bab ii teori dasar ii.i.hubungan tegangan dan...

28
22 BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN Hubungan tegangan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke pada tahun 1678. Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan, kondisi tersebut kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan ragangan dapat diiterpretasikan sebagai berikut: σ = ……………………………………………………… (2.1) ε = ………………………………………………….. (2.2) σ = E. ε …………………………………………………… (2.3) Dimana: P = beban aksial A = luas profil Lo = panjang mula-mula L = panjang batang setelah dibebani E = modulus young/modulus kekenyalan Universitas Sumatera Utara

Upload: trandiep

Post on 31-Jan-2018

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

22

BAB II

TEORI DASAR

II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN

Hubungan tegangan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert

Hooke pada tahun 1678. Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja

lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka

material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus

dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan, kondisi tersebut

kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan

ragangan dapat diiterpretasikan sebagai berikut:

• σ = ……………………………………………………… (2.1)

• ε = ………………………………………………….. (2.2)

• σ = E. ε …………………………………………………… (2.3)

Dimana: P = beban aksial

A = luas profil

Lo = panjang mula-mula

L = panjang batang setelah dibebani

E = modulus young/modulus kekenyalan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

23

εy ερ

σu

A

A’ B

M

C

ε

Hubungan antara tegangan dan regangan untuk lebih jelasnya dapat diperlihatkan

pada gambar 2.1 berikut ini

GAMBAR 2.1

Hubungan Tegangan –Regangan untuk Baja lunak.

Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah

linier elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau

disebut juga modulus young, E. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak

umumnya memiliki titik leleh atas (upper yield point), σ, dan daerah leleh datar.

Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A’, tidaklah terlalu berarti sehingga

pengaruhnya sering diabaikan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai

tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.0012.

σyu

0

σ

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

24

Dari grafik tesebut dapat terlihat bahwa bila regangannya terus bertambah

hingga melampaui harga ini , ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak

mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian disebut sebagai

kondisi plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan sedikit

mengalami kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat

ditentukan terletak pada regangan 0.014 atau secara praktis dapat ditetapkan

sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.

Daerah BC merupakan daerah strain-hardenig, dimana pertambahan

regangan akan diikuti oleh sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu

hubungan tegangan-regangannya tidak bersifat linier. Kemiringan garis setelah

titik B ini didefinisikan sebagai Es. Dititik M, tegangan mencapai nilai maksimum

yang disbut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strength). Pada

akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C.

Besaran-besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja,

proses pengerjaan pembuatan baja dan temperatur baja pada saat percobaan.

Tetapi factor-faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus

elastisitas (E). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap

empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan

ditampilkan pada table 2.1 :

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

25

TABEL

Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan

%C σ (N/mm2 ) σya / σy εs / εy Es / Ey

0.28 340 1.33 9.2 0.037

0.49 386 1.28 3.7 0.058

0.74 448 1.19 1.9 0.070

0.89 525 1.04 1.5 0.098

Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka

akan semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan leleh bahan akan

berpengaruh pada daktilitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin

rendah daktilitas dari material tersebut. Daktilitas adalah perbandingan antara εs

dan εy, dimana εs adalah regangan strain hardening dan εy adalah regangan leleh.

Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan

tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti

gambar 2.2. lintasan tarik dan tekan adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu

keadaan yang disebut efek Bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J.

Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

26

GAMBAR2.2

Efek Bauschinger

Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan

dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening) dan efek

Bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti

gambar 2.3. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan

plastis ideal (ideal plastic relation).

σy

ε

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

27

o

εy

σy

-σy

GAMBAR 2.3

Hubungan plastis ideal

II.2. MENENTUKAN GARIS NETRAL PROFIL

Garis netral untuk tampang yang sama pada kondisi elastis tidak akan

sama dengan kondisi garis netral pada saat kondisi plastis. Pada kondisi elastis,

garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang

sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut :

σ

ε

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

28

GAMBAR 2.4

Penentuan letak garis netral secara plastis

D1 = A1. y .................................................................................................... ( 2.4 )

• D1 = A2. y ......................................................................................... ( 2.5 )

Agar terjadi kesetimbangan, maka : D1 = D2

• Sehingga A1 = A2 = ½ A

• Selanjutnya Z1 = S1/A1

Z2 = S2/A2

Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis

S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis

D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis

D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis

Z1 = section modulus luasan 1

D1

D2

Z1

Z2

σy

σy

A1

A2

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

29

Z2 = section modulus luasan 2

Untuk menentukan momen plastis batas digunakan :

• Mp = D1 ( Z1+Z2 )

Mp = y . ½ A ( Z1+Z2 )

II.3. HUBUNGAN MOMEN-KELENGKUNGAN

Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan

sederhana, struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelum gaya luar bekeja,

balok masih dalam keadaan lurus.

Setelah gaya luar bekrja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan

bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok

hanya mengalami lentur murni tanpa gaya aksial.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

30

GAMBAR 2.5

Kelengkungan balok

b a

c1 b1

a1

A1 B1

C1

A B

C

M M

O

y

A B C

A1 B1 C1

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

31

Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5.

Titik A, B, dan C akan tertekan, sedangkan titik A1, B1, dan C1 akan meregang.

Perpanjangan titik A1-A, B1-B, dan C1-C akan mengalami perpotongan pada titik

O. Sudut yang terbentuk akibat terjadinya perubahan kelengkungan dititik A dan

B atau B dan C, dinyatakan dengan φ. Kalau φ ini sangat kecil, maka :

• a b = (ρ - y) φ

• a1 b1 = ρ . φ

d eng an ρ ad alah jari-jari kelengkungan (Radius of curvature ). Sehingga,

regangan pada arah memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat

dinyatakan sebagai :

• ε =

• ε = ............................................................................................... ( 2.6 )

dimana 1/ ρ menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa

pada bagian diatas garis netral berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi

dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan ε = /E, maka :

• =

= ............................................................................................. ( 2.7 )

Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :

• =

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

32

Dimana : S = Modulus penampang

• y = D/2

Akhirnya didapat : = dimana S . D/2 = I ( Momen Inersia).

• = = ................................................................................. ( 2.8 )

GAMBAR 2.6

Distribusi tegangan pada tampang profil IWF

σy

z garis netral

σy

D/2

D/2

Daerah yang mengalami plastis

Daerah yang berada pada kondisi elastis =

=

B

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

33

Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah

mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat sejauh z dari garis netral belum

mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2z materialnya masih

berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan

bagian elastis dan plastis.

Jika z = D/2, hanya serat terluar saja yang mengalami / mencapai kondisi

leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My).

• My = S . y......................................................................................... ( 2.9 )

dimana S adalah Modulus penampang (section modulus ).

Dari persamaaan (2.6) dengan harga ε = εy , y = z , dapat diperoleh :

• K = εy / z......................................................................................... ( 2.10 )

Selanjutnya untuk z = ½ D diperoleh :

• Ky = 2 εy / D...................................................................................... (2.11 )

Dimana :

K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian ( partially plastic state ).

Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh.

Pada penampang IWF seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.6, ketika

balok mengalami lentur maka bagian sayap (flens) atas akan memendek dan

bagian sayap bawah akan memanjang / meregang. Selanjutnya selama proses

elastis menuju plastis ada tiga keadaan penting yang harus di periksa yaitu ketika

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

34

tegangan leleh masih berada pada daerah sayap, telah melampaui sayap dan

seluruh serat pada bagian sayap telah mengalami leleh.

Perbandingan antara momen plastis (Mp) dan momen leleh (My)

menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau pada kondisi plastis.

Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang

dinotasikan sebagai f.

GAMBAR 2.7

Hubungan momen-kelengkungan

Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen

terhadap kelengkungan ( M – K ), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa

nilai momen (M) akan semakin mendekati f . My apabila harga K semakin besar.

Bila nilai My mencapai nilai faktor bentuk f maka harga K akan mencapai harga

tidak terhingga, dimana ini manandakan bahwa nilai z dalam parsamaan (2.10)

sama dengan nol, dimana y = z, maka seluruh penampang serat mencapai

kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f . My.

b

a

c (M/My)

(K/Ky)

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

35

II.4. ANALISA PENAMPANG

Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang

distribusi tegangan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang

digambarkan pada gambar 2.8 pada halaman berikutnya :

GAMBAR 2.8

Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF

II.4.1. MODULUS ELASTIS ( sumbu X )

M = 2M1 + 2M2

M = 2BT ½ +

M = 1/2 (BT)(D – T) y

B

T 1

1 1

1

D t

D/2 2

2

σy

σy

σy

σy

(a) Momen elastis (b) Momen plastis Tampang IWF

2

2

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

36

M = y

M = y/D –

σy =

SX = = –

SX = – ....................................................... (2.12.a)

II.4.2. MODULUS PLASTIS

Mp = 2M1 + 2M2

Mp = 2 + 2 y

Mp = – y

Mp = – y

σy =

Zx = = –

Zx = – ………………………………………... ( 2.12 )

Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f,

dimana f = Zx / Sx (untuk sumbu X) maka hubungan antara kapasitas momen

pada saat keadaan leleh (My) dan kapastas momen pada keadaan plastis (Mp)

akan menghasilkan persamaan berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

37

• = = = f

• …………………………..………………………….. ( 2.13 )

II.5. FAKTOR BENTUK ( Shape Factor )

Faktor bentuk ( f ) merupakan indeks yang menyatakan perbandingan

antara momen plastis dan elastis.

Dari persamaan (2.13) diperoleh :

Mp = f . My

Mp / My = f

f = .

f = –

–………………………………………………………. ( 2.14 )

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

38

TABEL 2.2

Nilai faktor bentuk pada profil IWF

Profil IWF D (mm)

B (mm)

t (mm)

T (mm)

Ix (cm4)

Zx (cm3) f

100x50 100 50 5 7 187 37.5 1.220

100x100 100 100 6 8 383 76.5 1.167

125x60 125 60 6 8 413 66.1 1.226

125x125 125 125 6.5 9 847 136 1.155

150x75 150 75 5 7 666 88.8 1.155

150x100 150 100 6 9 1020 138 1.170

150x150 150 150 7 10 1020 219 1.147

175x90 175 90 5 8 1210 139 1.176

175x125 175 125 5.5 8 1530 181 1.152

175x175 175 175 7.5 11 2880 330 1.141

200x100 200 100 5.5 8 1840 184 1.185

200x150 200 150 6 9 2690 277 1.144

200x200 200 200 8 12 4720 472 1.137

250x125 250 125 6 9 4050 324 1.177

250x175 250 175 7 11 6120 502 1.145

250x250 250 250 9 14 10800 867 1.130

300x150 300 150 6.5 9 7210 481 1.182

300x200 298 201 9 14 13300 893 1.132

300x300 300 300 10 15 20400 1360 1.126

350x175 350 175 7 11 13600 775 1.167

350x250 340 250 9 14 21700 1290 1.139

350x350 350 350 12 19 40300 2300 1.127

400x200 400 200 8 13 23700 1190 1.165

400x300 390 300 10 16 38700 1980 1.132

400x400 400 400 13 21 66600 3330 1.124

450x200 450 200 9 14 33500 1490 1.183

450x300 440 300 11 18 56100 2550 1.140

500x200 500 200 10 16 47800 1910 1.194

500x300 488 300 11 18 71000 2910 1.146

600x200 600 200 11 17 77600 2590 1.223

600x300 588 300 12 20 118000 4020 1.161

700x300 700 300 13 24 201000 5760 1.169

800x300 800 300 14 26 292000 7290 1.183

900x300 900 300 16 28 411000 9140 1.206

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

39

Rata – rata sampel ( x ) = = 1.164

Standar deviasi ( )

= 0.01

Faktor bentuk rata –rata = 1.164 – (1.164 x 0.01)

= 1.147

Maka faktor bentuk ( f ) = 1.147

II.6. SENDI PLASTIS

II.6.1. Umum

Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran sudut

(rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus-menerus sebelum pada

akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal.

Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu struktur maka sifat dari

konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh:

1. Bila konstruksi semula merupakan konstruksi statis tertentu, maka dengan

timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan

runtuh.

2. Pada suatu konstruksi hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis

maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatisannya. Kemudian untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

40

menjadikannya runtuh diperlukan sendi plastis dengan jumlah tertentu

sesuai dengan derajat hiperstatis dari suatu konstruksi

Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang

semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan

perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut.

Dalam hal ini, pertama-tama penulis akan meninjau distribusi tegangan

normal pada penampang profil IWF seperti tergambar pada gambar 2.9. berikut

ini:

Gambar 2.9.

Distribusi tegangan pada penampang IWF

Dimana: My = Momen leleh

Mep = Momen elastoplastis/momen peralihan

y y

My Mep

y

y y

(1-

Mp

y

x

y

Profil IWF

(a)

Situasi leleh

(b)

Situasi elastoplastis

(C)

Situasi plastis

(d)

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

41

yB

Mp = Momen plastis

Gambar 2.9 menunjukkan bahwa penampang telah mencapai momen tahanan

leleh (MRelastis) kemudian mengalami keadaan peralihan (elastoplastis) dan

akhirnya mencapai keadaan momen plastis (MR plastis). Pada penampang ini

terjadi distribusi tegangan leleh yang diawali dari serat terluar. Gambar 2.9

memperlihatkan tinggi bagian panampang yang mendapatkan distribusi tegangan

yang disebut sebagai jarak elastis ( D/2).

Perhatikan tegangan dan regangan yang terjadi pada gambar 2.10 berikut:

GAMBAR 2.10 Diagram Tegangan Regangan

Dari Gambar : K = kelengkungan =

R = Jari-jari kelengkungan

= Regangan

D/2(1- )

.D/2

K

σy σy

σy σy

M M D/2

D/2

Profil IWF (a)

Diagram Regangan (b)

Diagram Tegangan (c)

K

σy σy

σy σy

M M D/2

D/2

Profil IWF (a)

Diagram Regangan (b)

Diagram Tegangan (c)

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

42

y = Tinggi serat yang ditinjau dalam keadaan elastis (jarak plastis)

Maka tg K = (untuk sudut kecil tg K = K).

Dari persamaan (2.7) : =

Untuk y = , Didapat rumus untuk keadaan elastoplastis

• = ………………….……………………………………….. (2.15)

Rumus untuk keadaan leleh, dimana = 1 dan y = D/2 adalah:

• = …………………………………………………………… (2.16)

II.6.2. Bentuk Sendi Plastis

Sendi plastis akan membentuk suatu persamaan garis tertentu sebelum

terjadi keruntuhan.

Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada

balok sepanjang L dengan pembebanan terpusat simestris

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

43

MR = Mp ( 1 - )

MR = Mp ( 1 – βα2 )

( 1 - ) = ( 1 – βα2 )

x = βLα2

α = βL

f(x) = βL

Gambar 2.11.b

Lengkung sendi plastis beban terpusat

Gambar 2.11.a Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat

O x

α

f(x) = βL

β

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

44

Sekarang kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis

(lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata.

g.n

lp

L

Gambar 2.12a

Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata

MR = Mp ( 1 - )

MR = Mp ( 1 – βα2 )

( 1 - ) = ( 1 – βα2 )

x2 = βL2α2

α = βLx

f(x) = βLx

O

x

α

f(x) = βLx

β

Gambar 2.12.b.

kurva sendi plastis beban terbagi rata

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

45

II.7. ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS

II.7.1. Pendahuluan

Analisa strukur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas

yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Keruntuhan

struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat

menyeluruh ataupun bersifat parsial.

Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami keruntuhan total

jika kondisinya labil, disini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis.

Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme

keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis menjadi statis tertentu. Jadi

struktur masih hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari semula.

Suatu struktur statis tak tentu mampunyai sejumlah mekanisne keruntuhan

yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang

berbeda. Sehingga akhirnya dipilihlah mekanisme yang menghasilkan beban

runtuh terkecil.

Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur

kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak

tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat rumusan

sebagai berikut :

n = r + 1…………………………………………………………………… (2.17)

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

46

dimana : n = jumlah sendi plastis untuk runtuh

r = derajat statis tak tentu

1. Untuk struktur balok dua perletakan sendi-sendi (struktur statis tertentu)

dengan r = 0 dan n = 1

GAMBAR 2.13.a

Mekanisme Keruntuhan Balok

Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai

mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pada momen maksimum

(dibawah beban titik).

2. Struktur balok dua perletakan sendi-jepit (struktur statis tak tentu

berderajat satu) dengan r = 1 dan n = 2.

GAMBAR 2.13.b

Mekanisme Keruntuhan Balok

(a) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh

P

P

(a) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh

P

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

47

Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk

mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem

perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen

maksimum dan pada perletakan jepit.

3. Untuk balok struktur perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu

berderajat dua) dengan r = 2 dan n = 3.

GAMBAR 2.13.c

Mekanisme Keruntuhan Balok

Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi plastis untuk

mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem

perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen

maksimum dan pada kedua perletakan jepitnya.

II.7.2. Perhitungan Struktur

Pada prinsipnya jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka

akan dipenuhi tiga kondisi berikut :

(b) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh

P

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

48

1. Kondisi leleh (Yield Condition)

Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas

(Mp).

2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition)

Jumlah gaya-gaya dan momen dalam keadaan seimbang adalah nol

3. Kondisi mekanisme (Mecanism Condition)

Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan.

Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut :

1. Teorema batas bawah (Lower Bound Theorem)

Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen

dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang

dianalisa memiliki faktor beban (λ) yang memiliki nilai yang lebih kecil

dari harga yang sebenarnya (λc), dirumuskan λ ≤ λc, sehingga ha sil yang

dihasilkan mungkin aman atau benar, karena hasil yang diperoleh lebih

kecil atau sama dengan nilai faktor beban yang sebenarnya.

2. Teorema batas atas (Upper Bound Theorem)

Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasarkan syarat yang

memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan

bahwa harga faktor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga

sebenarnya, λc. jadi λ ≥ λc.

Sehingga nilai yang dihasilkan mungkin benar atau mungkin tidak aman.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18149/3/Chapter II.pdf · Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja ... elastisitas

49

3. Teorema unik (Unique Theorem)

Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi

tersebut diatas sehingga akan diperoleh nilai faktor beban eksak dari

mekanisme struktur yang ditinjau : λ = λc. Pada teorema ini terdapat tiga

metode yang dapat digunakan :

a) Metode statis

b) Metode kerja virtual (Virtual Work Method)

c) Metode distribusi momen (Momen Balancing Method)

II.7.3. Metode kerja virtual

Metode kerja virtual adalah metoda yang meninjau keseimbangan energi

dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Persamaan kerja

virtual ini dapat ditulis sebagai berikut :

∑ Wi . ∆i = ∑Mj . θj.................................................................................. (2.18)

Dimana : Wi = beban luar (beban terpusat atau terbagi rata)

∆i = Deformasi struktur

∆i = L/2 tan θ , untuk sudut yang kecil tan θ = θ

Tan θ = θ

Mj = Momen pada tampang kritis

θj = Sudut rotasi sendi plastis

Universitas Sumatera Utara