bab ii tarekat dan akhlak terpuji a. tarekatrepository.iainpekalongan.ac.id/904/8/11. bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TAREKAT DAN AKHLAK TERPUJI
A. Tarekat
1. Definisi Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab, “At-thariqah”, yang berarti
“jalan”. Jalan yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para
sufi untuk dapat dekat kepada Allah.1 Tarekat adalah “jalan” yang
ditempuh para sufi. Jalan ini dapat digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syari‟at sebab jalan utama disebut syar‟, sedangkan anak
jalan disebut thariq.2
Secara terminologi, kata tarekat ditemukan dalam berbagai definisi.
Di antaranya, menurut Abu Bakar Aceh, tarekat adalah petunjuk dalam
melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan
dicontohkan oleh rasul, dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, turun-temurun
sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai berantai.
Atau suatu cara mengajar dan mendidik, yang akhirnya meluas menjadi
kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut-penganut sufi, untuk
memudahkan menerima ajaran dan latihan-latihan dari pemimpin dalam
suatu ikatan.
Harun Nasution mendefinisikan tarekat sebagai jalan yang harus
ditempuh oleh sufi, dengan tujuan untuk berada sedekat mungkin dengan
1 A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), hlm.233. 2 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.305.
18
Allah.3 Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan
tarekat adalah pengamalan syariat dan (dengan tekun) melaksanakan
ibadah dan menjauh (diri) dari (sikap) mempermudah pada apa yang
memang tidak boleh dipermudah. Tarekat adalah menjauhi larangan-
larangan, baik yang lahir maupun yang batin dan menjunjung tinggi
perintah-perintah Tuhan menurut kadar kemampuan. Dan tarekat adalah
menghindari yang haram dan makruh dan berlebih-lebihan dalam hal yang
mubah dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan serta hal-hal yang sunat
sebatas kemampuan di bawah bimbingan seorang arif dari ahli nihayah.4
2. Sejarah berdirinya tarekat
Tarekat pada awalnya merupakan salah satu bagian dari ajaran
tasawuf. Para sufi mengajarkan ajaran pokok tasawuf, yaitu: syariat,
tarekat, hakikat dan ma‟rifat, yang pada akhirnya masing-masing ajaran
tersebut berkembang menjadi satu aliran yang berdiri sendiri.5
Martin Van Bruiness melakukan penelitian yang menyatakan
bahwa tarekat sebagai suatu intuisi belum ada sebelum abad ke-8 H/14 M
berarti bahwa tarekat merupakan sebuah ajaran baru yang tidak ada dalam
ajaran Islam yang asli. Namun demikian, bila dilihat secara mendalam
ternyata ajaran-ajaran pokoknya memiliki keterkaitan akar yang secara
harfiah berarti jalan mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun
3 Ris‟an rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm.184-185. 4 A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), hlm.233-234. 5 Ris‟an rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm.187.
19
amalan (muraqabah, zikir wirid dan sebagainya) yang dihubungkan
dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh disekitar metode
sufi.6
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu kegiatan spiritual sufi
secara individu. Kemunculannya ditandai dengan adanya zahid-zahid yang
mengasingkan diri dan mengembara dari satu tempat lain. Kemudian
terbentuklah tempat-tempat pendidikan sebagai pusat kegiatan sufi.
Tempat ini dinamakan dengan ribath atau zawiyah. Mulanya zawiyah ini
hanya digunakan sebagai tempat peristirahatan para zahid, kemudian
berkembang menjadi semacam asrama yang di dalamnya terdapat Syaikh
bersama murid-muridnya. Syekh tersebut bertugas mengawasi ajaran-
ajaran atau praktik sufinya, sehingga ajaran-ajaran tasawufnya itu bisa
terobsesi.
3. Macam-macam tarekat
a. Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani
(1077-1166), yang sering disebut dengan Al-Jilli.7 Adapun ajaran
spiritual Syekh Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan
pengalamannya akan Tuhan.8 Ajaran Syekh Abd al-Qadir selalu
menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, beliau
memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang
6 Ibid, hlm.188.
7 A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), hlm.238. 8 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm.37.
20
tertinggi. Adapun bebrapa ajaran tersebut adalah, taubat, zuhud,
tawakal, syukur, ridha, dan jujur.9
Di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah
adalah dzikir (terutama melantunkan asma‟ Allah berulang-ulang).
Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan
intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga dan empat.
Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-
ulang asma‟ Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat, seakan
dihela dari tempat yang tertinggi, diikuti penekanan dari jantung dan
tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga napas kembali normal.
Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama.
Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi
shalat, kemudian melantunkan asma‟ Allah di dada sebelah kanan,
lalu jantung, dan ke semuanya dilakukan berulang-ulang dengan
intensitas tinggi. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk
bersila dan mengulang pembacaan asma‟ Allah di bagian dada sebelah
kanan, kemudian di sebelah kiri, dan akhirnya di jantung. Sementara
itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk bersila, dengan
mengucapkan asma‟ Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan,
kemudian di sebelah kiri, lalu ditarik ke arah jantung, dan terakhir
dibaca di depan dada.10
9 Ibid, hlm.38.
10 Ibid, hlm.44.
21
b. Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan
pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzili. Nama lengkap beliau
adalah Ali bin Abi Abdullah bin Abd Al-Jabbar Abu al-Hasan al-
Syadzili. Beliau dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di
utara Maroko pada tahun 573.11
Ajaran tarekat Syadziliyah adalah yang pertama: istighfar,
kedua: sholawat nabi, ketiga: dzikir, keempat: wasilah dan rabithah,
kelima: wirid, keenam: adab (etika murid), ketujuh: hizib, kedelapan:
zuhud, kesembilan: uzlah dan suluk.12
c. Tarekat Naqsabandiyah
Pendiri tarekat naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf
terkenal yakni, muhammad bin muhammad baha‟ al-din al-uwaisi al-
bukhari naqsabandi (717 h/1318 m-791h/1389m), dilahirkan di sebuah
desa qashrul Arifah, kurang 4 mil dari bukhara tempat lahir Imam
Bukhari.
Ajaran dasar tarekat naqsabandiyah yaitu:
Husy dar dam, “sadar sewaktu bernafas”
Nazhar bar qadam, “ menjaga langkah”
Safar dar wathan, “melakukan perjalanannya di tanah
kelahirannya”
Khalwat dar anjuman, “sepi di tengah keramaian”
11
Ibid, hlm.58. 12
A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ( Surabaya: Imtiyaz,
2011), hlm. 262-271.
22
Yak krad, “ingat atau menyebut”
Baz Gasht, “kembali”
Nigah Dasyt, “waspada”
Yad Dasyt, “mengingat kembali”
Tarekat naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir:
1) Zikir Ism al-dzat, artinya mengingat nama Yang Haqiqi dengan
mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan
kali (dihitung dengan tasbih, sambil memusatkan perhatian
kepada Allah semata.
2) Zikir tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas
bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimat la
ilaha illa allah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan
(garis) melalui tubuh.
d. Tarekat Khalwatiyah
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan
pejuang Makasar abad ke -17, Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati
(tabarruk terhadap Muhammad (Nur) al-Khalwati al-Khawa Rizmi
(w.751/1350)).
Ajaran-ajaran dasar tarekat Khalwatiyah yaitu:
Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang dihina
dihadapan Allah SWT. Yang Maha Agung.
Taubah: mohon ampun atas segala dosa.
Muhasabah: menghitung-hitung atau introspeksi diri.
23
Inabah: berhasrat kembali kepada Allah.
Tafakkur:merenung tentang kebesaran Allah.
I‟tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi.
Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak
berguna.
Riyadah: melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya.
Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan
memuji-Nya.
Sima‟: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti
perintah-perintah Allah terutama pendengaran.
Zikir Tarekat Khalwatiyah ada 3 macam, yaitu:
Pertama: Lafadz la ilaha Allah sebagai perbandingan nafsu amarah.
Kedua: Lafadz Allah-Allah sebagai perbandingan nafsu lawwamah.
Ketiga: Lafadz Huwa-huwa sebagai perbandingan nafsu
mutma‟inah.13
e. Tarekat Syattariyah
Tarekat yang kebanyakan pengikutnya berasal dari Sumatera
Selatan dan Syaikh Abd Ar-Rauf Sinkel adalah orang pertama yang
menyebarkan tarekat ini, kemudian penyebarannya dilanjutkan ke
Jawa oleh murid-muridnya.
Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk
masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin. Yang pertama tentang
13 A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ( Surabaya: Imtiyaz,
2011), hlm. 118.
24
talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani
dunia tasawuf (suluk). Yang kedua tentang baiat, setelah menjalani
talqin, hal yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjalani
suluk adalah baiat. Secara hakiki, baiat menurut al-Qusyasyi
merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang
murid secara khusus kepada syaikhnya, dan secara umum kepada
lembaga tarekat yang dimasukinya. Seorang murid yang telah
mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan
lagi untuk kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut.
f. Tarekat Sammaniyah
Tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin Abd al-
Karim al-Madani al-Syafi‟i al-Samman (1130-1189/1718-1775). Ia
lahir di Madinah dari keluarga Qurasy.
Praktek zikir dalam Tarekat Sammaniyah terdiri dari:
Zikir Nafi Itsbat. Zikir ini dilakukan dengan membaca la ilaha illa
Allah. Kata la ilaha bermakna nafi atau ditiadakan. Sementara kata illa
Allah bermakna itsbat, atau penegasan, yakni merupakan satu-satunya
yang abadi. Zikir nafi itsbat biasanya diberikan kepada murid yang
berada tingkat permulaan. Biasanya mereka latihan berzikir nafi itsbat
sebanyak 10-100 kali setiap hari. Namun, bisa ditambah menjadi 300
kali setiap hari apabila tingkat atau maqam-nya sudah lebih tinggi.
25
Zikir ism al-jalalah. Zikir ini dengan membaca Allah-Allah. Zikir ini
biasanya diajarkan kepada murid yang telah mencapai tingkat khusus.
Zikir ini dilakukan antara 40, 101, atau 300 kali sehari.
Zikir ism al-„isyarah. Zikir ini dengan membaca Huwa-huwa. Zikir ini
diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkat tinggi, atau yang
sudah menjadi mursyid. Jumlah zikirnya antara 100-700 kali setiap hari.
Tetapi umumnya mereka membaca ini sebanyak 300 kali setiap hari.
Zikir Khusus, yakni dengan membaca Ah Ah. Zikir ini hanya diberikan
kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam
tertinggi karena sudah ma‟rifatullah. Jumlah zikir yang diwajibkan
adalah antara 100-700 kali setiap hari.
g. Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin
Muhammad al-Tijani (1150-1230H/1737-1815M) yang lahir di „Ain
Madi, Aljazair Selatan,dan meninggal di Fes, Maroko, dalam usia 80
tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum Tijaniyah sebagai
wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak
keramat, karena oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses
penempaan dirinya.
Secara umum, amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah
terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu istighfar, shalawat, dan hailalah.
Istighfar, pada hakikatnya menjadi proses upaya menghilangkan noda-
noda rohaniah dan menggantinya dengan nilai-nilai suci. Sebagai
26
tahap pemula dan sarana untuk memudahkan sasaran mendekatkan
diri kepada Allah. Shalawat, sebagai unsur kedua, menjadi materi
pengisian setelah penyucian jiwa yang mengantarkan manusia yang
bermunajat mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi media
perantara antara manusia (sebagai salik) dengan Allah (Zat yang
dituju). Sedangkan menghadap dan menyatukan diri dengan Allah
adalah kalimat zikir yang mempunyai makna dan fungsi tertinggi di
sisi Allah, yaitu tahlil, (makna lain dari inti tauhid), la ilaha illa Allah.
h. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah ialah sebuah tarekat
gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah (TQN).
Tarekat ini didirikan Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Beliau dilahirkan
di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat pada bulan
shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M.14
Ajaran-ajaran dasar tasawuf dari sudut pandang praktik tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah, yaitu:
a. Zikir (dzikir) adalah kata Arab yang berasal dari akar kata dh-k-r,
yang berarti “mengingat” atau “menyebut”. Istilah zikir sendiri pada
umumnya diterjemahkan sebagai “mengingat”.
b. Talqin/Bai‟at adalah sebuah kata dalam bahasa Arab dari akar kata I-
q-n. Bentuk kata kerjanya adalah laqina, yang berarti
“menginstruksikan”.
14
A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ( Surabaya: Imtiyaz,
2011), hlm.192.
27
c. Latha‟if adalah bentuk jamak dari lathifah, berarti titik halus atau
bagian badan yang halus. Latha‟if tampaknya merupakan unsur-unsur
yang paling sulit dipisahkan dari manusia, esensinya tidak pernah
dapat dilihat atau disentuh. Singkatnya, mereka adalah indra dari
hati.15
B. Akhlak Terpuji
1. Pengertian Akhlak Terpuji
Istilah akhlak sudah sangat akrab di tengah kehidupan kita.
Mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata “akhlak”, karena
perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Akan
tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan, kata “akhlak” masih perlu untuk
diartikan secara bahasa maupun istilah. Dengan demikian, pemahaman
terhadap kata “akhlak” tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari
kita dengar, tetapi sekaligus dipahami secara filosof, terutama makna
subtansinya.16
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari khulqun yang
menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.17
Kata „”akhlak” juga berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun”, artinya
kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan
15
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan Referensi Utama
Suryalaya, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.105-115. 16
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.13. 17
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005), hlm.11.
28
tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”, artinya
pencipta dan “makhluq”, artinya yang diciptakan.18
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak yaitu bahwa
akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang
dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan, tanpa
melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut
melahirkan suatu tindakan terpuji menurut ketentuan rasio dan norma
agama, dinamakan akhlak baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan
buruk, maka dinamakan akhlak buruk.19
Secara termonologis pengertian akhlak adalah tindakan yang
berhubungan dengan tiga unsur penting, yaitu sebagai berikut:
a. Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi
intelektualitasnya.
b. Ajektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya
menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari
pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam
bentuk perbuatan yang konkret.20
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling
melengkapi, dan memiliki lima ciri penting dari akhlak, yaitu:
a. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang sehingga menjadi kepribadiannya.
18
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012, hlm.13. 19
Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm.2. 20
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012, hlm.15-16.
29
b. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang
ingatan, tidur, atau gila.
c. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar
kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
d. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara.
e. Sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya
akhlak yang baik), akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
ikhlas semata-mata karena Allah SWT., bukan karena ingin
mendapatkan suatu pujian.21
2. Macam-macam Akhlak
Macam-macam akhlak berbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak
terpuji dan akhlak tercela.
a. Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji merupakan terjemahan ungkapan dari bahasa
Arab akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf‟ul dari
kata hamida yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan
akhlaq karimah (akhlak mulia), atau makarim akhlaq (akhlak mulia),
21
Ibid, hlm.14.
30
atau al-akhlaq al-munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya).22
Menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan
kedekatan kepda Allah SWT. sehingga mempelajari dan
mengamalkannya merupakan kewajiban individual setiap muslim.23
Macam-macam akhlak terpuji sebagai berikut:
1) Akhlak terhadap Allah SWT.
Di antara akhlak kepada Allah SWT. adalah sebagai berikut:
a) Mentauhidkan Allah SWT.
Definisi tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT. satu-
satunya yang memiliki sifat rububiyyah dan uluhiyyah, serta
kesempurnaan nama dan sifat. Rububiyyah yaitu meyakini bahwa
Allah-lah satu-satunya Tuhan yang mecipta alam ini, yang
memilikinya, yang mengatur perjalanannya, yang menghidup dan
mematikan, yang menurunkan rezki kepada makhluk, yang
berkuasa mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat, yang
mengabulkan doa dan permintaan hamba ketika mereka terdesak,
yang berkuasa melaksanakan apa yang dikehendakinya, yang
memberi dan mencegah, di tangan-Nya segala kebaikan dan bagi-
Nya penciptaan dan juga segala urusan. Uluhiyyah yaitu
mengimani Allah SWT. sebagai satu-satunya Al-Ma‟bud (yang
disembah).
22
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.87. 23
Ibid, hlm.88.
31
b) Berbaik sangka (khusnu dzan)
Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT. merupakan
salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji
ini adalah ketaatan yang sungguh-sungguh kepada-Nya.
c) Dzikrullah
Mengingat Allah (dzikrullah) adalah asas dari setiap ibadah
kepada Allah SWT. karena merupakan pertanda hubungan antara
hamba dan pencipta pada setiap daat dan tempat.
d) Tawakal
Tawakal adalah segala urusan kepda Allah Azza Wa Jalla,
menbersihkannya diri dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki
kawasan-kawasan hukum ketentuan.
2) Akhlak terhadap Diri Sendiri
Di antara akhlak terpuji terhadap diri sendiri adalah sebagai berikut:
a) Sabar
Sabar menurut Al-Ghazali adalah tangga dan jalan yang
dilintasi oleh orang-orang yang hendak menuju Allah SWT. ciri
utama sabar menurut Al-Muhasibi adalah tidak mengadu kepada
siapa pun ketika mendapatkan musibah dari Allah SWT.
b) Syukur
Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak
menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dalam
melakukan maksiat kepada-Nya. Apabila kita sudah mensyukuri
32
karunia Allah SWT. itu, berarti kita telah bersyukur, bertambah
banyak pula nikmat yang akan kita terima.
c) Menunaikan amanah
Amanah adalah sifat dan sikap pribadi yang setia, yang
tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang
dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, ataupun
tugas kewajiban.
d) Benar atau jujur
Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur,
baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam
perkatan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak
mengada-ngada, dan tidak pula menyembunyikannya. Lain halnya
apabila yang disembunyikan itu bersifat rahasia atau karena
menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan adalah
mengerjakan sesuatu sesuai dengan petunjuk agama.
e) Menepati janji (al-wafa‟)
Dalam islam janji nerupakan hutang. Hutang harus dibayar
(ditepati). Kalau kita mengadakan suatu perjanjian pada hari
tertentu, kita harus menunaikannya tepat pada waktunya. Janji
mengandung tanggung jawab.
f) Memelihara kesucian diri
Memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjada diri dari
tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan. Menurut Al-Ghazali,
33
dari kesucian diri akan lahir sifat-sifat terpuji lainnya, seperti
kedermawanan, malu, sabar, toleran, qanaah, wara‟, lembut, dan
membantu.
3) Akhlak terhadap Keluarga
a) Berbakti kepada orangtua
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan faktor utama
diterimanya doa seseorang, juga merupakan amal shaleh paling
utama yang dilakukan oleh seorang muslim.
b) Bersikap baik kepada saudara
Hidup rukun dan damai dengan saudara dapat tercapai
apabila hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian dan
tolong-menolong.
4) Akhlak terhadap Masyarakat
a) Berbuat baik kepada tetangga
Tetangga adalah orang yang terdekat dengan kita. Dekat
bukan karena pertalian darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan,
mungkin tidak seagama dengan kita.
b) Suka menolong orang lain
Orang mukmin apabila melihat orang lain tertimpa
kesusahan akan tergerak hatinya untuk menolong mereka sesuai
dengan kemampuannya.
34
5) Akhlak terhadap Lingkungan
Dalam pandangan islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum
mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada
makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia
dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan dan
terhadap semua proses yang sedang terjadi.
b. Akhlak Tercela
Kata madzmumah berasal dari bahasa Arab yang artinya
tercela. Akhlak madzmumah artinya akhlak tercela. Segala bentuk
akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak
tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela yang
dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya
sebagai manusia. Bentuk-bentuk akhlak madzmumah bisa berkaitan
dengan Allah SWT., Rasulullah SAW., dirinya, keluarganya,
masyarakat, dan alam sekitarnya.
Macam-macam akhlak tercela
1) Syirik
Syirik secara bahasa adalah menyamakan dua hal,
sedangkan menurut pengertian istilah, terdiri atas definisi umum
dan definisi khusus. Definisi umum adalah menyamakan sesuatu
dengan Allah dalam hal-hal yang secara khusus dimiliki Allah.
Adapun definisi khusus adalah menjadikan sekutu selain Allah
35
SWT. dan memperlakukannya seperti Allah SWT., sepeti berdoa
dan meminta syafaat.
2) Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan
kata sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur
adalah sifatnya. Menurut syara‟, kufur adalah tidak beriman kepada
Allah SWT. dan Rosul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak
mendustakan.
3) Nifak dan Fasik
Nifak menurut syara‟, artinya menampakkan Islam dan
kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Dengan kata lain, nifak adalah menampakkan sesuatu yang
bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati.
4) Takabur dan Ujub
Takabur terbagi ke dalam dua bagian, yaitu batin dan lahir.
Takabur batin adalah perilaku dan akhlak diri, sedangkan takabur
batin adalah perbuatan-perbuatan anggota tubuh yang muncul dari
takabur batin.
5) Dengki
Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yaitu perasaan
yang timbul dalam dalam diri seseorang setelah memandang
sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki orang lain,
36
kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang
tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya.
6) Gibah (mengupat)
Menurut Al-Ghazali gibah adalah menuturkan sesuatu yang
berkaitan dengan orang lain yang apabila penuturan itu sampai
pada yang bersangkutan, ia tidak menyukainya.
7) Riya‟
Kata riya‟ diambil dari kata dasar ar-ru‟yah, yang artinya
memancing perhatian orang lain agar dinilai sebagai orang baik.
Riya‟ merupakan salah satu sifat tercela yang harus dibuang jauh-
jauh dalam jiwa kaum muslim karena riya‟ dapat menggugurkan
amal ibadah. Riya‟ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain.
Maksudnya beramal bukan karena Allah SWT., tetapi karena
manusia. Riya‟ ini erat hubungannya dengan sifat takabur.
3. Tujuan pembentukan akhlak
Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara
tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para
ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan
akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan
Islam. Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan
utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap
37
muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya
dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.24
Pada dasarnya, tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim
berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai atau beradat-istiadat yang
baik sesuai dengan ajaran Islam. Jika diperhatikan, ibadah-ibadah initi
dalam Islam memiliki tujuan pembinaan akhlak mulia. Sholat bertujuan
mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela.
Zakat di samping bertujuan menyucikan harta juga bertujuan menyucikan
diri dengan memupuk kepribadian mulia dengan cara membantu sesama.
Puasa bertujuan mendidik diri untuk menahan diri dari syahwat. Haji
bertujuan di antaranya memuculkan tenggang rasa dan kebersamaan
dengan sesama.
Dengan demikian, tujuan akhlak dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah
membentuk kepribadian seorang muslim yang memiliki akhlak mulia,
baik secara lahiriyah maupun batiniyah.25
Adapun tujuan akhlak secara khusus adalah
a. Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW
Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad
SAW. tentunya akan mendorong kita untuk mencapai akhlak mulia
karena ternyata akhlak merupakan sesuatu yang paling penting
dalam agama. Akhlak bahkan lebih utama daripada akhlak. Sebab,
24
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.155. 25 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.25.
38
tujuan utama ibadah adalah mencapai kesempurnaan akhlak. Jika
tidak mendatangkan akhlak mulia, ibadah hanya merupakan
gerakan formalitas saja.
b. Menjembatani kerenggangan antara akhlak dan ibadah
Tujuan lain mempelajari akhlak adalah menyatukan antara
akhlak dan ibadah, atau dalam ungkapan yang lebih luas antara
agama dan dunia. Dengan demikian, ketika berada di masjid dan
ketika berada di luar masjid, seseorang tidak memiliki kepribadian
ganda. Kesatuan antara akhlak dan ibadah.
Usaha menyatukan antara ibadah dan akhlak, dengan
bimbingan hati yang diridhai Allah SWT. dengan keikhlasan, akan
terwujud perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang seimbang antara
kepentingan dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan
tercela.
c. Mengimplementasikan pengetahuan tentang akhlak dalam
kehidupan
Tujuan ini adalah untuk mendorong kita menjadi orang-
orang yang mengimplementasikan akhlak mulia dalam kehidupan
sehari-hari.26
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada
26
Ibid, hlm.26-28.
39
umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama,
aliran Nativisme. Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran
konvergensi.
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor
pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa
kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah
memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka
dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa faktor yang
paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah
faktor luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan
pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang
diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian
jika sebaliknya. Aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada
peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat
pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu
pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan
pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam
lingkungan sosial. Fithrah dan kecenderungan ke arah yang baik
40
yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui
berbagai metode.27
4. Cara-cara mencapai Akhlak Terpuji
Akhlaq terpuji dalam Islam mengatur kehidupan manusia untuk
menjalani kehidupan dunia, dan ajaran akhirat untuk kehidupan yang
kekal. Perwujudan nilai-nilai akhlak sesuai dengan norma-norma
kebutuhan yang oleh Islam disebut dengan amal sholeh. Sebagian atau
keseluruhan ajaran Nabi Muhammad selalu menjurus langsung pada
nilai-nilai kesusilaan, sebab dapat dipastikan bahwa dengan bertingkah
laku sopan dan baik terhadap Tuhan, Rasul-Nya, diri sendiri, orang lain
maupun kepada sesama makhluk hidupa lainnya, hanyalah orang yang
ber-akhlaqul karimah.
Orang yang ber-akhlaqul karimah dapat menciptakan keadaan
dunia yang tentram dan nyaman, tidak ada kesusahan, tidak ada
persaingan yang tidak sehat dan masalah-masalah yang membuat resah.
Ditinjau dari ilmu jiwa, hal ini memang dapat diterima akal sehat karena
sifat dari manusia, yaitu menginginkan dalam segala perbuatannya akan
mendapatkan sesuatu yang terbaik. Manusia selalu mengejar untuk
mendapatkan sesuatu yang dianggap baik.
Allah menjajikan kepada manusia berupa surga dan neraka, pahala
dan dosa. Maka jika seseorang yang baik dan selalu ber-akhlaqul
karimah Allah menjajikan pahala baginya, sebaliknya jika manusia
27
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.166-167.
41
tersebut senantiasa melakukan perbuatan zalim dan melanggar aturan-
aturan Allah, maka baginya adalah siksa.
Akhlaqul karimah seseorang terletak pada diri orang itu sendiri,
yaitu pada fitrahnya. Jika manusia di dunia telah berjalan di jalan yang
benar sesuai dengan fitrahnya berdasarkan Alqur‟an dan hadis, maka
dipastikan bahwa manusia tersebut sampai pada derajat “insan kamil”
atau manusia yang sempurna.
Insan kamil adalah sifat manusia yang selalu menyadari kesalahan-
kesalahan dan kelebihan-kelebihannya. Insan kamil merupakan
penyempurnaan akhlaqul karimah pada pribadi. Akhlaqul karimah dapat
mewujudkan individu kepada keluhuran budi, terhadap masyarakat
membimbing kepada perdamaian.28
Akhlak yang baik dilandasi oleh ilmu, iman, amal, dan takwa. Ia
merupakan kunci bagi seseorang untuk melahirkan perbuatan dalam
kehidupan yang diatur oleh agama. Dengan ilmu, iman, amal dan takwa
seseorang dapat berbuat kebajikan, seperti sholat, puasa, berbuat baik
sesama manusia, dan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan interaksi
sosial. Sebaliknya tanpa ilmu, iman, amal dan takwa, seseorang dapat
berperilaku yang tidak sesuai dengan akhlaqul karimah, sebab ia lupa
pada Allah yang telah menciptakannya. Keadaan demikian menunjukkan
perlu adanya pembangunan iman untuk meningkatkan akhlak seseorang.
28
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007),
hlm.192.
42
Aspek yang mempengaruhi akhlak adalah
a. Tingkah laku manusia
Tingkah laku manusia adalah sikap seseorang yang
dimanifestasikan dalam perbuatan. Sikap seseorang boleh jadi
tidak digambarkan dalam perbuatan atau tidak tercermin dalam
perilaku sehari-hari. Oleh karena itu, meskipun secara teoritis hal
itu terjadi tetapi dipandang dari sudut ajaran Islam termasuk iman
yang tipis.
b. Insting dan naluri
Menurut bahasa (etimologi) insting berarti kemampuan
berbuat pada suatu tujuan yang dibawa sejak lahir, merupakan
pemuasan nafsu,dorongan-dorongan nafsu, dan dorongan
psikologis. Insting juga merupakan kesanggupan melakukan hal
yang kompleks tanpa dilihat sebelumnya, terarah kepada suatu
tujuan yang berarti bagi subjek tidak disadari langsung secara
mekanis.
Naluri merupakan asas tingkah laku perbuatan manusia.
Manusia dilahirkan dengan membawa naluri yang berbentuk
proses pewarisan untuk nenek moyang. Naluri dapat diartikan
sebagai kemauan tak sadar yang dapat melahirkan perbuatan
mencapai tujuan tanpa berpikir ke arah tujuan dan tanpa
dipengaruhi oleh latihan berbuat. Tingkah laku perbuatan manusia
sehari-hari dapat ditunjukkan oleh naluri sebagai pendorong.
43
c. Pola dasar bawahan
Manusia memiliki sifat rasa ingin tahu, karena dia datang
ke dunia ini dengan serba tidak tahu (La ta‟lamina syaitan).
Apabila seorang mengetahui suatu hal dan ingin mengetahui
sesuatu yang belum diketahui, bila diajarkan padanya maka ia
merasa sangat senang hatinya.
d. Nafsu
Nafsu berasal dari bahasa Arab, yaitu nafsun yang artinya
niat. Nafsu ialah keinginan hati yang kuat. Nafsu merupakan
kumpulan dari kekuatan amanah dan syahwat yang ada pada
manusia.
Nafsu dapat menyingkirkan semua pertimbangan akal,
memengaruhi peringatan hati nurani dan menyingkirkan hasrat
baik yang lainnya.
e. Adat dan kebiasaan
Adat menurut bahasa (etimologi) ialah aturan yang lazim
diikuti sejak dahulu. Biasa ialah kata dasar yang mendapat
imbuhan ke-an, artinya boleh, dapat atau sering. Kebiasaan adalah
perbuatan yang berjalan dengan lancar seolah-olah berjalan dengan
sendrinya. Perbuatan kebiasaan pada mulanya dipengaruhi oleh
kerja pikiran, didahului oleh pertimbangan akal dan perencanaan
yang matang. Lancarnya perbuatan dikarenakan perbuatan itu
seringkali diulang-ulang.
44
f. Lingkungan
Lingkungan ialah ruang lingkup luar yang berinteraksi
dengan insan yang dapat berwujud benda-benda seperti air, udara,
bumi langit, dan matahari. Berbentuk selain benda seperti insan,
pribadi, kelompok, institusi, sistem, undang-undang, dan adat
kebiasaan. Lingkungan dapat memainkan peranan dan pendorong
terhadap perkembangan kecerdasan, sehingga manusia dapat
mencapai taraf yang setinggi-tingginya dan sebaliknya juga dapat
merupakan penghambat yang menyekat perkembangan, sehingga
seseorang tidak dapat mengambil manfaat dari kecerdasan yang
diwarisi.
g. Kehendak dan takdir
Kehendak menurut bahasa (etimologi) ialah kemauan,
keinginan, dan harapan yang keras. Kehendak, yaitu fungsi jiwa
untuk dapat mencapai sesuatu yang merupakan kekuatan dari
dalam hati, bertautan dengan pikiran dan perasaan.
Takdir yaitu ketetapan Tuhan, apa yang sudah ditetapkan
Tuhan sebelumnya atau nasib manusia. Secara bahasa takdir adalah
ketentuan jiwa, yaitu suatu peraturan tertentu yang telah dibuat
Allah baik aspek struktural maupun aspek fungsionalnya untuk
segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini.29
29
Ibid, hlm.75-94
45
5. Pembentukan Akhlak Menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali tujuan perbaikan akhlak itu ialah untuk
membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga
hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya
Tuhan.30
Metode Al-Ghazali yang harus dilalui untuk mencapai tujuan itu
adalah melalui Takhalli, Tahalli, Tajalli. Adapun Takhalli itu adalah
membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dari maksiat dan batin. Tahalli
adalah mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yaitu taat lahir dan taat
batin. Kemudian Tajalli adalah memperoleh kenyataan Tuhan atau
kesempurnaan.31
Pendekatan diri menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan
jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam
tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena itu, Al-
Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu
memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu
kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan
berolah jiwa, hingga sampai pada ma‟rifat yang membantu menciptakan
(sa‟adah). Menurut Al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution,
ma‟rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma‟rifat
bersandar pada sir, qalb, dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan pendapat
30 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995),
hlm.67 31
Ibid, hlm.65.
46
Al-Ghazali yang dikutip dan Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui
hakikat segala yang ada. Jika dilempahi cahaya Tuhan, qalb dapat
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci
dan kosong, pada saat itulah, ketiganya menerina iluminasi (kasyf) dari Allah
dengan menurunkah cahanya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat
sang sufi hanyalah Allah. Di sini sampailah ia ke tingkat ma‟rifat.32
Akhlak yang baik merupakan buah dari keseimbangan daya rasional,
kesempurnaan hikmah dan daya syahwat yang tunduk kepada akal dan
agama. Keseimbangan ini dapat dicapai melalui dua cara. Pertama, dengan
rahmat Allah, dan kesempurnaan sifat bawaan (kamal fithri), yakni seseorang
dilahirkan dengan kesempurnaan daya rasional, kebaikan akhlak dan daya
nafsu maupun amarah yang diciptakan seimbang serta tunduk kepada akal
dan agama. Maka orang itu pun menjadi pandai tanpa belajar dan terdidik
tanpa pendidik.
Kedua, adalah berupaya memperoleh sifat-sifat baik melalui
perjuangan batin dan pendisiplinan. Maksudnya adalah membiasakan diri
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang dicita-
citakan.33
Tujuan perilaku adalah membersihkan jiwa dari kecintaan terhadap
dunia dan menanamkan kecintaan kepada Allah Swt. sehingga tidak ada
sesuatu pun yang dicintainya kecuali pertemuan dengan-Nya. Orang itu pun
32 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solikhin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000), hlm.115. 33
Al-Ghazali, Metode Menaklukkan Jiwa: Perspektif Sufistik, (terjemahan oleh Rahmani
Astuti dari Disciplining the Soul: Breaking the Two Desires), (Bandung: Mizan, 2003), hlm.99.
47
tidak akan membelanjakan hartanya kecuali menurut cara yang bisa
mengantarkannya ke hadirat Allah Swt. Demikian pula kemarahan dan
nafsunya yang memang telah ditaklukkannya dan tidak digunakannya kecuali
menurut cara yang bisa mengantarkannya kepada Allah Swt., yakni
menakarnya berdasarkan parameter agama dan akal.34
Jadi akhlak yang baik dapat diperoleh melalui pendisiplinan diri yakni
membiasakan diri pada mulanya mengerjakan perbuatan yang muncul dari
akhlak semacam itu secara terus menerus sehingga akhirnya menjadi watak.
Ini keajaiban hubungan antara hati dan anggota tubuh (jawariyah), yakni
antara jiwa dan raga. Sebab sesungguhnya sifat yang muncul di dalam hati
memancarkan pengaruhnya kepada segenap anggota tubuh yang lain sehingga
kesmuanya bergerak menuruti ketentuannya. Demikian pula setiap perbuatan
yang dilakukan oleh anggota tubuh akan menimbulkan bekas pada hati, dan
hubungan antara keduanta berlangsung secara timbal balik.35
34
Ibid, hlm.101. 35
Ibid, hlm.103.