bab ii marketing ). apa yang dipasarkan itu, ialah barang ...digilib.unila.ac.id/14543/3/bab ii...

46
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pemasaran Istilah pemasaran dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama marketing. Kata marketing ini boleh dikata sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, namun juga diterjemahkan dengan istilah pemasaran. Asal kata pemasaran adalah pasar (= market). Apa yang dipasarkan itu, ialah barang dan jasa. Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok perusahaan dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup, berkembang dan memperoleh laba dengan cara menyesuaikan kemampuan perusahaan dengan kebutuhan konsumen. Berikut ini adalah pendapat beberapa ahli tentang pemasaran. Menurut Kotler dalam Afif (2002:5) pemasaran adalah: “Suatu proses sosial dengan mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan dan mempertukarkan produksi dan nilai dengan individu dan kelompok lainnya”. Menurut Stanton dalam Swasta dan Irawan (2004:5) pemasaran adalah: “Suatu sistem keseluruhan dari kegiatan -kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada konsumen atau pembeli yang ada maupun pembeli potensial.

Upload: dinhtruc

Post on 08-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pemasaran

Istilah pemasaran dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama marketing. Kata

marketing ini boleh dikata sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, namun

juga diterjemahkan dengan istilah pemasaran. Asal kata pemasaran adalah pasar

(= market). Apa yang dipasarkan itu, ialah barang dan jasa. Pemasaran merupakan

salah satu kegiatan pokok perusahaan dalam usaha mempertahankan kelangsungan

hidup, berkembang dan memperoleh laba dengan cara menyesuaikan kemampuan

perusahaan dengan kebutuhan konsumen. Berikut ini adalah pendapat beberapa ahli

tentang pemasaran.

Menurut Kotler dalam Afif (2002:5) pemasaran adalah: “Suatu proses sosial dengan

mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan

dengan menciptakan dan mempertukarkan produksi dan nilai dengan individu dan

kelompok lainnya”. Menurut Stanton dalam Swasta dan Irawan (2004:5) pemasaran

adalah: “Suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk

merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, mendistribusikan barang dan

jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada konsumen atau pembeli yang ada

maupun pembeli potensial”.

13

Adapun pengertian pemasaran menurut The American Marketing Association adalah

proses merencanakan konsepsi, harga, promosi dan distribusi ide, menciptakan

peluang yang memuaskan individu dan sesuai dengan tujuan organisasi (Alma,

2007:5).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

pemasaran adalah seluruh kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus

penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen untuk memuaskan

kebutuhan konsumen serta untuk mencapai tujuan perusahaan. Uraian di atas

mengandung arti yang dapat dijelaskan berikut ini:

a. Adanya kegiatan manusia

Bahwa kegiatan pemasaran hanya dilakukan oleh manusia tidak seperti kegiatan

konsumsi dan produksi yang dapat dilakukan oleh manusia/hewan.

b. Untuk memperlancar serta menyempurnakan pertukaran yang mengandung:

1) Transaksi yang menunjukkan adanya satu kali pertukaran tanpa adanya

implikasi apa-apa yang menyebabkan adanya hubungan yang lebih lama.

2) Hubungan pertukaran yaitu menunjukkan adanya hubungan dan terus menerus

di dalam pertukaran.

c. Apa yang dipertukarkan

Pertukaran ini bukan hanya menyangkut barang, jasa dan uang tetapi termasuk

juga mengenai perhatian, energi waktu sehingga yang dipertukarkan merupakan

suatu yang mempunyai nilai bagi pembeli.

d. Adanya penjual dan pembeli

Hubungan pertukaran akan selalu disertai dua masalah nilai dan tergantung dari

mana menilainya apakah pemilik atau uang.

14

B. Pengertian Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen (consumer behavior) dapat didefinisikan sebagai kegiatan-

kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan

menggunakan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan

keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut (Handoko dan

Swasta, 2000:10). Pengertian perilaku konsumen ini sering diacukan dengan

pengertian perilaku pembelian (buy behavior). Padahal perilaku pembelian itu

mengandung dua pengertian, yang pertama adalah bila diterapkan pada perilaku

konsumen lebih menunjukkan kegiatankegiatan individu secara langsung terlihat

dalam pertukaran uang dengan barang-barang dan jasa-jasa serta dalam proses

pengambilan keputusan yang menentukan kegiatan pertukaran itu. Pengertian kedua,

mempunyai arti yang lebih khusus yaitu perilaku pelanggan (consumen behavior),

yang sering digunakan sebagai sebutan yang lebih inklusif dibandingkan perilaku

konsumen (Handoko dan Swasta, 2000:11).

Menurut Kotler dan Amstrong (2001:196), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

konsumen adalah:

1. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan paling dalam

terhadap perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan

oleh kultur, sub-kultur, dan kelas sosial pembeli.

a. Kultur adalah faktor penentu paling pokok dari keinginan dan perilaku

seseorang.

15

b. Sub-kultur adalah kelompok orang dengan sistem nilai yang sama

berdasarkan pengalaman dan situasi hidup yang sama.

c. Kelas sosial adalah susunan yang relatif permanen dan teratur dalam suatu

masyarakat yang anggotanya mempunyai nilai, minat dan perilaku yang

sama.

2. Faktor Sosial

Faktor sosial juga dapat mempengaruhi perilaku konsumen seperti, kelompok

kecil, keluarga, peran dan status sosial dari konsumen. Faktor-faktor tersebut

sangat mempengaruhi tanggapan konsumen, oleh karena itu pemasar harus benar-

benar memperhitungkan untuk menyusun strategi pemasaran.

a. Kelompok, terdapat banyak kelompok yang mempengaruhi perilaku

konsumen namun yang paling dominan mempengaruhi seseorang yang

berdampak pada perilaku dan gaya hidup sehingga dapat mempengaruhi

pilihan produk dan merek yang akan dipilih oleh seseorang adalah kelompok

rujukan. Kelompok rujukan adalah kelompok yang merupakan titik

perbandingan atau tatap muka tak langsung adalam pembentukan sikap

seseorang, orang sering dipengaruhi oleh kelompok rujukan di mana ia tidak

menjadi anggotanya.

b. Keluarga, anggota keluarga juga dapat memberikan pengaruh yang kuat

terhadap perilaku pembeli. Sehingga pemasar perlu menentukan bagaimana

interaksi diantara para anggota keluarga dalam mengambil keputusan dan

berapa besar pengaruh dari mareka masing-masing. Oleh karena itu dengan

memahami dinamika pengambilan keputusan dalam suatu keluarga, pemasar

16

dapat dibantu dalam menetapkan strategi pemasaran yang terbaik bagi

anggota keluarga yang tepat.

c. Peran dan Status, posisi seseorang dalam tiap kelompok dapat ditentukan dari

segi peran dan status. Tiap peran membawa status yang mencerminkan

penghargaan umum oleh masyarakat.

3. Faktor Pribadi

Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti

usia dan tahap daur hidup pembeli, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup,

kepribadian dan konsep diri pembeli yang bersangkutan.

a. Usia dan tahap daur ulang

Orang akan mengubah barang dan jasa yang mereka beli sepanjang

kehidupan mereka.

b. Pekerjaan

Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya.

c. Keadaan ekonomi

Keadaan ekonomi sangat mempengaruhi pilihan hidup. Pemasar yang

produknya peka terhadap pendapatan dapat dengan saksama memperhatikan

kecendrungan dalam pendapatan pribadi, tabungan dan tingkat bunga.

d. Hidup

Gaya hidup seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan

yang tercermin dalam kegiatan, minat dan pendapatnya.

e. Kepribadian dan konsep diri

Tiap orang mempunyai kepribadian yang khas dan ini akan mempengaruhi

perilaku pembeliannya. Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologis

17

yang unik yang menimbulkan tanggapan relatif konstan terhadap

lingkungannya sendiri. Kepribadian sangat bermanfaat untuk menganalisis

perilaku konsumen bagi beberapa pilihan produk dan merek.

4. Faktor Psikologis

Pada suatu saat tertentu seseorang mempunyai banyak kebutuhan baik yang

bersifat biogenetik maupun biologis. Namun pilihan pembelian seseorang juga

dipengaruhi oleh faktor psikologis yang utama yaitu motivasi, persepsi, proses

belajar, serta kepercayaan dan sikap.

a. Motivasi

Kebanyakan dari kebutuhan-kebutuhan yang ada tidak cukup kuat untuk

memotivasi seseorang untuk berindak pada suatu saat tertentu. Suatu

kebutuhan akan berubah menjadi motif apabila kebutuhan itu telah mencapai

tingkat tertentu. Motif adalah suatu kebutuhan yang cukup menekan

seseorang untuk mengejar kepuasan.

b. Persepsi

Seseorang yang termotivasi akan sikap bereaksi, bagaimana orang itu

bertindak dan dipengaruhi oleh persepsi mengenai situasi. Dua orang dengan

kondisi motivasi yang sama dan tujuan situasi yang sama mungkin bertindak

secara berbeda karena perbedaan persepsi mereka terhadap situasi tertentu.

c. Proses Belajar

Proses belajar menjelaskan perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul

dari pengalaman dan kebanyakan perilaku manusia adalah hasil proses

belajar.

18

d. Kepercayaan dan sikap

Kepercayaan adalah suatu pemikiran deskriptif yang dimiliki seseorang

tentang sesuatu. Sedangkan sikap adalah organisasi dari motivasi, perasaan

emosional, persepsi, dan proses kognitif kepada suatu aspek.

C. Pengertian Produk

Produk bukan saja hanya berbentuk sesuatu yang berwujud saja, seperti makanan,

pakaian dan sebagainya, akan tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud seperti

pelayanan jasa. Semua diperuntukkan bagi pemuasan kebutuhan dan keinginan (need

and wants) dari konsumen. Konsumen tidak hanya membeli produk sekedar

memuaskan kebutuhan (need) tetapi juga bertujuan memuaskan keinginan (wants).

Produk merupakan elemen yang paling mendasar dari bauran pemasaran (marketing

mix). Dikatakan paling penting karena dengan produklah perusahaan menetapkan

harga yang pantas, menyalurkan produk melalui saluran distribusi mereka dan

mengkomunikasikan produk tersebut dengan suatu bauran komunikasi yang tepat.

Menurut Alma (2007:139) yang dikatakan produk ialah seperangkat atribut baik

berwujud maupun tidak berwujud, termasuk di dalamnya masalah warna, harga, nama

baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer), dan pelayanan pabrik serta

pelayanan pengecer yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya.

Menurut Kotler (2004:432), sebuah produk adalah segala sesuatu yang dapat

ditawarkan kepada sebuah pasar untuk memuasakan sebuah kebutuhan atau

keinginan. Produk yang dipasarkan meliputi yang dapat dilihat atau memiliki bentuk

fisik, seperti barang, orang, tempat, properti, organisasi serta yang tidak dapat dilihat

atau tidak memiliki bentuk fisik seperti jasa, pengalaman, kegiatan, informasi dan

19

gagasan. Adapun menurut Kotler dan Armstrong (2007:139), produk ialah

seperangkat atribut baik berwujud, termasuk di dalamnya masalah warna, harga,

nama baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer) dan pelayanan pabrik

serta pelayanan pengecer yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya.

Berdasarkan definisi di atas maka dapat diartikan bahwa produk adalah sekumpulan

atribut berwujud dan tidak berwujud yang mencakup unsur-unsur kemasan, warna,

harga, kualitas, dan merek serta pelayanan dan reputasi penjual. Suatu produk

mungkin adalah barang berwujud, jasa atau gagasan.

Dalam merencanakan penawaran atau produk, pemasar perlu memahami lima

tingkatan produk. Adapun tingkatan produk menurut Kotler dan Keller (2007:4)

adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Inti (Core Benefit)

Layanan atau manfaat mendasar yang sesungguhnya dibeli pelanggan.

2. Produk Dasar (Basic Product)

Pemasar harus mengubah manfaat inti tersebut menjadi produk dasar.

3. Produk yang Diharapkan (Expected Product)

Beberapa atribut dan kondisi yang biasanya diharapkan pembeli ketika mereka

membeli produk ini.

4. Produk yang Ditingkatkan (Augmented Product)

Pemasar menyiapkan produk yang ditingkatkan yang melampaui harapan

pelanggan.

20

5. Produk Potensial (Potential Product)

Yang meliputi segala kemungkinan peningkatan dan perubahan yang mungkin

adakan dialami produk atau tawaran tersebut pada masa yang akan datang.

D. Pengertian Kualitas Produk

Kualitas produk merupakan fokus utama dalam perusahaan, kualitas merupakan suatu

kebijakan penting dalam meningkatkan daya saing produk yang harus member

kepuasan kepada konsumen yang melebihi atau paling tidak sama dengan kualitas

produk dari pesaing. Menurut Crosby, kualitas produk adalah produk yang sesuai

dengan yang diisyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila

sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan. Adapun menurut Juran kualitas

produk adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan

kepuasan pelanggan. Kemudian menurut Deming, kualitas produk adalah kesesuaian

produk dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus benar-benar

memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas suatu produk yang akan dihasilkan.

Dengan demikian kualitas produk adalah suatu usaha untuk memenuhi atau melebihi

harapan pelanggan, di mana suatu produk tersebut memiliki kualitas yang sesuai

dengan standar kualitas yang telah ditentukan dan kualitas merupakan kondisi yang

selalu berubah karena selera atau harapan konsumen pada suatu produk selalu

berubah (Kotler dan Armstrong, 2007:93).

Menurut Tjiptono, dkk (2008:65-66) Kualitas dari suatu produk akan dipengaruhi

oleh hal-hal sebagai berikut:

21

a) Manusia

Peranan manusia atau karyawan yang bertugas dalam perusahaan akan sangat

mempengaruhi secara langsung terhadap baik buruknya mutu dari produk yang

dihasilkan oleh suatu perusahaan. Maka aspek manusia perlu mendapat perhatian

yang cukup. Perhatian tersebut dengan mengadakan latihan-latihan, member

motivasi, memberian jamsostek, kesejahteraan dan lain-lain.

b) Manajemen

Tanggung jawab atas mutu produk dalam perusahaan dibebankan kepada

beberapa kelompok yang biasa disebut dengan function grup. Dalam hal ini

pemimpin harus melakukan koordinasi yang baik antara function grup dengan

bagian-bagian lainnya dalam perusahaan tersebut.

Dengan adanya koordinasi tersebut maka dapat tercapai suasana kerja yang baik

dan harmonis, serta menghindarkan adanya kekacauan dalam pekerjaan. Keadaan

ini memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan mutu serta meningkatkan

mutu dari produk yang dihasilkan.

c) Uang

Perusahaan harus menyediakan uang yang cukup untuk mempertahankan atau

meningkatkan mutu produksinya. Misalnya: untuk perawatan dan perbaikan

mesin atau peralatan produksi, pebaikan produk yang rusak dan lain-lain.

d) Bahan Baku

Bahan baku merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan akan

mempengaruhi terhadap mutu produk yang dhasilkan suatu perusahaan. Untuk itu

pengendalian mutu bahan baku menjadi hal yang sangat penting dalam hal bahan

22

baku, perusahaan harus memperhatikan beberapa hal antara lain: seleksi sumber

dari bahan baku, pemeriksaan dokumen pembelian, pemeriksaaan penerimaan

bahan baku serta penyimpanan. Hal-hal tersebut harus dilakukan dilakukan

dengan baik sehingga kemungkinan bahan baku yang akan digunakan untuk

proses produksi berkualitas rendah dapat ditekan sekecil mungkin.

e) Mesin dan Peralatan

Mesin serta peralatan yang digunakan dalam proses produksi akan mempengaruhi

terhadap mutu produk yang dihasilkan perusahaan. Peralatan yang kurang

lengkap serta mesin yang sudah kuno dan tidak ekonomis akan menyebabkan

rendahnya mutu dan produk yang dihasilkan, serta tingkat efisiensi yang rendah.

Akibat biaya produksi menjadi tinggi, sedangkan produk yang dihasilkan

kemungkinan tidak akan laku dipasarkan. Hal ini mengakibatkan perusahaan

tidak dapat bersaing dengan perusahaan lain sejenisnya, yang menggunakan

mesin dan peralatan yang otomatis.

Dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan, kualitas memiliki beberapa dimensi

pokok tergantung pada konteksnya. Menurut Tjiptono, dkk (2008:67-68) dalam kasus

pemasaran barang, ada delapan dimensi utama yang biasanya digunakan dalam

kualitas produk sebagai berikut:

1. Kinerja (performance), yaitu karakteristik operasi dasar dari suatu produk.

Misalnya kecepatan pengiriman paket titipan kilat, ketajaman gambar dan warna

sebuah TV serta kebersihan masakan di restoran.

2. Fitur (features), yaitu karakteristik pelengkap khusus yang dapat menambah

pengalaman pemakaian produk, contohnya minuman gratis selama penerbangan

23

pesawat, AC mobil dan koleksi tambahan aneka nada panggilan pada telepon

genggam.

3. Reliabilitas (reliability), yaitu probabilitas terjadinya kegagalan atau kerusakan

produk dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya

kerusakan, semakin andal produk bersangkutan.

4. Konformasi (conformance), yaitu tingkat kesesuaian produk dengan standar yang

telah ditetapkan, misalnya ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan kereta

api, kesesuaian antara ukuran sepatu dengan standar yang berlaku.

5. Daya tahan (durability), yaitu jumlah pemakaian produk sebelum produk tersebut

harus diganti. Semakin besar frekuensi pemakaian normal yang dimungkinkan,

semakin besar pula daya tahan produk.

6. Kemampuan pelayanan (Serviceability), yaitu kecepatan dan kemudahan untuk

direparasi, serta kompetensi dan keramahtamahan staf layanan.

7. Estetika (aesthetis), menyangkut penampilan produk yang dapat dinilai dengan

panca indera (rasa, aroma, suara, bentuk dan sebagainya).

8. Persepsi terhadap kualitas (perceived quality), yaitu kualitas yang dinilai

berdasarkan reputasi penjual.

E. Pengertian Brand Community

Brand community adalah suatu komunitas yang disusun atas dasar kedekatan dengan

suatu produk atau merek. Perkembangan terakhir dalam pemasaran dan penelitian

perilaku konsumen sebagai hasil dari hubungan antara merek, identitas individu dan

budaya. Di antara konsep yang menjelaskan perilaku konsumen dengan suatu merek

tertentu. Istilah “brand community” pertama dikemukakan oleh Muniz & O’Guinn

24

(1995:27) dalam Association for Consumer Research Annual Conference in

Minneapolis. Pada tahun 2001 artikel berjudul “brand community” dipublikasikan

dalam jurnal penelitian konsumen (SSCI), mereka menjelaskan konsep brand

community sebagai “suatu bentuk komunitas yang terspesialisasi, komunitas yang

memiliki ikatan yang tidak berbasis pada ikatan secara geografis, namun lebih

didasarkan pada seperangkat struktur hubungan sosial di antara penggemar merek

tertentu”.

McAlexander, Schouten & Koening (1995:15) mendefinisikan brand community

(komunitas merek) sebagai kelompok sosial yang berbeda yang dipilih secara pribadi

berdasarkan pada persamaan komitmen terhadap kelas produk tertentu, merek dan

aktivitas konsumsi. Lebih lanjut McAlexander, Schouten & Koening (1995:16)

menjelaskan bahwa kata komunitas memiliki beberapa pengertian seperti adanya

lokasi geografis, keanggotaan pada organisasi sosial tertentu dan sekumpulan

individu yang memiliki perasaan bersama dan karakteristik sama. Pendapat ini

menguatkan apa yang dikatakan Muniz & O’Guinn (1995:28) di mana pengertian

komunitas adalah adanya persamaan karakteristik dan adanya lokasi geografis yang

sama dan interaksi sosial dari anggotanya menjadi ciri dari suatu komunitas di mana

yang dimaksud dari suatu komunitas adalah sekelompok orang baik dalam bentuk

geografis, politik atau sosial.

Terpenting disini adalah faktor utama pembentuk komunikasi. Hubungan komunikasi

tersebut tidaklah perlu aktif tetapi paling tidak keberadaannya dapat ditemukan.

Pembahasan mengenai komunitas berjalan seiring dengan konsep mengenai sense of

community yang pertama kali diungkapkan oleh Sarason sebagai adanya persepsi

25

kesamaan dan keyakinan adanya hubungan interdependensi dengan orang lain, serta

adanya keyakinan bahwa dirinya adalah bagian dari sttruktur yang lebih besar.

Sehingga perusahaan mendukung aktivitas ini dengan memberikan dukungan materi

serta memfasilitasi terbentuknya suatu komunitas. Perusahaan berharap dari

penerapan strategi ini, perusahaan memperoleh hubungan jangka panjang (long term

relationship) dengan konsumen yang terwujud dalam loyalitas merek (Berry dan

Parasuraman, 1991:55).

Hubungan antara komunitas dan kebutuhan konsumen menurut Resnick (2001:36-37)

ada beberapa kebutuhan konsumen yang dapat terpenuhi di dalam suatu komunitas,

diantaranya adalah:

a. Informasi

Konsumen diberikan kebebasan untuk membagikan informasi mengenai

pengalaman mereka bersama produk yang mereka miliki, hal ini dapat membantu

konsumen dalam menentukan produk mana yang akan mereka beli. Adanya

review dari anggota yang ahli (expert) memberikan banyak informasi dan

masukan bagi konsumen mengenai bagaimana memaksimalkan penggunaan

produk.

b. Komunikasi

Bukti nyata dari sebuah komunitas adalah adanya suatu komunikasi dari setiap

anggota. Berbagai aktivitas dapat menjadi sangat bernilai bagi konsumen dan

didalam aktivitas tersebut terjalin komunikasi antar konsumen. Komunikasi dapat

menjadi media informasi bagi konsumen untuk mengetahui lebih banyak

mengenai produk.

26

c. Entertainment

Komunitas menyediakan hiburan bagi konsumen yang menjadi anggotanya.

Konsumen dapat menikmati setiap aktivitas hiburan yang disediakan oleh pemilik

komunitas dengan mengikuti berbagai kegiatan dalam komunitas.

d. Productivity

Melalui komunitas, konsumen dapat meningkatkan produktivitas mereka dalam

memberikan masukan dalam kemajuan produk atau perusahaan. Komunitas

menyediakan akses bagi konsumen untuk menyalurkan berbagai macam

informasi yang berguna bagi perusahaan atau pihak lainnya yang berhubungan.

e. Feedback

Konsumen menggunakan fasilitas berbagi informasi di dalam komunitas untuk

memberikan feedback kepada perusahaan mengenai kesukaan atau ketidaksukaan

mereka terhadap produk yang telah dikonsumsi. Selain itu feedback diberikan

dalam bentuk solusi pemecahan masalah serta product improvement.

Definisi brand community diungkapkan oleh Albert M. Muniz dan Thomas O. Guinn

(2001:36) dalam jurnalnya yang berjudul “brand community” adalah “A specialized,

non geographically bound community, based on a structure set of social relation

among admires of a brand”. Kotler (2004:56) menyatakan bahwa, di dalam brand

community terdapat consumer community atau komunitas konsumen yang merupakan

salah satu alat yang penting dalam membangun merek. Consumer community atau

komunitas konsumen yang merupakan salah satu alat yang penting dalam

membangun merek. Consumer community membuat konsumen mencurahkan

perhatiannya kepada merek yang mereka miliki.

27

Dijelaskan kembali oleh Kotler (2004:57) bahwa komunitas merek atau klub merek

dapat terbuka bagi setiap orang yang membeli produk atau jasa. Selain itu dengan

strategi ini perusahaan membangun sebuah ikatan hubungan jangka panjang dengan

konsumen.

Brand community berangkat dari essensinya yaitu merek itu sendiri dan selanjutnya

berfungsi dalam membangun relasi dari setiap angggota yang merupakan pengguna

atau yang tertarik dengan merek tersebut.

Mark Resnick (2001:38) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat beberapa

manfaat dari keberadaan brand community:

a. Bagi konsumen

Bagi konsumen keberadaan brand community memberi banyak keuntungan

diantaranya informasi mengenai jenis produk yang akan mereka beli.

b. Bagi produsen

Salah satu manfaat utama adanya suatu komunitas bagi perusahaan adalah

meningkatnya relasi antara perusahaan dengan konsumen. Peningkatan hubungan

dengan konsumen memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan, yaitu

memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengenal dan mempelajari lebih

jauh karakteristik konsumen (demografi, consumer preference, gaya hidup

konsumen), kebutuhan serta masukan produsen dari konsumen mengenai berbagai

aspek produk atau desain produk. Hal terpenting lainnya adalah keberadaan

komunitas merek (brand community) dapat menciptakan hubungan jangka

panjang dengan konsumen dengan tujuan untuk mempertahankan kesetiaan

konsumen.

28

Muniz dan O’Guinn (2001:39) menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakteristik

dalam brand community, diantaranya yaitu:

a. Online brand community bebas dari batasan ruang dan wilayah.

b. Komunitas dibangun dari produk atau jasa komersial.

c. Merupakan tempat saling berinteraksi di mana setiap anggota memiliki budaya

untuk mendukung dan mendorong anggota lainnya untuk membagikan

pengalaman bersama produk yang mereka miliki.

d. Relatif stabil dan mensyaratkan komitmen yang kuat karena tujuan.

e. Anggota komunitas memiliki identitas dengan level di atas rata-rata konsumen

awam karena mereka mengetahui seluk beluk produk.

Oskar Syahbana (2002:7), menyatakan bahwa komunitas merek adalah strategi

kampanye merek yang melibatkan komunitas dalam pemasarannya. Secara kasat

mata komunitas merek adalah sebuah bentuk strategi pemasaran yang manusiawi

karena pada akhirnya perusahaan terkesan “mendengarkan” apa yang diinginkan oleh

konsumen atau calon konsumen potensial mereka. Bila diteliti lebih seksama,

komunitas merek adalah sebuah proses awal dalam perjalanan untuk lebih mengerti

keinginan pelanggan dan merupakan langkah awal dalam sebuah usaha untuk

mengikat loyalitas konsumen.

Selanjutnya Syahbana (2002:8-9) menjelaskan sifat-sifat utama dari komunitas merek

adalah:

a. Bersifat personal, tapi kedekatan yang terjalin lebih diakibatkan karena pelanggan

menggunakan merek-merek tertentu.

29

b. Komunitas adalah sebuah alat untuk propagansi merek oleh brand owner (pemilik

brand) sehingga sebenarnya keterikatan yang terjalin adalah keterikatan yang

semu.

c. Keterikatan antara pemilik merek dengan pelanggan akan terputus bila ternyata

pelanggan memutuskan untuk menggunakan merek lain.

d. Komunitas merek dibentuk dengan tujuan mengikat loyalitas pelanggan melalui

rasa kepemilikan merek.

Muniz dan O’Guinn (2001:40) menemukan bahwa terdapat tiga tanda penting dalam

komunitas, yaitu:

a. Consciousness of kind (kesadaran bersama)

Elemen terpenting dari komunitas adalah kesadaran masyarakat atas suatu jenis

produk, dan ini jelas terlihat dalam komunitas. Setiap anggota saling berbagi

(share) yang menggambarkan seperti “we-ness”. Setiap anggota merasa bahwa

hubungannya dengan merek itu penting, namun lebih penting lagi, mereka merasa

hubungannya lebih kuat satu sama lain sesama anggota. Anggota merasa bahwa

mereka yang saling mengenal, walaupun mereka tidak pernah bertemu.

Ada beberapa kualitas penting yang tidak mudah diungkapkan secara verbal, yang

membedakan mereka dari yang lain dan membuat mereka serupa satu sama lain.

Demarkasi seperti ini biasanya meliputi referensi merek untuk pengguna yang

“berbeda” atau “khusus” dibandingkan dengan pengguna merek lain. Seperti

mereka memiliki cara untuk menyapa khusus antar anggota atau sebutan khusus

antar anggota.

30

Kesadaran dari jenis yang ditemukan pada komunitas merek tidak terbatas pada

suatu daerah geografis. Hal ini terlihat pada penelitian kolektif tentang komunitas,

serta analisis dalam halaman Web. Komunitas merek digambarkan oleh besarnya

komunitas. Komunitas merek digambarkan oleh besarnya komunitas. Anggota

merasa menjadi bagian dari anggota besar, namun dengan mudah membayangkan

komunitas. Komunitas merek tidak hanya diakui namun juga dirayakan (Muniz

dan O’Guinn, 2001:42).

Menurut Muniz dan O’Guinn (2001:43-44) di dalam indikator conciousness of

kind ini terdapat dua elemen, yaitu:

1) Legitimacy (Legitimasi)

Legitimasi adalah proses di mana anggota komunitas membedakan antara

anggota komunitas dengan yang bukan anggota komunitas, atau memiliki hak

yang berbeda. Dalam konteks ini merek dibuktikan atau ditunjukkan oleh

“yang benar-benar mengetahui merek” dibandingkan dengan “alasan yang

salah” memakai merek. Alasan yang salah biasanya dinyatakan oleh

kegagalan dalam menghargai budaya, sejarah, ritual, tradisi, dan simbol-

simbol komunitas. Komunitas merek secara umum membuka organisasi sosial

yang tidak menolak adanya anggota apapun, namun seperti komunitas pada

umumnya bahwa mereka memiliki status hirarki. Siapapun yang setia kepada

suatu merek bisa menjadi anggota komunitas, tanpa kepemilikan. Namun,

kesetiaan kepada merek harus tulus dan memiliki alasan yang tepat. Yang

membedakan antara anggota komunitas yang benar-benar memiliki

kepercayaan pada merek dan mereka yang hanya kebetulan memiliki produk

31

merek tersebut adalah kepeduliannya terhadap merek tersebut. Namun

legitimasi tidak selalu ada dalam suatu komunitas merek.

2) Opposotional Brand Loyalty (Loyalitas Merek Oposisi)

Komunitas merek oposisi adalah proses sosial yang terlibat selain kesadaran

masyarakat atas suatu jenis produk (Conciousness of kind). Melalui oposisi

dalam kompetisi merek, anggota komunitas merek mendapat aspek

pengalaman yang penting dalam komunitasnya serta komponen penting pada

arti merek tersebut. Ini berfungsi untuk menggambarkan apa yang bukan

merek dan siapakah yang bukan anggota komunitas merek.

b. Rituals and tradition (ritual dan tradisi)

Ritual dan tradisi juga nyata adanya dalam komunitas merek. Ritual dan tradisi

mewakili proses sosial yang penting di mana arti dari komunitas itu adalah

mengembangkan dan menyalurkan dalam komunitas. Beberapa diantaranya

berkembang dan dimengerti oleh seluruh anggota komunitas, sementara yang lain

lebih diterjemahkan dalam asal usulnya dan diaplikasikan. Ritual dan tradisi ini

dipusatkan pada pengalaman dalam menggunakan merek dan berbagi cerita pada

seluruh anggota komunitas. Seluruh komunitas merek bertemu dalam suatu

proyek di mana dalam proyek ini ada beberapa bentuk upacara atau tradisi. Ritual

dan tradisi dalam komunitas merek ini berfungsi untuk mempertahankan tradisi

budaya komunitas. Ritual dan tradisi yang dilakukan diantaranya yaitu:

1) Celebrating The History Of The Brand (Merayakan Sejarah Merek)

Menanamkan sejarah dalam komunitas dan melestarikan budaya adalah

penting. Pentingnya sejarah merek yang juga tampak jelas tertera di halaman

web yang dikhususkan. Adanya konsistensi yang jelas ini adalah suatu hal

32

yang luar biasa. Misalnya adanya perayaan tanggal berdirinya suatu

komunitas merek. Apresiasi dalam sejarah merek seringkali berbeda pada

anggota yang benar-benar menyukai merek dengan yang hanya kebetulan

memiliki merek tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan suatu keahlian, status

keanggotaan, dan komitmen pada komunitas secara keseluruhan. Mitologi

merek ini menguatkan komunitas dan menanamkan nilai perspektif. Status

anggota diperoleh dari migrasi dari marginal ke status komunitas yang

mendalam menambahkan nilai pengalaman dalam menggunakan merek.

2) Sharing Brand Stories (Berbagi Cerita Merek)

Berbagi cerita pengalaman menggunakan produk merek adalah hal yang

penting untuk menciptakan dan menjaga komunitas. Cerita berdasarkan

pengalaman memberi arti khusus antar anggota komunitas, hal ini akan

menimbulkan hubungan kedekatan dan rasa solidaritas antar anggota. Secara

mendasar, komunitas menciptakan dan menceritakan kembali mitos tentang

pengalaman apa yang dialaminya pada komunitas. Berbagi cerita merek

adalah hal yang penting karena proses ini mengukuhkan kesadaran yang baik

antara anggota dan merek yang memberikan kontribusi pada komunitas. Hal

ini juga membantu dalam pembelajaran nilai-nilai umum. Lebih lanjut,

dengan berbagai komentar dengan anggota komunitas lainnya, maka salah

satu anggota akan merasa lebih aman di dalamnya, pemahaman bahwa ada

banyak anggota yang juga merasakan pengalaman yang sama. Ini adalah

keuntungan utama dalam komunitas. Hal ini juga membantu melestarikan

warisan sehingga merek tetap hidup dari budaya dan komunitas mereka.

Dalam semua komunitas, teks dan simbol yang kuat adalah yang mewakili

33

budaya kelompok, tetapi komunitas merek mungkin lebih mengarah pada

pandangan masyarakat kontemporer konsumen. Anggota komunitas merek

berbagi interpretasi strategi dan dengan itu juga mewakili interpretasi

komunitas.

c. Moral responsibiliy (rasa tanggung jawab moral)

Komunitas juga ditandai dengan tanggung jawab moral bersama. Tanggung jawab

moral adalah memiliki rasa tanggung jawab dan berkewajiban secara keseluruhan,

serta kepada setiap anggota komunitas. Rasa tanggung jawab moral ini adalah

hasil kolektif yang dilakukan dan memberikan kontribusi pada rasa kebersamaan

dalam kelompok. Tanggung jawab moral tidak perlu terbatas untuk menghukum

kekerasan, peduli pada hidup. Sisitem moral bisa halus dan kontekstual.

Demikianlah halnya dengan komunitas merek.

Lebih lanjut Muniz dan O’Guinn (2001:42-44) menjelaskan bahwa sejauh ini

tanggung jawab moral hanya terjadi dalam komunitas merek. Hal ini nyata paling

tidak ada dua hal penting dan misi umum tradisional, yaitu:

1) Integrating and retaining members (Integrasi dan Mempertahankan Anggota)

Dalam komunitas tradisional memperhatikan pada kehidupan umum. Perilaku

yang konsisten dianggap sebagai dasar tanggung jawab keanggotaan komunitas.

Untuk memastikan kelangsungan hidup jangka panjang yang diperlukan

untuk mempertahankan anggota lama dan mengintegrasikan baru. Tradisional

masyarakat di sana adalah adanya kesadaran moral sosial. Komunitas yang formal

dan tidak formal mengetahui batas dari apa yang benar dan yang salah, yang tepat

dan yang tidak tepat.

34

Walaupun ada, lebih kurang dari variabilitas yang dijelaskan secara resmi oleh

anggota komunitas, ada rasa di antara anggota masyarakat bahwa adanya

kesadaran sosial dan kontrak. Hal ini juga berlaku dalam komunitas merek.

2) Assisting in the use of the brand (Membantu Dalam Penggunaan Merek)

Tanggung jawab moral meliputi pencarian dan membantu anggota lain dalam

penggunaan merek. Meskipun terbatas dalam cakupan, bantuan ini merupakan

komponen penting dari komunitas. Sebagian besar informan melaporkan telah

membantu orang lain baik yang dikenal maupun tidak. Ini adalah sesuatu yang

mereka lakukan “tanpa berpikir,” hanya bertindak dari rasa tanggung jawab yang

mereka rasakan terhadap anggota komunitas. Salah satu cara ini merupakan

perwujudan dari diri sendiri, bantuan itu sendiri melalui tindakan untuk

membantu sesama anggota komunitas memperbaiki produk atau memecahkan

masalah, khususnya yang melibatkan pengetahuan yang diperoleh melalui

pengalaman beberapa tahun menggunakan merek.

Masing-masing elemen dari komponen-komponen brand community tersebut

selanjutnya merupakan dijadikan sebagai indikator variabel brand community.

Dalam sebuah penelitian tentang komunitas merek oleh Davidson et.al., (2007:55)

menemukan terdapat 5 (lima) karakteristik yang mendorong terbentuknya komunitas

merek, yaitu:

a. Brand Image

Citra merek yang terdefinisi dengan baik akan membentuk komunitas merek.

35

b. Aspek Hedonis

Komunitas merek umumnya lebih pada produk yang kaya akan kualitas daya

ekspresi, pengalaman dan hedonis.

c. Sejarah

Merek yang memiliki sejarah hidup yang panjang akan lebih memungkinkan

terciptanya komunitas merek secara alamiah.

d. Konsumsi publik

Produk-produk yang dikonsumsi secara publik mampu menciptakan komunitas

mereknya. Produk yang dikonsumsi publik akan melahirkan konsumen yang

saling berbagi apresiasi dengan sesamanya, hal ini menjadikan kesempatan untuk

menciptakan komunitas merek lebih tinggi.

e. Persaingan yang tinggi

Tingginya persaingan produk mendorong konsumen setianya untuk bersatu dan

membentuk komunitas terhadap merek yang disukai.

F. Merek

1. Pengertian Merek

Setiap perusahaan untuk menjual produk atau jasa yang dihasilkan selalu membubuhi

tanda lukisan, atau perkataan yang membedakannya dari produk atau jasa sejenis

yang diproduksi oleh perusahaan lain. Salah satu masukan untuk membentuk citra

adalah merek, di mana maksud perusahaan memberikan merek pada mulanya

hanyalah sebagai identitas, dengan merek tersebut perusahaan mengharapkan agar

konsumen mempunyai kesan positif terhadap produk yang dihasilkan. Seorang

36

pemasar yang handal hendaknya memiliki kemampuan dan keahlian untuk

menciptakan, memelihara, melindungi dan meningkatkan merek.

Menurut Kotler (2004:82), merek adalah suatu nama, istilah, tanda, lambang, atau

desain, atau gabungan semua yang diharapkan mengidentifikasi barang atau jasa dari

seorang penjual atau sekelompok penjual, dan diharapkan akan membedakan barang

atau jasa dari produksian-produksian milik pesaing. Menurut David Aaker (Rangkuti,

2007:36) merek adalah nama atau simbol yang bersifat membedakan (seperti logo,

cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang

penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu.

Menurut William J. Stanton (Rangkuti, 2007:36), merek adalah nama, istilah, simbol

atau desain khusus atau beberapa kombinasi unsur-unsur yang dirancang untuk

mengidentifikasi barang atau jasa yang ditawarkan oleh penjual.

Menurut Kotler dan Amstrong (Alma, 2007:147), merek adalah nama, istilah, tanda,

symbol, desain, atau kombinasinya yang bertujuan untuk mengidentifikasi barang

atau jasa yang membedakan suatu produk dengan produk saingannya.

Dengan demikian merek mempunyai dua unsur, yaitu brand name yang terdiri dari

huruf-huruf atau kata-kata yang dapat dibaca, serta brand mark yang berbentuk

simbol, desain, atau warna tertentu yang spesifik. Kedua unsur dari sebuah merek

selain berguna untuk membedakan satu produk pesaingnya juga berguna untuk

mempermudah konsumen untuk mengenali dan mengidentifikasi barang dan jasa

yang hendak dibeli. Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara

konsisten memberikan tampilan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli.

37

Definisi merek dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek

dinyatakan pada Bab I (Ketentuan Umum), Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (5)

bahwa:

1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf, angka-angka,

susunan warna,atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya

pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.

2. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan

oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum

untuk membeadakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

3. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh

seseorang atau beberapa orang atau badan hukum untuk membeadakan dengan

jasa-jasa sejenis lainnya.

4. Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan

karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan

hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis

lainnya.

5. Lisensi adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada seseorang atau

beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakan

merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang

didaftarkan.

Enam tingkatan pengertian merek menurut Rangkuti (2007:36):

1. Atribut : Merek mengingatkan atribut-atribut tertentu.

2. Manfaat : Atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan

emosional.

38

3. Nilai : Merek tersebut mengatakan sesuatu tentang nilai produsennya.

4. Budaya : Merek melambangkan budaya tertentu.

5. Kepribadian : Merek tersebut dapat mencerminkan kepribadian tertentu.

6. Pemakai : Merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang membeli atau

yang menggunakan produk

James Engel et al., (1994:25) mengemukakan bahwa terdapat 6 (enam) tahap evolusi

dari merek sebagai berikut:

1. Tingkat Pertama: Produk Tanpa Merek

Pada tingkatan pertama, barang atau produk diperlakukan sebagai komoditas dan

banyak diantaranya yang tidak bermerek. Pada tingkatan ini biasanya dicirikan

dengan akibat yang ditimbulkan oleh permintaan terhadap penawaran. Produsen

hanya sedikit berupaya untuk memberi merek pada produk sehingga

menghasilkan persepsi konsumen yang mendasarkan diri hanya pada manfaat

produk tersebut.

2. Tingkat Kedua: Merek Sebagai Referensi

Pada tingkatan ini, stimulasi yang disebabkan oleh tekanan persaingan memaksa

produsen untuk membedakan produknya dengan produk yang dihasilkan

produsen lain. Deferensiasi tersebut mencapai perubahan fisik dari atribut produk.

Ingatan konsumen dalam pengenalan produk mulai berkembang dengan lebih

mengenal merek sebagai dasar dalam menilai konsistensi dan kualitas produk.

Konsumen mulai menggunakan basis merek dalam memberikan citra dan

menentukan pilihan mereka. Namun, konsumen masih menilai merek dengan

mengutamakan kegunaan dan nilai produk. Kelompok konsumen utilitarian ini

dideskripsikan oleh Csikszenmihalyi dan Rochberg-Harlton sebagai instrumental,

39

dikarenakan mereka adalah konsumen yang dapat mencapai tujuan yang

sebenarnya dan menikmatinya dalam penggunaan produk sebagai obyek.

3. Tingkat Ketiga: Merek Sebagai Kepribadian

Pada tahapan ini, diferensiasi dalam merek pada atribut fungsional dan rasional

menjadi semakin sulit sejalan dengan banyak produsen yang membuat klaim yang

sama. Oleh karenanya pemasar mulai membuat kepribadian dalam merek yang

mereka pasarkan. Pada dua tingkatan sebelumnya, ada perbedaan antara

konsumen dan merek. Merek adalah obyek dengan jarak tertentu yang dapat

dihilangkan dari konsumen. Tetapi pada tahapan ini kepribadian (personality)

merek dengan konsumen disatukan sehingga nilai suatu merek menjadi

terekspresikan dengan sendirinya.

Konstruksi sosial menjelaskan secara simbolis perilaku alamiah dari merek.

Semua individu terlibat dalam proses transmisi, reproduksi dan transformasi arti

sosial dari obyek. Sebagai konsumen, individu dalam suatu kelompok sosial

menginterpretasikan informasi dari pemasar dalam periklanan dan mereka

menggunakan merek untuk mengirim signal pada konsumen tentang diri mereka

sendiri. Orang lain menginterpretasikan signal tersebut pada bentuk citra dan

sikap pada pemakai merek. Jika pemakai tidak menunjukkan reaksi yang

diinginkan, maka mereka harus mempertanyakan lagi keputusan untuk memilih

merek tersebut. Proses pengkodean arti dan nilai dari merek dan penggunaan

merek secara benar sudah aktif terlibat dalam citra merek pada konsumen.

Produk dan merek digunakan sebagai budaya untuk mengekspresikan dan

menetapkan prinsip-prinsip dan kategori budaya. Individu dapat diklasifikasikan

40

dengan dasar merek. Sebagai contoh, kemewahan dalam mengendari Rolls

Royces dan kurang mewahnya mengendarai Ford. Ketika produk dan merek

menyeberangi batas budaya, kebingungan dapat berakibat pada nilai produk yang

mungkin tidak memiliki nilai setinggi di tempat asalnya.

Dengan demikian, nilai yang dikomunikasikan dengan produk dan merek harus

konsisten dalam kelompok dan budayanya.

4. Tingkat Keempat: Merek Sebagai Icon

Pada tingkat ini merek “dimiliki” oleh konsumen. Konsumen memiliki

pengetahuan yang lebih dalam tentang merek yang mendunia dan

menggunakannya untuk identitas pribadi mereka.

Sebagai contoh, koboi Marlboro yang dikenal di seluruh dunia. Koboi yang

bertabiat keras, lelaki yang melawan rintangan, tapi tidak kasar dan

berpengalaman. Konsumen yang ingin disebut dirinya kuat, keras atau penyendiri

seharusnya merokok Marlboro. Koboi tersebut merupakan simbol atau icon dari

nilai yang terkandung dalam Marlboro. Untuk dapat memasuki pikiran konsumen

dengan baik, icon tersebut harus mempunyai beberapa asosiasi baik primer

(mengenai produk) maupun yang sekunder. Sebagai contoh, sepatu Air Jordan

mempunyai asosiasi primer dengan Michael Jordan dan asosiasi sekunder dengan

Chicago Bulls dan kemenangan.

Semakin banyak asosiasi yang dimiliki merek, semakin besar jaringan dalam

memori konsumen dan semakin dapat disukai. Demikian, manajemen merek

tersebut harus terus-menerus menemukan asosiasi yang memperkuat merek icon

mereka.

41

5. Tingkat Kelima: Merek Sebagai Perusahaan

Tingkatan ini ditandai dengan perubahan ke arah pemasaran postmodern. Disini

merek memiliki identitas yang kompleks dan banyak keterhubungan antara

konsumen dan merek. Karena merek sama dengan perusahaan, semua pemegang

saham harus merasa bahwa merek (perusahaan) berada dalam mode yang sama.

Perusahaan tidak dapat terlalu lama mengenalkan satu citra ke media dan citra

lain kepada pemegang saham dan konsumen. Komunikasi dari perusahaan harus

terintegrasi pada semua operasi. Komunikasi bagaimanapun tidak secara tidak

langsung. Komunikasi mengalir dari konsumen ke perusahaan sebaik dari

perusahaan ke konsumen, maka terjadilah dialog diantara keduanya.

Pada tingkat kelima ini, konsumen menjadi lebih aktif terlibat pada proses kreasi

merek. Mereka ingin berinteraksi dengan produk atau jasa untuk membangun

nilai tambah.

6. Tingkat Keenam: Merek Sebagai Kebijakan

Beberapa perusahaan sekarang telah memasuki tingkat di mana dibedakan dengan

perusahaan lain dikarenakan sebab-sebab etika, sosial dan politik. Contoh paling

utama dari tingkatan ini adalah The Body Shop dan Benetton. Konsumen punya

komitmen dengan perusahaan untuk membantu membangun merek favoritnya

dengan membeli merek tersebut.

Dengan komitmen, mereka mengatakan bahwa mereka memiliki merek tersebut.

Pada tingkat lima dan enam nilai dari merek berubah. Sementara pada tingkat satu

sampai empat nilai merek adalah instrumental karena nilai tersebut membantu

42

konsumen mencapai tujuan sebenarnya. Merek pada tingkat kelima dan enam

memberikan contoh nilai akhir yang diharapkan oleh konsumen.

Menurut Indriyani (2004: 5), pada tingkat ini konsumen memiliki merek, perusahaan

dan kebijakannya. Perusahaan dapat memilih tingkat merek yang mana yang akan

diterapkan, biasanya tingkat ketiga dan keempat yang banyak menjadi sasaran,

sedangkan pada tingkat kelima dan keenam membutuhkan waktu yang cukup lama

dan usaha yang sangat intensif.

Penentuan merek dari suatu produksian yang dipasarkan adalah salah satu teknik

kebijaksanaan produksian yang mendasari strategi pemasaran. Pemberian merek

menurut Indriyani (2004:6), pada suatu produksian dimaksudkan untuk:

a. Sebagai identitas, yang bermanfaat dalam diferensiasi atau membedakan produk

suatu perusahaan dengan produk pesaingnya. Ini akan memudahkan konsumen

untuk mengenalinya saat berbelanja dan saat melakukan pembelian ulang.

b. Alat promosi, yaitu sebagi daya tarik produk.

c. Untuk mengendalikan pasar, memberi motivasi pada saluran distribusi, karena

barang dengan merek terkenal akan cepat laku, dan mudah untuk disalurkan.

d. Untuk membina citra, yaitu dengan memberikan keyakinan, jaminan kualitas,

serta prestise tertentu kepada konsumen.

e. Untuk menjamin mutu barang, dengan adanya merek ini, perusahaan menjamin

bahwa mutu barang yang dikeluarkannya berkualitas baik, sehinnga dalam barang

tersebut juga disebutkan batas waktu penggunaan barang.

Merek sangat berguna dalam mempermudah konsumen untuk mengenali dan

mengidentifikasi barang atau jasa yang hendak dibeli oleh konsumen, dengan

43

demikian merek menurut Indriyani (2004:8) harus mempunyai kriteria sebagai

berikut:

1. Merek harus mudah diucapkan, dikenal, dan diingat.

2. Merek harus menggambarkan sesuatu mengenai manfaat produk dan

pemakaiannya.

3. Merek harus menggambarkan kualitas produk.

4. Merek tidak boleh mengandung arti yang buruk di negara dan dalam bahasa lain.

5. Merek harus khas atau unik.

Merek memegang peranan sebagai alat untuk menciptakan kepuasan pelanggan,

sehingga dengan pemberian merek tersebut, konsumen dapat mencari dan membeli

produk tersebut, karena produk selalu diingat oleh konsumen. Agar sebuah merek

berbeda dengan pesaing-pesaingnya dan mampu menguasai pasar sasaran yang dituju

maka sebuah produksian harus memiliki merek yang kuat. Salah satu peranan merek

adalah menjembatani harapan pada saat produsen menjanjikan sesuatu kepada

konsumen. Dengan demikian dapat diketahui adanya ikatan yang emosional yang

tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek.

2. Strategi Merek (Brand Strategy)

Menurut Kotler (2004:55), ada lima pilihan strategi merek yang dapat digunakan oleh

perusahaan, yaitu:

1. Perluasan lini

Perluasan lini ini dilakukan jika perusahaan memperkenalkan unit produk

tambahan dalam kategori produk yang sama dengan merek yang sama. Contoh:

44

Pantene mengeluarkan shampo untuk rambut rontok, rambut berketombe, rambut

kering, rambut berminyak, dan lain sebagainya.

2. Perluasan merek (Brand Extension)

Yaitu suatu strategi yang dilakukan perusahaan untuk meluncurkan suatu produk

dalam kategori baru dengan menggunakan merek yang sudah ada. Contoh:

Pepsodent mengeluarkan produk mouthwash, permen dan sikat gigi.

3. Multi merek

Adalah suatu strategi perusahaan untuk memperkenalkan merek tambahan dalam

kategori produk yang sama. Sebagai contoh adalah P&G memproduksi sebelas

merek deterjen. Indofood meluncurkan berbagai merek untuk produk mie

instannya.

4. Merek baru

Yaitu strategi perusahaan meluncurkan produk dalam suatu kategori baru, tetapi

perusahaan tidak mungkin menggunakan merek yang sudah ada lalu

menggunakan merek baru. Contoh: Coca Cola memproduksi minuman bersoda

tetapi memiliki rasa buah-buahan diberi merek Fanta.

5. Merek bersama

Yaitu dua atau lebih merek yang terkenal dikombinasikan dalam satu tawaran,

sebagai contoh Aqua-Danone. Perluasan merek (brand extension) didefinisikan

oleh Kotler (2004:58) sebagai penggunaan merek yang sudah ada pada produk

baru di mana produk tersebut memiliki kategori yang berbeda dengan merek yang

digunakannya. Perluasan merek adalah peluncuran suatu produk baru yang

45

memiliki kategori yang berbeda dengan produk yang sudah ada dan produk yang

baru tersebut menggunakan nama produk yang sudah ada.

Aaker (Rangkuti, 2007:39) mengemukakan dalam melakukan perluasan merek

diperlukan strategi yang terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Mengidentifikasikan asosiasi-asosiasi yang terdapat dalam merek tersebut.

2. Mengidentifikasikan produk-produk yang berkaitan dengan asosiasi merek

tersebut.

3. Memiliki calon terbaik dari daftar produk tersebut untuk melakukan uji konsep

dan pengembangan produk baru.

Sedangkan menurut Leif E. Ham et al dalam Fajrianti Zatul Farrah (2005:9 - 10)

faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan strategi perluasan merek adalah:

1. Similarity (kesamaan)

Adalah tingkatan di mana konsumen menganggap bahwa produk hasil perluasan

memiliki persamaan dengan merek asalnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa

semakin besar persamaan antara produk perluasan merek dengan merek asalnya

maka akan semakin besar pula pengaruh yang diterima oleh konsumen baik

positif maupun negatif dari produk hasil perluasan.

Bahkan ada pula penelitian yang menyebutkan bahwa konsumen akan

membangun sikap yang positif terhadap produk hasil perluasan bila konsumen

tersebut menganggap bahwa produk tersebut memiliki kesamaaan dengan merek

asalnya.

46

2. Reputation (reputasi)

Asumsi yang dapat dikemukakan dari penggunaan reputasi adalah, bahwa

merek yang memiliki posisi yang kuat akan memberikan pengaruh yang

besar pada produk hasil perluasannya.

Bahkan telah dilaporkan bahwa merek yang dipersepsi memiliki kualitas yang

tinggi dapat melakukan perluasan produk daripada merek yang memiliki kualitas

yang rendah. Reputasi di sini adalah sejumlah hasil yang diperoleh dari kualitas

suatu produk.

3. Perceived Risk

Adalah konstruk multidimensional yang mengimplikasikan pengetahuan

konsumen secara tidak pasti tentang suatu produk sebelum dilakukan pembelian

didasarkan pada tipe dan tingkatan kerugian dari produk itu setelah dilakukan

pembelian. Perceived risk biasanya dikonseptualisasi dengan konstruk dua

dimensi yaitu ketidakpastian tentang konsekuensi melakukan kesalahan dan

ketidakpastian tentang hasil yang diperoleh.

4. Innovativeness (inovasi)

Adalah aspek kepribadian yang berhubungan dengan penerimaan konsumen

untuk mencoba produk baru atau merek baru. Dan konsumen yang memiliki sifat

innovativeness ini suka melakukan lebih banyak evaluasi pada perluasan merek

terutama dalam hal jasa. Oleh karena itu untuk mengembangkan strategi

perluasan merek ini agar lebih efisien maka pihak perusahaan harus menarik lebih

banyak konsumen yang memiliki sifat innovativeness.

47

G. Pengertian Loyalitas Merek

Loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah

merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang

pelanggan beralih ke merek yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapati

adanya perubahan, baik yang menyangkut harga ataupun atribut lain. Pelanggan yang

loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut meski dihadapkan

banyak alternatif merek pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih

unggul. Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal pada suatu merek, pada saat mereka

melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan karena

keterikatan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada karakteristik produk,

harga, dan kenyaman pemakaiannya serta atribut lain yang ditawarkan oleh merek

lain.

Berbicara mengenai perilaku yang konsisten membutuhkan pemahaman prinsip-

prinsip pembelajaran konsumen, karena teori pembelajaran memfokuskan pada

kondisi yang menghasilkan adanya konsistensi prilaku sepanjang waktu. Penjelasan

tersebut memberikan gambaran bahwa pembelajaran, kebiasaan, dan loyalitas

merupakan konsep yang saling berhubungan. Loyalitas merupakan hasil dari

pembelajaran konsumen pada suatu entitas tertentu (merek, produk, jasa, atau toko)

yang dapat memuaskan kebutuhannya (Arlan, 2006: 66). Sehingga konsep ini

menjadi sangat penting bagi pemasar karena memberikan banyak manfaat bagi

perusahaan, termasuk pembelian berulang dan dapat mengurangi biaya pemasaran.

Loyalitas dapat diartikan sebagai suatu komitmen yang mendalam untuk melakukan

pembelian ulang produk atau jasa yang menjadi prefensinya secara konsisten pada

48

masa yang akan datang dengan cara membeli ulang produk yang sama meskipun ada

pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang dapat menimbulkan perilaku

peralihan (Riana, 2008:187). Adapun menurut Griffin (2005:117) prasyarat untuk

mengembangkan loyalitas diperlukan adanya 2 keterikatan yang dirasakan pelanggan

terhadap produk dan jasa tertentu yaitu pertama tingkat preferensi (seberapa besar

keyakinan) pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu dan yang kedua tingkatan

differensiasi produk yang dipersepsikan, misalnya seberapa signifikan pelanggan

membedakan produk atau jasa tertentu dari alternatif-alternatif lain.

Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu

objek. Menurut Schiffman dan Kanuk (2004:78) loyalitas merek merupakan hasil

yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. Ada

banyak definisi loyalitas merek ditinjau dari berbagai macam sudut pandang. Definisi

yang umum dipakai adalah penjelasan bahwa loyalitas merek merupakan suatu

preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang

sama pada produk yang spesifikasi atau pelayanan tertentu.

Menurut Rangkuti (2007:60), pengertian loyalitas merek adalah ukuran dari kesetiaan

konsumen terhadap suatu merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang

mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang lain, terutama

jika merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun

atribut lain. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan

dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi

dengan merek tersebut. Dengan demikian, brand loyalty merupakan salah satu

49

indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang

berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang.

Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut

walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang

menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut

atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori ini berarti

merek tersebut memiliki brand equity yang kuat.

Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya beberapa

tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan

pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun

tingkatan brand loyalty (Durianto, 2001:28), adalah sebagai berikut:

1. Switcher (Berpindah-pindah)

Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan

yang berada pada tingkat paling dasar. Dengan demikian merek memainkan peran

yang kecil dalam keputusan pembelian. Pada umumnya, jenis konsumen seperti

ini suka berpindah-pindah merek atau disebut tipe konsumen switcher atau price

buyer (konsumen lebih memperhatikan harga di dalam melakukan pembelian).

2. Habitual buyer (Pembeli yang bersifat kebiasaan)

Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan pembeli yang

puas dengan merek produk yang dikonsumsi atau setidaknya mereka tidak

mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Dapat

disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas

kebiasaan mereka selama ini.

50

3. Satisfied buyer (Pembeli yang puas dengan biaya peralihan)

Tingkat ketiga ini berisi orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya

peralihan (switching cost), baik dalam waktu, uang atau risiko sehubungan

dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek lain. Kelompok ini biasanya

disebut dengan konsumen loyal yang merasakan adanya suatu pengorbanan

apabila ia melakukan penggantian ke merek lain.

4. Likes the brand (Menyukai merek)

Pembeli yang masuk dalam kategori ini merupakan pembeli yang sungguh-

sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan

emosional yang terkait pada merek (sahabat merek). Meskipun demikian sering

kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri

dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.

5. Commited buyer (Pembeli yang setia)

Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki

suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut

menjadi sangat penting bagi mereka baik dipandang dari segi fungsinya maupun

sebagai ekspresi mengenai siapa mereka sebenarya. Pada tingkatan ini, salah satu

aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan

mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.

Schiffman dan Kanuk (2004:87) menerangkan bahwa komponen-komponan loyalitas

merek terdiri atas empat macam, yaitu:

a) Kognitif (cognitive) merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh

konsumen. Komponen kognitif ini berisikan persepsi, kepercayaan dan stereotype

51

seorang konsumen mengenai suatu merek. Loyalitas berarti bahwa konsumen

akan setia terhadap semua informasi yang menyangkut harga, segi keistimewaan

merek dan atribut-atribut penting lainnya. Konsumen yang loyal dari segi kognitif

akan mudah dipengaruhi oleh strategi persaingan dari merek-merek lain yang

disampaikan lewat media komunikasi khususnya iklan maupun pengalaman orang

lain yang dikenalnya serta pengalaman pribadinya.

b) Afektif (affective), yaitu komponen yang didasarkan pada perasaan dan komitmen

konsumen terhadap suatu merek. Konsumen memiliki kedekatan emosi terhadap

mrek tersebut. Loyalitas afektif ini merupakan fungsi dari perasaan (affect) dan

sikap konsumen terhadap sebuah merek seperti rasa suka, senang, gemar, dan

kepuasan pada merek tersebut. Konsumen loyal secara afektif dapat bertambah

suka dengan merek-merek pesaing apabila merek-merek pesaing tersebut mampu

menyampaikan pesan melalui asosiasi dan bayangan konsumen yang dapat

mengarahkan mereka kepada rasa tidak puas terhadap merek yang sebelumnya.

c) Konatif (conative), merupakan batas antara dimensi loyalitas sikap dan loyalitas

perilaku yang direpresentasikan melalui kecenderungan perilaku konsumen untuk

menggunakan merek yang sama di kesempatan yang akan datang. Komponen ini

juga berkenaan dengan kecenderungan konsumen untuk membeli merek karena

telah terbentuk komitmen dalam diri mereka untuk tetap mengkonsumsi merek

yang sama. Bahaya-bahaya yang mungkin muncul adalah jika para pemasar

merek pesaing berusaha membujuk konsumen melalui pesan yang menantang

keyakinan mereka akan merek yang telah mereka gunakan sebelumnya.

Umumnya pesan yang dimaksud dapat berupa pembagian kupon berhadiah

maupun promosi yang ditujukan untuk membuat konsumen langsung membeli.

52

d) Tindakan (action), berupa merekomendasikan atau mempromosikan merek

tersebut kepada orang lain. Konsumen yang loyal secara tindakan akan mudah

beralih kepada merek lain jika merek yang selama ini ia konsumsi tidak tersedia

di pasaran. Loyal secara tindakan mengarah kepada tingkah laku mempromosikan

merek tersebut kepada orang lain.

Menurut Simamora (2001:85), loyalitas merek memiliki suatu fungsi sebagai berikut :

1. Mengurangi biaya pemasaran

Suatu basis pelanggan yang mempunyai loyalitas merek bisa mengurangi biaya

pemasaran perusahaan karena biaya untuk mempertahankan pelanggan lama lebih

murah dibandingkan dengan berusaha mendapatkan pelanggan baru. Calon

pelanggan baru biasanya kurang termotivasi untuk beralih dari merek yang

sedang mereka gunakan. Mereka juga tidak berusaha memikirkan alternatif-

alternatif merek. Bahkan ketika alternatif-alteratif itu diperlihatkan, mereka

cenderung memiliki satu alasan yang kuat untuk mengambil resiko membeli atau

menggunakan merek lain. Pelanggan yang sudah ada relatif lebih mudah

dipertahankan apabila mereka merasakan suatu ketidakpuasan. Sesuatu yang

familiar adalah nyaman dan meyakinan. Semakin tinggi loyalitas, semakin mudah

menjaga pelanggan tetap puas. Loyalitas dan sekelompok konsumen merupakan

rintangan besar bagi para kompetitor, karena untuk menang, pelanggan yang

sudah loyal diperlukan sumber daya yang besar agar dapat membujuk para

pelanggan beralih merek.

2. Meningkatkan perdagangan

Loyalitas yang lebih besar memberikan dorongan perdagangan yang lebih besar

karena para pelanggan mengharapkan merek tersebut selalu tersedia. Loyalitas

53

merek juga dapat mendominasi keputusan pemilihan pertokoan dan meyakinkan

pihak pertokoan untuk memajang produk di raknya karena para pelanggan akan

mencantumkan merek tersebut didalam daftar belanja mereka. Peningkatan

perdagangan menjadi penting apabila akan memperkenalkan ukuran baru, jenis

baru, variasi atau perluasan merek.

3. Memikat para pelanggan baru

Suatu basis pelanggan yang puas dan suka pada suatu merek tertentu dapat

menimbulkan keyakinan bagi calon pelanggan khususnya jika pembelian tersebut

agak mengandung resiko. Kelompok pelanggan yang relatif puas akan

memberikan suatu citra bahwa merek tersebut merupakan produk yang diterima

luas, berhasil, beredar di pasaran, dan sanggup memberikan dukungan pelayanan

yang luas dan peningkatan mutu produk. Kesadaran merek juga dapat

dibangkitkan dari kelompok pelanggan. Teman dan kolega para pengguna akan

menjadi sadar akan produk tersebut hanya dengan menyaksikannya. Melihat

sebuah produk digunakan oleh seorang teman akan membangkitkan semacam

kenangan yang berkaitan dengan konteks penggunaan dan pengguna yang sulit

dijangkau oleh iklan manapun. Pengingatan kembali merek pada akhirnya akan

menjadi kuat. Dalam memilih target pasar salah satu pertimbangannya adalah

potensi mereka untuk menciptakan visibilitas dan kesadaran terhadap merek

tersebut. Jadi, loyalitas merek dapat memikat pelanggan baru dengan dua cara:

menciptakan kesadaran merek dan meyakinkan kembali .

4. Memberi waktu untuk menanggapi ancaman-ancaman persaingan

Loyalias merek memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespons

gerakan-gerakan kompetitif. Jika salah satu kompetitor mengembangkan produk

54

yang unggul, seorang pengikut loyal akan memberi waktu pada perusahaan

kepercayaannya untuk memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau

menetralisasikannya. Pelanggan yang puas dan loyal tidak akan mencari produk

baru, dan karenanya tidak akan mengetahui perkembangan produk. Dengan

tingkatan loyalitas merek yang tinggi, sebuah perusahaan bisa dengan lancar

menjalankan strategi susulan yang kurang riskan.

H. Penelitian Terdahulu

Cholilullah Yusuf, 2001 tentang “Pengaruh Brand Community terhadap Loyalitas

Merek Sepeda Motor Yamaha”, Universitas Negeri Semarang.

Merek mempunyai peranan penting dan merupakan aset terbesar bagi

perusahaan,agar mrek produk dapat bertahan lama dalam kondisi pasar yang

semakin kompetitif dan keluar sebagai pemenang dibutuhkan konsumen yang

memiliki loyalitas merek yang tinggi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah

adakah pengaruh faktor-faktor brand community yang terdiri dari legitimasi,

loyalitas merek oposisi, merayakan sejarah merek, berbagi cerita merek, integrasi

dan mempertahankan anggota dan membantu dalam penggunaan merek terhadap

loyalitas merek pada komunitas motor Yamaha Vixion Club Ungaran secara

parsial maupun simultan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh legitimasi, loyalitas merek oposisi, merayakan sejarah merek, berbagi

cerita merek, integrasi dan mempertahankan anggota dan membantu dalam

penggunaan merek terhadap loyalitas merek pada komunitas motor Yamaha

Vixion Club Ungaran secara parsial maupun simultan.

55

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota komunitas Yamaha

vixion club Ungaran. Sampel ditentukan dengan teknik sensus,yaitu semua angota

populasi dijadikan sampel yaitu 72 responden. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah kuesioner dan dokumentasi. Metode analisis yang digunakan

adalah uji instrumen (uji validitas dan uji reliabilitas), analisis deskriptif

persentase, uji asumsi klasik, analisis regresi berganda, koefisien determinasi, dan

pengujian hipotesis menggunakan SPSS 16 for Windows.

Hasil penelitian diperoleh persamaan regresi liner berganda Y= 7,165 +

0,082X1 + 0,083X2 + 0,403X3 + 0,285X4 + 0,116X5 + 0,419X6. Hasil koefisien

determinasi (Adjusted R Square) sebesar 0,171 artinya variabel legitimasi,

loyalitas merek oposisi, merayakan sejarah merek, berbagi cerita merek, integrasi

dan mempertahankan anggota dan membantu dalam penggunaan merek

berpengaruh terhadap loyalitas merek dengan kontribusi 17,1%, serta sisanya

82,9% dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian.

Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh antara legitimasi,

loyalitas merek oposisi, merayakan sejarah merek, berbagi cerita merek, integrasi

dan mempertahankan anggota dan membantu dalam penggunaan merek terhadap

loyalitas merek pada komunitas motor Yamaha Vixion Club Ungaran baik secara

parsial maupun secara simultan. Saran kepada pihak perusahaan harus lebih

optimal dalam menggarap target marketnya, seperti banyak mengadakan eventevent

olahraga, musik atau pendidikan secara berkesinambungan sehingga dapat

meningkatkan loyalitas konsumen, serta lebih peduli dan memperhatikan sektor

komunitas motor Yamaha yang selama ini masih didirikan oleh konsumen.

56

I. Kerangka Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis pengaruh kualitas produk dan brand

community terhadap loyalitas merek pada pengguna Yamaha V-Ixion. Loyalitas

konsumen akan merek sangat dibutuhkan oleh sebuah perusahaan untuk

mempertahankan market share-nya. Hal ini harus dapat dipertahankan oleh Yamaha

yang mereknya sudah melekat di hati masyarakat dengan produk yang berkualitas

bagus, desain yang modern dan memiliki komunitas yang tersebar di tanah air.

Produk yang berkualitas mempunyai peranan penting untuk membentuk kepuasan

pelanggan. Semakin berkualitas produk dan jasa yang diberikan, maka kepuasaan

yang dirasakan oleh pelanggan semakin berkualitas produk dan jasa yang diberikan,

maka kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan semakin tinggi, maka dapat

menimbulkan keuntungan.

Pembentukan komunitas merek yang beranggotakan konsumen dan konsumen

potensial adalah cara yang menjalin hubungan jangka panjang, dengan tujuan

memberikan kepuasan yang nyata dari penyedia produk atau jasa kepada

konsumennya. Dengan cara ini, konsumen yang telah menggunakan produk merek

tertentu dapat memiliki wadah untuk mengkomunikasikan kepuasan maupun

ketidakpuasan mereka, langsung ke perusahaan.

Berikut ini adalah kerangka pemikiran yang menjelaskan dan membantu dalam

menganalisis permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

57

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

J. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis yang diangkat dalam penelitian tesis ini adalah bahwa :

1. Terdapat pengaruh kualitas produk terhadap loyalitas merek pada pengguna

Yamaha V-Ixion.

2. Terdapat pengaruh brand community terhadap loyalitas merek pada pengguna

Yamaha V-Ixion.

3. Terdapat pengaruh kualitas produk dan brand community terhadap loyalitas

merek pada pengguna Yamaha V-Ixion.

1. Kinerja2. Fitur3. Reliabilitas4. Konformasi5. Daya tahan6. Kemampuan pelayanan7. Estetika8. Persepsi terhadap kualitas

(Tjiptono dkk, 2008:67-68)

Kualitas Produk (X1)

Loyalitas Merek (Y)

1. Kognitif

2. Afektif

3. Konatif

(Schiffman dan Kanuk, 2004:87)

1. Kesadaran bersama2. Ritual dan tradisi3. Tanggung jawab moral

(Muniz dan O’Guinn, 2001:40)

Brand Community (X2)