bab ii landasan teori a. teori sektor publik adalah sebuah...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori
1. Perbedaan Sektor Publik dengan Sektor Swasta
Sektor publik adalah sebuah organisasi entitas ekonomi
negara untuk menjalankan tugas sebagai pengendali masyarakat
menuju kesejahteraan. Kendali tersebut berupa penyediaan layanan
yang bermanfaat untuk publik. Secara kelembagaan, wilayah publik
meliputi organisasi non laba pemerintahan dan organisasi non laba
nonpemerintahan. Badan-badan pemerintah seperti pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan unit-unit kerja pemerintah lainnya,
merupakan bentuk organisasi pemerintah. Sedangkan bentuk
organisasi non laba nonpemerintah ialah organisasi sukarelawan,
rumah sakit swasta, sekolah tinggi dan universitas swasta, yayasan,
LSM, BUMN/BUMD, organisasi keagaamaan, organisasi politik,
dan lain sebagainya. (Muindro Renyowijoyo, 2012: 2)
Pada pembahasan kali ini kita akan lebih memperhatikan
tentang sudut pandang akuntansi pada sektor publik. Akuntansi
disini mempunyai arti sebagai penerapan dan perlakuan sebuah
proses untuk mengumpulkan, mencatat, mengklasifikasi,
menganalisis, serta membuat laporan transaksi keuangan, pada
wilayah publik. Setiap organisasi yang akan mengaktifkan proses
10
pelayanan masyarakat, mempunyai acuan masing-masing sebagai
pedoman awal. Seperti sistem akuntansi untuk badan-badan
pemerintah, diharuskan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP) yang dimaksud dalam UU No 17\2003 Pasal 32 Tentang
Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 Pasal 51 ayat (3) Tentang
Pemerintahan Daerah (Muindro Renyowijoyo, 2012: 2).
Untuk organisasi non laba nonpemerintah, sistem
akuntansinya mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang
diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia atau biasa disebut IAI.
Akuntansi sektor publik, mempunyai syarat capaian hasil yang
diarahkan untuk harus memiliki manfaat bagi publik. Karakteristik
tersebut merupakan pengaruh dari lingkungan, seperti faktor
ekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, pendapatan
per kapita, struktur produksi, tenaga kerja, arus modal, cadangan
devisa, teknologi; untuk faktor politik, yang dapat mempengaruhi
adalah hubungan masyarakat dengan negara, legitimasi pemerintah,
ideologi negara, kelembagaan; faktor kultural, ada pengaruh dari
agama, suku, ras, budaya, bahasa, historis, sosiologi masyarakat,
pendidikan; dan terakhir adalah faktor demografi, yaitu akibat
pertumbuhan penduduk, usia penduduk, migrasi, tingkat kesehatan.
(Muindro Renyowijoyo, 2012: 3)
Selain capain hasil yang harus dimiliki oleh sektor publik
tersebut, terdapat tuntutan baru terhadap organisasi. Yaitu value for
11
money (VfM) dalam menjalankan aktivitasnya. VfM adalah konsep
pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga
elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Untuk
elemen ekonomi, sektor publik diharuskan dapat meminimalisir
sumber daya yang digunakan, dengan menghindari pengeluaran
yang boros dan tidak produktif. Sedangkan elemen efisiensi, adalah
memperbandingkan pengeluaran (output) dengan masukan (input)
yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang ditetapkan.
Dan terakhir ada elemen efektivitas, yaitu perbandingan outvcome
dengan output, dimana pencapaian hasil program dengan target
yang ditetapkan akan diperbandingkan, demi mengetahui
keberhasilan kinerja suatu organisasi pelayanan publik. (Muindro
Renyowijoyo, 2012:4)
Kemudian, agar tercapainya suatu sektor publik yang
transparansi dan akuntanbilitas, ditetapkanlah dua elemen tambahan
yang mendasari. Yang pertama adalah elemen keadilan (equity),
mengacu pada adanya kesempatan sosial yang sama untuka
mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dan
berkesejahteraan ekonomi. Sedang elemen satunya lagi adalah
keseteraan (equality), yaitu melakukan suatu distribusi secara
merata. Dimana penggunaan uang publik hendaknya tidak hanya
terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan
secara merata. (Muindro Renyowijoyo, 2012:4)
12
Beda faktor yang mempengaruhi, beda juga tujuan
pencapaian suatu hasil kegiatan dari organisasi, seperti sektor
swasta. Sektor swasta adalah organisasi yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan atau laba. Faktor yang mempengaruhi
sektor swasta berbeda dengan sektor publik, seperti tujuan
organisasi, sumber pendanaan, pertanggung jawaban, struktur
organisasi, karakteristik anggaran, dan terakhir ada sistem
akuntansi. Untuk sumber pendanaan sektor publik berasal dari
pajak, retribusi, utang, obligasi pemerintah, laba BUMN/BUMD,
penjualan aset negara, sumbangan, hibah; sedangkan sektor swasta
mendapatkan modal proses kerja fungsi yang berasal dari
pembiayaan internal, modal sendiri, laba ditahan, penjualan aktiva,
pembiayaan eksternal, utang bank, obligasi, dan penerbitan saham.
(Muindro Renyowijoyo, 2012:6)
Untuk pertanggung jawaban hasil dari kinerja sektor swasta,
adalah kepada pemegang saham dan kreditor. Hasil kinerja tersebut
berasal dari struktur organisasi yang bersifat fleksibel, piramid,
lintas fungsional. Berbeda dengan sektor publik, struktur
organisasinya secara birokratis, kaku, dan hirarkis. Dikarenakan
pertanggung jawaban sektor publik adalah kepada publik atau
masyarakat, dan parlemen (DPR/DPD). Maka karakteristik
anggaran sektor publik bersifat terbuka untuk publik. Sedangkan
pada sektor swasta, mempunyai kewajiban untuk berkinerja dan
13
menghasilkan hasil pada perusahaan, menyebabkan anggaran yang
terjadi bersifat tertutup untuk publik. Faktor lingkungan terakhir
yang mempengaruhi sektor swasta berbeda dengan sektor publik
adalah pada sistem akuntansinya. Dimana untuk sektor publik
berbasis kas, sedangkan untuk sektor swasta adalah berbasis akrual.
(Muindro Renyowijoyo, 2012:6)
Selain faktor lingkungan, menurut Lloyd G. Reynolds pada
buku yang berujudul Economic Growth in the Third World, sektor
swasta mempunyai empat faktor yang dapat menentukan peran dan
kedudukannya terhadap perekonomian negara. Antara lain ada
faktor identitas nasional, kemampuan atau kontinuitas
kepemimpinan politik, orientasi kepemimpinan, dan yang terakhir
adalah faktor kemampuan mengelola pembangunan ekonomi dan
bisnis (J. Panglaykim, 2011: 154). Seperti Amerika, Jepang, dan
Korea Selatan, yang menggunakan strategi trading nation, dapat
berhasil menampilkan diri pada pasar global, serta membawa
kemakmuran dan kejayaan bagi bangsa dan negara, dimana sektor
swasta mempunyai prosentase lebih tinggi sebagai pelaku atau aktor
dalam pelaksanannya (J. Panglaykim, 2011: 162). Untuk negara
Indonesia, kebijakan terhadap sektor swasta, koperasi, dan sektor
pemerintah, harus menjadi unsur dan partner dalam
memperkembangkan ekonomi negara (J. Panglaykim, 2011: 163).
14
Harapan banyak negara yang mendukung sektor swastanya
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi negara, merupakan hal
yang benar untuk disetujui. Dikarenakan tiap masyarakat
mempunyai hak dalam mengembangkan kreativitasnya untuk
menambah maupun mempertahankan kekayaan. Menurut J.
Panglaykim, sektor swasta tidak dapat digolongkan sebagai sektor
yang homogen. Karena untuk situasi yang nyata, sektor swasta lebih
cocok dengan sebutan heterogenitas. Sebutan tersebut dapat
dibuktikan dari adanya berbagai perbedaan dalam kebijakan, misal
dari kredit diferensial sampai fasilitas dan kendala-kendalanya.
Heterogenitas pada sektor swasta dapat menyebabkan adanya
penentu kedudukan dan peran dari masing-masing organisasi swasta
dalam rangka melaksanakan tujuan-tujuannya. (J. Panglaykim,
2011: 163)
Kedudukan dan posisi tiap sektor swasta dihasilkan dari
perhitungan beberapa faktor yang telah eksis untuk dijadikan
patokan dalam pengelompokannya. Seperti bidang usaha yang
dipilih, besarnya bidang usaha (besar, menengah, atau kecil;
terintegrasi atau tidak), bentuk badan usaha yang dipilih (misalnya
PT dan sebagainya, dan pilihan ini ada hubungannya dengan
kontinuitas perusahaan), seberapa jauh hubungan mereka dengan
pusat-pusat atau tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh, kualitas
dan para profesional yang berhasil dikumpulkan, masalah umur
15
perusahaan dan persepsi dari para pemilik serta yang berkuasa,
struktur permodalan yang digunakan, masa-masa yang dianggap
menggairahkan usaha swasta, lokasi kegiatan atau lokasi yang
bersifat nasional, dan terakhir adalah faktor non-ekonomis. (J.
Panglaykim, 2011: 166-167)
2. Sejarah Munculnya Kemitraan Sektor Publik dengan Sektor
Swasta
Kedudukan swasta yang kreatif dan menjunjung tinggi laba
perolehan perusahaan, mengakibatkan karyawannya pun
mendapatkan pembayaran periodik yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan milik pemerintah. Sejarah ekonomi mengatakan, tahun
1945-1950 dunia pernah mengalami stagnasi peran pemerintah.
Menurut Savas dalam Privatizing the Public Sector, terdapat
beberapa faktor pendorong yang melatarbelakangi merosotnya
tingkat kepercayaan masayarakat terhadap pemerintah, bahwa peran
pemerintah terlalu dominan, terjadinya monopoli di sektor-sektor
publik, struktur kelembagaan pemerintah yang terlalu besar, kinerja
pemerintah tidak efisien atau boros terhadap anggaran negara, serta
pemerintah tidak adil terhadap masyarakatnya (A. Habibullah,
2009:16).
Pada awal tahun 1980-an, filosofi Partai Konservatif di
Inggris dan Partai Demokrat di Amerika Serikat telah berubah
16
secara radikal. Dimana kedua partai tersebut mencoba menyatukan
perbedaan kerangka intelektual secara sosiologi berupa ideologi
kanan baru. Yang berisikan bahwa:
a. Pengurangan program atau unit perlu dilakukan agar fleksibel
terhadap perkembangan pasar
b. Berkembangnya pemikiran politik ekonomi pasar bebas oleh
Stuart Mill dan Adam Smith dapat melancarkan motivasi dan
perilaku manusia ekonomi menjadi kunci kesejahteraan
c. Mekanisme pasar mulai dijadikan dasar pengambilan
keputusan pemerintah
d. Intervensi pemerintah sebagai sektor publik harus
diminimalisir
e. Kemitraan praktek manajemen swasta ke praktek manajemen
sektor publik diyakini akan mengoptimalkan hasil
f. Konsumen telah menjadi raja di pasar dan menjadi fokus
pengembangan kinerja pemain-pemain pasar (Bambang
Istianto, 2011:16).
Ideologi kanan baru tersebut merupakan pelancaran faham
privatisasi. Dimana privatisasi merupakan salah satu agenda dari
banyak program Neoliberal seperti restrukturisasi dan deregulasi di
negara-negara maju (A. Habibullah, 2009: 16). Maka dari itu faham
tersebut dieksistensikan sebagai solusi dalam pengembalian
kepercayaana masyarakat terhadap pemerintah, penyempitan
17
anggaran, maupun kekurangan sumberdaya yang dialami
pemerintah sebagai peran sektor publik. Perkembangan faham
tersebut mempunyai dampak besar terhadap pola pikir beberapa
negara untuk melancarkan kegiatan pelayanan masyarakat di masa
mendatang. Seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor
dunia, World Bank dan IMF yang sedang mendorong globalisasi di
bidang ekonomi (A. Habibullah, 2009: 16).
Di Indonesia privatisasi sudah dijalankan sejak jaman
Soeharto yaitu dengan alasan untuk kepentingan umum, bagi
pengikutsertaan pihak swasta di berbagai bidang usaha dalam
pengembangan infrastruktur. Dalam kenyataanya privatisasi
tersebut dimaksud untuk memfasilitasi penguasaan ekonomi kepada
para konglomerat kroni-kroni Soeharto dan kepada perusahaan-
perusahaan milik Cendana (keluarga Soeharto). Pada 1980an
dimulai penerbitan beberapa peraturan seperti UU, PP, dan Keppres
tentang ketenagalistrikan, jalan tol, telekomunikasi, perkeretaapian,
lalu lintas dan angkutan jalan, penerbangan, serta pelayaran, yang
memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta ikut serta dalam
penyelenggaraan jasa di berbagai bidang usaha. Selanjutnya peran
swasta asing didorong lebih lanjut lewat PP No. 20 tahun 1944
tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam
rangka PMA. Dengan berbagai peraturan yang memudahkan
privatisasi tersebut, maka sejak itu berbagai BUMN strategis mulai
18
dikuasai perusahaan asing seperti dalam kasus Paiton dengan PLN,
Cemex dengan Semen Gresik, dan lain-lain. Kebijakan tersebut
menyebabkan terjadinya kasus sengketa dan perselisihan anatara
pemerintah atau serikat pekerja BUMN dengan pihak asing. (A.
Habibbulah, 2009: 20)
Mulai tahun 1990, privatisasi di jadikan kajian secara
bertahap untuk melancarkan fungsi sektor publik dengan benar serta
demi melancarkan tuntutan masyarakat, karena kondisi
pembangunan infrastruktur terlihat semakin tidak terurus dengan
baik. Dimana Indonesia sudah terjebak hutang dan mengalami krisis
hutang. Seperti kondisi beban pembangunan pada pemerintah yang
sudah semakin tidak mampu menyediakan anggaran yang cukup,
untuk membangun infrastruktur. Bahkan untuk sekedar
pemeliharaan terhadap infrastruktur yang sedang dibangun juga
kurang diperhatikan dukungan pembiayaan yang memadai.
Beberapa aset milik negara pun sudah banyak yang kurang
berfungsi, hancur, dan hilang. Oleh karena itu, perubahan pemikiran
para policy maker di sektor publik mulai membuka lagi pintu
masuknya peran swasta untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang
tadinya dilaksanakan oleh pemerintah. (Bambang Istianto, 2011:2)
Peralihan peran pemerintah terhadap pihak swasta tersebut
digunakan pemerintah sebagai pengoptimalan fungsi sektor publik
dalam mengurus kepentingan, kebutuhan, serta tuntutan masyarakat
19
untuk kesejahteraannya. Peran dan kedudukan sektor swasta pun
mulai diperhatikan sebagai suatu berita yang menarik dan penting.
Pada hakekatnya, konsep privatisasi dapat dianggap sebagai konsep
implementasi paradigma “demokratisasi birokrasi”, karena
privatisasi merupakan desentralisasi kewenangan disektor ekonomi
kepada badan swasta dan desentralisasi sebagai salah satu pilar dari
nilai-nilai demokrasi yaitu bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat,
maka memberikan kewenangan kepada rakyat melalui lembaga
ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat merupakan pengakuan
negara terhadap eksistensi kedaulatan rakyatnya (Bambang Istianto,
2011:4).
Peralihan peran pemerintah terhadap pihak swasta dianggap
sebagaisuatu evolusi sektor publik. Dimana evolusi tersebut berasal
dari adanya perkembangan akuntansi, yang manamenurut Anessi
dan Cantu dimulai dari old “Public Administration” (PA) paradigm
atau “Weberian” paradigm, New Public Management (NPM), dan
terakhir New Public Governance (NPG).
a. Old “Public Administration” paradigm (Paradigma
Administrasi Klasik)
Dapat disebut sebagai Webernian Paradigm, dikarenakan
pemikiran Max Weber tentang birokrasi diklasifikasikan oleh
Jay M. Shafritz (1978) sebagai pemikiran Paradigma
Administrasi Klasik. Dimana Weber yang menekankan aspek
20
birokrasi dalam analisis-analisis administrasi negara hingga
tahun 1970 dengan menggunakan pendekatan ideal type.
Ideal type merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita
dalam memahami kehidupan sosial, dengan begitu kita lebih
mudah untuk mengetahui dan membeda-bedakan kondisi
suatu organisasi tertentu (Irwan Noor FIA, 2012). Dalam
Paradigma Administrasi Publik Klasik, manajemen keuangan
dianggap sebagai fungsi birokrasi yang tidak melibatkan diri
dalam mengambil keputusan kebijakan, dan juga sebagian
besar tidak terpengaruh oleh pendekatan penganggaran baru
seperti Planning Programming Budgeting System (PPBS),
Zero Based Budgeting (ZBB), anggaran misi, dan anggaran
darurat. Paradigma ini meyakinkan bahwa sebuah organisasi
publik yang beroperasi adalah organisasi paling efisien
sebagai sistem yang tertutup, sehingga keterlibatan warga
negara dalam pemerintahan dibatasi. Perkembangan
pemikiran lain dalam paradigma Administrasi Publik Klasik
adalah pertama administration behavior, dan kedua adalah
public choice. (Nanang Haryono, 2012: 50)
b. New Public Management (NPM)
NPM merupakan suatu pendekatan dalam administrasi
publik yang menerapkan pengetahuan serta pengalaman
yang diperoleh dalam dunia manajemen dan disiplin, untuk
21
meningkatkan efisiensi serta efektivitas kinerja pelayanan
publik pada birokrasi modern (Heru Eltano Kinantan, 2016:
11). NPM mengubah bentuk sistem Administrasi Publik
Klasik yang terkesan kaku, birokratis, dan hirarkis menjadi
model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih
mengakomodasi pasar (Heru Eltano Kinantan, 2016: 11-12).
Dalam perkembangannya, NPM telah mendukung tujuan
dari konsep pengelolaan dan mekanisme pasar sektor swasta
ke dalam sektor publik, dimana NPM mengklaim bahwa
terdapat perubahan dalam akuntansi sektor publiknya
menjadi NPFM (New Public Financial Management).
Seperti perubahan pada prinsip akuntansi, pembukuan
ganda, pemenuhan biaya untuk layanan, mengukur output
dan outcome, berbasis akrual, laporan keuangan konsolidasi,
dll. Fokus perhatian paradigmaini ada pada implementasi
kebijakan (Nanang Haryono, 2012:51). Penekanan
perspektif ini adalah memandang masyarakat sebagai
customer dari badan-badan publik. Manajer publik dituntut
untuk menentukan menemukan cara-cara baru dan inovaif
dalam menswastakan berbagai fungsi yang semula
dijalankan pemerintah. Dimana pusat perhatian manajer
publik adalah akuntanbilitas pada pelanggan, kinerja tinggi,
22
restrukturisasi lembaga publik, menyederhanakan proses
administrasi dan privatisasi. (Nanang Haryono, 2012:51)
Kemudian, NPM yang telah dikritik karena beberapa ahli
seperti Wamsle Wolf, dan lain-lain, dimana basis-basis
NPM sepeti efisiensi, rasionalitas, produktifitas, dan bisnis,
dipandang telah bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan
publik dan demokrasi. Maka berkembanglah suatu
administrasi publik yang berlandas New Public Service
(NPS) yang memusatkan tanggung jawab untuk melayani
warga negara sesuai kepentingan masyarakat (publik).
Paradigma NPS menghendaki perlibatan warga negara
dalam pemerintahan pada tataran perencanaan sampai pada
implementasi kebijakan. (Nanang Haryono, 2012:51)
c. New Public Governance (NPG)
Paradigma NPG lahir dikarenakan kritik pada NPM, bahwa
paradigm NPM kekurangan dasar teoritis dan konseptual,
serta NPM hanya dapat dipraktekkan secara terbatas pada
Anglo-American, Australia, dan negara-negara Scandinavia.
Maka NPG dirasa seebagai satu cara terbaik untuk
menjawab tantangan implementasi kebijakan publik dan
penyediaan layanan publik abad 21. NPG memfokuskan
strategi pada lima prinsip, diantarana social-political
governance yang menjunjung tinggi relasi institusi dengan
23
masyarakat, public policy governance berkaitan dengan
bagaimana para elit pengambil kebijakan dan interaksi
jarngan dalam membuat dan memutuskan proses kebijakan
publik, administrative governance yang merupakan
efektifitas aplikasi dari publik administrasi untuk
menyelesaikan masalah implementasi kebijakan publik abad
21, contract governance ialah penyelenggaraan pelayanan
publik sebagai upaya tanggung jawab pada pelayanan
publik, dan terakhir ada network governance yang dapat
mengorganisir diri pada jaringan interorganisasional.
(Nanang Haryono, 2012:52)
Dari ketiga evolusi tersebut, didapati sebuah analisis, bahwa evolusi
sektor publik tersebut dapat diumpamakan dengan institusional
logic dan templates. Dimana institusional logic ialah sebagai
penentu pilihan aktor dalam pembuatan akal, kosa kata yang
digunakan untuk memotivasi tindakan, dan identitas diri. Konsep
institusional logic dapat dikombinasikan institutional work dan
entrepreneurship, untuk menyelidiki bagaimana praktik akuntansi
aktual yang sedang mengikuti perbahahuran gagasan
privatisasi.Yang mana kunci dari kemungkinan suatu perubahan
seperti pertimbangan kepentingan, kekuatan, dan legitimasi adalah
aktor yang mempunyai peran penting dan kuat pada lingkungannya.
24
Sedang templates terbentuk dari institusional logic, dan
penggunaan templates memerlukan tingkat koherensi tertentu
dengan logika dasarnya. Akuntansi dipandang sebagai templates
yang terpengaruh upaya pemerintah dalam memaksakan logika
yang berbeda pada organisasi. Dimana Reay dan Hinings
menyatakan bahwa logika yang saling bersaing dapat hidup
berdampingan selama periode dalam jangka berkepanjangan, yang
mana sektor publik dengan sektor swasta mempunyai logika yang
berbeda. Dan logika tersebut mempunyai arah terhadap visi, misi,
dan praktek yang berbeda juga, dengan begitu jika mendapati
keduanya saling berhubungan, maka proses kinerja yang belum
sempurna akan saling dilengkapi melalui keunggulan tiap pihaknya.
Tetapi pada beberapa pandangan masyarakat lain, sifat
privatisasi dianggap bisa mengusik keadilan. Dapat dilihat pada
pola visi dan misi antara sektor publik dengan sektor swasta, adalah
berbeda. Jika sektor publik mempunyai fungsi dan kewajiban untuk
negara dalam bentuk “service citizen not customer”, dan tiba-tiba
terjadi peralihan peran dan fungsi pemerintah terhadap sektor
swasta yang lebih berorientasi kepada keuntungan, akan dapat
mengakibatkan pengabaian masyarakat miskin karena tidak sanggup
membayar nilai produksinya (Bambang Istianto, 2011:3).
Persetujuan pemerintah dalam kerjasama serta peralihan fungsi dan
25
kewajibannya tersebut, dianggap masyarakat sebagai kebiajakan
diskriminatif menuju gerakan komersialisasi.
Kebijakan dipandang sebagai bentuk diskriminatif adalah
karena pergeseran orientasi pemerintah dalam mengurus
kepentingan publik dengan faham privatisasi, dianggap dapat
menghilangkan jati diri suatu bangsa. Diawali dari nilai-nilai sosial
masyarakat menjadi terabaikan, lalu berlanjut pada orientasi
pemerintah berubah lebih cenderung kearah produktivitas
(Bambang Istianto, 2011:4). Dari tuntutan masyarakat terhadap
keadilan tersebut, pemerintah mengabulkan hak masyarakat secara
adil dengan membuat “Standar Pelayanan Minimal (SPM)” dan juga
memakai pendapatan negara melalui “pajak”, demi menghilangkan
adanya sifat diskriminasi pelayanan masyarakat oleh pemerintah.
Dan untuk pola kerja faham privatisasi yang melibatkan investor
asing, maka kepemilikian saham harus berdasarkan skema yang
mencerminkan kedaulatan negaara atau pemerintah, yaitu
pemerintah Indonesia tetap memegang kendali untuk melakukan
negosiasi skema pembiayaan yang tetap menjaga kepentingan
publik supaya tidak cenderung dirugikan (Bambang Istianto,
2011:5).
Privatisasi mempunyai beberapa jenis yang sering menjadi
rujukan dalam penerapan fahamnya di perusahaan berbagai negara,
yaitu merger’s, joint ventures, joint operations, dan terakhir ada
26
public private partnership. Pada penelitian kali ini, pembahasan
akan difokuskan terhadap jenis privatisasi “Public Private
Partnership”. Public Private Partnership adalah perjanjian
kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta yang tertuang
dalam kontrak berisi skema kerjasama yang disepakati kedua belah
pihak. Seperti misalnya swasta mengambil alih fungsi pemerintahan
dalam jangka waktu tertentu, fasilitas publik tanah dan sumberdaya
lainnya dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh sektor swasta.
Selain itu pihak swasta juga yang akan menanggung risiko yang
ditimbulkan setelah menerima kesepakatan tersebut. (Bambang
Istianto, 2011:34-35)
Pada tulisan H. Hartono 2011, terdapat beberapa bentuk
kerjasama dalam pelaksanaan Public Private Partnership menurut
NCPPP, seperti Build Operation Transfer (BOT), Build Transfer
Operate (BTO), Build Own Operate (BOO), Buy Build Operate
(BBO), Contract Service (ada Operations and Maintanance dan
Operations, Maintanance, Management), Design Build (DB),
Design Build Maintain (DBM), Design Build Operate (DBO),
Concession, Lease Develop Operate (LDO) atau Build Develop
Operate (BDO), Lease/purcahse, Sale/Leaseback, dan terakhir ada
Community Based Provision (CBP).
27
3. Kemitraan Sektor Publik dengan Sektor Swasta
Public Private Partnership merupakan keterlibatan pihak
swasta dalam kerjasama dengan pemerintah untuk mengurus
kepentingan publik. Bentuk kerjasama itu bisa dilakukan melalui
kontrak yang disepakati bersama. Kesepakatan tersebut
menunjukkan adanya keseimbangan kepentingan-kepentingan.
Disatu pihak, sektor swasta, berhak mengambil alih fungsi
pemerintah serta menerima kompensasi juga menanggung beban
atas risiko serta pelaksanaan fungsi tersebut. Dipihak lain,
pemerintah, menjamin kebutuhan yang diajukan oleh sektor swasta
untuk menjalankan kegiatan usahanya secara feasible. (Bambang
Istianto, 2011: 37-38)
Skenario kerjasama dapat dilakukan dengan beberapa tipe
yaitu; pertama, dengan menggunakan pajak pendapatan oleh
pemerintah sebagai investasi modal, sedangkan pelaksanaan
operasionalnya dikerjasamakan dengan sektor swasta dibawah
kontrak; kedua, sektor swasta mengajukan inisiatif pembiayaan
sebagai investasi modal yang didukung dengan kontrak sedangkan
pihak pemerintah memberikan kontribusi berupa penyediaan
fasilitas yang dibutuhkan swasta atau pemerintah dapat
mengalihkan asetnya kepada sektor swasta. Pembuatan skenario
kerjasama ini adalah didasarkan atas azas manfaat yang dapat
28
diperoleh kedua belah pihak secara proposional. (Bambang Istianto,
2011: 39-40)
Dalam pelaksanaan kontrak kerjasama antara sektor publik
dengan sektor swasta terdapat persyaratan yang mutlak untuk
dipenuhi. Untuk pihak pemerintah, diharuskan efisien dan efektif
(good governance), komitmen dan konsisten yang kuat. Di lain
pihak, sektor swasta di tuntut memiliki dukungan finansial yang
kuat serta memiliki perusahaan yang kredibilitasnya baik dan
efisien. Dengan begitu, kerjasama yang terjalin akan menimbulkan
kegiatan secara prinsip-prinsip pasar dan menumbuhkan strategi
manajemen publik yang baru. Instrumen khusus yang digunakan
antara lain kontrak kerja, mendorong kompetisi antara vouvhers,
divestment, withdrawal, dan tindakan suka rela. (Bambang Istianto,
2011: 39-42)
Berlakunya bentuk operasi baru tersebut, melahirlah juga
kebutuhan baru yang menjadi syarat dalam memproduksi dan
mengaudit keuangan, laporan kinerja, dan bentuk akuntanbilitas.
Perubahan tata kelola tersebut dikenal sebagai New Public
Government.Dimana sistem tersebut mempunyai pemfokusan
terhadap multi-organisasi yang berkaitan dengan Whole-of-
Government Accounting (WGA), masalah konsolidasi,
akuntanbilitas, dan nilai dalam masalah keuangan pemerintah dari
adanya kemitraan.Hubungan antara tiap sektor publik, hubungan
29
antara otoritas pengadaan dengan Special Purpose Vehicle (SPV),
serta hubungan antara anggota SPV, adalah penting untuk dipahami
dalam kerangka kerja NPG, guna melancarkan proses terjalinnya
kemitraan sektor publik dan sektor swasta.
Di Indonesia, kemitraan sektor publik dengan sektor swasta
memberlakukan beberapa pedoman untuk pelaksanaanya sesuai
peraturan perundangan yaitu:
a. Pengadaan Badan Usaha dalam rangka Perjanjian Kerjasama
dilakukan melalui Pelelangan Umum;
b. Tata cara pengadaan meliputi: Persiapan Pengadaan,
penetapan pemenang dan penyusunan perjanjian kerjasama;
c. Setiap usulan proyek yang akan dikerjasamakan harus
disertai dengan pra studi kelayakan, rencana bentuk
kerjasama, rencana pembiayaan proyek dan sumber dananya
serta rencana penawaran kerjasama yang mencakup jadwal,
proses dan cara penilaian;
d. Dalam hal proyek kerjasama yang merupakan prakarsa
badan usaha, maka badan usaha yang usulannya diterima
akan diberikan kopernsasi berupa pemberian tambahan nilai
maksimal 10% dari nilai tender pemrakarsa atau pembelian
prakarsa proyek kerjasama termasuk hak kekayaan
intelektual. Adapun prinsip kerjasama dalam penyediaan
30
infrastruktur diatur dalam rumusan prinsip kerjasama
sebagai berikut:
1) Adil, berarti seluruh Badan Usaha yang ikut serta
dalam proses pengadaan harus memperoleh perlakuan
yang sama;
2) Terbuka, berarti seluruh proses pengadaan bersifat
terbuka bagi bahan usaha;
3) Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi
yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur
termasuk syarat teknis administrasi pemilihan, tata
cara evaluasi, dan penetapan badan usaha bersifat
terbuka bagi seluruh Badan Usaha serta masyarakat
umumnya;
4) Bersaing, berarti pemilihan Badan Usaha melalui
proses pelelangan;
5) Bertanggung-gugat, berarti hasil pemilihan Badan
Usaha harus dapat dipertanggungjawabkan;
6) Saling menguntungkan, berarti kemitraan dengan
Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur
dilakukan berdasarkan ketentuan dan persyaratan
yang seimbang sehingga memberi keuntungan bagi
kedua belah pihak dan masyarakat dengan
memperhitungkan kebutuhan dasar masyarakat.
31
Perlakukan perundangan tersebut dijadikan peraturan guna
melangsungkan kemitraan yang sehat dan berjalan lancar sesuai
kontrak persetujuan kedua belah pihak. (Bambang Istianto, 2011:
77-78)
Dengan demikian, pemerintahan harus bisa menentukan
tujuan baru dengan adanya reformasi kebijakan publik, yang sesuai
dengan fungsi adanya pemerintahan untuk rakyat. Jika pemerintah
dapat fokus pada kerangka kerja pemerintah serta implikasi bio-
politik, maka akan membantu pemerintah dalam mendorong inisiatif
kota yang cerdas dalam mengejar tujuan pemerintahan yang
mengarah kepada efisiensi dan menjadi kebaikan untuk masyarakat.
Seperti yang dinyatakan oleh Foucault, bahwa bio-politik dapat
mencerminkan persoalan kekuasaan yang menentukan kehidupan
dan kemtian manusia (dr aminah fisip, 2012). Dimana bio-politik
dianggap sebagai tanda ambang modernitas, karena menempatkan
hidup ke dalam tatanan politik (dr aminah fisip, 2012). Mengubah
standar akuntansi, tidak bisa dilihat sebagai masalah teknis saja,
melainkan juga melihat pada isu budaya, agar mendapatkan solusi
daripada melihat sebuah kemungkinan-kemungkinan yang
dikritiskan.
Kemitraan menurut Sulistiyani, mempunyai tiga pola yang
diilhami dari fenomena biologis kehidupan organisme. Pertama ada
kemitraan semu, yang merupakan persekutuan yang terjadi antara
32
dua pihak atau lebih, namun tidak sesungguhnya melakukan
kerjasama secara seimbang satu dengan lainnya. Dikarenakan pihak-
pihak yang bermitra belum tentu memahami substansi yang
diperjuagkan dan manfaatnya apa. Kedua, kemitraan mutualistik,
ialah persekutuan dua pihak yang sama-sama menyadari aspek
pentingnya melakukan kemitraan, yaitu untuk saling memberikan
manfaat dan mendapatkan manfaat lebih, sehingga akan dapat
mencapai tujuan secara lebih optimal. Ketiga, kemitraan konjungsi,
dimana kemitraan ini dianalogikan dari kehidupan paramecium. Dua
paramecium mendapatkan energi dan kemudian terpisah satu sama
lain, dan selanjutnya dapat melakukan melakukan pembelahan diri.
Pada pola kemitraan konjungsi ini, para pihak yang memiliki
kelemahan di dalam melakukan usaha atau mencapai tujuan
organisasi dapat melakukan pola kemitraan ini dalam rangka
meningkatkan kemampuan masing-masing. Pada tiga macam pola
kemitraan di atas, kemitraan sektor publik dengan sektor swasta
dapat dikategorikan sebagai kemitraan mutualistik. (Imelda Merry
Melyanti, 2014: 3-4)
4. Bentuk-Bentuk Kemitraan Sektor Publik dengan Sektor Swasta
a. Build Operation and Transfer (BOT)
BOT merupakan sistem Bangun Guna Serah yang
mempunyai kontrak perjanjian dari dua pihak. Dimana pihak
33
yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya, untuk
di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak
kedua (sektor swasta sebagai investor). Sedang pihak kedua
berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan untuk
jangka waktu tertentu dengan memberikan fee kepada
pemilik tanah. Tujuan model BOT bagi pemerintah ialah
dapat membangun infrastruktur dengan biaya perolehan
dana dan tingkat bunga yang relatif rendah, serta pemerintah
tidak menanggung resiko kemungkinan terjadinya
perubahan kurs. Sedang keuntungan bagi pihak kedua ialah
dapat memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap
infrastruktur yang dibangunnya. (Ima Oktorina, 2010: 61,
66)
b. Build Transfer Operate (BTO)
Sistem kerjasama BTO sebenarnya hampir sama dengan
BOT, tetapi setelah proses pembangunan selesai, pihak
kedua (swasta) diharuskan mengembalikan dan
menyerahkan bangunan beserta fasilitasnya kepada
pemerintah sebagai pihak pertama.
c. Build Own Operate (BOO)
BOO merupakan bentuk kerjasama, dimana pemerintah
menyerahkan hak dan tanggung jawabnya atas suatu
prasarana publik kepada mitra swasta,untuk membiayai,
34
membangun, memiliki, dan mengoperasikan suatu prasarana
publik baru tersebut selama-lamanya. (H. Hartono, 2011: 17)
d. Buy Buil Operate (BBO)
BBO merupakan sebuah bentuk penjualan aset yang
mencakup proses rehabilitasi atau pengembangan dari
fasilitas yang sudah ada. Dimana pemerintah akan menjual
aset kepada pihak swasta, dan kemudian pihak
swastamelakukan upaya peningkatan yang dibutuhkan
fasilitas tersebut untuk menghasilkan keuntungan dengan
mekenisme yang menguntungkan pula. (H. Hartono, 2011:
17)
e. Contract Service
1) Operations and Maintanance
Pihak pertama, sektor publik (pemerintah negara
bagian, badan-badan/instansi pemerintah lokal)
melakukan kontrak atau perjanjian kerjasama dengan
pihak swasta untuk menyediakan dan atau
memelihara jasa atau layanan tertentu. Berdasarkan
pada pilihan operasi dan pemeliharaan yang telah
diberikan kepada swasta, sektor
publikmempertahankan kepemilikan dan seluruh
manajemen fasilitas umum atau sistem. (H. Hartono,
2011:17)
35
2) Operations, Maintanance, Management
Sektor publik melakukan kontrak kerjasama dengan
pihak swasta untuk mengoperasikan, memelihara, dan
mengelola fasilitas atau sistem untuk meningkatkan
pelayanan. Berdasarkan kontrak atau perjanjian ini,
sektor publik mempertahankan kepemilikan, tetapi
pihak swasta boleh menginvestasikan modalnya pada
fasilitas atau sistem tersebut. Swasta manapun sangat
berhati-hati dalam memperhitungkan investasi pada
setiap kerjasama dengan operasional yang efisien dan
tabungan selama waktu kontrak. Dengan kontrak yang
rata-rata lebih lama, pihak swasta memiliki
kesempatan besar untuk memperoleh keuntungan dan
pengembalian yang sesuai. Pemerintah di Amerika
Serikat biasanya menggunakan bentuk kerjasama ini
untuk pelayanan perawatan sampah cair. (H. Hartono,
2011: 17-18)
f. Design Build (DB)
DB merupakan bentuk kerjasama dimana pihak swasta
menyediakan desain dan membangun sesuai desain proyek
yang memenuhi persyaratan yang standar dan kinerja yang
dibutuhkan, yang ditetapkan oleh pemerintah. Bentuk
kerjasama ini dapat menghemat waktu, dana, jaminan yang
36
lebih jelas, dan membebankan risiko tambahan kepada
swasta. Selain itu bentuk ini juga dapat mengurangi konflik
karena pembagian tanggung jawab yang jelas dan sederhana.
(H. Hartono, 2011: 18)
g. Design Build Maintain (DBM)
Bentuk DBM merupakan bentuk kerjasama yang hampir
sama dengan DB, dengan pengecualian pada pemeliharaan
fasilitasnya selama beberapa waktu dalam perjanjian,
menjadi tanggung jawab pihak swasta. (H. Hartono, 2011:
18)
h. Design Build Operate (DBO)
DBO merupakan bentuk kerjasama dimana kontrak tunggal
diberikan untuk mendesain, membangun, dan
mengoperasikan. Kepemilikan fasilitas dipertahankan untuk
sektor publik, kecuali jika proyek tersebut berupa design
bild operate transfer atau design bild own operate. Metode
ini melibatkan satu kontrak dengan seorang arsitek atau
insinyur, diikuti dengan kontrak yang berbeda untuk
pemborong, kemudian diikuti pengambil-alihan oleh pemilik
dan mengoperasikannya. (H. Hartono, 2011: 18)
i. Concession
Konsesi memberikan peluang tanggung jawab yang lebih
besar kepada pihak swasta, tidak hanya untuk
37
mengoperasikan dan memelihara aset tersebut, namun juga
berinvestasi. Kepemilikan aset masih berada ditangan
pemerintah, tetapi keseluruhan hak guna, berada ditangan
sektor swastahingga berakhirnya kontrak (biasanya 25-30
tahun). Konsesi biasanya ditawarkan melalui lelang dengan
penawaran terendah akan keluar sebagai pemenang. Konsesi
diatur dengan kontrak yang mencakup kondisi seperti target
kinerja (kualitas), standarkinerja, perjanjian investasi modal,
mekanisme penyelarasan tarif, dan penyelesaian arbritase
atau perselisihan yang berpotensi muncul. Keuntungan
bentuk konsesi adalah seluruh pengelolaan dan investasi
dilakukan oleh sektor swasta,untuk tujuan efisiensi. (H.
Hartono, 2011: 18-19)
j. Lease Develop Operate (LDO) atau Build Develop Operate
(BDO)
LDO atau BDO merupakan kerjasama, dimana pihak swasta
menyewa atau membeli prasarana publik dari pemerintah,
dan mengembangkannya serta melengkapinya, lalu
mengoperasikan berdasarkan kontrak dalam waktu tertentu.
Selama kontrak berlangsung, pihak swasta dapat
mengembangkan prasarana yang ada dan
mengoperasikannya sesuai dengan perjanjian kontrak. (H.
Hartono, 2011: 19)
38
k. Lease/Purchase
Bentuk kerjasama ini terjadi ketika pemerintah membuat
kontrak dengan pihak swasta untuk merancang dan
membiayai serta membangun prasarana publik, tetapi setelah
selesai dibangun, prasarana tersebut menjadi milik
pemerintah. Lalu pihak swasta berhak menyewa prasarana
tersebut kepada pemerintah, untuk dioperasikan dalam
periode waktu yang sesuai dengan perjanjian. Berdasarkan
perjanjian tersebut, pengoperasian fasilitas dapat dilakukan
oleh kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) selama
masa sewa. Lease/purchase sudah digunakanGeneral
Service Administration pada pembangunan gedung kantor
pemerintah negara bagian dan pembangun gedung-gedung
penjara di Amerika Serikat. (H. Hartono, 2011:19)
l. Sale/Leaseback
Merupakan bentuk kerjasama pengaturan keuangan, dimana
pemilik fasilitas menjual kepada pihak lain, dan setelah itu
menyewa kembali dari pemilik baru tersebut. Baik
pemerintah maupun pihak swasta dibolehkan ikut masuk
didalam pengaturan sale/leaseback. Inovasi penggunaan
bentuk kerjasama ini adalah penjualan fasilitas umum
kepada sektor publik atau perusahaan swasta dengan
pertimbangan pembatasan kewajiban dari pemerintah.
39
Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah yang menjual
fasilitas, dapat menyewanya kembali, dan dapat melanjutkan
pengoperasiannya. (H. Hartono, 2011: 19-20)
m. Community Based Provision (CBP)
CBP merupakan kerjasama perorangan atau keluarga atau
perusahaan kecil yang merepresentasikan kepentingan
tertentu dengan menegosiasikannya kepada pemerintah dan
Non-Govermental (NGO). Posisi NGO sebagai mediator
antara masyarakat (perorangan atau keluarga atau
perusahaan) dengan pemerintah. Contohnya pengelolaan ban
sampah di lingkungan tertentu (RT, RW atau kompleks
perumahan) yang bertujuan untuk mendaur ulang sampah
demi kelestarian lingkungan dan memanfaatkannya sebagai
tujuan ekonomi. (Nyimas Latifah Letty Aziz, 2016)
5. Kendala Kemitraan Sektor Publik dengan Sketor Swasta
Kendala penerapan konsep kemitraan sektor publik dengan
sektor swasta adalah pada tuntutan penolakan privatisasi oleh
sebagian masyarakat. Dikarenakan seringkali bertolak dengan
harapan “rasa keadilan masyarakat”. Seperti contoh di bidang
“sumberdaya air minum” di wilayah pemerintahan provinsi DKI, di
samping pola tarif yang semakin mahal, namun tidak diikuti dengan
pelayanan yang optimal, misalnya kondisi air kadang-kadang masih
40
keruh dan pengaduan kerusakan kurang cepat ditangani. Artinya
bahwa barang publik yang masih merupakan kebutuhan dasar
masyarakat seperti “air minum” atau transportasi tersebut, jika tarif
yang terus cenderung semakin mahal dan tidak sebanding dengan
peningkatan pendapatan masyarakat, maka sebagian besar
masyarakat relatif semakin banyak yang tidak mampu
mengkonsumsi “air minum” yang bersih dan sehat atau menikmati
jasa transportasi yang lebih cepat, murah, tepat waktu, dan nyaman.
(Bambang Istianto, 2011: 42-43)
Pembelaan dari para ahli dan pro kemitraan anatar sektor
publik dengan sektor swasta menganggap bahwa ketidaksetujuan
terhadap adanya kontrak kerjasama ialah didasarkan atas sejumlah
contoh managemen yang kurang baik, seperti dalam proses
pertentangan yang mendasar terhadap konsep yang berada di bawah
pengaruh ideologi atau bersifat ideologis (Bambang Istianto, 2011:
42-43). Dan pembelaan tersebut, juga telah dinyatakan oleh Nyimas
Latifah Letty Aziz pada artikelnya yang dipublikasikan oleh web
pusat penelitian politik. Dimana Aziz menyimpulkan bahwa
“penerapan PPP di Indonesia masih terbilang lemah karena regulasi
yang saling tumpang tindih sehingga menyulitkan pihak swasta
untuk melakukan investasi, prosedur birokrasi yang masih berbelit-
belit, perencanaan tata ruang wilayah dan daerah yang belum tertata
41
dengan baik, desain perencanaan teknis yang tidak matang, sehingga
menyulitkan pihak swasta dalam proses pengerjaan”.
B. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang dilakukan peneliti, belum ada yang
membahas tentang pembedahan beberapa jurnal yang meneliti realitas
kemitraan dari bahasan beberapa jurnal internasional. Maka tidak
diragukan lagi bahwa penelitian ini merupakan bahasan baru secara asli
dan kritis dalam bahasannya. Tetapi terdapat beberapa karya tulis ilmiah
yang berkaitan dengan variabel Kemitraan Sektor Publik dengan Sektor
Swasta, adalah sebagai berikut:
1. Skripsi UGM dengan judul “Dinamika PPP dalam ManajemenSistem
E-Ticketing Trans Jogja di Yogyakarta”, ditulis olehRatama Arifin
Wibowo, tahun 2013. Skripsi inimendeskripsikan tentang bentuk
dukungan para pemangkuserta faktor penyebab tidak optimalnya
pengelolaan PPPsdalam implementasi kebijakan terhadap tiket
elektronik non-tunai Trans Jogja, sebagai fasilitas layanan publik.
2. Tesis UGM dengan judul “Risk Management of Public
PrivatePartnerships for Utilizing Municipal Assets in
Bangka,Indonesia”, ditulis oleh Helwanda, tahun 2010.