bab ii landasan teori ii.1 pengendalian internthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-2-00014-ak bab...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pengendalian Intern
II.1.1 Pengertian Pengendalian Intern
Pada perusahaan kecil, umumnya pemilik merangkap sebagai
manajemen dan mengelola perusahaannya sendiri. Skala perusahaan yang
kecil memungkinkan seorang manajer mampu mengawasi seluruh proses
yang terjadi dalam perusahaan. Namun pada saat perusahaan berkembang,
fungsi yang dibutuhkan perusahaan akan semakin meningkat sehingga
muncul kebutuhan untuk melimpahkan wewenang dan tanggung jawab.
Pengendalian intern merupakan alat yang digunakan manajemen untuk
mengawasi pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan
kepada bawahannya. Selain itu pengendalian intern juga dapat digunakan
sebagai alat untuk mengendalikan operasi perusahaan agar dapat berjalan
lebih efektif dan efisien.
Pengertian pengendalian intern menurut Arens dan Loebbecke yang
diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusup (2003) adalah:
”Sistem Pengendalian Intern yang terdiri dari kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur dirancang untuk memberikan manajemen keyakinan
memadai bahwa tujuan dan sasaran yang penting bagi suatu usaha dapat
dicapai” (h. 258)
Bodnar and William Hopwood (1998) dalam buku yang berjudul
Accounting Information System mengungkapkan bahwa :
“ Internal control is a process-affected by an entity’s board of directors,
management, and other personnel-designed to provide reasonable assurance
regarding the achievement of objective in the following categories :
a. Reability of financial reporting,
b. Effectivennes and efficiency of operation,
c. Compliance with applicable laws and regulation.“ (p. 182)
Agoes S dalam bukunya yang berjudul Auditing (1999) mengungkapkan
bahwa :
“Sistem Pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan
untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa satuan usaha yang
spesifik dapat dicapai”. (h. 57)
Berdasarkan beberapa pengertian yang tercantum di atas, dapat
dibuat kesimpulan yaitu :
a. Pengendalian intern terdiri dari sekumpulan proses, prosedur, kebijakan, dan
metode yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Pengendalian intern dipengaruhi oleh manusia dan dibuat serta
dijalankan oleh manajemen.
c. Pengendalian intern hanya dapat memberikan tingkat keyakinan memadai
tetapi tidak memberikan keyakinan absolut.
d. Pengendalian intern ditujukan untuk mencapai tujuan yang saling
berkaitan, yaitu pelaporan, keuangan, kepatuhan dan operasi.
II.1.2 Tujuan Pengendalian Intern
Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf
(2003) menyatakan bahwa manajemen memiliki tiga hal yang diperhatikan
sehubungan dengan pengendalian intern perusahaan. Ketiga hal tersebut
adalah :
a. Keandalan Pelaporan Keuangan
Manajemen bertanggung jawab dalam pembuatan laporan keuangan
untuk investor, kreditur, dan pengguna laporan keuangan lainnya.
Manajemen memiliki kewajiban hukum dan professional untuk
menjamin bahwa informasi yang tercantum dalam laporan keuangan
perusahaan telah disiapkan sesuai dengan standar pelaporan, misalnya
prinsip akuntansi yang berlaku umum. Untuk meningkatkan keandalan
pelaporan keuangan, manajemen membutuhkan pengendalian intern.
b. Mendorong Efisiensi dan Efektivitas Operasional
Pengendalian intern dalam sebuah organisasi adalah alat untuk
mencegah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala
aspek usaha, dan untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak
efisien dan efektif. Bagian penting lainnya dalam pengendalian intern
adalah untuk pengamanan aktiva dan catatan. Aktiva perusahaan dapat
dicuri, disalahgunakan ataupun rusak jika tidak dilindungi dengan
pengendalian yang memadai, kondisi yang sama juga berlaku untuk
aktiva non-fisik seperti piutang usaha, dokumen penting (kontrak
rahasia dengan pemerintah), dan catatan-catatan penting lainnya.
c. Ketaatan Kepada Hukum dan Peraturan
Organisasi diharuskan untuk mengikuti banyak peraturan yang berlaku.
Ada peraturan tertentu yang hanya berlaku di bidang akuntansi, seperti
peraturan perpajakan dan peraturan yang tidak langsung berhubungan
dengan akuntasi seperti UU lingkungan hidup dan UU perlindungan.
Pengendalian intern diharapkan dapat meningkatkan kesesuaian operasi
yang dijalankan organisasi dengan peraturan yang berlaku dan harus
ditaati. (h. 271)
II.1.3 Komponen-komponen Pengendalian Intern
Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf
(2003) mengungkapkan bahwa pengendalian intern meliputi lima kategori
pengendalian yang di desain dan diimplementasikan oleh manajemen untuk
memberikan jaminan yang memadai bahwa tujuan pengendalian manajemen
dapat dicapai. Kelima kategori pengendalian tersebut disebut komponen-
komponen pengendalian intern, yaitu :
a. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan, dan
prosedur yang mencerminkan keseluruhan sikap dari manajemen
puncak, pimpinan dan pemilik terhadap pengendalian intern dan
pentingnya pengendalian tersebut bagi perusahaan. Lingkungan
pengendalian ini memiliki subkomponen sebagai berikut :
1. Integritas dan Nilai-Nilai Etika
Integritas dan nilai etika merupakan hasil dari standar etika dan
perilaku perusahaan dan bagaimana standar tersebut
dikomunikasikan dan di jalankan dalam praktek sehari-hari.
2. Komitmen Terhadap Kompetensi
Kompetensi adalah pengetahuan dan keahlian yang di perlukan
untuk menyelesaikan tugas-tugas. Komitmen terhadap
kompetensi meliputi pertimbangan manajemen atas tingkat
kompetensi dari pekerjaan tertentu dan bagaimana tingkatan
tersebut berubah menjadi keterampilan dan pengetahuan yang
disyaratkan.
3. Dewan Komisaris dan Komite Audit
Dewan komisaris yang efektif bersifat independen terhadap
manajemen dan anggota-anggotanya aktif dan menilai aktivitas
manajemen. Dewan mendelegasikan tanggung jawab atas
pengendalian intern kepada manajemen dan dituntut untuk
memberikan penilaian yang independen atas pengendalian intern
yang ditetapkan oleh manajemen. Untuk membantu
penilaiannya, dewan komisaris membentuk komite audit yang
bertanggung jawab atas proses pelaporan keuangan. Komite
audit juga bertanggung jawab untuk memelihara komunikasi
dengan auditor internal dan eksternal.
4. Falsafah Manajemen dan Gaya Operasi
Melalui aktivitasnya, manajemen menunjukan arti pentingnya
pengendalian intern kepada para karyawannya. Dengan
memahami filosofi dan gaya operasi manajemen, auditor dapat
memahami sikap manajemen terhadap pengendalian.
5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi suatu perusahaan membatasi garis tanggung
jawab dan wewenang yang ada dalam suatu perusahaan. Dengan
memahami struktur organisasi klien, auditor dapat mempelajari
manajemen dan elemen fungsional usaha dan menaksir
bagaimana kebijakan dan prosedur yang berhubungan dengan
pelaksanaan pengendalian.
6. Pelimpahan Wewenang dan Tanggung Jawab
Metode formal dalam mengkomunikasikan wewenang dan
tanggung jawab dan masalah sejenis yang terkait dengan
pengendalian, merupakan hal yang paling penting. Hal ini
termasuk metode-metode seperti memo dari manajemen puncak
tentang pentingnya pengendalian dan hal-hal yang berkaitan
dengan pengendalian, rencana operasi dan organisasi secara
formal, dan dekripsi tugas karyawan dan kebijakan terkait, dan
dokumen kebijakan yang menggambarkan perilaku pegawai
seperti perbedaan kepentingan dan kode etik perilaku formal.
7. Kebijakan dan Prosedur kepegawaian
Salah satu aspek penting dalam pengendalian intern adalah
karyawan. Jika karyawan dalam suatu perusahaan kompeten dan
dapat dipercaya, maka pengendalian lain dapat dihilangkan dan
laporan keuangan yang andal masih dapat dihasilkan. Karena
pentingnya karyawan yang kompeten dan dapat dipercaya dalam
menyediakan pengendalian yang efektif, metode dimana
seseorang dipekerjakan, dilatih, dipromosikan, dan diberi
kompensasi adalah bagian penting dalam pengendalian intern.
b. Penilaian Risiko Oleh Manajemen (Risk Assesment)
Penilaian risiko untuk pelaporan keuangan merupakan
identifikasi dan analisis oleh manajemen atas risiko-risiko yang
relevan terhadap persiapan laporan keuangan yang sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Manajemen menilai risiko sebagai bagian dalam perancangan
dan pengoperasian struktur pengendalian intern untuk meminimalkan
salah saji dan ketidakberesan. Auditor menetapkan risiko untuk
memutuskan jumlah bahan bukti yang diperlukan dalam audit. Jika
manajemen secara efektif menilai dan bereaksi terhadap risiko, auditor
biasanya mengumpulkan lebih sedikit bahan bukti dibandingkan jika
manajemen tidak dapat mengidentifikasi dan bereaksi terhadap risiko
yang signifikan.
c. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur, selain
dari empat komponen yang lain, yang dibuat manajeman untuk
memenuhi tujuannya. Banyak sekali kebijakan dan prosedur dalam
suatu satuan usaha. Tetapi lazimnya dapat dipecah menjadi lima
kategori yang diuraikan berikut ini, yaitu :
1. Pemisahan Tugas yang Memadai
Empat pedoman umum pemisah tugas untuk mencegah salah
saji baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja mempunyai
kepentingan khusus bagi auditor.
a. Pemisahan pemegang (Custody) aktiva dari akuntansi
Alasan untuk tidak mengijinkan orang yang kadang-kadang
atau secara permanen memegang aktiva untuk mencatat
aktiva tersebut adalah untuk melindungi perusahaan dari
penggelapan. Jika kedua fungsi ini dilakukan oleh satu
orang, risiko bahwa orang tersebut melakukan kecurangan
atas asset perusahaan untuk keuntungan pribadi dan
menyesuaikan catatan tersebut untuk membebaskan diri dari
tanggung jawab akan meningkat.
b. Pemisahan otorisasi transaksi dari pemegang aktiva yang
bersangkutan
Kalau memungkinkan, diperlukan untuk mencegah orang
yang menyetujui transaksi, memiliki kendali atas aktiva
tersebut. Misalnya orang yang sama seharusnya tidak
diijinkan menyetujui pembayaran faktur pembelian dan juga
menandatangai pembayaran tagihan.
c. Pemisahan tanggung jawab operasional dari tanggung
jawab pembukuan
Kalau dalam setiap departemen atau divisi dalam perusahaan
bertanggung jawab untuk membuat catatan dan laporannya
masing-masing, terdapat kecenderungan hasilnya memihak
(bisa) untuk memperbaiki kinerja yang dilaporkan. Untuk
menjamin informasi tidak memihak, pencatatan biasanya ada
di departemen tersendiri dibawah kontroler.
d. Pemisahan tugas dalam PDE (Pemrosesan Data
Elektronik)
Sepanjang dianggap praktis, diperlukan pemisahan fungsi
utama dalam PDE yang secara ideal sebagai berikut:
a. Analis Sistem
b. Programmer
c. Operator Komputer
d. Pustakawan
e. Kelompok Pengendali Data
Secara alamiah, luas pemisahan tugas sangat bergantung
pada ukuran organisasi, pada banyak perusahaan kecil adalah
tidak praktis untuk memisahkan tugas seluas yang dianjurkan
di atas.
2. Otorisasi Yang Memadai Atas Transaksi dan Aktivitas
Setiap transaksi harus diotorisasi secara memadai jika ingin
pengendalian dapat berjalan dengan baik. Otorisasi dapat dibagi
menjadi otorisasi umum (general authorization) maupun otorisasi
khusus (specific authorization).
Otorisasi umum adalah kebijakan yang ditetapkan
manajemen untuk diikuti oleh perusahaan. Bawahan diperintahkan
untuk menjalankan otorisasi umum ini dengan cara menyetujui
semua transaksi dalam batas yang ditentukan dalam kebijakan.
Sedangkan otorisasi khusus diterapkan atas transaksi
individual. Otorisasi ini biasanya diterapkan karena manajemen
tidak bersedia menetapkan kebijakan umum atas otorisasi untuk
sebagian transaksi, manajemen lebih memilih membuat otorisasi
atas dasar kasus per kasus.
3. Dokumen Dan Catatan yang Memadai
Dokumen dan catatan merupakan objek fisik atas transaksi
yang telah dicatat dan diiktisarkan. Sebagian besar catatan dan
dokumen ini disimpan dalam bentuk data komputer sebelum
dicetak untuk keperluan tertentu
Dokumen berperan dalam menyampaikan informasi
keseluruh bagian organisasi klien dan antara organisasi yang
berbeda, karena itu dokumen tersebut harus dapat memberikan
keyakinan yang memadai bahwa semua asset telah dikendalikaan
dengan tepat dan semua transaksi telah dicatat dengan benar.
Beberapa prinsip yang paling penting dalam perancangan
dan penggunaan dokumen dan catatan adalah:
a. Berseri dan Prenumbered (diberi nomer secara berurutan),
untuk memudahkan pengendalian terhadap dokumen yang
hilang dan sebagai alat bantu dalam penempatan dokumen
ketika dibutuhkan dikemudian hari.
b. Dibuat pada saat terjadi transaksi terjadi atau sesegera
sesudahnya, karena jika terdapat selang waktu yang lama,
catatan berkurang kredibilitasnya dan memungkinkan
terjadinya salah saji meningkat dan kemungkinan kekeliruan
besar.
c. Cukup sederhana untuk menjamin dokumen tersebut mudah
dimengerti dengan jelas
d. Didesain untuk berbagai penggunaan guna, sehingga
mengurangi jumlah formulir (dokumen dan catatan) yang ada
e. Dirancang dalam bentuk yang mendorong penyajian
dokumen yang benar
4. Pengendalian Fisik atas Aktiva dan Catatan
Asset tidak dilindungi, dapat dicuri. Sedangkan catatan
yang tidak dilindungi dengan benar, dapat dicuri, rusak atau
hilang. Alat perlindungan yang penting dalam menjaga asset dan
catatan adalah pencegahan secara fisik, misalnya penggunaan
tempat penyimpanan asset (storeroom), penyimpanan yang tahan
api (fire proof save)
Merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan yang
telah terkomputerisasi, untuk melindungi perlengkapan, program
dan data perusahaan. Pengendalian fisik juga digunakan dalam
melindungi fasilitas komputer. Pengendalian terhadap akses
komputer berarti hanya orang yang diotorisasi yang dapat
mengunakan perlengkapan dan mempunyai akses terhadap
program dan data perusahaan.
5. Pengecekan Independen Atas Pelaksanaan
Pengecekan independen atau verifikasi internal merupakan
peninjauan kembali atas keempat komponen lain . Pengecekan
independen dilakukan kerena pengendalian intern cenderung
berubah dari waktu ke waktu, kecuali terdapat mekanisme untuk
peninjauan kembali secara berkala
Alat yang digunakan untuk verifikasi internal adalah
pemisahan tugas. Selain itu sistem akuntansi berbasis komputer
dapat didesain sehingga prosedur verifikasi internal secara
otomatis menjadi bagian dari sistem tersebut.
d. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Tujuan sistem informasi dan komunikasi akuntansi adalah
mengidentifikasi, mengolah, mengklasifikasi, menganalisis, mencatat,
dan melaporkan transaksi-transaksi perusahaan dan memelihara
tanggung jawab atas asset yang bersangkutan. Sistem ini biasanya
terbagi atas kelas transaksi dan setiap transaksi harus dapat memenuhi
tujuan audit terkait transaksi.
e. Pemantauan (Monitoring)
Aktivitas pemantauan berhubungan dengan penilaian
efektivitas rancangan dan operasi struktur pengendalian intern secara
periodik dan terus menerus oleh manajemen untuk melihat apakah
telah dilaksanakan dengan semestinya dan telah diperbaiki sesuai
dengan keadaan.
Hal yang penting bagi auditor untuk mengetahui mengenai
pemantauan adalah tipe aktivitas pemantauan utama yang digunakan
dan bagaimana aktivitas ini digunakan untuk memperbaharui
pengendalian intern ketika diperlukan. (h. 261-270)
II.1.4 Keterbatasan Pengendalian Intern
Standar Profesional Akuntan Publik (IAI: 2001) menyebutkan bahwa
terlepas dari bagaimana bagusnya desain dan operasinya, pengendalian intern
hanya dapat memberikan keyakinan yang memadai
bagi manajemen dan dewan komisaris berkaitan dengan pencapaian tujuan
pengendalian intern entitas. Keterbatasan pengendalian dapat terjadi karena:
a. Kesalahan manusia
pertimbangan manusia dalam memgambil keputusan dapat salah dan
pengambilan intern dapat rusak karena kegagalan yang bersifat
manusiawi tersebut, seperti kekeliruan atau kesalahan yang sifatnya
sederhana.
b. Kolusi
Pengendalian dapat tidak efektif karena adanya kolusi diantara dua orang
atau lebih atau manajemen mengesampingkan pengendalian intern
c. Biaya
Biaya pengendalian intern entitas tidak boleh melebihi manfaat yang
diharapkan dari pengendalian intern tersebut. Meskipun berhubungan
manfaat biaya merupakan kriteria utama yang harus dipertimbangkan
dalam pendesainan pengendalian intern, pengukuran yag tepat dan
manfaat umumnya tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, manajemen
melakukan estimasi kualitatif dan kuantitatif serta pertimbangan dalam
menilai hubungan biaya-manfaat tersebut.
(p. 319.6)
II.1.5 Penilaian Risiko Pengendalian Intern
Setelah memperoleh pemahaman atas pengendalian intern yang
cukup untuk perencanaan pemeriksaan, auditor harus membuat penilaian
awal mengenai risiko pengendalian. Menurut Arens dan Loebbecke yang
diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf (2003) terdapat empat penilaian
khusus yang harus dibuat untuk memperoleh penilaian awal yaitu:
a. Menetapkan Apakah Laporan Keuangan Dapat Diaudit
Dua faktor yang menentukan auditabilitas suatu perusahaan adalah:
1) Integritas manajemen
2) Kecukupan catatan akuntansi
Banyak prosedur audit sampai luas tertentu mengandalkan
kepada pernyataan manajemen. Jika manajemen kurang memiliki
integritas, manajemen dapat memberikan gambaran yang salah yang
menyebabkan auditor mengandalkan bukti yang tidak dapat dipercaya.
Catatan akuntansi berperan sebagai sumber langsung untuk
sebagian besar tujuan audit. Jika catatan akuntansi tidak mencukupi,
maka bukti audit yang diperlukan mungkin tidak tersedia.
b. Menetapkan Tingkat Risiko Pengendalian yang Didukung oleh
Pemahaman yang Diperoleh
Setelah memperoleh pemahaman atas rancangan dan operasi
struktur pengendalian intern, auditor membuat penilaian awal atas
risiko pengendalian. Risiko pengendalian ini merupakan ukuran
ekspektasi auditor bahwa pengendalian intern tidak dapat mencegah
terjadinya salah saji yang material maupun mendeteksi dan
mengoreksinya jika telah terjadi
Dua penetapan awal yang penting dipertimbangkan:
1) Auditor tidak harus membuat penilaian awal secara formal dan
mendetail
2) Meskipun auditor yakin risiko pengendalian rendah, penilaian
risiko pengendalian terbatas pada tingkat yang didukung oleh
bukti yang telah didapat.
c. Menetapkan Apakah Diharapkan Tingkat Risiko Pengendalian yang
Lebih Rendah dapat Didukung
Ketika auditor yakin bahwa risiko pengendalian aktual jauh
lebih rendah daripada penilaian awal, auditor dapat memutuskan untuk
mendukung tingkat risiko pengendalian yang lebih rendah.
d. Memutuskan Tingkat Risiko Pengendalian yang Ditetapkan yang
Pantas untuk Digunakan
Setelah menyelesaikan penilaian awal dan
mempertimbangkan apakah lebih mungkin tingkat risiko pengendalian
yang lebih rendah benar-benar dipertimbangkan, auditor berada dalam
posisi untuk memutuskan penilaian risiko pengendalian yang mana
yang sebaiknya digunakan.
Keputusan tersebut harus merupakan keputusan yang
ekonomis, mengakui trade-off antara biaya menguji pengendalian yang
relevan dan biaya pengujian substansif yang dapat dihindari dengan
mengurangi penilaian risiko pengendalian. (h. 287-288)
II.1.6 Pengujian Terhadap Pengendalian Intern
Pengujian terhadap pengendalian intern merupakan prosedur untuk
menguji efektivitas pengendalian yang mendukung pengurangan penilaian
risiko pengendalian. Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh
Amir Abadi Jusuf (2003) terdapat empat jenis prosedur yang digunakan
untuk mendukung pelaksanaan pengendalian intern, yaitu:
a. Tanya Jawab dengan Pegawai Suatu Satuan Usaha yang Tepat
Walaupun tanya jawab bukan merupakan sumber bukti yang kuat
mengenai pelaksanaan pengendalian yang efektif dari pengendalian,
tetapi hal tersebut cukup untuk digunakan sebagai bukti.
b. Pemeriksaan Dokumen, Catatan, dan Laporan
Banyak kegiatan dan prosedur yang berkaitan dengan pengendalian
meninggalkan jejak bahan bukti dokumenter yang jelas. Auditor
memeriksa dokumen untuk memastikan bahwa dokumen tersebut telah
lengkap dan diotorisasi sesuai dengan yang diperlukan.
c. Pengamatan Aktivitas Berkaitan dengan Pengendalian
Untuk pengendalian yang tidak meninggalkan bahan bukti dokumenter,
auditor biasanya mengamati penerapannya pada berbagai aktivitas
selama tahun berjalan.
d. Pelaksanaan Ulang Prosedur Klien
Terdapat aktivitas pengendalian atas dokumen dan catatan, tetapi isinya
tidak mencukupi untuk kepentingan auditor dalam menilai apakah
pengendalian berjalan dengan efektif. Dalam hal ini, sudah lazim bagi
auditor untuk melakukan kembali aktivitas pengendalian untuk melihat
apakah hasil yang tepat dapat diperoleh. (h. 284-286)
II.2 Gaji dan Upah
Pengertian gaji dan upah menurut Mulyadi (2001) adalah:
”Gaji umumnya merupakan pembayaran atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh
karyawan yang mempunyai jenjang jabatan dalam perusahaan seperti manajer dan
lain-lain. Sedangkan upah umumnya merupakan pembayaran atas penyerahan jasa
yang dilakukan oleh karyawan pelaksana (buruh)” (h. 373)
Menurut Soemarso (2003):
”Gaji adalah imbalan kepada pegawai yang diberi tugas-tugas administratif dan
pimpinan yang biasa jumlahnya biasanya tetap secara bulanan atau tahunan.
Sedangkan upah adalah imbalan kepada buruh yang melakukan perkerjaan kasar dan
lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik dan biasanya jumlah imbalannya
ditetapkan secara harian atau tahunan” (h. 307)
UU RI No 13(2003) pasal 1 ayat 30 mendefinisikan bahwa:
”Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima atau dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pegawai atau buruh
yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau
peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan
keluarga atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan” (h. 6)
Menurut Niswonger, Warren, Fees (1999) yang diterjemahkan oleh Sirai
Gunawan adalah:
”Gaji (salary) biasanya digunakan untuk pembayaran atas jasa manajerial,
administratif, dan jasa yang sama. Tarif gaji biasanya diekspresikan dalam periode
bulanan atau tahunan. Sedangkan upah biasanya digunakan untuk pembayaran kepada
karyawan lapangan (pekerja kasar) baik yang terdidik maupun yang tidak terdidik.
Tarif upah biasanya diekspresikan secara mingguan ataupun per jam”. (h. 446).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan penulis bahwa gaji adalah
pembayaran yang dilakukan kepada tingkat manajer, staf, dan setaranya, biasanya
dibayarkan per bulan sedangkan upah adalah pembayaran yang dilakukan kepada
karyawan setingkat buruh dan pembayarannya dilakukan menurut kriteria tertentu.
II.3 Siklus Penggajian dan Kepegawaian
II.3.1 Pengertian dan Siklus Kepegawaian
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi
Jusuf (2003) :
Siklus penggajian dan kepegawaian dimulai dengan mempekerjakan
karyawan dan berakhir dengan pembayaran kepada karyawan untuk jasa
yang diberikan dan kepada pemerintah dan lembaga lain untuk pajak
penghasilan dan kenikmatan pegawai. (h. 606)
Sedangkan menurut Bodnar dan Hopwood (1998), mengartikan
sistem penggajian dan pengupahan sebagai berikut :
” A payroll or personnel system involves all phases of payroll processing
and personal reporting. The system provides a means of promptly and
accurately paying employees, generating the necessary payroll reports,
supplying management with the required employee skill information.” (p.
274)
II.3.2 Fungsi dalam Siklus Penggajian dan Kepegawaian
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi
Jusuf (2003) siklus penggajian dan kepegawaian mempunyai empat fungsi :
a. Kepegawaian dan Penempatan Pegawai
Departemen personalia menyediakan sumber yang independen dalam
mewawancarai dan memperkerjakan karyawan yang potensial.
Departemen ini juga merupakan sumber pencatatan yang independen
atas verifikasi intern atas gaji dan upah seperti penambahan dan
penghapusan gaji dan upah, juga perubahan gaji dan upah serta
pemotongan.
b. Pengelolaan Waktu dan Penyiapan Pembayaran gaji dan upah
Fungsi ini memiliki kepentingan utama dalam audit atas gaji dan upah
karena langsung mempengaruhi secara langsung biaya gaji dan upah
pada periode yang bersangkutan. Fungsi ini meliputi pembuatan kartu
kehadiran, perhitungan gaji dan upah kotor, pemotongan, gaji dan upah
bersih, pembuatan cek gaji dan upah, serta pembuatan catatan gaji dan
upah.
c. Pembayaran Gaji dan Upah
Penandatanganan dan pendistribusian cek aktual gaji dan upah harus
ditangani secara tepat oleh fungsi ini. Untuk mencegah pembayaran
yang tidak diotorisasi biasanya digunakan rekening bank khusus yang
terpisah.
d. Pembuatan Surat Pemberitahuan dan Pembayaran Pajak
Dalam fungsi ini, pembuatan dan pengiriman Surat Pemberitahuan
Pajak secara tepat waktu dilakukan seperti yang diwajibkan oleh
pemerintah. Verifikasi yang independen oleh orang-orang yang
kompeten diperlukan untuk mencegah salah gaji, kewajiban dan sanksi
pajak. (h. 534-538)
II.3.3 Penyelewengan dalam Sistem Gaji dan Upah
Penyelewengan dapat terjadi di semua aktivitas perusahaan,
termasuk dalam siklus penggajian dan kepegawaian, contoh bentuk
penyelewengan menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh
Amir Abadi Jusuf (2003) :
a. Pegawai Fiktif
Hal ini terjadi ketika dikeluarkannya cek gaji dan upah
kepada karyawan yang tidak bekerja pada perusahaan. Penggunaan
cancelled checks dapat mendeteksi hal tersebut. Prosedur yang
dilakukan atas audit gaji dan upah adalah dengan membandingkan
nama yang tertera di cancelled checks dengan yang tertera di time
card dan catatan-catatan lain untuk mengotorisasi penandatanganan
dan pengesahan.
Pengujian terhadap pegawai fiktif dapat dilakukan dengan
menelusuri transaksi tertentu yang dicatat dalam jurnal gaji dan upah
ke depertemen personalia untuk menentukan apakah karyawan benar-
benar dipekerjakan oleh perusahaan selama periode tersebut.
Selain itu terhadap pembayaran yang terus dilakukan kepada
karyawan yang sudah berhenti bekerja, dapat dilakukan pengujian
dengan memeriksa catatan gaji dan upah pada periode berikutnya
untuk memastikan karyawan tersebut tidak lagi menerima
pembayaran gaji.
b. Fraudulent Hours (manipulasi jam kerja)
Hal ini terjadi jika karyawan melaporkan jam kerja lebih daripada
yang sebenarnya. Salah satu prosedur yang dapat dilakukan adalah
merekonsiliasi jumlah jam kerja karyawan menurut catatan gaji dan
upah dengan catatan lain, misalnya dengan catatan dari bagian
produksi. (h. 542)
II.4 Auditing
II.4.1 Pengertian Auditing
Dalam buku Auditing Pendekatan Terpadu Arens dan Loebbecke
(2003) yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf mendefinisikan bahwa:
¨Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti
tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang
dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan
dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seseorang yang
independen dan kompeten.” (h. 1)
Menurut Mulyadi dan Kanaka Puradireja (1998) menerangkan
pengertian auditing sebagai berikut :
“ Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan
mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang
kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara
pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta
penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.” (h. 9)
Sedangkan menurut Sukrisno Agoes (1999) dalam bukunya
“Auditing” :
“Auditing adalah suatu audit yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh
pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh
manajemen, beserta catatan-catatan pembuktian dan bukti-bukti
pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan tersebut..” (h. 1)
Jusuf (2001) mendifinisikan:
“Pengauditan adalah suatu proses sistematik untuk mendapatkan dan
mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-
tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan
tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan
dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
(h.7)
Dari beberapa defenisi auditing di atas maka dapat disimpulkan
bahwa auditing merupakan audit atas kewajaran dan dapat dipercayanya
laporan keuangan suatu perusahaan yang dilaksanakan dengan memeriksa
data pembukuan dari perusahaan sebagai dasar penyusunan laporan
keuangan tersebut dan meliputi program pengujian yang rinci serta
menganalisis data.
II.4.2 Tujuan Auditing
Dalam SPAP (IAI; 2001) menyatakan tujuan audit bahwa :
“Tujuan audit umum atas laporan keuangan oleh auditor independen pada
umumnya adalah untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran, dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan
arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.”
(p. 110.1).
Selain itu Arens dan Loebbecke (2003) yang diterjemahkan oleh
Amir Abadi Jusuf juga menyatakan bahwa :
”Biasanya auditor menemukan bahwa, cara yang paling efisien untuk
melakukan audit adalah mendapatkan keyakinan gabungan untuk setiap
golongan transaksi dan saldo akhir dari akun terkait.” (h. 125)
Dari pernyataan-pernyataan di atas, penulis dapat disimpulkan
bahwa tujuan audit atas laporan keuangan adalah untuk mengeluarkan
pendapat tentang kewajaran laporan keuangan yang disajikan terhadap standar
akuntansi yang berlaku umum. Dan cara yang paling efisien untuk melakukan
audit tersebut adalah dengan mengumpulkan kepastian dari setiap kelas
transaksi dan saldo atas setiap saldo akun yang bersangkutan.
II.4.3 Tahap-tahap dalam Proses Auditing
Auditor merencanakan kombinasi yang tepat atas tujuan audit dan
bukti-bukti yang harus dikumpulkan dengan proses audit. Proses audit adalah
metodologi yang dirumuskan dengan baik untuk mengorganisasi audit untuk
memastikan bahwa bukti yang dikumpulkan cukup dan kompeten, juga
seluruh tujuan audit dapat dipenuhi.
Proses audit tersebut oleh Arens dan Loebbecke (2003) yang
diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf dibuat menjadi empat tahap, yaitu:
a. Tahap I – Merencanakan dan Merancang Pendekatan Audit
Dalam melakukan tugasnya, banyak cara yang dapat dilakukan
auditor dalam mengumpulkan bahan bukti untuk mencapai tujuan audit
secara keseluruhan. Pertimbangan yang mempengaruhi pendekatan yang
dipilih auditor adalah bahan bukti yang cukup kompeten harus dikumpulkan
untuk memenuhi tanggung jawab profesi auditor dan biaya dalam
mengumpulkan bukti harus diminimalisir.
Perencanaan dan perancangan sebuah pendekatan audit dapat dibagi
menjadi beberapa bagian, diantaranya :
1. Memperoleh pengetahuan atas bisnis atau bidang usaha klien .
2. Memahami struktur pengendalian intern klien dan menilai risiko
pengendalian.
b. Tahap II – Pengujian Pengendalian dan Transaksi
Untuk dapat mengurangi estimasi penilaian risiko pengendalian,
auditor harus melakukan pengujian atas keefektifan pengendalian. Prosedur
yang terdapat dalam pengujian ini biasanya disebut pengujian atas
pengendalian (Test of Control)
Auditor juga mengevaluasi pencatatan transaksi klien dengan
memverifikasi jumlah moneter transaksi. Hal ini disebut pengujian subtantif
atas transaksi. Auditor biasanya melakukan pengujian atas pengendalian dan
pengujian subtantif atas transaksi secara bersamaan.
c. Tahap III – Melaksanakan Prosedur Analitis dan Pengujian Terinci Atas
Saldo
Prosedur analitis menggunakan perbandingan dan hubungan yang
berkaitan untuk menilai apakah saldo rekening atau data lain yang muncul
memadai. Sedangkan pengujian secara detail atas saldo merupakan prosedur
khusus yang dimaksudkan untuk menguji salah saji moneter dalam saldo
laporan keuangan.
Jika auditor telah memperoleh tingkat kepastian yang memadai atas
tujuan audit melalui pelaksanaan pengujian atas pengendalian, pengujian
subtantif atas transaksi, dan prosedur analitis, maka pengujian secara detail
atas saldo untuk tujuan tersebut dapat dikurangi.
d. Tahap IV – Menyelesaikan Audit dan Menerbitkan Laporan Audit
Setelah menyelesaikan semua prosedur untuk setiap tujuan audit dari
setiap rekening laporan keuangan, auditor perlu menggabungkan informasi
yang diperoleh, untuk mencapai kesimpulan menyeluruh tergantung
sepenuhnya pada penilaian professional auditor.
II.5 Evaluasi Pengendalian Intern
Standar Profesi Akuntan Publik (IAI; 2001) menyatakan bahwa standar
pekerjaan lapangan kedua ialah:
”Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh, untuk merencanakan
dan menentukan sifat, saat, dan lingkup audit yang dilakukan.” (p 319.1)
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dibuat kesimpulan bahwa tujuan
pemahaman dan pengevaluasian pengendalian intern yang dilakukan oleh auditor
adalah untuk menentukan dalam melakukan perencanaan audit dan menentukan sifat,
saat, dan lingkup audit yang perlu dilakukan. Selain itu dengan melakukan test atas
pengendalian intern, auditor akan mengetahui apa hasil dari penggunaan pengendalian
intern, bagaimana cara pelaksanaan pengendalian intern, serta orang atau pihak yang
bertanggung jawab atas pengendalian intern.
Proses evaluasi pengendalian intern biasanya dilakukan oleh auditor dengan
cara melakukan test of control. Test atas pengendalian dilakukan untuk menentukan
kualitas rancangan pengendalian dan keefektifan pelaksanaan pengendalian intern
pada bidang tertentu. Test atas pengendalian intern meliputi beberapa prosedur, yaitu :
a. Melakukan tanya jawab dengan personel klien yang berhubungan dengan
pengendalian.
b. Memeriksa dokumen, catatan, dan laporan klien.
c. Melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang berhubungan dengan
pengendalian.
d. Mengulang prosedur pengendalian yang dilakukan oleh klien.
II.6 Hubungan Penilaian Pengendalian Intern dengan Sifat, Saat, dan Lingkup Audit
Standar pekerjaan lapangan kedua seperti yang diungkapkan Mulyadi (2001)
berbunyi sebagai berikut : ”Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern
harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup
pengujian yang dilakukan.” (h. 171)
Setelah memperoleh pemahaman mengenai pengendalian intern klien,
auditor dapat menetapkan risiko pengendalian yang ditetapkan berdasarkan
pengalaman auditor, wawancara, dan observasi terhadap klien. Informasi yang
diperlukan biasanya mencakup tentang struktur organisasi, metode pendelegasian
tanggung jawab dan wewenang serta metode pelaksanaan dan pengawasan atas
pengendalian intern. Informasi tentang transaksi hendaknya mencakup informasi
pembagian transaksi dan pemilik otorisasi, pelaksanaan, pencatatan, dan pengolahan
transaksi.
Jika auditor menetapkan tingkat risiko pengendalian dibawah maksimum
(mengingat pengendalian intern klien sudah memadai), maka auditor perlu
melaksanakan pengujian atas pengendalian. Pelaksanaan pengujian atas
pengendalian ini dilakukan untuk mendukung risiko pengendalian yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh auditor. Dengan mengandalkan pengendalian intern
klien dan pengujian atas pengendalian yang dilakukan auditor, maka ukuran sampel
yang diuji pada saat pengujian subtantif dapat dikurangi.
Apabila ternyata pengendalian intern klien dinilai tidak memadai, maka
auditor menetapkan tingkat risiko pengendalian pada tingkat maksimum, sehingga
auditor tidak perlu melakukan pengujian atas pengendalian, melainkan langsung
melakukan pengujian subtantif. Sehingga ukuran sampel yang diuji pada saat
pengujian subtantif akan bertambah besar. Dalam hal ini auditor dapat memperluas
audit dengan melaksanakan prosedur pengujian lain.
Penilaian terhadap pengendalian intern klien akan menentukan tingkat risiko
pengendalian. Risiko pengujian yang telah ditetapkan apakah dapat atau tidak
dikurangi tergantung pada pertimbangan auditor dalam melaksanakan penugasannya.
Penentuan pengurangan risiko yang ditetapkan akan menentukan sifat, saat dan luas
serta prosedur audit yang dilaksanakan. Semakin besar risiko pengujian yang
ditetapkan, maka audit yang dilaksanakan akan semakin luas, sifatnya lebih
mendetail, dan pada saat pelaksanaan audit dilakukan setelah laporan keuangan.
Dengan demikian, waktu pelaksanaan audit juga akan semakin lama. Waktu
pelaksanaan audit akan mempengaruhi biaya pemeriksaan, sehingga penentuan luas
dan prosedur audit akan mempengaruhi biaya yang timbul.