bab ii landasan teori a. etos kerja guru 1. pengertian...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Etos Kerja Guru
1. Pengertian Etos Kerja Guru
Apa sebenarnya “etos kerja” itu? Berikut ini akan penulis jelaskan
secara rinci.
Kata “etos” berasal dari Yunani ethos yang berarti “ciri sifat” atau
“kebiasaan, adat istiadat” atau juga “kecenderungan moral, pandangan
hidup” yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.1
Dari kata etos ini dikenal pula kata etika, etiket yang hampir
mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan
baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau
semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih
baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna
mungkin.2
Karena etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka
hendaknya setiap pribadi harus mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan
yang positif dan ada semacam kerinduan untuk menunjukkan
kepribadiannya dalam bentuk hasil kerja serta sikap dan perilaku yang
menuju atau mengarah kepada hasil yang lebih sempurna. Dengan
demikian etos adalah ciri atau sifat ; sikap, kebiasaan, atau adat-istiadat;
kecenderungan moral (norma) serta cara seseorang, suatu golongan atau
suatu bangsa dalam memandang, menghayati, meyakini dan melaksanakan
sesuatu.
Kerja menurut beberapa intelektual didefinisikan dengan definisi
yang berbeda-beda menurut sudut pandang masing-masing. Adapun
mengenai defisini kerja tersebut dapat kita perhatikan sebagai berikut :
1Mochtar Bukhori, Pendidikan dalam Pembangunan, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994,
hlm. 40 2Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani Pers, 2002,
hlm. 15 8
9
Beberapa intelektual mendefinisikan kerja sebagai berikut :
a. Abdul Aziz al-Khayyat
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan
manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik,
maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau
keakhiratan.3
Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang
dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidupnya.4
b. The Liang Gie
Yang dimaksud dengan “kerja” adalah keseluruhan pelaksanaan aktivitas
jasmaniah dan rokhaniah yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai
tujuan tertentu atau mengandung suatu maksud tertentu.5
c. Ali Sumanto al-Khindi
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik
kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial.6
Jadi bisa penulis simpulkan bahwa kerja merupakan keseluruhan
bentuk usaha manusia yang meliputi pelaksanaan aktivitas jasmaniah dan
rokhaniah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik yang
meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal, maupun kebutuhan
psikologis yang mengarah kepada kepuasan diri, serta kebutuhan sosial
yang berbentuk penghargaan masyarakat pada dirinya atas pekerjaan yang
telah dilakukannya.
Setelah memperhatikan definisi etos dan beberapa definisi tentang
kerja yang dikemukakan oleh beberapa intelektual, juga akan dikemukakan
beberapa definisi tentang etos kerja sebagai suatu kesatuan makna yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya yaitu :
3Abdul Aziz al-Khayyat, Nazrah al-Islam Lil’Amah Wa Atsaruhu Fi At Tanmiyah, atau
Etika Bekerja dalam Islam, terj. Moh. Nurhakim, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm. 13 4Ibid., hlm. 22 5The Liang Gie, Cara Bekerja Efisien, Yogyakarta : Karya Kencana, 1978, hlm. 11 6Ali Sumanto al-Khindhi, Bekerja sebagai Ibadah : Konsep Memberantas Kemiskinan,
Kebodohan, dan Keterbelakangan Umat, Solo : CV. Aneka. hlm. 41
10
a. Menurut Mochtar Bukhori
Etos kerja artinya ialah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja,
ciri-ciri atau sifat mengenai cara bekerja, yang dimiliki seseorang,
suatu golongan atau suatu bangsa.7
b. Menurut Abdul Razak
Etos kerja dalam Islam merupakan manifestasi kepercayaan seorang
muslim bahwa kerja memiliki kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu
memperoleh perkenan Allah.8
c. Menurut Toto Tasmara
Etos kerja muslim itu dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya, mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.9
d. Menurut Pandji Anoraga
Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap bangsa atau satu umat
terhadap kerja.10
Dari beberapa definisi tentang etos kerja yang telah dikemukakan
oleh para intelektual di atas, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa
etos kerja merupakan pandangan terhadap kerja, yaitu pandangan bahwa
bekerja tidak hanya untuk memuliakan diri atau untuk menampakkan
kemanusiaannya tetapi juga sebagai manifestasi amal saleh (karya
produktif), yang karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur yaitu
untuk memperoleh perkenan Allah. Dari pandangan inilah kemudian
muncul sikap terhadap kerja.
Etos kerja juga dapat dilihat sebagai ciri-ciri mengenai cara
bekerja yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.
7Mochtar Bukhori, op.cit., hlm. 40 8Abdul Rozak, “Etos Kerja Mendorong Produktivitas Umat” Beragama di Abad Dua
Satu, Eda, Azwar Anas, Jakarta : Zikrul Hakim, 1997, hlm. 208 9Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995,
hlm. 28 10 Panji Anoraga, Psikologi Kerja, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hlm. 29
11
Jika dikaitkan dengan guru maka etos kerja guru dapat diartikan
sebagai sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja, dan ciri-ciri
mengenai cara bekerja yang dimiliki oleh seorang guru.
2. Dasar-dasar Etos Kerja dalam Islam
Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja ini
barangkali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna sedalam-
dalamnya sabda Nabi saw yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk
kerja itu bergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya : jika
tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti
hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka
setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut.
Sabda Nabi saw yang mencerminkan penjelasan di atas adalah
sebagai berikut :
11...انما األعمال بالنيات وانما لكل امرئ مانوى
Artinya :“Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan ...” (HR. Bukhori Muslim).
Sabda Nabi tersebut menegaskan bahwa nilai kerja manusia
tergantung pada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi-rendah nilai
kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi-rendah nilai komitmen
yang dimiliki. Adapun komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan
dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianut oleh
seseorang. Karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber
dorongan batin untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau
jika ia mengerjakannya, maka ia mengerjakannya dengan tingkat
kesungguhan yang tertentu.
11 Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Mukhtashar Riyadhus Sholihin, Beirut - Lebanon : Dar
Ibnu Hazm, 1996, hlm. 10 – 11
12
Selain sabda Nabi di atas yang lebih menyoroti pada niat untuk
melakukan suatu pekerjaan ada juga firman Allah yang berpesan untuk
bekerja, yaitu dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 sebagai berikut :
فإذا قضيت الصالة فانتشروا في االرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله )10: اجلمعة (كثريا لعلكم تفلحون
Artinya : “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”12 (QS. al-Jumu’ah : 10)
Jadi, maksud dari pesan itu ialah bahwa hendaknya kita beribadah
sebagaimana yang diwajibkan, namun disisi lain kita juga harus mencari
rizki (bekerja). Bersamaan dengan itu, kita harus senantiasa ingat kepada-
Nya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu,
dengan menginsyafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap
bentuk kerja kita.
3. Komponen Etos Kerja
Lebih jelasnya mengenai pandangan terhadap kerja, sikap terhadap
kerja, dan ciri-ciri mengenai cara bekerja akan penulis uraikan satu persatu
sebagai berikut :
a. Pandangan terhadap Kerja
Islam memiliki pandangan sangat positif terhadap kerja.
Pandangan yang sangat positif tersebut dapat kita lihat bahwa kerja
dalam Islam bukan semata-mata untuk bekerja. Kerja juga tidak murni
perkara biasa, tidak hanya perilaku duniawi, bukan sekedar mengejar
gaji, juga bukan semata untuk menepis gengsi, misalnya tudingan
sebagai penganggur, tetapi kesadaran kerja dalam Islam, berlandaskan
semangat tauhid dan tanggung jawab ke-Tuhanan. Semua aktivitas
12 Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya :
Mahkota, 1971, hlm. 933
13
keseharian seorang mukmin, termasuk kerja, diniatkan dan
diorientasikan sebagai ibadah untuk mencapai ridha Allah. Hal ini
dikarenakan masing-masing dari mereka mengetahui maksud hadits
berikut :
انما األعمال بالنيات وانما لكل امرئ مانوى
Artinya :“Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhori Muslim).13
Mengenai pandangan terhadap kerja yang dimiliki oleh seorang
guru, WS Winkel mengatakan bahwa apakah seorang guru itu bekerja
terutama untuk mendapatkan penghasilan semaksimal mungkin ataukah
untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perkembangan generasi
muda, pasti akan mewarnai tingkah laku guru itu, entah itu disadari
atau tidak.14
Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa : “Guru yang pertama-tama memikirkan masalah pendapatan, memandang pekerjaannya sebagai sarana melulu untuk mendapatkan uang, bahkan sekolah dipandang sebagai organisasi penjamin kesejahteraan guru. Guru itu akan cenderung supaya penerimaan siswa baru ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi, cenderung memberikan pelajaran tambahan sebanyak mungkin yang dihonorkan tersendiri, dan mengajar di sekolah lain sebagai tenaga tidak tetap. Akibat lebih jauh adalah bahwa guru tidak sempat mempersiapkan pelajaran dengan baik. Sedangkan guru yang pertama-tama berniat menyumbangkan keahliannya demi perkembangan siswa akan memandang pekerjaannya sebagai sumber kepuasan pribadi, biarpun tidak lepas dari tantangan. Dia akan rela mengorbankan waktu dan tenaga lebih banyak daripada yang dituntut secara formal, sikap ini akan diketahui dan dihargai oleh siswa. Dia pun akan berusaha meningkatkan profesionalitasnya tanpa disuruh mengikuti penataran, karena tidak ingin bersikap minimalis dalam menghayati tugas pendidikan yang diserahkan kepada guru. Masalah pendapatan tentu dipikirkan juga, akan tetapi hal ini tidak mewarnai pikiran dan tindakan secara dominan.15
13 Yusuf bin Ismail an-Nabhani, op.cit., hlm. 10 - 11 14 WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Cet. 4, Jakarta : Grasindo, 1996, hlm. 196 15 Ibid.
14
Dari pendapat yang telah dikemukakan oleh Winkel tersebut
dapat diketahui bahwa ada dua jenis guru bila ditinjau dari cara guru
tersebut memandang pekerjaannya. Jenis yang pertama yaitu, guru
yang memandang pekerjaannya (mengajar) sebagai sarana
mendapatkan penghasilan, dan jenis yang kedua yaitu guru yang
memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk menyumbangkan
tenaga dan pikiran bagi generasi muda. Tampak dalam pendapat
Winkel bahwa salah satu dari kedua jenis guru di atas lebih buruk dari
yang lainnya. Hal ini bisa dilihat pada akibat yang ditimbulkan oleh
pandangan masing-masing guru yang berbeda antara jenis yang
pertama dengan jenis yang kedua.
Jenis guru yang pertama yaitu guru yang memandang
pekerjaannya sebagai sarana melulu untuk mendapatkan penghasilan
membawa dampak pada beberapa tingkah laku yang kurang terpuji,
seperti : sekolah dipandang sebagai organisasi penjamin kesejahteraan
guru, pemikirannya yang lebih cenderung bahwa penerimaan siswa
baru lebih didasarkan pada kemampuan ekonomi, mengajar di beberapa
(banyak) sekolah lain sebagai tenaga tidak tetap agar memperoleh
honor yang lebih tinggi, dan sebagainya. Adapun jenis guru yang kedua
yaitu guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk
menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi perkembangan generasi
muda yang akhirnya membawa dampak yang baik pada perilaku guru
tersebut.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa etos kerja guru yang
memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk menyumbangkan
tenaga dan pikirannya bagi generasi muda lebih baik/lebih tinggi
daripada guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana melulu
untuk mendapatkan penghasilan.
Akan tetapi, realitas yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa
tidak selamanya pendapat Winkel itu benar. Bagaimanapun juga guru
itu manusia biasa yang juga membutuhkan materi untuk membiayai
15
kehidupannya. Karenanya, boleh-boleh saja jika ia berpandangan
bahwa mengajar itu untuk mendapatkan penghasilan selama itu tidak
membawa akibat yang merugikan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
b. Sikap atau Kebiasaan terhadap Kerja
Kembali lagi pada pembahasan etos kerja. Etos kerja dalam arti
sempit, merupakan sikap yang positif terhadap suatu pekerjaan. Atau
adanya orientasi nilai yang memberikan semangat pada diri seseorang
untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik. Menurut Carrington
DJ sebagaimana dikutip oleh Nursyamsiyah Yusuf, Etos kerja
mengandung beberapa makna, antara lain sebagai berikut.
1. Memandang “Kerja keras” sebagai suatu nilai kebaikan. 2. Penggunaan waktu secara mangkus (efektif), dalam arti tidak
membuang-buang waktu dengan percuma 3. Memandang disiplin sebagai nilai yang baik 4. Sangat bersifat produktif 5. Memiliki rasa bangga terhadap pekerjaannya 6. Memiliki komitmen dan kesetiaan pada profesinya dan tempat
mereka bekerja. 7. Berorientasi pada prestasi dan secara ajeg berusaha mencapai
karir yang tinggi dan untuk kemajuan 8. Adanya nilai positif terhadap sikap hidup hemat (ekonomis),
jujur, dan investasi yang benar dalam memperoleh pendapatan/ kekayaan.16
Kerja keras yang dimaksud di sini, menurut penulis adalah
bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan, bekerja tanpa
kenal lelah, penuh semangat, seakan hidup tak akan pernah berakhir.
Efektif berarti penggunaan waktu secara tepat sehingga tercapai
perbandingan yang terbaik antara usaha yang dilakukan dengan hasil
yang diperoleh.
Ali Imron mendefinisikan bahwa disiplin adalah suatu keadaan
di mana sesuatu itu berada dalam keadaan tertib, teratur dan
16 Nursyamsiyah Yusuf, “Motivasi Menjadi Guru dalam Kaitannya dengan Profil
Kinerjanya”, Jurnal Ilmiah Kajian Pendidikan dan Kebudayaan No. 008/II/Maret, Badan Penelitian dan Pengambangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, hlm. 44- 56
16
semestinya, serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara
langsung maupun tidak langsung.17 Dari pengertian ini dapat diuraikan
bahwa guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi akan memandang
disiplin sebagai nilai yang baik, yang karenanya, ia akan selalu
berusaha menerapkan kedisiplinan itu dalam kehidupan sehari-hari,
terutama di lingkungan sekolah demi kelancaran proses pembelajaran
yang ia lakukan, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan tertib,
teratur, dan semestinya.
Arti sebenarnya dari produktif adalah menghasilkan lebih
banyak, dan berkualitas lebih baik, dengan usaha yang sama.18 Dengan
demikian, diharapkan guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi
akan selalu berusaha kearah yang lebih baik dan lebih baik lagi, dengan
usaha yang relatif sama.
Jika seseorang merasa bangga dengan pekerjaan yang
dimilikinya, maka ia akan mempunyai rasa kesetiaan (loyalitas) pada
profesi dan tempat mereka bekerja. Demikian ini berarti jika seseorang
merasa bangga terhadap profesinya sebagai guru, maka ia akan enggan
meninggalkan profesi guru dan sekolah sebagai tempat mereka bekerja.
Akibatnya, ia akan selalu mengembangkan karir untuk mencapai
kemajuan.
c. Ciri-ciri atau Sifat mengenai Cara Bekerja
KH. Toto Tasmara dalam Membudayakan Etos Kerja Islami
mengatakan
“Ciri-ciri orang-orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah). Secara metaforis, bahkan dapat saya katakan bahwa seorang muslim itu
17Ali Imron, Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta : Pustaka Jaya, 1995, hlm. 183 18 Panji Anoraga, op.cit., hlm. 52
17
sangat kecanduan untuk beramal saleh. Jiwanya gelisah apabila dirinya hampa, tidak segera berbuat kesalehan. Ada semacam dorongan yang sangat luar biasa untuk memenuhi hasrat memuaskan dahaga jiwanya yang hanya terpenuhi apabila dia berbuat kesalehan tersebut.19
Menurut penulis, orang-orang yang mempunyai ciri-ciri seperti
yang dimaksud oleh Toto Tasmara di atas sangatlah sedikit jumlahnya.
Bahkan boleh dikata hampir tidak ada. Kalaupun ada mungkin tidak akan
habis dibilang dengan hitungan jari tangan.
Adapun ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja
menurut Toto Tasmara dalam membudayakan etos kerja Islami akan
tampak dalam sikap dan tingkah laku berikut :
1). Mereka kecanduan terhadap waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang
menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu.
2). Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki oleh seseorang yang
berbudaya kerja Islami adalah nilai keikhlasan. Mereka yang
mempunyai jiwa yang ikhlas akan melaksanakan tugasnya secara
profesional tanpa motivasi lain kecuali bahwa pekerjaan itu
merupakan amanat yang harus ditunaikannya sebaik-baiknya dan
memang begitulah seharusnya. Motivasi unggul yang ada hanyalah
pamrih pada hati nuraninya sendiri (consciene). Kalaupun ada reward
atau imbalan, itu bukanlah tujuan utama, melainkan sekedar akibat
sampingan (side effect) dari pengabdian dirinya yang murni tersebut.
3). Mereka kecanduan kejujuran
Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti oleh sikap
tanggungjawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau integritas.
Kejujuran dan integritas ini bagaikan dua sisi mata uang. Seseorang
tidak cukup hanya memiliki keikhlasan dan kejujuran, tetapi
19 Toto Tasmara, Membudayakan op.cit., hlm. 73.
18
dibutuhkan nilai pendorong lainnya, yaitu integritas. Akibatnya,
mereka siap menghadapi risiko dan seluruh akibatnya dia hadapi
dengan gagah berani, kebanggaan, dan penuh suka cita, dan tidak
pernah terpikir olehnya untuk melemparkan tanggung jawabnya
kepada orang lain.
4). Mereka memiliki komitmen
Yang dimaksud dengan komitmen adalah keyakinan yang mengikat
sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya
dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang
diyakini.
Dalam komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan, yang
melahirkan bentuk vitalitas yang penuh gairah. Mereka yang memiliki
komitmen tidak mengenal kata menyerah, karenanya, mereka hanya
akan berhenti menapaki cita-citanya bila langit sudah runtuh. Bagi
mereka, komitmen adalah soal tindakan, keberanian, kesungguhan,
dan kesinambungan.
5). Istiqamah, kuat pendirian
Istiqamah berarti berhadapan dengan segala rintangan masih tetap
qiyam “berdiri”. Konsisten berarti tetap menapaki jalan lurus
walaupun sejuta halangan menghadang.
Seseorang yang istiqamah tidak mudah berbelok arah, betapapun
godaan untuk mengubah tujuan begitu memikatnya, dia tetap pada niat
semula.
6). Mereka kecanduan disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin, yaitu suatu
sikap, perbuatan untuk selalu mentaati tata tertib.
Pribadi yang berdisiplin sangat berhati-hati dalam mengelola
pekerjaan serta penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya.
Mata hati dan profesi terarah pada hasil yang akan diraih sehingga
mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Mereka
pun mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk menerima
19
inovasi atau gagasan baru. Daya adaptabilitasnya sangat luwes dalam
cara dirinya menangani berbagai perubahan yang menekan. Karena
sikapnya yang konsisten itu pula, mereka tidak tertutup pada gagasan-
gagasan baru yang bersifat inovatif.
7). Konsekuen dan berani menghadapi tantangan
Ciri lain dari pribadi yang memiliki budaya kerja adalah
keberaniannya menerima konsekuensi dari keputusannya. Bagi
mereka, hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan merupakan tanggung
jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak
manapun, karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh dirinya
sendiri. Rasa tanggung jawabnya mendorong perilakunya yang
bergerak dinamis, seakan-akan di dalam dadanya ada “nyala api”,
sebuah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan dan menjaga apa
yang telah menjadi keputusan atau pilihannya.
8). Mereka memiliki sikap dan percaya diri
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan ketegasan dalam
bersikap. Berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus
membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan.
9). Mereka orang yang kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau
gagasan baru sehingga diharapkan hasil kinerja dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien.
10). Mereka tipe orang yang bertanggungjawab
Tindakan bertanggungjawab dapat didefinisikan sebagai sikap dan
tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah ;
dengan penuh rasa cinta, ia ingin menunaikannya dalam bentuk
pilihan-pilihan yang melahirkan amal prestatif.
Mereka yang memiliki tanggung jawab ini mempersepsi pekerjaannya
sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan,
yang kemudian melahirkan keyakinan yang mendalam bahwa bekerja
itu ibadah dan berprestasi itu indah.
20
11). Mereka bahagia karena melayani
Mereka melayani dengan cinta, bukan karena tugas atau pengaruh dari
luar, melainkan benar-benar sebuah obsesi yang sangat mendalam
bahwa “aku bahagia karena melayani”
12). Mereka memiliki harga diri
Seseorang yang memiliki harga diri akan selalu berbinar ketika dia
ingin menyebarkan nilai manfaat. Hidupnya penuh gairah untuk
menjadikan dirinya sebagai sosok manusia yang senantiasa
memberikan pelayanan kepada orang lain dengan penuh cinta, dan itu
mahal harganya.
13). Mereka memiliki jiwa kepemimpinan
Sebagai seorang mujahid yang dituntut untuk memiliki jiwa
kepemimpinan, sudah barang tentu seluruh peranan dirinya merupakan
bayang-bayang dari hukum dan kehendak Allah, sehingga keputusan
dan kehadiran dirinya mampu mempengaruhi orang lain, lingkungan,
dan ruang serta waktu dengan butiran nilai tauhid.
Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan
sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiran dirinya mampu
memberikan pengaruh kepada lingkungannya.
Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai personalitas yang
tinggi. Dia larut dalam keyakinannya, tetapi tidak segan untuk
menerima kritik, bahkan mengikuti apa yang terbaik. Seorang
pemimpin bukan tipikal pengekor, terima jadi, karena sebagai seorang
pemimpin, dia sudah dilatih untuk berpikir kritis analitis, karena dia
sadar bahwa seluruh hidupnya akan dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah, sebagaimana firman-Nya.
وال تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد )36: االسرأ (كل أولئك كان عنه مسئوال
21
Artinya :”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.20 (QS. al-Isra’ : 36)
Pribadi muslim yang memiliki etos kerja mempuyai pandangan jauh
ke depan. Gagasan pikirannya melampaui zamannya sehingga mereka
pantas disebut pemimpin yang memiliki pandangan atau wawasan ke
depan (Visionary Leadheship). Mereka memiliki daya aktivitas yang
sangat kuat, menghargai orang lain, dan terbuka terhadap gagasan
bahkan kritik.
14). Mereka berorientasi ke masa depan
Seorang pribadi yang memiliki etos kerja tidak akan berspekulasi
dengan masa depan dirinya. Dia selalu menetapkan segala sesuatunya
dengan jelas sehingga seluruh tindakannya diarahkan pada tujuan
yang telah ditetapkan.
15). Hidup berhemat dan efisien
Dia berhemat bukan karena ingin memupuk kekayaan sehingga
melahirkan sifat kikir individualistis, melainkan karena ada satu
reserve bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan lurus, ada up dan
down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan
terjadi di masa yang akan datang.
Efisiensi berarti melakukan segala sesuatu secara benar, tepat, dan
akurat. Efisien berarti pula mampu membandingkan antara besaran
output dan input. Adapun efektivitas berkaitan dengan tujuan atau
menetapkan hal yang benar.21 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
efisiensi berarti berkaitan dengan cara melaksanakan, sedangkan
efektivitas berkaitan dengan arah tujuan.
16). Memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi
Orang yang memiliki etos kerja harus memiliki jiwa wiraswasta yang
tinggi, yaitu kesadaran dan kemampuan yang sangat mendalam untuk
20 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur'an, op.cit., hlm. 429 21Toto Tasmara, Membudayakan, op.cit., hlm. 105 – 106
22
melihat segala fenomena yang ada di sekitarnya, merenung dan
kemudian bergelora semangatnya untuk mewujudkan setiap
perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan realistis. Karena
itu, mereka selalu melihat setiap sudut kehidupan dunia sebagai
peluang kesempatan yang harus di coba.
17). Memiliki insting bertanding (fastabiqul khairat)
Semangat bertanding merupakan sisi lain dari seorang muslim yang
memiliki etos kerja. Panggilan untuk bertanding dalam segala
lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan rasa
penuh tanggung jawab sebagai pembuktian ayat al-Qur'an yang telah
menggoreskan kalamnya dengan sangat motivatif, sebagaimana
firman-Nya.
)148: البقرة (ولكل وجهة هو موليها فاستبقوا الخيرات
Artinya : ”Setiap umat ada kiblatnya (sendiri), maka hendaklah kamu sekalian berlomba-lomba (dalam kebaikan).22 (al-Baqarah : 148)
Mana mungkin seseorang bisa berlomba atau bertanding apabila tidak
ada gairah untuk bekerja, bergerak, dan berjuang. Untuk itu, dia tidak
akan pernah menyerah pada kelemahan atau pengertian nasib dalam
artian sebagai seorang fatalis.
22 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur'an, op.cit., hlm. 38
23
18). Keinginan untuk mandiri (independent)
Seseorang yang mempunyai etos kerja merasa bahagia bila dapat
memperoleh hasil atas usaha, karsa, dan karya yang dibuahkan dari
dirinya sendiri. Karena itu, ia mempunyai keinginan yang kuat untuk
mandiri.
19). Mereka kecanduan belajar dan haus mencari ilmu
Kecanduan belajar dan kehausan mencari ilmu ini didasari oleh
kesadaran bahwa Rasulullah mewajibkan pada setiap umatnya untuk
mencari ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. Bahkan demi ilmu,
dia tidak peduli sejauh mana tempat yang harus ia tempuh, walau ke
negeri China. Sifat kritis dan objektivitasnya pun menyebabkan ia
tidak melihat “siapa” yang mengatakan, selama yang dikatakannya
adalah ilmu dan kebenaran, dia akan timba dan resapkan.
20). Memiliki semangat perantauan
Salah satu ciri pribadi yang memiliki etos kerja adalah suatu dorongan
untuk melakukan perantauan. Mereka ingin menjelajahi seluruh
hamparan bumi, memetik hikmah, dan mengambil pelajaran dari
berbagai peristiwa budaya manusia.
Akan tetapi, semangat perantauan tidak selamanya dibuktikan secara
fisik. Ada juga perantauan bathin yang dia peroleh dari hasil
membaca buku, menggali hikmah dan menyimak fenomena alam.
Badannya tidak pergi jauh, tetapi daya imajinasinya merantau sampai
ke luar batas langit, dan kemudian melahirkan berbagai gagasan
kreatif.
21). Memperhatikan kesehatan dan gizi
Etos kerja muslim adalah etos yang sangat erat kaitannya dengan cara
dirinya memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya.
22). Tangguh dan pantang menyerah
Ketangguhan dan keuletan merupakan modal yang sangat besar dalam
menghadapi tantangan atau tekanan (pressure), sebab sejarah telah
banyak membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah
24
pahit, namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi,
kohesivitas kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi
bagi lingkungannya.
Karena itulah, bisa dikatakan bahwa kerja keras, ulet, tangguh, dan
pantang menyerah merupakan ciri dan cara dari kepribadian muslim
yang memiliki etos kerja.
23). Berorientasi pada produktivitas
Seorang Muslim itu seharusnya sangat menghayati makna yang
difirmankan Allah dengan sangat tegas, yaitu larangan untuk bersikap
mubazir karena sesungguhnya orang-orang yang berbuat mubazir
adalah temannya setan.
24). Memperkaya jaringan silaturahmi
Pribadi yang memiliki etos kerja akan menjadikan silaturahmi sebagai
salah satu ruh pengembangan dirinya. Karena bukan saja memiliki
nilai ibadah, tetapi hasilnya juga dapat dipetik di dunia, yaitu
memberikan satu alur informasi yang dapat membuka peluang dan
kesempatan usaha.
25). Mereka memiliki semangat perubahan
Pribadi yang memiliki etos kerja sangat sadar bahwa tidak ada satu
makhluk pun di bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali
dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
...فسهموا ما بأنرغيى يم حتما بقو رغي11: الرعد ... (إن الله لا ي(
Artinya :”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah keadaan diri mereka sendiri.(ar-Ra’d: 11) 23
Ayat ini mengajak kita untuk memainkan peranan, mengubah nasib,
dan menempatkan diri dalam posisi yang tentu saja menjadi lebih
baik, dan lebih baik lagi.
23 Ibid., hlm. 370
25
4. Etos Kerja Guru
Keadaan etos kerja seseorang setidak-tidaknya dapat dibidik dari
cara kerjanya yang memiliki 3 ciri dasar, yaitu (1) keinginan untuk
menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri
dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan
layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya.24
Ketiga ciri dasar tersebut pada dasarnya terkait dengan kualifikasi
yang harus dimiliki oleh guru pada umumnya, yaitu kualifikasi
profesional, personal, dan sosial.
Dalam pola pemahaman sistem tenaga kependidikan di Indonesia,
terdapat tiga dimensi umum kompetensi yang saling menunjang
membentuk kompetensi profesional tenaga kependidikan, yaitu (1)
Kompetensi personal; (2) Kompetensi sosial, dan (3) Kompetensi
profesional. Dilihat dari sisi ini, maka ciri dasar yang pertama tersebut di
atas terkait dengan kompetensi profesional, yakni menyangkut
kemampuan dan kesediaan serta tekad seorang guru untuk mewujudkan
tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirancang melalui proses dan produk
kerja yang bermutu. Ciri dasar yang kedua terkait dengan kompetensi
personal, yakni ciri hakiki dari kepribadian seorang guru untuk menjaga
harga diri dalam melaksanakan pekerjaannya guna mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Ciri dasar ketiga terkait dengan
kompetensi sosial, yakni perilaku seorang guru yang berkeinginan dan
bersedia memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya
profesionalnya untuk mencapai tujuan pendidikan.
Al-Ghazali, seorang ulama terkenal telah memformulasikan ciri-
ciri dan sifat-sifat guru yang diharapkan berhasil dalam menjalankan
tugas-tugas kependidikannya. Berbagai sifat dan ciri-ciri tersebut sekaligus
mencerminkan etos kerja guru yang diharapkan (ideal). Adapun sifat-sifat
dan ciri-ciri tersebut adalah:
24Mochtar Bukhori, op.cit., hlm. 41
26
الشفقة على املتعلمني وأن جير يهم جمرى بنيه: الوظيفة اال وىل أن يقتدى بصا حب الشرع صلوات اهللا عليه وسال : الوظيفة الثا نية
مه فال يطلب على افا دة العلم أجرا وال يقصـد بـه جزاء وال شكرا بل يعلم لوجه اهللا تعاىل
يئاهو ذلك بأن مينعـه ان ال يدع من نصح املتعلم ش : الوظيفة الثالثة من التصدى لرتبة قبل استحقا قها والتشا غل بعلم
خفى قبل الفراغ من اجللىوهى من د قا ئق صنا عة التعليم ان يز جر املـتعلم : الوظيفة الرا بعة
عن سوء اال خال ق بطريق التعر يض ما أ مكـن وال يصرح وبطريق الر محة ال بطريق التو بيخ
أن املتكفل ببعض العلوم ينبغى أن ال يقبح ىف نفـس : مسة الوظيفة اخلا املعلم العلوم الىت وراءه
أن يقتصربالتعليم على قد ر فهمه: الوظيفة السادسة ان املتعلم القا صر ينبغى ان يلقى اليه اجللى الال ئـق : الوظيفة السابعة
به وال يذ كر له ان وراء هذا تد قيقا وهو يدخره عنهأن يكون املعلم عا مال بعلمه فال يكـذ ب قولـه : لوظيفة الثا منه ا
25فعله
1). Kasih sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagaimana anak sendiri.
2). Meneladani Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan, dan penghargaan.
3). Hendaknya tidak memberi predikat/martabat kepada peserta didik sebelum ia pantas/kompeten untuk menyandangnya, dan jangan memberi ilmu yang samar (al-‘ilm al-khafy) sebelum tuntas ilmu jelas (al-‘ilm al-jaly).
25 Badawi Thobanah, Ihya’ Ulumuddin Lil Imamil Ghazali, Semarang : Maktabah Usaha
Keluarga, 1989, hlm. 55 – 58
27
4). Hendaknya mencegah peserta didik dari akhlak yang jelek (sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tidak tunjuk hidung
5). Guru yang memegang bidang studi tertentu hendaknya tidak meremehkan atau menjelek-jelekan bidang studi yang lain.
6). Menyajikan pelajaran kepada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka.
7). Dalam menghadapi peserta didik yang kurang mampu hendaknya diberikan ilmu-ilmu yang global dan tidak perlu menyajikan detailnya
8). Guru hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatannya.
Mengenai rumusan guru yang baik Dahama dan Bhatnagar dalam
Education and Comunication for Development mengatakan bahwa :
“Atributtes of a good teacher are : 1. Knowledge and understanding of his subject 2. Enthusiasm about his subject 3. Interest in students 4. Have a knowledge of teaching skills 5. Broad interests and an engaging personality 6. Demanding that each student put forth his best effort 7. Encourages and motivates”26
Dalam konteks pendidikan di sekolah, rumusan al-Ghazali serta
Dahama dan Bhatnagar tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk
memahami etos kerja seorang guru. Hanya saja, dalam konteks masa kini
dan masa depan, yang masyarakatnya memiliki tiga karakteristik, yaitu
masyarakat teknologi, masyarakat terbuka, dan masyarakat madani, etos
kerja seorang guru sudah barang tentu tidak hanya berorientasi pada
peningkatan kualitas dimensi personal dan sosial, tetapi juga perlu adanya
keseimbangan dengan peningkatan kualitas intelektual dan profesionalnya.
Karena itu, perlu adanya keseimbangan antara orientasi pendidikan yang
menuntut kesalehan individu dan sosial dengan kesalehan intelektual dan
profesional.
“Kesalehan intelektual dan profesional dari guru pada umumnya ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (bidang keahliannya) serta wawasan pengembangannya; (3) Menguasai ketrampilan
26 O.P. Dahama dan O.P. Bhatnagar, Education and Communication for Development,
New Delhi : Oxford & IBH Publishing Co, 1980, hlm. 82 – 83
28
untuk membangkitkan minat siswa kepada ilmu pengetahuan; dan (4) Siap untuk mengembang-kan profesi secara berkesinambungan, agar ilmu dan keahliannya tidak cepat tua atau out of date. Sebagai implikasinya, seorang guru akan selalu concern dan komitmen dalam peningkatan studi lanjut, mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, pelatihan, dan lain-lainya.”27
Berbagai uraian di atas menggambarkan keadaan etos kerja guru
yang tinggi. Sebaliknya, terdapat prototipe guru yang keadaan etos
kerjanya rendah. Hasil penelitian Wiles (1955) yang dikutip oleh Sahertian
menyebutkan sejumlah prototipe guru di sekolah, antara lain (1) Guru
yang malas; (2) Guru yang pudar; (3) Guru tua; (4) Guru yang kurang
demokratis; dan (5) Guru yang suka menentang.28
Menurut hasil penelitian Wiles tersebut, guru yang malas
kebanyakan bersumber pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari
pekerjaan tambahan di luar untuk memenuhi kebutuhan tiap bulan.
Akibatnya, etos kerjanya sebagai guru di sekolah semakin menurun. Guru
yang pudar adalah guru yang jarang tersenyum, kurang humor, kurang
ramah, sukar bergaul dengan orang lain, dan sebagainya. Guru tua adalah
guru yang sudah terlalu lama dinas, sehingga sukar diubah. Biasanya
mereka kurang percaya diri dan merasa tersaingi dengan tampilnya guru-
guru muda. Oleh karena itu, ia menunjukkan diri seolah-olah tinggi,
padahal ia sendiri tidak ingin lagi mengembangkan dirinya agar terus
bertumbuh dalam jabatannya. Guru yang kurang demokratis, yakni orang
yang sudah terlalu lama bekerja yang biasanya terlalu memusatkan
perhatian pada kepuasan dirinya sendiri. Rasa harga dirinya sendiri terlalu
tinggi sehingga memperlakukan diri melebihi batas kebebasan orang lain,
ia bersifat tidak demokratis. Guru yang suka menentang, yakni guru yang
sangat kritis, sehingga ia berfikir kritis dan selalu suka mengkritik orang
lain. Suka mengkritik sudah merupakan suatu kebiasaan (habit).
27 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif
Abad 21, Magelang : Tera Indonesia, 2000, hlm. 295 28 Piet. A, Sahertian, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta : Andi Offset, 1994,
hlm. 60
29
Kecenderungan ini tidak selalu baik bila berhadapan, baik bila dengan
guru lain maupun dengan siswa karena bisa jadi menjatuhkan mental dan
semangat belajar mereka untuk aktualisasi diri.
Sejumlah prototipe guru tersebut barangkali dapat dipakai sebagai
kerangka teoretik untuk memahami keadaan etos kerja seorang guru di
sekolah-sekolah, terutama dalam konteks etos kerja yang rendah.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Guru
Seseorang agaknya akan sulit melaksanakan tugas/ pekerjaannya
dengan tekun dan memiliki komitmen terhadap ketiga ciri dasar yang telah
tersebut di atas, jika pekerjaan itu kurang bermakna baginya, dan tidak
bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun
tidak langsung. Cara kerja seseorang yang memandang pekerjaannya
sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk
memperoleh salary (gaji) dan sandang pangan demi survival fisik jangka
pendek, agaknya akan berbeda dengan cara kerja seseorang yang
memandang tugas/pekerjaanya sebagai calling professio dan amanah yang
hendak dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Munculnya sikap malas, santai, dan tidak disiplin waktu dalam
bekerja dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan
hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang
memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan
pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, dan yang memberinya
keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya.29
Etos kerja juga sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan dan
budaya yang ada di lingkungan seseorang.30 Contoh nilai-nilai keyakinan,
budaya, dan beberapa kebiasaan yang dapat menghambat etos kerja
seseorang adalah (1) Khurafat dan takhayul, (2) Tak akan lari gunung
dikejar; alon-alon asal kelakon, (3) Gampangan, Take it easy, bagaimana
29 Muhaimin, et.all., Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 118 30 H. Toto Tasmara, Etos Kerja op.cit., hlm. 125.
30
nanti sajalah, (4) Mangan ora mangan pokoke kumpul, (5) Nrima-
Fatalistis, (6) Salah persepsi, bahwa kerja kasar itu hina, dan (7)
Keyakinan akan keampuhan suatu jimat atau mascot.31
Paham fatalisme (menyerahkan semuanya kepada Tuhan) juga
telah mempengaruhi etos kerja umat Islam. bahkan, muncul pula faham
tasawuf yang dipinggirkan pengertiannya dari makna zuhud yang
sebenarnya. Zuhud menjadi: “meninggalkan dunia dengan segala
keindahan dan kelezatannya, lalu mengkonsentrasikan beribadah. Dalam
kondisi yang demikian, terjadi kemerosotan etos kerja.32
Jadi jika seseorang menganut faham fatalisme (menyerahkan
semuanya kepada Tuhan) dapat menyebabkan etos kerjanya menjadi
lemah. Demikian juga jika seseorang menganut faham tasawuf yang
memandang zuhud menjadi meninggalkan dunia dengan segala keindahan
dan kelezatannya demi mengkonsentrasikan beribadah tentu etos kerja
seseorang itu jadi lemah.
Uraian di atas menggarisbawahi adanya faktor internal, antara lain
sistem kepercayaan yang menjadi pandangan hidup seseorang, yang sering
kali mempengaruhi dan ikut membentuk etos kerja seseorang, sehingga
latar belakang terbentuknya etos kerja seorang guru, antara lain dapat
dipantau dari sudut pandang tersebut. Hanya saja, suatu kenyataan empiris
biasanya tidak selalu berdiri sendiri dan bersifat linier, akan tetapi
merupakan akibat dari beberapa faktor. Penjelasan tentang terbentuknya
etos kerja seseorang (termasuk guru) juga tidak dapat hanya dilihat dari
satu sudut pandang, seperti sistem kepercayaan sebagaimana uraian
tersebut di atas, karena bisa jadi faktor tersebut tidak mendukungnya,
justru terdapat faktor-faktor lain yang lebih dominan.
Patutlah disimak beberapa pendapat para pakar berikut ini, antara
lain A. Mukti Ali yang meyatakan bahwa ada tiga hal yang ikut
membentuk watak karakter dan tindak laku seseorang, yaitu sistem budaya
31 Ibid, hlm. 125-132 32 Rusydi AM., “Étos Kerja dan Etika Usaha: Perspektif Al-Qur’an” dalam Firdaus
Effendi, dkk (ed), Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Jakarta: Nuansa Madani, 199, hlm. 98.
31
dan agama; sistem sosial; dan lingkungan alam dimana orang itu hidup.33
Lain lagi dengan pendapat M. Dawam Rahardjo yang menyatakan bahwa
etos kerja tidak semata-mata bergantung pada nilai-nilai agama dalam arti
sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi,
dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu dikembangkan adalah etos
kerja ilmu pengetahuan dan komunikasi.34
Dari kedua pendapat tersebut tampaknya terdapat titik temu dalam
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Jika
dikaitkan dengan etos kerja guru di sekolah, maka ada dua aspek esensial
dalam menjelaskan faktor-faktor tersebut, yaitu (1) faktor pertimbangan
internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini atau sistem budaya,
agama, dan kepercayaan, serta semangat untuk menggali informasi dan
menjalin komunikasi; dan (2) faktor pertimbangan eksternal, yang
menyangkut latar belakang pendidikan, sistem sosial dimana seseorang itu
hidup, dan lingkungan alam yang lainnya, seperti lingkungan kerja
seseorang.
Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang menyangkut
lingkungan kerja, secara lebih terinci HM. Arifin menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang mempengaruhi semangat kerja, yaitu:
(1). Volume upah kerja yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang,
(2). Suasana kerja yang menggairahkan atau iklim yang ditunjang
dengan komunikasi demokrasi yang sesuai dan manusiawi antara
pimpinan dan bawahan,
(3). Penanaman sikap dan pengertian di kalangan pekerja,
(4). Sikap jujur dan dapat dipercaya dari kalangan pimpinan harus benar-
benar dapat diwujudkan dalam kenyataan,
(5). Penghargaan terhadap need for achievement (hasrat dan kebutuhan
untuk maju) atau penghargaan terhadap yang berprestasi,
33 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987,
hlm. 172 34 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa : Risalah
Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 463
32
(6). Sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan fisik, seperti
tempat olah raga, Masjid, rekreasi, hiburan, dan lain-lain.35
Made Wahyu Sutedja juga berpendapat bahwa usaha untuk
membangun etos kerja staf pengajar (guru) dapat dilakukan melalui :
(1). Terpeliharanya rasa hidup aman dan menyenangkan;
(2). Terpeliharanya kondisi kerja yang menyenangkan;
(3). Terpeliharanya rasa tergolong;
(4). Terpeliharanya rasa mendapatkan perlakuan yang fair ; dan
(5). Terpeliharanya rasa mencapai :
(a) Terpeliharanya rasa mampu mengerjakan tugas.
(b) Terpeliharanya rasa dapat memberikan sumbangan yang nyata.
(c) Terpeliharanya rasa maju dalam pekerjaan
(d) Terpeliharanya rasa bertumbuh, dan lain-lain.36
Guru-guru menghendaki kehidupan yang aman dan
menyenangkan. Hidup menyenangkan bukan berarti mewah (lux)
melainkan mendekati standar hidup. Orang sebetulnya ingin mampu
memiliki makanan, pakaian, keteduhan bagi keluarganya, merasa bebas
dari ketakutan finansial, juga ingin makan enak, walaupun itu terjadi
hanya untuk sekali waktu. Untuk itulah seorang pemimpin dibidang
pendidikan hendaknya memikirkan bagaimana dapat menggaji guru secara
memadai agar mereka dapat hidup dalam kondisi aman dan
menyenangkan.
Disamping itu, guru-guru juga menghendaki pekerjaan dengan
kondisi yang menyenangkan. Bagi kebanyakan orang, faktor-faktor yang
dituntut untuk menjadikan suatu pekerjaan jadi menyenangkan berbeda
dan bervariasi, tetapi secara umum dapat disebutkan beberapa, antara lain
: lingkungan yang menarik, bersih, lengkap dengan peralatan yang
35 HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara,
2000, hlm. 283-284 36 Made Wahyu Suthedja, Bagaimana Membangun Semangat Staf Pengajar, Semarang :
Satya Wacana, 1988, hlm. 14-15
33
modern, kesejahteraan pegawai yang diperhatikan, dan berjalan atas hal-
hal yang manajerial, juga yang diingini.37
Terpeliharanya rasa tergolong juga penting untuk membangun etos
kerja staf pengajar. Rasa tergolong yang dimaksud adalah rasa tergolong
dalam suatu kelompok dimana mereka melaksanakan tugasnya.
Keinginan untuk diterima kelompok serta tetap tinggal didalamnya
merupakan sesuatu hal yang dapat mendorong kegairahan kerja,
dibandingkan dengan jika mereka berada di luar kelompok. Setiap orang
normal tetap ingin diterima oleh kelompoknya. Bagaimana hal ini dapat
diwujudkan dalam rangka membangun etos kerja staf pengajar (guru)?.
Untuk mewujudkan hal ini, misalnya :
1. Menciptakan dan mengikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial di
sekolah, misalnya menjadi panitia ini dan itu, dan sebagainya.
2. Mengikutsertakan dalam mengerjakan buku-buku personalia
3. Mengikutsertakan dalam proyek-proyek, misalnya dalam proyek uji
coba, proyek memperindah halaman dan sebagainya.
Semua hal yang disebut di atas dapat membantu guru-guru untuk
menumbuhkan rasa tergolong (feeling of belonging).
Hal yang tidak kalah penting dalam usaha membangun etos kerja
guru adalah terpeliharanya rasa mendapatkan perlakuan yang fair : Jujur,
sehat, adil, dan sebagainya.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan dalam membangun etos
kerja guru adalah terpeliharanya rasa mencapai. Guru-guru tersebut
menghendaki memiliki rasa mencapai karena mereka ingin tahu bahwa
mereka adalah orang-orang yang kompeten, ini berarti bahwa mereka
merasa membuat sumbangan yang besar bagi suatu kegiatan, misalnya
berkat melalui mereka terjadi kemajuan-kemajuan besar sehingga mereka
merasa bertumbuh dalam pekerjaannya. Untuk ini dapat diperinci sebagai
berikut :
a. Mereka ingin merasa mampu mengerjakan tugas-tugasnya
37 Ibid., hlm. 11
34
b. Guru-guru menghendaki untuk merasakan bahwa mereka membuat
suatu sumbangan yang nyata bagi masyarakat melalui pekerjaannya.
c. Guru-guru menginginkan untuk merasa maju dalam pekerjaannya.
d. Guru-guru menghendaki adanya rasa bertumbuh.
Mengenai rasa bertumbuh ini ada tiga macam, yaitu :
- Adanya perasaan dipentingkan
- Adanya rasa mendapat kesempatan untuk ikut merumuskan
kebijaksanaan.
- Adanya kesempatan untuk memelihara kehormatan diri sendiri.
B. Status Kepegawaian Guru
1. Pengertian Status Kepegawaian Guru
Status kepegawaian guru merupakan paduan kata status,
kepegawaian, dan guru yang masing-masing mempunyai arti sendiri-
sendiri. Untuk memperoleh pengertian status kepegawaian guru terlebih
dahulu perlu dimengerti apa arti status, apa arti kepegawaian, dan apa arti
guru.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia status merupakan noun atau
kata benda yang mempunyai arti keadaan atau kedudukan (orang, badan,
dan sebagainya) dalam hubungannya dengan masyarakat di
sekelilingnya.38
Kata kepegawaian yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan
dengan personnel, sering juga disebut dengan personalia. Kata
kepegawaian sendiri berasal dari kata dasar pegawai yang berarti
karyawan atau pekerja.39 Sekalipun demikian, penggunaan kata-kata
tersebut cenderung berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, karena
banyak dipengaruhi oleh tempat, sifat, dan lingkungan kerja dimana
seseorang dipekerjakan. Seseorang yang dipekerjakan di lingkungan
badan-badan pemerintah cenderung disebut pegawai atau karyawan,
38 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1999, hlm. 962 39 Slamet Saksono, Administrasi Kepegawaian, Yogyakarta : Kanisius, 1988, hlm. 12
35
sedangkan apabila ia dipekerjakan di lingkungan badan-badan swasta ia
cenderung disebut karyawan atau pekerja.
Di dalam peraturan perundangan yang ada selama ini tidak terdapat
kata karyawan melainkan kata pegawai dan pekerja. Masing-masing
terdapat di dalam peraturan perundangan kepegawaian dan peraturan
perundangan ketenagakerjaan. Peraturan perundangan ketenagakerjaan
banyak berlaku di perusahaan atau badan-badan swasta, sedangkan
peraturan perundangan kepegawaian hanya berlaku di lingkungan badan-
badan pemerintah.40
Setelah membahas arti status dan arti kepegawaian ini marilah kita
membahas arti guru. Dalam pandangan masyarakat Jawa, guru bisa dilacak
melalui akronim “gu” dan “ru”. “Gu” diartikan dapat digugu (dianut) dan
“ru” berarti bisa ditiru (dijadikan teladan). Dengan demikian guru adalah
orang yang dalam tutur kata, gerak-gerik dan perbuatannya bisa dianut dan
dicontoh, tidak hanya oleh murid-muridnya tetapi juga oleh masyarakat
umum.
Hadi Supeno menyatakan bahwa guru adalah seorang yang karena
panggilan jiwanya sebagian besar waktu, tenaga dan pikirannya
digunakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
kepada orang lain di sekolah atau lembaga pendidikan formal.41
Penulis sendiri berkesimpulan bahwa guru adalah orang yang
pekerjaannya mengajar di sekolah formal yang perilakunya pantas dianut
dan dicontoh.
Setelah membahas pengertian status, kepegawaian, dan guru
sampailah kita pada pertanyaan apa yang disebut status kepegawaian guru.
Untuk menjawab pertanyaan ini penulis memberikan pengertian bahwa
status kepegawaian guru merupakan kedudukan guru dalam mengajar di
sekolah formal, baik ia dipekerjakan oleh negara (pemerintah) atau bukan
(swasta).
40 Ibid 41 Hadi Supeno, op.cit., hlm. 27
36
Mengenai status kepegawaian penulis berpedoman pada badan
yang mempekerjakan pegawai tersebut, apakah negara (pemerintah) atau
bukan (swasta). Karena itulah status kepegawaianpun digolongkan
kedalam pegawai negeri dan bukan pegawai negeri (pegawai swasta).
Definisi pegawai negeri ditetapkan dalam pasal 1 No. 1 dalam UU
No. 43 Tahun 1999, dengan perumusan sebagai berikut :
“Pegawai negeri adalah setiap warga negara Rapublik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42
Definisi ini tidak banyak berbeda dari definisi yang lama, yang
ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1974. Hanya beberapa kata dan
susunan bagian-bagian kalimat yang dirubah, tetapi pokok-pokoknya tetap
sama.
Definisi ini berlaku dalam pelaksanaan semua peraturan-peraturan
kepegawaian dan pada umumnya dalam pelaksanaan semua peraturan
perundang-undangan lain, kecuali jika diberikan suatu definisi yang lain.
Supaya jelas, maka definisi di atas dapat diperinci dalam lima
pokok sebagai berikut :
a. Warga Negara Republik Indonesia
b. Memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
c. Diangkat oleh pejabat yang berwenang
d. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, dan
e. Digaji menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mereka yang memenuhi syarat-syarat dalam kelima pokok tersebut
termasuk pegawai negeri. Yang tidak memenuhi syarat-syarat itu tidak
termasuk pegawai negeri. Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang
42 UU No. 43 Tahun 1999, Kumpulan Peraturan Kepegawaian, Jakarta: CV. Eka Jaya,
1999, hlm. 13
37
bekerja dalam jabatan negeri atau menurut istilah umum pada “kantor
pemerintah” adalah pegawai negeri.
Orang-orang (warga Negara Republik Indonesia), yang termasuk
pegawai negeri adalah
a. Pegawai negeri yang duduk dalam lembaga tinggi negara
b. Pegawai negeri yang memangku jabatan tertentu dalam bidang
pemerintahan
c. Pegawai negeri sipil :
− Yang menjabat sebagai guru
− Yang bertugas di bidang (intelegen/pengamanan, sandi, kepolisian
khusus)
d. Pejabat Eselon V ke atas yang bertugas di bidang imigrasi, bea dan
cukai, pajak, kepegawaian, pengawasan, perbendaharaan, penerangan
dan hubungan masyarakat, pemeriksa keuangan dan kekayaan
negara.43
2. Penggolongan Status Kepegawaian Guru
a. Guru Negeri
Sebagian dari guru-guru di Indonesia adalah pegawai negeri
sipil. Pegawai negeri sipil menurut pasal 2 (1). Merupakan penjabaran
dari pegawai negeri, sedangkan pengertian dari pegawai negeri menurut
UU No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974
tentang pokok-pokok kepegawaian Bab I Pasal 1 (1) adalah setiap
warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.44
Guru yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sebagaimana
pengertian yang diungkapkan oleh Hadi Supeno, yaitu seseorang yang
43 Sastra Djatnika, dan Marsono, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
1990, hlm. 232-234 44 Ibid., hlm. 14.
38
karena panggilan jiwannya, sebagian besar waktu, tenaga dan
pikirannya digunakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap kepada orang lain di sekolah atau lembaga
pendidikan formal.45
Jadi, guru negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam sesuatu jabatan di bidang pendidikan di sekolah-sekolah formal
dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku.
UU No 43 Tahun 1999 juga mengemukakan kewajiban-
kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap pegawai negeri, yaitu :
a. Kewajiban-kewajiban yang ada hubungannya dengan tugas dalam
jabatan.
Dalam keputusan Presiden No. 44 tahun 1974 ditetapkan tugas
pokok dan fungsi-fungsi dari kesatuan-kesatuan organisasi dari
departemen-departemen, seperti sekretariat jenderal, direktorat
jenderal, inspektorat jenderal, badan atau pusat, dan satuan
organisasi lain.
Tugas-tugas pokok dan fungsi-fungsi kesatuan-kesatuan
organisasi sudah barang tentu merupakan kewajiban dari para
pimpinan kesatuan itu, yaitu sekretaris jenderal, direktur jenderal,
inspektur jenderal, kepala badan atau pusat, dan pimpinan satuan
organisasi lain untuk dilaksanakannya.
Perumusan tugas pokok (dan susunan organisasi) departemen
sampai dengan tingkat biro, inspektur, direktorat dan pusat, diatur
dengan keputusan Presiden No. 45 Tahun 1974, sedang perumusan
tugas dan fungsi biro, inspektorat dan direktorat jenderal, dan
sekretariat badan, ditetapkan oleh masing-masing menteri setelah
45 Hadi Supeno, Potret Guru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 27
39
mendapat persetujuan dari menteri penertiban dan penyempurnaan
aparatur negara.46
Tugas-tugas pokok dan fungsi-fungsi yang dimaksud di atas
yang ditetapkan secara terinci oleh masing-masing menteri
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pegawai
negeri. Sehubungan dengan guru negeri yang berkecimpung dalam
dunia pendidikan, maka kewajiban-kewajiban mereka secara terinci
ditetapkan oleh menteri pendidikan.
b. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan pegawai pada
umumnya.
1. Kewajiban yang ditetapkan dalam UU No. 43 Tahun 1999
- Taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara dan pemerintah
(pasal 4 UU No. 43 Tahun 1999)
- Mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan
kepadanya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab
(pasal 5 UU No. 43 Tahun 1999)
- Menyimpan rahasia jabatan (pasal 6 UU No. 8 Tahun 1974)
- Mengucapkan sumpah/janji ketika diangkat menjadi pegawai
negeri (pasal 26 UU No. 43 Tahun 1999)
2. Kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan diluar UU
No. 43 Tahun 1999.
- Kewajiban untuk melaksanakan disiplin pegawai negeri (PP.
Nomor 30 Tahun 1980)
- Pemberitahuan jika tidak masuk kerja (surat edaran wakil
perdana menteri II, tanggal 12 Juli 1954 No. 18599/54, seri
No. 10/RI/1954)
- Kewajiban menjaga keamanan rahasia negara (Surat edaran
wakil perdana menteri I, tanggal 28 Agustus 1957, No.
24091/57, seri nomor 16/RI/1957
46 Sastra Djatnika, dan Marsono, op. cit., hlm. 93
40
- Kewajiban menyimpan surat-surat rahasia
- Tidak boleh melalaikan kewajiban, baik selama atau diluar
jam kerja
- Berpola hidup sederhana (keputusan Presiden No. 10, Tahun
1974)
- Larangan menerima atau memberi hadiah (Keputusan
Presiden No. 10, Tahun 1974)
- Larangan bekerja dalam lapangan swasta (PP No. 6 Tahun
1974)
- Larangan melakukan hal-hal yang dilarang oleh kitab-kitab
Undang-undang Hukum Pidana
- Larangan korupsi (UU No. 3, Tahun 1971)
- Larangan berjudi (Instruksi No. 13 Tahun 1973).47
Disamping kewajiban, UU No 43 Tahun 1999 juga mengatur
hak pegawai negeri yaitu
1. Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan
layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya.
{ pasal 7 (1) }
2. Setiap pegawai negeri berhak atas cuti. (pasal 8)
3. Setiap pegawai negeri yang ditimpa oleh suatu kecelakaan
dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak
memperoleh perawatan. {pasal 9 (1)}
4. Setiap pegawai negeri yang menderita cacat jasmani atau
cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas
kewajibannya yang mengakibat-kannya tidak dapat bekerja
lagi dalam jabatan apapun juga, berhak memperoleh
tunjangan. {pasal 9 (2)}
5. Setiap pegawai negeri yang tewas, keluarganya berhak
memperoleh uang duka. {pasal 9 (3)}
47 Disarikan dari Sastra Djatnika dan Marsono, Ibid., hlm. 124-144
41
6. Setiap pegawai negeri yang telah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan, berhak atas pensiun. (pasal 10).48
b. Guru Swasta
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Hadi Supeno, guru
adalah seseorang yang karena panggilan jiwanya sebagian besar waktu
tenaga dan pikirannya digunakan untuk mengajarkan ilmu
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kepada orang lain di sekolah atau
lembaga pendidikan formal lainnya.49
Guru swasta adalah mereka yang tersebut sebagaimana di
atas, tetapi tidak berstatus negeri, jadi mereka tidak termasuk pegawai
negeri sipil.
Melihat isi Anggaran Rumah Tangga Yayasan Pendidikan
Islam As-Salafiyah Rembang pasal 1 ayat (5) yang mengatakan bahwa
:”Untuk melaksanakan tertib administrasi organisasi dan pendidikan,
pengurus harian berhak mengangkat atau memberhen-tikan seorang
wakamad/guru/ karyawan atas usul kepala madrasah baik Tsanawiyah
atau Aliyah”; pasal 7 ayat (2) yang berbunyi :”Setiap orang yang
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, sesuai dengan
kebutuhan, mempunyai kesempatan untuk melamar menjadi guru atau
karyawan pada madrasah ini lewat kepala madrasah”; juga pasal 9 ayat
(2) yang mengemukakan bahwa : ”Pengangkatan seseorang menjadi
guru/karyawan pada madrasah ini dilakukan oleh Yayasan atas usul
Kepala Madrasah”.50, penulis menyimpulkan bahwa guru swasta
adalah mereka yang telah memenuhi persyaratan yang telah di
tentukan, sesuai dengan kebutuhan madrasah, diangkat oleh pengurus
harian Yayasan atas usul kepala madrasah dan diserahi tugas
48 Marsono, Pembahasan Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1974; hlm. 49 Ibid., hlm. 27 50 AD/ART Yayasan Pendidikan Islam, As-Salafiyah MTs, MA, M3R, Rembang :
YAPIS, 1998, hlm. 1- 4
42
kependidikan di sekolah-sekolah formal yang bestatus swasta,
termasuk madrasah swasta.
Adapun persyaratan menjadi guru yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
a. Rela Membantu peserta didik untuk berkembang
b. Memahami tujuan umum pendidikan
c. Dapat menggunakan alat-alat pendidikan dan pengajaran dengan
baik dan benar.
d. Dengan suka rela dan atas kemauannya sendiri bersedia
mengabdikan diri pada madrasah ini.
e. Rela melakukan tugas yang didelegasikan kepadanya dengan baik.
f. Sanggup mentaati segala peraturan dan tata tertib madrasah ini
g. Sanggup menjadi teladan yang baik bagi peserta didik
h. Sanggup bekerja sama dengan guru lain dan karyawan madrasah.
i. Sanggup berlaku adil dan jujur secara terbuka hanya karena
Allah.51
Sebagaimana guru negeri, guru swasta juga mempunyai
beberapa kewajiban dan hak. Kewajiban-kewajibannya sebagai
berikut :
1. Setiap Guru dan karyawan madrasah ini wajib setia dan taat kepada
segala peraturan yang telah ditetapkan oleh yayasan
2. Setiap guru dan karyawan berkewajiban melaksanakan tugas yang
didelegasikan padanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggung jawab
3. Setiap guru dan karyawan berkewajiban menyimpan rahasia
jabatannya dan hanya mengungkapkan rahasia itu kepada dan atas
petunjuk pimpinan.
51 Ibid., hlm. 2
43
4. Setiap guru dan karyawan harus berbusana muslim/muslimah,
rapi dan sopan. Bagi pria berpeci hitam dan bagi wanita berjilbab
dan bawahan berupa maxi (tidak berbentuk celana)
5. Setiap guru dan karyawan yang berhalangan hadir harus
mengajukan surat idzin, bagi guru wajib memberikan tugas pada
kelas yang ditinggalkan.52
Adapun hak-hak yang dimiliki oleh guru swasta sebagai berikut :
1. Setiap guru dan karyawan berhak menerima bisyaroh yang layak
sesuai dengan kondisi keuangan yayasan.
2. Bagi ibu guru dan karyawati berhak atas cuti hamil sebulan
sebelum melahirkan dan dua bulan sesudahnya.
3. Setiap guru dan karyawan yang ditimpa musibah dalam
menjalankan tugas berhak memperoleh bantuan perawatan.
4. Setiap guru dan karyawan yang tertimpa musibah dalam
menjalankan tugas yang berakibat cacat jasmani atau rokhani
sehingga tidak dapat meneruskan pekerjaannya berhak
mendapatkan santunan. Adapun besarnya santunan disesuaikan
dengan kondisi keuangan yayasan.
5. Setiap guru atau karyawan yang meninggal dunia, keluarganya
berhak mendapatkan uang duka sebesar tiga kali bisyarohnya.
6. Setiap guru dan karyawan berhak hadir dalam musyawarah/rapat
dan mempunyai hak berbicara/berpendapat.
7. Setiap guru dan karyawan yang menjalankan tugas ke luar kota
berhak memperoleh ongkos jalan.53 C. Hubungan Status Kepegawaian dan Etos Kerja Guru
Dari paparan tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak guru negeri dan
guru swasta ada hal menarik yang patut untuk disimak yaitu tentang hak
pegawai negeri, termasuk guru negeri yang berhak mengajukan pensiun
sebagai jaminan di hari tua, sedangkan guru swasta tidaklah demikian. Hal ini
52 Ibid., hlm. 3 53 Ibid.
44
tentu saja berakibat bahwa guru negeri lebih konsentrasi dalam bekerja
(mengajar) dan melaksanakan tugas kependidikan lainnya karena adanya
jaminan di hari tuanya, sedangkan guru swasta harus menghasilkan uang lebih
banyak lagi untuk dapat ditabung sebagai jaminan hari tuanya. Untuk tujuan
ini guru swasta harus mengajar di banyak sekolah atau harus banyak memiliki
pekerjaan sambilan lainnya. Akibatnya, etos kerja guru swasta menjadi kurang
maksimal jika dibandingkan dengan guru negeri.
D. Hipotesis
Berdasarkan hal tersebut di atas, sampailah pada dugaan sementara
(hipotesis) yang akan diuji kebenarannya melalui analisis statistik pada bab
IV, yaitu “etos kerja guru negeri lebih tinggi daripada etos kerja guru swasta
di Madrasah Aliyah se Kabupaten Rembang”.