bab ii landasan teori ii.1 pengantar pajakthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-3-00028-ak-bab 2.pdf6 bab...
TRANSCRIPT
6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pengantar Pajak
II.1.1 Pengertian Pajak
Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi :
Menurut Sukardji,U (2006), “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan” (h.1).
Menurut Soemitro,R (2006) “Pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-
undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang (Taatbestand) untuk membayar sejumlah uang ke Kas Negara yang
dapat dipaksakan, tanpa mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara dan yang digunakan
sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan di luar bidang
keuangan” (h.2).
II.1.2 Pengelompokan dan Tarif Pajak
Sukardji,U (2006) mendefenisikan “Pengelompokan Pajak terdiri dari Pajak
Langsung dan Pajak Tidak Langsung :
Pajak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa diserahkan /dialihkan
kepada pihak lain.
7
Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat dipindahkan/dialihkan
kepada pihak lain.
Mardiasmo (2006) mengemukakan “ Tarif pajak terdiri dari:
1. Tarif Proporsional
Tarif Proporsional adalah tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun
jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional
terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
2. Tarif Progresif
Tarif Progresif adalah tarif pajak dengan persentase semakin besar, bila dasar
pengetahuan pajaknya semakin besar.
3. Tarif Degresif adalah tarif pajak dengan persentase semakin kecil, bila dasar
pengenaan pajaknya bertambah besar. Tarif Degresif ini tidak dipakai dalam sistem
perpajakan Indonesia.
4. Tarif Tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2006) mengemukakan “ Sistem pemungutan pajak” adalah:
1. Self Assessment
adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menentukan sendiri
jumlah pajak yang terutang.
2. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
8
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.2 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Rusjdi,M (2006) “Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan
terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor
produksi di setiap jalur”.(h.4).
II.2.1 Fungsi PPN dan Dasar Hukum PPN
Fungsi Pajak Pertambahan Nilai
Rusjdi,M (2006) mengemukakan “Fungsi Pajak Pertambahan Nilai diuraikan
sebagai berikut:
1) Penerimaan Negara
Fungsi ini disebut juga sebagai fungsi budgeter, begitupula Pajak Pertambahan Nilai,
sebagai pajak Negara, penghasilan yang diperoleh dari pemungutan Pajak,
dipergunakan sebagai sumber pembiayaan Negara, sebagaimana tercantum dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2) Pemerataan Beban Pajak
PPN sering dikatakan sebagai tambahan atau koreksi untuk Pajak Penghasilan (PPh).
Dengan diadakannya PPN, subjek pajak yang terbebaskan pada PPh, secara tidak
langsung menjadi penanggung pajak melalui konsumsi yang dilakukannya.
9
3) Mengatur Pola Konsumsi
PPN sebagai juga disebut sebagai pajak atas konsumsi. Oleh karena itu PPN dapat
juga dijadikan alat untuk membentuk pola konsumsi, dengan mengenakan pajak atas
barang-barang tertentu.
4) Mendorong Ekspor
Untuk mendorong dan meningkatkan daya saing barang ekspor di pasaran luar negri,
tarif atas penyerahan ekspor ditetapkan sebesar 0%.
5) Mendorong Investasi
Dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang dibayarkan atas perolehan atau
impor barang modal, dibebaskan/dapat diminta kembali. Pembebasan/pengembalian
PPN Barang Modal diharapkan akan mendorong Investasi.
6) Membantu Pengusaha Kecil
Dengan mengecualikan Pengusaha Kecil dari kewajiban memungut PPN, diharapkan
akan lebih membantu pengusaha kecil mengembangkan usahanya.
Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai
Sukardji,U (2006) mendefinisikan “ Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai
adalah: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan nama UU
Pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu pengganti UU Nomor 19 Tahun
1951 Drt. jo UU Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak Penjualan, UU PPN 1984 ini
mulai berlaku, Undang-undang ini mengalami dua kali perubahan. Perubahan yang
pertama dilakukan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan
10
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2001.
Adapun tujuan perubahan ini sebagaimana ditegaskan dalam konsideran filosofis
UU Nomor 18 Tahun 2000 adalah:
a) Lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan;
b) Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan
pengawasan dan pengamanan penerimaan negara.
Meskipun UU Nomor 8 Tahun 1983 untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18
Tahun 2000, nama Undang-undang ini tidak mengalami perubahan, karena:
1) Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang berbunyi: “ Undang-undang ini dapat
disebut dengan nama Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”tidak diubah,
dan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2000, menyebut UU Nomor 8
Tahun 1983 yang telah diubah ini “ Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984”.
2) Sesuai dengan bunyi konsiderans UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 18
Tahun 2000 bahwa pengundangan undang-undang ini dimaksudkan untuk mengubah
UU Nomor 8 Tahun 1983, jadi bukan untuk menggantikan kedudukannya.
3) Pasal III UU Nomor 18 Tahun 2000 menentukan: “ Undang-undang ini dapat disebut
Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”.
UU ini menyebut UU PPN dengan nama UU PPN 1984.
11
II.2.2 Subjek dan Objek PPN
Subjek PPN
Sukardji,U (2006) mengemukakan “ Subjek Pajak Pertambahan Nilai” dapat
dikelompokan menjadi 2 :
1. Pengusaha Kena Pajak
a. Melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP yang dapat dikenakan PPN adalah
Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf a dan huruf c jo Pasal 1 angka 15 UU PPN
1984 jo Pasal 2 ayat 1 PP Nomor 143 Tahun 2000).
b. Mengekspor BKP yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak
(Pasal 4 huruf f UU PPN 1984).
c. Menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 16D UU PPN 1984).
d. Bentuk kerja sama operasi yang apabila menyerahkan BKP dan/atau JKP dapat
dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 143
Tahun 2000).
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak
a. Mengimpor BKP (Pasal 4 huruf b UU PPN 1984),
b. Memanfaatkan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean (Pasal 4 huruf e UU PPN 1984)
c. Membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanya (Pasal
16C UU PPN 1984).
12
Objek PPN
Sukardji,U (2006) mengemukakan “ Objek Pajak Pertambahan Nilai “ adalah:
Objek atau sasaran dalam pengenaan PPN adalah “Penyerahan”, yang biasanya
dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan dikenakan pajak. Dalam Pasal
4 Undang-undang No.18 Tahun 2000 menjelaskan tentang objek PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan atau pekerjaan
oleh Pengusaha.
b. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;.
c. Impor Barang Kena Pajak
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya akan digunakan sendiri atau
digunakan oleh pihak lain;
h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva
tersebut tidak untu diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
13
II.2.3 Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
Barang Kena Pajak
Pengertian Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak didefinisikan:
Sukardji,U (2006) mengemukakan, “Barang Kena Pajak”, menurut pasal 1 huruf c dan
huruf b lama UU No 18 Tahun 2000 sebelum 1 Januari 1995, pengertian Barang Kena
Pajak dirumuskan sebagai berikut :
“Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak sebagai hasil proses pengolahan
barang (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”(h.66).
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 2 UU No 18 Tahun 2000,
pengertian Barang Kena Pajak dirumuskan sebagai berikut:
“Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang”(h.66).
Dari rangkaian pengaturan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu penyerahan
barang dapat dikenakan PPN apabila memenuhi unsur-unsur:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak
b. Daerah Pabean
c. Dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan
d. Yang melakukan harus Pengusaha Kena Pajak.
Jasa Kena Pajak
Sukardji,U (2006) mengemukakan “Jasa Kena Pajak diuraikan menurut UU
Nomor 18 Tahun 2000, didefinisikan sebagai berikut:
14
“Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdaasarkan suatu perikatan atau
pembuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang
dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”(h.83).
Berdasarkan Pasal 4 huruf c jo Pasal 1 angka 14 dan angka 15 UU No 18 Tahun 2000,
kegiatan penyerahan jasa dapat dikenakan PPN sepanjang memenuhi unsur-unsur:
a. Penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Di dalam Daerah Pabean
c. Dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
d. Penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
II.2.4 Kelemahan dan Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai
Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai
1) Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung
lainnya, baik dipihak administrasi pajak maupun dipihak wajib pajak.
2) Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen,
semakin ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya semakin rendah tingkat
kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul.
3) PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
Kerawanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang
merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh Pengusaha dalam
bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur administrasi fiskus.
15
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai
1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri.
3) Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh kembali pada
bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (consumption type VAT) dan metode
pengurangan tidak langsung (indirection subtraction method). Dengan demikian
sangat membantu likuiditas perusahaan.
4) Ditinjau dari masuk pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat
sebagai “ money maker” karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa
dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
II.2.5 Tarif PPN dan Dasar Pengenaan PPN
Mardiasmo (2006) mengemukakan “ Tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat
diuraikan sebagai berikut :
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan Tarif PPN atas
ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti
pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak Masukan Yang telah dibayar dari barang
yang diekspor dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan
dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif PPN dapat diubah
serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)
dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal”(h.238).
16
Dasar Pengenaan PPN
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
dengan Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
a) Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang dan
potongan harga dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur.
b) Pembeli
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima tau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
harga Barang Kena Pajak.
c) Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
d) Penerima Jasa
Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusya
membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak.
17
e) Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambahn pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut Undang-undang.
f) Nilai Ekspor
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atas
seharusya diminta oleh eksportir.
g) Nilai Lain
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan.
b. Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak,seperti
air minum, listrik dan sejenisnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tanggal 26
Desember 2000 jo Keputusan Menteri Keputusan Nomor 251/KMK.03/2002 tanggal
31 Mei 2002 telah ditetapkan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk
beberapa penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu:
1. Untuk pemakaian dan pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian, tidak termasuk laba kotor;
2. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah Harga Jual rata-rata;
3. Untuk penyerahan film cerita dalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film;
4. Untuk persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan adalah harga pasar wajar;
18
5. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
6. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/pariwisata adalah 10% (sepuluh persen)
dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
7. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan
atau jumlah yang seharusnya ditagih.
8. Untuk anjak piutang adalah 5% dari service charge,provisi dan diskon.
9. Untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas sebagai barang dagangan 10% dari
Harga Jual.
10. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dari Pusat ke
cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
11. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang adalah harga lelang.
h) Hal-hal Khusus
Dalam perhitungan pajak terutang, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 6 PP Nomor 143 Tahun 2000 mengatur bahwa apabila Pajak Pertambahan
Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang adalah 10/110 dari harga atau pembayaran tersebut. Demikian pula
apabila ada unsur Pajak penjualan atas Barang Mewah, maka tarif Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, maka tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
ditambahkan pada faktor pembagi bersama-sama dengan tarif Pajak Pertambahan
Nilai.
19
Sebaliknya apabila dalam kontrak tidak disebutkan bahwa dalam harg Barang
Kena Pajak/Jasa Kena Pajak sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, maka harga tersebut merupakan Harga Jual atau
Penggantian yang dimaksud oleh Undang-undang. Pajak yang terutang dihitung
sesuai dengan tarif yang berlaku dikalikan dengan Harga Jual atau Penggantian
dalam kontrak.
2. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan kewajiban pemungutan pajak maka Dasar Pengenaan Pajak
ditetapkan sebesar Harga Jual, Penggantian atau Nilai Lain yang ditemukan
dalam pemeriksaan.
3. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, besarnya pajak terutang dihitung dengan Dasar
Pengenaan Pajak seperti sub 2 diatas.
II.2.6 Karakteristik PPN
Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai maka ia
terpilih untuk menggatikan peranan Pajak Penjualan.
Apabila legal karakter Pajak Pertambahan Nilai yang dikemukakan oleh Prof.
Ben Terra tersebut di atas, dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
Karakter ini membrikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban
pajak (desinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas
negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata
20
berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
Sedangkan penanggung pajak atas pembayaran pajak ke kas negara adalah
Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak atau
pengusaha Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Administrasi Pajak (fiskus) akan meminta
pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena
Pajak tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga
bersetatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Pajak Objektif
Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya
kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Adapun
yang dimaksud dengan taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum
yang dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai Pajak
Objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan
oleh adanya objek pajak.
c. Multi Stage Tax
Multi stage tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada
setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang
yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan
(manufakturer) kemudian di tingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai
bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai.
d. PPN Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Dihitung Menggunakan Indirect
Subtraction Method/ Credit Method/ Invoice Method.
21
Pajak yang dipungut oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa tidak secara otomatis
wajib di bayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara
merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain
yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPn yang dipungut dari pembeli
atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran (output tax).
Sebagai konsekuensi penggunaan credit method untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai yang terlurang maka pada setiap penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan diwajibkan
membuat Faktur Pajak Sebagai bukti pemungutan pajak.
Sesuai dengan pola atau metode yang digunakan ini maka mekanisme pemungutan
PPN mutlak memerlukan Faktur Pajak sebagai dokumen yuridis untuk membuktikan
kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang terlibat dalam
pengkreditan.
e. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri.
Sebagai pajak konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya
dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai dengan persentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai
pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai adalah
mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax consumption
expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik swasta
maupun badan Pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan
pada anggaran belanja negara.
22
f. Pajak Pertambahan Nilai Bersifat Netral.
Netralitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dibentuk oleh dua faktor yaitu:
a) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa.
b) Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination
principle).
Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip pemungutan,
yaitu:
1) Prinsip tempat asal (orgin principle);
2) Prinsip tempat tujuan (destination principle).
Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat asal
barang atau jasa yang akan dikonsumsi.
Sedangkan berdasarkan prinsip tempat tujuan, PPN dipungut di tempat barang
atau jasa dikonsumsi. Kedua prinsip ini sangat besar pengaruhnya terhadap
kedudukan PPN dalam perdagangan internasional.
Sebaliknya barang produksi dalam negeri yang akan diekspor tidak dikenakan
PPN karena akan dikenakan PPN di negara tempat tujuan barang yaitu negara
tempat komiditi ekspor tersebut akan dikonsumsi.
Meskipun demikian, supaya daya saing komoditi ekspor Indonesia dengan
produk domestik negara pengimpor tidak dipengaruhi oleh PPN Indonesia, masih
diperlukan sarana lain berupa pengenaan PPN atas komoditi ekspor dengan tarif
0%.
g. Tidak Menimbulkan Dampak Pengenaan Pajak Berganda.
Kemungkinan pengenaan pajak berganda seperti yang dialami dalam era UU Pajak
Penjualan (PPn) 1951 dapat dihindari sebayak mungkin karena Pajak Pertambahan
23
Nilai dipungut atas nilai tambah saja. Keadaan ini berbeda dengan situasi dalam era
UU PPn 1951, yang dalam pelaksanaannya, Pengusaha tidak diberi hak untuk
memperoleh kembali PPn yang dibayar atas perolehan bahan baku/pembantu atau
barang modal. Akibatnya, Pajak Penjualan yang terutang sepenuhnya merupakan
hasil perkalian tarif PPn dengan peredaran bruto.
II.3 Pengkreditan Pajak Masukan
II.3.1 Dasar Hukum Pengkreditan Pajak Masukan
Sukardji,U (2006) mengemukakan “ Dasar Hukum Pengkreditan Pajak masukan
diatur dalam Pasal 9 UU PPN 1984. sebelum perubahan dilakukan terhadap UU Nomor
8 Tahun 1983 (UU PPN 1984) oleh UU Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku sejak
1 januari 1995, sebagai pelaksanaan Pasal 9 diatur antara lain dalam :
a. Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985.
b. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988.
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1441/KMK.04/1989 tanggal 29 Desember
1989.
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1441a/KMK.04/1989 tanggal 29 Desember
1989.
e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor:1441b/KMK.04/1989 tanggal 29 Desember
1989.
f. Keputusan Menteri Keuangan Nomor:296/KMK.04/1994 tanggal 27 Juni 1994.
Sejak 1 Januari 1995, landasan yuridis pengkeriditan Pajak Masukan mengalami
perubahan secara mendasar seiring dengan perubahan terhadap Pasal 9 UU PPN 1984
24
yang semula hanya terdiri atas 9 ayat menjadi 14 ayat, sehingga dasar hukum
pengkreditan Pajak Masukan menjadi sebagai berikut :
a. Pasal 9 UU PPN 1984;
b. Pasal 28 dan 32 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994.
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 594/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember
1994;
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 643/KMK.04/1984 tanggal 29 Desember
1994;
e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 252/KMK.04/1998 tanggal 29 April 1998.
II.3.2 Terhutangnya PPN
Rusjdi,M (2006), “Terutangnya Pajak terjadi pada saat :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; atau
f. Ekspor Barang Kena Pajak.
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang
Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas
penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat
impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak transaksi yang dilakukan melalui
“electronic commerce” tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada.
25
II.3.3 Faktur Pajak dan Jenis-Jenis Faktur Pajak
Sukardji,U (2006) mengemukakan “ Faktur Pajak Pasal 1 huruf t UU PPN 1984
yang dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 menjadi Pasal 1 angka 23 merumuskan:
“Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak
atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh
Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
Sukardji,U (2006) mengemukakan “Fungsi Faktur Pajak” adalah sebagai berikut:
a. Bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jendral Bea dan cukai;
b. Bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau orang
pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak;
c. Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
Ditinjau dari fungsinya, dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak memegang posisi
sentral dalam mekanisme PPN di Indonesia berdasarkan UU PPN 1984.
Sesuai dengan fungsinya ini maka untuk membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena
Pajak tidak perlu menunggu pembuatan invoice.
Jenis-Jenis Faktur Pajak:
Mardiasmo (2006) mengemukakan “Jenis-Jenis Faktur Pajak diuraikan sebagai
berikut:
1. Faktur Pajak Standar
Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP
atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
26
a. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP, dan atau JKP;
b. Nama, alamat, NPWP pembeli BKP, atau penerima JKP;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. PPN dipungut;
e. PPn BM yang dipungut;
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Pembuatan Faktur Pajak Standar:
1) Dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau
penyerahan keseluruhan JKP, harus dibuat paling lambat pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan
JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur
Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau
2) Dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau
sebelum penyerahan JKP, harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan
pembayaran; atau
3) Dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, harus dibuat paling lambat
pada saat penerimaan pembayaran termin; atau
4) Dalam hal penyerahan BKP atau JKP kepada pemungut PPN, harus dibuat
paling lambat pada saat Pengusaha Kena Pajak menyampaikan tagihan
kepada Pemungut PPN.
27
2. Faktur Pajak Gabungan
Untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak
diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan
BKP atau penyerahan JKP yang terjadi selama satu bulan takwin kepada pembeli
yang sama atau penerima JKP yang sama. Faktur Pajak ini disebut Faktur Pajak
Gabungan.
3. Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak Sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menampung kegiatan penyerahan atau tanda bukti
pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau
JKP;
b. Jenis dan kuantum;
c. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya
pajak dicantumkan secara terpisah;
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
Faktur Pajak Sederhana bisa berupa bon kontan, kuitansi, bukti pembayaran, dan
dokumen lain yang sejenis.
II.3.4 Mekanisme Pengkreditan Pajak
Mardiasmo (2006) mengemukakan “ Mekanisme Pengkreditan Pajak diuraikan
sebagai berikut:
Pembeli BKP, penerima JKP, pengimpor BKP, pihak yang memanfaatkan BKP
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar
28
Daerah Pabean wajib membayar PPN dan berhak menerima bukti pungutan pajak, PPN
yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli BKP,
atau penerima JKP, atau pengimpor BKP, atau pihak yang memanfaatkan BKP tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah
yang berstatus PKP. Pajak masukan yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang
sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang
berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP
dan atau JKP dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan.
II.3.5 Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan
Mardiasmo (2006) mengemukakan “Pajak Masukan pada dasarnya dapat
dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak semua Pajak Masukan dapat
dikreditkan. Pajak Masukan yang Tidak Dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi
pengeluaran untuk:
1. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
2. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha.
29
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan
kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
5. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak
Sederhana.
6. Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) UU PPN.
7. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
13 ayat (6) UU PPN.
8. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak.
9. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa
PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
10. Berkenaan dengan:
a. Penyerahan kendaraan bermotor bekas.
b. Penyerahan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha biro perjalanan atau biro
pariwisata.
c. Jasa pengiriman paket.
d. Jasa anjak piutang.
e. Kegiatan membangun sendiri.
30
II.4 Penerapan dan Pelaporan PPN
II.4.1 Mekanisme Pelaporan
Sukardji,U (2006) mengemukakan “Mekanisme Pelaporan” adalah :
Dalam memori penjelasan Pasal 3 UU KUP digariskan bahwa bagi Pengusaha Kena
Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPN dan PPnBM yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang;
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha
Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
c. Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.
II.4.2 Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan PPN Dan PPnBM
Sukardji,U (2006) mengemukakan “Pihak Yang Wajib Membayar/Menyetor dan
Melapor PPN/PPnBM adalah :
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
b. Pemungut PPN/PPnBM, adalah :
• KPKN
• Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
• Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
31
• Pertamina
• BUMN/BUMD
• Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan
Umum Lainnya
• Bank Pemerintah
• Bank Pembangunan Daerah
• Perusahaan Operator Telepon Selular.
II.4.3 Yang Wajib Disetor
Sukardji,U (2006) mengemukakan “Yang Wajib disetor” adalah :
a. Oleh PKP adalah :
1) PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila
Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
2) PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah.
3) PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kuarang Bayar Tambahan (SKPKBT),
dan Surat Tagihan Pajak (STP).
b. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut
PPN/PPnBM.
32
II.4.4 Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
Sukardji,U (2006) mengemukakan “Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM”
adalah :
a. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwin berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Febuari
1996.
b. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.
c. PPN/PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/dibebaskan, harus dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen Impor.
d. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh :
1) Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan
takwin berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2) Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan takwin berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
3) Direktorat Jendral Bea dan Cukai yang memungut PPN/PPnBM atas Impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
e. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (D.O) ditebus.
33
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran
harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
II.4.5 Saat Pelaporan PPN/PPnBM
Sukardji,U (2006) mengemukakan “ Saat Pelaporan PPN/PPnBM” adalah :
a. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya 20
hari setelah Masa Pajak berakhir.
b. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB,SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
c. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh :
1) Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-selambatnya 14 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
2) Pemungut harus dilaporkan Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan
selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan
selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
d. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan
PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
34
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus
dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.
II.5 Perlakuan Perpajakan atas Perusahaan Periklanan
II.5.1 Proses Pembuatan Iklan
Iklan adalah sarana promosi yang dianggap paling jitu untuk memperkenalkan
produk. Namun di masa sekarang ini, iklan tidak hanya dipakai untuk memperkenalkan
produk barang atau jasa dari sebuah perusahaan. Oleh karena itu tidak heran jika
beberapa tahun belakangan ini, banyak perusahaan periklanan yang didirikan baik oleh
orang pribadi maupun dalam bentuk badan atau peerusahaan.
Jasa Periklanan Dikelompokkan Kedalam Tiga Kelompok Yaitu:
• Jasa Konsultasi Periklanan
Jasa konsultasi yang disediakan oleh perusahaan periklanan biasanya berupa jasa
konsultasi strategi pemasaran, strategi promosi, survey pasar, market share,
konsultasi bentuk dan warna iklan, konsultasi jenis kemasan iklan dan lain-lain. Dan
untuk pemberian jasa konsultasi ini, perusahaan periklanan mendapatkan imbalan
berupa fixed fee dari klien dengan tarif atau besaran tertentu. Jasa konsultasi ini
merupakan jasa yang hampir pasti diberikan oleh perusahaan periklanan, meskipun
perusahaan yang bersangkutan adalah perusahaan spesialis. Misalnya sebuah
perusahaan periklanan yang menjadi spesialis dibidang pembuatan materi iklan,
maka pada umumnya mereka juga memberikan jasa konsultasi pemilihan bentuk
iklan, komposisi warna dan lainnya. Begitu juga misalnya sebuah perusahaan
35
periklanan menjadi spesialis dibidang pemasangan iklan, mereka umumnya juga
akan memberikan jasa konsultasi berkaitan dengan pemilihan media yang tepat dan
efesien untuk memasang iklan, konsultasi jenis kemasan iklan dan sejenisnya.
• Pembuatan Materi Iklan
Materi iklan (iklan yang siap ditayangkan atau dipasang dimedia-media pemasangan
iklan) kadang dibuat sendiri oleh perusahaan periklanan dan kadang juga dilakukan
oleh pihak lain seperti production house (PH) misalnya dalam pembuatan iklan
berbentuk film yang akan ditayangkan ditelevisi (TV), radio atau internet. Tetapi
meskipun pembuatan materi iklan dilakukan oleh pihak lain, perusahaan periklanan
tetap melakukan supervisi sekaligus melakukan pemantauan terhadap kegiatan
pembuatan materi iklan yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut. Dan atas kegiatan
supervisinya ini, perusahaan periklanan kadang meminta dan mendapat imbalan atau
fee tersendiri.
• Jasa Pemasangan Iklan
Terkait dengan soal pemasangan iklan di media, seperti TV, radio, internet, surat
kabar, majalah, tabloid dan media luar ruang seperti iklan billboard, bis, kereta api,
jembatan penyebrangan dan media luar ruang lainnya, perusahaan periklanan
umumnya tidak hanya bertindak sebagai perantara yang mendapat imbalan (fee) atas
jasa perantara. Sebab selain memberikan jas perantara tersebut, perusahaan
periklanan juga memberikan jas lain seperti saran atau advis pemilihan iklan yang
tepat dan efesien, pengaturan waktu pemasangan iklan dan pengukuran efektivitas
dari iklan yang terbit atau ditayangkan terhadap penjualan atau pengenalan produk
(brand awareness).
36
II.5.2 Jasa Periklanan (SE-10/PJ.31/1998)
Perlakuan dan DPP PPN atas penyerahan jasa periklanan :
No Pemberi Jasa Penerima Jasa Kegiatan Perlakuan PPN
1 Perusahaan
Periklanan
Klien Pembuatan Materi
iklan oleh
Perusahaan
Pembuatan materi
iklan oleh pihak
ketiga
Pemasangan Iklan di
media
Konsultasi
Terutang PPN
dengan DPP sebesar
periklanan
penggantian/imbalan
yang diterima
Terutang PPN
dengan DPP sebesar
tagihan kepada klien
(tagihan dari pihak
ketiga + fee)
Terutang PPN
dengan DPP sebesar
tagihan kepada klien
(tagihan dari
Perusahaan Media +
Fee).
Terutang PPN
dengan DPP sebesar
penggantian yang
diterima
37
Spot bonus dari
media TV
Terutang PPN
dengan DPP sesuai
dengan harga pasar
2 Perusahaan
Media
Perusahaan
Periklanan
Pemasangan iklan di
Media
Spot bonus
Terutang PPN
dengan DPP sebesar
penggantian yang
diterima
Terutang PPN
dengan DPP sesuai
dengan harga pasar
3 Pihak Ketiga Perusahaan
Periklanan
Pembuatan Materi Terutang PPN
dengan DPP sebesar
penggantian yang
diterima.