bab ii landasan teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789...bab ii landasan...
TRANSCRIPT
9
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Evaluasi Program
2.1.1 Teori Evaluasi Program Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris) yang kemudian kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia menjadi “evaluasi” dengan tujuan mempertahankan kata aslinya
dengan sedikit penyesuaian lafal. Arikunto dan Jabar (2008) mengemukakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat
dalam sebuah keputusan. Tyler mengemukakan bahwa evaluasi ialah
proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan
pendidikan dapat dicapai. Sedangkan Maclcolm, Provus mendefinisikan evaluasi sebagai perbedaan apa yang
ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih. (Tayibnapis, 2008)
Wirawan (2011) mengemukakan bawa evaluasi
sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya
dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi.
Program menurut Suharsimi Arikunto dan Jabar (2008) ada dua pengertian, yaitu: pengertian secara khusus dan umum. Secara umum program dapat di
artikan sebagai rencana. Program didefinisikan sebagai satu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan
realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam program yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan
sekelompok orang. Program adalah kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak
terbatas (Wirawan 2011).
10
Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Ada beberapa pengertian
tentang program sendiri. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi
program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari
kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 1993). Menurut Tyler yang dikutip oleh Arikunto dan
Jabar (2008), evaluasi program adalah proses untuk
mengetahui apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach dan
Stufflebeam evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.
Definisi evaluasi program menurut (Wirawan, 2011) adalah metode-metode sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi
untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program. Arikunto dan Jabar (2008), menjelaskan bahwa
terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut: 1. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi
program pelaksanan ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul
dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu. 2. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh
rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui
tingkat ketercapaian tujuan program, dan apabila tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksanan ingin mengetahui letak kekurangan itu
dan apa sebabnya.
11
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan proses pengumpulan dan analisis data atau informasi yang
ilmiah, untuk mengetahui apakah tujuan program telah terealisasi yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam
menentukan alternatif kebijakan.
2.1.2 Ciri-ciri dan persyaratan evaluasi program Menurut Arikunto dan Jabar (2008) evaluasi
program memiliki cirri-ciri dan persyaratan sebagai berikut :
A. Proses kegiatan penelitian tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku bagi penelitian pada umumnya;
B. Dalam melaksanakan evaluasi, peneliti harus berpikir secara sistematis yaitu memandang program yang diteliti sebagai sebuah kesatuan yang
terdiri dari beberapa komponen atau unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang
keberhasilan kinerja dari objek yang dievaluasi; C. Agar dapat mengetahui secara rinci kondisi dari
objek yang dievaluasi, perlu adanya identifikasi
komponen yang berkedudukan sebagai faktor penentu bagi keberhasilan program;
D. Menggunakan standar, kriteria, atau tolak ukur
sebagai perbandingan dalam menentukan kondisi nyata dari data yang diperoleh dan untuk
mengambil kesimpulan; E. Kesimpulan atau hasil penelitian digunakan sebagai
masukan atau rekomendasi bagi sebuah kebijakan
atau rencana program yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam melakukan kegiatan
evaluasi program peneliti harus berkiblat pada tujuan program kegiatan sebagai standar, kriteria, atau tolak ukur;
F. Agar informasi yang diperoleh dapat menggambarkan kondisi nyata secara rinci untuk mengetahui bagian mana dari program yang belum
12
terlaksana, maka perlu ada identifikasi komponen yang dilanjutkan dengan identifikasi subkomponen, sampai pada indikator program yang dievaluasi;
G. Standar, kriteria, atau tolak ukur ditetapkan pada indikator yaitu bagian yang paling kecil dari program agar dapat dengan cermat diketahui letak
kelemahan dari proses kegiatan; H. Dari hasil penelitian harus dapat disusun sebuah
rekomendasi secara rinci dan akuran sehingga dapat ditentukan tindak lanjut secara tepat.
2.1.3 Tujuan Evaluasi Program Tujuan dari pelaksanaan evaluasi program
menurut Wirawan (2011) adalah: 1) mengukur pengaruh program yang dilaksanakan terhadap masyarakat, 2) Mengukur apakah program telah
dilaksanakan sesuai dengan rencana, 3) Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar, 4) Untuk mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi
program yang jalan dan mana yang tidak jalan, 5)Pengembangan staf program, 6)Akreditasi program, 7)
Mengukur cost effectiveness dan cost efficiency, 8) Mengambil keputusan mengenai program, 9) Accountabilitas, 10) Memberikan balikan pada kepada
pimpinan dan staf program. Menurut Endang Mulyatiningsih (2011), evaluasi
program dilakukan dengan tujuan untuk : 1) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting
untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain, 2) Mengambil keputusan tentang keberlanjutan
sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
Arikunto (2008) menjelaskan tujuan dari
diadakannya evaluasi program adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program,
karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang
belum terlaksana dan apa sebabnya.
13
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari evaluasi program adalah mengumpulkan informasi yang akurat untuk
menilai proses pelaksanaan program, menilai hasil yang telah dicapai program, menilai tingkat kebermanfaatan program sehingga dapat diperoleh
upaya tindak lanjut untuk memperbaikinya.
2.1.4 Model-Model Evaluasi Program Kaufman dan Thomas dalam bukunya Arikunto
(2008) membedakan model evaluasi menjadi 8, yaitu :
A. Model Evaluasi Berbasis Tujuan Model evaluasi berbasis tujuan dalam bahasa
inggris disebut Goal Based Evaluation Model atau Objective Oriented Evaluation atau Objective-Referenced Evaluation Model atau Objective Oriented Approach atau Behavioural Objective Approuch, merupakan model evaluasi tertua yang dikembangkan oleh Ralph W.
Tyler. (Wirawan, 2011). Objek pengamatan pada model evaluasi berbasis
tujuan Menurut Arikunto dan Jabar (2008) adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus menerus, mengecek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses
pelaksanaan program. Wirawan, (2011) mengemukakan bahwa model
evaluasi berbasis tujuan secara umum mengukur
apakan tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan, program atau proyek dapat tercapai atau tidak. Model evaluasi ini memfokuskan pada mengumpulkan
informasi yang tertujuan mengukur pencapaian tujuan kebijakan, program dan proyek untuk
pertanggungjawaban dan pengambilan keputusan. Jika suatu program tidak mempunyai tujuan, atau tidak mempunyai tujuan yang bernilai, maka program
tersebut merupakan program yang buruk. Tujuan merupakan tujuan yang akan dicapai, pengaruhnya
atau akhirnya dari yang akan dicapai sebuah program.
14
Wirawan, (2011) menyatakan bahwa model evaluasi berbasis tujuan dirancang dan dilaksanakan dengan proses sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi tujuan. Mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan atau objektif intervensi,
layanan dari program yang tercantum dalam rencana program. Objektif program kemudian
dirumuskan dalam indikator-indikator kuantitas dan kualitas yang dapat diukur.
2. Merumuskan tujuan menjadi indikator-
indikator. Evaluator merumuskan tujuan program menjadi indikator-indikator kuantitatif
dan kualitatif yang dapat diukur. Indikator-indikator ini dirumuskan dalam pertanyaan evaluasi yang harus diukur dalam evaluasi.
3. Mengembangkan metode dan instrumen untuk menjaring data. Evaluator menentukan apakah akan menggunakan metode kuantitatif atau
kualitatif atau campuran. Mengembangkan instrument untuk menjaring data. Jenis
instrument tergantung pada metode yang dipergunakan.
4. Memastikan program telah berakhir dalam
mencapai tujuan. Layanan, intervensi dari program telah dilaksanakan dan ada indikator mencapai pencapaian tujuan, pengaruh atau
perubahan yang diharapkan. 5. Menjaring dan menganalisis data/informasi
mengenai indikator-indikator program. Menjaring dan menganalisis data/mengenai semua indikator progam dalam butir dua.
15
6. Kesimpulan. Mengukur hasil pencapaian program, atau pengaruh intervensi atau perubahan yang diharapkan dari pelaksanaan
program dan membandingkan dengan objektif yang direncanakan dalam rencana program untuk menentukan apakah terjadi ketimpangan.
Hasilnya salah satu dari berikut : a. Program dapat mencapai objektifnya
sepenuhnya b. Program dapat mencapai sebagian objektifnya
antara 50 % - 99,9 %
c. Program mencapai objektifnya di bawah 50 % d. Program gagal mencapai objektifnya.
7. Mengambil keputusan mengenai program. Keputusan dapat berupa : a. Jika program dapat mencapai tujuannya
sepenuhnya, mungkin program dilanjutkan atau dilaksanakan di daerah lain jika sebelumnya hanya dilakukan di daerah
tertentu. b. Dapat juga terjadi jika program berhasil
sepenuhnya dan masyarakat yang dilayanai tidak memerlukan lagi layanan program maka dihentikan.
c. Jika program ternyata gagal akan tetapi masih diperlukan layanannya oleh sebagian
besar masyarakat, maka program dianalisis penyebab kegagalan dan kemudian dikembangkan atau dimodifikasi.
16
Proses rancangan dan pelaksanaan Model Evaluasi Berbasis Tujuan ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :
Gambar 2.1 Proses Model Evaluasi Berbasis Tujuan
Goal Based Evaluation Model mempunyai
keunggulan jika dibandingkan dengan model evaluasi
lainnya, keunggulan tersebut antara lain : a. Demokratis. Tujuan, layanan atau intervensi
program merupakan hasil keputusan formal dari
lembaga negara yang dipilih secara demokratis. Program tersebut disusun dan dilaksanakan
sehingga merupakan perintah dari undang-undang yang merupakan keputusan dari lembaga formal pembuat undang-undang (legislatif dan eksekutif)
atau keputusan pemerintah. Program juga dapat merupakan hasil delegasi pengambilan keputusan
3. Mengembangkan desain dan
instrument evaluasi
1. Tujuan Program : layanan &
intervensi
2. Evaluator merumuskan tujuan
menjadi indikator kuantitatif
dan kualitatif yang dapat
diukur
4. Evaluator memastikan
aktivitas program telah
berakhir
5. Menjaring dan mengana-lisis
data/informasi pen-capaian
indikator-indikator tujuan
6. Kesimpulan :
- Tujuan tercapai
- Tujuan tercapai sebagian
- Tujuan tidak tercapai
7. Keputusan pemanfaatan hasil
evaluasi program
17
ke lembaga pemerintah lebih rendah atau pemerintah daerah. Objektif, layanan, dan intervensi program ditujukan untuk anggota
masyarakat bukan untuk pengambil keputusan sendiri atau untuk evaluator.
b. Inparsial. Evaluasi merupakan bagain dari riset
sosial yang bersifat imparsial tidak memihak. Tugas evaluator adalah mengumpulkan data dan informasi
secara objektif mengenai pencapaian tujuan apakah tujuan telah tercapai, apakah layanan dan intervensi program memuaskan mereka yang
seharusnya mendapatkan layanan dan para pemangku kepentingan lainnya.
c. Sederhana. Proses merancang dan melaksanakan model evaluasi berbasis tujuan mudah merancang dan melaksanakannya. Biayanya murah dan
waktunya singkat.
Goal Based Evaluation Model mempunyai
kelemahan sebagai berikut : a. Tujuan tidak mudah dipahami. Sering tujuan
program tidak mudah dipahami : terdiri dari sejumlah tujuan yang terpisah atau dapat bertentangan satu sama lain, tujuan ambigius, dan
dapat juga terjadi tujuan program tidak tegas. Dalam situasi seperti ini evaluator harus jeli, teliti,
dan hati-hati dalam mengidentifikasi dan merumuskan tujuan program. Kekeliruan evaluator dalam mengidentifikasi dan menganalisis tujuan
akan menyebabkan kekeliruan keseluruhan evaluasi.
b. Suatu tujuan berkaitan dengan ketidakpastian masa depan. Suatu tujuan disusun tidak untuk saat tujuan disusun, akan tetapi untuk kurun
waktu tertentu dimasa yang akan datang. Masa yang akan datang menghadapi suatu ketidakpastian yang sering sulit diprediksi sebelumnya. Ketika
program dilaksanakan, keadaan sudah berubah, tujuan sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, terutama
18
program yang waktunya jangka panjang. Dalam kaitan ini dalam mengevaluasi program, evaluator juga harus menilai apakan tujuan program masih
relevan atau perlu dilakukan perubahan. c. Efek samping dari tujuan. Ketika aktivitas program
dilaksanakan untuk merealisasi tujuan dapat
terjadi pengaruh, akibatnya atau hasil yang diluar tujuan atau yang malampaui tujuan program yang
ditetapkan. Program dapat menimbulkan efek samping yang negativ atau efek sekunder lain yang positif. Jika evaluator hanya mengukur tujuan
program, maka efek samping tidak akan terdeteksi. d. Tujuan tersembunyi dari pengambil kebijakan.
Sering pengambil keputusan mempunyai tujuan tersembunyi ketika menyusun suatu program. Dengan kata lain tujuan program merupakan
tujuan antara dari pengambil kebijakan.
B. Model Evaluasi Bebas Tujuan
Menurut Michael Scriven model evaluasi ini merupakan evaluasi mengenai pengaruh yang
sesungguhnya, obyektif yang ingin dicapai program (Wirawan, 2011). Evaluator seharusnya tidak mengetahui tujuan program sebelum melakukan
evaluasi. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut
adalah bagaimana kerjanya program dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi baik hal-hal yang positif (yang diharapkan) maupun
hal-hal negatif (yang sebetulnya tidak diharapkan) (Arikunto,2008).
Model evaluasi ini bukannya lepas sama sekali
dari tujuan, tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum
yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci tiap komponen.
19
C. Model Evaluasi Formatif dan Sumatif Model evaluasi formatif dan sumatif
diperkenalkan oleh Michael Scriven. Evaluasi ini mulai
dilakukan ketika kebijakan, program atau proyek mulai dilaksanakan (evaluasi formatif) dan sampai akhir pelaksanaan program (evaluasi sumatif). (Wirawan,
2011). Tujuan evaluasi formatif adalah mengetahui seberapa jauh program yang dirancang dapat
berlangsung serta untuk mengidentifikasi hambatan sehingga dapat dilaksanakan pengambilan keputusan untuk mengadakan perbaikan yang mendukung
pencapaian tujuan program. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program.
(Arikunto, 2008). Wirawan (2011) mengemukakan bahwa evaluasi
sumatif berupaya mengukur indikator-indikator
tertentu, diantaranya adalah hasil dan pengaruh layanan program; mengukur persepsi klien mengenai layanan dan intervensi program; menentukan cost effectiveness, cost efficiency, dan cost benefit program evaluasi sumatif; ,menentukan sukses keseluruhan
pelaksanaan program; menentukan apakah tujuan umum dan tujuan khusus program telah tercapai;
menentukan apakah klien mendapatkan manfaat dari program; menentukan komponen yang mana yang paling efektif dalam program; menentukan keluaran
yang tidak diantisipasi dari program; menentukan cost dan benefit program; mengomunikasikan temuan
evaluasi kepada para pemangku kepentingan; dan mengambil keputusan apakah program harus dihentikan, dikembangkan, dihentikan atau
dilaksanakan ditempat lain.
D. Countenance Evaluation Model Model ini dikembangkan oleh Stake. Model Stake
menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok,
yaitu deskripsi (description) dan pertimbangan (judgments) serta membedakan adanya tiga tahap
dalam evaluasi program yang merupakan objek atau sasaran evaluasi, yaitu (1) antaseden (antecedents/
20
context), (2) transaksi (transaction/ process) dan (3) keluaran (output-outcomes) (Arikunto, 2008).
E. CSE-UCLA Evaluation Model CSE merupakan singkatan dari Center for the
Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari University of California in Los Angeles.
Ciri dari evaluasi model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dan
dampak. Fernandes dalam Arikunto (2008) menjelaskan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap, yaitu needs assessment, program planning, formative evaluation dan summative evaluation.
Pada tahap needs assessment evaluator
memusatkan perhatian pada penentuan masalah. Pada tahap ini evaluator mengidentifikasi hal-hal apa saja
yang perlu dipertimbangkan sehubungan sengan keberadaan program, kebutuhan apa yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program
serta tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui program ini. Tahap program planning evaluator
mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap
pertama. Tahap formative evaluation, evaluator memusatkan perhatian pada pelaksanaan program.
Tahap terakhir adalah summative evaluation dimana para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan
semua data tentang hasil dan dampak dari program (Arikunto, 2008).
F. CIPP Evaluation Model Model evaluasi CIPP dikembangkan oleh Daniel
Stufflebeam dkk di Ohio State University. Stufflebeam
menyatakan model evaluasi CIPP merupakan kerangka yang komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi dan sistem. Model evaluasi CIPP terdiri dari empat jenis
21
evaluasi, yaitu evaluasi konteks (context evaluation), evaluasi masukan (input evaluation), evaluasi proses
(process evaluation) dan evaluasi produk (product evaluation).
Evaluasi konteks untuk menjawab pertanyaan apa yang perlu dilakukan. Evaluasi ini mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari
disusunnya suatu program. Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas
pertanyaan apa yang harus dilakukan, evaluasi ini
mengidentifikasikan problem, asset, dan peluang untuk membantu para pengambil keputusan mendefinisikan
tujuan, prioritas-prioritas, dan membantu kelompok-kelompok lebih luas pemakaian untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat dari program, menilai
pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana staf, dan anggaran untuk feasibilitas dan potensi cost effectiveness untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan yang ditargetkan.
Evaluasi proses berupaya untuk mencari
jawaban atas pertanyaan apakah program sedang dilaksanakan. Evaluasi ini berupaya mengakses
pelaksanaan dari rencana untuk membantu staf program melaksanakan aktivitas dan kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai
program dan menginterpretasikan manfaat. Evaluasi produk diarahkan untuk mencari
jawaban pertanyaan Did it succed. Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat baik yang direncanakan maupun tidak,
baik jangka pendek maupun jangka panjang (Wirawan, 2011).
G. Discrepancy Evaluation Model
Kata Discrepancy adalah istilah bahasa Inggris
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model Discrepancy
Evaluation ini dikembangkan oleh Malcolm Provus yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan didalam pelaksanaan program. Evaluator mengukur
22
besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen atau mengukur adanya perbedaan antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah riil dicapai
(Arikunto,2008). Wirawan (2011) mengemukakan enam langkah
untuk melaksanakan model evaluasi ketimpangan,
yaitu :
1. Mengembangkan suatu disain dan standar-standar
yang menspesifikasi karakteristik-karakteristik implementasi ideal dari evaluand (objek evaluasi) :
kebijakan, program atau proyek. 2. Merencanakan evaluasi menggunakan model
evaluasi diskrepensi. Menentukan informasi yang
diperlukan untuk membandingkan implementasi yang sesungguhnya dengan standar yang mendefinisikan kinerja objek evaluasi.
3. Menjaring kinerja objek evaluasi yang meliputi pelaksanaan progam, hasil-hasil kuantitatif dan
kualitatif. 4. Mengidentifikasi ketimpangan-ketimpangan
(discrepancies) antara standar-standar dengan
pelaksanaan dengan hasil-hasil pelaksanaan objek evaluasi yang sesungguhnya dengan menentukan
rasio ketimpangan. 5. Menentukan penyebab ketimpangan antara standar
dengan kinerja objek evaluasi.
6. Menghilangkan ketimpangan dengan membuat perubahan-perubahan terhadap implementasi objek evaluasi.
23
Gambar 2.2 Langkah-langkah Gap Analisis
Sumber : Wirawan, 2011
Dalam model ini ketimpangan-ketimpangan ditentukan melalui mempelajari tiga aspek dari
program yaitu masukan, proses, dan keluaran pada tingkat-tingkat pengembangan program (Wirawan,
2011) : 1) Definisi program yang memfokuskan pada desain
dan sifat daripada proyek, termasuk objektif, siswa,
staf, aktivitas dan sebagainya. 2) Implementasi program
3) Proses program, yang difokuskan pada tingkat formatif dimana objektif sedang dicapai
4) Produk program atau pertandingan final outcome
dengan standar atau ojektif.
Karakteristik dari model ini adalah
membandingkan data actual yang diperoleh dengan criteria program (standard) untuk mencari tahu di mana letak kesenjangan (Discrepancy). Kemudian
kesenjangan tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang kondisi aspek program
yang diteliti (Fitzpatrick dkk dalam Yasik, 2013).
1. Mengembangkan desain
& standar program
2. Merencanakan evaluasi
menggunakan model
evaluasi ketimpangan
3. Menjaring data mengenai
kinerja program
4. Mengidentifikasi
ketimpangan antara
kinerja dengan standar
5. Menentukan alasan
penyebab ketimpangan
6. Menyusun aktivitas untuk
menghilangkan
ketimpangan-ketimpangan
24
Pada tahap design, yaitu tahap pertama dilakukan identifikasi dan merumuskan criteria sumber daya program. (Alkin dan Christie dalam Yasik, 2013).
Tahap kedua adalah tahap installation, yaitu tahap yang dimaksudkan untuk melihat apakah input sudah
sebangun dengan criteria program (Nyre dan Rose dalam Yasik, 2013). Tahap ketiga adalah tahap process
dimana tahap ini dimaksudkan untuk menilai dan membandingkan aspek process pada kondisi aktual dengan kriteria program (Suciptoardi dalam Yasik,
2013). Tahap terakhir dari model ini adalah tahap product, evaluasi pada tahap ini difokuskan untuk
membandingkan output program antara kondisi aktual dengan kriteria yang telah disepakati pada tahap desain (Wirawan, 2011).
Pendapat di atas juga diperjelas oleh Clare Rose & Glenn F Nyre, (1977) dalam bukunya The Practice of Evaluation mengemukakan bahwa evaluasi model ketimpangan Malcolm Provus memiliki tahapapan
pengembangan sebagai berikut : The first stage focuses on the design and refers to the nature of the program, its objectives, students, staff and other resources required for the program, and the actual activities designed to promote attainment of the objectives. The program design that emerges becomes the standard against which the program is compared in the next stage, The second stage, installation
involves determining whether an implemented program is congruent with its implementation plan. Process is the third stage, in which evaluator serves in a formative role, comparing performance with standards and focusing on the extent to which the interim or enabling objectives have been achieved. The fourth stage, product is concerned with comparing actual attainments against the standards (objectives) derived during stage 1 and noting the discrepancies.
Penelitian ini akan menggunakan model evaluasi
jenis Discripancy evaluation model (DEM). Evaluasi difokuskan untuk mengetahui kesenjangan antara
implementasi Sekolah Dasar Standar Nasional di SD Negeri 1 Tepusen dengan standar yang ada. Kriteria
25
untuk mengkategorikan kesenjangan, penulis menetapkan empat kategori kesanjangan sebagai berikut :
Tabel 2.1
Kategori Kesenjangan
Presentase Kesenjangan
Kategori kesenjangan
0 – 25 Rendah
26 – 50 Sedang
51 – 75 Tinggi
76 – 100 Menyimpang
Dengan mengetahui kesenjangan ini dapat memberikan masukan untuk perbaikan dan peningkatan dalam implementasi SDSN selanjutnya.
2.2 Sekolah Dasar Standar Nasional
2.2.1 Pengertian Sekolah Dasar Standar Nasional Sekolah Dasar Standar Nasional selanjutnya
disebut SDSN sebagaimana disebutkan dalam buku
Panduan Penyelenggaraan Sekolah Dasar Standar Nasional tahun 2007 adalah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang memenuhi Standar Nasional
Pendidikan. Standar-standar tersebut meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.
2.2.2 Tujuan Sekolah Dasar Standar Nasional Tujuan penyelenggaraan Sekolah Dasar Standar
Nasional adalah (1) memfungsikan SD/MI menjadi pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai; (2) menjamin
terwujudnya mutu pendidikan sekolah dasar yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
26
bermartabat; (3) meningkatkan mutu layanan pendidikan di tingkat sekolah dasar.
2.2.3 Proses Penetapan Dalam penetapan program Sekolah Dasar
Standar Nasional ini terdapat beberapa ketentuan yaitu
: A. Persyaratan
Umum : 1. Sekolah negeri maupun swasta 2. Terakreditasi B
3. Memenuhi areal tertentu untuk kegiatan upacara dan olah raga serta pengembangan lain ruang
penunjang pembelajaran.
Khusus
1. Tingkat kelulusan siswa di atas 95% dan lebih dari 90% melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
2. Minimal 50% tenaga kependidikan memenuhi
kualifikasi standar pendidik. 3. Pernah menjadi juara tingkat kabupaten/kota atau
provinsi atau nasional dalam lomba UKS atau gugus atau lomba sejenis atau termasuk sekolah dasar koalisi nasional/regional.
4. Memiliki laboratorium pendidikan teknologi dasar atau laboratorium bahasa atau laboratorium
komputer atau pusat sumber belajar lain. 5. Memiliki potensi untuk berkembang dan berada
pada lingkungan pendidikan yang baik.
B. Proses Penetapan 1. Pengajuan Usulan
a. Pengajuan usulan penetapan sekolah dasar standar nasional dapat dilakukan oleh:
1) Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota untuk sekolah negeri.
2) Penyelenggara sekolah bagi sekolah swasta.
b. Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota mengajukan usulan penetapan SD Standar Nasional di
wilayahnya ke Dinas Pendidikan Provinsi.
27
c. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan SDSN di wilayahnya dan melaporkannya kepada Direktur Pembinaan TK dan SD.
2. Penilaian Kelayakan a. Tim Dinas Pendidikan provinsi melalukan penilaian
terhadap semua usulan dengan cara: 1) penilaian dokumen
2) Visitasi ke lokasi calon SDSN b. Hasil penilaian oleh tim dilaporkan ke Kepala Dinas
pendidikan Provinsi berupa rekomendasi layak atau
tidak layak dari usulan tersebut. Penetapan
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi membuat keputusan penetapan Sekolah Dasar Standar Nasional atau dasar rekomendasi dari tim.
2.2.4 Implementsi Program A. Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS)
Pogram sekolah, baik jangka panjang, menengah, pendek. disusun dengan tujuan untuk:
1. Menjamin agar tujuan sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan tingkat kepastian yang tinggi dan resiko yang kecil;
2. Mendukung koordinasi antar stake holder sekolah; 3. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan
sinergi baik antar pelaku sekolah, antar sekolah dan pembina pendidikan, dan antar waktu;
4. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
5. Mengoptimalkan partisipasi warga sekolah dan
masyarakat; 6. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya
secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Dari sisi ketercakupan RPS harus mencakup tiga
tema/pilar pembangunan pendidikan nasional, yaitu: 1. Pemerataan kesempatan: persamaan kesempatan,
akses, dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh
28
perencanaan pemerataan kesempatan misalnya: bea siswa untuk siswa miskin, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah,
penarikan kembali anak putus sekolah. 2. Peningkatan mutu. Mutu pendidikan sekolah
meliputi input, proses, dan output, dengan catatan
bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan
input. Contoh-contoh perencanaan mutu misalnya, pengembangan input siswa, pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan (guru, kepala
sekolah, pustakawan, tenaga administrasi), pengembangan sarana dan fasilitas sekolah, seperti:
pengembangan perpustakaan, pengembangan laboratorium, pengembangan media pembelajaran, pengembangan ruang/kantor, rasio (siswa/guru,
siswa/kelas, siswa/sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan model pembelajaran PAKEM, pembelajaran yang kondusif, pengembangan komite
sekolah, peningkatan kualitas siswa (UAS, keterampilan kejuruan, kesenian,
olahraga, karya ilmiah, keagamaan, kedisiplinan, karakter, budi-pekerti, dsb.)
3. Peningkatan relevansi. Relevansi merujuk kepada
kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (need), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan
keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya: program
pendidikan kecakapan hidup yang meliputi kertakes, pendidikan karakter, calistung dan pendidikan teknologi dasar (PTD).
B. Penyusunan RAPBS
Rencana Anggaran Pendapatan dan Biaya Sekolah (RAPBS) menjadi salah satu bagian Rencana Pengembangan Sekolah yang cukup penting dan
strategis dalam pengembangan sekolah pada umumnya. RAPBS menjadi salah satu indikator utama
pengembangan sekolah di masa yang akan datang.
29
Besar kecilnya RAPBS sangat ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah dalam mengelola sekolah dan menggali dana selain dana dari pemerintah.
RAPBS disusun dengan tujuan untuk: (1) memberikan arah yang jelas program sekolah; (2) merencanakan kegiatan-kegiatan sekolah di masa yang akan datang;
(3) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi pendanaan pada kegiatan-kegiatan sekolah; (4)
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (5) mengoptimalkan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat dalam hal dukungan finansial; dan (6) menjamin tercapainya penggunaan sumber
dana secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
C. Pembentukan Tim Pengembang di Sekolah Sekolah yang ditetapkan sebagai rintisan SDSN,
harus melakukan langkah-langkah strategis sebagai
persiapan menuju sekolah yang benar-benar memenuhi SNP. Sekolah dapat melakukan analisis SWOT untuk
mengetahui potensi kekuatan dan mengetahui kelemahan yang ada, serta untuk mengetahui ancaman dari dalam dan dari luar, dan untuk mengetahui
peluang yang ada bagi sekolah. Dari hasil analisis ini sekolah dapat melakukan langkah-langkah untuk
mengatasi berbagai kendala, kelemahan, dan ancaman yang timbul, sehingga sekolah mampu menjalankan rintisan SDSN secara baik dan profesional menurut
kemampuan dan kondisi masing-masing. Pada tahap pertama, sekolah melakukan
pengembangan berikut: (1) manajemen; (2) kurikulum;
(3) proses belajar mengajar; (4) lingkungan sekolah menuju komunitas belajar;(5) kinerja profesional guru;
(6) sarana prasarana sekolah; (7) penggalangan partisipasi masyarakat.
1. Pengembangan Manajemen Undang-Undang No. 23 tahun 2003 sistem
pembangunan nasional mengamanatkan bahwa
30
pengelolaan satuan pendidikan dilakukan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian SDSN menerapkan MBS. Melalui Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) aspek dikembangkan, yaitu: a. kemandirian/otonomi b. kerjasama
c. keterbukaan d. fleksibilitas
e. akuntabilitas f. sustainabilitas
Aspek lainnya yang perlu dikembangkan oleh SDSN
adalah organisasi dan administrasi. Pengembangan organisasi dan administrasi meliputi perumusan visi,
misi dan tujuan sekolah, penyempurnaan struktur organisasi sekolah, perumusan regulasi sekolah serta penataan administrasi sekolah yang efektif dan efisien.
2. Pengembangan Kurikulum Tingkat Sekolah
Sejak dikeluarkannya Permendiknas 22 tahun 2006
tentang standar isi, dan permendiknas no 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan, setiap
sekolah dituntut untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kurikulum SDSN mencakup pengembangan standar kompetensi,
tujuan, KTSP, silabus, RPP dan bahan ajar.
3. Pengembangan Inovasi Proses Pembelajaran Inovasi pembelajaran berhubungan dengan
peningkatan mutu pendidikan. SDSN harus mampu
melakukan inovasi khususnya dalam pembelajaran, inovasi pembelajaran dilakukan agar proses belajar berjalan efektif.
SDSN harus melakukan inovasi tersebut, sehingga menemukan inovasi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik (modalitas belajar) siswa serta kondisi lingkungan sekolah. Inovasi pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas, kegiatan kesiswaan seperti
lomba karya tulis, lomba olahraga dan kesenian, kepramukaan, bakti sosial dapat merupakan inovasi
pembelajaran. Namun demikian inovasi tersebut harus
31
tetap bermuara pada peningkatan hasil belajar, baik yang bersifat akademik maupun non akademik.
Inovasi terutama ditujukan pada perubahan model
pembelajaran, yaitu agar siswa senang belajar (joyful learning) dan siswa mempelajari sesuatu kompetensi
yang bermakana bagi dirinya saat ini dan perkembangannya di masa datang (meaningful
learning). Oleh karena ini SDSN perlu mempelajari berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh sekolah inovatif dan kemudian merancang inovasi pembelajaran
yang diyakini sesuai dengan karakteristik siswanya maupun lingkungan sekolah. Pengembangan inovasi
pembelajaran meliputi : a. Pengintegrasian Pendidikan Kecakapan Hidup
Pengintegrasian pendidikan kecakapan hidup
merupakan salah satu jawaban agar peserta didik mampu menghadapi masalah-masalah keseharian, mandiri dan bersosialisasi dengan lingkungannya
sesuai dengan norma-norma yang dianut dalam masyarakatnya. Pendidikan berorientasi kecakapan
hidup merupakan pendidikan yang memberi bekal kecakapan hidup yang sifatnya mendasar dan berbasis kepada kebutuhan masyarakat luas. Program
pendidikan berorientasi kecakapan hidup pada SD/MI meliputi:
1) Program Pengembangan Kemampuan Baca-Tulis-Hitung (CALISTUNG). Pendekatan kecakapan ini diarahkan pada terutama kelas rendah 1, 2, dan 3.
2) Program keterampilan/prakarya dan Kesenian. Pendekatan ini ditujukan untuk terutama kelas 4, 5, 6 sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan
kebutuhan daerah, perkembangan dan pertumbuhan siswa serta tuntutan kurikulum yang
berlaku. 3) Program kecakapan hidup yang bersifat generik
(Generic Life Skill), dengan menitikberatkan pada
pengembangan pendidikan karakter. Pendidikan karakter menekankan pada pengembangan
kemandiran anak guna memenuhi kebutuhan hidupnya secara pribadi maupun sosial. Program
32
general life skill yang menitikberatkan pada pendidikan karakter dilaksanakan pada pengembangan model.
b. Program Pendidikan Teknologi Dasar (Basic Technology Education)
Pendidikan Teknologi Dasar (PTD) adalah suatu pendidikan tentang teknologi yang bertujuan meningkatkan kecakapan hidup dalam area-area
teknologi yang dilakukan secara sistematis, kreatif dan inovatif serta membentuk pengetahuan yang menjadi
dasar bagi pendidikan teknologi selanjutnya. Pendidikan teknologi dasar bertujuan agar peserta didik dapat : (1) membuat karya teknologi sendiri
secara kritis dan kreatif melalui proses pemecahan masalah dan kerja tim; (2) menguji karya teknologi
yang ada di lingkungannya secara sistematis dan inovatif melalui proses analisis sistem dan kerja tim; (3) menggunakan dan merawat alat, bahan, perabot,
bengkel workshop dan lingkungan kerja (workshop) secara benar dan bertanggungjawab; (4) menumbuhkan jiwa kewirausahaan.
c. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan (PAKEM)
Proses pembelajaran di umumnya pada penguasaan materi pelajaran melalui penghafalan fakta-fakta dan proses, pembelajaran lebih berpusat pada guru dan
siswa sangat sedikit terlibat secara aktif. Akibatnya, ketika siswa lulus dari sekolah, mereka sangat kurang dalam keterampilan penguasaan bahasa dan
pemecahan masalah, disamping kurangnya kreativitas mengatasi berbagai tantangan dalam hidup sehari-hari.
Pembelajaran yang aktif, kreatif, sehingga menjadi efektif namun tetap menyenangkan (PAKEM) bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan
bermakna, yang mampu memberikan siswa keterampilan, pengetahuan, dan sikap untuk hidup.
PAKEM merupakan istilah yang diciptakan untuk merepresentasikan pembelajaran yang berpusat pada anak (student-centered learning).
33
4. Pengembangan Lingkungan Sekolah Menuju Komunitas Belajar Pengembangan komunitas belajar di sekolah dapat
dimulai dengan menata lingkungan fisik, misalnya melalui program 7 K (kebersihan, ketertiban, keindahan, kerindangan, keamanan, kenyamanan dan
kekeluargaan), sehingga nyaman dan kondusif untuk belajar. Bersamaan dengan itu, kebiasaan belajar
ditumbuhkan melalui kegiatan membaca, membuat rangkuman, mendiskusikan hasil bacaan dan bahkan membahas fenomena aktual yang terjadi di masyarakat
dapat dikaitkan dengan inovasi pembelajaran. Guru dapat menugasi siswa untuk membaca suatu buku
yang relevan, kemudian membuat rangkuman. Tugas itu dapat diberikan sebelum topik tersebut dibahas/diterangkan sebagai pemanasan, sehingga
saat pembahasan siswa telah siap. Dapat juga ditugaskan sesudah topik dibahas, sebagai pendalaman. Tugas dapat diberikan secara individu
maupun kelompok, karena yang dipentingkan adalah membiasakan siswa untuk membaca, membuat
rangkuman, berdiskusi dan menampilkan hasil rangkuman kepada umum.
Pola tersebut di atas mampu mendorong
tumbuhnya komunitas belajar di sekolah. Guru harus menjadi teladan bagi siswa dalam gemar membaca,
mendiskusikan fenomena aktual dengan siswa, menulis rangkuman atau artikel serta memberi komentar, khususnya berupa pujian bagi siswa/kelompok siswa
yang giat belajar. Jika sekolah mampu menumbuhkan komunitas belajar di lingkungannya, maka tugas pembelajaran selanjutnya akan mudah, karena semua
warga sudah terbiasa untuk belajar.
5. Pengembangan sarana prasarana sekolah Sarana dan prasarana pendidikan merupakan
bagian penting untuk mendukung kegiatan
pembelajaran. Pengembangan sarana prasarana diarahkan pada pemenuhan standar sarana prasarana
Standar Nasional Pendidikan terutama yang terkait
34
langsung dengan penyelenggaraan proses pembelajaran, baik buku teks, referensi, modul, media belajar, dan alat peraga pendidikan lainnya.
Selain itu pengembangan SDSN juga diarahkan pemenuhan sarana prasarana sebagai berikut: luas tanah memadai, ruang belajar nyaman dengan rasio
ruang : siswa= 1: 28, fasilitas ICT, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang serba guna, ruang
kesehatan (UKS), ruang praktek, ruang keterampilan, kantin, prasarana olahraga, ruang administrasi, kantor, toilet untuk siswa dan guru, tempat bermain (taman),
dan tempat beribadah.
6. Pengembangan kinerja profesional guru Komitmen kerja guru akan meningkat jika yang
bersangkutan merasa dipercaya, mendapat
penghargaan dari hasil kerjanya, merasa mendapatkan keadilan di tempat kerja dan mendapatkan tantangan untuk menunjukkan kemampuannya. Oleh karena itu
SDSN juga berupaya menciptakan situasi kerja yang memberikan perasaan tersebut pada setiap guru dan
tenaga kependidikan lainnya. Pemberian dorongan untuk melakukan pembaruan
atau inovasi, merupakan salah satu cara memberikan
kepercayaan, sekaligus tantangan untuk menunjukkan kemampuannya. Guru harus didorong untuk tidak
takut gagal. Guru yang bekerja keras atau berhasil harus mendapatkan penghargaan, sehingga dapat membedakan siapa yang kerja keras dan siapa yang
tidak, siapa yang berhasil membuat inovasi dan siapa yang tidak. Sentuhan-sentuhan psikologi dan religius diharapkan mampu meningkatkan komitmen kerja.
Pelatihan yang bernuansa achievement motivation training (AMT) dan spiritual mampu meningkatkan
gairah kerja karyawan.
7. Penggalangan partisipasi masyarakat
Masyarakat merupakan salah satu potensi besar yang dapat mendukung kegiatan sekolah,oleh karena
itu, partisipasi masyarakat termasuk orangtua siswa
35
dan alumni guna mendukung program sekolah harus digalang.
Terkait dengan itu, Depdiknas telah menerbitkan
Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 yang memuat pembentukan Komite sekolah, yang diharapkan berperan sebagai reprentasi stakeholder sekolah dan
berfungsi untuk memberi saran/pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan program sekolah,
mendukung pelaksanaan program tersebut, menjadi mediator antara sekolah dengan pihak-pihak lain, serta mengontrol pelaksanaan program sekolah.
Penguatan peran serta masyarakat di sekolah dapat ditempuh melalui strategi-strategi yang meliputi : (1)
memberdayakan melalui berbagai media komunikasi (media tertulis, pertemuan, kontak langsung secara individual, dan sebagainya); (2) menciptakan dan
melaksanakan visi, misi, tujuan, kebijakan, rencana, program, dan pengambilan keputusan bersama; (3) mengupayakan jaminan komitmen sekolah-masyarakat
melalui kontrak sosial; (4) mengembangkan model-model partisipasi masyarakat sesuai tingkat kemajuan
masyarakat. Sekolah yang bermutu lebih mudah menggalang
partisipasi masyarakat, dibanding sekolah yang kurang
bermutu karena orang akan lebih terdorong berpatisipasi jika yakin bantuan itu akan memberikan
hasil nyata. Partisipasi masyarakat akan mudah tumbuh, jika masyarakat ikut terlibat dalam membuat kebijakan/keputusan tentang apa yang akan
dikerjakan. Dengan demikian setiap pembuatan kebijakan atau penyusunan program, SDSN perlu melibatkan komite sekolah, bahkan stakeholder secara
lebih luas. Dengan cara itu, dapat diharapkan masyarakat akan terdorong untuk berpartisipasi
karena merasa ikut memutuskan. Termasuk dalam kelompok masyarakat yang perlu digalang partisipasinya adalah alumni. Dukungan dapat berupa
sumbangan dana, bantuan fasilitas tertentu, bantuan jejaring untuk menghubungkan sekolah dengan
instansi tertentu.
36
D. Pembinaan Pembinaan SDSN dilaksanakan oleh berbagai pihak
terkait dari pusat dan daerah dalam aspek akademik
maupun non akademik, dalam kerangka peningkatan pengelolaan dan kualitas lulusan. Biaya penyelenggaraan SDSN ditanggung oleh pemerintah
pusat dan daerah secara proporsional, sedangkan untuk SDSN swasta ditanggung oleh masyarakat dan
pengelola sekolah dan dibantu oleh pemerintah pusat maupun daerah atas dasar persyaratan tertentu.
Pembiayaan SDSN harus mempertimbangkan
konsistensi dari masyarakat agar keberhasilan pembiayaan dapat dijamin. Dukungan pemerintah
pusat terhadap SDSN hanya sebagai perintisan dan selanjutnya biaya operasional menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
2.2.5 Standar Nasional Pendidikan untuk SDSN A. Standar Isi
Standar isi pendidikan adalah mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai
kompetensi lulusan dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat krangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan
pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
B. Standar Proses Standar proses pendidikan adalah standar nasional
pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar komptensi lulusan. Dalam proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, memotivasi, menyenangkan, menantang, mendorong peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologinya. Dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.
37
C. Standar Kompetensi Lulusan Standar kompetensi lulusan pendidikan adalah
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan. Standar kompetensi lulusan meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau
kelompok mata pelajaran, termasuk kompetensi membaca dan menulis. Kompetensi lulusan mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan. Standar kompetensi lulusan pada jenjang SDSN diarahkan untuk
meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
D. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah
kriteria pendidikan pra jabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan.
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang
harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Kompetensi adalah tingkat kemampuan minimal yang harus dipenuhi seorang pendidik untuk dapat berperan sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pendidik
sebagai agen pembelajaran pada SDSN meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sesuai Standar Nasional Pendidikan, yang dibuktikan dengan sertifikat profesi pendidik, yang diperoleh melalui
pendidikan profesi guru sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
38
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kompetensi professional merupakan panguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik
memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik
sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dan masyarakat sekitar. Seseorang yang tidak memiliki
ijazah dan/atau sertifikat keahlian tetapi memliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat
diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Kualifikasi akademik pendidikan minimum untuk pendidik SDSN adalah S1.
Tenaga kependidikan pada SDSN sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga
administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah. Persyaratan untuk menjadi kepala SDSN meliputi:
berstatus guru SD; memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku; memiliki
pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di SD; dan memiliki kemampuan kepemimpinan
dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
E. Standar Sarana dan Prasarana
Standar prasarana dan sarana pendidikan adalah Standar Nasional Pendidikanyang berkaitan dengan
persyaratan minimal tentang lahan, ruang kelas,
39
tempatberolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja,tempat bermain, tempat berkreasi, perabot, alat dan media pendidikan, buku,
dansumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
F. Stanar Pengelolaan
Standar Pengelolaan pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanan, dan pengawasan kegiatan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, atau nasional agar tercapai efesiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan menjadi tanggung jawab kepala satuan pendidikan. Pengelolaan SDSN
menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam
perencanaan program, penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kegiatan pembelajaran,
pendayagunaan tenaga kependidikan, pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan, penilaiyan kemajuan hasil belajar, dan pengawasan.
Setiap SDSN harus melibatkan komite sekolah yang sekurang-kurangnya beranggotakan orang tua /wali
peserta didik, tokoh masyarakat, praktisi pendidikan, dan pendidik, yang memiliki wawasan, kepedulian komitmen terdarat peningkatan mutu pendidikan.
Setiap SDSN harus memiliki pedoman atau aturan yang sekurang-kurangnya mengatur tentang: Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan silabus; kalender
pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan; Struktur
organisasi satuan pendidikan; peraturan akademik; pembagian tugas diantara tenaga pendidik dan kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana; kode etik hubungan antara sesama warga di antara lingkungan
40
satuan pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat.
SDSN dikelola atas dasar rencana pengembangan
sekolah (RPS) dan rencana kerja tahunan. Rencana kerja tahunan merupakan penjabaran rinci dari RPS yang merupakan rencana kerja jangka menengah
satuan pendidikan yang meliputi masa 4 (empat) tahun. Pengawasan SDSN meliputi pemantauan
supervisi, evaluasi, pelaporan, pemeriksaan dan tindak lanjut hasil pengawasan.
G. Standar Pembiayaan Standar pembiayaan mengatur komponen dan
besarnya biaya operasional satuan pendidikan. Pembiayaan SDSN mencakup biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal satuan pendidikan.
Biaya investasi SDSN mencakup pembiayaan penyediaan sarana prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya operasi satuan pendidikan
adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasional satuan
pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi satuan
pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat
pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung seperti daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan
sarana dan prasarana, uang lembut, tranportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Biaya personal SDSN meliputi biaya pendidikan
yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan.
H. Standar Penilaian
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaan prestasi
41
belajar peserta didik. Penilaan hasil belajar peserta didik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2007.
SDSN melakukan penilaian akhir pada untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran
jasmani, olah raga dan kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik dari penilaan akhir mempertimbangkan hasil
penilaian akhir satuan pendidikan. Penilaian akhir mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik sejak
awal hingga akhir masa studi. Ujian sekolah dilakukan untuk semua mata pelajaran kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan secara
nasional untuk menentukan kelulusan peserta didik.
2.2.6 Indikator Keberhasilan SDSN
Indikator-indikator keberhasilan SDSN secara umum terkait hal:
A. Pengelolaan 1. memiliki RPS dan RAPBS 2. memiliki dokumen kurikulum (silabus, RPP dan
bahan ajar) untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan kelas
3. memiliki ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang administrasi, ruang ibadah, kamar kecil yang cukup dan memadai
4. memiliki ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang multimedia dan ruang serba guna, sarana olah raga / kesenian.
5. memiliki sarana pembelajaran yang memadai dan mencukupi kebutuhan jumlah siswa
6. rasio ruang kelas: siswa = 1:28 7. memiliki tenaga pendidik minimal 50% S1 8. penguasaan kompetensi, 50% guru bersertifikasi
kompetensi 9. memiliki tenaga kependidikan yang kompeten di
bidangnya.
42
B. Proses Pembelajaran 1. menerapkan MBS 2. menerapkan pendidikan kecakapan hidup,
pembelajaran aktif kreatif efektif menyenangkan (PAKEM)
3. menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme 4. menerapkan sistem penilaian yang komprehensif
5. menyusun formative TIK dalam pembelajaran
C. Out Put
1. standar ketuntasan belajar minimal 95% (SKBM). 2. nilai UN di atas rata-rata regional.
3. memiliki prestasi di tingkat regional, nasional dan internasional.
4. 90% lulusan melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi.
2.3 Penelitian yang Relevan
Marjoko (2010) melakukan penelitian mengenai Implementasi Program Sekolah Standar Nasional (SSN)
Tingkat Sekolah Menengah Pertama (Studi Kasus di SMP Negeri 2 Jatisrono Wonogiri). Penelitian ini relevan karena variabel yang digunakan sama walaupun tidak
sama persis, peneliti menggunakan variable yang sama, yaitu Sekolah Standar Nasional, hanya saja Marjoko
melakukan penelitian di tingkat SMP sementara penulis pada tingkat SD. Hasil penelitian Marjoko (2010) menunjukkan bahwa (1) Pelaksanaan program sekolah
standar nasional (SSN) di SMP Negeri 2 Jatisrono terlaksana dengan baik sesuai dengan 8 standar nasional pendidikan (SNP) meliputi standar isi, standar
kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. (2) Kendala yang dijumpai dapat diselesaikan dengan kemampuan manajemen yang baik oleh
sekolah. (3) Pelaksanaan program sekolahstandar nasional (SSN) di SMP Negeri2 Jatisrono dapat
meningkatkan mutu pendidikan, ditandai dengan
43
peningkatan peringkat sekolah tingkat Kabupaten semakin baik. Tahun pelajaran 2007/2008 peringkat 18 tingkat kabupaten,2008/2009peringkat16 tingkat
kabupaten, dan 2009/2010 peringkat 14 tingkat kabupaten dari75 SMP Negeri. Perolehan nilai rata-rataujian nasional (UN) juga meningkat, tahun
pelajaran 2007/2008 sebesar 7.22, 2008/2009 sebesar 7.53, dan tahun 2009/2010 sebesar 7.57.
Yoni (2012) melakukan penelitian mengenai Proses Implementasi Kebijakan Sekolah Standar Nasional Pada Sekolah Dasar di Kabupaten
Purbalingga. Hasil temuan dalam penelitian Yoni menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Sekolah
Dasar Standar Nasional yang telah dilaksanakan di Kabupaten Purbalingga sejak tahun ajaran 2008/2009 belum dilaksanakan secara optimal, masih banyak
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh masing-masing sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga, diantaranya adalah beberapa
SDSN tidak memperhatikan atau mempertahankan bahkan meningkatkan pencapaian standar pendidikan
baik dari segi sarana dan prasarana serta mutu pendidikan. Sedangkan kewenangan danfungsi Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga sebagai pembina
atau pengawas implementasi kebijakan SDSN tidak dilaksanakan secara optimal dikarenakan terjadi
overlapping pekerjaan antara implementasi kebijakan SDSN, dengan kebijakan lain yang harus dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga. Faktor-
faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan SDSN diantaranya dukungan sumberdaya dalam
implementasi kebijakan SDSN masih sangat terbatas. Muhawwin (2012) melakukan penelitian dengan
judul Studi Evaluasi Implementasi Program Sekolah
Standar Nasional (SSN) Pada SMP Negeri Di Kabupaten Lombok Timur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) efektivitas implementasi program SSN
ditinjau dari komponen konteks adalah baik, 2) efektivitas implementasi program SSN ditinjau dari
komponen input adalah baik, 3) efektivitas
44
implementasi program SSN ditinjau dari komponen proses adalah baik, 4) efektivitas implementasi program SSN ditinjau dari komponen produk adalah cukup, 5)
kendala yang dihadapi dalam implementasi program SSN adalah terkait dengan pola pikir dari sebagian stakeholder yang tidak sungguh-sungguh menyikapi
perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, 6) upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah
adalah dengan cara melakukan kerjasama antara sekolah dengan komite, dewan guru, orang tua siswa,
dan tokoh masyarakat secara optimal agar seluruh stakeholder yang ada dapat mengerti dan memahami program SSN secara benar sehingga mereka
mempunyai perhatian/kepedulian, kesadaran, dan tanggung jawab terhadap keberadaan dan
keberlangsungan program SSN.