bab ii lest +ccl4 9 januari print
DESCRIPTION
aaaTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mawar Merah (Rosa damascena Mill.)
2.1.1 Taksonomi
Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), mawar diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonea
Ordo : Rosanales
Famili : Rosaceae
Genus : Rosa
Species : Rosa damascena Mill,
Rosamultiflora Thunb (Hidayah, 2006).
2.1.2 Morfologi dan Persebaran
Sebagian besar spesies mempunyai daun yang panjangnya antara 5-15
cm, dua-dua berlawanan (pinnate). Daun majemuk pada tiap tangkai daun terdiri
dari paling sedikit 3 atau 5 hingga 9 atau 13 anak daun dan daun penumpu (stipula)
berbentuk lonjong, pertulangan menyirip, tepi tepi beringgit, meruncing pada ujung
daun dan berduri pada batang yang dekat ke tanah. Bunga terdiri dari 5 helai daun
mahkota dengan perkecualian Rosa sericea yang hanya memiliki 4 helai daun
8
Gambar 1. Mawar Merah (Rosa damascena Mill.)
mahkota. Warna bunga biasanya putih dan merah jambu atau kuning dan merah
pada beberapa spesies. Pada umumnya mawar memiliki duri berbentuk seperti
pengait yang berfungsi sebagai pegangan sewaktu memanjat tumbuhan lain
(Anonymous, 2011). Mawar merupakan tanaman bunga hias berupa herba dengan
batang berduri. Mawar yang dikenal nama bunga ros atau "Ratu Bunga" merupakan
simbol atau lambang kehidupan religi dalam peradaban manusia. Mawar berasal
dari dataran Cina, Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya,
menyebar luas di daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis)
(Hidayah, 2006).
Di Indonesia banyak dikembangkan jenis mawar hibrida, terutama jenis
dan varietas mawar yang berasal dari Belanda. Kelompok mawar yang banyak
peminatnya adalah tipe hibrida dan lokal batu. Kelebihan kedua varietas ini adalah
memiliki variasi bunga mawar yang cukup banyak, antara lain warna putih, merah
muda, merah tua dan kuning Mawar tipe hibrida tea memiliki tangkai bunga
sepanjang 80-120 cm, sedangkan tipe lokal batu antara 40-60 cm. Selain itu tingkat
produktifitas mawar tersebut termasuk tinggi, berkisar antara 120-280
kuntum/m2/tahun (Rukmana, 1995).
Keunggulan varietas mawar yang banyak ditanam di daerah Batu adalah
berwarna merah tua, bagian pingir petal sedikit kehitaman, memiliki petal bunga
yang kompak, sedikit kaku, agak tebal, sedikit mengkilat, jumlah petal sekitar 27-40,
bermahkota bunga indah, lama peragaan bunga (fase life) sekitar 7-8 hari, tahan
rontok, tahan pengiriman jarak jauh, produksi bunga per tanaman/bulan sekitar 3-6
tangkai dan dapat ditanam tanpa naungan (Purbiyati dkk., 2002).
9
2.1.3 Kandungan Kimia dan Kegunaan
Mawar memiliki banyak manfaat, antara lain antidepresan, antiviral,
antibakteri, antiperadangan, dan sumber vitamin C. Menurut Hembing dkk. (1996),
mahkota bunga mawar dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti batuk
darah, TBC, disentri, campak, nyeri haid dan lain-lain. Minyak mawar adalah salah
satu minyak atsiri hasil penyulingan dan penguapan daun-daun mahkota sehingga
dapat dibuat menjadi parfum. Mawar juga dapat dimanfaatkan untuk teh, jelly, dan
selai (Vries et al, 2004; Ercisli, 2005).
Bunga mawar dari daerah dataran rendah seperti Bangil Pasuruan memiliki
mahkota kecil tapi beraroma lebih wangi, umumnya digunakan sebagai bunga tabur.
Wangi bunga mawar tersebut karena adanya kandungan minyak atsiri di dalamnya.
Minyak atsiri ini mengandung zat sitrat, sitronelol, geraniol, linalol, nerol, eugenol,
feniletilalkohol, farnesol, dan nonilal-dehida. Berkhasiat untuk mengobati gigitan
serangga berbisa, gabag (morbili) dan jerawat. Pada beberapa spesies seperti Rosa
canina dan Rosa rugosa menghasilkan buah rose hips yang sangat kaya dengan
vitamin C bahkan termasuk diantara sumber vitamin C alami yang paling kaya
(Anonim, 2006). Jenis pigmen yang dikandung bunga mawar merah adalah
antosianin dari kelompok Sianidin dan Delfinidin-glikosida, efektif menyumbangkan
warna alami pada produk minuman berkabonat dan dapat berfungsi sebagai
antioksidan bagi tubuh untuk melawan radikal bebas.
2.1.4 Pigmen Antosianin
2.1.4.1 Struktur dan Sifat Kimia
10
Pigmen antosianin terdiri dari glikogen (antosianidin) yang teresterifikasi oleh
satu atau lebih gula (Francis, 1985; Markakis, 1982; Kong JM., 2003). Antosianin
adalah flavonoid dengan cincin C yang tidak jenuh dan hidroksil pada posisi 3.
Struktur dasarnya adalah aglikon, atau antosianidin, dengan satu atau lebih gula
yang sebagian besar berikatan di C3, C5, atau C7 (Iwashina, 2000)
Pigmen antosianin terdapat dalam cairan sel tumbuhan, senyawa ini
berbentuk glikosida dan menjadi penyebab warna merah, biru, dan violet banyak
terdapat dalam buah dan sayur (De Man, 1997). Jika bagian gula dihilangkan
dengan cara hidrolisis, tersisa aglikon dan disebut antosianidin. Hal tersebut
dipergunakan untuk meningkatkan fungsi pigmen pembawa komponen pewarna dan
sekaligus dapat menyumbang rasa manis (pemanis). Gula yang sering ditemui
adalah glukosa, ramnosa, galaktosa, fruktosa, xilosa dan arabinosa (Francis, 1999).
Secara spesifik antosianin terdapat dalam sel epidermal dari buah, akar,
dan daun pada buah tua dan masak (Eskin, 1990). Masing-masing jenis antosianidin
memiliki absorbansi maksimal pada panjang gelombang tertentu, unutk jenis
pelargonidin berkisar antara 498 - 513 nm, sianidin pada 523 nm, delfinidin pada 543
nm dan malvidin pada 534 nm (Sudarmadji dkk., 2003).
Banyak senyawa yang ditemukan, akan tetapi hanya enam yang
memegang peranan penting dalam bahan pangan yaitu pelargonidin, sianidin,
delfidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Pigmen antosianin terdiri dari glikogen
(antosianidin) yang teresterifikasi oleh satu atau lebih gula (Francis, 1999).
11
Beberapa hal yang memainkan peranan penting dalam pigmen antosianin dalam
menjaga stabilitas dan warna yang dihasilkan adalah struktur, pH, suhu, cahaya,
oksigen, dan sejumlah faktor lain seperti copigment. Secara stuktural, antosianin
mengalami perubahan transformasi dengan perubahan pH, yaitu dengan terjadinya
perubahan warna.Sebagai contoh, pada pH 3 atau kurang, pigmen antosianin
memberikan warna orange atau merah (Wrolstad, 2004; Brouillad R, 1998). Struktur
dari masing-masing antosianin juga berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan.
Ketika mengevaluasi komponen 6 antosianidin yang umum ditemukan, efek dari
hidroksil dan metoksil menghasilkan warna yang dapat diurai. Salah satunya adalah,
grup hidroksil pada C3 memberikan warna dari orange kekuningan hingga merah
(Ahmed, et al., 2004).
Pigmen antosianin sangat reaktif, oleh karena itu mudah terdegradasi, dan
lingkungan sekitar memainkan peran penting dalam menjaga pigmentasi.Cahaya
dan suhu, keduanya diketahui dapat memecah struktur antosianin. Sehingga,
antosianin sangat baik baik bila berada di lingkungan yang sejuk dan gelap, karena
12
Gambar 2. Struktur antosianin secara umum (Markakis, 1982)
keberadaan cahaya matahari dan suhu yang tinggi (65ᵒ-90ᵒC) menghasilkan
pigmentasi menjadi hilang (Abdel, 2003; Cannor et al.,2002; Kiroa, et al., 2007;
Reyes dan Cisneros, 2007). Antosianin juga didegradasi oleh mekanisme oksidatif
yang melibatkan enzim polifenol oksidase (PPO). Enzim ini dapat ditemukan pada
blueberry, strawberries,anggur, dan ceri, hal inilah yang menyebabkan perubahan
warna coklat pada jus buah.Akan tetapi, PPO tidak dapat mendegradasi antosianin
sendiri, enzim tersebut memerlukan substrat lain, yaitu caffeic acid, asam klorogenik,
atau gallic acid (Kader, et al., 2002; Wesche dan Montgomery, 1990).
2.1.4.2 Fungsi Pigmen mawar merah (Rosa damascena Mill.) sebagai Pewarna
dan Antioksidan
Antosianin yang dikandung mahkota bunga mawar merupakan jenis
flavonoid yang tergolong senyawa polifenol. Dinyatakan bahwa antioksidan polifenol
mampunyai daya antioksidan berkekutaan 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin
C dan 25 kalinya dibandingkan vitamin E. Bahkan beberapa penelitian menyatakan
bahwa antosianin memiliki fungsi fisiologi disamping sebagai antioksidan, juga
antikanker, antitumor dan perlindungan terhadap kerusakan hati (Dewanti,2006)
Sifat mudah larut terhadap air menjadikan pigmen antosianin sebagai
senyawa kimia yang banyak digunakan untuk dikonsumsi karena mudah diserap
oleh tubuh. Hasil penelitian lainnya, menunjukkan bahwa pigmen antosianin bersifat
sebagai antioksidan dan berpotensi mengurangi resiko penyakit jantung, kanker,
hyperlipidemias dan penyakit kronis lainnya, seperti penyakit diabetes dan stroke
(Garz’on et al., 2009).
13
NoKarakter
pigmenBunga mawar Bunga kana
Bunga pacar
air
1Puncak
absorbansi ( )510 – 525 nm 480 – 524 nm 498 - 514
2Jenis
antosianidin
Sianidin dan
Pelargonidin
glikosida
Pelargonidin
glikosida
Pelargonidin
glikosida
3Kadar gula
total 10,1% 3,2% 0,75%
4 Nilai Rf 0,205 0,293 0,23
5 Nilai pH 1,46 – 1,50 2,71 – 3,30 1,03 – 1,56
6Kadar
antosianin
19,43 mg/
100 ml/35 gr
kelopak bunga
4,2 – 9,9 mg/
100 ml/35 gr
kelopak bunga
4,3 – 5,4
mg/100 ml/35 gr
kelopak bunga
7 Rendemen 10,80 mg/ 100 ml 6,2 – 17, 2 mg/ 17,07 – 25,43
14
pigmen 100 ml (%) mg/ 100 ml (%)
8Kesesuaian
produk
Makanan,
minuman
Makanan,
minuman
Kosmetik,
kerajinan
Tabel 1. Kualitas Ekstrak Mawar Merah dan perbandingan dengan bunga lain (Wardatul,2008)
2.1.5 Tablet Effervescent
2.1.5.1 Definisi Tablet Effervescent
Tablet adalah sediaan obat takaran tunggal. Sedangkan tablet effervescent
yaitu tablet yang dimaksudkan untuk menghasilkan larutan secara cepat dengan
menghasilkan CO2 secara serentak. Tablet khususnya dibuat dengan cara
pengempaan bahan-bahan aktif dengan campuran
asam-asam organik, seperti asam sitrat dengan sodium
bikarbonat (Mustofa, 2008).
Reaksi yang terjadi pada pelarutan effervescent adalah
reaksi antara senyawa karbonat untuk menghasilkan
gas karbondioksida yang memberi efek sparkle atau rasa seperti pada air soda.
Reaksi ini dikehendaki terjadi secara spontan ketika effervescent dilarutkan dalam
air. Ansel (1989) menambahkan, larutan dengan karbonat yang dihasilkan menutupi
rasa garamatau rasa lain yang tidak diinginkan dari zat obat. Formula garam
effervescent resmi yang ada unsur pembentuk effervescent terdiri dari 53% sodium
bikarbonat, 28% asam tartrat dan 19% asam sitrat. Reaksi antara asam sitrat
dengan sodium bikarbonat pada produk effervescent dapat dilihat pada Gambar.
15
Gambar 3.Tablet Effervecent Pigmen Mawar Merah (Rosa damascena Mill.)
H3C6H5H2O + 3NaHCO3 → Na3C6H5O7 + 4H2O + 3CO2
Asam sitrat Na bikarbonat Na sitrat air
karbondioksida
Gambar 4. Reaksi Antara Asam Sitrat dengan Sodium Bikarbonat (Ansel, 1989)
Effervescent yang baik menurut penelitian Mustofa (2008) adalah
effervescent dengan pH rendah (kondisi asam), kelarutan tinggi, reabsorbsi air
rendah, kadar air rendah, kenampakan tablet effervescent, kenampakan minuman,
aroma, rasa, yang sesuai oleh panelis.
Karakteristik dari serbuk effervescent yang harus dipenuhi adalah pada saat
serbuk dimasukkan air terjadi reaksi kimia antara sumber asam dan sumber
karbonat yang menghasilkan garam natrium dan asam kemudian menghasilkan gas
dalam bentuk karbondioksida (CO2), reaksi tersebut berjalan cukup cepat,
menghasilkan larutan yang jernih tanpa endapan dan menghasilkan rasa yang segar
serta mampu memperbaiki rasa dari bahan dasar. Pelepasan gas CO2 memudahkan
proses pelarutan tanpa melibatkan pengadukan secara manual sehingga
konsentrasi sumber karbonat merupakan faktor penting pada tingkat kelarutan suatu
formula effervescent. Kerugian tablet effervescent adalah kesukaran untuk
menghasilkan produk yang stabil secara kimia. Sediaan effervescent mempunyai
sifat tidak stabil terhadap kelembaban udara. Bahkan selama reaksi berlangsung, air
yang dibebaskan dari bikarbonat menyebabkan autokatalisis dari reaksi. Hal ini
terutama dipengaruhi oleh unsur-unsur pembentuk effervescent yang terdiri dari
16
sodium bikarbonat dan asam organik seperti asam sitrat sehingga menghasilkan
garam natrium, karbondioksida serta air (Ansel, 1989).
Produk pigmen
Daya
antioksidan
(%)
Notasi
Penurunan
daya
antioksidan
(%)
Pigmen pekat 79,07 C
Bubuk pigmen 28,6 B 63,83
Tablet effervescent 17,2 A 78,25
Tabel 2. Nilai/daya antioksidan ekstrak pigmen, bubuk pigmen dan tablet effervescent dari pigmen
bunga mawar merah dengan uji DPPH
Metode DPPH (2,2-Diphrnyl-2-picrylhydrazyl) digunakan untuk mengetahui
kemampuan zat antioksidan untuk menangkap radikal bebas . Radikal 2,2-Diphrnyl-
2-picrylhydrazyl (DPPH) adalah radikal bebas stabil yang menerima sebuah elektron
atau hidrogen untuk diubah menjadi molekul diamagnetik. DPPH banyak digunakan
pada sistem penelitian aktivitas penangkapan radikal pada senyawa alami
tumbuhan. Aktivitas antiradikal ditandai dengan perubahan warna larutan dari ungu
menjadi kuning bening dengan penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517
nm . Uji daya antioksidan menunjukan bahwa ekstrak pigmen bunga mawar merah
17
mempunyai nilai tertinggi yaitu 79,07%, sedangkan makin panjang tahapan
pengolahannya maka akan menurun daya antioksidannya, seperti setelah menjadi
bubuk pigmen turun 63,83% menjadi 28,6 (%) dan makin menurun lagi (78,25%)
setelah menjadi tablet efferevescent menjadi hanya 17,2 (%) daya antioksidannya.
Hal ini dengan sifat antosianin yang dikandung bunga mawar merah. Stabilitas
antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: stuktur dan konsentrasi
antosianin, derajat keasaman (pH), oksidator, cahaya, suhu, dan sebagainya.
Proses pengolahan yang melibatkan aspek/faktor suhu (pemanasan) saat ekstraksi,
penguapan (rotary evaporator vacuum) maupun pada saat dimasukkan kedalam
oven guna penguapan dan pengeringan, juga saat berinteraksi dengan komponen
bahan kimia yang lain seperti gula (sebagai filler), Na bikarbonat dalam pembuatan
bubuk pigmen maupun tablet effervescent, pigmen hasil ekstraksi mahkota bunga
mawar merah (varietas Lokal Batu atau Hibrid Belanda) mengalami degradasi
(Saati, 2011). Diperlukan penelitian lebih lanjut efek antioksidan secara in vivo.
2.2 Radikal Bebas
2.2.1 Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas adalah salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh yang
sangat reaktif karena mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbital
luarnya. Sehingga sebagian besar radikal bebas bersifat tidak stabil (Nanik et al.,
1998). Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilitas dan bersifat
reaktif. Hilang atau bertambah satu elektron pada molekul lain menciptakan radikal
bebas baru dan mengakibatkan perubahan dramatis secara fisik dan kimiawi.
18
Normalnya, radikal bebas memiliki fungsi yang penting, misalnya membantu tubuh
dalam mengusir penyakit. Akan tetapi, terlalu banyak kandungan radikal bebas
dalam tubuh juga memberikan dampak negatif karena dapat menyebabkan
kerusakan sel (Myers C.E., 2006).
2.2.2 Struktur Kimia Radikal Bebas
Atom terdiri dari nukleus, proton, dan elektron. Jumlah proton (bermuatan
positif) dalam nukleus menentukan jumlah dari elektron (bermuatan negatif) yang
mengelilingi atom tersebut. Elektron berperan dalam reaksi kimia dan merupakan
bahan yang menggabungkan atom-atom untuk membentuk suatu molekul. Elektron
mengelilingi, atau mengorbit suatu atom dalam satu atau lebih lapisan. Jika satu
lapisan penuh, elektron akan mengisi lapisan kedua. Lapisan kedua akan penuh jika
telah memiliki 8 elektron, dan seterusnya. Gambaran struktur terpenting sebuah
atom dalam menentukan sifat kimianya adalah jumlah elektron pada lapisan luarnya.
Suatu bahan yang elektron lapisan luarnya penuh tidak akan terjadi reaksi kimia.
Karena atom-atom berusaha untuk mencapai keadaan stabilitas maksimum, sebuah
atom akan selalu mencoba untuk melengkapi lapisan luarnya dengan :
a. Menambah atau mengurangi elektron untuk mengisi maupun mengosongkan
lapisan luarnya.
b. Membagi elektron-elektronnya dengan cara bergabung bersama atom yang
lain dalam rangka melegkapi lapisan luarnya.
Atom sering kali melengkapi lapisan luarnya dengan cara membagi elektron-elektron
bersama atom yang lain. Dengan membagi elektron, atom-atom tersebut bergabung
19
bersama dan mencapai kondisi stabilitas maksimum untuk membentuk molekul.
Oleh karena radikal bebas sangat reaktif, maka mempunyai spesifitas kimia yang
rendah sehingga dapat bereaksi dengan berbagai molekul lain, seperti protein,
lemak, karbohidrat, dan DNA (Murray et al, 2009). Dalam rangka mendapatkan
stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam waktu
lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya. Radikal bebas akan
menyerang molekul stabil yang terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil
elektronnya akan menjadi radikal bebas juga sehingga akan memulai suatu reaksi
berantai, yang akhirnya terjadi kerusakan sel tersebut (Droge W, 2002; Proctor et al,
1984).
2.2.3 Reaksi Umum Radikal Bebas
Radikal bebas yang terbentuk dalam sel mula-mula memiliki elektron yang
tidak berpasangan pada orbital luarnya. Senyawa tersebut merupakan metabolit
oksigen yang sangat reaktif. Di dalam sel, radikal bebas dapat terjadi apabila dua
buah atom mengadakan reaksi kimia, misalnya apabila terjadi proses autooksidasi
leukoflavin, hidroquinon, katekolamin, tiol, tetrahidro protein serta hemoprotein.
Selain itu dapat pula terjadi akibat kerja enzim oksidasi seperti xantin oksidase,
aldehid oksidase, dehidroorotik dehidrogenase (Widodo et al., 1997)
2.2.4 Sumber Radikal Bebas
Radikal bebas yang ada ditubuh manusia berasal dari 2 sumber, yaitu endogen dan
eksogen
a. Sumber endogen
20
1. Autoksidasi :
Merupakan produk dari proses metabolisme aerobik. Molekul yang
mengalami autoksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, mioglobin,
sitokrom C yang tereduksi, dan thiol. Autoksidasi dari molekul diatas
menghasilkan reduksi dari oksigen diradikal dan pembentukan kelompok
reaktif oksigen. Superoksida merupakan bentukan awal radikal. Ion ferrous
(Fe II) juga dapat kehilangan elektronnya melalui oksigen untuk membuat
superoksida dan Fe III melalui proses autoksidasi (Droge, 2002; Proctor,
1984; Murray, 2009)
2. Oksidasi enzimatik
Beberapa jenis sistem enzim mampu menghasilkan radikal bebas dalam
jumlah yang cukup bermakna, meliputi xanthine oxidase (activated in
ischemia-reperfusion), prostaglandin synthase, lipoxygenase, aldehyde
oxidase, dan amino acid oxidase. Enzim myeloperoxidase hasil aktifasi
netrofil, memanfaatkan hidrogen peroksida untuk oksidasi ion klorida menjadi
suatu oksidan yang kuat asam hipoklor (Inoue , 2001)
3. Respiratory burst
Merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan proses
dimana sel fagositik menggunakan oksigen dalam jumlah yang besar selama
fagositosis. Lebih kurang 70-90 % penggunaan oksigen tersebut dapat
diperhitungkan dalam produksi superoksida. Fagositik sel tersebut memiliki
sistem membran bound flavoprotein cytochrome-b-245 NADPH oxidase.
Enzim membran sel seperti NADPH-oxidase keluar dalam bentuk inaktif.
21
Paparan terhadap bakteri yang diselimuti imunoglobulin, kompleks imun,
komplemen 5a, atau leukotrien dapat mengaktifkan enzim NADPH-oxidase.
Aktifasi tersebut mengawali respiratory burst pada membran sel untuk
memproduksi superoksida. Kemudian H2O2 dibentuk dari superoksida
dengan cara dismutasi bersama generasi berikutnya dari OH dan HOCl oleh
bakteri (Abate et al., 1998)
b. Sumber eksogen
1. Obat-obatan
Beberapa macam obat dapat meningkatkan produksi radikal bebas dalam
bentuk peningkatan tekanan oksigen. Bahan-bahan tersebut bereaksi
bersama hiperoksia dapat mempercepat tingkat kerusakan. Termasuk
didalamnya antibiotika kelompok quinoid atau berikatan logam untuk
aktifitasnya (nitrofurantoin), obat kanker seperti bleomycin, anthracyclines
(adriamycin), dan methotrexate, yang memiliki aktifitas pro-oksidan. Selain
itu, radikal juga berasal dari fenilbutason, beberapa asam fenamat dan
komponen aminosalisilat dari sulfasalasin dapat menginaktifasi protease,
dan penggunaan asam askorbat dalam jumlah banyak mempercepat
peroksidasi lemak (Proctor, 1984; Inoue, 2001)
2. Radiasi
Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan jaringan yang disebabkan
oleh radikal bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar gamma) dan
radiasi partikel (partikel elektron, photon, neutron, alfa, dan beta)
menghasilkan radikal primer dengan cara memindahkan energinya pada
22
komponen seluler seperti air. Radikal primer tersebut dapat mengalami
reaksi sekunder bersama oksigen yang terurai atau bersama cairan seluler
(Droge, 2002)
3. Asap rokok
Oksidan dalam rokok mempunyai jumlah yang cukup untuk memainkan
peranan yang besar terjadinya kerusakan saluran napas. Telah diketahui
bahwa oksidan asap tembakau menghabiskan antioksidan intraseluler dalam
sel paru (in vivo) melalui mekanisme yang dikaitkan terhadap tekanan
oksidan. Diperkirakan bahwa tiap hisapan rokok mempunyai bahan oksidan
dalam jumlah yang sangat besar, meliputi aldehida, epoxida, peroxida, dan
radikal bebas lain yang mungkin cukup berumur panjang dan bertahan
hingga menyebabkan kerusakan alveoli. Bahan lain seperti nitrit oksida,
radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas.
Juga mengandung radikal lain yang relatif stabil dalam fase tar. Contoh
radikal dalam fase tar meliputi semiquinone moieties dihasilkan dari
bermacam-macam quinone dan hydroquinone. Perdarahan kecil berulang
merupakan penyebab yang sangat mungkin dari desposisi besi dalam
jaringan paru perokok. Besi dalam bentuk tersebut meyebabkan
pembentukan radikal hidroksil yang mematikan dari hidrogen peroksida. Juga
ditemukan bahwa perokok mengalami peningkatan netrofil dalam saluran
napas bawah yang mempunyai kontribusi pada peningkatan lebih lanjut
konsentrasi radikal bebas (Droge, 2002; Proctor, 1984; Halliwell et al, 1999)
2.2.5 Reaksi Karbon tetraklorida (CCL4) sebagai Radikal Bebas
23
Karbon tetraklorida (CCl4) telah lama dikenal sebagai bahan hepatotoksik
(Ali, 1997). Zat ini merupakan cairan jernih yang mudah menguap. Karbon
tetraklorida (CCl4) termasuk senyawa halogen hidrokarbonalifatik yang banyak
digunakan sebagai pelarut, pestisida, bahan pendingin dan sabun. Senyawa ini
bersifat toksik bagi manusia dan bahkan telah dilaporkan dapat memberikan efek
karsinogenik (Anomymous, 2006). CCl4 dapat masuk ke dalam tubuh manusia
secara inhalasi, ingesti ,dan kontak langsung dengan kulit. Toksisitas karbon
tetraklorida bergantung pada spesies, strain hewan coba, rute pemberian, dan
dosisnya.
Gambar 5. Struktur Molekul Karbon tetraklorida (CCl4)
CCI4 sebagai pelarut lipid memudahkan senyawa tersebut dapat
menyeberangi membran sel dan terdistribusi ke semua organ. Sifat toksik CCI4 telah
terbukti dari beberapa penelitian, bahwa dosis yang kecil sekalipun dapat
menimbulkan efek pada berbagai organ tubuh termasuk susunan saraf pusat, hati,
ginjal dan peredaran darah. Efek toksik CCI4 yang paling terlihat adalah pada hepar
(toksisitas CCI4 melebihi daripada kloroform) walaupun keduanya sarna-sarna
merusak organ-organ lain. Kerusakan hepar akibat terpapar CCI4 tergantung pada
dosis yang diberikan. Absorpsi CCI4 selain berlangsung melalui saluran nafas juga
dapat melalui seluruh permukaan tubuh termasuk kulit. Pada prinsipnya kerusakan
24
sel hepar akibat pemberian CCI4 disebabkan oleh pembentukan radikal bebas,
peroksidasi lemak dan penurunan aktivitas enzim-enzim antioksidan. Manifestasi
kerusakan hepar secara histologis terlihat berupa infiltrasi lemak, nekrosisis
entrolobuler, dan akhimya sirosis.
Sesuai dengan penelitian Ruqiah dkk (2007) diperoleh hasil bahwa kelompok
yang mendapatkan CCI4 1 dan 10 ml/kg BB mengalami steatosis yang ditandai
dengan akumulasi sel lemak di dalam sel hepar yang disebabkan oleh gangguan
pada metabolisme lipid di hepar. Selain itu, pada pemberian 10 ml/kg BB CCI4 pada
kelompok perlakuan terlihat adanya nekrosis milier pada permukaan hepar. Ada
beragam faktor penyebab terjadinya steatosis, secara garis besar dibedakan atas
faktor primer, yaitu obesitas, hiperlipidemia, dan resistensi insulin, serta faktor
sekunder yang meliputi diet yang tidak seimbang, malabsorpsi, kehamilan, alcohol,
serta obat-obatan antara lain aspirin dan tetrasiklin (Day L et al., 2004;
Neuschwander-Tetri BA et al., 2003) Day L, Shikuma C, Gerschenson M.
Mithochondrion 4 (2004) 95-109,, Neuschwander-Tetri BA, Caldwell SH. Hepatology
37 (2003) 1202-1219
2.3 Antioksidan
2.3.1 Definisi Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah kerusakan sel akibat
oksidasi pada suatu molekul lain. Antioksidan berperan sebagai inhibitor yang
bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif
membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif lebih stabil (Sies, 1997). Fungsi lain
dari antioksidan selain digunakan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh juga
25
dapat digunakan sebagai bahan aditif pada makanan untuk mencegah reaksi
oksidasi pada makanan sehigga makanan tersebut tidak cepat rusak, seperti
penggunaan propel galat, hidroksianitol terbutilasi (BHA), dan hidroksitoluena
terbutilasi (BHT) sebagai bahan aditif pada makanan (Murray, 2009)
2.3.2 Klasifikasi Antioksidan
Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan terhadap
serangan radikal bebas secara alami telah ada dalam tubuh.
Antioksidan tubuh dapat dikelompokan menjadi 3 yakni :
1. Antioksidan Primer
Bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru. Ia mengubah
radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya,
sebelum radikal bebas sempat bereaksi. Contohnya adalah Enzim Superoksida
Dimustase (SOD) yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh
serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas.
2. Antioksidan Sekunder
Berfungsi untuk menangkap serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contohnya
vitamin E, vitamin C, beta karoten, asam urat, bilirubin, dan albumin.
3. Antioksidan Tersier
Berfungsi untuk memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan
radikal bebas. Contohnya adalah enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah
metionin sulfosidan reduktase (Rahayu, 2005)
26
2.3.3 Hubungan Antioksidan dengan Radikal Bebas
Tubuh mempunyai mekanisme yang dapat menetralisir bahaya radikal bebas
dengan sistem antioksidan, namun timbulnya penyakit disebabkan karena jumlah
radikal bebas melebihi jumlah sistem antioksidan. Antioksidan berperan dengan cara
: (Halliwell et al, 1999; Murray, 2009).
a. Mengkatalisis radikal bebas oleh enzim SOD, katalase dan peroksidase.
b. Mengikat pro-oksidan (ion Fe, Cu, dan hem), contohnya transferin, haptoglobin,
hemopeksin dan seruloplasmin.
c. Membersihkan ROS oleh antioksidan dari senyawa-senyawa dengan berat
molekul kecil seperti glutation tereduksi (GSH), asam askorbat, bilirubin, a tokoferol
dan asam urat.
2.4 Hepar
2.4.1 Anatomi Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1,5 kg
atau 2% berat badan orang dewasa normal (Guyton, 2007). Hepar terletak pada
bagian kanan atas cavum abdomen, menempati hampir seluruh hipokondrium
kanan, sebagian besar epigastrium, dan mencapai hipokondrium kiri sampai sejauh
linea mamaria. Bagian bawah hepar berbentuk cekung dan merupakan atap dari
ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus (Tellingen, 2003).
Organ hepar terdiri atas 2 lobus utama, yaitu lobus dextra dan sinistra. Lobus
dextra terbagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis dextra
yang tidak tampak dari luar. Sedangkan lobus sinistra terbagi menjadi segmen
27
medial dan lateral oleh ligament falsiformis yang terlihat dari luar. Secara anatomis,
lobus dextra terletak di hipokondrium kanan dan tampak lebih besar dibandingkan
lobus sinistra. Lobus sinistra terletak di region epigastrik dan hipokondrium kiri
(Snell, 2006). Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang normal
tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Hepar diliputi oleh
simpai jaringan ikat fibrosa, dan darisini membentuk septa jaringan ikat yang tipis
yang masuk ke dalam Hepar di daerah porta hepatis dan membagi hepar dalam
lobus dan lobules (Leeson et al, 1996). Faktor yang mempengaruhi fiksasi hepar
ditempatnya ialah perlekatan hepar pada diafragma oleh ligamen coronarium dan
ligamen triangular serta jaringan ikat pada area nuda hepar bersama dengan
perlekatan dengan vena cava inferior oleh jaringan ikat dan vena hepatika dapat
menahan bagian posterior hepar. Ligamen falciforme berperan untuk membatasi
gerakan hepar ke lateral (Gray, 1995).
Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai
kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ, bagian paling tebal dari
kapsul ini terdapat porta hepatis membentuk rangka untuk cabang vena porta, a.
Hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hepar tempat
masuknya vena porta dan a.hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatica
(Sylvia,2006,, Junqueira, 2007).
Vena porta dan arteria hepatika propria masuk ke dalam hilus, daerah hillus
ini juga merupakan tempat keluar duktus hepatikus kanan dan kiri. Hepar
mendapatkan banyak sekali darah dari vena porta (+ 75%) dan melalui arteria
hepatika propria (+ 25%). Cabang kanan dari vena porta masuk ke lobus dextra,
28
sedangkan cabang kiri membentuk cabang ke lobus kaudatus, kemudian memasuki
lobus kiri hepar. Vena porta mendapat aliran darah balik dari vena lienalis, vena
mesenterika superior, vena gastrika, vena pilorika, vena cystika dan venae
parumbilikales. Vena mesenterika superior mendapat aliran darah balik dari ileum
terminale, caecum, colon ascenden dan colon transversum (Gray, 1995).
2.4.2 Histologi Hepar
Komponen structural utama hepar adalah sel-sel hepar atau hepatosit. Sel-
sel epitelnya berkelompok membentuk lempeng-lempeng yang saling berhubungan.
Pada sediaan mikroskop cahaya, tampak satuan structural yang disebut lobulus
hepar. Pada hewan tertentu, lobulus dipisahkan satu dari lainnya oleh selapis
jaringan ikat. Akan tetapi haltersebut tidak berlaku bagi manusia, yaitu sebagian
besar keliling lobuli saling berdekatan sehingga sulit untuk menentukan batas
masing-masing lobulusnya. Pada daerah perifer tertentu, lobuli dipisahkan oleh
jaringan ikat yang mengandung duktus biliaris, pembuluh limfe, saraf, dan pembuluh
darah. Daerah ini, yaitu celah portal, dijumpai pada sudut-sudut lobulus. Hepar
manusia mengandung celah portal per lobulus, masing-masing dengan sebuah
venula, sebuah arteriol, sebuah duktus, dan pembuluh limfe (Junqueira, 2007).
Hepar juga memiliki sel parenkim yang merupakan salah satu contoh sel
stabil, yaitu sel yang memiliki daya regenerasi, tetapi dalam keadaan normal tidak
bertambah secara aktif, sebab masa hidupnya dapat bertahun-tahun (Robbins,
1995). Diantara sel-sel hati terdapat saluran sempit yaitu kanalikuli biliaris, yang
mengalir ke tepi lobulus dalam duktus biliaris. Kanalikuli biliaris merupakan suatu
celah di antara dua sel hepar yang berdekatan dan tidak dibatasi epitel khusus.
29
Dinding sinusoid terdiri dari sel endotel dan sel fagosit Sistem Retikulm Endotelial
(RES) (Leeson et al, 1996).
2.4.3 Fisiologi Hepar
Hepar merupakan organ parenkim yang paling besar hepar juga menduduki
urutan pertama dalam hal jumlah, kerumitan, dan ragam fungsi. Hepar sangat
penting untuk mempertahankan fungsi hidup dan berperan dalam hamper setiap
metabolisme tubuh dan bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda. Hal
ini terutama terbukti pada kelainan hepar karena banyak fungsi yang terganggu
secara bersamaan (Tellingen, 2003; Guyton, 2007). Hepar memiliki kemampuan
yang sangat baik untuk regenerasi setelah kehilangan jaringan hepar yang
bermakna akibat hapetektomi parsial atau jejas hati akut, selama jejas tersebut tidak
diperparah oleh infeksi virus atau peradangan (Guyton, 2007).
Secara garis besar fungsi hepar di bagi menjadi 4 macam (Anonymous,
2004), yaitu :
1. Fungsi Vaskuler
Fungsi untuk menimbun dan melakukan filtrasi darah. Setiap menit mengalir
1200 cc darah portal ke dalam hepar melalui sinosoid hati, seterusnya darah
mengalir ke vena sentralis dari sini menuju vena haptika untuk selanjutnya
masuk ke dalam vena cava interior. Selain itu dari arteria hepatika mengalir
masuk kira-kira 350 cc darah. Darah anterial ini akan masuk ke dalam sinosoid
dan bercampur dengan darah portal. Pada orang dewasa jumlah aliran darah ke
hepar diperkirakan mencapai 150 cc tiap menit.
2. Fungsi ekskretorik
30
Fungsi hepar yang lain adalah membentuk empedu dan mengekskresikannya
ke dalam usus. Hepar mengekskresi zat-zat yang berasal dari sel hepar
misalnya bilirubin, kolesterol, garam empedu dan sebagainya ke dalam empedu,
disampin itu ke dalam empedu juga dieksresi zat-zat yang berasal dari luar
tubuh misalnya logam-logam berat, beberapa macam zat warna (termasuk BSP)
dan sebagainya. Fungsi ini diukur dengan beberapa tes misalnya: Bilirubin
serum bilirubin urin, asam empedu dan tes BSP.
3. Fungsi Metabolik
Terutama untuk metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Tes faal hati
untuk menguji fungsi tersebut misalnya tes toleransi glukosa, tes toleransi
galaktosa, kadar kolesterol total, kadar lipoprotein-x, kadar protein serum
(serum, globalin), kadar fibrinogen, faktor-faktor pembekuan, kadar ceruplasmin
dan lain-lain.
4. Fungsi Pertahanan Tubuh
Terdiri dari fungsi detoksifikasi pelindung. Fungsi detoksifikasi terhadap bahan-
bahan yang beracun yang dilakukan dengan jalan konjugasi, reduksi, metilasi,
asetilasi, oksidasi, dan hidroksilasi. Tes untuk menguji kemampuan konjugasi
tersebut termasuk bilirubin dan BSP. Fungsi pertahanan tubuh yang lain adalah
fungsi dari sel-sel kupffer (makrofag) fagositosis dan pembentukan antibodi
(Imanoglubin). Tes-tes untuk fungsi ini meliputi kadar imunoglobin (lg G, lg M, lg
A), ANA test (antinuclear antibody) dan AMA test (anti mitochonrial antibody).
2.4.4 Kerusakan Hepar
31
2.4.4.1 Agen Hepatotoksik dan Kerusakan yang diakibatkan
Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab yaitu :
1. Virus (penyebab terbanyak) yaitu L virus hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G
2. Bakteri, misalnya Mycobacterium tuberculosis
3. Obat-obatan hepatoksik seperti parasetamol dosis toksik
4. Bahan kimia atau sintesis yang merusak hati, misalnya CCI4, kloroform, karbon
tetrabromida.
5. Alkohol (Rahayu, 2005)
Ada dua macam agen hepatotoksik, yaitu intrinsik hepatotoksin yang bersifat
predicatable, contohnya : karbon tetraklorida, acetaminophen, ethanol, hidrokarbon,
dan lain-lain serta idiosinkrasi hepatotoksin yang bersifat non-predictable, contohnya
: allopurinol, disulfiram, halothan, klorpromazin, dan sebagainya (Schiff et al, 1993).
Tipe efek intrinsik hepatotoksik atau agen yang bersifat predictable ada dua
macam, yaitu :
1. Langsung
Agen hepatotoksik atau hasil metabolitnya menyebabkan kerusakan secara
langsung hepatosit dan organelanya dengan efek fisiokimia, yaitu : peroksidasi
membrane lipid dan perubahan kimia yang menyebabkan kerusakan membran
(Schiff et al, 1993).
Tipe efek toksik langsung ditandai dengan adanya : (1) hubungan dosis
dengan efek, (2) periode inkubasi pendek, (3) kerusakan hepar yang seringkali
32
disertai dengan kerusakan organ lain seperti ginjal (Ali, 1997), (4) disertai gambaran
patologik hepar berupa nekrosis dan steatosis (Schiff et al, 1993).
2. Tidak Langsung
Agen hepatotoksik menyebabkan kerusaan berupa sitotoksik (nekrosis atau
steatosis) atau kholestasis (Schiff et al, 1993).
Pada tipe idiosinkrasi ditandai dengan : (1) tidak adanya hubungan antara
dosis dengan efek, bahkan sering muncul setelah terpapar dalam jangka pendek, (2)
diikuti oleh gejala reaksi hipersensitivitas ekstra hepatal antara lain : febris,
leukositosis, eosinofilia, eritema, (3) bentuk kelainan di hepar sangat bervariasi (Ali,
1997).
2.4.4.2 Mekanisme Kerusakan Hepar
Kerusakan hepar akibat bahan kimia (obat) ditandai dengan lesi awal yaitu
lesi biokimiawi, yang memberikan rangkaian perubahan fungsi dan struktur (Robin
et.al., 1995). Perubahan struktur hepar akibat obat yang dapat tampak pada
pemeriksaan mikroskopis antara lain (Sarjadi, 2003) :
1.Radang
Radang bukan suatu penyakit namun reaksi pertahanan tubuh melawan
berbagai jejas. Dengan mikroskop tampak kumpulan sel – sel fagosit berupa
monosit dan polimorfonuklear.
2. Fibrosis
Fibrosis terjadi apabila kerusakan sel tanpa disertai regenerasi sel yang
cukup.Kerusakan hepar secara makroskopis kemungkinan dapat berupa atrofi atau
hipertrofi, tergantung kerusakan mikroskopis.
33
3. Degenerasi
Degenerasi dapat terjadi pada inti maupun sitoplasma. Degenerasi pada
sitoplasma misalnya :
a. Perlemakan, ditandai dengan adanya penimbunan lemak dalam parenkim
hepar, dapat berupa bercak, zonal atau merata.. Pada pengecatan inti
terlihat terdesak ke tepi rongga sel terlihat kosong diakibatkan butir lemak
yang larut pada saat pemrosesan
b. Degenerasi Hidropik, terjadi karena adanya gangguan membran sel
sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola-vakuola
kecil sampai besar. Terjadi akumulasi cairan karena sel yang sakit tidak
dapat menyingkirkan cairan yang masuk
c. Degenerasi Hialin, termasuk degenerasi yang berat. Terjadi akumulasi
material protein diantara jaringan ikat
d. Degenerasi Amiloid, yaitu penimbunan amiloid pada celah disse, sering
terjadi akibat amiloidosis primer ataupun sekunder
Degenerasi pada inti :
a. Vakuolisasi, inti tampak membesar dan bergelembung, serta kromatinnya
jarang, dan tidak eosinofilik
b. Inclusion bodies, terkadang terdapat pada inti sel hepar
4 .Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organime hidup. Inti sel
yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin, dan serabut retikuler menjadi berlipat-
lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen
34
(karioreksis) dan kemudian sel menjadi eosinofilik (kariolisis). Sel hepar yang
mengalami nekrosis dapat meliputi daerah yang luas atau daerah yang kecil.
Berdasarkan lokasi dan luas nekrosis dapat dibedakan menjadi berikut (Kasno et.al,
2003), antara lain :
a. Nekrosis fokal, adalah kematian sebuah sel atau kelompok kecil sel
dimana saja di dalam lobules. Leukosit dan histiosit dengan proliferasi sel
kupffer dapat merupakan tanda satu-satunya kelainan itu. Patogenesanya
adalah kematian sel setempat akibat toksin bakteri atau penyumbatan
sinusoid oleh proliferasi sel kupffer atau thrombus fibrin
b. Nekrosis zonal. Dapat terjadi pada zona 1, zona 2, atau zona 3 dari asinus
hepatic, tergantung pada agen penyebabnya. Nekrosis zonal terbagi menjadi
:
1. Nekrosis sentrilobular, merupakan karakteristik kerusakan akibat toksin
intrinsic, contohnya : CCL4, kloroform, alkaloid pirolizidin, asam tanik, toksin
Amanita phalloides dan beberapa agen untuk terapi kanker (Schiff et al,
1993). Nekrosis ini disebabkan karena sirkulasi yang kolaps sehingga
mengurangi suplai oksigen ke zona (Govan et al, 1991)
2. Nekrosis midzonal. Bentuk ini terjadi pada zona 2 asinus hepatik. Agen
penyebabnya adalah berilium, furosemid, CCL4, kloroform, dan hewan yang
hipertiroid (Schiff et al, 1993)
3. nekrosis peripheral. Kerusakan ini mungkin terjadi pada zona 3 yang dekat
dengan saluran portal atau perubahan pada zona 1 yang disebabkan karena
35
metabolisme obat dan zat kimia, misalnya : keracunan fosfor (Govan et al,
1991)
c. Nekrosis difus atau multifokal. Nekrosis jenis ini biasanya disebabkan
karena toksin yang bersifat idiosinkrasi (Schiff et al, 1993)
2.4.5 Hepar dan Bahan Toksis
Menurut Thomson (1997), pada dasarnya kerusakan hepar karena obat-obat
kimia dan bahan toksik (hepatotoksis) ada dua jenis yaitu :
1. Hepatotoksisk intrinsik
Efeknya tergantung dosis, dapat direproduksi secara eksperimental dan
menciptakan insiden tinggi cedera hati pada individu yang terpapat. Ada dua jenis
hepatotoksik intrinsik yaitu:
a. Langsung : hepatosit mengalami kerusakan oleh efek fisikokimiawi
langsung, contohnya kloroform dan karbon tetraklorida.
b. Tak langsung : cedera merupakan akibat sekunder dari cacat metabolik
yang ditimbulkan oleh bahan yang mengganggu proses atau lintasan
metabolik spesifik.
2. Hepatotosik idiosinkratik
Hepatotoksik idiosinkratik ada dua yaitu :
a. Berhubungan-hipersensitivitas : diduga dari tipe alergik dan tentunya
sering menyertai demam, ruam kulit, dan eosinofilia. Paparan kembali
dengan bahan menyebabkan kembalinya gejala dengan cepat.
36
b. Tergantung metabolit toksik : polanya tak merata tanpa gambaran
hipersensitivitas dan kekambuhan dengan tantangan berlanjut bervariasi,
contognya izoniazid, iproniazid.
2.4.6 Fisiologi Kerusakan Hepar
Lokasi hepar dibawah aliran darah portal dari gastrointestinal, letaknya diluar
untuk jalan pertama menerima kimia beracun. Komponen lipophilik. obat partikular,
dan polusi lingkungan, dengan mudah menyebar ke dalam hepatosit karena
pemasukan epitelium pada sinusoid menutup hubungan antar sirkulasi molekul dan
membran hepatosit (Klaassen, 1999).
Bahan kimia yang masuk ke tubuh dapat mempengaruhi sistem metabolisme
tubuh dan faal manusia sehingga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
kesehatan atau keracunan bahkan dapat menimbulkan kematian. Zat kimia yang
dapat berbahaya bagi tubuh diantaranya yaitu karbon tetraklorida. Masuknya zat
kimia di dalam hepar akan membentuk radikal bebas (molekul dengan elektron yang
tidak berpasangan sehingga reaktif), yang kemudian menyebabkan perolsida lipid
dalam membran di dalam sel disini mitokronidia terserang dan melepaskan ribosa
dengan retikulum endoplasmatik. Efek terhadap retikulum endoplasmatik sebagian
bersifat tidak langsung dan merupakan akibat gangguan di dalam membran
mitokondria. Pemasokan energi yang diperlukan untuk memelihara fungsi dan
struktur retikulum endplasmatik terhambat, sintesis protein menurun sekali, sel
kehilangan daya untuk mengeluarkan trigliserida dan terjadi degenerasi berlemak sel
hepar. Bila bagian yang sangat luas dari hepar telah rusak, maka karena hepar
37
kehilangan fungsinya, terjadilah keracunan yang gawat sekali dan sering berakhir
fatal (Koeman,1997).
2.4.7 Kerusakan Hepar akibat CCl4
CCl4 merupakan cairan jernih yang mudah menguap. CCl4 dapat menekan
dan merusak hampir semua sel tubuh manusia termasuk sitem saraf, hepar, ginjal,
dan pembuluh darah, melaui paru-paru jika menghirup udara yang terkontaminsai
atau melalui perut dan usus jika menelan makan atau minuman yang mengandung
CCl4 dan juga melalui kulit dengan cara penyuntikan. CCl4 merupakan
hepatotosik dengan tipe langsung yaitu hepatosit mengalami kerusakan oleh efek
fisiko-kimia secara langsung. Toksisitas ini disebabkan oleh terurainya karbon
tetraklorida menjadi senyawa yang lebih toksis antara lain epoksida di dalam sel
terutama dalam hepar dan ginjal (Rahayu, 2005).
Menurut Yamamoto (1996), hanya dengan 1,3 kb/BB (dosis 50% v/v
subkutan, CCl4 sudah mampu merusak jaringan secara signifikan.
2.4.7.1 Mekanisme Kerusakan Hepar
a. Nekrosis
Patogenesa terjadinya nekrosis pada hepar akibat CCl4 masih belum jelas.
Kemungkinan merupakan hasil dari injury tehadap membrane sel, sehingga
menyebabkan terganggunya biokimia intraseluler dan hilangnya bioenergi untuk
mempertahankan integritas seluler (Zimmerman, 1978). Injuri pada membran
organel menyebabkan pengeluaran ion kalsium dari mitokondria dan retikulum
38
endoplasmic halus, dan mengakibatkan injuri pada membrane plasma dan
masuknya ion-ion dari cairan ekstra seluler. Injuri yang terjadi menyebabkan
gangguan fungsi pompa kalsium, yang secara normal mencegah penumpukan ion
kalsium di dalam sitosol (Schiff et al, 1993).
Adanya gangguan metabolisme ini selain disebabkan karena peningkatan
kalsium di sitosol, juga disebabkan karena hilangnya ion potasium, enzim, dan
koenzim dari sitosol dan juga karena hilangnya sumber energy esensial sebagai
akibat dari injuri mitokondria. Semua factor penyebab tersebut yang mengakibatkan
terjadinya nekrosis (Schiff et al, 1993).
b. Steatosis (akumulasi lemak)
Steatosis terjadi karena transport keluar hepar diblok. Blokade pengeluaran
lemak merupakan akibat dari gangguan mekanisme kopling trigliserida untuk
menyediakan apoprotein untuk membentuk lipoprotein yang bertugas membawa
VLDL, sehingga berakibat sintesa apolipoprotein menurun. Selain itu penyebab
hambatan pengeluaran lemak dari hepar juga disebabkan karena inhibisi sintesa
protein. Meskipun faktor utama penyebab steatosis adalah gangguan pengangkutan
lemak dari hepar, proses steatosis ini juga disebabkan karena peningkatan
transportasi lemak dari depot lemak perifer masuk ke dalam sel hepar, yang terjadi
selama fase akut intoksikasi CCl4 (Schiff et al, 1993).
Mekanisme patogenesa toksisitas CCl4 yang terjadi segera adalah kerusakan
membran plasma karena CCl4 nonmetabolit, sehingga menyebabkan hilangnya
elektrolit dan enzim intraseluler serta menyebabkan masuknya ion-ion dari
ekstraseluler. Hampir bersamaan dengan mulainya distorsi intraseluler (Schiff et al,
39
1993), CCl4 diubah menjadi radikal bebas *CCl3 di retikulum endoplasmik halus oleh
enzim sitokrom P-450 (Robbins, 1995). Organel ini merupakan tempat metabolit
*CCl3 pertama kali berada dengan konsentrasi paling besar (Schiff et al, 1993).
Radikal bebas yang dihasilkan setempat akan menyebabkan autooksidasi asam
lemak polienoik yang terdapat dalam membrane fosfolipid. Kemudian terjadi
dekomposisi oksidatif lemak, dan terbentuk peroksida-peroksida organik setelah
bereaksi dengan oksigen (peroksidasi lemak). Kurang dari 30 menit didapati
pengurangan sintesa protein hepar, protein plasma, dan enzim-enzim protein
endogen dan dalam waktu 2 jam, terjadi pembengkakan retikulum endoplasma halus
dan pemisahan ribosom dari retikulum endoplasma kasar. Kemudian timbul
penimbunan lemak karena ketidakmampuan sel melakukan sintesa lipoprotein dari
trigliserida sehingga pengeluaran lemak dari hepar menurun. Selain itu juga
disebabkan karena peningkatan transpor lemak dari depot lemak perifer. Bahan
metabolit tersebut juga diubah menjadi radikal bebas sekunder, yang menyebabkan
lesi peroksidatif pada membran plasma, mitokondria, dan membrane lisosom yang
akhirnya menyebabkan nekrosis.
40