bab ii tanaman padi merupakan tanaman pangan, yang dikenal ... ii.pdfsecara keseluruhan disebut...
TRANSCRIPT
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
2.1. Tanaman Padi 2.1.1. Tinjauan Umum
Tanaman Padi merupakan tanaman pangan, yang dikenal dengan nama
Oryza sativa L.. Secara morfologi tanaman padi dibedakan menjadi 2 bagian
besar yaitu bagian vegetatif yang meliputi akar, batang dan daun, dan bagian
generatif yang meliputi malai dan bunga (Gambar 2.1). Akar padi termasuk akar
serabut, batang beruas-ruas yang dibatasi oleh buku. Anakan (tunas) tumbuh dari
buku, ruas yang terpanjang terdapat paling atas dan menurun semakin ke bawah.
Daun tumbuh pada batang berselang seling tumbuh pada setiap buku. Bunga
secara keseluruhan disebut malai terdiri dari 8-10 buku yang menghasilkan
cabang-cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang sekunder. Bunga terdiri
dari 6 benang sari dan 1 putik, butir biji adalah bakal buah yang matang, butir biji
padi yang tanpa sekam disebut beras. Komponen butir biji padi terdiri dari sekam,
kulit beras, endosperm dan embrio (Puspitarini, 2012). .
Ada dua tipe tanaman padi yaitu padi lahan kering (gogo) yang ditanam di
dataran tinggi dimana kebutuhan airnya sangat tergantung dari curah hujan dan
padi sawah di dataran rendah yang memerlukan air yang tergenang. Ada 13
varietas padi gogo dilepas oleh pemerintah sejak tahun 1990 hingga 2002, dan
beberapa diantaranya tahan terhadap penyakit blas, seperti: varietas Danau
Tempe, Situ Gintung, Way Rarem, Cirata, Towoti, Danau Gaung, Batu Tegi , Situ
Patenggang, Situ Bagendit , dan Jati luhur (Supriatno et al., 2010).
Varietas unggul yang tahan terhadap penyakit blas seperti : varietas IPB
4S baik dikembangkan pada sawah tadah hujan dan lahan irigasi. Padi varietas ini
memiliki produktivitas 7 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 10,5 ton per ha.
IPB 3S dan IPB 4S memiliki ketahanan terhadap penyakit blas. Padi varietas IPB
Batola 5R yang diperuntukkan bagi lahan pasang surut memiliki produktivitas 4.3
ton per ha dan berpotensi menghasilkan 5,3 ton per ha gabah kering giling (GKG).
Varietas IPB Kapuas 7R merupakan varietas unggul padi bagi daerah rawa, juga
tahan terhadap penyakit blas (Puspitarini, 2012).
2.1.2. Jenis Tanaman Padi
Secara umum tanaman padi dibagi menjadi 3 kelompok varietas yaitu
yang pertama varietas hibrida atau sering disebut varietas padi sekali tanam,
karena hasilnya akan maksimal bila sekali ditanam.Keturunan yang ditanam
Gambar 2.1 Tanaman padi (O. sativa L.)
(Sumber: koleksi pribadi , 2014)
Tanaman padi
sehat
kembali maka hasilnya akan jauh berkurang. Contohnya varietas Intani 1 dan 2,
PP1, H1, Bernas Prima, Rokan, SL 8 dan 11 (Ihsan, 2012). Kelompok varietas
yang kedua adalah varietas unggul. Varietas ini bisa berkali-kali ditanam, dan
hasil panen varietas ini bisa dijadikan benih kembali. Contoh dari varietas unggul
adalah varietas Ciherang, IR – 64, Cisadane, Situbagendit. Kelompok varietas
yang ketiga adalah varietas padi lokal. Varietas padi lokal merupakan varietas
yang sudah lama beradaptasi di daerah tertentu. Varietas ini mempunyai
karakteristik spesifik lokasi di daerah tersebut dan setiap varietas mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Contoh varietas lokal seperti varietas Kebo, Dharma
Ayu, Pemuda Idaman (Indramayu), Gropak, Ketan tawon, Gundelan, Merong
(Pasuruan), Simenep , Srimulih, Andel Jaran, Ketan Lusi, Ekor Kuda, hingga
Gropak (Yogyakarta) (Deptan, 2012).
Varietas padi yang banyak ditanam di Indonesia adalah Ciherang bisa
mencapai 47 % dari total varietas yang ditanam. Selain itu varietas lain yang
ditanam adalah IR-64, Mekongga, Cimelati, Cibogo, Cisadane, Situ Patenggang,
Cigeulis, Ciliwung, Cimelati, Membramo, Sintanur, Jati luhur, Fatmawati,
Situbagendit (Ihsan, 2012). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada tahun
2013, varietas padi yang banyak ditanam di Bali adalah varietas Ciherang dan
untuk daerah Kecamatan Penebel Tabanan khususnya Desa Senganan dan Desa
Jati Luwih masih banyak petani menanam padi varietas lokal seperti padi Cicih,
padi Del Putih, padi Del Merah. Tanaman padi lokal ditanam bergantian dengan
tanaman padi unggul.
Spesies padi yang dibudidayakan dibedakan menjadi dua yaitu : O. sativa
L. yang berasal dari Asia dan O. glaberrima yang berasal dari Afrika Barat. Pada
awal mulanya O. sativa L. dianggap terdiri dari dua subspesies, yaitu indica dan
japonica. Padi japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah
rebah, lemmanya memiliki ekor atau bulu, bijinya cenderung membulat, dan
nasinya lengket. Padi indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil,
lemmanya tidak berbulu atau hanya pendek saja, dan bulir cenderung oval sampai
lonjong walaupun kedua anggota subspesies ini dapat saling membuahi,
persentase keberhasilannya tidak tinggi. Salah satu contoh dari hasil persilangan
ini adalah kultivar IR8, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan japonica
dengan indica. Selain kedua varietas ini, dikenal varietas minor javonica yang
memiliki sifat antara dari kedua tipe utama (Deptan, 2012).
Berdasarkan keanekaragaman budidaya maka di beberapa daerah tadah
hujan, dikembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran
tanpa penggenangan seperti di sawah. Di Lombok dikembangkan sistem padi
gogo rancah, yang memberikan penggenangan dalam selang waktu tertentu
sehingga hasil padi meningkat. Padi rawa atau padi pasang surut tumbuh liar atau
dibudidayakan di daerah rawa-rawa. Selain di Kalimantan, padi tipe ini
ditemukan di lembah Sungai Gangga. Padi rawa mampu membentuk batang yang
panjang sehingga dapat mengikuti perubahan kedalaman air yang ekstrem
musiman ( Hihsan , 2012).
Padi juga memiliki keanekaragaman mutu beras. Jenis padi pera adalah
padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20% pada berasnya. Butiran
nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan dari padi pera adalah padi pulen.
Sebagian besar orang Indonesia menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras
yang dijual di pasar Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama
dilihat dari konsistensi nasinya. Ketan baik yang putih maupun hitam, sudah
dikenal sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati
berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak sangat lekat.
Jenis padi wangi atau harum dikembangkan orang di beberapa tempat di Asia,
yang terkenal adalah ras Cianjur Pandanwangi dan Rajalele. Salah satu tahap
terpenting dalam pemuliaan padi adalah dirilisnya kultivar IR5 dan IR8, yang
merupakan padi pertama yang berumur pendek namun berpotensi hasil tinggi. Ini
adalah awal revolusi hijau dalam budidaya padi (Hihsan, 2012).
2.2. Penyakit Blas
2.2.1. Gejala Penyakit
Penyakit blas yang disebabkan oleh jamur P. oryzae bisa menginfeksi
tanaman padi pada masa vegetatif dan menimbulkan gejala blas daun yang
ditandai dengan adanya bercak kecil pada daun berwarna ungu kekuningan
(Gambar 2.2). Semakin lama bercak menjadi besar, berbentuk seperti belah
ketupat dengan bagian tengahnya berupa titik berwarna putih atau kelabu, dengan
bagian tepi kecoklatan (Groth, 2012).
Gejala penyakit pada fase generatif ditandai dengan busuknya pangkal
malai dengan warna kehitaman dan mudah patah (Gambar 2.3). Ukuran bercak
berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat ketahanan varietas.
Jamur ini sangat mudah beradaptasi terhadap segala kondisi lingkungan, dan bisa
dijumpai di tanah persawahan, padi gogo dan padi pasang surut, dan mudah
berpindah dari satu tempat ketempat lain (Balitbio, 2004).
Penyakit blas merupakan salah satu penyakit utama dalam budidaya
padi karena bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar. Penyakit blas
dilaporkan dapat menurunkan hasil panen di Asia Tenggara dan Amerika
Selatan sekitar 50%. Dilaporkan bahwa di Indonesia penyakit blas mencapai
luas 1.285 ha pada tahun 2007, meningkat menjadi 2.208 ha pada tahun 2011,
dan 3.649 ha pada tahun 2012 (Dahyar et al., 2010; Nugroho et al., 2013).
Padi merupakan inang utama sebagai tempat berkembangnya jamur P.
oryzae sehingga apabila tanaman padi tumbuh serempak di suatu hamparan dan
sudah pernah ada penyakit blas sebelumnya maka besar kemungkinan blas ini
akan segera menyebar apabila didukung oleh faktor lingkungan seperti
kelembaban dan suhu optimum yaitu antara 24-28ºC. P. oryzae menyerap nutrisi
tanaman padi untuk memperbanyak diri dan mempertahankan hidup. Apabila
penyakit terjadi pada tanaman muda, menyebabkan proses pertumbuhan tidak
normal, beberapa daun menjadi kering dan mati. Blas pada daun banyak
menyebabkan kerusakan antara fase pertumbuhan hingga fase anakan
maksimum. Infeksi pada daun setelah fase anakan maksimum biasanya tidak
Gambar 2.3 Gejala Penyakit Blas Malai pada Tanaman Padi
(Sumber: Koleksi Pribadi, 2014)
menyebabkan kehilangan hasil yang terlalu besar. Penggunaan fungisida pada
fase vegetatif sangat dianjurkan guna menekan tingkat intensitas blas daun dan
juga dapat mengurangi infeksi pada tangkai malai (Tebeest and Michael, 2007).
Pemupukan unsur N pada musim hujan dengan dosis tinggi juga akan
memicu pertumbuhan P. oryzae. Pemupukan nitrogen yang tinggi menyebabkan
ketersediaan nutrisi yang ideal bagi jamur P. oryzae dan lemahnya jaringan daun,
sehingga spora jamur ini pada awal pertumbuhan dapat menginfeksi optimal dan
menyebabkan kerusakan serius. Teknik budidaya padi terutama pada musim
tanam rendengan/hujan haruslah ekstra hati-hati. Curah hujan yang tinggi serta
adanya faktor angin memicu perkembangan jamur dan penyakit blas dapat
meluas dengan cepat. Pengelolaan jarak tanam yang terlalu rapat juga akan
mempengaruhi penyakit blas (Prayudi, 2010).
2.2.2. Penyebab Penyakit
Penyakit blas pada padi disebabkan oleh jamur P. oryzae Jamur ini
mempunyai konidia berbentuk bulat lonjong, tembus cahaya, dan bersekat dua
dengan konidiofor panjang bersekat-sekat, jarang bercabang, berwarna kelabu
(Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Konidia Jamur P. oryzae (Sumber: Richard et al.,2009)
Daur penyakit blas meliputi tiga fase yaitu infeksi, kolonisasi, dan sporulasi. Fase
infeksi diawali dengan pembentukan konidia bersepta tiga yang dilepaskan oleh
konidiofor. Konidia berpindah ke permukaan daun yang tidak terinfeksi melalui
percikan air atau bantuan angin konidia menempel pada daun, konidia akan
berkecambah pada kondisi optimum dengan cara membentuk buluh-buluh
perkecambahan yang selanjutnya menjadi appresoria (Bourett dan Howard, 1990).
Appresoria akan menembus kutikula daun. Proses penetrasi appresoria pada
kondisi optimum berlangsung 8-10 jam. Pertumbuhan hifa yang terus terjadi
menyebabkan terbentuknya bercak. Pada kelemban yang tinggi, bercak pada
tanaman yang rentan menghasilkan konidia selama 3-4 hari. Konidia ini sangat
mudah tersebar dan merupakan inokulum untuk infeksi selanjutnya (Chumley dan
Valent, 1990).
Penyebaran spora terjadi selain oleh angin juga oleh bagian tanaman
seperti biji dan jerami, karena P.oryzae mampu bertahan dalam sisa jerami dan
gabah tanaman sakit. Dalam keadaan kering dan suhu kamar, spora masih bisa
bertahan hidup sampai satu tahun, sedangkan miselia mampu bertahan sampai
lebih dari 3 tahun. Sumber inokulum primer di lapangan pada umumnya adalah
jerami. Sumber inokulum dari benih biasanya memperlihatkan gejala awal pada
persemaian. Untuk daerah tropis, sumber inokulum selalu ada sepanjang tahun,
karena adanya spora di udara dan tanaman inang lain selain padi (Chumley dan
Valent, 1990).
Klasifikasi jamur P. oryzae (Sinaga, 2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisi : Mycota
Subdivisi : Eumycotina
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Pyricularia
Spesies : Pyricularia oryzae Cav.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit Perkembangan penyakit blas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
faktor genetik . Faktor tanaman inang dalam hal ini memberikan andil terhadap
perkembangan penyakit blas, tanaman yang rentan akan mudah terserang dan
yang tahan akan tetap bertahan (Agrios,2006). Spesies padi liar merupakan salah
satu alternatif sumber keragaman genetik yang dapat dimanfaatkan dalam
perakitan varietas tahan penyakit blas. Oryza rufipogon merupakan jenis padi liar
yang berpotensi dikembangkan sebagai sumber gen tahan penyakit blas (Utami et
al, 2005). Disamping gen dari inang, gen dari jamur P. oryzae itu sendiri juga
berpengaruh terhadap perkembangan penyakit blas. P. oryzae diketahui
mempunyai banyak ras fisiologi yang berbeda-beda sifat dan virulensinya.
Patogenitas ditentukan oleh perbedaan mekanisme metabolisme dan senyawa-
senyawa kimia yang terdapat pada jamur P. oryzae. Jamur ini mampu membentuk
beberapa toksin antara lain pyricularian, pyriculol, dan tennazonic acid (IRRI,
2010).
Faktor lingkungan juga tidak kalah pentingnya didalam mendukung
perkembangan penyakit blas. Jamur P. oryzae berkembang optimal pada
lingkungan dengan suhu berkisar antara 24-28ºC dan dengan kelembaban udara
mencapai 90% (IRRI, 2010). Epedemi sering terjadi pada suhu 320C atau suhu
170C, tanaman yang tumbuh pada suhu seperti ini akan menjadi stress dan mudah
diserang pathogen. Kelembaban di atas 90% merupakan faktor yang sangat
membantu perkembangan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyebaran
spora dibantu oleh angin dan masih dapat menginfeksi tanaman sehat sejauh 2 km
dari sumber inokulum awal (Hidayat, 2012).
Air juga berpengaruh karena pada tanaman padi yang kekurangan air
pertumbuhannya akan terganggu, seperti padi gogo kadar silikon didalam daun
akan berkurang sehingga jamur patogen akan mudah mengalami penetrasi, bisa
berkembang lebih baik dan intensitas penyakit lebih parah dibandingkan dengan
padi sawah (Semangun, 2006). Demikian juga jika tanaman padi kelebihan air
maka kelembaban akan meningkat, dan serangan patogen blas akan meningkat
(IRRI, 2010).
Faktor inang alternatif. Inang utama P. oryzae adalah padi, namun dapat
memanfaatkan jenis rumput sebagai sumber inokulum seperti Digitaria cilaris;
Echinochloa colona dan Zea mays (Tandiabang dan Pakki, 2007), Magnaporthe
oryzae dapat menginfeksi tanaman monocotyl jenis Arabidopsis thaliana. Untuk
meminisasi perkembangan pathogen blas maka jerami sisa-sisa panen yang
menjadi tempat hidup miselia jamur dan bertahan selama satu tahun, sebaiknya
jerami setelah panen dibenamkan sehingga bisa menekan penyebaran penyakit
blas, dan meningkatkan kesuburan tanah karena didekomposisi oleh mikroba yang
ada di dalam tanah (Yolanda, 2013).
Faktor pemupukan juga sangat berpengaruh. Pemupukan nitrogen yang
tinggi akan meningkatkan serangan penyakit blas akibat dari jaringan daun
menjadi lemah karena penyerapan silikon terganggu, sehingga spora jamur
menginfeksi secara optimal dan menyebabkan kerusakan serius pada tanaman
padi (Tandiabang dan Pakki, 2007). Kombinasi pemupukan nitrogen yang tinggi
tanpa kalium dengan jarak tanam yang rapat juga menjadi faktor tingginya
kejadian penyakit blas malai (IRRI, 2010). Petani disarankan menggunakan pupuk
sesuai anjuran terutama pada daerah endemic penyakit blas. Penggunaan pupuk
berimbang dengan penggunaan kalium dan phosfat dianjurkan agar dapat
mengurangi infeksi penyakit blas di lapangan. Penggunaan kalium dapat
mempertebal lapisan epidermis pada daun sehingga penetrasi spora akan
terhambat dan tidak berkembang di lapangan. Dianjurkan kepada para petani
penggunaan pupuk nitrogen 90 kg/ha (Tandiabang dan Pakki, 2007).
2.2.4. Pengendalian
Menurut Effendi (2009), ada beberapa cara pencegahan dan pengendalian
penyakit blas di antaranya adalah pengelolaan tanaman terpadu (PTT) pada
tanaman padi. Salah satu tujuan PTT adalah mampu menekan penurunan hasil
akibat OPT (organisme penggangu tumbuhan) antara lain dengan jalan
menggunakan varietas tahan dan pembenaman jerami (Santika dan Sunaryo,
2008). Penggunaan varietas baru yang tahan terhadap blas sangat dianjurkan bagi
daerah yang endemi terhadap blas (Utami , 2005). Proses dekomposisasi jerami
selain dapat berfungsi sebagai pupuk organik juga dapat membunuh miselia blas
sehingga tidak berpotensi untuk berkembang. Penggunaan pupuk kompos dapat
menekan perkembangan penyakit blas dan meningkatkan produksi (Tandiabang
dan Pakki , 2007).
Penggunaan pupuk sesuai anjuran terutama pada daerah-daerah endemi
penyakit blas khususnya penggunaan nitrogen yang tidak berlebihan dan dengan
penggunaan kalium dan phosfat, dianjurkan agar dapat mengurangi infeksi blas di
lapangan. Penggunaan kalium mempertebal lapisan epidermis pada daun sehingga
penetrasi spora akan terhambat dan tidak akan berkembang di lapangan
(Tandiabang dan Pakki , 2007). Penggunaan jarak tanam yang tidak rapat atau
lebih renggang akan menghambat perkembangan penyakit blas pada padi.
Semakin rapat jarak tanam maka semakin mudah perkembangan penyakit blas
(Balitbio, 2004).. Pengendalian penyakit secara terpadu dan tepat guna merupakan
salah satu cara untuk mengendalikan penyakit blas (Balitbio, 2004).
Penggunaan mikroba antagonis jenis Enterobacter agglomerans, Seratia
liguefaciens dan Xanthomonas lumenescens dapat menekan pertumbuhan jamur p.
oryzae Cav. penyebab penyakit blas (Suprapta , 2012). Penggunaan bakteri
antagonis Corynebacterium sp. terhadap penyakit blas menunjukkan hasil yang
menggembirakan, dimana dengan perlakuan perendaman benih dengan bakteri
antagonis Corynebacterium sp. selama 15 menit sebelum tanam dan dilakukan
penyemprotan memberikan hasil yang lebih baik (Dahyar, 2010). Fungisida hayati
lainnya dapat berupa produk langsung jadi yang dijual di pasaran seperti
inokulan/starter Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang digunakan sebagai
tindakan preventif pada masa vegetatif padi (Djunaedy , 2009).
Fungisida nabati juga telah dibuat untuk mengendalikan penyakit blas, di
antaranya menggunakan ekstrak daun sirih, ekstrak daun jambu dan ekstrak
lengkuas. Cara aplikasi bisa dengan disemprotkan ke tanaman yang terserang
penyakit atau belum untuk pencegahan dan atau dikocorkan langsung ke pangkal
tanaman. Ekstrak ini bisa memberikan penekanan terhadap penyakit blas sekitar
21% (Plantus, 2010).
2.3. Ekstrak Tanaman Sebagai Pestisida Nabati Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari ekstrak
tanaman atau tumbuhan yang ada di lingkungan di sekitar kita yang menunjukkan
aktivitas biologis terhadap hama dan pathogen tanaman (Suprapta, 2014). Salah
satu pestisida nabati yang bersifat sebagai anti jamur disebut dengan fungisida
nabati. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran
lingkungan karena mudah terurai, harganya juga relatif murah apabila
dibandingkan dengan pestisida kimia (Hendayana, 2006). Cara kerja pestisida
nabati sangat spesifik seperti menghambat pertumbuhan jamur patogen. Pestisida
nabati mempunyai beberapa keunggulan dan kekurangan. Keunggulan pestisida
nabati diantaranya adalah sebagai berikut: aman terhadap lingkungan, tidak
menyebabkan keracunan pada tanaman, sulit menimbulkan kekebalan pada hama,
kompatibel digabungkan dengan cara pengendalian yang lain, menghasilkan
produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida. Kekurangannya adalah
: daya kerjanya relatif lambat, tidak membunuh jasad sasaran secara langsung,
tidak tahan disimpan, kadang-kadang harus disemprotkan berulang-ulang
(Suprapta, 2014).
Bahan kimia yang terkandung pada tanaman biasa disebut sebagai
metabolit sekunder dan sering digunakan sebagai pestisida nabati seperti
terpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin, dan tannin. Metabolit sekunder adalah
senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme, yang
ditemukan dalam bentuk unik atau berbeda-beda antara spesies satu dengan
spesies lainnya. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah digunakan sebagai
obat atau bahan untuk membuat parfum, pewarna makanan, racun, aroma
makanan, obat, pestisida dan insektisida (Lenny, 2006). Metabolit sekunder dapat
tersebar di seluruh organ tubuh tumbuhan seperti daun, akar, batang, bunga, kulit,
umbi, dan buah (Tanjung, 2013). Produksi metabolit sekunder dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya faktor stres lingkungan, faktor genetik, dan faktor
fisik (Mariska, 2013). Hatta (2011) menyatakan meningkatnya kandungan polifenol
pada salinitas tinggi mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit sekunder.
Jenis dan kandungan metabolit sekunder dapat sama atau berbeda di
setiap organ tumbuhan. Metabolit sekunder tidak mempunyai peranan yang terlalu
penting pada proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, namun pada
jumlah yang sangat besar mampu melindungi tanaman dari hama dan penyakit
(Mariska, 2013). Pembentukan metabolit sekunder sangat sedikit, karena hanya
disintesis oleh agen biologik tertentu dan pada saat tertentu (Sunarminingsih,
2002). Senyawa metabolit sekunder pada tanaman memiliki fungsi di antaranya
sebagai atraktan, melindungi diri dari cekaman lingkungan, pelindung dari hama
dan penyakit (fitoaleksin), pelindung terhadap sinar ultra violet, sebagai zat
pengatur tumbuh dan untuk bersaing dengan tanaman lain disebut dengan
alelopati (Mariska, 2013).
Menurut Tohir (2010), bahwa ekstrak biji sirsak (Anona sguamosa) dapat
menurunkan aktivitas makan ulat grayak atau bersifat anti –feedant, karena pada
biji sirsak terkandung zat bioaktif asetogenin dan annonain yang bersifat
insektisida, penolak serangga, larvasida dan anti-feedant. Ekstrak biji sirsak
dengan pelarut metanol dapat menurunkan aktivitas makan ulat grayak sebesar
49,80%. Selain itu tanaman mimba (Azadirachta indica) mengandung senyawa
bioaktif azadirachtin, salanin, nimbinen, meliantricl yang dapat digunakan sebagai
pestisida nabati. Azadirachtin bekerja mengganggu fungsi hormon perkembangan
serangga sehingga menghambat perkembangan dan pertumbuhan serangga.
Nimba juga bersifat anti-feedant dan aktif terhadap 300 jenis serangga
(Rachmawati dan Korlina , 2009).
Ekstrak rimpang Alpinia galanga dan ekstrak daun Carica papaya
memiliki daya hambat terhadap Ceratocystis sp. (Suprapta et al., 2001). Ekstrak
rimpang Alpinia galanga dapat menghambat pertumbuhan jamur Fusarium
oxysporum dalam media PDA (Suprapta dan Khalimi, 2009; Suprapta, et al.
2005). Ekstrak kasar daun jati (Tectona grandis L.f) mampu menghambat
pertumbuhan lima jenis jamur perusak kayu sengon (Arthrinium phaeospermum,
Nigrospora sp, Aspergillus flavus, Acremonium butyri, dan Penicillium citrinum)
(Astiti dan Suprapta, 2012).
Plantus (2010), menyatakan bahwa dari 18 jenis tumbuhan yang diekstrak
yang berpotensi sebagai bahan fungisida nabati, didapat 3 jenis tumbuhan yang
berpotensi tinggi menekan perkembangan penyakit blas yaitu ekstrak daun sirih
(Piper betle), ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava), ekstrak rimpang
lengkuas (A. galanga). Ketiga ekstrak tersebut pada tingkat kondisi lapangan
dapat menekan perkembangan penyakit blas malai, dimana ekstrak daun sirih (P.
betle) dapat menekan 3.3%, ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava) dapat
menekan 4,7%, ekstrak rimpang lengkuas (A. galanga) dapat menekan 2,7%.
Ekstrak Lentinus tropis bersifat sebagai antimikroba dapat menghambat
pertumbuhan Bacillus substilis, Mucor ramannianus, dan Rigidoporus lignosus
(Sudirman, 2005).
Ekstrak kasar sirih (P.betle) juga dapat menghambat pembentukan spora
Fusarium oxysporum f.sp.vanilla pada media PDB dan menghambat
pertumbuhan koloni pada media PDA (Suprapta dan Ohsawa, 2007). Hasil
penelitian Sibarani (2008) menunjukkan bahwa larutan daun mimba (Azadirachta
indica), daun sirih (P. betle) dan daun cengkeh (Syzygium aromaticum L.) yang
disemprotkan pada tanaman cabe (Capsicum annum) dapat menekan kejadian
penyakit antraknosa (Colletroticum capsici). Menurut Rachmawati dan Korlina
(2009) bahwa daun sirih (P. betle) mengandung minyak atsiri yang di dalamnya
terkandung 55% senyawa fenol. Senyawa ini mempresifitasikan protein secara
aktif, sehingga susunan protein menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan sel dan
merusak membran sel dengan cara menurunkan tegangan permukaan dan terjadi
osmosis sehingga sel menjadi lisis. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan
jamur menjadi terganggu (Rachmawati dan Korlina, 2009).
2.4. Tanaman Cabe Hutan (Piper caninum Blume) 2.4.1.Morfologi
Cabe hutan (P. caninum Blume) merupakan tanaman menjalar dan
merambat di pohon dengan batang bulat, kulit batang hijau kehitaman, dan
berbulu. Pada batang yang masih muda daunnya berbentuk jantung dengan
permukaan daun atas dan bawah berbulu, dengan warna hijau tua. Batang yang
tua membentuk percabangan dengan panjang percabangan 30-45 cm, bulat,
berbulu. Daun pada percabangan bulat telur, permukaan atas dan bawah berbulu
(Gambar 2.5). Perbungaan muncul pada ketiak daun pada cabang, panjang 2 cm
berwarna putih. Buah bulat tersusun dalam karangan berwarna hijau pada waktu
muda dan berwarna oranye saat masak (Astuti dan Munawaroh , 2010). Menurut
Backer dan Bakhuizen (1965) klasifikasi dari Cabe hutan (P. caninum Blume)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Klas : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Familia : Pipereceae
Genus : Piper
Spesies : Piper caninum Blume
Habitat Cabe hutan (P. caninum Blume) ditemukan di daerah tropis dan
subtropis, menyebar dari daerah dataran rendah sampai dengan dataran tinggi
(1.100 dpl). Tumbuhan ini menyukai ketinggan 600-800 meter dari permukaan
laut. Kelembaban yang cocok adalah 60%, dengan kisaran suhu 20-25OC,
menyukai tanah lempung berpasir. Cabe Hutan mempunyai banyak nama seperti
di Jawa disebut dengan sirih hutan atau cabe hutan, di Sumatra Utara disebut
dengan nama piper lowong, di Bali disebut dengan nama bleng dakep, dan di
Malaysia disebut dengan cabe hantu. Tanaman ini hidup di hutan dan semak-
Gambar 2.5 Foto Tumbuhan Cabe Hutan (Piper caninum Blume)
(Sumber: koleksi pribadi, 2014)
semak liar dan jarang dimanfatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Cabe hutan
hidup menempel di pohon-pohon besar seperti menempel pada pohon kelapa,
pohon cengkeh, pohon nangka, dan pohon-pohon liar lainnya (Astuti dan
Munawaroh , 2010).
2.4.2. Kandungan Kimia
Secara umum genus Piper mengandung minyak atsiri seperti kadinen,
kavikol, sineol, eugenol, karvakol Senyawa ini digunakan untuk mengobati
penyakit seperti keputihan, nafas berbau, badan berbau, batuk, radang selaput
lendir mata, jantung berdebar-debar, kemurungan, demam selepas bersalin, air
susu terlampau banyak dan sariawan (Mol, 2011). Tedjasulaksana (2012)
menyatakan bahwa kandungan alkaloid pada daun sirih (P.betle) dapat
menurunkan hormon reproduksi estrogen dan androgen. Kandungan minyak atsiri
pada daun sirih bersifat sebagai pembunuh kuman, bersifat sebagai antioksidan
dan bersifat sebagai anti jamur (Tompun, 2006).
Menurut Maj et al. (2004), bahwa P. caninum Blume memilki fitokimia
yang bersifat sebagai antimikroba dan sebagai antioksidan sebesar 77,9% terdapat
pada daun dan 87% terdapat pada batang. Tanaman ini mempunyai aktivitas anti
mikroba terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Pseudomonas
aeruginosa, Pseudomonas putida, Escherichia coli, Candida albicans, dan
Aspergillus niger. Semua Piper mengandung senyawa fitokimia jenis evalonik
acid, cinanamoyl amides, alkhyl amides, aristolaktam, flavones, dehidroflavone,
dehidrochalcone, dehidroflavonoid (Maj et al., 2004).
Menurut Zetzer et al., 2004), bahwa ekstrak daun P. caninum mempunyai
daya hambat terhadap mikroba Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Selain itu ekstrak tanaman ini juga dapat menghambat
pertumbuhan jamur karena mengandung 4,5-dioxoaporphine alkaloid
cepharadione A (Maj et al., 2004). Menurut Sudrajat et al. (2011) bahwa Piper
spp. (Piperaceae) mengandung zat bioaktif antara lain zat phenylpropanoids,
lignoids, dan plavonoids. Senyawa phenylpropanoids bersifat sebagai insektisida
khususnya senyawa dimethoxy-4,5-mthylenodioxy-allelbenzene (dilallpiol).
Menurut Purnomo dan Asmarayani (2004) bahwa daun Piper spp. mengandung
minyak esensial (terpenoid) yang sering digunakan sebagai obat tradisional dan
bumbu penyedap masakan. Genus Piper telah terbukti memiliki antimikroba,
antijamur, antioksidan, insektisida, allelopathi dan kegiatan antitumor (Tanjung,
2013). Berbagai senyawa terkandung dalam genus Piper seperti alkaloid,
propenylphenols, lignan, neolignans, terpene, steroid, kawapyrones, chalcones,
flavon dan flavanones yang telah diisolasi dari Piper yang berbeda spesies
(Purnomo dan Asmarayani, 2004).
Berdasarkan uji pendahuluan terhadap 37 jenis tanaman ditemukan bahwa
ekstrak kasar daun P. caninum mampu menghambat pertumbuhan jamur P. oryzae
secara in vitro pada media PDA dengan diameter zona hambatan sebesar 44 mm.