bab ii landasan teoritis 2.1 etos kerja -...
TRANSCRIPT
14
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Etos Kerja
Setiap organisasi yang ingin maju tentunya
akan melibatkan anggota organisasi tersebut
untuk meningkatkan kinerja mereka, oleh karena
itu setiap organisasi harus memiliki etos kerja.
Dalam bidang pekerjaan yang dihadapi dengan
etos kerja yang tinggi tentunya tidak akan
membuat rutinitas menjadi bosan melainkan
sebaliknya akan meningkatkan prestasi kerja.
Zainal (2010) yang mengutip Nitisemito (1996)
menyatakan hal yang berpengaruh pada tinggi
rendahnya semangat kerja yaitu turun rendahnya
produktivitas, tingkat absensi yang naik/rendah,
tingkat perputaran buruh yang tinggi, tingkat
kerusuhan yang tinggi, kegelisahan, tuntutan
yang sering terjadi, dan pemogokan.
Etos kerja disini adalah spirit, semangat
dan mentalitas yang mewujud menjadi
seperangkat perilaku kerja yang khas dan unggul
seperti rajin, teliti, kerja keras, tekun dan sabar,
bertanggung jawab, hemat, efisien, dan
menghargai waktu. Etos kerja merupakan produk
dari budaya, ia merupakan cara pandang dari
sebuah tatanan melalui cara kerja. Cara pandang
mengenai kerja ini dihasilkan melalui proses
15
kebudayaan yang panjang yang akhirnya
membentuk kepribadian masyarakat itu.
Kunci di dalam keberhasilan jalan suatu
organisasi atau lembaga adalah etos kerja, etos
kerja akan menjadi acuan oleh pelaksana
organisasi di semua lini mulai dari pimpinan,
staff sampai kepala pelaksana unit. Schumacher
(1987) dikutip dalam Sinamo (2005)
mempertajam peranan etos kerja ini. Schumacher
berkata bahwa pembangunan tidak dimulai
dengan barang, tetapi dimulai dari manusia yaitu
pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya.
Tanpa ketiga komponen ini, semua sumber daya
tetap terpendam tak dapat dimanfaatkan.
Schumacher menegaskan sumber daya material
atau uang bersifat sekunder, yang primer ialah
sumberdaya manusia.
2.1.1 Pengertian Etos Kerja
Asifuddin (2004) menjelaskan bahwa etos
berasal dari Yunani artinya yaitu ciri, sifat, atau
kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan
moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang,
suatu kelompok orang atau bangsa. Abdulah
(1986) menjelaskan kerja sebagai usaha yang
komersial yang menjadi suatu keharusan demi
hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri,
maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri
yang bersifat sakral.
16
Etos dapat diartikan sebagai jiwa yang
khas sekelompok manusia, yang dari jiwa khas
itu berkembang pandangan bangsa tentang yang
baik dan buruk yakni etikanya (Echols dan
Shadly 1996). Etos kerja adalah semangat kerja
yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang
atau suatu kelompok (Depdiknas, 2002 dikutip
dalam Susiyanto, 2005). Tjuana (2008) yang
mengutip Buchori (1994) mengatakan etos kerja
sebagai sikap dan pandangan hidup kerja,
kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat mengenai cara
kerja yang dimiliki oleh seseorang, kelompok
manusia atau bangsa. Mubyarto (1991)
menjelaskan bahwa etos kerja sebagai sikap dan
pandangan hidup kerja, kebiasaan kerja keras
dan hidup sederhana serta hemat.
Aristoteles mengatakan etos dapat dicapai
dengan apa yang dikatakan seorang pembicara,
tidak dengan apa yang dipikirkan orang
mengenai sifatnya sebelum orang tersebut
berbicara, maksudnya adalah etos dapat dikenali
dari sifat-sifat yang dapat dideteksi oleh indera.
Prasetyo (2006) yang mengutip Anoraga (1992)
mengatakan etos kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat
terhadap kerja, bila individu memandang kerja
merupakan sesuatu yang luhur bagi eksistensi
manusia maka etos kerjanya tinggi, sebaliknya
17
jika individu memandang kerja sebagai bernilai
rendah maka etos kerjanya juga akan rendah.
Menurut Charrington (1998) seperti yang
ditulis oleh Supratowo (dikutip dalam Susiyanto,
2005), etos kerja mengandung beberapa makna
yaitu
1. Memandang kerja keras sebagai suatu nilai
kebaikan. Yaitu usaha untuk mencapai tujuan
dengan sungguh-sungguh, tidak mudah
menyerah, tekun, cermat dan bertanggung
jawab.
2. Penggunaan waktu secara efektif dalam arti
tidak membuang waktu percuma.
3. Memandang disiplin sebagai nilai yang baik.
Misalnya hadir tepat waktu dan pulang pada
waktunya.
4. Produktivitas, yaitu mampu menghasilkan
karya-karya yang berguna bagi tempatnya
bekerja.
5. Rasa bangga terhadap pekerjaan. Dengan
profesi tersebut dapat melayani sesama dan
memberikan kasih kepada sesama.
6. Komitmen dan kesetiaan terhadap profesi dan
tempat bekerja. Dalam komitmen tergantung
sebuah tekad dan keyakinan yang melahirkan
vitalitas yang penuh semangat, dan
mempunyai perhatian yang tinggi.
7. Berorientasi pada prestasi dan berusaha
mencapai karir yang tinggi untuk kemajuan.
18
8. Adanya nilai positif terhadap sikap hidup
hemat, jujur, untuk memperoleh pendapatan
dan kekayaan dengan benar.
Fungsi dari etos kerja menurut Maisaroh
(2009) yang mengutip Rusyan (1989) adalah
pendorong timbulnya perbuatan, penggerak
dalam aktivitas, dan sebagai penggerak seperti
mesin pada mobil.
2.1.2 Jenis Etos Kerja Menurut Sinamo
Berikut adalah delapan etos kerja professional
menurut Sinamo:
a. Kerja adalah rahmat (aku bekerja tulus penuh
syukur)
Sinamo menyatakan kerja merupakan
rahmat, bekerja merupakan saluran berkat dari
Tuhan kepada manusia untuk mencukupi
kebutuhan dirinya beserta keluarganya sehingga
patut untuk disyukuri dengan bekerja tidak
bersungut-sungut, malas dan setengah hati.
Rasa syukur terhadap rahmat dan
anugerah pekerjaan dari Tuhan tidak hanya
diterapkan kepada diri sendiri, tetapi juga kepada
orang sekitar dan lingkungan untuk menjalin
hubungan yang baik antar pekerja, bawahan dan
pimpinan, agar bisa memajukan organisasi
tersebut.
19
b. Kerja adalah Amanah (Aku bekerja Penuh
Tanggung Jawab)
Amanah berasal dari bahasa Arab yang
berarti jujur atau dapat dipercaya, sedangkan
dalam bahasa Indonesia berarti pesan, perintah,
keterangan atau wejangan. Amanah adalah
tugas, kepercayaan dari Tuhan kepada manusia
untuk dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-
Nya.
Pekerja yang memegang amanah adalah
pekerja yang meyakini dan menyadari bahwa
pekerjaan yang dikerjakannya dipertanggung
jawabkan di hadapan Tuhan dan manusia
sehingga dalam penerapannya pekerja tersebut
mempunyai kesadaran untuk bekerja sesuai
dengan target yang telah ditetapkan organisasi,
tidak menyalahgunakan fasilitas yang ada dalam
organisasi, tidak membuat laporan palsu, tidak
menggunakan jam kerja untuk kepentingan
pribadi, dan mematuhi semua peraturan dalam
organisasi.
c. Kerja adalah Panggilan (Aku bekerja Tuntas
Penuh Integritas)
Lewat pekerjaan atau profesi berarti kita
menjawab panggilan dari Tuhan, dan dengan
bakat,talenta, minat, dan kecerdasan yang
dimiliki merupakan kemampuan untuk
menjawab dan memenuhi panggilan. Panggilan
20
harus diselesaikan sampai tuntas sehingga
diperlukan integritas yang kuat seperti
komitmen, janji yang ditepati untuk menunaikan
darma hingga selesai sampai tuntas, tidak ingkar
tanggung jawab, jujur pada diri sendiri,
berkehendak baik, bersikap sesuai dengan
tuntutan nurani, memenuhi panggilan hati untuk
bertindak dan berbuat yang benar dengan
mengikuti aturan dan prinsip, bekerja dengan
segenap hati, segenap pikiran, segenap tenaga
secara total, utuh dan menyeluruh.
d. Kerja adalah Aktualisasi Diri (Aku Bekerja
Keras Penuh Semangat)
Dapat disimpulkan bahwa dengan
aktualisasi maka pekerja akan menemukan
kepuasan terhadap dirinya, karena dengan
bekerja akan menggali seluruh potensi terbaik
yang ada dalam dirinya. Dengan aktualisasi
maka pekerja dapat mengetahui kemampuan dan
keterbatasannya. Dalam proses aktualisasi
diperlukan kerja keras, dan menurut Sinamo
dalam pengembangan potensi tersebut tidak akan
terasa terlalu berat jika yang dilakukan
merupakan suatu panggilan hidup. Oleh karena
itu yang harus dilakukan adalah menemukan
apa yang menjadi panggilan hidup, merumuskan
visi, misi,target yang ingin diraih dan menjauhi
21
godaan-godaan sehingga dapat mencapai
keinginan utama
e. Kerja adalah Ibadah (Aku Bekerja Serius
Penuh Kecintaan)
Dengan banyaknya berkat dan karunia
yang diberikan Tuhan maka kita harus mengabdi
dan berbakti kepada Tuhan dengan bekerja.
Kerja atau Ibadah untuk Tuhan juga harus
dilakukan dengan kerja yang baik, yang
bermanfaat yang seturut dengan nilai-nilai.
Selain itu bekerja juga harus dengan rasa cinta
karena dengan adanya rasa cinta maka kita akan
bekerja dengan baik, tidak bersungut-sungut.
Dengan mencintai pekerjaan maka dalam diri
pekerja akan menimbulkan motivasi, dan
kualitas kerja yang lebih baik.
f. Kerja adalah Seni (Aku Bekerja Cerdas Penuh
Kreativitas)
Menurut Sinamo bekerja sebagai seni
tampak dari kemampuan berpikir tertib,
sistematik, dan konseptual, cerdas dan kreatif
dalam memecahkan masalah maupun
menemukan solusi, menggagas pikiran inovatif
dan imajinatif, menghasilkan desain-desain
proses produk, atau solusi secara genuine.
Jika pekerja manganggap kerja sebagai
seni maka pekerja akan bekerja dengan efektif
dan efisien, dan didalam diri pekerja akan timbul
22
kreativitas yang memunculkan inovasi yang
sangat berguna bagi organisasi. Para pekerja
akan bekerja dengan cerdas dengan
menggunakan strategi yang baik dalam bekerja.
g. Kerja adalah Kehormatan (Aku Bekerja Tekun
Penuh Keunggulan)
Kerja adalah kehormatan mempunyai
banyak dimensi yaitu artinya:
1. Dengan bekerja kemampuan kita dihormati
oleh pemberi kerja. Pemberi kerja percaya
akan kemampuan sukses kita, percaya pada
kompetensi, menghargai kemampuan dan
memberi kesempatan kepada pekerja.
2. Secara psikologis pekerjaan menyediakan rasa
hormat bagi diri seseorang dan dibuktikan
melalui prestasi sehingga melahirkan
kebanggaan dan harga diri yang sehat.
3. Secara sosial kerja memberikan kehormatan
karena berkarya dengan kemampuan diri
sendiri merupakan suatu kebajikan. Dengan
bekerja maka kita tidak membebani orang
lain.
4. Secara finansial dengan bekerja membuat
mandiri secara ekonomis dan dapat
membantu keluarga maupun orang lain yang
membutuhkan bantuan kita sehingga
menambah kehormatan diri.
23
5. Secara moral kehormatan berarti menjaga
perilaku etis dan menjauhi perilaku nista.
Dalam pekerjaan kita menjauhi korupsi,
kolusi, nepotisme dan selain itu kita juga
dalam bekerja mengedepankan sopan santun,
bertindak adil dan baik.
Dapat disimpulkan dalam bekerja, orang
akan dihormati ketika mempunyai prestasi
unggul yaitu dengan bekerja dengan tekun baik
sehingga menghasilkan kerja dan produk dengan
kualitas yang baik. Dengan bekerja maka
seseorang diberikan penghargaan oleh orang lain
dan mempunyai rasa kebanggaan. Tujuan dari
kehormatan yang terpenting adalah agar kita
selalu bekerja penuh tekun.
h. Kerja adalah Pelayanan (Aku Bekerja
paripurna Penuh Kerendahan Hati)
Menurut Sinamo dalam dunia bisnis
melayani adalah memuaskan pelanggan dengan
menyajikan karya yang mengesankan dan tidak
mengecewakan pelanggan dengan produk-produk
unggulan.
Dalam dunia kerja memang sangat erat
terkait dengan pelayanan seperti pelayanan
penyediaan jasa transportasi, kesehatan,
pendidikan, keamanan. Semua pelayanan itu jika
dilakukan dengan kesadaran bahwa kerja adalah
pelayanan dan merupakan hal yang mulia
24
dengan kerendahan hati maka tentu saja kita
dapat melayani dengan baik, dan pelanggan akan
merasa terpuaskan karena karya-karya yang
dihasilkan merupakan karya yang baik dan
unggul.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas
maka dapat disimpulkan etos kerja merupakan
sikap, keyakinan dan pandangan mendasar yang
menjadi pegangan seseorang dalam bekerja, yang
berguna dalam proses mencapai kesuksesan.
Indikator-indikator dari etos kerja yaitu:
1. Kerja adalah rahmat (bekerja tulus penuh
syukur)
2. Kerja adalah amanah (bekerja penuh tanggung
jawab
3. Kerja adalah panggilan (bekerja tuntas penuh
integritas)
4. Kerja adalah aktualisasi (bekerja penuh
semangat)
5. Kerja adalah ibadah (bekerja penuh kecintaan)
6. Kerja adalah seni (bekerja penuh kreativitas)
7. Kerja adalah kehormatan (bekerja tekun penuh
keunggulan)
8. Kerja adalah pelayanan (bekerja paripurna
penuh kerendahan hati)
2.1.3 Etos Kerja Kristen
Ajaran Kristen mengajarkan mengenai etos
kerja yang baik. Dalam Kejadian 2:15 sebelum
25
manusia dicipta, Tuhan sudah menciptakan alam
semesta dan isinya menjadi tempat manusia
berdaya guna dan manusia dicipta untuk
memelihara dan mengusahakan taman tersebut
Subeno (1999). Dari ayat tersebut terdapat dua
unsur yaitu mengusahakan dan memelihara
sehingga ekonomi dapat berjalan dengan benar.
Ini diperlukan lagi ketika manusia jatuh ke
dalam dosa dalam Kejadian 3:17-19.
Bekerja merupakan anugerah yang
diberikan oleh Tuhan pada manusia sehingga
harus disyukuri. Dalam 1 Korintus 15:10 Paulus
menyatakan bahwa kerja adalah anugerah atau
pemberian Tuhan, pekerjaan merupakan sesuatu
yang dipercayakan Tuhan kepadanya dan
merupakan suatu kehormatan yang perlu dijaga
sehingga merupakan sesuatu yang disyukuri.
Paulus menyatakan etos kerja dengan bekerja
keras yang terdiri dari kesungguhan menjalankan
pekerjaan, yaitu kita mempunyai semangat kerja
yang baik dan mempunyai jiwa yang tidak takut
susah untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu
yang baik dengan tangan kita. Bekerja adalah
menginginkan hasil yang terbaik untuk
dipersembahkan kepada Tuhan dan dengan
bekerja maka dapat menjadi berkat buat sesama.
Bekerja adalah menginginkan hasil yang
terbaik untuk dipersembahkan kepada Tuhan
yaitu bekerja juga dengan tidak dengan
26
sembarangan dan mencapai kualitas yang
memadai. Bekerja adalah anugerah dari Tuhan
sehingga apa yang kita kerjakan harus kita
pertanggungjawabkan kembali di hadapan
Tuhan. Bekerja merupakan anugerah karena
merupakan suatu kepercayaan yang Tuhan
berikan, pekerjaan yang diberikan Tuhan
merupakan suatu kehormatan. Dalam 2
Tesalonika 3:6-15 Paulus juga menyayangkan
pekerjaan yang tidak tuntas. Dalam bekerja juga
harus diselesaikan dengan tuntas sehingga tidak
melalaikan dan menuntaskan pekerjaan. Tuhan
Yesus Kristus memberikan teladan bekerja
hingga tuntas dengan menuntaskan pekerjaan
yang ditugaskan Bapa-Nya dalam Yohanes 19:30
Ia menyelesaikan pekerjaan berat dengan baik
dan tuntas.
Ketika kita bekerja dan menghasilkan
sesuatu maka selain hasil jerih payah tersebut
digunakan dan dinikmati juga harus ada
keinginan untuk berbagi dengan mereka yang
berada dalam kesulitan sehingga menjadi berkat
untuk orang lain. Hal ini dikarenakan sesuatu
yang kita miliki baik tenaga, kepandaian dan
kesempatan studi merupakan anugerah dan
talenta pemberian Tuhan sehingga kita dapat
bekerja.
27
2.2 Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah suatu alat dalam
menafsirkan kehidupan dan perilaku dari
organisasinya. Manuputty (2006) yang mengutip
Newstrom (1990) mengatakan suatu budaya yang
kuat merupakan perangkat yang sangat
bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena
membantu karyawan melakukan pekerjaan yang
lebih baik sehingga setiap karyawan pada awal
karirnya perlu memahami budaya dan
bagaimana budaya tersebut diimplementasikan.
Dengan adanya ketaatan atas peraturan dan
kebijakan organisasi maka diharapkan bisa
mengoptimalkan kinerja dan produktivitas
karyawan untuk mencapai tujuan organisasi.
Bila organisasi tidak mempunyai nilai-nilai
yang diyakininya maka organisasi hanya akan
cenderung mempasrahkan dirinya pada nasib
dan sulit mencapai tujuannya. Nilai yang diyakini
oleh anggota organisasi tersebut sebagai suatu
aturan maka akan menjadi budaya.
2.2.1 Pengertian Budaya Organisasi
Luthans (2005) yang mengutip Schein
mengatakan bahwa budaya organisasi adalah
pola asumsi dasar diciptakan, ditemukan, atau
dikembangkan oleh kelompok tertentu saat
mereka menyesuaikan diri dengan masalah-
masalah eksternal dan integrasi internal-yang
28
telah bekerja cukup baik dan dianggap berharga,
dan karena itu diajarkan pada anggota baru
sebagai cara yang benar untuk menyadari,
berpikir, dan merasakan hubungan dengan
masalah tersebut.
Joanne Martin dikutip dalam Luthans
(2005) menekankan perbedaan persepektif
budaya pada berbagai organisasi, ia menyatakan
bahwa saat individu berhubungan dengan
organisasi, mereka berhubungan dengan norma
berpakaian, cerita orang-orang mengenai apa
yang terjadi, aturan dan prosedur formal
organisasi, kode perilaku formal, ritual, tugas,
sistem gaji, bahasa, dan lelucon yang hanya
dimengerti orang dalam, dan sebagainya. Elemen
tersebut merupakan beberapa manifestasi
budaya organisasi.
Budaya organisasi adalah salah satu wujud
anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit
oleh kelompok dan menentukan bagaimana
kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan
bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka
ragam (Kreitner dan Kinicki dikutip dalam
Ariwibowo, 2010). Menurut Drucker dikutip
dalam Dalimunthe (2009) budaya organisasi
adalah pokok penyelesaian masalah-masalah
eksternal dan internal yang pelaksanaannya
dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok
yang kemudian diwariskan kepada anggota-
29
anggota baru berbagai cara sebagai cara yang
tepat untuk memahami, memikirkan dan
merasakan terhadap masalah-masalah.
Sundjoto (2007) yang mengutip Deal dan
Kennedy (1999) menyebutkan enam elemen
penentu budaya yang dimiliki oleh suatu
perusahaan, yaitu:
1. Sejarah (history), merupakan perekat dalam
keutuhan organisasi dan mengikat individu
didalamnya pada mitologi yang harus dipahami
bersama tujuan yang harus dicapai.
2. Nilai dan keyakinan (values and believes),
keyakinan merupakan hal yang diingat dan
diterima secara bersama sebagai sesuatu yang
penting sifatnya. Nilai-nilai merupakan prinsip-
prinsip mendasar yang dianut secara bersama
oleh karyawan.
3. Upacara dan perayaan (ritual and ceremony),
merupakan aktivitas yang tersistematis dan
rutin dimana perusahaan menonjolkan nilai-
nilai dan kepercayaanya.
4. Cerita-cerita (stories), merupakan saran-saran
untuk menyampaikan nilai-nilai dan
kepercayaan yang dianut perusahaan.
Biasanya yang menjadi fokus cerita adalah
figur-figur dalam perusahaan dan prestasi
karyawan.
30
5. Tokoh-tokoh panutan (heroic figures),
merupakan individu-individu yang
melambangkan nilai-nilai perusahaan dan
menjadi sosok panutan bagi karyawan.
6. Jaring-jaring budaya (the culture network),
merupakan bentuk komunikasi informasi
untuk menyebarkan nilai-nilai dan kisah-kisah
kepahlawanan dalam perusahaan.
Victor dikutip dalam Dalimunthe (2009)
berpendapat bahwa budaya organisasi
merupakan norma yang terdiri dari suatu
keyakinan, sikap, core values, dan pola perilaku
yang dilakukan orang dalam organisasi.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat
disimpulkan budaya organisasi adalah
sekumpulan aturan, norma-norma dan
kebiasaan berperilaku dalam organisasi yang
harus ditaati ketika melakukan berbagai
pekerjaan dan terus menerus diturunkan
kepada setiap anggota organisasi.
2.2.2 Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins (2008) menjelaskan budaya
organisasi mengacu pada sebuah sistem makna
bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan
organisasi lainnya. Sistem makna bersama
adalah sekumpulan karakteristik kunci yang
dijunjung tinggi oleh organisasi yaitu:
31
a. Inovasi dan keberanian mengambil resiko.
Sejauh mana karyawan didorong untuk
bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
b. Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana
karyawan diharapkan menjalankan presisi,
analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
c. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen
berfokus lebih pada hasil ketimbang pada
teknik dan proses yang digunakan untuk
mencapai hasil tersebut.
d. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-
keputusan manajemen mempertimbangkan
efek dari hasil tersebut atas orang yang ada
dalam organisasi.
e. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan
kerja diorganisasi pada tim ketimbang pada
individu-individu.
f. Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap
agresif dan kompetitif ketimbang santai.
g. Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan
organisasi menekankan dipertahankannya
status quo dalam perbandingannya dengan
pertumbuhan.
Rifai (2010) yang mengutip Moeldjono
(2006) mendefinisikan budaya organisasi dengan
10 karakteristik
1. Inisiatif individu. Seberapa jauh inisiatif
orang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini
meliputi tanggung jawab, kebebasan dan
32
independensi dari masing-masing anggota
organisasi dalam artian seberapa besar
seseorang diberi wewenang dalam
melaksanakan tugasnya, seberapa berat
tanggung jawab yang harus dipikul sesuai
wewenangnya dan seberapa luas kebebasan
mengambil keputusan.
2. Toleransi terhadap resiko. Menggambarkan
seberapa jauh sumber daya manusia
didorong lebih agresif, inovatif dan mampu
menjalani resiko dalam pekerjaannya.
3. Pengarahan. Berkenaan dengan kejelasan
organisasi dalam menentukan objek dan
harapan terhadap sumber daya manusia
dalam hal hasil kerjanya. Harapan tersebut
dalam hal kualitas, kuantitas dan waktu.
4. Integrasi. Seberapa jauh keterkaitan dan
kerjasama yang ditekankan dalam
melaksanakan tugas dari masing-masing unit
di dalam suatu organisasi dengan kordinasi
yang baik.
5. Dukungan manajemen. Dalam hal ini
seberapa jauh manajemen memberikan
komunikasi yang jelas, bantuan dan
dukungan terhadap bawahannya dalam
melaksanakan tugasnya.
6. Pengawasan. Meliputi peraturan-peraturan
dan supervise langsung yang digunakan
33
untuk melihat secara keseluruhan dari
perilaku karyawan.
7. Identitas. Menggambarkan pemahaman
anggota organisasi yang loyal terhadap
organisasi secara penuh dan seberapa jauh
loyalitas karyawan terhadap organisasi.
8. Sistem Penghargaan. Pengalokasian “reward”
(kenaikan, gaji, promosi) berdasarkan hasil
kriteria karyawan yang telah ditentukan.
9. Toleransi terhadap konflik. Menggambarkan
usaha sejauh mana mendorong karyawan
agar bersikap kritis terhadap konflik yang
terjadi.
10.Pola Komunikasi. Terbatas dari hierarki
formal dari setiap perusahaan.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas
indikator-indikator budaya organisasi yang
dapat digunakan yaitu:
1. Inovasi dan pengambilan resiko
2. Perhatian pada hal-hal rinci
3. Orientasi hasil
4. Orientasi orang
5. Orientasi tim
6. Keagresifan
7. Stabilitas
Robbin (1997) menjelaskan budaya
organisasi kuat adalah budaya dimana nilai-nilai
inti organisasi dipegang secara intensif dan
34
dianut bersama secara meluas anggota
organisasi.
Ciri-ciri budaya organisasi kuat:
a. Anggota organisasi loyal kepada organisasi.
b. Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang
dalam perusahaan digariskan dengan jelas,
dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan orang-
orang dalam perusahaan, sehingga orang yang
bekerja menjadi sangat kohesif.
c. Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya
pada slogan, tetapi dihayati dan dinyatakan
dalam tingkah laku sehari-hari secara
konsisten oleh orang-orang yang bekerja
dalam perusahaan.
d. Organisasi memberikan tempat khusus
kepada pahlawan-pahlawan organisasi dan
secara sistematis menciptakan bermacam-
macam tingkat pahlawan.
e. Dijumpai banyak ritual, mulai dari ritual
sederhana hingga mewah.
f. Memiliki jaringan kulturan yang menampung
cerita-cerita kehebatan para pahlawannya.
Ciri-ciri budaya yang lemah menurut Deal dan
Kennedy:
a. Mudah terbentuk kelompok-kelompok yang
bertentangan satu sama lain.
b. Kesetiaan kepada kelompok melebihi
kesetiaan pada organisasi.
35
c. Anggota organisasi tidak segan-segan
mengorbankan kepentingan organisasi untuk
kepentingan kelompok atau kepentingan diri
sendiri.
2.3 Religiusitas
Religiusitas berperan penting dalam
mempengaruhi suatu perilaku seseorang. Orang
yang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi
maka akan melakukan ajaran agama yang
dianutnya dengan baik karena disertai rasa
takut akan Tuhan sehingga menjauhi perbuatan
yang terlarang. Karyawan yang mempunyai
tingkat religiusitas yang tinggi yang menganggap
pekerjaannya adalah suatu ibadah sangat
diharapkan berada dalam organisasi.
Dengan religiusitas dapat memotivasi
seseorang dalam bekerja, sehingga bekerja
dengan baik, jujur serta bersikap disiplin dalam
organisasi. Organisasi juga sebaiknya
mendukung untuk peningkatan religiusitas para
pekerjanya dengan menyediakan sarana-sarana
dan juga mendukung kegiatan beribadah para
karyawan, sehingga dengan tingkat religiusitas
yang tinggi maka memotivasi semangat kerja
dan menghasilkan kinerja yang baik bagi
organisasi dan dapat memajukan organisasi
tersebut.
36
2.3.1Pengertian Religiusitas
Religiusitas (Religiosity) adalah kata sifat
dari kata Religion (Bahasa Inggris) atau religie
(Bahasa Belanda), religion (Bahasa Perancis), din
(Bahasa Arab). Dalam kamus latin Indonesia
diterjemahkan sebagai agama, jiwa keagamaan,
kesalehan. Religiusitas adalah pengarahan jiwa
kepada Tuhan dimanapun seseorang berada
(Charry, 1999). Kepercayaan ini menjadi faktor
motivasi bagi berbagai tingkah laku.
Rahmawati (2003) yang mengutip Bozman
(1958) mengatakan rumusan tentang religion
yaitu penerimaan atas tata aturan daripada
kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada
manusia itu sendiri, sejak masa dini
kehidupannya manusia menemukan adanya
aturan dan keteraturan. Ia merasa berhadapan
dengan Maha Pengatur, Yang Ghalib.
Kesadarannya akan kedudukannya sebagai
makhluk dari Maha Pencipta melahirkan
padanya sikap yang religius (Soelaeman,1987
dikutip dalam Rahmawati, 2003). Tambunan
(2001) mengatakan religiusitas adalah hubungan
personal yang melibatkan perasaan pasrah dan
tergantung serta pengakuan akan adanya
kekuatan akhir yang melebihi dirinya sendiri.
Hal ini berbeda dengan agama, karena
agama biasanya mengacu kepada kelembagaan
yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis dan
37
hukuman, sedangkan religiusitas lebih kepada
aspek “lubuk hati” dan personalisasi dari
kelembagaan tersebut (Rahmawati, 2003).
Religiusitas berarti berbicara permasalahan
kehidupan dan berbicara tentang aspek iman.
Iman yaitu menyangkut konstruksi utuh tentang
orientasi hidup, eksistensi kepercayaan yang
mendasari laku dan langkah dalam memandang
kehidupan.
Rahmawati (2003) yang mengutip
Mangunwijaya (1986) mengatakan agama tidak
identik dengan religiusitas, tetapi keduanya
mempunyai hubungan yang erat tidak dapat
berdiri sendiri. Orang yang beragama dengan
baik belum tentu religius. Ia hanya melakukan
kewajiban beragamanya saja tanpa ada
pengakuan ada rasa cinta terhadap Tuhan. Pada
tingkat religiusitas bukan peraturan atau
hukum yang berbicara melainkan keikhlasan,
kesukarelaan, kepasrahan diri dalam Tuhan.
Religiusitas adalah tingkatan dalam hati
bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkan
kehidupan yang diidam-idamkan adalah
penyerahan diri kepada Tuhan secara pribadi.
Hanya melalui penyerahan diri orang dapat
sampai pada pengakuan Allah yang benar
(Hujbers, 1992). Fungsi kesadaran religius
menurut Hawa dan Sutrisno (1988) yaitu sebagai
benih timbulnya agama, dasar moral dan etika
38
hidup, sumber ilham bagi semangat
kemanusiaan, sumber kriteria tujuan dan proses
pembangunan atau prasyarat pembangunan,
penting bagi usaha dalam keutuhan hidup baik
secara individu maupun bermasyarakat , penting
dalam kesehatan mental.
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat
disimpulkan religiusitas adalah kepasrahan dan
rasa ketergantungan seseorang kepada Tuhan
yang disebabkan karena adanya kesadaran
orang tersebut sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang harus menyembah dan melaksanakan
setiap ajaran-ajaran Tuhan.
2.3.2 Aspek Religiusitas
Hawa dan Sutrisno (1988) yang mengutip
Stark dan Glock (1963) menjelaskan
keberagamaan seseorang terdiri dari lima yaitu:
a) Dimensi peribadatan (Ritual Involvement).
Yaitu tingkatan sejauh mana mengerjakan
kewajiban ritual dalam agama mereka. Seperti
pergi ke gereja bagi yang beragama Kristen.
b) Dimensi ideologi (Ideological Involvement).
Yaitu tingkatan sejauh mana orang menerima
hal-hal yang dogmatik dalam agama mereka.
Misalnya kepercayaan akan malaikat, hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
c) Dimensi pengamalan penghayatan
(Experiential Involvement). Merupakan
39
keajaiban yang datang dari Tuhan. Misalnya
seseorang merasakan doanya dikabulkan,
merasakan jiwanya selamat dari bahaya
karena pertolongan Tuhan.
d) Dimensi pengetahuan agama (Intellectual
Involvement). Seberapa jauh seseorang
mengetahui ajaran agamanya. Seberapa jauh
aktivitasnya dalam menambah pengetahuan
agama, membaca buku agama, menghadiri
sekolah minggu dan lain-lain.
e) Dimensi pengamalan (Consequential
Involvement). Yaitu mengukur sejauh mana
perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran
agamanya, misalnya apakah dia mengunjungi
tetangganya yang sakit, mendermakan
sebagian hartanya untuk fakir miskin,
menyumbangkan uangnya untuk pendirian
rumah piatu dan lain-lain.
Pendapat Stark dan Glock tersebut
dikuatkan oleh Rahmat. Dengan istilah yang
agak berbeda, menurut Rahmat, keberagamaan
seseorang terdiri dari lima aspek yaitu :
1. Aspek ideologis adalah seperangkat
kepercayaan (belief) yang memberikan premis
aksistensial.
2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan
ritual/ibadah suatu agama.
3. Aspek eksperiensial adalah bersifat afektif :
keterlibatan emosional dan sentimental pada
40
pelaksanaan ajaran agama, yang membawa
pada religious feeling.
4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama :
seberapa jauh tingkat melek agama pengikut
agama yang bersangkutan, tingkat
ketertarikan penganut agama untuk
mempelajari agamanya.
5. Aspek konsekuensial, disebut juga aspek
sosial. Aspek ini merupakan implementasi
sosial dari pelaksanaan ajaran agama
sehingga dapat menjelaskan efek ajaran
agama seperti etos kerja, kepedulian,
persaudaraan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka indikator-
indikator dari religiusitas adalah:
1. Peribadatan
2. Keyakinan
3. Penghayatan
4. Pengetahuan
5. Pengamalan
2.4 Loyalitas
Untuk menjaga kelangsungan organisasi
maka diperlukan sikap loyal dari karyawan. Jika
karyawan memiliki loyalitas maka akan
memperhatikan organisasi tempatnya bekerja
dan berperan aktif dalam mencapai tujuan
perusahaan, oleh karena itu sangat penting bagi
organisasi atau perusahaan untuk
41
mempertahankan karyawan yang memiliki rasa
loyalitas.
Loyalitas diharapkan dapat memberi
kemajuan bagi organisasi. Sikap tanggung jawab
terhadap tugas-tugas, kemauan melaksanakan
sesuatu dengan penuh kesadaran, dan keinginan
membela perusahaan adalah sifat loyalitas yang
tinggi. Jika sifat loyalitas karyawan sudah
terbentuk maka organisasi memiliki karyawan
yang berdedikasi, tanggung jawab dan komitmen
pada perusahaan yang besar (Ismawan, 2006).
Menurut Kisdarto yang dikutip Ismawan (2006)
mengatakan loyalitas pada perusahaan,
didedikasikan pada pekerjaan atau tugas dan
kesungguhan dalam bekerja merupakan faktor
yang menentukan keberhasilan.
2.4.1 Pengertian Loyalitas
Menurut Ismawan (2006) yang mengutip
Nitisemito (1991) loyalitas adalah kesetiaan
terhadap perusahaan tempat bekerja, seringkali
dipakai syarat untuk promosi. Loyalitas adalah
kesetiaan, dan kesanggupan mentaati,
melaksanakan dan mengamalkan sesuatu
disertai penuh kesadaran dan tanggung jawab
(Musanef, 1994). Menurut Hasibuan (2003)
dikutip dalam Ismawan (2006) loyalitas adalah
“Karyawan harus loyal terhadap perusahaan
42
atau korps dari tindakan yang merugikan
perusahaan atau korpsnya”.
Steers dan Porter dalam Arifin dan
Mutamimah (2009) loyalitas dalam perusahaan
sebagai sikap, yaitu sejauh mana karyawan
mengidentifikasikan tempat kerjanya yang
ditunjukan dengan keinginan untuk bekerja dan
berusaha sebaik-baiknya dan juga loyalitas
sebagai perilaku, yaitu proses dimana seseorang
karyawan mengambil keputusan pasti untuk
tidak keluar dari perusahaan apabila tidak
membuat kesalahan yang ekstrim.
Fischer yang dikutip dalam Sugiyarto
(2010) mengatakan loyalitas karyawan adalah
sikap dari karyawan yang selalu mendukung
langkah dari organisasi, membela kepentingan
organisasi dan mencoba hal yang terbaik bagi
organisasi. Sikap loyal karyawan sangat
dibutuhkan karyawan untuk dapat mencapai
kinerja yang baik. Jika karyawan tidak
mempunyai loyalitas maka karyawan tersebut
akan bersikap acuh tak acuh saja terhadap
perusahaan tempatnya bekerja dan tidak
mempunyai perhatian. Jika loyalitas diterapkan
maka para karyawan akan aktif dan ikut serta
dalam proses pencapaian tujuan perusahaan
atau organisasi dan memperhatikan keadaan
perusahaan.
43
Rifai (2010) yang mengutip Saydam (2000)
mengatakan pembinaan loyalitas perlu
dilakukan agar sumber daya manusia tersebut:
1. Mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap
perusahaan.
2. Merasa memiliki tehadap perusahaan.
3. Dapat mencegah turn over (tingkat perputaran
tenaga kerja).
4. Menjamin kesinambungan kinerja perusahaan
5. Menjamin tetap terpeliharanya motivasi kerja.
6. Dapat meningkatkan profesionalisme dan
produktivitas.
Berdasarkan penjelasan dan pendapat
diatas maka dapat disimpulkan loyalitas adalah
kesetiaan, kesanggupan mentaati dan
melaksanakan tugas dengan penuh tanggung
jawab serta berusaha berbuat yang terbaik bagi
perusahaan dan menjauhi tindakan yang dapat
merugikan perusahaan.
2.4.2 Sikap Loyalitas Terhadap Perusahaan
Menurut Porwopuspito dan Utomo (2000) dikutip
dalam Ismawan (2006) menjabarkan sikap loyal
terhadap perusahaan yaitu:
1. Jujur
Karyawan yang jujur adalah karyawan yang tidak
menyalahgunakan wewenang yang diberikan
kepadanya dengan melaporkan hasil kerja sesuai
dengan sebenarnya.
44
2. Mempunyai Rasa Memiliki
Karyawan yang mempunyai rasa memiliki akan
merawat dan menjaga aset-aset yang ada dalam
perusahaan, memberikan perhatian dan ikut
aktif dalam acara dan kegiatan yang diadakan
perusahaan.
3. Mengerti Kesulitan Perusahaan
Karyawan seharusnya mengerti kondisi yang
sedang dialami oleh perusahaan dan dibutuhkan
pengertiannya untuk dapat bekerja dengan baik
dan bekerjasama untuk menghadapi kesulitan
tersebut.
4. Bekerja lebih dari yang diminta perusahaan
Dengan bekerja lebih dari yang diminta
perusahaan maka karyawan dapat menjadi sosok
yang kompetitif dan berkualitas yang sangat
berguna bagi peningkatan kinerja perusahaan.
5. Menciptakan Suasana Yang Menyenangkan.
Ketika suasana bekerja dalam perusahaan
menyenangkan maka karyawan akan dapat
bekerja lebih baik dan dapat meningkatkan
produktivitas. Para pemimpin dan karyawan
sudah seharusnya berkewajiban menciptakan
suasana yang menyenangkan dalam bekerja.
6. Menyimpan Rapat Rahasia Perusahaan
Menyimpan rahasia perusahaan merupakan
kewajiban para karyawan. Rahasia tersebut
harus dijaga agar tidak didapat oleh pihak-pihak
45
yang dapat menjatuhkan dan merugikan
perusahaan karena adanya persaingan.
7. Menjaga dan Meninggikan Citra Perusahaan
Karyawan juga berkewajiban menjaga citra
perusahaan. Dengan citra perusahaan yang baik
maka citra karyawan juga baik dan juga jika citra
perusahaan tersebut baik maka akan lebih
banyak menarik konsumen.
8. Hemat
Memanfaatkan semua fasilitas perusahaan sesuai
kebutuhan dan tidak melakukan pemborosan.
Dengan tidak melakukan pemborosan maka
kerugian perusahaan dapat dihindarkan.
9. Tindak Unjuk Rasa
Adanya unjuk rasa yang berlebihan dapat
menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan
karyawan sendiri. Jika unjuk rasa tersebut
menghambat kinerja perusahaan dan membuat
perusahaan rugi maka perusahaan bisa bangkrut
atau mengurangi pekerja.
10. Tidak Apriori Terhadap Perubahan
Karyawan yang baik adalah karyawan yang dapat
menyikapi perubahan. Dengan adanya
perubahan yang baik maka dapat meningkatkan
kinerja perusahaan.
Rifai (2010) yang mengutip Saydam (2000)
menjelaskan unsur-unsur loyalitas yaitu:
1. Ketaatan/kepatuhan. Kesanggupan seorang
pegawai untuk menaati segala peraturan
46
kedinasan yang berlaku dan menaati perintah
dinas yang diberikan atasan yang berwenang,
serta sanggup tidak melanggar aturan yang
ditetapkan.
2. Tanggung jawab. Kesanggupan seorang
karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan
yang diserahkan kepadanya dengan baik,
tepat waktu, serta berani mengambil resiko
untuk keputusan yang dibuat.
3. Pengabdian. Sumbangan pemikiran dan
tenaga secara ikhlas kepada perusahaan.
4. Kejujuran.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka
dapat diambil kesimpulan loyalitas mempunyai
indikator-indikator sebagai berikut:
1. Ketaatan/kepatuhan
2. Rasa tanggung jawab
3. Pengabdian
4. Kejujuran
2.5 Perumusan Hipotesis
2.5.1 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap
Etos Kerja
Budaya organisasi yang baik sangat
berperan dalam menentukan keberhasilan
organisasi. Dengan adanya budaya organisasi
dapat membentuk menerapkan manajemen yang
baik. Kesadaran para pemimpin dan karyawan
terhadap budaya organisasi dapat memberi
47
semangat yang kuat untuk memelihara,
mempertahankan, dan mengembangkan budaya
organisasi tersebut yang merupakan daya dorong
yang kuat untuk kemajuan organisasi.
Zulham (2008) yang mengutip Chan et.al
(2004) mengatakan keberhasilan suatu organisasi
untuk menerapkan budaya organisasi
diharapkan mampu untuk menumbuhkan etos
kerja yang tinggi pada setiap individu yang ada
dalam organisasi. Menurut Yosef (2000) dikutip
dalam Zulham (2008) menyatakan bahwa etos
kerja merupakan konsep yang memandang
pengabdian atau dedikasi terhadap pekerjaan
sebagai nilai yang sangat berharga.
Zainal (2010) yang mengutip Phale (2007)
mengatakan individu akan bertindak benar
sesuai dengan etika tempat bekerja ditentukan
oleh organisasi dan bagaimana organisasi diatur
berpengaruh terhadap etika kerja dalam suatu
organisasi. Asifudin (2004) dikutip dalam Nurlita
(2005) menyatakan bahwa etos kerja dipengaruhi
pula oleh dimensi lingkungan, termasuk
lingkungan kerja yaitu budaya organisasi. Pinder
(1998) dikutip dalam Nurlita (2005)
mengungkapkan bahwa budaya organisasi yang
baik akan menjadi sumber positif bagi
peningkatan etos kerja. Menurut Eklefina (2006)
budaya organisasi yang baik dalam organisasi
dapat meningkatkan etos kerja.
48
Karyawan yang mempunyai etos kerja yang
tinggi tercermin dalam perilakunya seperti suka
bekerja keras, bersikap adil, tidak membuang-
buang waktu selama jam kerja, keinginan untuk
memberi lebih dari yang sekedar disyaratkan,
mau bekerja sama, hormat terhadap rekan kerja
dan sebagainya. Berbagai penelitian terdahulu
yang berkaitan terhadap budaya organisasi dan
etos kerja, diantaranya dilakukan oleh Mudzakir
yang melakukan penelitian dilingkungan UNDIP
Semarang menemukan bahwa budaya organisasi
berpengaruh terhadap etos kerja. Dalam tahun
2005 Nurlita yang melakukan penelitian pada
karyawan PT. Sarana Griya Lestari Keramik
menemukan bahwa budaya organisasi yang baik
akan menjadi sumber positif bagi peningkatan
etos kerja. Oleh karena itu dalam penelitian ini
disusun hipotesis:
H1: Budaya organisasi berpengaruh positif
terhadap etos kerja
2.5.2 Pengaruh Religiusitas Terhadap Etos
Kerja
Tingkat kesadaran religius seseorang dapat
menimbulkan dorongan yang kuat dan dapat
menjadi motivator untuk mengarahkan seseorang
dalam bekerja. Salah satu faktor yang terpenting
dari dasar etos kerja yaitu faktor religius atau
agama, yang dipandang memberikan semangat
49
untuk bekerja. Bekerja merupakan ibadah
kepada Tuhan, bekerja merupakan aktualisasi
diri atas ketaatan manusia dengan Tuhan.
Dalam bekerja diperlukan landasan moral
yang berasal dari ajaran-ajaran agama sehingga
tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan
orang lain dan organisasi. Seseorang yang
bekerja dengan baik, dan disiplin dalam bekerja
serta mempunyai etos kerja yang baik
dikarenakan juga tingkat kesadaran religius
orang tersebut. Karena kerja dianggap sebagai
ibadah maka ini juga menimbulkan semangat
kerja bagi para pekerja dan selain itu juga
mereka bekerja secara jujur dan ulet.
Religiusitas berpengaruh terhadap etos
kerja seseorang, menurut Arie dikutip dalam
Zainal (2010) salah satu faktor yang
mempengaruhi etos kerja adalah keimanan.
Zainal (2010) yang mengutip Phale (2003)
mengatakan bahwa faktor religius berpengaruh
terhadap etos kerja. Zainal (2010) yang mengutip
Webber menyatakan kepercayaan protestan
khususnya calvinisme mendorong etos kerja,
seperti bekerja keras, disiplin, hemat dan
bijaksana.
Penelitian yang pernah dilakukan terhadap
faktor religius dengan etos kerja yaitu oleh
Saputra tahun 2004 di lingkungan Universitas
Kristen Petra yang menemukan bahwa orientasi
50
religius berpengaruh terhadap etos kerja pegawai
administrasi UK Petra. Dalam tahun 2009
Prasetyo melakukan penelitian hubungan
religiusitas dengan etos kerja para penari tayub
dan hasilnya menemukan adanya hubungan
yang positif dan sangat signifikan antara
religiusitas dengan etos kerja. Penelitian Ali dan
Azim tahun 2001 menemukan bahwa religiusitas
berpengaruh terhadap etos kerja. Rumusan
Hipotesisnya adalah:
H2: Religiusitas berpengaruh positif dengan etos
kerja
2.5.3 Pengaruh Etos Kerja Terhadap Loyalitas
Menurut Tasmara yang dikutip Haryanto
(2007), etos kerja merupakan sikap, pandangan,
kebiasaan, ciri-ciri atau sifat mengenai cara
bekerja yang dimiliki seseorang, suatu golongan
atau suatu bangsa. Etos kerja merupakan
loyalitas seseorang terhadap organisasi, serta
keuletan, semangat dan kebanggaan yang
dimiliki dalam menjalankan tugas.
Menurut Rizal (2008) etos kerja
merupakan bagian dari tata nilai yang
mencakup, tanggung jawab, dedikasi dan
loyalitas serta kejujuran dalam profesinya. Etos
kerja yang tinggi tidak akan membuat rutinitas
menjadi membosankan dan mampu
meningkatkan prestasi kerja. Hal yang
51
mendasari etos kerja yang tinggi antara lain
keinginan untuk menjunjung tinggi mutu
pekerjaan. Individu yang mempunyai etos kerja
yang tinggi akan ikut memberikan masukan-
masukan di tempatnya bekerja. Loyalitas juga
dipengaruhi oleh etos kerja, karyawan yang
mempunyai etos kerja akan menjalankan
pekerjaan dengan baik sehingga tidak
melakukan pelanggaran, mentaati peraturan
organisasi sehingga menimbulkan rasa loyalitas.
Etos kerja yang baik yaitu karyawan taat
kepada peraturan, menaati segala peraturan,
mempunyai kesadaran untuk melakukan
pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan ini
menurut Siswanto dapat meningkatkan loyalitas
karyawan.
Organisasi dan karyawan diharapkan bisa
menciptakan budaya organisasi dan kondisi
yang mendukung untuk meningkatkan etos kerja
karyawan, sehingga hal ini dapat menghindari
masalah yang muncul dari karyawan seperti
korupsi, mogok kerja, unjuk rasa, pengunduran
diri, terlibat tindakan kriminal dan lainnya.
Jika budaya organisasi dan religiusitas
yang diterapkan baik maka dapat meningkatkan
etos kerja tinggi dari karyawan yang dapat
diwujudkan dengan adanya loyalitas karyawan
yang tinggi terhadap organisasi, semangat kerja
yang tinggi, dan karyawan akan senang dan puas
52
bekerja di organisasi. Penelitian yang sudah
dilakukan yaitu oleh Ali dan Azim (2001)
menemukan bawa etos kerja berpengaruh
terhadap loyalitas. Hipotesisnya adalah:
H3: Etos kerja berpengaruh positif terhadap
loyalitas karyawan.
2.5.4 Etos Kerja Sebagai Variabel Perantara
Budaya Organisasi dan Religiusitas Terhadap
Loyalitas
Berbagai penelitian pengaruh budaya
organisasi terhadap loyalitas yaitu penelitian Rifai
(2010) di Yayasan Daarut Tauhid menemukan
bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap
loyalitas karyawan, penelitian Sriningsih (2009)
di Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur
menemukan budaya organisasi berpengaruh
terhadap loyalitas.
Penelitian pengaruh religiusitas terhadap
loyalitas yaitu penelitian oleh Maildayani (2011)
di Bank Muamalat Surakarta menemukan
religiusitas berpengaruh terhadap loyalitas, juga
Prasetyo (2007) di Bank Syariah menemukan
bahwa religiusitas berpengaruh terhadap loyalitas
Etos kerja mempengaruhi loyalitas seperti
penelitian yang dilakukan Ali dan Azim (2001),
dan etos kerja juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya budaya organisasi dan
religiusitas. Penelitian yang membuktikan yaitu
53
Mudzakir di lingkungan UNDIP, dan Nurlita
(2005) melakukan penelitian di PT Sarana Griya
Keramik menemukan bahwa budaya organisasi
berpengaruh terhadap etos kerja, penelitian
Saputra (2004) di Universitas Kristen Petra dan
Prasetyo (2006) meneliti etos kerja penari tayub
yang menemukan religiusitas berpengaruh
terhadap etos kerja.
Penelitian yang sudah dilakukan
menemukan bahwa budaya organisasi dan
religiusitas berpengaruh terhadap loyalitas, tetapi
di penelitian ini penulis menduga bahwa etos
kerja menjadi variabel mediating atau perantara
terhadap loyalitas, oleh karena itu hipotesisnya
adalah:
H4: Etos kerja sebagai perantara budaya
organisasi dan religiusitas terhadap loyalitas.
2.5.5 Model
Gambar 2.1
Model Penelitian
H2
H1
H3 Budaya
Organisasi
Religiusitas
Etos Kerja Loyalitas