah dari identitas. Hasil penelitian yang cenderung lebih pelit jika perilaku etnik

dimasukkan sebagai langkah-langkah diskrit dalam studi identitas etnik, sehingga

hasilnya dapat dianalisis secara terpisah, untuk membedakan implikasi dari identitas

seseorang dan keterkaitan dengan perilaku (Phinney & Ong 2007).

2.2.2.5 Evaluasi dan Sikap Ingroup

Secara teoritis, rasa yang kuat memiliki kelompok (sense of belonging)

diasumsikan untuk memasukkan perasaan nyaman dengan etnik seseorang dan

memiliki perasaan positif tentang keanggotaan kelompok seseorang (Tajfel & Turner,

1986 dalam Phinney & Ong 2007). Sikap positif tentang kelompok dan diri sendiri

sebagai anggota kelompok adalah penting karena anggota minoritas dan status

kelompok yang lebih rendah menjadi subyek diskriminasi yang dapat menyebabkan

sikap negatif ingroup (Tajfel dalam Phinney & Ong 2007). Hampir semua kelompok

etnik minoritas telah mengalami diskriminasi, dan sikap negatif ingroup, seperti

keinginan untuk termasuk dalam kelompok yang dominan, telah dilakukan oleh

kebanyakan anggota kelompok minoritas (Phinney, 1989). Sebuah perspektif

perkembangan menunjukkan bahwa pembentukan identitas etnik dicapai berdasarkan

belajar tentang kelompok etnik seseorang dan membuat komitmen ke dalam

kelompok yang mengarah pada penolakan pandangan negatif sesuai stereotip

(Phinney, 1989).

Sebuah identitas etnik dicapai menyiratkan bahwa sikap tentang kelompok

seseorang telah diperiksa dan dievaluasi secara independen dan tidak hanya

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

29

internalisasi dari apa yang orang lain pikirkan. Secara empiris, sejumlah studi

(Phinney, Cantu, & Kurtz, 1997, Roberts et al, 1999) telah menemukan sikap positif

seperti kebanggaan dan perasaan yang baik tentang kelompok seseorang untuk

menjadi bagian dari pencapaian identitas etnik. Perasaan positif untuk kelompok

seseorang telah ditunjukkan sebagai prediksi kebahagiaan setiap harinya (Kiang, Yip,

Gonzales, Witkow, & Fuligni, 2006 dalam Phinney & Ong 2007).

2.2.2.6 Nilai dan Keyakinan

Banyak pengukuran identitas etnik telah dikembangkan untuk kelompok

tertentu dan telah memasukkan nilai-nilai dan keyakinan tertentu ke kelompok

(misalnya, Felix Ortiz dkk, dalam Phinney & Ong 2007). Pengkajian nilai-nilai dan

keyakinan memerlukan penggunaan konten yang berbeda antar kelompok, misalnya

kekeluargaan untuk orang Latin, berbakti bagi orang Asia, dan nilai Afrocentric untuk

Afrika Amerika. Penelitian dengan komponen tersebut menunjukkan berkorelasi

sangat kuat dengan komitmen atau rasa memiliki (sense of belonging) (Phinney &

Ong 2007).

Nilai adalah indikator penting dari kedekatan seseorang kepada kelompok.

Namun terbatas dalam kelompok itu, tidak selalu ada dalam konsensus kelompok

tentang nilai-nilai dan keyakinan harus termasuk dalam skala. Bahkan ada

kesepakatan, seperti pengukuran dapat digunakan hanya dengan kelompok-kelompok

tertentu dan tidak dapat digunakan untuk perbandingan seluruh kelompok. Selain itu,

nilai-nilai dan keyakinan mungkin memiliki korelasi yang berbeda dari identitas etnik

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

30

per skala, yaitu dari rasa berkomitmen kepemilikan kelompoknya. Oleh karena itu,

kejelasan yang lebih besar dapat diperoleh dengan menilai secara terpisah nilai-nilai

dan rasa memiliki seseorang (Phinney & Ong 2007).

2.2.2.7 Nilai Penting Ethnic Identity

Ada variasi luas tentang pentingnya atribut untuk identitas etnik seseorang

dibandingkan individu dan kelompok (Phinney & Alipuria, 1990). Atribut etnisitas

anggota kelompok etnik minoritas lebih besar dan penting daripada anggota dominan

mayoritas. Ada juga variasi dalam arti penting dari identitas etnik dari waktu ke

waktu. Para penulis juga menunjukkan bahwa arti penting dikaitkan dengan positive

well-being setiap hari bagi individu dengan identitas etnik yang tinggi tetapi tidak

individu yang rendah dalam identitas etniknya (Phinney & Ong 2007).

2.2.2.8 Rangkuman

Phinney & Ong (2007) menyebutkan berbagai komponen identitas etnik yang

telah diidentifikasi menimbulkan pertanyaan pengukuran: Apakah ada satu konstruk

menyeluruh identitas etnik, atau ada berbagai komponen yang harus dinilai dan

dipelajari secara terpisah? Dalam penelitian masa lalu, jawabannya selalu agak

sewenang-wenang, dengan peneliti memilih aspek konsep untuk menilai untuk tujuan

tertentu atau menambahkan elemen baru untuk menjawab pertanyaan penelitian

mereka (misalnya,Altschul, Oyserman, & Bybee, 2006, Yip & Fuligni, 2002).

Sekarang diusulkan bahwa pendekatan pembangunan, yang berfokus pada proses

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

31

pembentukan identitas etnik dapat memberikan petunjuk secara teoritis dan

psikometris untuk mengukur aspek-aspek inti identitas etnik. Pada kesimpulan

artikelnya Phinney & Ong (2007) menyimpulkan untuk menggunakan dua aspek

utama ethnic identity yaitu eksplorasi dan komitmen untuk membangun konstruk

pengukuran berupa Multigroup Ethnic Identity Measure Revised (MEIM – R).

2.2.3 Tahap Pembentukan Ethnic Identity

Dalam tulisannya yang berjudul Understanding Ethnic Identity Diversity : The

Role of Ethnic Identity, Phinney (1996) menyebutkan tiga tahap pembentukan ethnic

identity. Ketiga tahap tersebut adalah :

1. Unexamined Ethnic Identity

Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan

kelompoknya sendiri dapat berlangsung positif, negatif ataupun netral, semua

tergantung dengan adanya sosialisasi (keluarga dan komunitas). Sedangkan hubungan

dengan kelompok lainnya juga dapat positif, negatif ataupun netral tergantung dengan

adanya sosialisasi. Kemungkinan juga dapat terjadi identifikasi kepada kelompok

lainya.

2. Moratorium / Exploration

Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan

kelompoknya sendiri terdapat banyak keterlibatan dalam kelompok, mempunyai

tipikal sikap yang positif tetapi memungkinkan adanya perpindahan sesuai dengan

keadaan jiwa (mood) yang ada. Sedangkan hubungan dengan kelompok lainnya

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

32

adalah adanya kesadaran akan rasisme, kemungkinan kemarahan kepada kelompok

kulit putih / lainnya dan adanya empati kepada kelompok minoritas lainnya.

3. Achieved Ethnic Identity

Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan

kelompoknya sendiri adalah terjaminnya perasaan sebagai anggota kelompok,

penilaian yang realistik terhadap kelompoknya sedangkan hubunan dengan kelompok

lainnya adalah dapat menerima dan memiliki keterlibatan positif (integrasi) dalam

memilih separatisme atau pendekatan positif akn diskriminasi.

2.3 Etnik Jawa

Kata etnik sendiri diartikan oleh Jones (dalam Liliweri, 2011) sebagai sebuah

himpunan manusia (sekelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran

atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras,

agama, asal-usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu. Selaras dengan pendapat

Jones, Phinney (1996) juga menyebutkan bahwa keetnisan seringkali dianggap

sebagai budaya. Asumsi yang paling umum dipakai adalah norma-norma, nilai-nilai,

sikap-sikap, dan perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh individu anggota kelompok

etnik tertentu merupakan tipikal etnik yang bersangkutan di mana individu itu

berasal. Perilaku tipikal individu berakar pada budaya yang sudah diturunkan dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Itu sebabnya mengapa perilaku individu tersebut

bersifat khas. Dalam penelitian ini secara spesifik etnik yang menjadi subjek

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

33

penelitian adalah etnik Jawa. Phinney (1996) menyebutkan 3 aspek psikologis yang

penting mengenai keetnisan, yaitu :

1. Nilai budaya, sikap dan perilaku yang sesuai dengan kelompok etnik.

2. Perasaan subjektif sebagai anggota kelompok etnik.

3. Pengalaman hubungan dengan status minoritas, kepemilikan kekuatan,

diskriminasi dan prasangka.

Etnik Jawa sendiri tidak berarti seluruh masyarakat pulau Jawa seluruhnya,

yang dimaksudkan adalah masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jawa Barat

tidak dimasukkan karena adanya perbedaan sosial budaya yang cukup besar bila

dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Sastrosupono dalam Pusat

Bimbingan UKSW, 1982). Penduduk Jawa Tengah pada umumnya lebih halus

perilakunya dibandingkan dengan penduduk Jawa Timur. Orang Surakarta dan

Yogyakarta dikenal sebagai orang yang lebih halus dibandingkan penduduk daerah

Kedu-Begelen maupun Banyumas, Tegal, dan sekitarnya. Begitu pula masyarakat

pesisir mempunyai corak yang berbeda dengan daerah pegunungan maupun daerah

bekas kerajaan Surakarta-Yogyakarta. Faktor rasa lebih diperhatikan dan dijunjung

tinggi didaerah Yogyakarta-Surakarta, sedangkan keterusterangan dan spontanitas

lebih menonjol di daerah Kedu – Begelen, Banyumas dan Jawa Timur (Sastrosupono

dalam Pusat Bimbingan UKSW, 1982).

Geertz, (2013) menjelaskan sangat besarnya suku Jawa juga memunculkan

beberapa varian di dalamnya. Penggolongan penduduk menurut pandangan morang

Jawa, menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik orang Jawa

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

34

menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral

kebudayaan Jawa. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi.

Abangan menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan

dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani Desa; santri menekankan

aspek-aspek Islam sinkretisme serta umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang

dan unsur tertentu dalam kaum tani; dan priyayi yang menekankan aspek-aspek

Hindu yang diasosiasikan dengan unsur birokrasi. Penjelasan mengenai ketiga varian

yang ada dalam etnik atau penduduk Jawa sebagai berikut :

2.3.1 Varian Abangan

Geertz (2013) menjelaskan tentang varian abangan dalam tulisannya sebagai

berikut :

Dewasa ini sistem keagamaan Desa lazimnya terdiri atas sebuah integrasi

yang berimbang antara unsur-unsur animisme, hindu, dan Islam; sebuah

sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang

sebenarnya di pulau itu (Jawa). Dasar utama peradabannya; namun

situasinya lebih kompleks dibandingkan dari ini, karena seperti yang akan

kita lihat nanti, tidak hanya banyak petani yang tidak mengikuti

sinkritisme ini, tetapi juga banyak orang kota-kebanyakan para petani

kelas rendah yang tersingkir atau anak-anak petani yang tersingkir-

mengikutinya. Tradisi keagamaan abangan, yang terutama sekali terdiri

atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan

kompleks terhadap mahluk halus serta serangkaian teori dan praktik

pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem

keagamaan umum orang Jawa.

Secara singkat pengertian orang Jawa varian abangan dilukiskan oleh Geertz

(2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa

secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

35

2.3.2 Varian Santri

Geertz (2013) menjelaskan tentang varian santri dalam tulisannya sebagai

berikut :

Islam yang lebih murni itu merupakan subtradisi yang saya sebut santri.

Walaupun dengan cara umum dan luas, subvarian santri ini dipertautkan

dengan elemen dagang orang Jawa, ini tidak hanya berlaku bagi kalangan

dagang saja. Demikian juga, tidak semua pedagang betul-betul pemeluk

merupakan pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desa-

desa. Mereka seringkali berada di bawah pimpinan para petani yang lebih

kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali

mendirikan sekolah-sekolah agama. Pada pihak lain, pasar, khususnya

sejak perang dan lenyapnya pemerintahan Belanda akan pelayan dan

buruh kasar, penuh sesak oleh kerumunan pedagang kecil abangan yang

mencoba mencari nafkah seadanya. Walaupun begitu, jumlah terbanyak

dari pedagang lebih besar serta giat masih berasal dari kalangan santri.

Tradisi keagamaan kalangan santri tidak hanya terdiri atas pelaksanaan

ritual dasar Islam secara cermat dan teratur-sembahyang, puasa, haji,

tetapi juga mencakup seluruh organisasi sosial, kedermawanan serta

politik Islam. Tradisi ini adalah subvarian kedua dari sistem keagamaan

masyarakat Jawa.

Secara singkat pengertian orang Jawa varian santri dilukiskan oleh Geertz

(2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme dan pada

umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang.

2.3.3 Varian Priyayi

Geertz (2013) menjelaskan tentang varian priyayi dalam tulisannya sebagai

berikut :

Pada mulanya priyayi hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun-

temurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari Raja-raja

pribumi yang ditaklukan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil

yang digaji. Elite pegawai kerah-putih ini yang ujung akarnya terletak

pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan

mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, seni tari, sandiwara,

musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mistisme Hindu-Budha.

Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang

serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

36

elemen Islam sebagaimana kaum santri melainkan menitikberatkan pada

elemen Hinduisme.

Secara singkat pengertian orang Jawa varian priyayi dilukiskan oleh Geertz

(2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan

dengan unsur birokrasi.

Dalam penelitian ini varian etnik Jawa yang akan dipilih adalah varian santri

yaitu varian etnik Jawa yang menekankan pada aspek Islam sinkretisme dalam

kehidupannya. Pemilihan subjek penelitian akan ditentukan melalui angket tertutup

dengan skala Gutman agar subjek yang mengisi angket mampu memberikan

yawaban yang tegas dalam pengisiannya. Angket yang disusun berdasarkan teori

yang dikemukakan oleh Geertz (2013) yang membagi penduduk Jawa menjadi 3

varian berbeda dan ciri yang berbeda.

2.4 Well-Being dalam Bimbingan dan Konseling

Konsep psychological well-being Ryff (1989) mempunyai tempat tersendiri

dalam dunia Bimbingan dan Konseling. Christopher (1999) menyebutkan dalam

tulisannya bahwa pencapaian yang bagus dari keenam aspek psychological well-being

dapat dijadikan tujuan pelaksanaan konseling. Selain itu adanya keenam aspek

tersebut juga dapat memotivasi konseli dalam mencapai setiap aspeknya melalui

proses konseling.

Selain kesimpulan yang disampaiakan Christoper (1999) orang yang

mengarah pada pencapaian well-being juga memiliki kecenderungan untuk mencari

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

37

bantuan jika membutuhkan serta mau membantu orang lain pula disekitarnya

(Brodsky 1988). Hal ini selaras dengan tujuan pelaksanaan bimbingan yang

dipaparkan Winkel & Hastuti (2006), ialah supaya sesama manusia mengatur

kehidupan sendiri, menjamin kehidupan pribadinya sendiri secara optimal mungkin,

memikul tanggung jawab sendiri sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman

pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi baik padanya, dan menyelesaikan

semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan secara memuaskan. Winkel & Hastuti

(2006) membuat kesimpulan bahwa semua bimbingan yang diberikan kepada

individu dalam berbagai aspek kehidupan bertujuan supaya manusia mencapai

kebahagiaan (happiness) dan kesejahteraan (well-being) di aneka bidang kehidupan.

2.5 Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai ethnic identity dengan psychological well-being

dilakukan oleh Rayya (2006) yang meneliti siswa remaja yang memiliki latar

belakang ibu Eropa dan ayah Arab dengan judul Ethnic identity, ego identity, and

psychological well-being among mixed ethnic Arab European adolescents in Israel

menunjukkan bahwa ethnic identity berhubungan positif signifikan dengan

psychological well-being dengan r = 0, 63 dan p < 0, 001.

Penelitian Quraishi & Evangeli (2007) kepada mahasiswa perempuan asal

India, Pakistan, Banglades dan Sri Lanka yang kuliah di Universitas London Inggris

dengan judul An Investigation of Psychological Well-being and Cultural Identity in

British Asia Female University Students, menemukan hasil bahwa tidak ada

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-beingrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3573/3/T1... · 9 BAB II LANDASAN TEORI . 2.1 Psychological Well-being 2.1.1 Pengertian Psychological

38

hubungan yang signifikan dengan arah yang negatif antara culture identity dengan

psychological well-being dengan r = -0,01 dan p > 0,05. Penelitian tersebut

menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara culture identity dengan

psychological well-being.

Phinney (2004) menyebutkan bahwa adanya komitmen ethnic identity akan

ditemukan hubungan yang positif dengan psychological well-being (contohnya

adanya harga diri yang tinggi), rendahnya subtansi abuse, dan ketiadaan depresi

(Phinney,Cantu, & Kurtz, 1997; Roberts et al., 1999 dalam Phinney 2004). Terdapat

juga fakta bahwa terdapat hubungan yang positif dengan prestasi akademik (Phinney

& Devich-Navarro, 1997 dalam Phinney 2004).

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori yang relevan, peneliti merumuskan hipotesis sebagai

berikut :

Ada hubungan yang signifikan antara ethnic identity dengan psychological

well-being mahasiswa etnik Jawa varian Santri Program Studi Bimbingan dan

Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya

Wacana.