bab ii model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani berbasis
TRANSCRIPT
BAB II
MODEL PEMBELAJARAN KUANTUM PENDIDIKAN JASMANI BERBASIS KOMPETENSI
DI SEKOLAH DASAR
A. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Jasmani
1. Pengertian Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani merupakan salah satu alat yang sangat penting untuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pertumbuhan dan
perkembangan gerak manusia yaitu gerak yang dibutuhkan manusia dalam aktivitas
kesehariannya baik untuk belajar mengenal alam sekitar maupun belajar mengenal
dirinya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam usaha mengatasi dan
menyesuaikan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Pendidikan jasmani juga
merupakan suatu pendidikan yang menggunakan fisik alau tubuh sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan yaitu melalui aktivitas-aktivitas jasmani (Syarifudin dan
Muhadi, 1993:6).
Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan pendidikan yang
mengaktualisasikan seluruh potensi aktivitas manusia berupa sikap, tindak dan karya
yang diberi bentuk, isi dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita
kemanusiaan. Pendidikan jasmani terutama pengalaman gerak memberikan
kontribusi yang dominan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik
secara menyeluruh, sehingga pandangan terhadap kehidupan manusia antara jiwa
dan raga tidak bisa dipisahkan satu sama lain benar-benar dapat dibuktikan.
Pendidikan jasmani adalah proses sosialisasi atau pembudayaan via aktivitas
64
jasmani, bermain dan atau olahraga untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan
jasmani mengandung suasana pergaulan pendidikan melalui aktivitas jasmani atau
pengalaman gerak jasmaniah (Cholik Mutohir dkk., 1998:8). Demikian pula Bûcher
dalam Supandi (1994:30) mengemukakan hal yang sama bahwa pendidikan jasmani
adalah bagian integral dari seluruh proses pendidikan yang bertujuan untuk
perkembangan fisik, mental, emosi, dan sosial melalui aktivitas jasmani yang telah
dipilih untuk mencapai hasilnya
Pendidikan jasmani memberikan tekanan tidak hanya pada asfek psikomotor
dan kognitif semata, akan tetapi menekankan pula pada aspek afektif dan sosial.
Secara realistis memang dapat dimengerti bahwa nilai-nilai pendidikan jasmani yang
menyeluruh pada perkembangan siswa tidak dapat lepas dalam koridor tiga domain
perilaku dominan yaitu kognitif, psikomotor dan afektif. Hal ini sejalan dengan
pandangan Syarifudin (1994:4) bahwa pendidikan jasmani adalah suatu proses
melalui aktivitas jasmani yang dirancang dan disusun secara sistematik untuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan, meningkatkan kemampuan dan
keterampilan jasmani, kecerdasan, dan pembentukan watak serta nilai dan sikap
yang positif bagi setiap warga negara dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Sebagai pembanding pernyataan tersebut dikemukakan oleh Nixon dan Jewett
(1980) dalam Abdoellah dan Manadji (1994:5) mengemukakan bahwa pendidikan
jasmani adalah satu tahap atau aspek dari proses pendidikan keseluruhan yang
berkenaan dengan perkembangan dan penggunaan kemampuan gerak individu yang
dilakukan atas kemauan sendiri serta bermanfaat dan dengan reaksi atau respons
yang terkait langsung dengan mental, emosional, dan sosial.
65
Pernyataan tersebut, menuntut program pendidikan jasmani terutama terdiri
atas lingkungan belajar yang khusus yang bercirikan banyak kondisi dan rangsang
yang dirancang secara khusus pula dengan maksud untuk memberikan kesempatan
terjadinya pengaruh yang baik terhadap jasmani, emosi, sosial, dan intelektual.
Program yang demikian dapat membawa perubahan pada diri siswa kearah yang
diinginkan.
Selaras dengan pernyataan itu, Depdiknas (2003:5-7) mensepakati bahwa
pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara
keseluruhan, yang memfokuskan pengembangan aspek kebugaran jasmani,
keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan
sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani. Dengan demikian
pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas
jasmani dan direncanakan secara sistematik bertujuan untuk meningkatkan individu
secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, sosial dan emosional.
Pandangan di atas memperkuat asumsi bahwa program pendidikan jasmani
khususnya di persekolahan terdiri dari satu lingkungan belajar yang berisikan
berbagai dan beragam kondisi dan rangsang agar memberikan kemungkinan
bereaksi secara jasmaniah, sosial, emosional dan intelektual. Melalui kondisi dan
rangsang anak didik dapat berubah atau dididik ke arah yang diinginkan. Fasilitas
yang tersedia merupakan bagian esensial dari lingkungan khusus pendidikan
jasmani. Unsur esensial lainnya adalah guru pendidikan jasmani, pelatih, instruktur,
program pendidikan jasmani dan perlombaan serta pertandingan. Hasil pendidikan
jasmani yang diperoleh siswa bergantung pada respons dan sikap yang
66
mempengaruhinya, sebab pendidikan jasmani pada hakikatnya kondisi perubahan
dan penyesuaian yang terjadi pada individu sebagai akibat dari pengalaman dalam
mempelajari gerak (Frost, 1975; dalam Abdullah, 1994:6).
Gerak yang dilakukan individu merupakan inti sari dari pendidikan jasmani,
karena itu dalam pendidikan jasmani terdapat tiga faktor yang sangat mendasar
dalam gerak manusia. Pertama, faktor unjuk kerja jasmani, faktor ini sangat
berpengaruh dalam melakukan aktivitas jasmani malahan mendasari semua gerak
seperti kelincahan, kecepatan, kekuatan, daya tahan, keseimbangan, kelentukan, dan
stamina. Faktor kedua adalah aktivitas universal yakni keterampilan fundamental
seperti: lari, lempar, lompat, panjat, dan menggantung. Sedangkan yang ketiga
adalah gerakan khusus yang bertingkat tinggi yang dikuasai dengan latihan dan
pengalaman khusus yakni mencakup aktivitas dalam pendidikan jasmani.
Aktivitas jasmani yang teratur dan berprogram dilaksanakan oleh peserta didik
untuk meningkatkan keterampilan motorik dan dan nilai-nilai fungsional yang
mencakup aspek kognitif, afektif dan sosial. Aktivitas jasmani ini harus dipilih dan
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa agar pesereta didik tumbuh dan
berkembang secara sehat dan harmonis. Kegiatan pendidikan jasmani merupakan
suatu proses pendidikan melalui gerak fisik sebagai alat untuk mencapai sasaran.
Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan dan merupakan alat
pendidikan dengan menggunakan aktivitas otot-otot besar hingga proses pendidikan
yang berlangsung tidak terhambat oleh gangguan kesehatan dan pertumbuhan badan
(Abdulkadir, 1992:4)
J„: C . . 1 » _ , ^ / D 1 ' f 7/Tim
Secara konseptual, misi program pendidikan jasmani adalah pendidikafr^gjjjj^
bersifat menyeluruh, sehingga dipandang bukan saja berkaitan dengan upaya
pengembangan kemampuan jasmaniah semata, tetapi lebih luas dari hal tersebut
mencakup dimensi fisikal, intelektual, mental, sosial, dan emosional. Hal ini sejalan
dengan pendapat Syarifudin (1997:3), Pendidikan jasmani merupakan bagian integral
dari pendidikan keseluruhan melalui berbagai aktivitas jasmani ya bertujuan
mengembangkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan
emosional. Dalam pelaksanaan sehari-hari akan tampak dalam aktivitas gerak siswa
saat melakukan tugas-tugas gerak dalam proses pembelajaran.
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan dan
melaksanakan kegiatan untuk menjamin seluruh perkembangan kualitas fisik dan
moral anak-anak di sekolah dalam menyiapkan kehidupannya, bekerja dan
mempertahankan negaranya. Secara lebih spesifik, pendidikan jasmani akan
meningkatkan kesehatan, perkembangan keterampilan fisik, potensi organ-organ
tubuh, keterampilan gerak fungsional dan menanamkan kualitas moral seperti
nasionalisme, patriotisme, kerjasama, keberanian, ketekunan, dan keyakinan diri.
Intisari pengertian pendidikan jasmani merupakan suatu proses pendidikan
dengan menggunakan gerak sebagai medianya yang dilakukan secara sistematis
untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan motorik, sikap, nilai-nilai
sosial, emosional dan intelektual. Pengertian ini sejalan dengan tujuan pendidikan
jasmani yang pada intinya membina manusia seutuhnya yang meliputi aspek
jasmaniah, intelektual, emosional, sosial, dan mental spritual melalui pemanfaatan
68
gerak yang teratur, terprogram, terkendali dan terarah dengan memperhatikan aspek
manusia.
Setelah tujuan pendidikan jasmani dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer
(1995:27) ada lima tujuan pendidikan jasmani diselenggarakan di sekolah yaitu: Ï)
motor skill and movement competences, artinya kemampuan gerak dan keterampilan
gerakan, 2) health-related physical fitness and wellness, artinya kebugaran jasmani
yang berhubungan dengan kesehatan dan kesejahtraan, 3) human movement
principles, artinya prinsip gerak manusia, 4) social skills and positive self concept,
artinya kemampuan berasosiasi dan perencanaan diri yang positif, dan 5) livetime
participation in aktivity, artinya keikutsertaan beraktivitas selama hidup.
Demikian pula tujuan pendidikan jasmani yang dikemukakan oleh Siedentop
(1990:216) yaitu terdiri dari empat pokok mendasar yakni: 1) physical development
objective, yaitu berkaitan dengan program aktivitas yang dapat mengembangkan
kekuatan fisik individu melalui pengembangan berbagai sistem organ tubuh, 2)
motor development objective, yakni yang berkaitan dalam mengembangkan gerak,
3) mental development objective, yakni yang berkaitan dengan pengetahuan dan
pengembangan berfikir dalam menginterpretasikan pengetahuan tersebut, dan 4)
social development objective, yakni berkaitan dengan membantu individu dalam
memahami personal, kelompok, dan anggota masyarakat lainnya.
Tampak jelas, bahwa kependidikan dalam esensi pendidikan jasmani akan
nampak terwujud penyediaan pengalaman belajar melalui tugas-tugas gerak yang
dilaksanakan oleh peserta didik yang berorientasi secara menyeluruh serta
mempunyai tujuan atau sasaran yang dicapai oleh siswa itu sendiri berdasarkan
69
klasifikasi keterampilan, prinsip dan proses yang mendasari performance
keterampilan tersebut. Apabila tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar
membantu siswa ke arah kedewasaan maka hendaknya program aktivitas bermain
merupakan suatu kebutuhan yang esensial. Aktivitas bermain merupakan kegiatan
pendidikan jasmani di Sekolah Dasar sebab memberikan dampak yang sangat positif
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk perkembangan mental,
emosional, sikap dan spritual, serta intelektual dan keterampilan fisik (multilateral
skill). Rusli Lutan (1997:26) menegaskan bahwa tujuan pendidikan jasmani di
Sekolah Dasar membantu peserta didik agar meningkatkan kemampuan gerak
mereka, disamping agar mereka merasa senang dan mau berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas. Diharapkan apabila mereka memiliki fondasi pengembangan
keterampilan gerak, pemahaman kognitif, dan sikap yang positif terhadap aktivitas
jasmani kelak akan menjadi manusia dewasa yang sehat dan berkepribadian yang
mantap.
Nilai-nilai inti program pendidikan jasmani akan bermakna dalam konteks
pendidikan Sekolah Dasar, jika dapat memberikan pengalaman gerak yang
bermakna kepada siswanya. Ini dapat terwujud bukan saja pengembangan dalam
dimensi jasmaniah yakni kebugaran jasmani siswa akan tetapi juga dalam
pengembangan perubahan sikap sosial siswa. Melalui program pendidikan jasmani
yang teratur, terencana, terarah, dan terbimbing diharapkan dapat dicapai
seperangkat tujuan yang mencakup pembentukan dan pembinaan pertumbuhan dan
perkembangan jasmani maupun rohani. Cakupan tujuan ini terdiri dari pertumbuhan
dan perkembangan jasmani maupun rohani. Cakupan tujuan ini terdiri dari
70
pertumbuhan dan perkembangan unsur jasmani, rohani, sosial, emosional dan
intelektual moral spritual (Cholik Mutohir dan Rusli Lutan, 1997).
Pendidikan jasmani merupakan suatu proses dari pendidikan dengan maksud
untuk mengubah perilaku peserta didik, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Cholik Mutohir dan Rusli Lutan (1997:14) yaitu pendidikan jasmani adalah suatu
proses yang dilakukan secara sadar dan sistematis melalui berbagai kegiatan jasmani
untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani untuk
memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani, kemampuan
dan keterampilan, kecerdasan dan perkembangan watak serta kepribadian yang
harmonis dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas
berdasarkan Pancasila.
Pendidikan jasmani pula merupakan bagian dari keseluruhan yang pada
hakikatnya adalah proses pendidikan yang melibatkan interaksi antara anak didik
dengan lingkungan yang dikelola melalui aktivitas jasmani secara sistematik menuju
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Aktivitas jasmani yang dimaksud
adalah kegiatan anak didik untuk meningkatkan keterampilan motorik dan nilai-nilai
fungsional yang mencakup kognitif, afektif, dan sosial. Melalui aktivitas jasmani
diharapkan anak didik tumbuh dan berkembang menjadi bugar jasmani dengan
perkembangan yang midti lateral. Hubungannya dengan peningkatan prestasi,
pendidikan jasmani berupaya membentuk gerak yang bermanfaat dalam usaha
pembinaan olahraga melalui kegiatan ekstrakurikuler (Cholik Mutohir dan Rusli
Lutan, 1997:13).
71
Fokus utama dari para guru pendidikan jasmani ialah memenuhi tugasnya
dalam membantu siswa untuk melakukan gerak secara efisien, meningkatkan
kualitas penampilan anak didik, mempertinggi kemampuan belajar, dan memelihara
kesehatan anak didiknya. Untuk memenuhi keseluruhan tugas yang ada, maka para
guru pendidikan jasmani menjadikan gerak sebagai kunci utama dalam mencapai
tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar sesuai dengan karakteristik usia siswa
Sekolah Dasar.
Pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum yang
memberikan kontribusi terhadap pengalaman-pengalaman gerak, pertumbuhan dan
perkembangan anak didik secara menyeluruh. Seperti dikemukakan Krool (1982;
dalam Rusli Lutan, 1992:7) menyatakan "Physical education is education through,
and not of the physical", maksudnya pendidikan jasmani adalah pendidikan yang
sifatnya menyeluruh, dan bukan hanya pembentukan fisik saja. Hal yang sama,
Pangrazi dan Dauer (1988) dalam Mahendra (1997:1) menyatakan pendidikan
jasmani dipercaya sebagai suatu aktivitas yang memiliki manfaat dalam
pengembangan sifat-sifat manusia yang unggul seperti: keteguhan, daya juang,
sportivitas, kejujuran, serta kemampuan bekerja sama. Ini merupakan keunggulan
atau nilai lebih yang melekat pada pendidikan jasmani di samping atribut lain dalam
hal mengembangkan aspek-aspek psikomotor dan kognitif siswa. Keyakinan
terhadap nilai lebih ini menjadikan alasan mengapa pendidikan jasmani selalu
menjadi bidang studi wajib bagi siswa Sekolah Dasar sampai tingkat sekolah
menengah, malahan ada beberapa perguruan tinggi mata kuliah pendidikan jasmani
adalah program wajib yang harus ditempuh mahasiswa.
72
Pendidikan jasmani dalam mengembangkan kawasan afektif, baru sampai pada
taraf perumusan ide-ide konseptual tentang permasalahan tersebut Hingga sekarang
manfaat yang dapat diambil dari program pendidikan jasmani dalam kaitannya
dengan penanaman afektif selalu mendapat sorotan tajam karena berbeda ketika
konseptual baik namun taraf operasional berlainan. Ternyata kendala yang dihadapi
bukan bersumber pada kelemahan guru dalam memahami bagaimana pelajaran
pendidikan jasmani dapat diandalkan sebagai alat pendidikan, melainkan lebih
berkaitan dengan masalah-masalah mendasar dari pendidikan nasional yang masih
belum memungkinkan para pendidik mampu menggali aspek-aspek unggulan dalam
proses pendidikan jasmarii.yang mengajarkan pendidikan jasmani yang berisikan
nilai-nilai kependidikan. Lebih khusus lagi ketidakmampuan siswa untuk ikut serta
dalam pendidikan jasmani termasuk penguasaan, bukan saja terkait dengan
kemampuan dasar dan faktor gender, tetapi dipengaruhi oleh atribut yang melekat
seperti faktor etnis dan cacat bawaan termasuk cacat karena sakit atau kecelakaan.
Salah satu unsur yang tidak nampak dalam pembelajaran Penjas adalah unsur
pembangkit motivasi. Masalah pengetahuan dan skill dapat dikatakan lebih mudah
dipahami dan dikaitkan dengan kehidupan. Namun masalah pembiasaan sikap perlu
penajaman lebih lanjut. Unsur pembiasaan sikap ini merupakan kunci kesuksesan
penguasaan knowledge dan skill. Tanpa keinginan yang kuat untuk mencoba belajar
setiap hari, mustahillah pengetahuan dan keterampilan itu akan menyatu dalam diri
seorang pembelajar.
73
2. Tujuan Pendidikan Jasmani
Dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani, guru harus memahami
secara konseptual maupun operasional tentang tujuan pendidikan jasmani di Sekolah
Dasar. Tujuan pendidikan jasmani secara khusus untuk siswa Sekolah Dasar telah
dirumuskan di dalam Kurikulum SD mata pelajaran pendidikan jasmani (Depdiknas,
2003:6-7) sebagai berikut:
a. Meletakan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai
Pendidikan Jasmani.
b. Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial dan
toferansidalam konteks kemajemukan budaya, etnis, dan agama.
c. Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui pelaksanaan tugas-tugas ajar
Pendidikan Jasmani.
d. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama,
percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani.
e. Mengembangkan kemampuan gerak dan keterampilan berbagai macam permainan
dan olahraga.
f. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan
pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas
jasmani.
g. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang
lain.
h. Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk
mencapai kesehatan, kebugaran, dan pola hidup sehat.
74
i. Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif.
Dari rumusan tujuan pendidikan jasmani di atas pada hakikatnya kawasan
pendidikan jasmani mencakup aspek organik, kognitif, neuromuskuler, perseptual,
sosial dan emosional. Akibatnya seorang yang terdidik dalam pendidikan jasmani,
maka ia telah mempelajari berbagai macam keterampilan yang diperlukan dalam
melakukan berbagai aktivitas jasmani, seperti: (1) Bergerak dengan menggunakan
kesadaran tentang tubuhnya, ruang, usaha dan hubungan, (2) Menunjukkan
penguasaan keterampilan dalam berbagai keterampilan manipulatif, lokomotor, dan
nonlokomotor, (3) Memperlihatkan kemampuan keterampilan dalam kombinasi
manipulatif, lokomotor, dan nonlokomotor yang dilakukan secara individual atau
dengan orang lain, (4) Menunjukkan kemampuan dalam berbagai bentuk aktivitas
jasmani (Abdullah, 2003).
Aspek organik berhubungan dengan sistem tubuh menjadi lebih baik sesuai
dengan tuntutan lingkungannya untuk pengembangan keterampilan seperti kekuatan
otot, daya tahan otot dan kardiovaskuler, serta peningkatan fleksibelitas persendian.
Aspek neuromuskuler yang berorientasi pada keharmonisan antara fungsi saraf dan
otot lebih tertuju pada pengembangan keterampilan gerak dasar sebagai wujud
konkrit kebutuhan nyata gerak sehari-hari, seperti mengembangkan keterampilan
lokomotor, nonlokomotor, dan keterampilan dasar manipulatif
Aspek perseptual yang lebih terfokus pada pengembangan yang berkaitan
dengan kemampuan menerima dan membedakan isyarat, tempat dan ruang,
koordinasi gerak visual, dan keseimbangan statis dan dinamis. Pada aspek kognitif
yang memiliki titik sentral pengembangan kemampuan menemukan sesuatu,
75
memahaminya, memperoleh pengetahuan dan pengambilan keputusan. Aspek
kognitif lebih dominan pada garapan memahami peraturan permainan, penggunaan
taktik dan strategi dan pertimbangan mengimplementasikan aktivitas yang
terorganisasi. Sedangkan aspek sosial dalam fungsi pendidikan jasmani seseorang
akan berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan dimana dia
berada. Aspek emosional siswa dalam pendidikan jasmani berusaha
mengembangkan respon positif terhadap aktivitas jasmani lebih kreatif dalam
mengekpresikan diri.
Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan jasmani yang berkualitas memang
diakui tidak mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh guru pendidikan
jasmani, seperti minimnya fasilitas yang berupa sarana dan prasarana pendidikan
jasmani, rendahnya kemampuan guru pendidikan jasmani yang profesional,
rendahnya motivasi siswa, dan kurangnya pembinaan terhadap guru serta kondisi
yang kurang mendukung dalam penyelenggaraan pendidikan jasmani di Sekolah
Dasar.
B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani Berbasis Kompetensi
1. Hubungan Kurikulum dan Pembelajaran
Perbedaan antara kurikulum, pembelajaran, dan hubungannya merupakan
permasalahan yang mengundang orang untuk membahasnya, walaupun para ahli
kurikulum lebih senang menyederhanakan perbedaan definisi kurikulum dan
pembelajaran dengan menggunakan istilah "apa" dan "bagaimana". Kurikulum lebih
menekankan pada"apa" yang diajarkan, sementara pembelajaran lebih menekankan
"bagaimana" mengajarkannya. Karena itu kurikulum lebih banyak berisikan
76
pembahasan tentang yang menyangkut program, perencanaan, isi, dan sejumlah
pengalaman belajar. Sementara pembelajaran lebih dominan berisikan pembahasan
tentang "interaksi" pembelajaran seperti: metode, strategi, gaya mengajar,
pendekatan, implementasi, dan penampilan mengajar.
Oliva Peter F. (1992) melihat hubungan kurikulum dan pembelajaran
berdasarkan empat katagori, yaitu dualistic model, interlocking model, concentric
model, dan cyclical model.
Pada model dualistic, pelaksanaan proses belajar mengajar yang dikendalikan
guru sama sekali tidak berkaitan dengan perencanaan program kurikulum, walaupun
sebenarnya sangat berkaitan. Pembuat kurikulum sengaja mengabaikan para
pengajar, sebaliknya para pengajar mengabaikan kurikulum. Model dualistic ini,
program kurikulum dan proses pembelajaran mungkin berubah tanpa saling
mempengaruhi satu sama lain secara signifikan.
Pada model interlocking, kurikulum dan pembelajaran memiliki posisi yang
sama, keduanya saling mempengaruhi, pemisahan dari keduanya dianggap akan
membahayakan. Keberhasilan pembelajaran dianggap dipengaruhi oleh perencanaan
kurikulum yang baik, sebaliknya perencanaan kurikulum yang baik harus
mempertimbangkan pembelajaran.
Pada model concentric, salah satu dari keduanya merupakan subsistem dari
yang lainnya. Pada model ini satu kubu berpendapat bahwa kurikulum lebih
dominan dan pembelajaran hanya sebagai subordinatnya. Sementara kubu yang lain
mengatakan bahwa pembelajaran lebih dominan dan kurikulum sebagai
subordinatnya.
77
Model cyclical memanfaatkan pentingnya elemen feedback. Kurikulum dan
pembelajaran dipisahkan dalam judul dan lingkupnya namun memanfaatkan
feedback dari keduanya untuk saling memperbaiki. Kurikulum secara terus menerus
mempengaruhi pembelajaran, demikian juga sebaliknya pembelajaran
mempengaruhi kurikulum. Sirkulasi seperti ini terus menerus berlangsung tanpa ada
hentinya untuk saling memberikan feedbak dalam rangka penyempurnaan dari
keduanya.
Model-model hubungan kurikulum dan pembelajaran dipandang secara
berbeda-beda, walaupun diantara model tersebut terdapat beberapa pernyataan yang
banyak disepakati, yaitu 1) kurikulum dan pembelajaran merupakan sesuatu yang
berhubungan namun tetap berbeda, 2) hubungan kurikulum dan pembelajaran saling
memberi kontribusi dan saling mempengaruhi, 3) kurikulum dan pembelajaran dapat
dipelajari dan dianalisis secara terpisah namun tidak bisa berfungsi secara terpisah.
2. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani
Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan, sebab diantara bidang-
bidang pendidikan seperti manajemen pendidikan, psikologi pendidikan, dan
bimbingan siswa, kurikulum merupakan bidang yang langsung menyentuh dan
menentukan terhadap maju mundurnya kualitas pendidikan Secara umum,
kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman
belajar yang disediakan bagi siswa. Konteks kurikulum terintegrasi nilai-nilai,
filsafat, manajemen, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun
oleh para ahli kurikulum, ahli pendidikan, birokrat pendidikan, pengusaha dan unsur
masyarakat lainnya, karena itu diperlukan rancangan kurikulum dengan maksud
78
memberi arah pedoman bagi para pelaku pendidikan, dalam proses pembimbingan
dan perkembangan anak didik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan peserta
didik, keluarga, maupun masyarakat (Sukmadinata, 2002:150)
Dalam pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara desain kurikulum
atau kurikulum tertulis dengan implementasi kurikulum atau kurikulum perbuatan.
Desain kurikulum mencakup seluruh bentuk rancangan dan komponen kurikulum
seperti kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebaran mata pelajaran, silabus,
satuan pelajaran, rancangan pengembangan media, sumber dan evaluasi, tetapi dapat
juga yang berkenaan dengan salah satu bentuk desain misalkan satuan pelajaran atau
silabus.
Implementasi kurikulum berkenaan dengan seluruh kegiatan penerapan
rancangan, seperti kegiatan pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler, penelitian, karyawisata, tugas mandiri, ujian dan
pengabdian pada masyarakat, atau berkenaan dengan salah satu kegiatan saja seperti
kegiatan belajar mengajar. Hal yang lumrah ketika masyarakat memandang
kurikulum dalan arti yang luas yaitu semua komponen rancangan dan implementasi
atau secara sempit struktur kurikulum saja, itupun dibatasi kumpulan mata pelajaran.
Menurut Hamid Hasan (2004:4), terdapat dimensi pengembangan kurikulum
untuk sekolah, yaitu: 1) pengembangan ide dasar untuk kurikulum, 2)
pengembangan program, 3) silabus, 4) satuan pelajaran, 5) pengalaman belajar, dan
6) hasil. Keenam dimensi kurikulum tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga
katagori, yaitu: 1) perencanaan kurikulum, 2) implementasi kurikulum, dan 3)
evaluasi kurikulum. Dimensi pertama, yaitu perencanaan kurikulum berkaitan
dengan pengembangan pokok pikiran atau ide kurikulum yang diambil oleh lembaga1
pendidikan. Sedangkan implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan
kurikulum di lapangan atau lembaga pendidikan terutama yang dilakukan guru.
Evaluasi kurikulum yang berkenaan dengan penilaian apakah kurikulum tersebut
memberikan hasil yang sesuai dengan dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada
masalah lain baik yang berkenaan dengan salah satu dimensi atau keseluruhan
Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang
kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk
menunjukkan kinerja.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum terdiri dari: 1) diagnosis
kebutuhan, 2) perumusan tujuan, 3) pemilihan dan pengorganisasian materi, 4)
pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan 5) pengembangan alat
evaluasi (Susilana, 2003:3-5).
Analisis dan diagnostik kebutuhan dapat dipelajari melalui kebutuhan siswa,
tuntutan masyarakat, tuntutan dunia usaha atau dunia kerja. Sedangkan harapan
pemerintah dapat dianalisis melalui kebijakan khusus bidang pendidikan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pendekatan yang dapat
ditempuh dalam menganalisis kebutuhan, yaitu: survei kebutuhan, studi kompetensi,
dan analisis tugas. Hasil akhir kegiatan analisis dan diagnosis kebutuhan adalah
deskripsi kebutuhan sebagai bahan yang akan dijadikan masukan bagi
pengembangan aspek tujuan sebagai langkah lanjutan dalam pengembangan
kurikulum.
80
Perumusan tujuan dalam pengembangan kurikulum berhirarki, mulai tujuan
paling umum sampai pada tujuan operasional. Jenjang tujuan tersebut meliputi:
tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan
instruksional, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Benyamin
S. Bloom (1964), membagi tujuan menjadi tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan berfikir,
domain afektif berhubungan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap,
minat dan nilai, sedangkan domain psikomotor berkenaan dengan pengembangan
keterampilan motorik.
Materi kurikulum disusun berdasarkan prosedur tertentu yang merupakan
bagian pengembangan kurikulum secara keseluruhan khususnya berkaitan dengan
kegiatan memilih, menilai, dan menentukan jenis bidang studi, pokok-pokok
bahasan, juga ruang lingkup dan urutannya. Tahapan dalam pengembangan materi
kurikulum meliputi: identifikasi kebutuhan, merumuskan misi kurikulum,
menentukan anggaran biaya, membentuk tim, mendapatkan susunan bahan,
menganalisis bahan, menilai bahan, membuat keputusan adopsi, menyebarkan,
mempergunakan, dan memonitor penggunaan bahan.
Memilih dan mengorganisasikan pengalaman belajar dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai pendekatan, strategi, metode dan teknik yang disesuaikan
dengan tujuan dan sifat materi yang diberikan. Pengalaman belajar dapat
diorganisasikan dengan bantuan alat peraga dan media pembelajaran, sedangkan
pengorganisasian pengalaman belajar dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembelajaran yang bervareasi metode, pendekaran, strategi dan teknik.
81
Pengembangan alat evaluasi dimaksudkan untuk menelaah kembali apakah
kegiatan yang telah dilakukan itu sesuai dengan tujuan yang telah dilakukan
Penilaian kurikulum akan terfokus pada dua hal, yaitu kegiatan yang telah
diorganisasikan memungkinkan pencapaian tujuan yang telah dicita-citakan dan
kurikulum yang dikembangkan harus dapat diperbaiki dan bagaimana
memperbaikinya.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi hampir sama
dengan langkah-langkah pengembangan kurikulum secara umum, yaitu: I)
identifikasi kebutuhan, 2) analisis dan pengukuran kebutuhan, 3) penyusunan desain
kurikulum, 4) validasi kurikulum (ujicoba dan penyempurnaan), 5) implementasi
kurikulum, dan f) evaluasi kurikulum (Sukmadinata, 2004:80-86). Sedangkan ahli
pengembangan kurikulum lain seperti Ibrahim (2005:6-8) menjelaskan bahwa
langkah-langkah pengembangan kurikulum sebagai berikut: I) analisis kebutuhan,
2) penyusunan draf naskah kurikulum inti, 3) reviu dan validasi, 4) finalisasi, dan
sosialisasi.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah
dikemukakan para ahli kurikulum tersebut, pada hakikatnya ada kesamaan pendapat,
oleh karena itu paparan berikut peneliti akan mendeskripsikan langkah-langkah
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi berdasarkan kedua pendapat di atas.
1. Identifikasi kebutuhan
Pengembangan kurikulum diawali dengan identifikasi kebutuhan, yaitu
mengidentifikasi tenaga-tenaga terampil atau kompeten yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugas dalam unit-unit pekerjaan yang ada sesuai
82
bidang keahlian dan jumlah personal. Kebutuhan yang semakin dinamis menuntut
berbagai kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Dengan demikian
kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dunia profesi atau
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perkembangan prosedur kerja atau adanya
kemampuan yang baru menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai
oleh anak didik.
2. Analisis dan pengukuran kebutuhan
Suatu pengembangan kurikulum dilakukan di suatu jenjang pendidikan tidak
dilakukan tanpa suatu alasan, mengapa kurikulum itu dikembangkan. Setiap
pengembangan kurikulum mesti ada landasan yang menjadi dasar pertimbangan.
Dasar pertimbangan pengembangan kurikulum berdasarkan kompetensi dipengaruhi
oleh perkembangan masyarakat dan teknologi maka terjadi perubahan yang cukup
drastis dalam pola pekerjaan. Diversifikasi pekerjaan dan tugas-tugas dalam suatu
pekerjaan berimplikasi dengan lahirnya spesialisasi yang menuntut sikap
profesionalisme. Hal ini mengakibatkan keragaman dalam pola tugas-tugas dan
pekerjaan. Oleh karena itu, analisis kebutuhan mutlak diperlukan secara berkala
minimal 5 tahun sekali sebelum perbaikan kurikulum. Analisis kebutuhan dapat
dilakukan melalui kajian literatur, dokumen-dokumen kebijakan, dan pertemuan
dengan pihak-pihak yang berkepentingan temasuk pemakai lulusan, pakar bidang
yang bersangkutan dan wakil dari organisasi profesi.
3. Penyusunan desain kurikulum program studi
Penyusunan desain kurikulum merupakan rangkaian kegiatan dalam
merumuskan tujuan, isi atau bahan, proses atau metode, dan media serta evaluasi
83
hasil pendidikan. Sukmadinata (2004:7), terdapat beberapa langkah dalam
penyusunan desain Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yaitu: 1) merumuskan
tujuan program pendidikan, 2) merumuskan kompetensi, 3) merumuskan metode
pembelajaran dan bahan ajar, 4) menghitung dan menentukan waktu, dan 5)
menentukan struktur kurikulum dan sebaran mata pelajaran.
Kepmendiknas Nomor: 045/U/2002, kurikulum inti suatu program studi
merupakan suatu rancangan program pendidikan yang berisi delapan butir pokok
sebagai berikut: 1) deskripsi program studi, 2) ciri khas kompetensi utama,
perangkat kompetensi yang harus dicapai oleh semua lulusan program studi tersebut
yang diberlakukan secara nasional, 3) subtansi kajian, perangkat bahan kajian yang
esensial dan strategis untuk mendukung pencapaian kompetensi utama, 4) proses
pembelajaran, 5) sistim evaluasi, 6) persyaratan akademik pengajar, 7) fasilitas
utama, dan 8) kelompok pemrakarsa.
Langkah-langkah penyusunan desain kurikulum yang dikemukakan kedua ahli
di atas, pada intinya dapat dirumuskan bahwa pengembangkan KBK dapat disusun
sebagai berikut: 1) merumuskan tujuan kurikulum, 2) merumuskan kompetensi, 3)
menentukan struktur program dan sebaram mata pelajaran, 4) menghitung dan
menentukan waktu, 5) merumuskan metode pembelajaran dan bahan ajar, 6)
merumuskan persyaratan akademik tenaga pengajar, 7) merumuskan sistim evaluasi,
dan 8) menentukan sarana prasarana.
4. Reviu dan validasi kurikulum (ujicoba dan penyempurnaan)
Secara ideal desain kurikulum yang telah disusun tidak langsung digunakan
tetapi terlebih dahulu divalidasikan. Kegiatan validasi dilakukan melalui uji coba
84
minimal pada satu kelas tahun pertama atau beberapa kelas selama masa pendidikan
berlangsung. Selama ujicoba diselenggarakan evaluasi yang intensif dan kontinyu
sebagai pijakan penyempurnaan.
5. Implementasi kurikulum
Kurikulum yang telah disempurnakan tersebut diimplementasikan pada seluruh
kelas selama masa penyelenggaraan pendidikan. Dalam mengimplementasikan
kurikulum ini semaksimal mungkin menyediakan faktor penunjang kurikulum
mencakup personalia seperti tenaga pengajar, staf administrasi, teknisi, laboran,
pustakawan dan pesuruh, prasarana, peralatan pendidikan, media dan sumber
belajar, biaya, manajemen dan iklim pendidikanyang kondusif.
6. Evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum yang telah dikembangkan perlu dilakukan secara
konprehensif dan berkelanjutan, mulai dari identifikasi dan analisis kebutuhan
hingga implementasi kurikulum di lapangan. Evaluasi yang komprehensif dan
berkelanjutan ini dilakukan untuk memperoleh feed back demi perbaikan kurikulum
yang sedang dilaksanakan. Perbaikan yang dilakukan sebagai tindak lanjut kegiatan
evaluasi terhadap bahan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum dalam rangka
pemutahiran. Menurut Ibrahim (2005:12), evaluasi dalam rangka pemutakhiran
kurikulum erat kaitannya dengan dinamika kebutuhan masyarakat maupun
globalisasi ipteks dan dilakukan melalui kajian tentang kesenjangan kurikulum yang
ada dengan perkembangan yang terjadi di lapangan.
Oemar Hamalik (2004:34), evaluasi kurikulum memiliki empat fungsi utama,
yaitu: 1) fungsi edukatif, 2) fungsi diagnostik, 3) fungsi kurikuler, 4) fungsi
i —i f..i , . / D F M T U l f
85
administratif. Fungsi edukatif berarti evaluasi kurikulum berfungsi menyediakan
informasi tentang proses pendidikan yang telah terlaksana melalui prosedur
pelaksanaan kurikulum, dan memberikan informasi menyeluruh tentang
ketercapaian tujuan pendidikan baik tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun
tujuan instruksional. Fungsi kurikuler, berarti evaluasi dapat memberikan gambaran
yang tepat tentang pelaksanaan dan hasil kurikulum. Kebaikan dan kelemahan,
kesulitan dan masalah yang ada, keseluruhannya menjadi umpan balik bagi
perbaikan kurikulum. Fungsi diagnostik, berarti evaluasi kurikulum berfungsi
menyediakan informasi akurat tentang kesulitan yang ditemui pendidik dan masalah
yang dirasakan oleh peserta didik.
Pada masa lampau pendidikan lebih menekankan pada humanistis,
pembentukan pribadi, dan sifat-sifat mental. Konsep seperti ini ternyata tidak dapat
memberikan hasil yang pragmatis yang sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan.
Oleh karena itu dengan nuansa dan hakikat pendidikan yang lebih praktis, yang
mengutamakan pengembangan domain psikomotor siswa maka timbul pendidikan
yang menekankan pada manfaat hasil yang diperoleh untuk kepentingan dunia kerja.
Hakikat pendidikan jasmani berbasis kompetensi secara pragmatis
mengutamakan keterampilan-keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan, baik
secara prosedural maupun mekanisme pekerjaan, kompetisi, di samping kerjasama.
Tujuan pembelajaran diarahkan untuk mendapatkan spesialisasi bidang pekerjaan
yang lebih baik, dapat bekerjasama dengan rekan-rekannya dari berbagai lapisan
masyarakat, disamping itu pula ia mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Kurikulum pendidikan teknologi menekankan kompetensi atau kemampuan-
86
kemampuan praktis. Materi disiplin ilmu atau mata-mata pelajaran yang harus
dikuasai adalah yang mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan. Disini yang
menjadi pengembang kurikulum tidak hanya guru akan tetapi keterlibatan para ahli
yang profesional dihidangnya mutlak diperlukan.
Subandijah (1996:228) mengemukakan karakteristik dasar kurikulum
berdasarkan kompetensi, yang lebih dikenal dengan pendidikan vokasional, yaitu:
orientasi, jastifikasi, fokus, standar keberhasilan di sekolah, standar keberhasilan di
luar sekolah, hubungan sekolah dengan masyarakat, keterlibatan di luar sekolah,
keterlibatan pemerintah daerah, responsiveness, logistik dan biaya.
Secara tradisional, orientasi pendidikan berdasarkan kompetensi adalah
product or graduate orientation. Jadi orientasi program pendidikan berdasarkan
produk, yaitu prestasi siswa di sekolah maupun di luar sekolah. Justifikasi,
kurikulum berdasarkan kompetensi mengacu pada pertimbangan kebutuhan
pekerjaan (occupation). Kebutuhan ini dijabarkan secara jelas ke dalam bentuk
kurikulum. Fokus, pengembangan program pendidikan berdasarkan kompetensi
difokuskan pada pengembangan kompetensi pekerjaan tertentu, baik pengetahuan,
keterampilan, sikap maupun nilai peserta didik. Lingkungan belajar harus ditata
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk lingkungan yang sebenarnya. Standar
keberhasilan sekolah berhubungan erat dengan penampilan yang diharapkan dari
peserta didik dalam suatu pekerjaan dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh guru,
yang sering digunakan sebagai standar pekerjaan. Peserta didik menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan guru dengan baik sesuai dengan perilaku yang
diperankan.
87
Standar keberhasilan di luar sekolah, sebagai acuan keberhasilan pendidikan
berdasarkan kompetensi adalah prestasi kerja peserta didik di lapangan pekerjaan.
Keberhasilan kurikulum pendidikan berdasarkan kompetensi harus dinilai dari
prestasi kerja peserta didik sesuai dengan peranan yang dilakukan dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya. Hubungan sekolah dengan masyarakat
merupakan faktor internal yang akan mempengaruhi keberhasilan sistem
pendidikan. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu sekolah memiliki hubungan
yang erat dengan masyarakat. Pendidikan berdasarkan kompetensi tidak terlepas dari
kehidupan masyarakat.
Keterlibatan pemerintah daerah dalam dunia pendidikan sangat penting
terutama dalam menyediakan sarana dan prasarana untuk kelancaran sistem
pendidikan terutama dalam pengembangan pendidikan ke masa mendatang.
Responsiveness, artinya pendidikan berdasarkan kompetensi tanggap terhadap
berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat sekelilingnya, khususnya perubahan
alih teknologi dan ilmu pengetahuan yang terus berputar setiap saat yang akan
mempengaruhi terhadap efisiensi program pendidikan Logistik seperti sarana dan
prasarana akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan kompetensi. Biaya merupakan variabel yang tidak dapat
dipisahkan dalam program pendidikan berdasarkan kompetensi. Agar
penyelenggaraan pendidikan baik maka alokasi biaya harus ditentukan secara cermat
dan hati-hati. Jika hal itu diabaikan, maka berdampak pada keberhasilan pendidikan.
Perkembangan dunia pendidikan berpengaruh terhadap pengembangan
kurikulum terutama pada praktik kurikulum yakni pembelajaran yang mengharuskan
88
berbasis kompetensi. Mulyasa (2004:17-18) mengatakan bahwa, suatu program
pendidikan dapat dikatakan menggunakan konsep kompetensi, minimal dalam
proses pengembangan kurikulumnya melakukan tahapan-tahapan, sebagai berikut:
(1) Memilih/seleksi kompetensi yang sesuai/tepat (the selection of appropriate competencies);
(2) Spesifikasi indikator-indikator evaluasi yang sesuai untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi;
(3) Mengembangkan sistem pengajaran (the development of functional instructional delivery system).
Langkah awal dalam pengembangan kurikulum adalah memilih atau
menyeleksi kompetensi-kompetensi yang akan dikembangkan agar dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan. Pada bidang apa kompetensi itu berada, dan seberapa tingkat
kedalaman dari kompetensi yang diharapkan. Setelah kedalaman kompetensi
ditetapkan pada tahap awal, selanjutnya diidentifikasi bentuk-bentuk perilaku yang
dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah atau belum memiliki kompetensi.
Jadi perlu disusun spesifikasi indikator-indikator evaluasi yang cocok untuk
menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi.
Pengembangan kurikulum pada tahap berikutnya adalah mengembangkan
sistem pengajaran yang antara lain menetapkan dan menjaga konsistensi dari
kompetensi yang diajarkan dalam kelas tanpa memandang siapa guru yang
mengajarkan mata pelajaran tersebut.
Keterkaitan pernyataan di atas dengan kurikulum 2004 yang sedang
dikembangkan saat ini di sekolah-sekolah lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Sebenarnya dalam dunia pendidikan KB K bukan hal yang baru,
Wardani (2004:1) dan Hamalik (2004:86) dalam dunia pendidikan khususnya
pendidikan guru, istilah Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) atau
89
Performance Based Teacher Education (PBTE) telah disosialisasikan pada akhir
tahun tujuh puluhan.
Secara teoritis pengembangan kurikulum berbasis kompetensi kebanyakan
merujuk pada kompetensi seseorang yang lebih berorientasi pada kemampuan-
kemampuan pekerjaan. Akan tetapi, secara umum pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi menurut Yulaelawati (2004:17) sangat sesuai pula untuk
digunakan dalam pendidikan persekolahan. Dalam Kurikulum 2004 yang menjadi
dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi adalah:
1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam berbagai konteks;
2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi kompeten;
3. Kompetensi merupakan hasil belajar (leaming outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran;
4. Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Depdiknas, 2002).
Kompetensi dalam Kurikulum 2004 merupakan pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan
seseorang menjadi kompeten. Kebiasaan berfikir dan bertindak menurut Spencer dan
Spencer (1993) dalam Yulaelawati (2004:15) meliputi lima tipe kompetensi, yaitu
(1) motif, adalah sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten
atau keinginan untuk melakukan suatu aksi, (2) pembawaan adalah karakteristik
fisik yang merespon secara konsisten berbagai situasi dan informasi, (3) konsep diri,
adalah tingkah laku, nilai atau citraan seseorang, (4) pengetahuan, adalah informasi
90
khusus yang dimiliki seseorang, dan (5) keterampilan, adalah kemampuan untuk
melakukan tugas secara fisik atau mental.
Sejalan dengan pengertian kompetensi tersebut, secara rinci Gordon (1988)
dalam Mulyasa (2002: 38) mengemukakan aspek-aspek kompetensi yang meliputi
(1) pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (understanding), (3) keterampilan
(skills), (4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Kompetensi-
kompetensi yang dikembangkan dalam KBK (Depdiknas, 2002) merupakan
penjabaran dari tujuan pendidikan nasional. Penjabarannya melalui kompetensi
tamatan, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun pelajaran dan
kompetensi dasar setiap mata pelajaran.
Kompetensi tamatan merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-
nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah siswa
menyelesaikan suatu jenjang tertentu. Kompetensi lintas kurikulum adalah
kompetensi yang perlu dicapai melalui rumpun pelajaran dalam kurikulum.
Kompetensi lintas kurikulum merupakan pernyataan tentang pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direalisasikan dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan keterampilan
hidup yang dimiliki. Hasil belajar dari kompetensi lintas kurikulum dicapai melalui
pembelajaran-pembelajaran semua rumpun pelajaran. Kompetensi rumpun pelajaran
merupakan pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai
yang direfleksikan dalam berfikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah
siswa menyelesaikan rumpun pelajaran tertentu. Kompetensi dasar merupakan
pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan
91
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah siswa
menyelesaikan satu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu.
Orientasi pada pengembangan sejumlah kompetensi yang mesti dimiliki oleh
peserta didik, maka KBK memiliki ciri, yaitu: (1) menekankan pada ketercapaian
kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi
pada hasil belajar (leaming outcomes) dan keberagaman; (3) penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif; (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Menurut William Blank (1982:26-35) ada dua belas langkah pengembangan
kurikulum berdasarkan kompetensi yang pada dasarnya dapat dibagi kedalam dua
phase kegiatan yaitu phase pertama adalah kegiatan mengidentifikasi kompetensi
pada bidang okupasi spesifik. Berdasarkan hasil analisis terhadap okupasi tersebut
kemudian selanjutnya dianalisis pula pengetahuan dan keterampilan yang perlu
dimiliki untuk melaksanakan pekerjaan.
Phase kedua adalah phase kegiatan pengembangan kurikulum program
pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang diharapkan tadi. Pada phase ini
langkah-langkah terpisah menjadi beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah
merumuskan objektif performansi terminal terhadap kompetensi yang ditetapkan
dan mengatur urutan. Objektif performansi terminal mana yang harus dikuasai oleh
siswa sebelum mempelajari objek terminal selanjutnya. Kedua, mengembangkan
alat evaluasi (test) berdasarkan pada tujuan pembelajaran yang dibuat sebelum
92
materi pelajaran disusun. Tes tertulis dapat dikembangkan untuk mengukur hasil
belajar yang berkaitan dengan pengetahuan tertulis dan sikap. Tes perbuatan dibuat
apabila siswa dituntut harus mampu melakukan demonstrasi atau peragaan.
Ketiga, pengembangan paket pengajaran yang dimulai dengan draft kemudian
dilakukan uji coba ke lapangan. Hasil uji coba digunakan untuk mengevaluasi
efektivitas paket pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran. Paket
pembelajaran yang telah diuji, kemudian diadakan revisi dan disempurnakan
sebelum dipergunakan. Keempat, menggunakan prosedur untuk mengelola program
pembelajaran, bagaimana implementasinya dan bagaimana pula mengelola
pengadministrasian program pembelajaran. Kelima yaitu mengevaluasi program
yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana program pembelajaran pendidikan
jasmani dilaksanakan dan bagaimana efektivitas dalam mencapai tujuan kompetensi
yang ditetapkan.
C. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Proses pengembangan keterampilan motorik anak melalui pendidikan jasmani,
anak harus dipandang sebagai anak. Maksudnya, pola pembelajaran, materi, sarana
prasarana dan alat evaluasi pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik anak. Fox (1984} menjelaskan bahwa aktivitas gerak anak dapat
dikembangkan mulai dari gerakan yang memerlukan energi rendah sampai gerakan
yang memerlukan energi tinggi. Hal ini mengisyaratkan untuk pengembangan gerak
dasar siswa Sekolah Dasar sebaiknya ditekankan pada peletakan gerak dasar,
kesegaran jasmani dan kesegaran motorik. Anak Sekolah Dasar yang memiliki
rentang usia enam sampai dua belas tahun telah memiliki kemampuan untuk
melakukan berbagai keterampilan gerak dasar, tetapi masih memerlukan faktor
keseimbangan untuk mengendalikan tubuh terhadap ruang dan waktu sesuai dengan
karakter anak tersebut (Corbin, 1979 ; dalam Kiram, 1992). Terdapat dua faktor yang
mempengaruhi keseimbangan, yaitu kekuatan dan daya tahan otot-otot tungkai.
Kekuatan dan daya tahan otot-otot tungkai akan meningkat sesuai dengan usia dan
latihan (Haywood, 1988).
Karakteristik anak merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan (integral)
dalam proses pendidikan jasmani dan olahraga, karena semua komponen yang
diperlukan dalam pendidikan jasmani harus disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembanganya. Karakteristik anak-anak usia enam sampai
dengan dua belas tahun sebagai berikut: (1) pertumbuhan relatif stabil; (2) anggota
badan tumbuh dengan cepat; (3) pada masa pra remaja terjadi beberapa perubahan
pinggul dan bahu baik anak laki-laki maupun perempuan; (4) pada masa pra remaja
terjadi lonjakan lemak, terutama anak laki-laki; (5) perbedaan kecepatan
pertumbuhan lebih banyak terjadi pada akhir periode, seperti percepatan
pertumbuhan pada awal kematangan; (6) keseimbangan berkembang dengan pesat,
(7) pola gerak dasar menjadi lebih terkoordinasi dengan baik; (8) koordinasi mata
tangan meningkat, begitu juga gerak manipulatif; (9) organisasi dan pengendalian
gerak membaik; (10) kekuatan dan daya tahan meningkat; (11) jangkauan atau luas
perhatian menjadi meningkat; (12) memerlukan latihan untuk peningkatan
keterampilan, memperoleh status sosial dan pengembangan daya tahan; (13) jiwa
petualangan sangat dominan; (14) kematangan untuk bersosialisasi meningkat; (15)
rasa ingin tahu dengan menggunakan akal pikiran sehat meningkat; (16) minat
94
terhadap suatu kecakapan dan jiwa petualang tinggi; (17) terjadi beberapa perbedaan
penampilan dan terjadi permusuhan antara jenis kelamin (Espenchade dan Ekert,
1980).
Fakta lapangan menunjukkan bahwa anak-anak Sekolah Dasar mengalami
perkembangan di semua segi, baik dari segi fisik, psikologis maupun sosiologis.
Pada bidang keterampilan motorik anak usia Sekolah Dasar telah memasuki pola
gerak dasar dan untuk menjadi terampil diperlukan latihan. Mereka juga perlu
latihan untuk kematangan sosial dan peningkatan kesegaran jasmani.
Menurut Gallahue (1989) ada empat teori dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak yang relevan dengan tugas gerak anak usia Sekolah Dasar,
yaitu:
1. Teori Freud (1927) mengacu kepada teori pentahapan perkembangan
psikoanalitik di mana perkembangan seseorang anak tercermin dari
perkembangan psikoseksual, dan melalui bagian tersebut anak mencari
pemuasan. Perkembangan tiap tahap menekankan pentingnya aktivitas motorik.
2. Teori Erikson (1963) yang menekankan pada perkembangan anak melalui
delapan tahapan. Pada teori ini tidak menekankan perkembangan motorik secara
eksplisit, namun menekankan bahwa keberhasilan pengalaman gerak merupakan
alat untuk perkembangan seseorang pada setiap tahap yang dilaluinya.
3. Teori Havighurst (1952) yang memahami perkembangan sebagai interaksi antara
faktor biologis, sosial, dan budaya. Faktor inilah yang merupakan faktor
pendorong bagi perkembangan kemampuan anak untuk berfungsi di masyarakat
Teori ini menekankan pentingnya gerak, bermain, dan aktivitas fisik bagi
95
perkembangan, terutama pada masa bayi dan masa anak-anak. Tahapan
perkembangan terdiri dari beberapa periode umur tertentu yaitu masa bayi 0-2
tahun, masa kanak-kanak 2-11 tahun, masa remaja 11-19 tahun, masa dewasa
20-81 tahun.
4. Teori perkembangan ke empat adalah bersumber dari teori kognitif Piaget (1969)
yang menekankan pada tahapan perkembangan kognitif meliputi: tahapan
sensoris motorik usia sejak lahir sampai 2 tahun, tahap praoperasional 2-7 tahun,
tahap operasional konkrit 7 - 1 2 tahun dan operasional formal usia 12 tahun ke
atas.
Keempat teori pertumbuhan dan perkembangan tersebut mengilustrasikan bahwa
perkembangan setiap individu anak mestinya melalui tahapan-tahapan tertentu dan
masing-masing periode memiliki ciri-ciri tertentu dan tahapan sebelumnya akan
mendukung tahapan berikutnya. Perbedaan pada keempat teori (Freud, Erikson,
Havighurst, dan Piaget) hanya penekanan aspeknya, tetapi sepaham dalam
penekanan terhadap gerak, perkembangan motorik dan bermain sebagai alat penting
untuk merangsang fungsi psiko-fisik. Tingkah laku dalam setiap periode
perkembangan tertentu akan berbeda dengan tingkah laku pada periode lain sesuai
dengan ciri-ciri khas kemampuan dalam setiap periode tersebut.
Pada anak usia Sekolah Dasar antara 2-7 tahun adalah masa yang paling
efisien untuk belajar keterampilan gerak dasar seperti gerak melempar, menangkap,
lari, dan melompat (Rink, 1985). Pada fase ini belum disarankan untuk melakukan
keterampilan gerak khusus, sebab anak-anak belum siap baik secara kognitif, afektif
maupun psikomotor. Alangkah lebih baik anak usia Sekolah Dasar ini diberi
96
kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan pengalaman geraknya.
Umumnya anak usia 1-6 tahun (prasekolah) suka bergerak dan bersifat
individualistis, suka ingin menang sendiri, dan dalam bermain suka gaduh. Pada usia
anak antara 6-12 tahun senang bermain dalam situasi lomba dan selalu
menginginkan persetujuan dari orang dewasa mengenai apa yang dilakukannya.
Seorang guru harus memahami tahap-tahap perkembangan anak dan memiliki
sejumlah kecakapan agar mampu menyesuaikan materi dan strategi pembelajaran
sesuai dengan tuntutan mereka. Memahami perkembangan anak didik dan
mengaitkan perkembangan tersebut dengan proses belajar, sehingga metode
pengajarannya dapat dilaksanakan secara efektif. Masa usia Sekolah Dasar adalah
masa sejarah baru dalam kehidupan anak, yang antara lain ditandai dengan
perubahan dalam tingkah lakunya.
Anak Sekolah Dasar merupakan individu yang sedang berkembang dan berada
dalam perubahan fisik serta berpikir ke arah yang lebih baik, ini dapat dilihat dari
banyaknya pertanyaan yang diajukan anak, di samping tingkah laku mereka
meningkat dalam menghadapi lingkungan baik sosial maupun non sosial (Prayttno,
1992). Selanjurnya Nasunon (1992) mengatakan bahwa usia kanak-kanak awal
adalah usia permainan karena sebagian besar waktu anak digunakan untuk bermain.
Kemudian Haywood (1988) menyarankan agar pengembangan gerak anak sebaiknya
ditekankan pada peletakan gerak dasar yang benar secara mekanika.
Secara khusus, pertumbuhan dan perkembangan motorik merupakan fundasi
untuk mengembangkan keterampilan anak sehingga materi dan pola pembelajaran
harus disesuaikan dengan tuntutannya. Karakteristik anak usia delapan sampai
A„; V*iJiantinH/DP C3ITTDT
97
sepuluh tahun sebagai berikut: (1) rata-rata tidak terdapat perbedaan tinggi dan berat
badan antara anak laki-laki dan perempuan; (2) pertumbuhan kepala dan otak mulai
stabil; (3) pertumbuhan jaringan otot dan tulang antara anak perempuan dan laki-laki
relatif tidak berbeda; (4) semua jaringan dalam proses pertumbuhan; (5) setelah usia
sembilan tahun pertumbuhan anak perempuan lebih cepat di banding dengan anak
laki-laki (Corbin, 1979).
Annarino, CowelI dan Hazelton (1980) secara khusus mendeskripsikan
karakteristik anak usia delapan sampai sembilan tahun ditinjau dari segifisiologis,
psikologis, dan sosiologis sebagai berikut: Karakteristik fisiologis adalah sebagai
berikut: (l) koordinasi keterampilan gerak dasar meningkat; (2) daya tahan
bertambah kuat; (3) pertumbuhan mantap; (4) koordinasi mata tangan membaik; (5)
keberadaan postur tubuh (terhadap ruang dan waktu) masih lemah; (6) secara
fisiologis anak perempuan lebih mantap dibanding dengan anak laki-laki; (7) mulai
tumbuh gigi permanen; (8) perbedaan jenis kelamin tidak terpengaruh; (9) sering
mengalami kecelakaan akibat mobilitas yang tinggi. Karakteristik psikologis adalah
sebagai berikut: (1) jangkauan perhatian bertambah; (2) kemampuan rasional
bertambah; (3) imajinatif, menyenangi suara dan gerak ritmik; (4) senang meniru
pujaannya; (5) minat dalam organisasi bertambah, tapi sulit untuk menerima
peraturan bermain yang kompleks; (6) menyenangi ulangan aktivitas; (7) senang
aktivitas yang bersifat kompetitif. Karakteristik sosiologis adalah sebagai berikut:
(1) mudah naik darah dan mudah tersinggung karena dikritik; (2) sesekali senang
membual; (3) senang menggoda dan mendorong satu sama yang lain; (4) kadang-
kadang berpenampilan yang tidak sebenarnya; (5) senang berteman tetapi tidak ada
98
tanda-tanda adanya teman khusus; (6) berkeinginan mengetahui sesuatu yang asing
bagi dirinya; (7) ingin diakui keberadaannya oleh kelompok; (8) menjadi lebih bebas
tetapi memerlukan perlindungan yang lebih dewasa; (9) sering kelihatan bertindak
sembrono, gaduh dan cerewet; (10) menyenangi aktivitas kelompok dibandingkan
individu; (ll)senang berfikir apabila diperlukan; (12) sering menunjukkan
kontradiksi sosial; (13) mengangkat dan mengikuti pemimpin dalam organisasi
kelompok bermain; (14) cenderung membandingkan kemampuan dengan yang lain
dan sering membuat perhatian karena kurang terampil, kegagalan dan
ketidakwibawaan; (15) mulai mengenal kebutuhan; (16) dapat memonitor
permasalahan sosial dan menjaga kelompoknya agar tetap utuh; (17) teman yang
bertindak jahat terkucilkan; (18) secara sederhana ciri seksual mulai nampak.
Sehubungan dengan proses pengembangan keterampilan motorik anak, atas
dasar karakteristik-karakteristik di atas terdapat enam hal yang perlu diperhatikan
oleh guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar:
(1) Pada usia enam sampai dua belas tahun merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat, sehingga belum saatnya untuk belajar gerak
dengan menggunakan beban.
(2) Tahap perkembangan gerak yang dialami anak usia Sekolah Dasar masih tahap
perkembangan gerak mencapai fase gerak dasar.
(3) Rasio anak mulai digunakan untuk memecahkan masalah, oleh karena itu jangan
menanamkan peletakan gerak dasar yang keliru. Apabila terjadi kesalahan
peletakan gerak dasar pada masa anak-anak maka sulit diperbaiki pada masa-
masa berikutnya.
99
(4) Anak-anak suka bermain maka kegiatan individu jangan dulu ditonjolkan,
mereka senang berkelompok, belajar memimpin dan dipimpin. Karena itu
permainan beregu sangat tepat sebagai materi pembelajaran.
(5) Anak-anak suka terhadap hal yang baru dan memiliki sifat kreatif, karena itu
dalam proses pembelajaran sebaiknya memberikan model-model permainan
yang menarik perhatian anak dan sesekali waktu anak-anak diberi kebebasan
untuk bermain guna mengembangkan kreativitasnya.
D. Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar
1. Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar
Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani guru diharapkan mengajarkan
berbagai keterampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan/olahraga,
internalisasi nilai-nilai (sportivitas, kejujuran, kerjasama, disiplin, tanggungjawab)
dan pembiasaan hidup sehat. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran pendidikan
jasmani bukan pengajaran konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis,
namun melibatkan unsur fisik, mental intelektual, emosi dan sosial. Kegiatan yang
diberikan dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik metodik,
sehingga aktivitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran (Depdiknas,
2003).
Mata pelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar mempunyai nilai strategis
untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki peran yang
semakin mantap dalam era globalisasi. Oleh karena itu peran pendidikan jasmani di
Sekolah Dasar perlu dimantapkan agar pembelajaran mempunyai makna bagi siswa
100
seperti halnya dengan kemaknaan dari bidang studi lainnya. Pembelajaran
pendidikan jasmani melalui aktivitas jasmani dapat meningkatkan kesehatan jasmani
termasuk mental akan mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas, sehingga
akan diperoleh sumber daya manusia yang berkompeten untuk menunjang gerak
pembangunan yang dinamis.
Hasil yang diharapkan dari pembelajaran pendidikan jasmani, selain siswa
menguasai aktivitas jasmani yang berupa penguasaan berbagai macam keterampilan
secara otomatis juga dihasilkan kondisi tubuh yang sehat, sehingga memperoleh
tingkat kebugaran jasmani yang prima. Di samping itu pula terjadinya perubahan
perilaku gerak yang dialami peserta didik setelah menempuh program pembelajaran
tertentu.
Pembelajaran pendidikan jasmani hendaknya memiliki makna bagi siswa, oleh
karena itu guru pendidikan jasmani dalam pembelajaran hendaknya dapat diterima
dan dapat diserap siswa. Wujud konkrit pembelajaran pendidikan jasmani menurut
kurikulum 1994 (Depdiknas, 1995) berupa berbagai jenis kegiatan pokok dan
kegiatan pilihan seperti permainan, senam, atletik dan kegiatan pilihan yang meliputi
tenis meja, bulutangkis, renang dan lain-lain. Sedangkan menurut kurikulum 2004
(Depdiknas, 2003) bahwa ruang lingkup materi pelajaran pendidikan jasmani
meliputi permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, uji diri/senam, aktivitas
ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar sekolah (Outdoor Education).
Sejumlah materi kegiatan tersebut di atas ada aktivitas yang menyenangkan
dan ada pula yang tidak menyenangkan. Sehubungan dengan itu, agar materi
pengajaran pendidikan jasmani dapat diserap oleh siswa maka guru hendaknya
101
memiliki strategi untuk menentukan pembelajaran yang efektif dalam menciptakan
atmosfir pembelajaran yang menyenangkan. Atmosfir pembelajaran tidak diartikan
sekedar pengertian suasana pembelajaran dalam arti "lingkungan fisik", tetapi lebih
menekankan pada pengertian "lingkungan non fisik" seperti sosial, emosional, dan
intelektual. Suasana pembelajaran seperti itu yang dibentuk guru selama
pembelajaran berlangsung.
Dalam kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani, guru hendaknya respek
terhadap integritas siswa dan menerima tanggung awab dalam mendidik para siswa
sebagai manusia seutuhnya. Dedikasi pada setiap anak sangat diperlukan karena hal
ini dapat membantu siswa mencapai potensinya secara maksimal, sehingga anak
bertambah bebas melakukan aktivitas jasmaninya, baik jasmani maupun rohaniah.
Materi pembelajaran pendidikan jasmani menurut Siti Nurochmah (1997:1)
terdiri dari berbagai macam keterampilan olahraga yang mempunyai makna
tersendiri, yaitu: 1) memenuhi tuntunan hasrat bergerak, 2) berbagai perwujudan
dari kegiatan rekreatif, 3) pengeluaran tenaga yang berlebihan. Sedangkan tujuan
utama pembelajaran pendidikan jasmani menurut Rachman (1985) dalam Siti
Nurochmah (1997:9) dikatakan bahwa: 1) mencapai perkembangan fisik yang
mencakup perkembangan organik dan keterampilan, 2) perkembangan kecerdasan,
3) membentuk sikap dan gerak tubuh yang baik 4) menambah penguasaan gerak
dasar dan unsur-unsur gerak, 5) menguasai berbagai keterampilan jasmani, 6)
meningkatkan kesegaran jasmani dan 7) memelihara dan meningkatkan derajat
sehat.
102
Atas dasar tujuan pendidikan jasmani itu, tujuan pokok pembelajaran Penjas di
Sekolah Dasar dapat tercapai apabila program pendidikan jasmani dirancang dan
dilaksanakan secara profesional dan didukung pula dengan peralatan dan fasilitas
yang cukup dan alokasi waktu yang memadai diatur dalam kurikulum. Namun
kondisi sekarang ini sekolah dasar di Indonesia amat sulit tujuan dan program yang
dibuat ideal tersebut dapat tercapai.
2. Program Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar
Pada anak usia Sekolah Dasar kemampuan motorik belum sepenuhnya
berkembang secara keseluruhan, karena merupakan masa penyempurnaan
kemampuan gerak dasar periode sebelumnya. Pada masa ini biasanya mereka
memerlukan gerakan-gerakan dasar dari aktivitas jasmani seperti lompat, lempar,
lari, memanjat, berjingkat, menangkap, memukul, dan menendang. Kemampuan
gerak dasar tersebut sudah dikuasainya, walaupun belum nampak sempurna. Karena
itu proses perbaikan perlu dilakukan pada masa usia Sekolah Dasar.
Pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar harus diajarkan dengan
jelas dan ringkas sehingga anak dapat menerima sejumlah informasi yang
disampaikan dengan baik dan mempelajari gerakan-gerakan tersebut secara
langsung dan kontrol gerak penuh kesadarannya (Pangrazi dan Victor, 1995).
Maksudnya anak akan memperoleh manfaat dari kegiatan pembelajaran sesuai
dengan tingkat tahapan perkembangannya dan dengan penjelasan-penjelasan
konkrit. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget (1969) dalam Sukmadinata (2003)
bahwa pada usia praoperasional, yaitu usia antara dua sampai enam tahun seorang
anak mulai berinteraksi dengan lingkungannya dan baru dapat memahami konsep
s i . : v..l.^~,„„fT>v_Kinii>i
103
konsep yang sederhana. Anak menyukai jenis-jenis permainan yang peraturannya
tidak ketat dan sulit dengan menggunakan gerakan tubuhnya yang sederhana dan
ritmis. Oleh karena itu, guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar seyogyanya
mampu merencanakan dan menciptakan berbagai variasi gerak dengan berbagai
ragam sarana dan prasarana dalam lingkungan belajar yang sesuai dengan tingkat
perkembangan keterampilan dan kematangan anak.
Banyak ahli sependapat bahwa bermain merupakan aktivitas jasmani yang
menyenangkan bagi manusia karena dapat memberikan rasa kepuasan tersendiri
bagi si pelakunya. Huizinga (1962) dalam Siedentop (1991) mengatakan bahwa
bermain adalah sebuah kegiatan bebas di luar kesadaran kebiasaan hidup manusia
yang kurang serius, namun pada saat yang bersamaan dapat menyerap permainan
itu. Bermain bukan hanya sebagai dasar untuk hidup, tetapi juga agar hidup dapat
bermakna. Hal-hal yang terkandung di dalamnya adalah keanggunan fisik dan
fikiran yang senang, serta klimaknya adalah saat pikiran dapat menyatu dengan
lingkungan.
Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran pendidikan jasmani, bermain
merupakan salah satu bentuk atau cara pembelajaran yang dapat memberikan situasi
yang menyenangkan, sehingga siswa dapat menguasai beberapa keterampilan
olahraga. Variasi latihan keterampilan lebih penting, ketimbang spesialisasi. Situasi
bermain yang kondusif dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan serta
keterampilan gerak dasar siswa usia Sekolah Dasar. Bentuk permainan yang
berisikan unsur-unsur gerak dasar seperti lompat, lari, lempar, dan jalan dapat
diciptakan oleh guru atau dikemas dalam bentuk permainan. Oleh karena itu,
104
pembelajaran pendidikan jasmani untuk siswa Sekolah Dasar harus kaya akan gerak
beragam serta memberikan tantangan yang selaras dengan tingkat perkembangan
keterampilan anak. Untuk itu guru pendidikan jasmani dituntut kreativitasnya dalam
menyusun program pembelajaran yang berisikan bentuk gerak di mana tantangannya
sesuai dengan tingkat kemampuan anak didik.
Mengacu pada kerangka pembelajaran pendidikan jasmani tersebut, maka
tujuan program pendidikan jasmani seharusnya dapat mengembangkan kemampuan
dan keterampilan anak didik secara menyeluruh baik fisik, mental, maupun
intelektual. Namun demikian realisasinya kualitas pembelajaran pendidikan jasmani
belum efektif sebagaimana tujuan pendidikan jasmani yang antara lain
mengembangkan individu secara organik, neuromuskuler, persuasif, kognitif, sosial,
dan emosional.
Sehubungan dengan tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan jasmani
tersebut, maka beberapa aktivitas yang seringkah diberikan dalam suatu program
pendidikan jasmani adalah aktivitas keterampilan lokomotor, non lokomotor,
manipulatif, atletik, aktivitas senam, aktivitas ritmik, aktivitas air, komponen
kebugaran jasmani, aktivitas sosial, permainan dan keterampilan olahraga
(Kurikulum, 2004).
Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis dan didukung oleh
beberapa data hasil penelitian bahwa pelaksanaan pengelolaan pendidikan jasmani
terutama di Sekolah Dasar masih kurang menggembirakan (Cholik Mutohir, 1996;
Rusli Lutan, 1992; dan Maksum, 1998). Sebagai indikasi adalah rendahnya
partisipasi siswa dalam kegiatan pendidikan jasmani, belum berkualitasnya
\ pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah, kualifikasi tenaga pengajar yariff~"~"~~
sesuai, penggunaan waktu efektivitas belajar masih kurang, minimnya infrastruktur
di sebagian sekolah masih terbatas, dan persepsi masyarakat pendidikan kurang
menguntungkan yang menyebabkan posisi pendidikan jasmani cukup dilematis. Ini
semua berpangkal pada muara belum efektifnya pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah, terutama Sekolah Dasar.
Guru pendidikan jasmani sebaiknya memiliki perhatian yang tinggi terhadap
model pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar yang berorientasi pada
pengayaan pengalaman gerak dasar melalui strategi modifikasi materi, alat-alat dan
sarana lainnya. Semua ini akan dicoba digunakan pada siswa Sekolah Dasar yang
masih tingkat pemula, sehingga kemasan materi pelajaran pendidikan jasmani
beradaptasi terhadap keterampilan gerak yang efisien, efeknya belajar gerak
dilakukan secara bertahap mulai tingkat rendah menuju ke tingkat lebih kompleks.
E. Kriteria Model Pembelajaran (Konseptual)
Model pembelajaran merupakan produk dari teknologi pembelajaran. Tujuan
dari teknologi pembelajaran adalah meningkatkan hasil belajar siswa. Penggunaan
sebuah model pembelajaran itu titik beratnya pada hasil dan menjelaskan bahwa
belajar adalah tujuan, sedangkan pembelajaran adalah alat. Dalam pembelajaran
lebih banyak berisikan pembahasan tentang interaksi pembelajaran termasuk
metode, gaya mengajar, strategi, implementasi, dan penampilan mengajar (Oliva
Peter F. (1992). Bagaimanapun hebatnya suatu model, parameter keberhasilannya
terletak pada hasil belajar siswa.
106
Ada beberapa asumsi penting yang menjadi parameter keberhasilan
menerapkan model pembelajaran (Seels dan Richey, 1994), yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria tujuan
Tujuan merupakan kriteria yang harus dipenuhi dalam pemilihan dan kegiatan
serta pengalaman belajar agar hal ini dapat dicapai secara efektif dan fungsional.
Begitu pula model pembelajaran kuantum Penjas memiliki tujuan selain mencapai
keberhasilan belajar siswa dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap dalam pelajaran Penjas juga bagaimana memberikan situasi dan kondisi saat
belajar yang menyenangkan dengan penuh kegembiraan kepada siswa, sehingga
mereka mengikuti pelajaran Penjas dengan penuh semangat, riang gembira tetapi
penuh bermakna.
Segalanya bertujuan mengandung arti bahwa guru dalam merancang tahapan
pembelajaran berorientasi pada tujuan yang jelas, fleksibel dan efisien baik dalam
proses maupun produk pencapaian keberhasilan pembelajaran. Dalam tahapan
pembelajaran pendidikan jasmani, kegiatan pemanasan bertujuan untuk merangsang
organ tubuh siap melakukan gerak, kegiatan pokok bertujuan mempelajari
keterampilan gerak apa yang harus dimiliki siswa, baik yang sudah dimiliki maupun
keterampilan gerak yang baru, sedangkan kegiatan penutup bertujuan menurunkan
tensi kegiatan pada kondisi awal sebagai persiapan menghadapi kegiatan berikutnya.
Merumuskan tujuan pembelajaran berarti menentukan kemampuan yang harus
dicapai dalam setiap kali pertemuan atau interaksi belajar mengajar. Untuk menilai
seberapa jauh tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka perlu dilakukan penilaian
107
terhadap perilaku siswa pada awal kegiatan belajar dan prosedur pengajaran. Semua
hasil penilaian itu penting dalam memberikan umpan balik bagi proses pengajaran
secara keseluruhan untuk masa berikutnya.
2. Kriteria Relevansi
Model pembelajaran yang tepat harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan
perkembangan masyarakat, karena inti model pembelajaran adalah menyiapkan
siswa untuk berkarya di masyarakat. Dewasa ini masyarakat berkembang sangat
cepat, perubahan-perubahan drastis terjadi setiap saat pada seluruh sektor
kehidupan. Oleh karena itu, agar para lulusan kelak bisa hidup di masyarakat, bisa
berkarya dan bekerja di masyarakat, perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan
profesional yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan dunia kerja.
Kesesuaian bukan hanya dalam keahliannya, tetapi juga dalam mutu atau standar
penguasaan.
Relevansi pembelajaran dengan lingkungan kehidupan peserta didik, relevansi
dengan kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang, dan relevansi dengan
tuntutan dunia kerja baik secara teoritis maupun praktis. Pembelajaran pendidikan
jasmani meliputi komponen penunjang dimana harus ada keterkaitan yang selaras
antara komponen tersebut. Komponen tujuan, bahan pelajaran, metode yang
digunakan, media alat bantu pelajaran, dan penilaian merupakan sebuah sistem yang
berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain kriteria relevansi pada
pengembangan model pembelajaran sama halnya dengan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yaitu prinsip-prinsip relevansi.
108
3. Kriteria Konsistensi (Keajegan)
Keajegan mengandung makna bahwa pembelajaran bagi anak didik
mengandung implikasi yaitu tidak saja memberikan pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan pada saat peserta didik belajar di sekolah akan tetapi memberikan
bekal kecerdasan dan keterampilan untuk dapat menumbuhkembangkan diri sebagai
bekal menghadapi kehidupan di masa mendatang. Begitu pula model pembelajaran
kuantum pendidikan jasmani mengandung arti bahwa apa yang dipelajari,
bagaimana membelajarkan siswa, dan mengapa siswa perlu belajar sesuatu
keterampilan tertentu dalam pendidikan jasmani, karena diprediksi bahwa di masa
mendatang keterampilan tersebut sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kriteria Aplikabel
Aplikabel dalam arti sesuatu yang dapat dilakukan, diterapkan dan digunakan
oleh yang memerlukan. Hal ini berarti bahwa dalam pembelajaran pendidikan
jasmani, guru Penjas diberikan kebebasan untuk mengembangkan model
pembelajaran sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan lingkungannya. Begitu pula
siswa, dapat memilih cara belajar seperti apa yang sesuai dengat minat, bakat, dan
kebutuhan lingkungannya. Model pembelajaran kuantum dalam pendidikan jasmani
memberikan kemudahan bagi guru dan siswa untuk bebas berinovasi,
mengembangkan kreativitas, dan berimprovisasi karena dilaksanakan dalam situasi
yang rileks, menyenangkan, penuh gairah, tanpa beban, rasa optimis dan jauh dari
kejenuhan dalam pembelajaran berbagai keterampilan dalam pendidikan jasmani.
109
5. Kriteria Efektivitas
Pembelajaran mencakup rancangan dan kegiatan pelaksanaan. Bagaimanapun
baiknya rancangan pembelajaran, akan tetapi implementasinya tidak sesuai dengan
apa yang dirancang, maka hasilnya tidak akan baik. Efektivitas model pembelajaran
menunjuk kepada sejauhmana harapan-harapan yang dirancang dalam desain dapat
dilaksanakan dan dicapai. Makin lengkap dan tinggi tingkat pencapaiannya makin
tinggi tingkat implementasinya. Ketercapaian harapan-harapan tersebut sangat
dipengaruhi oleh kesungguhan para guru sebagai pelaksana pembelajaran. Mutu
proses dan hasil belajar siswa tidak hanya ditentukan oleh baiknya desain
pembelajaran, akan tetapi unsur pelaksana dan fasilitas pendukung turut mewarnai
Kriteria efektivitas berkenaan dengan sejauhmana yang direncanakan dapat
dilaksanakan sehingga mencapai sasaran. Dalam pembelajaran biasanya diperlukan
kompetensi guru dalam menyesuaikan dan memilih bahan pelajaran yang sesuai
dengan minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik serta lingkungan. Adanya
kesesuaian suatu program pembelajaran dengan unsur waktu yang tersedia, biaya
yang dibutuhkan dan tenaga yang tersedia. Model pembelajaran kuantum Penjas
bersifat efektif karena hemat dalam biaya dan waktu. Media alat peraga pendidikan
jasmani dapat dimodifikasi dengan menggunakan bahan-bahan yang sederhana,
mudah dan murah, dapat dilakukan dan diusahakan oleh guru dan siswa asalkan
memiliki komitmen dalam pembelajaran Penjas. Sedangkan waktu dalam
pembelajaran, anak didik dapat melakukan baik dalam waktu pelajaran Penjas atau
di luar pelajaran Penjas seperti jam istirahat, kegiatan kokurikuler dan kegiatan
110
ekstrakurikuler. Mereka dapat melakukannya karena alat tersebut mudah diperoleh
dimana saja, sekalipun barang bekas kalau berguna dapat dimanfaatkan.
F. Modet-ModeE Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Model adalah sebuah persamaan atau simulasi di mana konsepnya
berhubungan dengan alat yang telah dikenal atau pengertian dari sistem fasilitas
(Bruce Joice dan Marsha Weil, 1972). Model berguna untuk memecahkan masalah
yang dianggap rumit (Schmidt, 1991). Suriasumantri (1996) menyatakan bahwa
dengan adanya model permasalahan tidak menjadi sukar, malah dapat dipermudah.
Model itu pula dapat dijadikan sebagai teknik untuk membentuk dan membina
perilaku seseorang. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan sebaiknya guru
menggunakan suatu prototipe dari suatu teori atau model. Model merupakan garis
besar atau pokok-pokok yang memerlukan pengembangan yang sangat situasional.
Model pula merupakan gambaran tentang sesuatu, bagaimana hendaknya, dan
bagaimana adanya sesuatu itu. Model dirancang untuk menjelaskan aspek-aspek
suatu persoalan atau ruang lingkup persoalan dan dapat menjelaskan hubungan-
hubungan yang penting (Stephen P. Robbins, 1978; dalam Laurens Seba, 2005).
Model pembelajaran merupakan suatu proses pembelajaran sebagai
pengorganisasian lingkungan yang dapat menggiring siswa berinteraksi dan
mempelajari bagaimana belajar, karena itu setiap siswa memiliki cara belajar
beraneka ragam sesuai dengan perkembangan dan latar belajar sejarahnya. Karena
itu, model belajar yang mereka kembangkan disesuaikan dengan suatu rujukan yang
disebut model belajar. Dengan kata lain mereka mempunyai keyakinan bahwa
I l l
model pembelajaran sebenarnya merupakan cerminan dari model belajar. Bruce
Joice dan Marsha Weil (1972) membagi model belajar menjadi empat rumpun, yaitu
rumpun sosial, proses informasi, personal, dan sistem behavioral.
Model pembelajaran pendidikan jasmani lebih banyak berkembang
berdasarkan orientasi kurikulumnya bahkan nuansa kurikulumnya selalu terbawa-
bawa pada model tersebut. Interaksi pembelajaran termasuk di dalamnya metode,
gaya, strategi dan evaluasinya akan secara otomatis berdaptasi sesuai dengan
rujukan mode! kurikulumnya. Spesifikasi simbolik nama model itu sering diberikan
pada nama pengembangannya, sistimatika isi, dan tujuan, sedangkan kesamaannya
cenderung menggunakan metodologi yang bervariasi dan berorientasi pada siswa.
Agar lebih gamblang akan dipaparkan beberapa model pembelajaran pendidikan
jasmani sebagai berikut:
1. Model Pembelajaran Hellison
Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam
kategori model rekonstruksi sosial adalah model Hellison (1995), yang dikenal
dengan sebutan "Teaching Responsibility Throught Physical Activity". Pembelajaran
pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu
secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization
dan social reconstruction. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini
diberi nama level of affective development. Tujuan model ini adalah untuk
meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility,
self control, involvement, self direction and caring melalui berbagai aktivitas
pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya
112
mengungkapkan beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah
pribadi dan sosial siswa. Namun demikian ia menyadari akan beberapa kritik yang
dilontarkan terhadap modelnya ini misalkan produk sosial dan personal dan model
ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan obyek materi
pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat
umum berlaku bagi mata pelajaran lain.
Model Hellison (1995) ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa
{self-responsibility). Untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah
yang bermasalah dengan kedisiplinan para siswanya. Hellison begitu yakin bahwa
perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi
melalui pendidikan jasmani, namun tidak mungkin terjadi dengan sendirinya.
Perubahan sangat mungkin terjadi manakala pendidikan jasmani direncanakan dan
dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan kualitas yang diinginkan. Potensi ini
diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk
melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah "counter
productive ". Melalui model ini guru Penjas berharap bahwa siswa berpartisipasi dan
menyenangi aktivitas untuk kepentingan sendiri dan bukannya untuk mendapatkan
penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam pendidikan jasmani akan direfleksikan
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini
dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi
(self-responsibility) melalui pembelajaran pendidikan jasmani. Rasa tanggung jawab
pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level
irresponsibility, self-control, involvement, self-responsibility, dan caring.
113
Pada level irresponsibility anak didik tidak mampu bertanggung jawab atas
perilaku yang dibuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan
mengejek, menekan orang lain dan mengganggu orang lain secara fisik.
Pada level self-control anak terlibat aktif belajar tetapi sangat minim sekali.
Anak didik akan melakukan apa-apa yang ditugaskan guru tanpa mengganggu yang
lain. Artinya anak didik nampak melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-
sungguh. Pada level involvement anak didik secara aktif terlibat dalam belajar.
Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar
tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuan.
Pada level self-responsibility anak didik didorong untuk mulai bertanggung
jawab atas belajarnya. Ini berarti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung
oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independent tentang apa
yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini anak didik
sudah mampu membuat permainan dan urutan gerakan bersama-sama temannya
pada kelompok kecil. Biasanya mereka menghabiskan waktu untuk berargumentasi
daripada membuat gerakan bersama-sama.
Pada level caring, anak didik tidak hanya pandai bekerjasama dengan
temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar.
Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan tanpa
disuruh gurunya untuk melakukan itu.
Hellison (1995) dalam Suherman (2005:1-10) mengemukakan terdapat tujuh
strategi pembelajaran yang digunakan Hellison dalam mengjar tanggung jawab
114
pribadi melalui pendidikan jasmani, yaitu: l) penyadaran, 2) tindakan, 3) refleksi, 4)
keputusan pribadi, 5) pertemuan kelompok, 6) konsultasi, dan 7) kualitas mengajar.
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa
tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk
tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi
sendiri mengenai komitmen dan tindakan rasa tanggung jawabnya. Strategi
keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan
siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan keputusan kelompok.
Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa
struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kualitas rasa
tanggung jawab yang dikembangkannya.
Kelebihan dari mode! Hellison ini dapat membantu siswa dalam penegakan
disiplin, berlatih rasa tanggung jawab, menanamkan sikap sosial yang tinggi di
kalangan siswa, dan perkembangan sosial lain yang erat kaitannya dengan aktivitas
pengalaman gerak siswa dalam pendidikan jasmani. Kelebihan lain model ini
bersifat mendasar, menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber.
Model ini menempatkan guru sebagai perencana, pelaksana, dan juga penyempurna
dari pembelajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan di kelasnya,
karena itu dialah yang paling kompeten menyusun program pengajaran.
Kelemahan dari model Hellison ini bahwa produk yang dihasilkan yaitu sikap
sosial dan personal yang mengutamakan rasa tanggungjawab, toleransi, hidup
bersama tidak langsung berhubungan dengan mata pelajaran Penjas, akan tetapi
bersifat umum berlaku pada pelajaran lain
Avi Suh*man/PKS3/VPI
Kriteria model pembelajaran pendidikan jasmani Hellison ditinjau dari aspel
tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel, dan efektivitas sebagai berikut:
Tujuan Relevansi Konsistensi Aplikabel Efektivitas
Membina disiplin Memupuk Nilai-nilai Guru Penjas Kesesuaian dengan siswa, belajar sikap sosial, kePenjasan dapat program, waktu, bertanggung beken asama sikap sosial, menggunakan peralatan, dana jawab, dan antar siswa, tanggung model akan berdampak menanamkan dan jawab, dan pembelajaran meringankan sikap sosial yang bertanggung ken asama akan ini pada setiap pekerjaan guru dan tinggi di jawab sesuai tetap diperlukan menyajikan memudahkan kalangan siswa, dengan nilai- dalam setiap maten aktivitas siswa dan berusaha nilai yang kegiatan pembelajaran tetapi tidak belajar untuk dapat pembelajaran ketika menghilangkan meningkatkan dikembangkan Penjas baik saat memahami karakteristik model kemampuannya dalam' ini maupun betapa belajar tersebut
pembelajaran masa yang akan pentingnya malahan Penjas datang nilai-nilai tsb mengembangkan
bagi siswa kreativitas dan inisiatif
Gambar 2-1
Kriteria Model Pembelajaran Hellison
2. Model Pembelajaran Canter's Asertif
Model ini dikembangkan oleh Canter (1976) dengan maksud untuk
mengembangkan pembinaan disiplin siswa dengan sebutan Canter's Assertive
Discipline. Perbedaan model ini dengan model Hellison terutama terletak pada
motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan disiplin siswa. Model
Hellison lebih menekankan pada motivasi instrinsik yang dilandasi pada suatu
keyakinan bahwa siswa secara alami berkeyakinan untuk melakukan sesuatu yang
baik dan penghargaan ektrinsik adalah counter productive. Sementara itu model
Canter lebih menekankan pada motivasi ektrinsik, seperti penghargaan, pujian
dorongan termasuk konsekuensi.
116
Model Canter didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Semua siswa dapat berprilaku baik.
2. Pengawasan yang ketat atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan
adalah layak untuk diberikan.
3. Harapan atau keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang
sesuai dengan perkembangan seperti peraturan harus diberitahukan kepada siswa
4. Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun
harus mendapat dukungan dari orang tua, guru lain dan kepala sekolah.
5. Tingkah laku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai, sementara
tingkah laku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
6. Konsekuensi logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan
disampaikan kepada siswa.
7. Konsekuensi harus dilaksanakan secara konsisten tanpa bias.
8. Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata
antara guru dan siswa.
9. Guru harus melatih keinginan dan harapan serta konsekuensi secara mental
dengan konsisten kepada siswa.
Kelebihan model Canters Asertif ini adalah penanaman disiplin yang ketat
terhadap siswa dapat betul-betul dipahami oleh semua pihak termasuk guru kelas,
kepala sekolah dan orang tua siswa. Malahan guru Penjas sendiri secara konsisten
akan melakukan hal yang sama dengan memberikan contoh perilaku disiplin kepada
pihak lainnya. Model ini pula akan meningkatkan motivasi belajar siswa karena guru
117
Penjas sering memberikan penguatan berupa pujian, penghargaan dan dorongan
terhadap keberhasilan belajar siswa.
Kekurangan model ini terletak ketika pembinaan disiplin diterapkan berlebihan
di sekolah, harus betul-betul adil dan konsisten sikap yang dimiliki guru Penjas dan
guru lainnya dalam menegakkan disiplin tersebut. Jika terjadi kekurang kompakan
dari unsur masyarakat sekolah tentang penanaman disiplin, maka akan merusak
mental siswa. Belum lagi kesan seakan-akan mempersiapkan siswa agar patuh, taat,
dan menuruti keinginan guru secara berlebihan akan cenderung melatih bukannya
mendidik. Hal lain dalam menggunakan waktu kurang efisien sehingga sulit
mencapai hasil yang optimal, kurang fleksibel atau keluwesan sehingga sukar
menyesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan kebutuhan.
Kriteria model pembelajaran pendidikan jasmani dari Canters Asertif dari segi
tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel, dan efektivitas sbb.:
Tujuan Relevansi Konsistensi Aplikabel Efektivitas
Selain membina Memupuk sikap NdJat-rrilal Guru ferjas dan Kesesuaian disiplin siswa disiplin yang keBaijasan orang tua siswa dangan program. juga rtenfceri. diikuti. dapat wakb_v apresiasi, pada pengawasan sesial juga berfcolaborasi peralatan, dana pengembangan yang ketat becfikicpcsitiS dalam akan berdampak motivasi. tafradap siswa hPipril^Vii menggunakan meringankan perghargaan yang tertesi! =pnrtif rtan model pekerjaan guru beapa pujian. diberikan menghaugai pembelahan ini dan hadiah ssbagai penghargaan teriiadap karya peda sadap memudahkan .•̂ miahi yang menjadikan orang lain akan aktivitas siswa dapat SiSWtR7T+lt dapat SiSWtR7T+lt iHdp copeduran pembelajaran namun kdtt^iidii merangkaikan padaprcsss "dalam sati^j Penjas daigan tindakan dan semangat belajar pembelajaran kegidan ^niiFii yangtrpt" siswa u t u k Penjas pembelajaran ada kesamaan dalam rrengatasL mencapai. Efenjas baik saat Fermasalahan mencapai. Efenjas baik saat persapsi dalam Fermasalahan tefcerhssilan p-Kit-if Htyi M maupun mengembangkan menjadi belajar. perkembangan masa yang akan pemberian leward tavfcaigan
pribadi, siswa datang bagi anak didik sendM
G a m b a r 2 - 2
K r i t e r i a Mode l P e m b e l a j a r a n C a n t e r s A s e r t i f
118
3 . Model PembeLajaran S p o r t E d u c a t i o n
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewet dan Bain
(1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini bersumber pada disiplin ilmu
dengan lebih berorientasi pada nilai kedisiplinan dan merujuk pada model kurikulum
sosial sport. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul
"Quality Physical Education Through Positive Sport Experiences Sport Education ".
Menurut Siedentop (1995), bukunya merupakan model kurikulum dan pembelajaran
pendidikan j asmani.
Model ini muncul dilandasi kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu
materi Penjas yang banyak digunakan oleh guru Penjas dan siswanyapun senang
melakukannya. Di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks
Penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang
terkandung didalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan
teknik-teknik cabang olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan
bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang
dewasa atau untuk orang yang sudah mahir, hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan
konsep developmentalfy appropriate practices. Bahkan dalam kenyataannyapun
untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan melibatkan
siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport
education diharapkan mampu mengatasi berbagai kekurangan pembelajaran yang
selama ini sering digunakan oleh guru Penjas di sekolah.
Karakteristik model sport education (Siedentop, 1995:120-130) meliputi enam
karakteristik model sport education yang sering absen dalam pembelajaran Penjas
119
yaitu, musim, anggota tim, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil,
dan perayaan hasil kompetisi.
Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education
yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta sering kali diakhiri
dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik
musim ini jarang diperhatikan walaupun kalender pendidikan memungkinkan ada
pengaturan jadwal latihan seperti ini.
Anggota tim merupakan karakteristik model sport education yang
menitikberatkan keterlibatan semua siswa untuk menjadi salah satu anggota
perkumpulan tim olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim
selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-rubah dari
satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.
Kompetisi formal dalam model ini mengandung arti bahwa festival, usaha
meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. Pada
kompetisi formal dilakukan secara berselang-selang dengan format latihan yang
berbeda-beda, misalkan dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya sampai pada
tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa. Penjadwalan ditetapkan dari sejak
awal pembelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa mengetahui waktunya secara
pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri.
Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari
siapa yang terbaik pada musim itu, ciri khas ini merupakan karakteristik dari model
sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan semacam
120
ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota tim sehingga
terkadang lepas dari konteksnya.
Catatan hasil merupakan karakteristik kelima dari model sport education yang
menekankan pada catatan yang dilakukan dalam berbagai bentuk dari mulai catatan
masuk goal, tendangan ke gawang, perbuatan curang, kesalahan-kesalahan dan
seterusnya. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback, baik
bagi individu maupun tim.
Perayaan hasil kompetisi seperti upacara penyerahan medali dan penghargaan
lain berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial
dari pengalaman yang dilakukan siswa.
Tujuan utama dari model sport education adalah mengembangkan siswa
menjadi olahragawan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga dan
berusaha menerapkan fair play, baik sebagai pemain, wasit maupun sebagai
penonton. Melalui model ini diharapkan menyadari bahwa kemenangan tidak
mengandung arti apa-apa kecuali diperoleh melalui permainan yang fair play dan
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga. Untuk itu pengarahan, latihan dan
timbal balik harus diberikan terhadap nilai-nilai ini sebagaimana diberikan terhadap
keterampilan gerak dan strategi bermain.
Kelebihan model sport education adalah guru Penjas paling senang
mengajarkan teknik-teknik olahraga dan permainan serta sejumlah peraturan karena
berorientasi pada kenyataan sebenarnya di lapangan sesuai dengan kebutuhan. Hal
ini didukung oleh keteraturan model ini seperti adanya musim latihan, musim
pertandingan dan adanya sasaran keberhasilan pencapaian prestasi. Penjas menjelma
menjadi sebuah program pelatihan dalam rangka mempersiapkan sejumlah atlit yang
akan dipersiapkan untuk sebuah kompetisi. Model ini memberikan keleluasaan bagi
121
guru untuk berinovasi dan mengembangkan kreativitas yang merupakan arah
terbalik dari model konvensional (tradisional).
Kekurangan dari model ini adalah mempersiapkan anak untuk berlatih
berbagai cabang olahraga dengan peraturan seperti halnya orang dewasa
bertentangan dengan konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP).
Kenyataan di lapangan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya
belum memadai. Kewajaran ini tentunya dapat diterima semua pihak sebab
kompetisi adalah wadah unjuk kebolehan bagi pelaku yang sudah mahir bukan siswa
yang masih pemula. Bagi siswa yang tidak turut berpartisipasi, kondisi pembelajaran
seperti ini akan diterimanya dengan enggan dalam keadaan terpaksa, dan mungkin
akan terjadi sikap apatisme.
Kriteria model pembelajaran pendidikan jasmani dari sport education dari segi
tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel, dan efektivitas sbb.:
Tujuan Relevansi Konsistensi Aplikabel Efektivitas
Membina dan Memupuk NLlatnOaL Guru Eenjas Kesesuaian mengajadsn telferjasan sikap mengajadsn telferjasan sikap dty-uL dengan program, teknik-teknik se iakdir iutuk menggunakan waktu, paralaSrv
meningkatkan sportivitas model dana akan t e s a l a atutai psnampLlai kebatanian, TPla pembelajaran i r i terdampak sejak diri menjadi t e t t o t a n pada setiap meringankan sabagai kebutuhan dalam menuakan menyajikan pekerjaan guru
dunia Eenjas saat p a r m m r a n materi dan menghadapi M , apalagi sikap keberhasilan. pembelajaran memudahkan tatangan itasa siswa yarg dalam t o n i wiru r t i l s m aktivitas siswa ctewasa dengan rtiemilUdriLlaL- , peiribeOajdUJLi kegiatan tF+api tidak tetap nOaLtetESbUt Eenjass*ingga panfcanaan inenghilangkan me^ungjung sangat petiu akan tetap pffistasL untuk karakteristik tir^naaHiOai- cHamiangka dipadukan dalam memrjertahankan model telajar
m e n e g a i t i t ian setiap e w r t baik gengsi sekolah tetsabut malahan SFP=TK -fNnifly, paidldUsn egrt-irri rr-RiTpTn s e l a g i PTRlf dapat
jujup manusia masa ^ang akan sangat senang merangkaikan sportivitas PR t\ ihn^a datang dengan penghargaan 1 HMi ii Tmnsnrm permainan dan bagi sakalah di t a r t a g l i dan perlombaan samping fpfa h°rknrtvin, tarrangan
kreativitas dan inì^^tìf d=iri r p i m
G a m b a r 2 - 3
K r i t e r i a Mode l P e m b e l a j a r a n P e n j a s S p o r t E d u c a t i o n
122
4. Mode l R s m b e l a j a r a n K e b u g a r a n ( H e a l t h - R e l a t e d F i t n e s s Model)
Model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif Health related fitness
education, memiliki pandangan bahwa generasi penerus dapat membangun tubuh
yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik
dalam kehidupan sehari-hari. Namun harapan itu tidak mungkin terealisasikan tanpa
adanya usaha karena di sebagian besar generasi penerus tidak memiliki kebiasaan
hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisik menurun secara drastis setelah dewasa.
Untuk itu program pendidikan jasmani di sekolah harus membantu generasi penerus
untuk aktif sepanjang hidupnya.
Kesempatan membantu generasi penerus untuk tetap aktif sepanjang hidupnya
menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu
melakukan aktivitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa alasan
mengapa seseorang melakukan aktivitas fisik, diamaninya; 1) aktivitas fisik, 2}
dapat dilakukan sama-sama, 3) untuk meningkatkan keterampilan, 4) untuk
memelihara bentuk tubuh, dan 5) agar nampak lebih baik.
Karakteristik mode! ini pada dasarnya berlandaskan pada disciplinary mastery
value orientation yang sering kali merefleksikan orientasi nilai self-actualization,
sehingga beberapa program dari model ini terintegrasi ke dalam pendidikan jasmani
dalam kerangka konsep healthy lifestyle yang lebih luas dengan komponen-
komponen sosio-culture (Jewet, 1995). Peranan guru dalam menerapkan model ini
lebih menekankan untuk membimbing siswa pada program kegiatan kesegaran
jasmani, mengajar keterampilan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan,
menanamkan komitmen terhadap gaya hidup yang aktif, dan mengadmimstrasikan
123
program asesmen kesegaran jasmani individu siswa. Mengingat kritik yang
mengatakan bahwa ruang lingkup dari program ini sangat terbatas pasa aktivitas
kebugaran jasmani saja, maka program ini berisikan pengembangan berbagai variasi
keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam
aneka ragam olahraga, aktivitas olahraga, dan aktivitas fisik.
Program tahapan pencapaian gaya hidup aktif pada model kebugaran
(AAHPERD, 1999) meliputi beberapa tahapan sebagai berikut:
Step 1: Melakukan latihan secara teratur (membiasakan berolahraga dan
mempelajari dan menyenangi olahraga)
Step 2: Perolehan status kebugaran (memenuhi status minimal sekolah dan
belajar menetapkan target sendiri)
Step 3 : Pola latihan sendiri (memilih latihan sendiri dan evaluasi program sendiri)
Step 4 : Evaluasi sendiri (tes kebugaran jasmani dan interpretasi hasil)
Step 5 : Mandiri yaitu merencanakan program dan gaya hidup aktif.
Kelebihan dari model kebugaran ini terletak pada keyakinan bahwa
keberhasilan pendidikan jasmani berawal dari keyakinan individu melakukan
aktivitas fisik dalam rangka pembentukan gaya hidup aktif, bugar dan sehat di masa
mendatang. Melakukan aktivitas fisik dengan memiliki argumentasi semata-mata
untuk kesenangan, dilakukan bersama-sama, memelihara bentuk tubuh dan
meningkatkan keterampilan merupakan investasi untuk mempersiapkan generasi
penerus yang lebih berkualitas.
Kelemahan model ini terletak pada ruang lingkup dari program ini yang sangat
terbatas pada aktivitas kebugaran jasmani saja dengan bermaterikan pengembangan
124
pada berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa
dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik. Belum lagi
kesan seakan-akan menyiksa dan merendahkan martabat siswa, program ini untuk
mempersiapkan siswa menjadi anggota militer yang berfokus melatih bukan
mendidik. Padahal, yang sebenarnya memelihara gaya hidup dan kesehatan pribadi
menghadapi era globalisasi dengan serba teknologi tinggi justru jauh lebih penting
maknanya. Kriteria model pembelajaran kebugaran jasmani ditinjau dari segi tujuan,
relevansi, konsistensi, aplikabel dan efektivitas dapat di lihat pada Gambar 2-4
berikut:
T u j u a n R e l e v a n s i K o n s i s t e n s i A p l i k a b e l E f e k t i v i t a s
Membina Menanamkan Kondisi fisik Guru tegas Kesesuaian kF+iiaswi hidup aktif telajar ^ongbjgarckn dapat dengan prgrairv sefcetdan melakukan
kesegaran gaya hidup yang serat sara
menggunakan modal
waktu, peralatan, sefcetdan melakukan
gaya hidup yang serat sara
menggunakan modal cfana akan
sefcetdan melakukan jdbaitiiii dan
gaya hidup yang serat sara
menggunakan modal cfana akan
akthatEBfiak memelihara parrtoelajacaniit berdampak jeng tetam: akan hidup sehat menuakan peda s t e p meringankan membantu separi^ng layat trer ì iong menyajikan pakezjoHiguru gaseiasi gmerrs merupakan dikembangkan maten dan memudahkan urtuk irenjaga modal^eng dalam pembelajaran aktivitas s isve keeamtengan s a r x ^ t e r n i l a i pantoelajaran ketika nemahami tBt^a. tidak hicbp, sehingga hargar^a sebagai fegas ?ralagi m a p i merighilangkan memungkinkan nilai-nilai part irgn^ nilai- karaktensak sisva menjalari nilai tsb bagi model belajar hPrrRiti^rasi niiriras tegiatan .ditanamkan siswa teta3*£ malahan dalam kegiatan danba^akn^a sejak dini akan PenjcsMab t a t a n a n karaH tercarrpak mengembangkan
kemajiandL positif bagi ktBgthatasdan sarrpng bicang teknologi patterribangan inisiatif rneningkatkan danirfoaiasL di irasajang kemampuanma akandcLiJu
G a m b a r 2-4
K r i t e r i a Mode l f t e m b e l a j a r a n F e n j a s K e b u g a r a n Jasmani
ini CLmtn/Dir VìrjsrtJ
125
G . K o n s e p M o d e l B a m b e l a j a r a n K u a n t u m P e n j a s B e r b a s i s K o m p e t e n s i
Belajar dalam proses pendidikan merupakan kegiatan yang paling pokok.
Kondisi ini membawa implikasi bahwa berhasil tidaknya proses pendidikan,
khususnya dalam pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada berhasil
tidaknya proses belajar yang dilakukan peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan
pendidikan dapat tercapai harus diupayakan agar pada diri siswa terjadi proses
belajar, yaitu proses terjadinya perubahan perilaku dari tidak tahu menjadi tahu.
Perubahan perilaku tersebut akibat pengalaman yang dialami individu setelah
melakukan interaksi dengan lingkungan. Proses belajar merupakan proses yang
disengaja, dan perubahan tersebut bersifat temporer dan bukan karena proses
pematangan, pertumbuhan dan perkembangan. Dengan demikian di dalam proses
belajar ada dua pihak yang terlibat, yaitu individu yang belajar dan lingkungan.
Keberhasilan proses belajar yang dialami seseorang, tidak terlepas dari
beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari dalam individu
maupun dari luar individu yang bersangkutan. Faktor dari dalam diri individu adalah
motivasi, organisasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan dan aplikasi. Adapun yang
berasal dari luar individu diperoleh dari bahan ajar, pengajar, lingkungan tempat
pembelajar.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, faktor yang berasal dari dalam diri lebih
cenderung pada faktor yang proses perubahannya tidak dapat dilakukan dalam
waktu yang relatif cepat. Hal ini dapat dipahami, mengingat faktor-faktor tersebut
menyangkut pada sesuatu yang bersifat pribadi. Faktor yang berasal dari luar
individu dapat dengan mudah diubah secara sistematik.
126
Howard Gardner (1996) dalam Bobbi DePorter (2002) menyatakan bahwa
proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar erat kaitannya dengan struktur
otak yang dimilikinya. Struktur otak manusia pada dasarnya terdiri dari tiga bagian,
yaitu batang otak reftilia, sistem limbik (otak mamalia), dan neokortek (otak
berfikir). Batang otak memiliki peranan yang berhubungan dengan fungsi motorik
sensorik, kelangsungan hidup, dan reaksi terhadap bahaya. Batang otak reftilia
memiliki peranan yang berkaitan dengan perasaan atau emosi, memori, bioritmik
dan sistem kekebalan. Otak berfikir memiliki peran yang berkaitan dengan berfikir
intelektual, penalaran, bahasa, dan kecerdasan yang lebih tinggi. Dengan adanya
neokortek, manusia menjadi unik karena semua kecerdasan yang lebih tinggi
tersedia. Kecerdasan khusus yang dimiliki manusia itu diantaranya bahasa,
matematika, visual, perasa, musikal, interpersonal, intra personal, dan intuisi.
Selanjurnya Bobbi DePorter (1999) menjelaskan, bahwa berdasarkan
belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan otak kiri. Otak kanan
memiliki karakteristik dalam cara berfikir yang logis, sekuensial, linier, dan rasional.
Karena itu cara berfikirnya sesuai dengan tugas-tugas yang teratur, ekspresi verbal,
menulis, membaca, dan berkaitan dengan simbol-simbol. Adapun otak kiri memiliki
karakteristik dengan cara berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik.
Dalam Cara berfikirnya, otak kiri berhubungan dengan non verbal seperti perasaan,
emosi, pengenalan bentuk dan pola, musik, warna kreativitas dan visualisasi.
Dalam proses pembelajaran yang seimbang harus diupayakan kerja otak kanan
dan otak kiri berimbang. Semua itu pada akhirnya tertuju belajar apa saja dari setiap
situasi, menggunakan apa yang dipelajari untuk keuntungan yang diperoleh,
127
mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan. Gambaran ini
disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari tidak dapat melihat
adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu
pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi dan menarik diri dari kehidupan.
Model pembelajaran kuantum mengkonsep tentang "menata pentas lingkungan
belajar yang tepat". Penataan lingkungan diarahkan kepada upaya membangun dan
mempertahankan sikap positif Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar.
Peserta didik dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara
fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar sedemikian rupa, para
anak didik diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur
pengalaman belajar.
Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu lingkungan mikro dan
lingkungan makro (Bobbi DePorter, 1999). Lingkungan mikro adalah tempat peserta
didik melakukan proses belajar yaitu bekerja dan berkreasi. Pembelajaran kuantum
menekankan penataan kondisi, musik dan desain ruang belajar karena semua itu
dinilai mempengaruhi terhadap peserta didik dalam menerima, menyerap, dan
mengolah informasi. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang
pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan
lingkungan formal dan terstruktur seperti meja, kursi, alat peraga, dan tempat
khusus. Tujuannya agar dapat menciptakan suasana yang dapat menimbulkan
kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk berkonsentrasi
sangat baik dan belajar lebih mudah. Keadaan tegang akan menghambat aliran darah
dan menghambat pula konsentrasi belajar siswa.
128
Lingkungan makro ialah "dunia yang luas". Peserta didik diminta untuk
menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas
lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan
masyarakat yang diminatinya. Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan,
semakin mahir mengatasi situasi-situasi yang menantang dan semakin mudah
mempelajari informasi baru. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan
mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat
pengalaman membangun dan membentuk pengetahuan baru. Pada intinya, interaksi
ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan
perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan
dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke
arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan
memperluas zona aman, nyaman, dan perasaan dihargai dari siswa.
Melalui pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu
diharapkan muncul sikap tanggungjawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar
dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Pada gilirannya,
dia akan mengenali dan memahami potensi apa yang sebenarnya dia miliki. Salah
satu potensi yang harus dikenali dan dipahami oleh seorang pembelajar adalah gaya
belajar yang dimilikinya. Gaya belajar yang dimiliki seseorang, merupakan
manifestasi dari kemampuannya dalam menyerap, mengatur dan mengolah
informasi yang diterimanya.
Lebih lanjut, Bobbi DePorter (1999) menjelaskan bahwa pembelajaran
kuantum adalah konsep pembelajaran yang diterapkan di SuperCamp oleh Eric
129
Jensen. SuperCamp adalah sebuah program pelatihan dan pengembangan diri yang
intensif. Suatu model belajar cepat yang terintegrasi dengan menggunakan
kurikulum ganda yang terdiri dari: (1) Kurikulum akademis "belajar untuk belajar"
dan (2) Kurikulum untuk keterampilan dan pengembangan pribadi. Kurikulum
akademis dengan program sepuluh hari, meliputi keterampilan menulis cepat,
kreativitas, membaca cepat, persiapan ujian dan belajar untuk belajar. Sedangkan
untuk kurikulum keterampilan, berisikan nilai dan kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi. Menurut konsep pembelajaran kuantum ini ada dua unsur utama
yang mempengaruhi proses belajar, yaitu: (I) Bagaimana menciptakan suasana yang
tepat untuk mengajar, (2) Apa topik yang akan dipelajari oleh siswa.
Pendekatan pembelajaran kuantum berpusat pada siswa dan pada masyarakat
sehingga kurikulum dirancang sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat. Hal
ini berdasarkan pertimbangan bahwa otak tidak bisa memperhatikan dan mengingat
semua hal, seperti pelajaran yang tidak menarik, membosankan atau tidak
menggugah emosi. Pembelajaran kuantum menekankan pada empat aspek: (1) Citra
diri dan perkembangan diri, (2) Pelatihan keterampilan hidup, (3) Belajar tentang
cara belajar dan cara berpikir, (4) Kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan
artistik yang spesifik (Bobbi DePorter, 1999). Oleh karena itu, setiap siswa dari
segala umur boleh mengembangkan kurikulum sendiri dan mengakses sumber-
sumber informasi untuk mempelajari hal-hal yang mereka minati dengan cepat dan
mudah. Gairah belajar yang tinggi dan kemampuan memadukan pengetahuan
dengan kerja adalah kunci-kunci baru menuju masa depan.
130
Suasana pembelajaran kuantum sangat menyenangkan sehingga membuat
siswa belajar lebih efektif. Menyenangkan berarti seluruh komponen fisik dan
nonfisik siswa bebas dari segala tuntutan dan tekanan. Konsep menyenangkan
berarti bahwa diri siswa berada dalam keadaan benar-benar lepas dan bebas dari
target harus dicapai. Karena keadaan yang menyenangkan akan melapangkan jalan
seseorang dalam mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal.
Keadaan yang menyenangkan akan mendorong seseorang untuk bersungguh-
sungguh terlibat dalam melakukan sesuatu termasuk dalam belajar. Dalam interaksi
pembelajaran kuantum, guru menjadi fasilitator dan manajer pembelajaran di pusat-
pusat pembelajaran dengan menempatkan siswa seolah-olah klien. Guru adalah
tenaga profesional yang terlatih mengelola pusat belajar untuk melayani gaya belajar
siswanya. Para guru harus memiliki pengetahuan luas tentang mata pelajaran
tertentu dan mampu membawa dunia ke dalam suasana kelas. Musik, permainan dan
kestabilan emosi merupakan kunci keberhasilan belajar siswa. Menurut Colin Rose
dan Malcolm J. Nichol (2002) dalam Hernawan (2003) dalam model pembelajaran
kuantum, siswa sangat cepat belajar karena mereka dibimbing menemukan sendiri
prinsip belajar itu. Maksudnya sangat diutamakan konsep"learning how to learn",
belajar bagaimana belajar, artinya belajar bertujuan untuk menguasai bagaimana
teknik mempelajari sesuatu, bukan hanya belajar untuk menguasai sejumlah ilmu
pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat tidak bisa diajarkan
satu persatu membutuhkan waktu yang lama.
Dengan demikian, dalam belajar pendidikan jasmani para siswa akan
termotivasi untuk belajar dan terus belajar tentang suatu keterampilan gerak sampai
131
mencapai tujuan pembelajaran. Jika siswa berhasil mencapai sasaran maka motivasi
dan produktivitasnya akan meningkat. Hal ini merupakan investasi yang sangat
berharga bagi seorang siswa yang sudah tumbuh kemauan sendiri untuk belajar.
Sistem pembelajaran kuantum berorientasi pada tiga konsep utama, yaitu: (1)
Mencintakan lingkungan yang memungkinkan proses belajar berjalan maksimum
dengan membangun hubungan antar peserta dan mengembangkan rasa percaya diri
setiap siswa; (2) Mengajar siswa dalam berbagai gaya belajar sehingga mereka dapat
memahami materi yang diberikan; (3) Mengajari siswa keterampilan yang
dibutuhkan untuk mempelajari materi apa saja dan bukan hanya materi tertentu
(Bobbi DePorter, 1999). Untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan proses
belajar berjalan maksimum guru harus memilih dan mempersiapkan musik dengan
jumlah ketukan antara 50-70 per menit untuk digunakan saat memulai setiap sesi
belajar. Tujuannya adalah agar terjadi perubahan suasana sehingga siswa dapat
berganti-ganti kegiatan dari bernyanyi ke bertindak, ke berbicara, ke melihat, ke
sajak, ke peta pikiran sampai diskusi kelompok. Menurut Jeannette Vos dalam
Bobbi DePorter (1999) bahwa musik itu dapat berfungsi untuk mengurangi stress,
meredakan ketegangan, meningkatkan energi dan memperbesar daya ingat
Prinsip pembelajaran kuantum meliputi: (1) Segalanya berbicara, artinya
sesuatu yang ada di lingkungan kelas dapat digunakan sebagai media belajar, (2)
Segalanya bertujuan, artinya semua yang terjadi di kelas memiliki tujuan yang jelas,
(3) Pengalaman sebelum pemberian nama, artinya pembelajaran diawali rasa ingin
tahu sebelum mengetahui namanya, (4) Akui setiap saat, artinya pembelajaran
132
merupakan proses yang mengandung resiko karena mempelajari yang baru, dan (5)
jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan (Hamalik, 2003).
Rancangan pembelajaran kuantum melalui proses mencari 'TANDUR" yaitu
suatu istilah akronim dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi dan
Rayakan (Bobbi DePorter, 1999). Tumbuhkan minat dengan selalu mengarahkan
siswa terhadap pemahaman tentang apa manfaat setiap pelajaran bagi diri siswa atau
Apakah Manfaatnya Bagi-Ku (AMBAK) yang sangat jelas dau spesifik akan dapat
memotivasi seseorang untuk melakukan suatu kegiatan secara hebat. Apapun yang
siswa lakukan, jika yang dilakukan itu tidak memberikan manfaat, ada kemungkinan
siswa akan malas melakukannya. AMBAK akan membangkitkan minat anak didik
untuk mempelajari sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi perkembangan diri siswa,
sedangkan AMBAK bagi guru akan mempersegar ketika berhadapan dengan siswa
dikarenakan guru akan memperoleh sesuatu yang bermakna dalam proses kegiatan
belajar mengajar.
Hemawan (2003) menyarankan bahwa sebaiknya dalam
mengimplementasikan pembelajaran kuantum dapat memadukan beberapa model
kurikulum antara lain: (1) Model kurikulum perkembangan pribadi yang meliputi
rasa percaya diri, motivasi, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan menjamin
relasi; (2) Model kurikulum keterampilan hidup meliputi pengaturan mandiri dan
pemecahan masalah secara kreatif; (3) Model kurikulum keterampilan belajar untuk
belajar dan belajar berpikir; (4) Model kurikulum isi pada umumnya dengan tema-
tema terpadu.
Menurut Bobbi DePorter (1999), kita belajar 10 % dari apa yang kira b ^ a r ^ T ^ '
% dari apa yang kita dengar, 30 % dari apa yang kita lihat, 50 % dari apa yang kita
lihat dan dengar, 70 % dari apa yang kita katakan, 90 % dari apa yang kita katakan
dan lakukan. Atas dasar pertimbangan itu, maka metoda belajar pemecahan masalah
dan penemuan merupakan metoda yang banyak digunakan dalam model
pembelajaran kuantum. Dengan berpatokan pada prinsip belajar learning by doing
siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cepat dan efektif, karena mereka
melihatnya, mendengarnya, dan merasakannya. Selain itu semakin sering dan luas
siswa mengkait-kaitkan berbagai hal, semakin kaya pengalaman siswa untuk belajar.
Model pembelajaran kuantum baik secara konseptual maupun implementasi
sangat cocok digunakan, karena sesuai dengan kebutuhan siswa Sekolah Dasar.
Pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa akan membuat
pembelajaran lebih bermakna dan lebih efektif. Pembelajaran dengan
memperhatikan gaya belajar siswa membuat siswa merasa senang dalam belajar.
Pembelajam kuantum juga lebih menekankan pada learning by doing, sehingga
siswa lebih memahami apa yang dipelajarinya dan lebih kreatif karena itu mereka
belajar lebih cepat, lebih bersikap positif, percaya dirinya berkembang dan merasa
bebas dari tekanan baik tisik maupun psikologis. Pembelajaran kuantum pendidikan
jasmani memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih isi pelajaran yang
dikehendakinya sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Dengan demikian mereka
bebas belajar dengan lebih leluasa dalam mengembangkan potensi, bakat yang
dimilikinya dengan optimal. Misalkan dalam mata pelajaran Penjas, para siswa
134
diberikan kebebasan menentukan olahraga pilihan sesuai dengan bakat dan minat
masing-masing.
Proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan
struktur otak yang dimilikinya. Struktur otak manusia pada dasarnya terdiri dari
belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam
cara berfikir logis dan rasional. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dalam
berfikir yang acak, tidak teratur dan holistik. Dalam cara berfikimya, otak kiri
berhubungan dengan perasaan, emosi, pengenalan bentuk, musik, seni dan
kreativitas. Agar terjadi keseimbangan, maka harus diupayakan kerja otak kanan dan
otak kiri yang seimbang. Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang
menargetkan tumbuhnya emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan
diri (Howard Gardner, 1996; dalam Bobbi DePorter, 1999).
H . P e n g e m b a n g a n M o d e l P e m b e l a j a r a n K u a n t u m P e n d i d i k a n J a s m a n i
B e r b a s i s K o m p e t e n s i d i S e k o l a h D a s a r
Model merupakan bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan
model itu, sebagai representasi suatu sistem yang dipandang dapat mewakili sistem
yang sesungguhnya, model merupakan gambaran tentang sesuatu, bagaimana
hendaknya dan atau bagaimana adanya sesuatu itu (Mills, 1989; dalam Kuswana,
2003). Model dirancang untuk menjelaskan aspek-aspek suatu persoalan atau ruang
lingkup persoalan, dan dapat menjelaskan pula hubungan-hubungan yang penting.
Model merupakan suatu gambaran tentang sesuatu yang dapat memperjelas berbagai
kaitan diantara unsur yang ada. Pembelajaran sebagai suatu sistem memerlukan
135
suatu model atau beberapa model yang dapat memberikan kejelasan hubungan
diantara komponen, unsur atau elemen sistem tersebut (Laurens Seba, 2005:41-43).
Model menurut Print (1993) adalah sesuatu gambaran yang disederhanakan
dari keadaan yang sebenarnya dan sering digambarkan dalam diagram. Pandangan
lain dari Zais (1976) bahwa model sebagai gambaran kecil dari data atau fenomena,
sehingga model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai rencana atau pola yang
dapat digunakan untuk mendesain materi pelajaran dan membantu pembelajaran
(Seller & Miller, 1985).
Model pembelajaran identik dengan pola dasar mengajar, sistem, prosedur
didaktik. Pola dasar mengajar yaitu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang
bertautan satu sama lain untuk mencapai tujuan pengajaran (Engkoswara dan
Rustiyah, 1984). Model mengajar merupakan suatu rencana atau pola yang
digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran, dan memberi
petunjuk kepada pengajar di kelas atau di di lapangan dalam setting pengajaran atau
setting lainnya (Bruce Joice dan Marsha Weil, 1972).
Model pembelajaran kuantum merupakan model pembelajaran yang
menekankan kepada pengalaman belajar yang menyenangkan dan berhasil guna bagi
siswa maka dari itu pemilihan strategi dan media pembelajaran yang bervareasi
menjadi ciri utama model ini.
Bobbi DePorter (1999) seorang pakar quantum learning and teaching
menjelaskan bahwa pembelajaran kuantum merupakan upaya perubahan bermacam-
macam interaksi yang ada di sekitar momen belajar. Pembelajaran dikiaskan sebagai
suatu simponi yang terdiri dari berbagai alat musik sebagai unsurnya dan guru
136
merupakan konduktor sebuah simponi. Guru berusaha merubah semua unsur
menjadi simponi yang indah bagi semua orang di kelasnya.
Asas utama pembelajaran kuantum adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita
dan antarkan dunia kita ke dunia mereka Pandangan tersebut memberi arti bahwa
untuk melaksanakan suatu pembelajaran diperlukan pemahaman yang cukup tentang
anak didik. Dengan demikian akan memudahkan semua proses pembelajaran itu
baik bagi anak didik maupun guru. Pemahaman itu amat penting karena setiap
manusia memiliki dinamikanya sendiri.
Banyak hal yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran
pendidikan jasmani, oleh karena itu relevansi antara tujuan, kegiatan belajar, dan
penilaian sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran
pendidikan jasmani yang sesuai dengan karakteristik siswa tingkat pemula di
Sekolah Dasar. Implementasinya bagaimana bahan-bahan pendidikan jasmani yang
memiliki katagori gerak dasar fundamental lokomotor, nonlokomotor dan
manipulatif dikemas sedemikian rupa sehingga aktivitas siswa yang masih pemula
itu tinggi dikarenakan belajar gerak yang dilakukan disajikan dalam bentuk strategi
permainan. Itu hanya bisa terjadi manakala guru pendidikan jasmani mampu
menciptakan kondisi pembelajaran tidak kaku dan monoton, berarti guru harus
memiliki sikap profesional mengelola mata pelajaran pendidikan jasmani. Begitu
juga prasyarat lain seperti peralatan yang mendukung (sederhana), waktu yang
tersedia cukup dan dukungan orang tua siswa.
Salah satu hal yang harus mendapatkan prioritas agar mendukung proses
pembelajaran pendidikan jasmani di atas adalah mengubah suasana pembelajaran
137
yang asalnya sarat prestasi menjadikan suasana bermain yang menyenangkan,
sehingga baik secara fisiologis maupun psikologis makna pembelajaran terpenuhi.
Alternatif ke arah itu adalah dengan memodifikasi peralatan olahraga baku,
peraturan bermain dan berlomba masing-masing cabang olahraga, dan
menyederhanakan sarana dan prasarana olaharaga. Ini merupakan tuntutan sebab
karakteristik siswa Sekolah Dasar adalah terbatas kemampuan, wawasan, dan
pengalaman. Ini pula yang mendorong siswa agar bisa berinteraksi dengan
lingkungan sebab bahan-bahan itu bisa diperoleh dari lingkungan tempat tinggal
siswa dan mudah didapat dengan tanpa biaya sekalipun Namun siswa sendiri harus
memiliki sikap yang aktif, kreatif dan cerdas.
Model pembelajaran merupakan acuan atau pola yang dipakai oleh seseorang
untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran pendidikan
jasmani berarti pola yang digunakan oleh seorang guru Penjas dalam melakukan
latihan yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian bertambah
beban pekerjaannya. Menurut Schmidt (1991) pembelajaran gerak adalah
serangkaian proses yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman yang
mengarah pada perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan seseorang
untuk menampilkan gerakan-gerakan yang terampil. Definisi pembelajaran yang
diajukan Schmidt mengandung tiga aspek penting, yaitu: 1) belajar merupakan
pengaruh latihan atau pengalaman, 2) belajar tidak langsung teramati, 3) belajar
mengalami perubahan yang bersifat relatif melekat
Keterampilan dasar merupakan kemampuan untuk membuat hasil akhir
dengan kepastian yang maksimum dan pengeluaran energi dan waktu yang
138
minimum (Schmidt, 1991). Sedangkan Singer (1980) menyatakan bahwa
keterampilan adalah derajat keberhasilan yang konsisten dalam mencapai suatu
tujuan dengan efisien dan efektif. Jadi keterampilan pada hakekatnya adalah upaya
untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan lingkungan melalui cara sebagai
berikut: memaksimalkan kepastian prestasi, meminimalkan pengeluaran energi
tubuh dan energi mental dan meminimalkan waktu yang digunakan.
Kemampuan gerak dasar fundamental adalah kesanggupan seseorang dalam
melakukan gerak yang terjadi atas dasar gerak refleksi yang berhubungan dengan
badannya, yang dibawa sejak lahir dan terjadi tanpa latihan. Gerakan dasar
fundamental dibagi atas: gerakan lokomotor, gerakan nonlokomotor, dan gerakan
manipulatif (Dauer dan Pangrazzi, 1986).
Gerakan lokomotor adalah gerakan yang menyebabkan terjadinya perpindahan
tempat, seperti: jalan, lari dan lompat. Gerakan nonlokomotor yang menyebabkan
pelakunya tidak berpindah tempat, seperti: gerak menekuk, menarik, mendorong dan
meliukkan badan. Gerakan manipulatif sebagai gerakan yang mempermainkan
obyek tertentu sebagai media yang biasanya menggunakan alat, seperti: gerak
melempar, menangkap, menendang dan memukul.
Pendekatan yang merupakan suatu usaha dalam aktivitas kajian atau interaksi,
relasi dalam suasana tertentu dengan individu atau kelompok melalui penggunaan
metode-metode tertentu secara efektif. Pendekatan pembelajaran berarti sebagai
proses penyajian isi pembelajaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi tertentu
dengan suatu metode atau beberapa metode pilihan (Kuswana, 2003). Dengan
Avi Suhermnn/PK-SMIPI
139
demikian pendekatan dapat dikatakan lebih luas dari metode, dan lebih konprehensif
dalam kajian, akan tetapi lebih aplikatif dalam praktek baik disadari maupun tidak.
Pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa Sekolah Dasar
merupakan pendekatan yang lebih didasarkan pada unsur kesenangan dan
kegembiraan siswa. Desain proses pembelajaran lebih banyak memberikan suasana
riang gembira jauh dari sifat formalitas dan monoton dalam melakukan aktivitas
(Cholik Mutohir, 2000). Pendekatan pendidikan olahraga (konvensional) dalam
konteks pembelajaran semata-mata digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai
pendidikan misalnya kepemimpinan, ketaatan, sportif, bertanggungjawab, dan
kerjasama. Sungguhpun demikian dimungkinkan siswa berpartisipasi dalam cabang
olahraga yang diminatinya secara lebih optimal
Gambaran umum tentang pembelajaran yang bermakna dalam pendidikan
jasmani ditandai oleh gurunya yang selalu aktif dan siswanya secara konsisten aktif
belajar. Dalam tatanan pembelajaran yang efektif dan efisien, siswa tidak hanya
bekerja sendirian melainkan adanya keterlibatan guru sebagai fasilitator
pembelajaran sehingga waktu yang tersedia dijalani dengan produktif. Jalannya
aktivitas belajar nampak sibuk, aktif dan menantang bagi siswa akan tetapi masih
berada antara tingkat perkembangan dan kemampuan siswanya. Pada akhirnya siswa
dapat menerima pesan dari guru dengan baik dan dapat melakukan berlatih secara
indipenden mempelajari sesuatu sesuai dengan tujuan pembelajaran. Graham (1992)
menggambarkan karakteristik efektivitas mengajar pendidikan jasmani yang
meliputi: 1) waktu, kesempatan belajar, dan materi yang diberikan, 2) harapan dan
peranan, 3) pengelolaan kelas dan keterlibatan siswa, 4) tugas belajar yang
140
meaningful dan tingkat keberhasilan yang tinggi, 5) kelancaran dan momentum, 6)
mengajar secara aktif, 7) pengawasan yang aktif, 8) tanggungjawab, 9) kejelasan,
antusias, dan kehangatan.
Konsep dasar model pembelajaran pendidikan jasmani mengarah kepada
prinsip dasar kebermaknaan melaksanakan tugas sehari-hari yang berorientasi pada
proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara
sistematis dan meliputi peningkatan individu secara organik, neuromuskuler,
perseptual, kognitif, sosial dan emosional (Abdulkadir, 1992). Keterkaitan konsep-
konsep tersebut dalam hubungannya dengan pengembangan model pembelajaran
pendidikan jasmani yang bermakna tergambar sebagai berikut:
Model pembelajaran pendidikan jasmani yang diperlukan dalam kerangka
mengembangkan keterampilan dasar siswa secara umum melalui pendekatan
bermain yang mengandung unsur materi yang berbentuk tema keterampilan teknik-
teknik dasar yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi atau karakteristik
perkembangan fisik dan psikis anak didik. Selanjutnya memberikan pengayaan
gerak dasar dominan yang disenangi serta mengenalkan teknik dasar kecabangan
olahraga (Cholik Mutohir, 2000).
Model pembelajaran kuantum dalam pendidikan jasmani sebagai perubahan
dari keadaan lama yang semula menjadi keadaan baru seperti bentuk, fungsi, cara
penggunaan dan manfaat tanpa sepenuhnya menghilangkan karakteristik semula.
Tujuan memodifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani adalah agar: (1)
Siswa memperoleh kesenangan dalam mengikuti pelajaran, (2) Meningkatkan
kemungkinan keberhasilan dalam berprestasi, dan (3) siswa dapat melakukan pola
141
belajar secara benar (Rusli Lutan, 1996). Dengan demikian, komponen yang dapat
dimodifikasi meliputi ukuran, berat, peraturan, dan waktu.
Memilih model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan
dijelaskan Mosston (1994) sebagai berikut: 1) perhatikan interaksi antara guru-siswa-
tujuan yang merefleksikan perilaku dalam suatu proses mencapai tujuan, 2)
perhatikan rangkaian tahap yang membentuk satu proses pembelajaran, 3) rumuskan
tujuan setiap tahap (tugas apa yang harus dilakukan siswa, standar kompetensi apa
yang harus dicapai, tingkah laku apa yang harus dikembangkan siswa, dan tingkah
laku mana yang harus dinilai), 4) tentukan apakah tugas-tugas tersebut bersifat
reproduksi, 5) tentukan perilaku apa yang dikembangkan atau apa perilaku siswa
yang dievaluasi, 6) bandingkan antara tujuan pengajaran yang dikehendaki dengan
tujuan yang telah tercapai
Kurikulum pendidikan jasmani bercirikan bahwa muatan pendidikan jasmani
tidak hanya ditekankan pada penguasaan keterampilan motorik semata, akan tetapi
pada pengembangan nilai-nilai kepribadian peserta didik, sehingga sebaiknya
kurikulum pendidikan jasmani bersifat integratif dan eklektif dengan tidak
menekankan pada satu model tertentu. Dengan demikian pendekatan pembelajaran
yang digunakan memberikan peluang yang selaras kepada siswa untuk berekpslorasi
sesuai dengan minat dan bakat, seimbang kebutuhan fisikal dan mental, verbal ski]]
dan nonverbal skill, dan integrasi dan emosi (AAPHERD, 1999).
Materi pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar pada dasarnya tidak
bisa lepas dari gerakan-gerakan dasar fundamental yang merupakan pola gerakan
yang menjadi dasar untuk ketangkasan gerak yang lebih komplek. Dauer dan
142
Pangrazzi (1986), berpendapat bahwa gerakan-gerakan dasar fundamental dibagi ke
dalam tiga rumpun yaitu gerakan lokomotor, gerakan nonlokomotor, dan gerakan
manipulatif.
Realisasinya gerakan-gerakan dasar fundamental tersebut dalam kurikulum
pendidikan jasmani Sekolah Dasar dikemas dalam bentuk label yang meliputi
atletik, senam, permainan dan kemampuan dasar jasmani yang disajikan dalam
kemasan permainan dengan peralatan, ukuran lapangan, dan peraturan permainan
tidak harus mengarah pada peraturan baku seperti cabang olahraga tetapi
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Konsep tersebut tidak berarti
bahwa pembelajaran pendidikan jasmani melalaikan latihan peningkatan
keterampilan motorik, namun yang harus diperhatikan peningkatan kebermaknaan
Pembelajaran pendidikan jasmani merupakan kebutuhan yang mendesak untuk
segera direalisasikan.
Model pembelajaran pendidikan jasmani yang akan dikembangkan peneliti
adalah model kuantum yang berbasis kompetensi yang memerlukan keterampilan
gerak yang efisien. Artinya seorang siswa yang masih duduk di Sekolah Dasar
yang memerlukan pembelajaran secara bertahap mulai tingkat gerakan yang masih
rendah menuju ke tingkat gerakan paling kompleks. Karena itu, dalam pelaksanaan
pembelajaran pendidikan jasmani harus dimulai dari pemberian pola gerakan dasar,
aktivitas ritmik dan berbagai macam permainan anak-anak. Melalui belajar gerakan
yang dilakukan berulang-ulang kemungkinan besar tingkat efisiensi dalam
melakukan gerakan dapat tercapai.
143
Seseorang dikategorikan pemula dalam keterampilan gerak, bila ia meniru dan
belajar suatu gerakan baru. Namun jika ia dapat melakukan gerakan-gerakan yang
baru, dan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dengan mudah berarti ia telah
memiliki keterampilan tingkat menengah. Keterampilan tingkat lanjutan
dikategorikan kepada mereka yang mampu melakukan gerakan-gerakan tersebut
dengan mudah. Untuk mencapai tingkat keterampilan yang sempurna latihan-latihan
perlu dilakukan secara bertahap dimulai dari gerakan dasar. Hal ini dijelaskan oleh
Laban dan Laurence (1994) dalam Mahendra dan Mamun (1998) bahwa tingkat
keterampilan dasar meliputi: gerakan dasar tingkat pemula, tingkat intermediate,
tingkat advance, dan tingkat sempurna.
Pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani yang sesuai dengan karakteristik
siswa Sekolah Dasar yang masih memiliki tingkat keterampilan dasar dan pemula
sebaiknya merupakan adaptasi terhadap keterampilan yang digabungkan dan
dibangun di atas efisiensi keterampilan dasar dan digabungkan dengan pengaturan
dalam penerapannya, sehingga lebih menekankan pada penyediaan kesempatan
kepada siswa seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam setiap aktivitas sesuai
dengan minat dan kebutuhannya. Dalam konteks ini, kegiatan yang diciptakan
secara bervariasi berdasarkan prinsip maju berkelanjutan, bergerak dan bentuk
kegiatan yang sederhana menuju pada yang lebih kompleks. Sesuai dengan tahapan
pembelajaran gerak yang dijelaskan oleh Fitts and Posner (1967), bahwa tiga tahapan
belajar yang dapat diidentifikasi, yaitu 1) tahapan verbal kognitif, 2) tahapan
motorik, dan 3) tahap otonomi.
144
Salah satu pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani yang akan
dikembangkan saat ini berupa model kuantum yang berbasis kompetensi yang dapat
dilakukan melalui memodifikasi pada alat, ukuran lapangan, aturan permainan dan
teknik pelaksanaan. Berbeda dengan pendekatan pembelajaran yang biasa
digunakan guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar yaitu model pendidikan
olahraga (tradisional) yang berorientasi pada pendekatan kecabangan olahraga
dalam konteks pendidikan semata-mata hanya digunakan sebagai media sosialisasi
nilai-nilai pendidikan (misalnya sportif, bertanggung jawab, disiplin dan
bekerjasama). Suasana pendekatan olahraga ini akan terlihat diterapkan pada semua
jenjang pendidikan, baik Pendidikan Dasar maupun jenjang menengah atas.
Pendekatan seperti ini jelas akan sulit diaplikasikan di Sekolah Dasar, mengingat
kemampuan siswa masih bertaraf rendah, sehingga harus ada pendekatan yang
mampu mengatasi kelemahan model pembelajaran yang ada selama ini.
Model pembelajaran kuantum yang dikembangkan akan lebih sesuai dengan
karakteristik siswa Sekolah Dasar. Dipilihnya model ini karena konsep kompetensi
menuntut kemampuan siswa sesuai dengan tarap perkembangan dan pertumbuhan
yang dimilikinya. Karena itu konsep model pembelajaran kuantum pendidikan
jasmani pada dasarnya relevan dengan prinsip Developmentaly Apropriate Practice
(DAP) yang berorientasi pada pembelajaran individual (individualized instructional
approach). Model ini dirancang untuk membantu anak dalam mengembangkan suatu
pengertian yang lebih baik tentang diri dan lingkungannya serta hubungannya
dengan olahraga yang digemari dan media yang digunakannya.
Ani CuAA'wnii/Pr, f t/r im
145
Model pembelajaran kuantum dalam pendidikan jasmani merupakan model
pembelajaran yang menekankan kepada pengalaman belajar yang menyenangkan
dan berhasil guna bagi siswa maka dari itu pemilihan strategi dan media
pembelajaran yang bervareasi menjadi ciri utama model ini (Oemar Hamalik,2003).
Karakteristik model ini dalam nuansa pendidikan jasmani yang dilakukan untuk
siswa Sekolah Dasar sangat sesuai dengan tuntutan tujuan pembelajaran pendidikan
jasmani, yaitu: (1) pembentukan gerak, (2) pembentukan prestasi, (3) pembentukan
sosial, dan (4) pertumbuhan badan (Abdulkadir, 1992:8). Dengan demikian melalui
pendidikan jasmani, guru berupaya menyiapkan anak didik agar dapat hidup
bermasyarakat dan terampil serta berdiri sendiri tidak membebani orang lain. Karena
itu tepat sekali dikatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan suatu bagian dari
pendidikan keseluruhan yang mengutamakan aktivitas jasmani, pertumbuhan dan
pengembangan mental, sosial, dan emosional
Langkah-langkah strategi pembelajaran kuantum dalan pendidikan jasmani
adalah sebagai berikut:
1. Tumbuhkan minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman
tentang apa manfaatnya bagiku. Belajar pendidikan jasmani pada awalnya
dimulai dari melakukan kegiatan memahami teknik, taktik, strategi dan evaluasi
terus menerus dipelajari melalui fase kognitif yaitu memahami alur gerak yang
akan dilakukan, sehingga ada gambaran apa yang akan dilakukan.
2. Alami, buatlah pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua siswa
melakukan aktivitas gerak mulai gerak yang sederhana sampai pada gerak yang
kompleks. Tujuannya agar siswa mengalami langsung bagaimana gerak yang
mesti dilakukan sehingga dapat merasakan setiap jenjang kesulitan gerak.
146
3. Namai, setiap pengajar mesti menyediakan kata kunci, konsep, model dan
strategi apa yang tepat yang dilakukan dalam pembelajaran pendidikan jasmani
untuk siswa Sekolah Dasar.
4. Demonstrasikan, sebaiknya guru menyediakan kesempatan bagi anak didik
untuk menunjukkan keterampilannya. Keterampilan yang dilakukan oleh anak
didik berupa unjuk kerja berbentuk alur gerak yang bebas sesuai dengan
kemampuan dan karakter masing-masing.
5. Ulangi, guru harus menunjukkan cara mengulangi materi gerakan yang
dilakukan oleh siswa, dan menegaskan "aku tahu bahwa aku memang tahu".
Mengulang-ngulang materi dimaksudkan agar belajar dan berlatih gerakan yang
baru menjadi sempurna untuk memperoleh gerakan secara otomatis yakni
melakukannya tanpa dipikir-pikir lagi.
6. Rayakan, guru harus memberikan pengakuan terhadap setiap penyelesaian tugas,
partisipasi yang tinggi dan pemerolehan pengetahuan dan keterampilan yang
ditunjukan dalam belajar dan berlatih siswa. Guru tidak segan-segan
memberikan pujian dan penghargaan ketika siswa menunjukkan hasil belajar
yang memuaskan, sehingga akan membangkitkan motivasi belajar yang tinggi
pada siswa.
I . K o m p e t e n s i P e n d i d i k a n J a s m a n i d i S e k o l a h D a s a r
Secara umum, kompetensi dapat didifinisikan sebagai sekumpulan
pengetahuan, keterampilan, sikap,- dan nilai sebagai kinerja yang berpengaruh
terhadap peran, perbuatan, prestasi, serta pekerjaan seseorang. Dengan demikian,
kompetensi dapat diukur dengan standar umum serta dapat ditingkatkan melalui
pendidikan. Menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Yulaelawati (2004)
kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang be±ubungan timbal
balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecakapan terbaik seseorang dalam
pekerjaan atau keadaan.
147
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Depdiknas, 2004). Sedangkan
kompetensi atau keterampilan hidup dinyatakan dalam kecakapan, kebisaan,
keterampilan, kegiatan, perbuatan atau performansi yang dapat diamati malahan
dapat diukur. Suatu kompetensi apalagi kalau kompetensi tersebut berkenaan dengan
tahap tinggi minimal aspek yaitu: pengetahuan, keterampilan, proses berfikir,
penyesuaian diri, sikap dan nilai-nilai (Sukmadinata, 2004).
Kompetensi dijabarkan melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya dapat
diukur dan diamati. Kompetensi juga dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang
dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual. Marunis
Yamin (2005) mengartikan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dasar yang
dapat dilakukan oleh para siswa pada tahap pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Kemampuan dasar akan dijadikan sebagai landasan melakukan proses pembelajaran
dan penilaian siswa. Kompetensi merupakan sasaran, target, standar yang telah
digariskan oleh Benyamin S. Bloom dan Gagne dalam teori-teorinya terdahulu.
Dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa penekanannya adalah
tercapainya tujuan pembelajaran. Cakupan materi yang terkandung pada setiap
kawasan kompetensi cukup luas karena itu diperjelas dengan adanya indikator-
indikator operasional. Standar kompetensi dinyatakan dengan kata-kata operasional,
setiap standar kompetensi diuraikan menjadi tiga sampai enam kemampuan dasar,
ini diurai lagi menjadi beberapa materi pembelajaran, ditetapkan sekurang-
kurangnya satu indikator yang cakupan kemampuan dasar lebih dipersempit. Hal ini
148
untuk mempermudah pencapaian sasaran pembelajaran pada setiap kali kegiatan
belajar berlangsung.
Secara mendasar dalam KBK antara kompetensi dasar dan standar kompetensi
memiliki perbedaan yang prinsip yaitu jika kompetensi dasar mengharuskan siswa
mencapai batas minimal kemampuan bagian tertentu dari mata pelajaran Penjas,
maka standar kompetensi mewajibkan siswa menguasai mata pelajaran Penjas
secara keseluruhan. Ini berarti adanya hubungan yang erat antara tujuan, materi dan
kegiatan pembelajaran, sehingga alangkah bijaknya seorang guru Penjas dalam
menyajikan bahan pelajaran Penjas menggunakan sumber belajar dari lingkungan
kehidupan anak didik. Seperti dalam kegiatan pembelajaran luar kelas (outdoor
education) berbentuk penjelajahan terbatas atau lebih luas sesuai waktu yang
tersedia.
Bahan kajian merupakan penjabaran dari standar isi yang mencakup kajian
yang dibakukan dalam bentuk kompetensi. Sedangkan mata pelajaran merupakan
seperangkat kompetensi dasar yang dibakukan dan subtansi pelajaran mata pelajaran
tertentu per satuan pendidikan dan per kelas selama masa persekolahan. Mata
pelajaran memuat sejumlah kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa per
kelas dan persatuan pendidikan sesuai dengan tingkatan pencapaian hasil belajarnya.
Tolok ukur kompetensi di kemukakan dalam indikator-indikator.
Kompetensi lulusan Sekolah Dasar menurut Depdiknas (2004) adalah sebagai
berikut: (1) Mengenali dan membiasakan berperilaku sesuai dengan ajaran agama
yang didiyakini, (2) Mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban diri, beretos
kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (3) Berfikir secara logis, kritis, dan kreatif
serta berkomunikasi melalui berbagai media, (4) Menyenangi keindahan, (5)
Membiasakan hidup bersih, bugar dan sehat, (6) Memiliki rasa cinta dan bangga
terhadap bangsa dan tanah air.
Berdasarkan kompetensi lulusan tersebut disusun kegiatan pembelajaran
sebagai bentuk konkrit implementasi kurikulum untuk membentuk watak,
peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Kegiatan pembelajaran
berusaha memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai sejumlah
kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk pencapaian
kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu anak didik mampu menjadi
pembelajar sepanjang hayat dan diwujudkan masyarakat belajar.
Kegiatan pembelajaran mengembangkan kemampuan untuk mengetahui,
memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan, dan mengaktualisasikan
diri. Dengan demikian, Depdiknas dalam menyusun kerangka dasar kurikulum 2004
menganjurkan kiat-kiat kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan berikut ini: 1)
berpusat pada anak didik, 2) mengembangkan kreativitas peserta didik, 3)
mencintakan kondisi menyenangkan dan menantang, 4) bermuatan nilai, etika,
estetika, logika, dan kinestenka, dan 5) menyediakan pengalaman belajar yang
beragam.
Berpatokan pada rambu-rambu pembelajaran tersebut, maka pelaksanaan
kegiatan pembelajaran di Sekolah Dasar mempertimbangkan untuk menerapkan
berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, konstektual,
efektif, efisien, dan bermakna. Kegiatan pembelajaranpun harus mampu
mengembangkan dan meningkatkan kompetensi, kreativitas, kemandirian,
150
kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup
peserta didik guna membentuk watak serta pada akhirnya meningkatkan peradaban
dan martabat bangsa.
Berdasarkan pada kerangka dasar kurikulum 2004, maka ruang lingkup
program pembelajaran pendidikan jasmani dan standar kompetensi kelas 6 Sekolah
Dasar meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Permainan dan Olahraga berisikan kegiatan dari berbagai jenis permainan dan
olahraga, baik yang terstruktur maupun tidak dilaksanakan secara perorangan
atau beregu termasuk pengembangan nilai-nilai yang terkandung di dalam
permainan seperti pengembangan kerjasama, sportivitas, kejujuran, berfikir kritis
dan mengikuti peraturan yang berlaku. Adapun standar kompetensi permainan
dan olahraga adalah mengkombinasikan berbagai unsur dasar keterampilan
sepak bola, bola basket, kasti/kipers/rounders/soft ball, atletik, dan permainan
net (perorangan/berpasangan) dengan kontrol yang meningkat dan memiliki
pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
2. Aktivitas pengembangan berisikan kegiatan-kegiatan yang berfungsi untuk
membentuk postur tubuh yang ideal, pengembangan komponen kebugaran
jasmani, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti latihan kekuatan,
daya tahan, kelenturan, keseimbangan, dan kelentukan. Bentuk-bentuk latihan
yang dilakukan adalah senam kesegaran jasmani, senam aerobik, puli up, sit up,
back up, push up, dan lain-lain. Standar kompetensi dari aktivitas pengembangan
adalah merencanakan dan melakukan program kebugaran jasmani individu dan
memiliki pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
151
3. Aktivitas uji diri berisikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
ketangkasan seperti; senam lantai, senam alat dan aktivitas fisik lainnya yang
bertujuan untuk melatih keberanian dan kapasitas diri. Standar kompetensi uji
diri/senam yaitu melakukan latihan ketangkasan dengan baik dan memiliki
pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
4. Aktivitas ritmik berisikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan berbagai
gerak irama, seperti gerak irama bebas, gerak irama modifikasi dan gerak irama
menetap (SKJ), senam aerobik dan nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas.
Standar kompetensi aktivitas ritmik adalah mencintakan pola gerak ritmik secara
berkelompok/beregu dan memiliki pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
5. Aktivitas air berisikan kegiatan-kegiatan di air, seperti permainan air, berbagai
gaya renang dan keselamatan di air serta etika di kolam renang. Standar
kompetensi kegiatan aktivitas air adalah melakukan keterampilan dasar salah
satu gaya renang dengan lancar serta kontrol yang baik dan memiliki
pengetahuan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
6. Pendidikan luar kelas (outdoor education) berisikan kegiatan-kegiatan di luar
kelas dan kegiatan alam terbuka/bebas lainnya, seperti bermain di lingkungan
sekolah, bermain ke taman-taman, bermain di sela-sela perkampungan, lahan
pertanian/nelayan, berkemah, petualangan (mendaki perbukitan/gunung dan
menelusuri aliran sungai dan lain-lain), serta unsur perilaku yang berkaitan
dengan kreativitas di alam bebas. Standar kompetensi aktivitas luar sekolah
adalah melakukan keterampilan dasar berkemah dan penjelajahan di alam bebas
152
berdasarkan pengetahuan dan memiliki sikap serta nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
J . K e r a n g k a Mode l P e m b e l a j a r a n K u a n t u m P e n j a s B e r b a s i s K o m p e t e n s i y a n g
D i k e m b a n g k a n
Kerangka pengembangan model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani
berbasis kompetensi berdasarkan pada saran-saran yang dikemukakan oleh Seels
dan Richey (2004) tentang teknologi pembelajaran yang memiliki langkah-langkah
pembelajaran yang sistimatis dan metodis. Sistimatis dalam arti menggunakan
langkah-langkah pembelajaran yang teratur sesuai dengan kebutuhan siswa dalam
pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar. Metodis dimaksudkan dalam
pembelajaran pendidikan jasmani, seorang guru menyajikan bahan pembelajaran
dimulai dari yang mudah kemudian berjenjang menuju pada yang sulit.
Teknologi pembelajaran memiliki kawasan yang terdiri dari: desain,
pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian baik secara teoritis
maupun praktek tentang proses dan sumber belajar (Seels dan Richey, 2004).
Berdasarkan pengembangan model pembelajaran yang mengacu pada teknologi
pembelajaran tersebut, maka kajian setiap kawasan secara rinci sebagai berikut:
1. Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar, bertujuan untuk
menciptakan strategi dan produk pada tingkat makro seperti program, sedangkan
pada tingkat mikro seperti pelajaran dan modul. Dalam konteks pembelajaran desain
didefinisikan sebagai proses dan sistem. Desain sebagai proses yaitu pengembangan
sistimatika pembelajaran yang spesifik dengan menggunakan teori pembelajaran
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Desain sistem pembelajaran adalah
153
prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah - langkah penganalisaan,
perancangan, pengembangan, pengaplikasian, dan penilaian pembelajaran (Oemar
Hamalik. 2006).
Dalam pembelajaran pendidikan jasmani penganalisaan adalah proses
perumusan tujuan apa yang akan dipelajari, sedangkan perancangan adalah proses
penjabaran bagaimana caranya tujuan tersebut akan dicapai. Pengembangan adalah
proses pembuatan atau produksi bahan - bahan pembelajaran yang akan sisajikan
dalam Penjas, sedangkan pelaksanaan adalah pemanfaatan bahan dan strategi yang
dijalankan dalam pembelajaran Penjas. Penilaian adalah proses penentuan ketepatan
pembelajaran Penjas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan siswa Sekolah Dasar.
Desain pesan model pembelajaran kuantum Penjas merupakan suatu proses
membuat rancangan pesan pembelajaran yang meliputi perencanaan untuk
merekayasa bentuk fisik dari pesan Desain pesan berhubungan dengan penjabaran
bahan belajar yang harus disesuaikan dengan prinsip - prinsip belajar seperti
perinsip perhatian, apersepsi, daya serap untuk menghasilkan proses komunikasi
antar komunikator dengan komunikan. Dalam pembelajaran Penjas pesan dirancang
dan dibuat dalam bentuk media pembelajaran seperti diperkenalkan beragam bentuk
bola yang dimodifikasi baik itu yang terbuat dari kertas, plastik, sabut kelapa, dan
busa. Desain pesan ini juga akan berhubungan dengan apakah materi tersebut
merupakan pembentukan konsep atau sikap, pengembangan keterampilan, atau
bentuk hafalan.
Strategi pembelajaran merupakan spesifikasi penyeleksian serta
mengurutkan langkah - langkah peristiwa belajar dalam suatu proses pembelajaran.
154
Hal ini dikemukakan oleh Oemar Hamalik (2001:201), bahwa strategi pembelajaran
adalah keseluruhan metode dan prosedur yang menitikberatkan pada kegiatan siswa
dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu. Strategi
pembelajaran pendidikan jasmani dalam implementasinya akan berbeda setiap
waktu bergantung pada situasi dan kondisi seperti kebutuhan belajar siswa,
karakteristik, materi yang akan disampaikan, dan jenis belajar yang diinginkan.
Setiap strategi pembelajaran pendidikan jasmani memiliki karakteristik dan
keunggulan tersendiri dalam implementasinya, penentuan strategi pembelajaran
akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi belajar siswa. Misalnya dalam
pembelajaran individual strategi pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses
pembelajaran pendidikan jasmani adalah penugasan pada siswa secara individu atau
kelompok. Diharapkan melalui strategi pembelajaran tersebut mempelajari suatu
materi secara individu atau melalui arahan dan bimbingan guru.
2. Kawasan Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke
dalam bentuk fisik. Dalam hal ini pengembangan berhubungan erat dengan
pengembangan bervariasinya teknologi dalam pembelajaran yang tidak lepas dari
kajian teori dan praktek yang berhubungan dengan belajar. Dalam kawasan
pengembangan terdapat hubungan yang kompleks antara teknologi pembelajaran
dan teori yang mendorong pada pembuatan desain pesan maupun strategi
pembelajaran karena pada dasarnya kawasan pengembangan dapat diartikan sebagai
pesan yang didorong oleh isi, strategi pembelajaran yang didorong oleh teori, dan
manifestasi fisik dari teknologi sebagai perangkat keras perangkat lunak, dan bahan
pembelajaran. Kawasan pengembangan mencakup empat aspek yang meliputi: (1)
155
Teknologi cetak adalah cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan seperti
buku dan bahan visual statis melalui proses percetakan mekanis atau fotografis; (2)
Teknologi audiovisual merupakan teknik memproduksi dan menyampaikan bahan
dengan menggunakan peralatan mekanis dan elektronik untuk menyampaikan pesan
individual; (3) Teknologi berbasis komputer cara memproduksi dengan
menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor untuk menyampaikan
pesannya; (4) Teknologi terpadu merupakan cara untuk memproduksi dan
menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan
komputer.
Teknologi cetak yang akan dikembangkan dalam pengembangan model
pembelajaran kuantum pendidikan jasmani ini berupa buku paket yang bersumber
dari kurikulum Penjas tahun 2004 untuk sekolah dasar sebagai bahan ajar utama.
Sedangkan sumber penunjang berupa paket-paket modul yang disusun berdasarkan
hasil Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS) Penjas sekabupaten Sumedang.
Dalam pengembangan model pembelajaran kuantum Penjas dalam bentuk tercetak
menggunakan sumber belajar yang disusun berdasarkan kompetensi Penjas siswa di
sekolah dasar.
3. Kawasan Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk
belajar. Bagi seorang guru Penjas melaksanakan pemanfaatan harus secara sadar
mengetahui bagaimana menyesuaikan antara tujuan, karakteristik siswa, materi yang
akan diberikan, dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Hal ini dilakukan
supaya siswa berinteraksi dengan bahan dan kegiatan yang dipilih, sehingga tujuan
dapat tercapai. Kawasan pemanfaatan memiliki empat unsur yang selalu
156
mempengaruhinya meliputi: pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi dan
institusional.
Pemanfaatan media adalah penggunaan sumber-sumber untuk belajar yang
dilakukan secara sistimatis. Ragam media yang berada di sekolah adalah media by
design dan media by utilization (Oemar Hamalik, 2006). Model pembelajaran
kuantum Penjas menggunakan media by design adalah media yang dirancang khusus
sesuai dengan kebutuhan pembelajaran guna mencapai tujuan, misalkan media
pembelajaran modifikasi peralatan Penjas, tape recorder, casete video, dan televisi
edukasi. Media by utilization dalam pembelajaran Penjas adalah menggunakan
media yang sudah ada dimanfaatkan oleh sekolah guna menunjang pelaksanaan
proses pembelajran, misalkan media di lingkungan sekitar sekolah (Kantin, UKS,
Museum).
Difusi dan inovasi merupakan suatu proses berkomunikasi melalui strategi
yang terencana dengan tujuan untuk diadopsi. Tahap pertama dalam proses ini
adalah membangkitkan kesadaran melalui kegiatan desiminasi informasi. Proses
komunikasi dalam pembelajaran Penjas sangat penting, karena tanpa proses
komunikasi maka difusi inovasi tersebut tidak berarti apa-apa. Artinya ketika proses
pembelajaran Penjas berlangsung saling berkomunikasi antar siswa, siswa dengan
guru, siswa dengan lingkungan masyarakat. Implementasi adalah strategi
pembelajaran dalam keadaan yang sesungguhnya, sedangkan pelembagaan
merupakan penggunaan rutin dan pelestarian dari inovasi pembelajaran dalam suatu
struktur atau budaya organisasi. Tujuan implementasi adalah menjamin penggunaan
yang benar oleh individu dalam organisasi, sedangkan tujuan dari pelembagaan
157
untuk mengintegrasikan inovasi dalam struktur dan kehidupan organisasi (Seels dan
Richey, 1994). Kebijakan dan regulasi suatu aturan dan tindakan dari masyarakat
yang mempengaruhi difusi dan penggunaan teknologi pembelajaran Kebijakan dan
regulasi biasanya dihambat oleh permasalahan etika dan ekonomi. Keduanya timbul
sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok.
4. Kawasan Pengelolaan merupakan bagian integral dalam bidang kajian teknologi
pembelajaran yang meliputi pengendalian teknologi pembelajaran melalui
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan supervisi. Kawasan
pengelolaan terdiri dari: pengelolaan proyek, pengelolaan sumber, pengelolaan
sistim penyampaian, dan pengelolaan informasi.
Pengelolaan proyek dalam pembelajaran Penjas meliputi perencanaan,
momtoring, pengendalian, dan pengembangan. Perencanaan yang disusun
berdasarkan strategi model pembelajaran kuantum yang meliputi tumbuhkan, alami,
namai, demontrasikan, ulangi dan rayakan. Monitoring dalam pengelolan proyek
harus melakukan kegiatan seperti menyusun anggaran, membentuk sistem
pemantauan informasi dan menilai kemajuan pembelajaran. Pengelolaan sistem
penyampaian meliputi perencanaan, pemantauan, pengendalian bagaimana distribusi
bahan pembelajaran diorganisasikan, hal itu merupakan gabungan media dan cara
penggunaan yang dipakai dalam menyajikan informasi pembelajaran kepada siswa.
Pengelolaan informasi dalam pembelajaran Penjas meliputi aspek-aspek
perencanaan, pemantauan, dan pengendalian cara penyimpanan, pengiriman atau
pemrosesan informasi dalam rangka tersedianya sumber belajar. Pengelolaan
informasi dalam pembelajaran Penjas penting untuk memberikan akses dan
158
kejelasan bagi interaksi guru dan siswa bagaimana pengelolaan pembelajaran agar
mencapai tujuan. Pentingnya pengelolaan informasi bagi guru dan siswa karena
bahan, sumber, dan metode yang digunakan sebagai bahan untuk mengadakan
evaluasi kurikulum dan aplikasi desain pembelajaran yang dikembangkan.
5. Kawasan Evaluasi adalah proses penentuan memadai tidaknya pembelajaran
bahkan evaluasi merupakan proses penentuan pada tingkatan mana seseorang
berubah perilakunya. Unsur-unsur yang terkait dalam kawasan evaluasi, yaitu:
analisis masalah, pengukuran acuan patokan, penilaian formatif dan sumatif (Tyler
dalam Oemar Hamalik, 2006). Analisis masalah dalam model pembelajaran
kuantum Penjas mencakup cara penentuan sifat dan parameter masalah yang
dihadapi dalam berbagai materi pembelajaran Penjas sesuai dengan kurikulum
berbasis kompetensi dengan menggunakan strategi pengumpulan informasi dan
pengambilan keputusan. Kegiatan penilaian meliputi identifikasi kebutuhan,
penentuan sejauhmana masalah dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik
siswa, penentuan tujuan dan skala perioritas. Analisis kebutuhan diadakan bukan
untuk melaksanakan penilaian yang berorientasi agar model pembelajaran kuantum
Penjas ini tetap dipertahankan, melainkan untuk perencanaan ke depan yang lebih
memadai.
Penilaian acuan patokan meliputi teknik-teknik untuk menentukan
kemampuan pembelajar dalam menguasai materi pembelajaran Penjas yang telah
ditentukan sebelumnya. Penilaian acuan patokan memberikan informasi kepada
siswa seberapa jauh mereka dapat mencapai sasaran sesuai dengan standar yang
telah ditentukan. Penggunaan PAP (Penilaian Acuan Patokan) membawa implikasi
159
tertentu terhadap pelaksanaan pembelajaran. Penilaian yang menggunakan patokan
lebih menuntut keterpaduan antara pelaksanaan program pengajaran dan penilaian,
karena penilaian yang menggunakan PAP lebih didasarkan pada penguasaan materi
atau penguasaan kompetensi sesuai dengan tujuan instruksional, sehingga guru harus
hati-hati dalam mengembangkan kompetensi-kompetensi atau penguasaan materi
yang merupakan prasyarat untuk mengikuti program berikutnya.
Penilaian formatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang
kecukupan apakah bahan pembelajaran yang diberikan dapat diserap oleh siswa atau
belum. Hasil dari penilaian sumatif dapat dijadikan bahan sebagai penggunaan
informasi bersifat menyeluruh bagi pengembangan program pembelajaran
selanjurnya. Jika penilaian formatif dilaksanakan pada saat perbaikan program untuk
kepentingan, perbaikan kinerja guru pendidikan jasmani di sekolah, maka penilaian
sumatif berhubungan dengan pengumpulan informasi tentang cukup tidaknya untuk
mengambil keputusan selanjutnya dalam hal pemanfaatan. Oleh karena itu penilaian
sumatif dilaksanakan selesai suatu program pembelajaran dan bagi kepentingan para
pengambil keputusan.
Kerangka model pembelajaran kuantum Penjas berbasis kompetensi
merupakan perpaduan antara konsep teknologi pembelajaran yang disarankan Seels
dan Richey (1994), yang meliputi rancangan, pengembangan, pemanfaatan,
pengelolaan, dan evaluasi dengan kerangka perancangan pembelajaran model
kuantum yang meliputi tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan
rayakan (Bobbi DePorter, 1999). Perpaduan antara rancangan teknologi
pembelajaran dengan rancangan model pembelajaran kuantum melahirkan sebuah
160
model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani berbasis kompetensi bertujuan
tidak semata-mata menterjemahkan kurikulum ke dalam langkah-langkah
pembelajaran yang praktis, akan tetapi mampu menterjemahkan kebutuhan siswa
yang terus tumbuh dan berkembang.
Rancangan model pembelajaran kuantum Penjas menggunakan langkah-
langkah pembelajaran sebagai berikut: (1) Tumbuhkan melalui pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan untuk mengungkap pengalaman belajar siswa yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, (2) Namai merupakan tahapan
kegiatan mengadakan penyelidikan melalui pengumpulan, pengorganisasian,
interprestasi dan menentukan alternatif terbaik, (3) Demonstrasikan melalui kegiatan
percobaan tentang materi belajar sehingga menemukan sendiri alternatif terbaik, (4)
Ulangi bahan pelajaran yang telah dipelajari sehingga dilakukan secara otomatis, (5)
Rayakan terhadap keberhasilan yang telah diraih sebagai bahan penguat kesuksesan
mencapai tujuan dan revisi terhadap belajar yang belum berhasil.
Pengembangan model pembelajaran kuantum Penjas merupakan produksi
bahan-bahan pembelajaran mulai dari sumber belajar, media pembelajaran dan
sarana prasarana yang dikembangkan dalam pembelajaran Penjas. Buku paket
Penjas yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku dimiliki oleh setiap siswa
ditambah poster dan gambar aktivitas Penjas yang ditugaskan guru kepada siswa.
Media dan sarana prasarana belajar yang dimiliki sekolah dikembangkan melalui
modifikasi berbagai peralatan Penjas yang dilakukan oleh guru bersama siswa
sehingga secara kuantitas memadai sesuai dengan karakteristik fisik siswa SD.
Pemanfaatan model pembelajaran kuantum Penjas yang merupakan-
kesesuaian antara kondisi siswa dengan materi dan strategi pembelajaran pendidikan
jasmani menurut kurikulum berbasis kompetensi. Materi pembelajaran permainan,
uji diri, atletik, akuatik dan outdor education dikemas dalam bentuk game sesuai
dengan karakteristik siswa SD gemar bermain, sehingga peraturan, lapangan, dan
peralatan Penjas dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan siswa
tersebut.
Pengelolaan model pembelajaran kuantum Penjas yang berorientasi pada
sistem penyampaian implementasi pembelajaran meliputi kegiatan pokok, yaitu
kegiatan pendahuluan, pengembangan fisik, inti kegiatan, dan penutup. Kegiatan
pendahuluan berisikan kegiatan pemanasan, penyesuaian, dan melakukan kegiatan
menuju pada inti. Sedangkan kegiatan pengembangan fisik untuk meningkatkan
kondisi kebugaran tubuh sebagai jawaban dirmlikinya unsur-unsur gerak dasar
seperti kekuatan, kelincahan, kecepatan, keseimbangan, kelenturan, dan daya tahan.
Tahapan kegiatan inti mengulang bahan pelajaran yang sudah dan mempelajari
materi pelajaran baru melalui pengulangan belajar yang memdai sehingga memiliki
kompetensi tertentu. Selanjutnya dilakukan kegiatan penutup setelah pelaksanaan
tugas-tugas pokok diberikan yang berisikan umpan balik dan penguat agar siswa
belajar pendidikan jasmani lebih giat di masa mendatang.
Penilaian yang merupakan penentuan seorang siswa berada pada tingkatan
mana terjadi perubahan perilaku dalam model pembelajaran kuantum pendidikan
jasmani khususnya kemampuan gerak dasar, pemahaman materi pelajaran, dan sikap
positif terhadap aktivitas jasmani yang sedang dilakukan. Alat penilaian dalam
f.*- ° 7 162
'9
pembelajaran pendidikan jasmani tidak hanya bersifat kuantitatif akan tetapi
kualitatif dengan menggunakan observasi dan penjelasan pada setiap deskriftor yang
dibuat sesuai karakteristik tingkatan gerak yang dimilikinya.
Adapun langkah-langkah model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani
sebagai berikut:
1. Tumbuhkan minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman
tentang apa manfaatnya bagiku. Belajar Pendidikan jasmani sejak awal
melakukan kegiatan memahami teknik, taktik, strategi dan evaluasi pada awalnya
dipelajari melalui fase kognitif yaitu memahami alur gerak yang akan dilakukan,
sehingga ada gambaran apa yang akan dilakukan.
2. Alami, buatlah pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua siswa
melakukan aktivitas gerak mulai gerak yang sederhana sampai pada gerak yang
kompleks. Tujuannya agar siswa mengalami langsung bagaimana gerak yang
mesti dilakukan sehingga dapat merasakan setiap jenjang kesulitan gerak.
3. Namai, setiap pengajar mesti menyediakan kata kunci, konsep, model dan
strategi apa yang tepat yang dilakukan dalam pembelajaran pendidikan jasmani
untuk siswa Sekolah Dasar.
4. Demonstrasikan, sebaiknya guru menyediakan kesempatan bagi anak didik
untuk menunjukan keterampilannya. Keterampilan yang dilakukan oleh anak
didik berupa unjuk kerja berbentuk alur gerak yang bebas sesuai dengan
kemampuan dan karakter masing-masing.
5. Ulangi, guru harus menunjukkan cara mengulangi materi gerakan yang dilakukan
oleh siswa, dan menegaskan "aku tahu bahwa aku memang tahu". Mengulang-
163
ngulang materi dimaksudkan agar belajar dan berlatih gerakan yang baru
menjadi sempurna untuk memperoleh gerakan secara otomatisasi yakni
melakukannya tidak lagi dipikir-pikir lagi.
6. Rayakan, guru harus memberikan pengakuan terhadap setiap penyelesaian tugas,
partisipasi yang tinggi dan pemerolehan pengetahuan dan keterampilan yang
ditunjukan dalam belajar dan berlatih siswa. Guru tidak segan-segan
memberikan pujian dan penghargaan ketimenunjukkan hasil belajar yang
memuaskan, sehingga akan membangkitkan motivasi belajar yang tinggi bagi
siswa.
Kerangka model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani yang berbasis
kompetensi cenderung memiliki pedoman yang jelas dalam hal menentukan tujuan,
subtansi materi, metode pembelajaran dan penilaian. Tujuan yang ingin dicapai
dalam pembelajaran Penjas disesuaikan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai
sesuai dengan kondisi pembelajaran. Guru diperkenankan menambah dan
mengurangi kompetensi dasar itu dengan asumsi standar kelulusan mencapai 75%.
Subtansi materi ditetapkan pemerintah baik standar kompetensi maupun kompetensi
dasar dan materi pokok, sekolah menyesuaikan berdasarkan perkembangan siswa
dan kebutuhan lapangan.
Model pembelajaran kuantum Penjas berbasis kompetensi lebih berorientasi
pada pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak yang hasilnya bermanfaat bagi kehidupan nyata anak didik.
Pembelajaran Penjas berbasis kompetensi pada hakekatnya memungkinkan seluruh
kegiatan didominasi oleh siswa, artinya siswa berbuat, melakukan sendiri, mencari
164
tahu dan mengambil kesimpulan. Peran guru sebatas sebagai fasilitator, motivator,
dan mediator yang selalu memberikan arahan atau masukan ketika siswa mengalami
kesulitan dalam memecahkan maasalah.
Kriteria keberhasilan kompetensi Penjas ditentukan oleh faktor-faktor: 1)
berfikir secara logis, kritis, kreatif inovatif dan memecahkan masalah berbagai
keterampilan gerak yang dipelajari, 2) menyenangi kondisi pembelajaran Penjas
dengan penuh antusias dan kegembiraan melakukannya, 3) produk pembelajaran
Penjas bagi anak didik dapat membiasakan memelihara dan menjalankan pola hidup
bugar, bersih dan sehat, dan 4) berpartisipasi aktif dalam melakukan aktivitas
pendidikan jasmani baik perorangan maupun kelompok, sehingga aktivitas gerak
yang dilakukannya tinggi.
Berdasarkan analisis di atas pada hakekatnya, isi mata pelajaran pendidikan
jasmani yang berbasis kompetensi ternyata memiliki kesesuaian dengan karakteristik
pembelajaran kuantum, antara lain: Pertama, pembelajaran kuantum
menitikberatkan pada kemampuan berfikir (otak kiri dan otak kanan),
memaksimalkan kemampuan motorik (gerak), dan menyalurkan perasaan emosi
dalam suasana menyenangkan. Kedua, pembelajaran kuantum mempunyai dampak
pembelajaran penguasaan sejumlah bahan ajar dan prestasi belajar secara optimal
karena belajar melalui pengalaman. Hal ini sangat dibutuhkan dalam pembelajaran
pendidikan jasmani, karena belajar pendidikan jasmani melahirkan manusia yang
utuh, artinya tidak hanya cerdas akan tetapi terampil dan mampu mengatasi
tantangan zaman yang semakin hari semakin kompleks. Di masa modem sekarang
ini diperlukan generasi yang sehat jasmani, rohani, dan sosial serta berani
165
menantang tantangan 2aman. Ketiga, pembelajaran kuantum mempunyai dampak
pengiring yang berupa kemampuan berinteraksi, saling menghargai,
bertanggungjawab, berani mengambil keputusan dan meningkatkan kemampuan
berfikir dan memecahkan masalah. Sikap-sikap positif tersebut perlu ditanamkan
sedini mungkin kepada anakdidik sejak dari Sekolah Dasar, sebagai bagian dari
tujuan pendidikan jasmani yang harus dipelajari dan dilaksanakan di Sekolah Dasar.
Keempat, pembelajaran kuantum secara konseptual memberikan kesempatan untuk
diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu dan berbagai jenjang pendidikan, sehingga
memungkinkan diimplementasikan pada jenjang Sekolah Dasar.
Atas dasar pertimbangan kesesuaian karakteristik pembelajaran kuantum
dengan mata pelajaran pendidikan jasmani, maka secara konseptual model
pembelajaran kuantum dapat diimplementasikan dalam pembelajaran pendidikan
jasmani. Namun pembelajaran kuantum seperti apa yang cocok diimplementasikan
dalam pembelajaran pendidikan jasmani? Jika diimplementasikan, apakah
pembelajaran kuantum meningkatkan kualitas pembelajaran tersebut? Jika efektif,
apakah kefektifannya lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional yang saat ini diterapkan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul
untuk mendukung dan mendorong dilakukan penelitian tentang pengembangan
model pembelajaran kuantum dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan
jasmani.
Perpaduan antara rancangan teknologi pembelajaran dengan strategi
pembelajaran kuantum melahirkan sebuah model pembelajaran kuantum pendidikan
jasmani berbasis kompetensi bertujuan meningkatkan kinerja guru dan peningkatan
hasil belajar siswa dalam mata pelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar
terangkum dalam bagan kerangka model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani
berbasis kompetensi sebagai berikut:
166
KERANGKA MODEL PEMBELAJARANKUANTUM PENJAS
B a g a n 2 -5
K e r a n g k a M o d e l P e m b e l a j a r a n Kuantum P e n j a s