bab ii tenun timor, imajinasi, konseling …...10eben nuban timo, sidik jari allah, 65 11eben nuban...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TENUN TIMOR, IMAJINASI, KONSELING MULTIKULTURAL DAN FEMINIS
Pada bab yang kedua ini akan dipaparkan teori-teori yang akan dipakai dalam penelitian
ini. Bab ini akan terdiri dari empat bagian besar. Pertama, Tenun Timor, yang terbagi atas tiga
bagian yaitu pengertian, proses pembuatan dan motif. Kedua, konseling multikultural yang
meliputi pemahaman, karakteristik, dan model.Ketiga, konseling feminis yang terdiri dari
pemahaman, karakteristik dan model dan keempat adalah teori imajinatif berdasarkan
pemahaman, fungsi dan karakteristik.
1.Tenun Timor
1.1 Pengertian
Budaya adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya termasuk pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kebiasaan lain yang didapat sebagai anggota
masyarakat.1Tenun Timor merupakan representasi dari pengertian budaya yang disajikan oleh
banyak tokoh antropologi karena dalam tenunan itu sendiri terdapat pengetahuan, keyakinan,
seni, dan adat-istiadat yang dimaknai masyarakat Timor.Walaupun hampir sebagian wilayah
Asia, terkhususnya Indonesia memiliki kemiripan (ethic) dalam menampilkan kebudayaan
terkhusunya tenunan tetapi yang menjadi keunikan (emic) tersendiri adalah ciri khas masing-
masing daerah yang selalu menjadi primadona dan tidak didapat didaerah lainnya.
Tenun merupakan hasil kerajinan tangan yang diolah dengan bahan utama yaitu
benang.Cara memasukan benang secara horizontal kedalam benang yang terentang vertikal pada
alat tenun yang terbuat dari kayu. Pengertian tenun ini masih yang bersifat tradisional sehingga
dalam proses awal hingga sampai pada sebuah kain tenun utuh nilai-nilai kearifan lokal masih
1Kim, Uichol, Yang, Kuo-Shu dkk,Indigenous and Culture Psyicology.Terjemahan Soetjipto, Helly Prajitno
(Yogyakarta: Pustaka, Pelajar, 2010), 16 -17
14
ikut dalam proses pengerjaan tenun. Tenun Timor juga salah satu kerajinan tangan yang masih
menjaga nilai-nilai budaya Timor dalam proses menenun. Kekhasan inilah yang membuat tenun
Timor memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Mempertahankan kebudayaan tentu saja tidak mudah dalam dunia busana modern. Maka
dari itu masyarakat Timor mensiasati agar tidak terjadi abrasi budaya dalam tenunan Timor maka
metode dalam proses pembuatan tenun sendiri ditetapkan hanya tiga tahapan saja. Ketiga metode
ini antara lain adalah futus (mengikat benang), sotis (menyisip benang), danbuna (mengaitkan).
Metode futus diawali denganmembuat hiasan dasar pada kain tenun dengan cara mengikat
rencana gambar untuk beberapa warna. Sementara sotis dibuat dengan menyisipkan benang
tambahan di atas dan di bawah benang dasar sehingga gambar yang dibentuk muncul ke
permukaan.Adapun buna memiliki tingkat kerumitan tinggi karena menggunakan banyak warna,
namun cara kerjanya sama persis dengan sotis.2 Ketiga metode yang dipakai dalam proses
pembuatan tenunan Timor ini tentu saja tidak serta-merta dapat dilakukan oleh setiap orang akan
tetapi orang-orang tertentu saja yang dapat mengerjakan tenunan dengan menerapkan ketiga
metode ini. Tentu saja dalam hal ini adalah perempuan yang memainkan peran penting dalam
proses ini.
Dalam budaya Timor sendiri, perempuan menjadi menjadi arsitek utama dalam
membentuk pola sampai pada tenun utuh.Ketrampilan dalam menenun ini hampir dimiliki oleh
setiap perempuan Timor. Eben Nuban Timo mengatakan, bahwa ketrampilan itu diwarisi dengan
cara belajar, mengamati dan berpraktik dibawah bimbingan ibu maupun kebarabat
perempuan.3Ketrampilan dalam menenun ini menjadi tolak ukur kedewasaan perempuan Timor.
Dewasa dan siap untuk menikah jika perempuan sudah menguasai cara menenun. Paradigma
2 Palce amalo, majalah Media Indonesia 15 oktober 2010
3Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 55
15
masyarakat Timor akan tenun semacam ini menambah nilai-nilai kultural budaya Timor yang
tidak didapat didaerah lain. Apresiasi yang diberikan pada penenun Timor semacam ini bukan
hal biasa karena pekerjaan ini membutuhkan tenaga dan konsentrasi yang maksimal pada diri
manusia dan perempuan yang menjadi aktor utama dalam hal ini.
1.2 Proses Pembuatan
Tenun Timor mengandung banyak makna dalam setiap kain yang dihasilkan. Harus
diakui bahwa kandungan makna pada tenun itu sendiri dimulai sejak awal proses pembuatannya.
Tenunan yang dihasilkan merupakan refleksi daripada penenun terhadap alam dan sang pencipta.
Untuk menghasilkan sebuah kain tenun itu sendiri memerlukan jangka waktu yang banyak
dengan proses-proses yang harus dilalui oleh sang penenun. Setidaknya dalam proses pembuatan
tenun Timor, Eben Nuban Timo mengklasifikasi dalam 4 tahapan yaitu membuat benang dari
kapas, lalu merekayasa motif, kemudian proses mencelup dan yang terakhir adalah menenun itu
sendiri.4Pada tahapan pertama membuat benang dari kapas diawali dengan menanam kapas
terlebih dahulu diantara jagung dan ubi.Setelah kapas diambil dan dijemur maka kumparan-
kumparan kapas itu diperhalus menggunakan alat berbentuk busur. Alat yang dipakai
dalammerubah kapas menjadi benang adalah ike suti. Untuk memperoleh benang yang cukup
dalam menenun sebuah sarung dan selimut dibutuhkan waktu kira-kira 2 bulan masa
pengerjaan.5
Tahapan kedua yaitu merekayasa motif. Proses ini dimulai dengan membentangkan
benang secara berjejer di atas dua buah balok atau bambu. Panjang bentangan itu kemudian
dilipat dua untuk keperluan membuat motif ikat.Ini disebabkan karena motif dalam satu selimut
biasanya dibuat simetris antara ujung atas dan bawah serta bagian kiri dan kanan. Sekitar 1000-
4Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 55
5Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 57
16
1500 baris benang yang dibentangkan di atas alat yang dinamakan loki’. Teknik merekayasa
motif dalam tenun ikat dimulai dengan menggambarkan keseluruhan struktur penempatan
gambar dalam ingatan, kemudian diterapkan dalam tenun dengan cara mengikat benang dalam
kumparan benang-benang.6Tahapan ini menjadi titik awal kreatifitas perempuan Timor dimulai.
Daya ingat yang kuat sangat mempengarui setiap rekayasa motif yang akan ditenun. Sehingga
daya ingat perempuan menjadi membangkitkan kreatifitas dan imajinasi selalu dijaga oleh
perempuan penenun.
Setelah motif yang diingikan sudah siap disajikan maka tahapan selanjutnya adalah
proses mencelup.Tahap ini berlangsung satu sampai dua bulan bergantung dari kombinasi serta
kualitas warna. Proses pencelupan ini menggunakan zat warna yang diperoleh dari bahan-bahan
yang tersedia di dalam alam, seperti kunyit, akar mengkudu, daun papaya, dan tumbuh-tumbuhan
yang tersedia di alam sekitar. Pada proses ini lagi-lagi memperlihatkan keakraban antara manusia
dan alam. Kesediaan alam dalam mempersiapkan segala sesuatu untuk menunjang
kreatifitasperempuan Timor. Pemilihan zat warna dan juga proses meramu yang berbahan baku
alam menambah nilai dan makna daripada tenun Timor itu sendiri.7
Tahap terakhir setelah proses penculupan pada zat warna adalah proses menenun. Benang
yang sudah diwarnai dibentangkan pada buah balok atau lebih lalu diurai diatas perkakas tenun.
Adapun dua balok horizontal di dua ujung dengan jarak antara 1,5 - 2 meter. Untuk menjaga
ketegangan benang di atas alat tenun maka nekan atau balok diikat pada dua buah tiang atau api’.
Selama proses menenun ada dua buah kayu yang selalu ditarik masuk dan keluar diantara sela-
sela benang. Tiap kali benang horizontal diselipkan, penenun merapatkan benang itu kesimpul
6Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 58
7Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 59
17
mati yang ada di atis atau balok dengan cara memukul beberapa kali. Maka dari itu diperlukan
senu sebuah balok pipih yang berbentuk pedang.Jika benang horizontal itu sudah rapat, penenun
menaikan puat agar benang yang berada di bawah terangkat ke atas, sedangkan benang yang di
atas turun ke bawah.Lalu dengan bantuan senu mendorong simpul itu untuk merapat ke
atis.Setelah itu benang horizontal dimasukan ke cela tenunan dengan menggunakan puat, lalu
dengan menggunakan senu penenun merapatkan simpul ke atis. Proses ini akan dilakukan
sampai selesai. Lamanya proses menenun sampai selesai kira-kira 10-15 hari.8 Tergantung dari
besar kecilnya kain yang ingin di buat dan kerumitan motif yang akan diukir.
Proses yang cukup panjang ini walaupun hanya dilalui dalam empat tahap saja, namun
selain kreatifitas penenun, kedisplinan dan kerja keras dari penenun juga sangat diperlukan.
Proses pengerjaan tenun bukan dilakukan dalam ruang tertutup dan bertemperatur dingin, namun
dilakukan oleh perempuan dialam terbuka bersama panasnya udara pulau Timor. Maka itu
perempuan yang menenun memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Setidaknya dari gambaran besar
penenunan tenun Timor terlihat bahwa proses produksi dari benang sampai pada sebuah kain
tenun memerlukan ketahanan tubuh yang kuat dan daya ingat yang luar biasa terhadap cuaca.
Pembuatan tenun Timor dengan teknik tradisional semacam ini akan terus mempertahankan
nilai-nilai budaya dalam kehidupan nyata walaupun waktu meninggalkan sebuah sejarah.
1.3 Motif
Eksistensi keberadaan budaya Timor dapat dilihat dengan adanya tenun sebagai sebuah
realitas.Tenun sebagai warisan nyata dari pada budaya Timor sangat terlihat dari pada motif yang
dibentuk dalam setiap selembar kain.Motif pada tenun menunjukan identitas budaya Timor
8Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 60-62
18
semanjak dulukala.Tallo mengatakan bahwa kain tenun sendiri merupakan benda mati tetapi
menjadi saksi hidup salah satu sisi bagian kebudayaan.9Menyambung daripada itu maka Nuban
Timo juga menambahkan bahwa selembar kain tenun terukir iman dan kepercayaan
masyarakat.10
Bahkan dalam motif-motif tenun Timor terekonstruksi pesan-pesan spiritual
tentang hidup dan mati, berkat, anugerah, persaudaraan, kerukunan, dan kedamaian.
Gambaran umum tenun sendiri bagi penulis adalah usaha manusia membangun relasi
bersama para leluhur.Hubungan ini didasarkan atas motif yang selalu dituangkan dalam kain
tenun.Indonesia salah satu wilayah yang memproduksi tenun terbesar se Asia Tenggara, namun
yang menjadi keunikan masing-masing daerah adalah motif yang ditampilkan.Nusa Tenggara
Timur sendiri memiliki ciri khas dalam menampilkan motif tenun dan binatang adalah salah satu
bentuk pesan spiritual yang didasarkan atas mitos.Di Timor sendiri buaya adalah binatang sakral
yang paling mendominasi motif tenun Timor sendiri.Motif buaya memiliki arti bagi masyarakat
Timor sebagai pembawa kesejukan dan kesegaran ditengah iklim Timor yang gersang. Adapun
asal mula cerita mitos berkembang tentang buaya dalam konteks Timor seperti yang di narasikan
oleh Eben Nuban Timo, demikian:11
Menurut cerita rakyat dahulu kala ada seekor anak buaya yang tersesat.
Ia tidak menemukan jalan untuk kembali ke laut. Seorang anak laki-laki
menolong buaya itu.Ia mengendong buaya itu dibawah ke laut. Pada
hari itu, air laut tiba-tiba naik.Si anak terancam mati tenggelam.Sebagai
ungkapan terima kasih, buaya tadi mengajak si anak naik ke
punggungnya.Anak itu dibawa berenang mengelilingi dunia. Ketika
buaya tadi menjadi semaki tua, ia merasa akan segera mati. Buaya
berpesan kepada anak yang sudah mulai dewasa bahwa ia akan
berbaring di permukaan laut. Tubuhnya akan berubah menjadi daratan,
menjadi sebuah pulau. Si anak boleh tinggal di pulau itu. Tubuh buaya
yang sudah berubah menjadi daratan itu akan menumbuhkan pohon
buah-buahan yang dapat dimakan. Bahkan didalam tubuh si buaya ada
9 Erni Tallo,Pesona tenun flobamora (Kupang: Tim penggerak PKK dan Dekranasda Provinsi NTT, 2003), 17
10Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 65
11Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 66-67
19
banyak bahan makanan yang boleh dinikmati oleh penduduk dipulau
itu.
Kepercayaan masyarakat Timor akan mitos-mitos dan cerita rakyat yang berkembang
dari generasi ke generasi memiliki nilai-nilai yang terus dijaga sampai kini. Mitos yang
berkembang dimasyarakat Timor adalah jenis kosmogonik, yang menjelaskan keberadaan dari
pulau Timor dan buaya sebagai bentuk karakter mitos teriomorfis yang dijadikan sumber awal
simbolisme.12
Penyimbolisasian teriomorfis buaya dalam masyarakat Timor menjadikan salah
satu kategori hewan buas ini menjadi sosok yang disakralkan.Buaya begitu dilindungi oleh
masyarakat Timor sebagai bentuk penghormatan karena sudah memberikan mereka tempat
tinggal.Pulau Timor yang dilihat sepintas mirip seperti seekor buaya yang sedang berbaring (the
sleeping crocodile) menambah aura mistik. Tanah milik masyarakat Timor juga tidak
diperbolehkan secara sembarang untuk dieksploitasi karena dipercaya akan melukai tubuh buaya
yang sedang tidur. Tenun juga merasakan imbas dari mitologi yang berkembang dimasyarakat
Timor, sehingga setiap tenun yang diproduksi tidak akan lepas daripada motif buaya yang
disakralkan.
2. Konseling Multikultural
2.1 Pemahaman dan Sejarah Konseling Multikultural
Kehidupan manusia saat ini sangat kompleks dan terus berubah menyesuaikan dengan
kondisi waktu dan gaya hidup. Seringkali manusia dituntut untuk terus mengikuti kondisi
perubahan ini. Namun kenyataannya dalam proses perubahan ini manusia mengalami kondisi
stagnan dikala tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang tidak bisa dihadapi. Kondisi
seperti ini tentu saja diperlukan orang terdekat atau keluarga bahkan pendeta untuk membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi tetapi rasa malu dan tidak terpuaskan akan jawaban dari
12
Marcel danesi,Pesan, Tanda, Dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. (Yogyakrta: Jalasutra. 2011),173-176
20
orang terdekat menjadi masalah lagi untuk manusia dapat berbagi masalahnya yang sedang
dihadapi. Maka dari itu menurut McLeod, konseling menjadi jalan keluar dalam tahap
ini.13
Sekarang ini menemukan teman terdekat, keluarga bahka suami ataupun istri untuk
mendengarkan kondisi permasalahan yang sedang dihadapi sangat sulit untuk itu konseling hadir
dalam membantu orang-orang yang menghadapi konteks masalah seperti ini.
Konseling yang berkembang sangat pesat sejak dari abad ke-20, menjadi sarana bagi
manusia dalam menyelesaikan masalahnya.Namun konseling yang selama ini kita
kenaldipengaharui konteks Barat dimana konseling itu lahir dan berkembang.Berbagai macam
model konseling yang dikembangkan di Amerika seperti model psikodinamik, person-centred,
dan kognitif behavioral sangat monokultural.14
Artinya bahwa konseling yang disajikan bagi
masyarakat Amerika tidak mengedepankan sisi kultur. Padahal dalam wilayah Amerika itu
sendiri terdapat percampuran berbagai suku yang mendiami benua tersebut seperti Afrika
Amerika, Asia Amerika, Indian Amerika.15
Suku-suku tersebut (selain barat yang menganut
dualism) tidak memiliki konsepsi dualis, tetapi menganggap dunia sebagai sebuah
kesatuan.Dimana mereka memahami bahwa fisik, mental, dan spiritual sebagai sebuah realitas
tunggal bukan domain yang terpisah.16
Konsep realitas tunggal yang dianut oleh Asia dan Afrika
sepertinya menjadi tantangan tersendiri bagi konseling (Barat/Amerika) dalam menanggulangi
permasalahan bagi orang-orang yang berasal dari Timor misalnya.
Kesadaranakan domain yang berbeda ini secara tidak langsung telah mendatangkan
frustrasi pada saat seorang konselor berusaha untuk mempromosikanteori pengembangan
13
John Mcleod,Pengantar Konseling,1 14
John Mcleod,Pengantar Konseling, 275 15
Manivong J. Ratts, Anneliese A. Singh, dkk, Multicultural and Social Justice Counseling Competencies: Guidelines for the Counseling Profession. Journal of Multicultural Counseling and Development Vol 44 (2016), 31
16John Mcleod,Pengantar Konseling,277
21
manusia atau nilai-nilai yang melekat dalam konseling Barat dan kenyataannya klien berada
dalam beragam budaya.Berangkat dari masalah itu Lee dan Park mengatakan bahwa dalam
proses membantu mengatasi konflik dan frustrasi yang sering dialami oleh konselor dalam
menghadapi klien yang beragam budaya, maka konselor harus secara efektif mengatasi
perbedaan budayadalam penyediaan layanan konseling.17
Artinya bahwa seorang konselor yang
profesional membutuhkansebuah kerangka kerja konseptual yang digunakan ketika berhadapan
dengan klien yang beragam budaya untuk memastikan bahwa klien beragam budaya tersebut
memiliki akses ke layanan konseling yang berkompeten.
Menurut Lee et all. Konseling multikulturaldapat didefinisikan sebagai aliansi kerja
antara konselordan klien yang mempertimbangkan dinamika pribadi dari konselor dan
kliendisamping dinamika budaya kedua individu tersebut.18
Bagi Lee et all. pengunaan kata
multikulturaldalam konseling oleh karena dalam pertimbangan latar belakang budaya dan
pengalaman individudari beragam klien dan bagaimana kebutuhan psikososial mereka dapat
diidentifikasi dan dipenuhimelalui layanan konseling. Maka dari itu konseling multikultural
sangat disarankan dalam proses membantu klien yang beragam budaya karena kondisi sosial
setiap budaya memiliki keunikan tersendiri dalam proses penyelesaian masalah, sehingga
konseling dalam hal ini konselor profesional pun harus terus berinovasi menyesuaikan kondisi
sosial klien.
A. Aspek Kultur Dasar dalam Konseling Multikultural
1. Konsep Realitas
17
Courtland C. Lee, Multicultural Issues in Counseling : New Approaches to Diversity (United States : American Counseling Association, 2013),6
18Courtland C. Lee, Multicultural Issues,7
22
Memahami orang-orang dari budaya yang berbeda tentu memiliki ide yang berbeda
tentang realitas.Realitas yang dipahami misalnya dualistik atau holistik. Dalam budaya Barat,
yang memahami realitas bersifat dualistik yang membagi dunia dalam dua tipe entitas: jiwa dan
tubuh. Jiwa terdiri dari ide, konsep, dan pikiran.Sedangkan tubuh bersifat nyata, dapat diamati,
dan berkembang dalam ruang. Realitas dualisme berdampak pada peningkatan pemisahan antara
diri dan objek, atau diri dan yang lain. Diri dikaitkan dengan jiwa dan dirancang di luar serta
jauh dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala sesuatu atau orang lain.
orang-orang selain dunia Barat menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan.misalnya
Buddhisme, Hinduisme, dan agama dunia lain yang memahami bentuk fisik, mental, dan
spiritual sebagai aspek atau sisi dari satu realitas tunggal, bukan sebagai domain yang terpisah.19
2. Memahami Diri
Memahami diri menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu budaya dengan budaya yang lain
berbeda. Diri menurut Landrine (1992),20
self adalah inner thing (sisi dalam diri sesuatu) atau
daerah pengalaman diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari Budaya Barat, diyakini sebagai
peletak dasar, pembuat, dan pengontrol perilaku. Landrine menabrakan konsep diri Budaya Barat
dengan pengalaman diri indexical dalam Budaya non-Barat:
Selain itu dalam konsep memahami diri terdapat pendekatan individualis dan pendekatan
kolektif.Kedua pendekatan ini tentunya memiliki perbedaan.Pendekatan individualis yang
mendominasi Budaya Barat dan juga pendekatan kolektif merupakan bagian dari Budaya
tradisional. Orang dengan pendekatan kolektif senang menganggap dirinya sebagai anggota dari
keluarga, suku, atau kelompok sosial lain dan membuat keputusan berdasarkan kebutuhan, nilai,
dan prioritas jaringan sosial ini. Budaya individualis menekankan pada perasaan bersalah,
19
Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, 277. 20
Landrine dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, …277,278.
23
merujuk pada pengalaman batin, dan penyalahan diri.Orang dengan budaya kolektif lebih senang
berbicara mengenai rasa malu, merujuk pada situasi dimana mereka tertangkap basa oleh orang
yang berkuasa. Akan sangat sulit untuk memahami orang lain yang ada dalam dua pendekatan
yang berbeda.21
3. Konstruksi moral
Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan salah adalah inti kehidupan.Akan
tetapi membuat pilihan moral ada dan dipengaruhi oleh budaya.Moralitas Barat yakin dengan
pilihan dan tanggung jawab individu dan kemauan untuk dibimbing oleh prinsip moral yang
abstrak seperti keadilan atau kejujuran.Sedangkan Budaya tradisional isu moral sangat
ditentukan oleh takdir misalnya karma.Ajaran dan prinsip moral tertanam dalam cerita bukan
diartikulasi dalam konsep abstrak.Perbedaan antara memilih (budaya Barat) dan takdir (budaya
tradisional) sangat berpengaruh dalam konseling.Nilai moral dalam budaya individual cenderung
menghadirkan nilai seperti pencapaian, otonomi, indenpenden, dan rasionalitas.Sedangkan
budaya kolektivis lebih menekankan pada nilai sosiabilitas, pengorbanan, dan kesesuaian.22
Permasalahan dan hambatan yang sering terjadi dalam praktek konseling di Indonesia
adalah benturan-benturan aspek sosial dan budaya. Asal-usul pengetahuan konseling yang
berasal dari dunia Barat yang terapkan di Indonesia akan bersifat ahistoris. Hal ini karena
pengetahuan konseling yang selama ini berkembang di Indonesia tidak mencoba memasukan
pengetahuan-pengetahuan lokal Indonesia.Pengetahuan tersebut dapat berupa falsafah dan nilai-
nilaiyang dihidupi oleh masyarakat Indonesia.Selain itu juga masyarakat Indonesia sudah
terlanjur memahami konseling sebagai bagian dari sebuah agama (Kristen).Isu kristenisasi begitu
21
Mcleod, Pengantar Konseling,…278. 22
Mcleod, Pengantar Konseling, …279.
24
kental hubungannya dengan konseling karena dianggap sebagai warisan Barat.23
Maka dari itu
untuk menyikapi akan hal tersebut konseling berbasis budaya atau konseling multikultural sangat
diperlukan dalam konteks Indonesia yang plural. Falsafah dan nilai-nilai yang menjadi pedoman
masyarakat Indonesia disetiap daerah akan menjadi tolak ukur kerangka konseling multikultural.
Hambatan-hambatan selain isu kristenisasi dalam dunia konseling ada pula yang lain.
Seperti yang dipaparkan Wiryasaputra setidaknya ada tujuh salah paham tentang konseling.
Tetapi penulis hanya akan menampilkan 2 dari 7 kasus kesalahan pahaman saja. Pertama,
kebanyakan orang memahami dalam dunia konseling selalu berkaitan dengan proses
percakapan.24
Tentu saja ini akan menjadi hambatan jika ditarik dalam konteks budaya
Indonesia. Tidak semua budaya di Indonesia mengharuskan untuk dapat berbicara segala
persoalan kepada orang lain. Mekanisme yang tersedia dalam lingkaran sosial masyarakat
Indonesia berbeda-beda. Pemahaman bahwa konseling adalah percakapan tentu saja akan
menjadi hambatan besar dalam menyelesaikan masalah konseli. Kedua adalah konseling
diangap sebagai sebuah wawancara, dan ini sangat berbahaya karena tidak semua proses
konseling adalah wawancara.25
Jika memakai prinsip ini dalam dunia konseling maka akan
terjadi banyak kerancuan. Tentu saja wawancara di sini dipahami sebagai wawancara kerja
contohnya. Proses wawancara memiliki keunggulan untuk memahami permasalahan konseli.
Namun wawancara tidak bisa menjadi tolak ukur tetapi konseli akan merasa lebih diperhatikan
dengan kehadiran kita.
Konseling multikultural yang akan dibangun dalam konteks masyarakat Indonesia
terkhusus Timor setidaknya akan membuka ruang bahwa kesalahpahaman yang sering terjadi
23
J.D Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016),14-15 24
Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 55 25
Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 56
25
berkaitan dengan ilmu konseling. Konseling sekarang bukanlah warisan pemikiran Barat yang
harus dijaga kesuciannya.Konseling multikultural menjadi sarana kontekstual di mana konseling
itu berkembang terkhususnya bagi penenun Timor.Di Timor sendiri sebagai daerah basis
Kekristenan maka yang berkembang selama ini adalah pastoral jemaat yang diberikan oleh
pendeta. Pastoral sendiri berakar kata pada Pastore(latin) dan Poimen(Yunani) yang artinya
gembala.26
Pastoral sendiri memiliki 2 arah yang berbeda yaitu pendampingan pastoral dan
konseling pastoral. Menurut Kartadinata pendampingan pastoral adalah proses pendidikan
kepada individu untuk mencapai tingkat kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hayat
(lifelong education).27
Sedangkan Engel memahami konseling pastoral sebagai dimensi
pendampingan pastoral dalam melaksanakan fungsi yang bersifat memperbaiki ketika orang
mengalami krisis.28
Dari kedua pemahaman tersebut maka dapat disimpulkan bahwa manusia
membutuhkan pendampingan pastoral sepanjang hidupnya tetapi manusia mungkin
membutuhkan konseling pastoral ketika mengalami krisis.Hal yang menarik dari konseling
pastoral di mana tidak hanya mampu membantu orang keluar dari masalah namun mampu
mengembangkan dimensi spiritual orang tersebut.Berkaitan dengan konteks penulisan saat ini
maka pastoral yang ingin dicapai adalah pastoral budaya.Maksudnya bahwa dimensi spiritual
yang terdapat dalam setiap budaya bisa dipakai dalam pendekatan pastoral.
2.2 Karakteristik Konseling Multikultural
Konseling diartikan sebagai proses pertolongan antara seorang konselor kepada seorang
konseli atau klien dengan maksud bukan hanya meringankan penderitaan konseli, tetapi sebagai
26
J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 2 27
J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 1 28
J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 9
26
bentuk pemberdayaan.29
Proses pertolongan yang dimaksudkan Engel bukan semata membantu
mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi oleh klien tetapi dalam proses konseling, klien
itu sendiri dapat diberdayakan dengan segala potensi yang ada dalam diri klien. Dengan melihat
bentuk-bentuk potensi yang ada dalam diri klien tentunya selalu ada perbedaan dan tentu saja
dipengaharui oleh budaya masing-masing klien sehingga konseling multikultural menjadi lebih
beragam.Potensi-potensi yang dimaksud sejalan dengan pandangan Wiryasaputra bahwa
manusia harus dilihat secara holistik. Dalam pengertian yang luas bahwa holistik artinya manusia
memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, dapat menciptakan sejarah, dapat
berubah, berfungsi, berelasi dan berinteraksi bersama makluk lain termasuk alam.30
Dalam konseling tekanan pada multikultural itu sendiri sebagian pihak menganggap
bahwa tidakpenting, alasannya bahwa yang lebih penting adalah situasi konseling atau masalah
yang dihadapi klien dapat teratasi.Pemikiran konseling secara konvensional semacam ini banyak
menemui jalan buntu.Dengan demikian dalam memasuki situasi konseling, yang menjadi
perhatian utama adalah individu, bukan budanya dan oleh karena itu konselor tidak berurusan
dengan budaya klien, tidak juga budaya konselor, melainkan dengan individu klien. Hal ini
disebabkan karena mereka terlalu percaya pada universalitas dan generalisasi teori-teori dan
prinsip-prinsip konseling yang dapat melintasi batas-batas kultur. Pandangan ini menurut
penulissudah tidak berlaku lagi pada abad ke 21 dengan tekanan beragam budaya.
Bagi penulis sendiri bahwa pandangan ini sangat berbahaya bagi proses konseling, karena
akan melahirkan beberapa ancaman bagi konselor kepada klien sepertikonselor yang tidak peka-
budaya (culturally insentive counselor), tidak empatik terhadap apa yang dialami klien, dan
sangat mungkin untuk memaksakan nilai-nilai budaya sendiri kepada klien yang dilayaninya.
29
J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 1 30
Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 42
27
Sehingga pandangan ini terlalu menekankan segi etic dalam konseling dan mengabaikan emic.
Namun perlu diingat bahwa perbedaan-perbedaan nilai-nilai budaya pada klien tidak harus
dilihat sebagai sisi lainkeunikan klien dan budayanya, sehingga mengabaikan adanya kesamaan
(commonalities) di antara klien dan konselor.
Permasalahan manusia semakin kompleks karena dituntut oleh perkembangan waktu
setiap saat maka dari itu konseling harus beradaptasi dengan kebutuhan manusia.Konseling
multikultural menjadi jawaban setiap kebutuhan manusia dengan beragam budaya dan latar
belakang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh klien.Budaya-budaya memiliki fitur-
fitur atau dan makna-makna yang spesifik dan mungkin unik, misalnya, bahasa, mitos, makna,
simbol. Menurut Shweder, melalui budaya kita berpikir, merasakan, berperilaku dan mengelola
realitas kita.31
Budaya memegang peranan penting dalam kehidupan berelasi membentuk satu
komunitas hidup bahkan mengelola lingkungan.budaya yang telah dibangun orang bagi dirinya
bisa memiliki makna yang berbeda bagi anak-anak mereka. Jika budaya yang telah diciptakan
orang dewasa tidak sesuai dengan aspirasi anak-anak mereka, maka anak-anak mereka mungkin
akan memodifikasi budaya itu. Konflik-konflik generasional muncul karena orang dewasa
menggunakan masa lalu untuk memahami masa kini dan menggunakan masa lalu untuk
membentuk masa depan.32
Dalam pengembangan konsep konseling multikultural di Indonesia terutama di Timor, bagi
penulis perlu diperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya terkhususnya bagi proses
konseling. Apalagi Indonesia dikenal dengan keragaman yang kompleksbaik segi demografis,
sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun latar budayanya.Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi
semboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling multikultural, layaknya dikembangkan
31
Shweder dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous, 57 32
Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous, 59
28
dimensi wawasan kebhinnekaannya dalam kerangka penegasan karakteristik keikaan yang
kuat.Menurut Pedersen dalam Supriadi, menjelaskan bahwa dalam bidang konseling dan
psikologi, pendekatan multikultural atau lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat
setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik.33
Hemat penulis bahwa
pendekatan multikultural akan melahirkan berbagai pendekatan baru seiring pengkolaborasian
antara multikultural, psikodinamik, behavioral, dan humanistik. Sehingga semua klien dari
berbagai ragam budaya dapat terlayani.
Dalam dunia konseling ada berbagai sarana-sarana dipakai dalam proses konseling.
Sarana-sarana ini menjadi warna-warna yang mewarnai proses konseling. Menurut Wiryasaputra
setidaknya ada enam sarana yang dipakai dalam proses konseling di Indonesia. Sarana yang
dipakai antara lain doa, Alkitab, nyanyian, ziarah, ibadah, penumpangan tangan.34
Dalam
konteks konseling multikultral sarana-sarana ini menjadi penting karena akan membantu proses
penyembuhan daripada konseli. Setiap konseli memiliki kemampuan dan penerimaan diri yang
berbeda-beda terhadap masalah. Maka dari itu dengan adanya sarana-sarana ini akan membantu
konseli dalam proses penyelesaian masalah. Setiap sarana-sarana yang dipaparkan Wirsyaputra
tentu saja disesuai dengan kondisi daripada konseli itu sendiri. Sebagai contoh, dalam budaya
Timor ketika melakukan ziarah dipercaya bahwa arwah-arwah orang yang sudah meninggal akan
terus menjaga mereka. Selain itu kepercayaan orang Timor bahwa sakit, bencana alam atau
malapetaka lainnya adalah berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal. Ini menjadi sarana
proses konseling multikultural yang sangat bernilai.Maka dari itu harus ditegaskan bahwa
konseling yang selama ini berkembang bersifat ahistoris.Seringkali ilmu pengetahuan yang
diterapkan tidak memikirkan bahwa asal-usul pengetahuan itu muncul. Akhirnya akanmengalami
33
Supriadi, Konseling Lintas-Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia, dalam Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001), 12 34
Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 191-200
29
perbedaan dan tantangan jika diterapkan pada kondisi sosial yang berbeda. Maka dari itu
konseling pastoral dalam ruang lingkup budaya juga harus diperbaharui.
Selama ini metode yang dipakai oleh konseling pastoral di Indonesia berbasis pada ilmu
psikologis.Di mana sangat menekankan pada psychological strengthdalam pemenuhan
kebutuhan, kompentensi intrapersonal dan interpersonal.35
Dari pandangan tersebut tentu saja
tertuju pada individu saja tanpa melihat kondisi sosial. Maka dari itu menurut Engel bahwa
konseling pastoral dalam aras budaya adalah konseling yang harus berakar dan lahir dari kearifan
lokal dan kondisi sosial setempat.36
Dari pemahaman tersebut akan tercipta ruang-ruang pastoral
berdasarkan pemahaman masyarakat itu sendiri. Pastoral tidak bisa difokuskan pada individu
saja tetapi tujuan akhir adalah pemberdayaan.Ruang pastoral budaya sebenarnya terjadi ketika
adanya saling menopang, menolong, membimbing yang berangkat dari pandangan budaya
setempat.
2.3 Model Konseling Multikultural
Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang
sangat mendasar.Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain
sebagainya.Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang
berbeda.Dalam konteksnya konseling multikultralakan dapat terjadi jika konselor kulit putih
memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan
layanan konseling pada klien yang berasal dari Kupang. Layanan konseling multikulturaltidak
saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda.Tetapi layanan
konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama.
35
J.D. Engel Konseling Pastoral, 15 36
J.D. Engel Konseling Pastoral, 15
30
Sebagai contoh, konselor yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yaitu Rote memberikan
layanan konseling pada klien yang berasal dari Soe yang juga termasuk Nusa Tenggara Timur,
mereka sama sama berasal dari suku atau etnis NTT. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan
mendasar antara orang Rote dengan orang Soe.Mungkin orang Rotelebih terlihat "kasar",
sedangkan orang Soe lebih "halus". Konselor perlu menyadari akannilai-nilai yang berlaku
secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat
padaumumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.
Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling.
Palmer and Laungani dalam Engel, mengajukan tiga model konseling lintas budaya,
yakni culturecentred model, integrative model, dan ethnomedical model37
.Pertama,Model
Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model) bahwa budaya-budaya barat menekankan
individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan
komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat
kontinum tidak dikhotomus.Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu
kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.Diyakini, sering kali
terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang
budaya, bahkan dalam budayanya sendiri.38
Kedua adalahModel Integratif (Integrative Model). Berdasarkan uji coba model terhadap
orang kulit hitan Amerika, dirumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual
dalam konselingmodel integratif, yakni sebagai berikut :1) Reaksi terhadap tekanan-tekanan
rasial (reactions to racial oppression). 2) Pengaruh budaya mayoritas (influenceof the majority
37
J.D Engel, Konseling Pastoral, 69 38
J.D Engel, Konseling Pastoral, 69
31
culture). 3) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture). 4) Pengalaman dan
anugrah individu dan keluarga (individual and familyexperiences and endowments). Dengan
demikian kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel
tersebut.Yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi.Budaya
tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan
baik secara disadari ataupun tidak.Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada
kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel
di atas.39
Ketiga adalah Model Etnomedikal (Ethnomedical Model) Model ini merupakan
alatkonseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialogterapeutik dan
peningkatan sensitivitastranskultural.40
3. Konseling Feminis
3.1 Pemahaman Konseling Feminis
Manusia diciptakan menjadi dua tipe yaitu perempuan dan laki-laki. Tentu saja pada
hakekatnya kedua tipe ciptaan ini adalah sama. Tetapi dalam implikasinya antara perempuan dan
laki-laki tentu saja memiliki banyak perbedaan mendasar.Dalam kehidupan sehari-hari antara
perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam mengatasi masalah atau stres yang
melanda.Berbeda pula pembagian kerja atau peran dan fungsi antara laki-laki atau perempuan
sesuai dengan budaya yang dianut.Perbedaan-perbedaan semacam ini yang menjadi kendala
perempuan dan laki-laki dalam mengekspresikan secara utuh yang mereka rasakan.Harus diakui
bahwa dalam banyak pengetahuan, budaya patriakal menjadi senjata yang sangat mematikan.
39
J.D Engel, Konseling Pastoral, 70 40
J.D Engel, Konseling Pastoral, 70
32
Sebelum masuk lebih mendalam tentang konseling feminis sebaiknya harus ada uraian
mendasar tentang perempuan.Stigma yang terbentuk dalam diri perempuan adalah menghargai
cinta(internal), komunikasi(relasi) dan kecantikan(eksternal). Perempuan menghabiskan banyak
waktu untuk mendukung, membantu, dan memelihara satu sama lain dalam komunitasnya.
Perempuan dianggap mengalami pemenuhan kebutuhan diri melalui sharing dan berhubungan
terhadap sesama.Perempuan sangat menikmati pakaian yang berbeda setiap hari, sesuai dengan
perasaan mereka. Pribadi Ekspresi, terutama perasaan mereka, sangat penting. Mereka bahkan
bisa mengganti beberapa pakaian sehari saat mood mereka berubah.Komunikasi sangat penting
bagi perempuan.Bagi perempuan untuk berbagi perasaan pribadi mereka jauh lebih penting
daripada mencapai tujuan dan kesuksesan dalam hidup. Berbicara dan berhubungan satu sama
lain adalah sumber pemenuhan yang luar biasa bagi perempuan.41
Tetapi semua ini sulit dipahami
oleh seorang pria bahkan semua itu tidak ada dalam diri pria.
Ketika seorang pria marah, dia tidak pernah membicarakan tentang apa yang
mengganggunya kepada orang lain. Pria tidak akan pernah membebani perempuan atau orang
disekitarnya dengan masalahnya kecuali jika bantuan temannya diperlukan untuk dipecahkan
masalah. Sebagai gantinya pria menjadi sangat pendiam dan pergi ke tempat yang sunyi untuk
mencari tahu tentang masalahnya, di sana pria akan merenungkannya untuk menemukan
solusinya. Jika pria tidak bisa menemukan solusinya maka dia melakukan sesuatu untuk
melupakan masalahnya, seperti membaca koran atau bermain game. Cara ini dipercaya dapat
melepaskan pikirannya dari masalah pada masanya, lambat laun dia bisa bersantai.Jika stresnya
benar-benar hebat, dibutuhkan keterlibatan dengan sesuatu yang lebih dari itu menantang, seperti
membalap mobilnya, berlomba dalam kontes, atau mendaki gunung.
41
John Grey, Men Are from Mars, Women Are from Venus: A Practical Guide for Improving
Communication and Getting What You Want in Your Relationships (New York: HarperCollins 1993), 14
33
Hal yang sangat berbeda dipertunjukan oleh perempuan.Ketika seorang perempuan
menjadi marah atau tertekan oleh hari-harinya, untuk menemukan kelegaan, maka dia mencari
seseorang yang dia percaya dan kemudian berbicara dengan sangat rinci tentang masalahnya.Saat
perempuan berbagi perasaan mereka yang terbebani kepada orang yang dipercaya, tiba-tiba
mereka merasa lebih baik. Bagi perempuan berbagi masalah dengan orang lain sebenarnya
dianggap sebagai tanda cinta dan kepercayaan dan bukan beban. Perempuan merasa tidak malu
mengalami masalah.Perempuan secara terbuka berbagi perasaan terbebani, bingung, putus asa,
dan kelelahan.Perempuan merasa nyaman dengan dirinya sendiri saat dia memiliki teman penuh
cinta untuk dibagikan kepadanya perasaan dan masalah.42
Kerangka berpikir ini sangat berbahaya
karena melihatkan perempuan sebagai ciptaan yang penuh dengan kelemahan dan sangat
membutuhkan orang lain. Sedangkan pria adalah makluk yang kuat yang dapat menyelesaikan
masalahnya sendiri. Konseling feminis dalam konteks tulisan ini akan mencoba membedah yang
terjadi dalam konteks perempuan Timor.
Dalam memahami konseling feminis sendiri kita harus melihat bahwa ada
perbedaanantara teori konseling lainnya yang kebanyakan berfokus pada faktor-faktor psikologis
konseli saja dalam menyelesaikan sebuah masalah namun konseling feminis sendiri selain
memperhatikan faktor-faktor psikologis klien, pengaruh sosiologis terhadap konseli juga menjadi
sasaran utama penyelesaian masalah. Konseling feminis berfokus pada isu gender dan kekuatan
(power) sebagai inti dari proses terapi atau pemulihan. Konseling feminis dibangun dari premis
bahwa untuk dapat memahami masalah konseli dengan benar, kita juga perlu memahami konteks
sosial, budaya, dan politik yang berkontribusi pada masalah tersebut. Sehingga dari berbagai
42
John Grey, Men Are from Mars, 22
34
faktor pendukung terciptanya konseling feminis ini tidak menjadikan salah satu konteks dalam
masyarakat menjadi kambing hitam tetapi konseling feminis akan melihat secara utuh.
Jika dilihat konsep yang terbentuk dalam konseling feminis adalah pemahaman akan
tekanan psikologis yang hebat kepada wanita dan adanya pembatasan-pembatasan yang muncul
dari status sosiopolitikbudaya yang memojokkan wanita. Maka dari ituperspektif feminis
menawarkan pendekatan yang unik untuk memahami peran perempuan dan laki-laki, dan
membawa pemahaman tersebut ke dalam proses konseling. Jika ditelusuri proses konseling
selama ini maka akan kelihatan di mana mayoritas konseli yang datang ke konselor dalam
menyelesaikan sebuah masalah adalah wanita, tetapi anehnya sebagian besar teori konseling dan
psikoterapi dikembangkan oleh laki-laki kulit putih dengan latar belakang budaya Barat
(Amerika atau Eropa).
Dalam sejarahnya teori dan praktik konseling feminis berawal dari gerakan feminisme
sekitaran tahun 1960-an, di mana para wanita membentuk sebuah forum komunitas untuk secara
aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan
mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua.Bagi Victoria Foster,Setidaknya feminisme yang
merupakan dasar filosofis bagi konseling feminis, bertujuan untuk menumbangkan patriarki dan
mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan perubahan sosial
radikal.43
Pemikiran semacam ini bagi penulis cukup berbahaya jika dikondisikan dalam konteks
Indonesia terlebih Timor karena patriarki dan diskriminasi gender merupakan sebuah budaya
yang utuh dipahami oleh masyarakat. Kultur patriarki bagi masyarakat Timor adalah sesuatu
yang sakral sehingga dalam memahami feminisme harus memahami konteks lokal.
43
Nicholas A.Vacc et all,Counseling Multicultural and Diverse Populations: Strategies for Practitioners (New
York: Brunner-Routledge, 2003), 161
35
The National Organization for Women (Organisasi Nasional Para Wanita), yang lazim
disingkat NOW, merupakan organisasi yang sangat getol dalam mengupayakan reformasi
struktur sosial dan peran-peran tradisional wanita, serta menyuarakan feminisme antara tahun
1960 hingga 1970-an. Seiring dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan
membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran (consciousness raising) dan
mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi,
pendidikan, dan arena sosiopolitik signifikan lainnya. Kelompok consciousness raising (usaha
penyadaran para wanita) awalnya merupakan kelompok-kelompok para wanita yang bertemu
secara semi terstruktur untuk berbagi pengalaman atas tekanan dan ketidakberdayaan yang
mereka alami. Kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi kelompok self-help
(tolongs diri) yang tertata dalam memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial
yang ada saat itu.44
Konseling feminis berkembang dari kelompok-kelompok consciousness
raising ini, yang kemudian memainkan peranan penting dalam pendidikan, radikalisasi, dan
mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Meskipun telah menjadi instrumen penting bagi
penyadaran para wanita, namun dalam hal usaha perubahan secara politis, kelompok-kelompok
consciousness raising ini tidak seefektif organisasi semacam The National Organization for
Women. Karena itu, kelompok-kelompok consciousness raising ini lebih banyak mengambil
peran dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi para anggotanya.45
Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu
pendekatan dalam psikoterapi. Perlu diketahui bahwa dalam konseling dan psikoterapi
feminissendiri tidak dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu,
serta tidak dilengkapi dengan teknik tertentu. Menurut Iveykonseling dan psikoterapi feminis
44
J.D Engel, Konseling Pastoral, 39 45
G. Corey,Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, (Boston : Cengange Learning, 2012). 126
36
fase awaldidasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman
ditekan dan menjadi korban. Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat
membantu mereka.46
Teori feminis berkembang melalui tiga fase yang berbeda: Radikal, Liberal, dan Moderat.
Teori feminis awal mengambil bentuk konseling dan psikoterapi radikal, di mana teori ini
menggunakan teknik-teknik yang didesain untuk membantu para wanita agar dapat menyadari
bahwa masyarakat yang patriarkal merupakan pusat dari kebanyakan masalah mereka, dan
perubahan tidak akan terjadi kecuali jika mereka diberdayakan agar dapat merasa dan bertindak
sejajar dengan para pria. Para konselor dan terapis feminis radikal dengan penuh semangat akan
mengemukakan tujuan dan prinsip-prinsip feminisme dalam konseling, yang berisi di antaranya:
(1) mendorong independensi finansial, (2) memandang bahwa masalah para wanita dipengaruhi
oleh faktor-faktor eksternal, dan (3) menyarankan agar konseli dapat terlibat dalam aksi-aksi
sosial. Konseling dan psikoterapi feminis radikal ini mendorong agar konseli berpartisipasi aktif
dalam kelompok-kelompok aksi sosial dan gerakan-gerakan keadilan sosial lainnya untuk
memperjuangkan perubahan sosial yang akhirnya akan menghasilkan keadilan gender.47
Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergeseran dalam teori feminis yang memperkenalkan
potensi femininnya, lebih fokus pada kesetaraan, dan mengajukan asumsi bahwa sebagian besar
masalah wanita diciptakan oleh masyarakat yang tidak menghargai atau membebaskan para
wanita untuk melakukan haknya. Tidak seperti konseling feminis di tahun-tahun sebelumnya,
nada konseling dan psikoterapi feminis menjadi lebih moderat. Artinya bahwa feminis moderat
mulai mengadaptasi tujuan-tujuan feminis radikal dan liberal untuk dikolaborasi.Meskipun
terdapat banyak perspektif, Evans et all. mendeskripsikan konseling feminis modern sebagai
46
Ivey, A. E., D’Andrea, M., Ivey, M. B., & Morgan, L. S. Theories of Counseling & Psychotherapy: A Multicultural Perspective (Boston: Pearson Education, 2009), 237
47Ivey, A. E, dkk, Theories of Counseling & Psychotherapy, 243
37
pendekatan yang mengintegrasikan psikologi wanita, riset-riset tentang perkembangan wanita,
teknik-teknik kognitif behavioral, kesadaran multibudaya, dan aktivisme sosial ke dalam sebuah
teori dan paket terapi yang koheren.48
3.2 Karakteristik Konseling Feminis
Konseling feminis berangkat dari perspektif yang didasari oleh sebuah keyakinan bahwa
teori-teori tradisional mengenai hakikat dan perkembangan manusia, yang ditemukembangkan
oleh tokoh Barat, tidaklah dapat diterapkan secara universal.Menurut penulis kebanyakan teori-
teori tersebut dikembangkan berdasarkan studi atas laki-laki (sementara perempuan dianggap
sama). Tentu saja hal ini ditentang karena bagi para pejuang feminisme memandang bahwa
perempuan dan laki-laki bersosialisasi dengan cara yang berbeda. Ekspektasi peran gender
berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan, sehingga teori-teori tradisional tersebut
tidak mengena secara tepat pada perempuan terlebih dalam konteks Timor (Asia).
Sosialisasi peran gender merupakan proses multifase yang kita kenal dalam masyarakat,
terjadi selama rentang kehidupan dan juga menguatkan keyakinan-keyakinan dan perilaku-
perilaku tertentu yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang tepat berdasar jenis kelamin
biologis. Proses tersebut berdampak membatasi kepada perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh,
mitos dan cerita-cerita yang sering orangtua atau lingkungan sampaikan pada anak-anak bahwa
laki-laki adalah sosok yang kuat, harus berpendidikan tinggi dan mampu dalam banyak hal,
sedangkan wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, dan memiliki peran di rumah saja. Cerita-
cerita dan hal sejenis demikian akan berdampak luas bagi wanita yang sedang
bertumbuhkembang yang belajar bahwa femininitas adalah kebalikan dari kekuatan, asertivitas,
kompeten, dan bagi laki-laki yang mempelajari bahwa maskulinitas merupakan kebalikan dari
rasa takut, ketergantungan, emosionalitas, atau kelemahan.
48
Corey, G. Theory and Practice of Counseling, 131
38
Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari
praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih
satu sama lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:49
1) Masalahindividu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa
masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks
politik dan sosial.
2) Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha melakukan
perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial.
3) Suara, pemahaman, dan pengalaman wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria.
Konseling-konseling tradisional yang menggunakan norma-norma androcentic,
menggunakan laki-laki sebagai ukuran, sehingga dengan begitu, wanita seringkali
ditemukan menyimpang dari norma tersebut.
4) Hubungan konseling berlangsung secara egaliter. Salah satu perhatian utama konseling
feminis adalah mengenai power dan hubungan konseling yang egaliter.
5) Fokus pada kekuatan dan reformulasi definisi masalah psikologis. Beberapa konselor
feminis menolak untuk memberikan label diagnostik “penyakit mental” pada konseli.
Menurut Enns dalam Corey tujuan konseling feminis berkisar pada pemberdayaan,
menghargai perbedaan, berusaha melakukan perubahan, kesetaraan, perubahan sosial, dan self-
nurturance (peduli diri). Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk
membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan
kepentingan orang lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan
seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat. Konseling
49
Theinkaw, The Effectiveness Of Postmodern Feminist Empowering Counseling For Abused Women: A Perspectives Of Thai Abused Women. International Journal of Behavioral Sciense, Vol 8, No 1, (2013), 38-40
39
feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap konseli secara individual maupun
terhadap masyarakat secara umum.Adapun tujuan yang ingin dicapai dari konseling feminis
menurut Worell & Remerdi mana konseling feminis membantu konseli untuk:50
1. Menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri.
2. Mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya untuk
kemudian menggantinya dengan yang lebih konstruktif (membuatnya lebih dapat
berkembang).
3. Memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik masyarakat yang
seksis dan opresif memberikan pengaruh negatif pada dirinya.
4. Memperoleh keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan pada
lingkungan.
5. Merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari praktik-praktik
diskriminasi.
6. Mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas.
7. mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya.
8. mengembangkan rasa personal dan daya sosial.
9. mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan.
10. mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya.
3.3 Model Konseling Feminis
Pada level individual, konselor feminis bekerja untuk membantu para wanita dan pria
agar mengenali, menuntut, dan mendapatkan power personal mereka. Pemberdayaan konseli
merupakan inti dari konseling ini, yang merupakan tujuan jangka panjang konseling. Dengan
50
Black, Shannon Trice dkk, Sexuality Of Women WithYoung Children: A Feminist Model Of Mental Health Counseling. Journal Of Mental Health Counseling, Vol 33, No 2. (2011), 97
40
diberdayakan, konseli akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan-ikatan peran gender
serta dapat menantang tekanan-tekanan institusional atas dirinya.Terdapat banyak teori-teori
feminis yang muncul secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dan membentuk beberapa
model gerakan feminisme.Model-model ini berupayauntuk menggugat kedudukan patriarkhi dan
berbagai bentuk stereotip gender lainnya yang berkembangluas di dalam masyarakat.Secara
umum feminisme dapat dibagi dalam beberapa model yaitu sepertifeminism liberal, feminisme
sosialis-marxis, feminisme radikal, dan ekofeminisme. Model-model feminisme yang ditawarkan
penulis bukan merupakan kategori yang monolitik karena masih ada model-model feminism
yang lain namun dalam tulisan ini difokuskanempat model saja, meskipun dari berbagai model
yang ditawarkan ada terdapat kesamaan umum.
Feminisme liberal merupakan aliran yang berusaha memasukkan ide bahwa perempuan
merupakan makhluk yang sama dengan pria, dan mempunyai hakyang sama pula dengan pria.
Feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan kesamaan dalam hal potensi
rasionalitasnya. Namun berhubung perempuanditempatkan pada posisi bergantung pada laki-laki
dan kiprahnya ditentukan dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan tumbuh pada
perempuan adalah aspek emosional daripada rasional.Megawangi mengatakan bila perempuan
tidak bergantung pada laki-laki dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka iaakan menjadi
makhluk rasional seperti laki-lak.51
Dalam beberapa hal terutama yang berhubungandengan
fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanyapembedaan antara laki-laki dan
perempuan.
Sedangkan feminisme sosialis berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat
berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwaketimpangan peran antara kedua jenis
51
Megawangi, Membiarkan Berbeda? : Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999),118
41
kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya.Kelompok ini menganggap posisi
inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat
kapitalis.Feminis sosialis mengadopsi teori praxis Marxisme yaitu teori penyadaran pada
kelompok tertindas.Perempuan diharapkan sadar bahwa mereka merupakan “kelas” yang tidak
diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi pada para
perempuan agar mereka bangkit untuk mengubah keadaannya. Semakin tinggi tingkat konflik
antara kelas perempuan dan kelas laki-laki sebagai kelas dominan maka diharapkan akan dapat
meruntuhkan sistem patriarkat.52
Selanjutnya bahwa model feminisme radikal berpandangan bahwa ketidakadilan gender
bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis ini terkait
dengan peran kehamilan dan peran keibuan yang selaludiperankan oleh perempuan.Semua itu
termanifestasi dalam institusi keluarga,karena itu feminisme radikal menganggap institusi
keluarga sebagai institusi yang melahirkan dominasi laki-laki.Antipati terhadap makhluk pria
membuat mereka memisahkan diri dari budaya maskulin dan membentuk budaya kelompoknya
sendiri.
Model Ekofeminisme adalah yang timbul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan
pada gerakan feminis liberal dan sosialis/marxis.53
Teori feminisme modern berasumsi bahwa
individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri.Sementara teori ekofeminis melihat individu secara
komprehensif yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan
lingkungannya.Terlihat disini ada pergesaran paradigma sosial konflik menuju paradigma
struktural fungsional yang memberikan tempat bagi adanya saling ketergantungan antar individu
52
Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 133 53
Megawangi, Membiarkan Berbeda? 182
42
dalam sebuah sistem.Ekofeminisme ingin mengembalikan identitas perempuan dengan alam. Ini
merupakan usaha untuk membebaskan perempuan dari perangkap sistem maskulin yang
membuatperempuan menjadi bimbang akan perannya.
4. Teori Imajinatif
4.1 Pemahaman Imajinatif
Manusia tidak bisa dipisahkan antara pikiran dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari,
baik berkaitan antara masa lalu atau masa depan manusia selalu menggunakan imajinasi.
Imajinasi memainkan peran penting dalam pembentukan pandangan manusia terhadap sesuatu
hal baik yang nyata maupun yang abstrak.Banyak karya manusia dalam menghasilkan sesuatu
karena didukung oleh imajinasi.Dalam perkembangannya imajinasi terus diasa manusia untuk
terus menghasilkan sesuatu yang baru atau dalam rangka mempertahankan.Tentu saja imajinasi
dibagi dalam banyak hal dan aspek kehidupan, namun di dalam pembahasan penulis saat ini,
maka imajinasi dibatasi pada sebuah karya seni yang dihasilkan dalam sebuah masyarakat
tradisional.Akan tetapi karena tulisan tentang imajinasi masih kurang peminat sehingga sumber
acuan pun menjadi korban. Akan tetapi penulis akan memakai pemikiran dari Edgar tentang
imajinasi kreatif yang terbentuk dari masyarakat dan juga bentuk penyembuhan berbasis
imajinasi di Rumah Sakit oleh Rossman.
Dalam beberapa kurung waktu belakangan ini minat dalam sebuah penelitian seni terus
berkembang pesat.Penelitian yang dilaksanakan diharapkan untuk menghasilkan sesuatu yang
baru yang berkaitan dengan perkembangan imajinasi manusia. Imajinasi dapat digunakan
sebagai fasilitas manusia dalam mengartikulasikan pandangan dan respom mereka terhadap
ciptaan yang lain.54
Misalkan dalam sebuah lukisan mengandung makna penolakan terhadap
eksploitasi terhadap alam yang berlebihan maka itu dalam menuangkan respon terhadap alam
54
Lain R. Edgar, Guide to Imagework (London:Routlegde, 2004), 15
43
yang dirusak maka seorang pelukis akan memainkan imajinasinya terhadap warna dan kanvas
sebagai bentuk respon yang seorang pelukis rasakan.
Untuk melakukan penelitian khusus dalam bidang imajinasi terkhusus dalam bidang
kualitatif maka biasanya dikenal menggunakan metode imajiner (citra).Metode imajiner sendiri
memiliki fungsi untuk mengfasilitasi sebuah kelompok atau masyarakat dalam memberikan data
yang lebih kaya. Metode ini juga dapat memberdayakan terus menerus masyarakat atau
kelompok terkhususnya masih bersifat tradisional dalam mengekspresikan persepsi dan perasaan
laten.Keuntungan juga dapat diperoleh dalam menggunakan metode imajiner adalah untuk
mengungkapkan keseluruhan visual batin di mana yang sering dan pasti dialami secara
subjektif.55
Selain itu dalam metode imajiner juga dapat memperlihatkan komponen narasi, urutan
dan alur secara implisit yang di dalamnya memuat isu tentang kepribadian, budaya, dan
perubahan sosial dan ini biasanya hanya ditemukan dalam mimpi atau ingatan saja namun bisa
terlihat dalam sebuah karya seni.56
Jika disimak maka karya seni merupakan metode yang mapan namun jarang digunakan
dalam sebuah penelitian sains sosial padahal dalam karya seni sendiri pun jika dibuat penelitian
maka akan terlihat citra batin seseorang. Sebagai contoh Bendelow (1992) dalam studinya
tentang dimensi gender dari persepsi rasa sakit telah menggunakan karya seni sebagai cara untuk
mengakses persepsi responden. Kajiannya menggunakan seperangkat karya seni seperti lukisan
yang diproduksi sendiri oleh responden untuk mengungkapkan keyakinan mereka “tentang rasa
sakit”dalam perbedaan gender.57
Ungkapan rasa sakit yang dianalisis oleh Bendelow tentunya
menggunakan imajinasi responden yang diutarakan dalam sebuah karya seni.Imajinasi tersebut
berasal dari pengalaman responden terhadap subjektivitas pribadi.Lain pula dalam penelitian
55
Lain R. Edgar, Guide, 17-18 56
Lain R. Edgar, Guide, 21 57
Lain R. Edgar, Guide,22
44
yang dilakukan oleh Benson (1987) yang menggunakan imajinasi dalam memfasilitasi responden
dalam menggambarkan citra batin mereka.Imajinasi dari responden disalurkan melalui karya seni
untuk mengetahui tentang sejarah kehidupan pribadi mereka dalam berbagai hal misalkan saja
dalam bidang pengalaman kesehatan mereka.58
Artinya bahwa imajinasi dalam berbagai
penelitian ilmiah sosial dirancang untuk memudahkan masyarakat atau kelompok dalam
berbagidan menganalisis bagaimana perasaan mereka tentang situasi tertentu yang mereka alami
dan hadapi.
Pada dasarnya imajinasi menjadi dasar tindakan manusia. Tanpa imajinasi, manusia
akanpunah sejak lama. Sebagai contohnya butuh imajinasi dan kemampuan untuk memahami
kemungkinan baru untuk menemukan api, menciptakansenjata, dan budidaya tanaman, untuk
membangun bangunan danmenciptakan mobil, pesawat terbang, pesawat ruang angkasa, televisi,
dan komputer.Imajinasi kolektif manusia juga telah memungkinkan kita untuk mengatasi begitu
banyak ancaman alamjuga berperan penting dalam menciptakan kelangsungan hidup
utama.59
Harus diakui bahwa mekanisme imajinasi masih menjadi misteri.Karya pemenang Nobel
Dr. Roger Sperry dan bukunyakolaborator di University of Chicagomenunjukkannyabahwa
kedua sisi otak manusia berpikir dengan cara yang sangat berbeda dan sekaligus mampu berpikir
secara mandiri. Otak yang satu berpikir seperti biasa, dengan kata-kata dan logika.Otak lainnya,
berpikir dalam hal gambar danperasaan.Pada kebanyakan manusia, otak kiri terutama
bertanggung jawabuntuk berbicara, menulis, dan memahami bahasa. Di mana berpikir secara
logis, analitis dan mengidentifikasi dirinya sendiridengan namaorang yang menjadi miliknya.
Sedangkan otak kanan, sebaliknya, berpikir dalam gambar, suara, hubungan, dan perasaan.Tetapi
anehnya otak kanan jarang difungsikan secara penuh,meski sangat cerdas.Analisis otak kiri,
58
Lain R. Edgar, Guide,34 59
Martin Rossman, Guided imagery for self-healing : an essential resource for anyone seeking wellness(California: New World Library, 2000), 14
45
mengambil hal-hal yang terpisah, sementara otak kanan mensintesis dan merangkai.60
Perspektif
"otak kanan" memungkinkan manusia untuk mengumpulkan gagasan dengan cara baru untuk
menghasilkan solusi untuk pemecahan masalah. Dalam dunia medis dan konseling di Rumah
Sakit otak kanan difungsikan untuk membantu penyembuhan pasien.61
Bantuan pada proses
penyembuhan berbasis imajinasi sangat populer dalam dunia medis, seperti penggunaan musik
atau gambar/lukisan dan ini sangat mengutamakan imajinasi dari pasien.
60
Martin Rossman, Guided imagery for self-healing, 18 61
Martin Rossman, Guided imagery for self-healing, 19