bab ii teori kesimbangan ekologi dan eko-eklesiologi … · termasuk densitas organisme, biomassa,...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TEORI KESIMBANGAN EKOLOGI DAN EKO-EKLESIOLOGI
2.1. Konsep dan Paradigma Keseimbangan Ekologi
Untuk menjelaskan konsep dan paradigma keseimbangan ekologi terlebih dahulu
akan dipaparkan konsep dasar ekologi dan ekosistem sebagai fondasi pemahaman.
Ekosistem hutan hujan tropis juga akan ditelaah untuk melihat bagaimana sistem itu
bekerja membentuk kehidupan dalam segala keanekaragaman pada habitat ekosistem.
Dari penjelasan itu dapat dikembangkan paradigma keseimbangan ekologi.
2.1.1. Konsep Dasar Ekologi
Ekologi merupakan salah satu cabang dari ilmu Biologi. Istilah Ekologi
dipopulerkan oleh Ernst Haeckel pada tahun 1869. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri atas dua kata yaitu: Oikos berarti rumah dan Logos berarti studi, pengkajian,
ilmu. Secara sederhana Ekologi berarti ilmu tentang mahluk hidup di dalam rumahnya.
Odum mengatakan bahwa ekologi merupakan suatu studi tentang struktur dan fungsi
ekosistem atau alam dan manusia sebagai bagiannya. Struktur dan ekosistem
menunjukkan suatu keadaan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu
termasuk densitas organisme, biomassa, penyebaran materi, energi serta faktor-faktor
fisik dan kimia lainnya yang menciptakan keadaan sistem tersebut.1 Defenisi diatas
menunjukkan ekologi terkait dengan komponen ekosistem baik biotik (hidup) maupun
yang abiotik (tidak hidup). Ekologi menelusuri pola hubungan timbal balik antara
mahluk hidup dengan semua komponen yang ada di sekitarnya. Ekologi adalah ilmu
1 Odum HLM, Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan Fundamentals of
Ecology, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993),10.
13
yang secara khusus mempelajari tentang ekosistem dan ekosistem merupakan sistem
dalam ekologi.
Pemahaman ekologi sebagai suatu sistem ekosistem mengantar studi ekologi
dapat dipelajari dari segi autekologi dan sinekologi.2 Autekologi secara khusus dapat
dipelajari suatu jenis organisme yang berinteraksi dengan lingkungannya di hutan.
Misalnya pola perilaku binatang liar dengan dalam adaptasi dengan suatu jenis pohon
tertentu. Sinekologi mempelajari hubungan berbagai kelompok organisme sebagai satu
kesatuan yang saling berinteraksi antara sesamanya dan lingkungan di suatu wilayah
tertentu. Contoh kajian sinekologi adalah ekologi hutan dimana terdapat berbagai jenis
tumbuhan dan hewan pada suatu ekosistem hutan hidup dalam ketergantungan satu
dengan yang lain.
2.1.2. Konsep Ekosistem
Konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem. Ekosistem sebagai suatu
komunitas dari organisme hidup yang berhubungan dengan komponen-komponen yang
tidak hidup (non living component) dari lingkungannya dan berinteraksi sebagai suatu
sistem hidup. Komponen-komponen berhubungan satu dengan yang lain dalam jaringan
makanan yang kompleks dan melakukan energi dari satu organisme ke organisme
lainya.3 Kompenen yang berada dalam suatu sistem tidaklah mandiri dan berdiri sendiri,
tetapi berada dalam koneksi dan relasi yang interaktif dalam membangun sebuah
kehidupan yang berkelanjutan. Setiap ekosistem berbeda dan memiliki ciri khas masing-
masing, ekosistem hutan dapat berbeda dengan ekosistem air laut atau ekosistem danau
bergantung cakupan ruang lingkup hutan dan habibat yang ada di dalamnya.
2 Soerianegara I & A. Indrawan, Ekologi Hutan Indonesia, (Bogor: Departemen Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1982), 13. 3 Odum, Dasar-Dasar Ekologi dalam Dantje T. Sembel, Toksikologi Lingkungan: dampak
pencemaran bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015), 11.
14
Koesnadi Hardjasoemantri menjelaskan bahwa ada dua jenis bentuk ekosistem
yaitu ekosistem alamiah (natural ecosystem) dan ekosistem buatan (artficial ecosystem)
yang merupakan hasil daya kreasi, cipta dan daya kerja manusia terhadap ekosistemnya.
Ekosistem alamiah terdapat heterogenitas yang tinggi dari organisme hidup disana
sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya dengan sendirinya.
Sedangkan ekosistem buatan akan mempunyai ciri kurang ke heterogenitasannya
sehingga bersifat labil dan untuk membuat ekosistem tersebut tetap stabil perlu
diberikan bantuan energi dari luar yang juga harus diusahakan oleh manusia sebagai
penciptanya agar berbentuk suatu usaha maintenance atau perawatan terhadap
ekosistem yang dibuat itu.4 Ekosistem pertanian maupun aktivitas perkebunan yang
telah terjadi pengolahan lahan hutan merupakan contoh ekosistem buatan.
Berdasarkan segi struktur dasar ekosistem komponen ekosistem terdiri dari dua
jenis5, yaitu: komponen biotik yaitu mahkluk hidup seperti bintang, tumbuhan, mikroba
dan komponen abiotik, benda mati: misalnya air, udara, tanah dan energi. Odum
mengemukakan dari segi struktur dasarnya terdiri dari empat komponen dalam
ekosistem6, yaitu:
1. Komponen abiotik
Merupakan komponen fisik dan kimia yang terdiri atas tanah, air, udara, sinar
matahari, yang berupa medium atau substrat untuk berlangsungnya kehidupan.
2. Komponen produsen
Merupakan organisme yang membentuk makanannya sendiri dari zat-zat anorganik
melalui proses fotosintesa maupun klorofil. Dalam proses fotosintesis itu oksigen
4 Hardjasoemantri Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), 3.
5 Y.Setiadi, Pengertian Dasar tentang Konsep Ekosistem (Bogor: Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor, 1983), 43. 6 Indriyanto, Ekologi Hutan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2017), 19-20.
15
dikeluarkan oleh tumbuhan hijau kemudian dimanfaatkan oleh semua mahluk hidup
di dalam proses pernafasan.
3. Komponen konsumen
Komponen konsumen merupakan sekelompok mahluk hidup misalnya binatang dan
manusia yang memakan organisme lainnya. Jadi, yang disebut sebagai konsumen
adalah semua organisme dalam ekosistem yang menggunakan hasil sintesis dari
produsen atau organisme lainnya.
4. Komponen pengurai
Bagian komponen pengurai adalah mikroorganisme yang hidupnya bergantung
kepada bahan organik dari organisme yang telah mati.
Kompenen pembentuk ekosistem diatas berada dalam sinergitas yang saling
memengaruhi dalam hubungan timbal balik dalam membangun kehidupan. Bila satu
komponen rusak akan memengaruhi komponen yang lain dan berdampak pada kesatuan
ekosistem.
2.1.3. Ekosistem Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis seperti yang ada di wilayah Kalimantan merupakan
ekosistem terkaya di dunia dari segi keanekaragaman hayati dibanding ekosistem
lainnya, seperti hutan pantai, hutan rawa, hutan payau, dan hutan gambut. Hutan hujan
tropis di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan dan 4000
diantaranya termasuk golongan yang besar dan penting.7 Hutan hujan tropis juga
merupakan hutan tipe kanopi yang evergreen (pohon yang selalu berdaun hijau) dengan
ketinggian pohon maksimum rata-rata 30 m. Hutan hujan tropis memiliki peranan
sebagai habitat utama untuk flora dan fauna, sumber daya pembangunan ekonomi,
pemeliharaan keseimbangan kondisi iklim lokal dan global, selain itu juga sebagai
7Indriyanto, “Ekologi Hutan”, 59.
16
konservasi tanah, air, nutrisi, dan biodiversitas.8. Keanekaragaman dan kekayaan
ekosistem hutan di kalimantan bukan hanya menjadi penyangga kehidupan masyarakat
lokal, tetapi juga dalam lingkup global.
Hutan hujan tropis juga memainkan suatu peran yang penting dalam iklim global
dengan kemampuannya dalam menyerap karbon dioksida, suatu gas yang dipercaya
oleh para ahli sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Selain itu hutan hujan
tropis memiliki kemampuan yang baik dalam hal menyerap dan menyimpan air,
sehingga dapat dijadikan penyangga untuk menjaga lingkungan dari bencana banjir dan
kekeringan. Ketika musim hujan tiba air dalam keadaan berlimpah, hutan hujan tropis
dapat mengurangi limpasan sehingga sebagian besar air tetap berada di dalam
ekosistem. Sedangkan ketika musim kemarau tiba kekurangan air dapat ditutupi dari
cadangan yang diperoleh di musim hujan.
2.1.4. Habitat dan Relung
Habitat adalah tempat suatu organisme hidup. Habitat suatu organisme dapat
disebut alamat suatu organisme. Relung (Ninche) adalah profesi ataupun status
organisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan akibat
struktural, tanggap fisiologi serta perilaku spesifik organisme itu. Relung suatu
organisme bukan hanya ditentukan oleh tempat organisme hidup, tetapi juga oleh
berbagai fungsi yang dikerjakannya.9 Semua organisme atau mahluk hidup mempunyai
habitat atau tempat hidup. Istilah habibat juga dipakai untuk menunjukkan tempat
tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu
komunitas.10
Menurut Soemarwoto habibat suatu organisme itu pada umumnya
mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang
8Soerianegara I & A. Indrawan, “Ekologi Hutan Indonesia”, 78.
9Resosoedarmo, S, K. Kartawinata, & Soegiarto, Pengantar Ekologi (Bandung, Remadja Rosda
Karya, 1986), 51. 10
Indriyanto, “Ekologi Hutan”, 26-27
17
menghuninya.11
Setiap organisme mempunyai habibat yang sesuai dengan
kebutuhannya dengan cara tertentu. Apabila ada gangguan yang menimpa pada habitat
akan menyebabkan terjadi perubahan pada komponen habitat sehingga ada
kemungkinan habitat tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Apabila kondisi
habitat berubah hingga di luar titik minimum dan maksimum yang diperlukan oleh
setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau bermigrasi ke tempat
yang lain.12
Bila itu terjadi keseimbangan hidup dalam suatu habibat akan semakin
menurun. Sebaliknya jika habibat itu berada dalam kondisi yang seimbang dan lestari
kehidupan dalam ekosistem akan terjaga dan berlanjut.
2.1.5. Paradigma Keseimbangan Ekologi
Dari penjelasan yang telah dikemukakan diatas, dapat dilihat paradigma
keseimbangan ekologi, yaitu:
a. Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan akan lebih
terarah dan berkeadilan pada keseluruhan ekosistem bila memerhatikan kaidah
dan konsep komponen pembentuk keseimbangan ekologi. Perspektif
keseimbangan ekologi akan menolak dan menentang konversi hutan menjadi
lahan pertanian atau perkebunan homogenitas karena menyangkal hakikat
pluralitas dan keterkaitan mahluk hidup dalam ekosistem. Paradigma
keseimbangan ekologi hendak memastikan semua elemen dan unit komponen
dalam keadaan yang sebanding tanpa adanya kesenjangan untuk membentuk
harmoni alam yang menghasilkan kehidupan lestari.
b. Keseimbangan ekologi dalam sebuah ekosistem akan permanen apabila
komponen pembentuk ekosistem lengkap dan setiap komponen mampu berperan
11
O. Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1997),
67 . 12
Indriyanto, “Ekologi Hutan”, 27.
18
sesuai dengan niche (relung). Dalam sebuah jaringan kehidupan pada
komponen yang saling terkait formasi lengkap dari pembentuk ekosistem
menjadi syarat utama. Manusia, hewan, tumbuhan, tanah, matahari, air
merupakan komponen yang terjalin melalui proses rantai yang saling
memengaruhi. Usaha menjaga eksistensi komponen penting dilakukan demi
terwujudnya keseimbangan ekologi.
c. Keseimbangan ekologi dapat dilihat dari kualitas lingkungan hidup yang
berfungsi normal dan semua komponen terlibat dalam aksi-reaksi. Kualitas
lingkungan dapat dilihat dari aksi dan reaksi yang dikerjakan setiap komponen.
Komponen pembentuk ekosistem bukan hanya sekadar berada, tetapi juga harus
berfungsi. Ketika komponen itu ada dan memfungsikan diri akan menghasilkan
keseimbangan ekologis. Memastikan setiap komponen tidak kehilangan
fungsinya merupakan daya dukung terjadinya keseimbangan.
d. Keseimbangan ekologi dapat terganggu bila terjadi perubahan berupa
pengurangan fungsi dari komponen yang dapat menyebabkan putusnya mata
rantai dalam ekosistem. Gangguan atas komponen ekosistem akan terus terjadi.
Upaya homeostatis sebagai kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai
perubahan dalam sistem secara keseluruhan penting untuk dijaga dan mendapat
stimulus.
e. Kerusakan terhadap keseimbangan ekologi akan berdampak pada hancur dan
punahnya kehidupan yang lain dalam ekosistem. Kerusakan ekologis dapat
disebabkan secara alamiah dan juga karena faktor kesengajaan manusia.
Tindakan ekspolitasi terhadap salah satu komponen abiotik, misalnya tanah,
akan berdampak pada rusaknya kehidupan biotik tumbuhan, hewan akan
19
kehilangan habibatnya dan manusia akan mengalami perubahan drastis iklim
akibat produksi oksigen yang berkurang dari kontribusi hutan.
2.2. Globalisasi dan Keseimbangan Ekologi
Globalisasi ditandai oleh pergerakan ide, manusia, barang, dan teknologi, mulai
menjadi perbincangan global sejak dekade 1960-an.13
Globalisasi merupakan suatu
realitas yang tidak dapat dihindarkan, seluruh dunia telah terhubung satu dengan yang
lain tanpa batasan jarak dan tempat. Jarak yang jauh tidak lagi menjadi persoalan
dengan jaringan kecanggihan teknologi. Globalisasi dapat mempercepat pembangunan
serta menciptakan kemajuan di bidang perdagangan dan pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa. Dalam era globalisasi ini digunakan untuk memperluas jangkauan wilayah
pemasaran dan sumber produksi dalam motif capital acumulation untuk mencapai
keuntungan. Dari pada itu lahir sistem kapitalisme global. Semua negara yang menjadi
bagian dalam sistem ini dituntut untuk membuka diri terhadap masuknya barang-barang
dari negara lain.
Selain dampak konstruktif dari kapitalisme dalam era globalisasi ternyata ada
pula efek negatif dari sistem ini yang justru menghasilkan ketimpangan ekologis.
Philippe LeGrain misalnya, melihat dalam era globalisasi ini terjadi peningkatan
jumlah nitrogen yang berlebih yang disebabkan oleh adanya pupuk kimia, limbah
manusia dan konsumsi bahan bakar fosil melalui pembakaran.14
Manusia semakin
konsumtif yang membutuhkan energi dan zat kimia juga semakin tinggi sehingga dapat
berkontribusi terhadap kerusakan alam. Vandana Shiva mengatakan kapitalisme global
merupakan sistem ekonomi yang secara inheren menciptakan struktur dan kultur
13
Jan Aart Scholte, Globalization: A Critical Introduction (New York: Palgrave, 2000), 8. 14
Philippe LeGrain “Endangered Earth? How Globalisation can be Green”, dalam Open
World: the Truth about Globalisation (London: Abacus Book, 2003), 239.
20
penindasan.15
Negara-negara Industri maju yang tinggal di belahan utara diuntungkan
dengan posisi awal sudah memiliki modal banyak dan teknologi maju. Keterbatasan
modal dan teknologi negara berkembang membuat posisi tawar menjadi lemah. Sumber
kekayaan alam lokal milik negara berkembang, termasuk Indonesia, dieksploitasi untuk
memenuhi permintaan, keinginan dan kepentingan negara industri maju. Porsi
keuntungan yang diterima pemilik modal dan teknologi yang jauh lebih besar dibanding
dengan pemilik sumber daya alam, akibatnya kesejahteraan mengalir dari negara
berkembang menuju kepada negara industri maju.16
Negara di dunia memperoleh
kekayaan melimpah sedangkan negara ketiga di bagian utara menghasilkan kerusakan
alam yang parah.
Penjelasan diatas berakar dari paham modernitas yang telah membidani
lahirnya kapitalisme global dengan slogan utama dari Francis Bacon, “knowledge is
power”. Dalam tekanan pada rasionalitas telah membentuk manusia sebagai “manusia
ekonomi” (homo economicus). Herry Priyono menegaskan Homo economicus yang
awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia, kemudian diperlakukan sebagai
keseluruhan kodrat manusia dan agenda tentang bagaimana manusia dan masyarakat
seharusnya menjadi.17
Tindakan dan perilakunya digerakkan pertama-tama oleh
kepentingan diri, ciri keterpusatan pada diri (self-centredness), perangkat utama dalam
pemenuhan hasrat adalah kalkulasi rasional, berorientasi pada kepuasan akan harta dan
materi, karena itu mengakibatkan terjadi kolonialisasi yang mengambil rupa
komersialisasi dalam berbagai bidang kehidupan.18
Dari sudut pandang diatas relasi
15
Vandana Shiva & Maria Mies, Ecofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan dan
Lingkungan, (Yogyakarta: IRE Press, 2005), 1-2. 16 Vandana, Shiva. Ecological Balance in an Era of Globalization in Frank Lechner and John
Boli (eds) the Globalization Reader: fifth Edition, (United Kingdom: Wiley Blackwell Publishing, 2015),
570. 17
B. Herry-Priyono, Homo Economicus, Jurnal Universitas Parahyangan, no 1, 2015, 11.
http://journal.unpar.ac.id/index.php/ECF/article/view/1980, diakses pada 17 November 2017. 18
B. Herry-Priyono, “Homo Economicus”, 9-11. Herry Priyono mengatakan economicus dalam
arti “tata kelola dan hasrat memiliki harta” adalah turunan dari oikonomikos sebagai “tata pengelolaan
21
manusia dengan alam menjadi berubah. Oleh karena manusia merasa sebagai mahluk
yang rasional, menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih tinggi dari siapapun yang
ada di dunia dan menjadikannya bermental penguasa.
Dampak dari pemikiran demikian adalah alam bukan lagi dipandang sebagai
komunitas (community), tetapi sebagai komoditas (commodity) yang bernilai ekonomi.
Alam tidak lagi ditempatkan subjek melainkan objek untuk pemenuhan kepentingan
diri. Globalisasi yang agenda awalnya adalah ekonomi pada akhirnya merambah dan
berdampak kepada kerusakan ekologis. Dalam rangka eksploitasi alam ekspansi atau
perluasan wilayah yang memiliki sumber daya alam tidak dapat terhindarkan. Sistem
kapitalisme dalam era globalisasi dapat menjadi akar persoalan kerusakan alam yang
mengurangi keseimbangan ekologis. Tema keseimbangan ekologi dalam era globalisasi
tidak menjadi fokus perhatian ketika berhadapan dengan agenda besar ekonomi yang
tidak mengantisipasi kelangsungan hidup masa depan.
Pemikiran corak kapitalisme yang dianut dalam era globalalisasi yang dapat
menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yaitu: berorientasi pada hal yang bersifat
materialistis, menciptakan sistem ekonomi pasar yang rakus, berpola pikir reduksionis,
berpola pikir dualistis-dikotomis-kompetitif dan dekat dengan budaya kematian.19
1. Berorientasi pada kepentingan materi
Dalam konsep manusia sebagai mahluk economicus cara pandang materialisme
berpengaruh terhadap sikap maupun perilaku manusia dalam memandang alam terhadap
dirinya sendiri, sesama, maupun lingkungan alam sekitarnya. Pusat perhatian dari
seluruh proses pembangunan diarahkan untuk menambah poin dan koin kesejahteraan
ladang bagi sumber penghidupan keluarga” dalam gagasan filsuf Xenophon. Namun entah bagaimana
berubah dari oikonomikos yan menekankan pada penghidupan menjadi ocenomicus yang berpusat pada
hasrat akan harta. 19 Bernadus Wibowo Suliantoro & Caritas Woro Murdiati, Konsep Keadilan Sosial yang
Berwawasan Ekologis Menurut Vandana Shiva (Kajian dari perspekif Etika Lingkungan, Laporan
Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, 2013), 48.
22
material. Peningkatan surplus merupakan tolak ukur kesuksesan kinerja dalam proses
produksi. Laju pertambahan pendudukan yang tinggi dapat berimplikasi kepada
kebutuhan terhadap alam yang juga meningkat. Alam dengan segala kekayaan dan
keanekaragamannya dipandang sebagai objek materi yang digunakan sepenuhnya atas
nama kesejahteraan manusia.
2. Menciptakan sistem ekonomi pasar yang rakus
Kerusakan lingkungan yang terjadi secara fundamental terjadi karena sistem
ekonomi pasar yang eksploitatif. Karena itu globalisasi merupakan ambisi kapitalisme
global untuk menguasai sumber-sumber alam dan pasar dunia.20
Sistem ini dikreasikan,
diperkenalkan dan digunakan untuk keuntungan penciptanya yang memiliki modal kuat.
Globalisasi dapat mengubah gaya hidup manusia menjadi semakin tamak dan rakus.
Hutan misalnya dikatakan produktif apabila berisikan tanaman keras dengan sistem
monokultur yang memiliki nilai jual tunai di pasar. Permintaan global yang semakin
meningkat berpengaruh terhadap jumlah produksi yang juga semakin naik berakibat
perluasan areal produksi pada sumber daya alam.
3. Berpola pikir reduksionis
Reduksionisme merupakan cara pandang yang melihat relitas serba kompleks
kedalam bagian yang kecil, sederhana dan tunggal. Reduksionisme mengurangi
kompleksitas ekosistem ke dalam komponen tunggal dan komponen tunggal ke dalam
fungsi tunggal. Hakikat hutan dalam suatu ekosistem yang multikultur diganti dalam
penerapan pola monokultur berada dalam semangat reduksionisme ini. Tumbuhan
maupun binatang yang memiliki nilai ekonomis tunai tinggi di pasar mendapat
perlakukan istimewa, sedangkan yang tidak dapat disingkirkan, dibuang maupun
20
Vandana Shiva & Maria Mies, “Ecofeminisme: Perspektif Gerakan”, 126.
23
dimusnahkan. Keutuhan dalam suatu komunitas biotis yang hidup saling bergantung
menjadi salah satu materi pokok yang sebenarnya harus dijaga dan dipertahankan.
4. Berpola pikir dualistis-dikotomis
Corak berfikir dualistis-dikotomis memandang realitas terdiri dari dua bagian
yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lain, dimana selalu ada pertentangan dan
perlawanan diantara keduanya. Cara berfikir ini berpotensi menciptakan ketidakadilan
karena memiliki kecenderungan menyingkirkan, memarginalisasi, mensubordinasi, dan
bahkan tidak jarang menghancurkan yang dipandang lebih rendah. Kedudukan manusia
dipisahkan secara tegas dengan alam. Manusia merasa memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari alam sehingga bersikap eksploitatif. Pemisahan secara tegas dapat
melemahkan ikatan emosional. Manusia sekadar membangun relasi fungsional sehingga
ikatan emosional menjadi renggang. Pola pikir ini mendorong manusia untuk
menaklukkan alam melalui sumber-sumber potensialnya karena dianggap bagian yang
terpisah dari dirinya sendiri.
5. Dekat dengan budaya kematian
Wujud konkrit cara pandang ini adalah nilai pohon tidak diukur ketika pohon itu
masih hidup melainkan ketika sudah mati. Pohon memiliki nilai ketika sudah
ditumbangkan dan kayunya diolah mesin produksi dan digunakan sebagai pembuatan
kertas.21
Ketika mesin produksi canggih perempuan kehilangan fungsi tradisionalnya
dalam pelestarian alam. Perusahaan pembibitan misalnya sengaja mengembangkan bibit
yang tidak dapat dikembangbiakkan supaya petani selalu bergantung padanya.
Masyarakat lokal kemudian berubah dari produsen menjadi konsumen. Upaya untuk
menggali potensi alam dengan sebesar-besarnya dapat berimplikasi terhadap matinya
kekayaan sumber daya alam.
21
Bernadus Wibowo Suliantoro & Caritas Woro Murdiati, “Konsep Keadilan Sosial”, 69.
24
2.3. Kearifan Lokal dan Keseimbangan Ekologi
Kearifan lokal masyarakat dapat menjadi pijakan untuk menghadapi kuatnya
arus kapitalisme global yang membawa efek destruktif terhadap keseimbangan alam.
Walaupun sering ditemukan ada banyak kearifan lokal yang tergerus arus globalisasi
yang membuat nilai-nilai kultural memudar bahkan punah. Pada sisi lain revitalisasi dan
penguatan nilai-nilai kultural lokal perlu dilakukan untuk menjaga keutuhan alam.
Seperti dikatakan oleh Sonny Keraf, proyek besar etika lingkungan hidup adalah
kembali ke alam dalam jati diri sebagai manusia ekologis yang merupakan bagian dari
kearifan masyarakat lokal.22
Masyarakat Indonesia dan juga termasuk di wilayah asia
pada umumnya memiliki kosmologi dan mitologi dalam kebudayaannya dalam
hubungan yang integral dengan alam.
Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal ini dihayati, dipraktikkan,
diajarkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku
manusia terhadap sesama manusia, alam, ataupun gaib.23
Tidak ada kearifan lokal yang
seragam, kearifan itu diciptakan berdasarkan pengalaman, permasalahan yang dihadapi
dan konteks dimana masyarakat lokal itu berada. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat,
dan aturan-aturan khusus.24
Semuanya itu menjadi acuan dan petunjuk hidup untuk
bersikap dan bertindak di dalam komunitas. Berbeda dengan pandangan rasionalitas
barat yang menekankan relasi antar sesama manusia dapat tercipta sebuah etika,
masyarakat adat memahami nilai dan etika sebagai berlaku dalam ekosistem dalam
22
Sonny A. Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), 360. 23
Sonny A. Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, 352. 24
Sartini, http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41 (Diakses 27
November 2017).
25
komunitas ekologis. Nilai dan etika tersebut justru dipelajari dari interaksi dengan
semua kehidupan dalam alam.25
Dari konsep itu muncul perintah dan anjuran dalam
mengelola alam dengan segala tata cara dan adanya pemahaman tabu yang bersifat
larangan serta sanksi yang dapat diterima bila terjadi pelanggaran. Hukuman atas
pelanggaran terhadap peraturan adat dalam kaitan dengan alam bukan hanya sanksi
sosial berupa denda material tetapi juga terdapat sanksi dari Yang Ilahi.
2.3.1. Relasi Seimbang Dalam Komunitas Hidup
Manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam dan perkembangan
kehidupan manusia menyatu dengan proses evolusi dan perkembangan kehidupan alam
semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang didasarkan
pada kekerabatan, sikap hormat dan cinta. Maka untuk dapat mempertahankan hidup
manusia bergantung kepada alam bukan hanya kepada manusia.26
Sebagai masyarakat
tradisional yang berkembang pada masa pra industri dan lokasi geografis yang relatif
terasing memperoleh hasil bumi merupakan pekerjaan dan mata pencaharian utama.27
Karena itu keterikatan terhadap alam dianggap penting sehingga tindakan penghormatan
dan pemeliharaan terhadap alam menjadi wajib. Kedekatan manusia secara fisik dan
emosional dengan lingkungan sumber daya alam serta terjadinya interaksi dalam suatu
sistem yang menghasilkan proses dan hasil proses yang saling berkaitan, saling
memberi dan mengambil kemanfaatan satu dengan yang lainnya dalam kurun waktu
yang lama telah melahirkan pengetahuan mengenai sumber daya alam itu sendiri yang
25
Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, 365. 26
Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, 366. 27
Sri Handjajanti & Popi Puspitasari, Kearifan Lingkungan: Model Konseptual Keberlanjutan,
Materi Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan eko-arsitektur, Jurusan Arsitektur
FTSP - Universitas Trisakti, 206.
26
pada gilirannya pengetahuan tersebut melahirkan kearifan lokal.28
Hubungan timbal
balik mutualisme dengan alam sangat kental dialami oleh masyarakat adat.
Kelestarian alam tidak akan terwujud apabila tidak terjamin keadilan
lingkungan. Dalam rangka mengusahakan itu ukuran keadilan ekologi bagi masyarakat
adat dalam menjalankan kearifan lokalnya berbeda dengan cara pandang
antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme. Dalam antroposentrisme ukuran keadilan
ditentukan oleh manusia, biosentrisme ukuran keadilan ditentukan oleh harkat semua
mahluk hidup, sedangkan ekosentrisme mengukur keadilan berdasarkan pada
keseluruhan ekosistem.29
Dalam konsep keadilan bagi seluruh ekosistem yang menjadi
roh kearifan lokal menjadikan alam tidak mengalami kesenjangan atau ketimpangan.
Upaya menjaga keseimbangan ekologis berjalan beriringan dalam pola hidup kultural
masyarakat adat.
Jauh sebelum agama resmi datang dan globalisasi tercetuskan masyarakat adat
telah hidup dalam kearifan lokalnya yang menyatu dengan alam. Dalam kehidupan
kultural masyarakat alam diletakkan ke dalam berbagai fungsi. Pertama, fungsi ritual.
Alam (hutan belantara) dipahami sebagai suatu wilayah yang sakral. Berbagai upacara
dilakukan di hutan, misalnya waktu menebas, waktu menyimpan benih, dan waktu pesta
raya panen. Kedua, fungsi ekologis. Masyarakat adat lokal memandang alam
merupakan penyedia dan pengatur tata air dan memberikan keseimbangan yang
harmonis. Ketiga, alam memberikan kehidupan. Dalam konteks inilah hutan dan ladang
menjadi sangat vital bahkan dapat dikatakan menjadi penanda dari awal mula sebuah
siklus kehidupan.30
Dalam pola kearifan lokal mengenai kesatuan hidup dengan
28
Muh Aris Marfai, Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2013), 36. 29
Sony Keraf, “Etika Lingkungan”, 33-75. 30
R. Masri Sareb Putra, Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak, Jurnal Ultima
Humaniora, Vol 1 No 2 September 2013, 160.
27
ekosistem alam terdapat dimensi spiritual, ekologis, ekonomi, dan sosial yang berjalan
beriringan dan tidak dapat dipisahkan.
Ritual merupakan media simbolis yang difungsikan sebagai jembatan
permohonan manusia atas kebaikan dengan kemungkinan jawaban yang diyakini akan
diberikan oleh Yang Maha Kuasa, melalui cara yang diatur dalam adat istiadat tertentu.
Upacara ritual dilakukan oleh masyarakat tradisional sebagai media dalam membina
relasi manusia-alam melalui upaya persembahan kepada Yang Maha Kuasa sehingga
relasi tersebut dapat memperoleh keselamatan dan menghasilkan kesuksesan.31
Ketika
harmoni dengan alam terganggu maka akan terjadi kekacauan dan bencana yang harus
dipulihkan kembali dengan berbagai upacara religius. Upacara-upacara tersebut
dimaksudkan untuk menyatukan kembali mikrokosmos dan makrokosmos untuk
menemukan kembali keesaan hidup.32
Dalam pelaksanaan ritual terdapat persembahan
hasil pertanian sebagai tanda kepatuhan dan penghormatan kepada Ilahi agar manusia
direstui dan berhasil dalam mengelola alam, terutama hutan.
2.3.2. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Keseimbangan Ekologi
Nababan, sebagaimana dikutip Muh Aris Marfai33
menyampaikan konsep kearifan lokal
yang memiliki prinsip konservasi sebagai wujud keseimbangan ekologi demikian:
No.
Nilai-nilai kearifan lokal
Peran terhadap Konservasi dan
Keseimbangan Ekologi
1.
Rasa hormat yang mendorong keselamatan
(harmoni) dalam hubungan manusia
dengan alam sekitarnya
Dalam hal ini masyarakat
tradisional merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari alam,
memandang dirinya sebagai bagian
31
Sri Handjajanti & Popi Puspitasari, “Kearifan Lingkungan: Model Konseptual”, 209. 32
Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, 366. 33
Muh Aris Marfai, “Pengantar Etika Lingkungan”, 48.
28
dari alam itu sendiri yang
memberikan penghormatan
terhadapnya dan menjaga
keberlangsungan lingkungan
2.
Rasa memiliki yang eksklusif bagi
komunitas atas suatu kawasan atau jenis
sumber daya alam tertentu sebagai hak
kepemilikan bersama (communal property
resource)
Pemahaman ini membawa
implikasi positif pada hak dan
kewajiban komunal dalam
pengelolaan, pemeliharaan sumber
daya alam secara bersama.
3.
Sistem pengetahuan masyarakat setempat
(local knowledge system) yang
memberikan kemampuan kepada
masyarakat untuk memecahkan masalah-
masalah yang mereka hadapi dalam
memanfaatkan sumber daya alam yang
terbatas
Pembatasan pemanfaatan sumber
daya alam berdasarkan kebutuhan.
4.
Daya adaptasi dalam penggunaan
teknologi sederhana yang tepat guna dan
hemat energi sesuai dengan kondisi alam
setempat
Adanya konservasi terhadap energi
5.
Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil
panen atau sumber daya milik bersama
yang dapat mencegah munculnya
Adanya pemerataan dan distribusi
29
kesenjangan yang berlebihan di dalam
masyarakat tradisional.
Dalam kearifan masyarakat lokal kehidupan saling membantu jauh dari sifat
individualistis, dan kepemilikan privat yang mendominan merupakan bentuk perilaku
kolektif masyarakat adat lokal. Kepemilikan sumber daya alam didasarkan atas
keputusan adat dan keluarga besar sehingga sifat eksploitatif adalah hal tabu. Sementara
nilai kelestarian pengelolaan hutan dan semangat kerjasama membantu dan peduli pada
orang lain (altruistic) adalah ciri khasnya.34
Karena binatang dan semua mahluk hidup
lain merupakan bagian dari kehidupan kosmis, relasi dan kewajiban manusia terhadap
semua mahluk hidup dipahami sebagai relasi dan kewajiban terhadap alam. Tanah bagi
masyarakat adat bukanlah aset properti ekonomi tetapi sumber kehidupan baik bagi
manusia maupun seluruh mahluk hidup. Tanah mempunyai dan memberi makna
ekologis, sosial, spiritual dan moral bagi manusia dan mahluk hidup lain. Dengan
berbagai bentuk kearifan lokal masyarakat bertujuan untuk tetap menjaga keseimbangan
ekologi yang juga akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia sendiri.
Merevitatalisasi nilai-nilai kearifan lokal berarti memperkuat pemahaman dan sikap
untuk menjaga keseimbangan ekologi.
2.4. Eko-Eklesiologi dan Keseimbangan Ekologi
Eklesiologi berbicara tentang hakikat dan jati diri gereja. Dalam Eklesiologi akan
berurusan dengan dua presuposisi yaitu being dan doing dari Gereja. Being menunjuk
pada identitas siapa Gereja, sedangkan doing berhubungan dengan relevansinya terkait
apa yang dikerjakan Gereja.35
Gereja mesti dapat menjelaskan identitasnya dan apa
34
Hetti Rahmawati, Local wisdom dan perilaku ekologis masyarakat dayak benuaq, Jurnal
Indigenous Vol. 13, No. 1, Mei 2015, 75. 35
Ebenhaezer Nuban Timo, Menghari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila: Eklesiologi Dengan Cita
Rasa Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2016), 52-55. Lebih Lanjut Eben mengatakan dari
dua kata Gereja yang dipakai dalam Perjanjian Baru, Being dari Gereja paling tepat dipahami dari sudut
30
yang harus dikerjakan dalam dunia. Menjelaskan demikian itu tentu tidak mudah, sebab
gereja merupakan sesuatu misteri dan yang membuat gereja dipahami berbeda dan
terkesan kontraproduktif sepanjang waktu. Atas alasan itu, menurut Snyder, tidaklah
mengherankan bila Alkitab tidak mendefenisikan secara utuh tentang Gereja.36
Namun
Dulles menegaskan, arti utama dari misteri itu bukanlah Allah menurut hakikat-Nya
yang sebenarnya ataupun pikiran-pikiran Ilahi, akan tetapi terlebih kepada rencana
penyelamatan Allah yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus.37
Walaupun gereja
merupakan suatu misteri bukan berarti gereja tidak dapat dijelaskan dengan baik melalui
berbagai metode.
Dalam menjelaskan apa dan bagaimana hakikat gereja perlu menggunakan model
berdasarkan kekayaan dan kompleksitas konteks. Model telah banyak digunakan ilmu
pengetahuan, seni, sastra, musik, dan sejarah, dan bidang ilmu ekonomi, sosiologi, dan
antropologi. Dulles mengembangkan gagasannya tentang model berdasarkan kajian
terhadap karya Ian G. Barbour, Ian T. Ramsey dan Max Black, yang berhadapan dengan
tantangan bagi bahasa teologis dari positivisme logis, yang menegaskan bahwa
penggunaan model-model dalam bidang ilmu pengetahuan alam cocok untuk wacana
teologi.38
Model biasanya membawa implikasi untuk tindakan atau aplikasi dan
penelitian lebih lanjut yang memiliki aspek teoretis dan praktis. Menerapkan
metodologi model juga berguna dalam mengidentifikasi asumsi tersembunyi dalam
pandang kyriake, sedangkan the being of the Church paling baik didefinisikan dalam ungkapan eklesia.
Kedua kata ini tidak menunjuk kepada dua wujud Gereja melainkan dua cara memahami Gereja yang satu
dari sudut pandang yang berbeda. Gereja sebagai kyriake memandang dari sudut kepemilikan. Gereja
sebagai Ekklesia merujuk kepada aktivitas yang harus dikerjakan Gereja di dalam dunia dalam ketaatan
kepada Tuhan sebagai Pemilik. Di kalangan gerakan kaum feminis yang memperjuangkan kesetaraan
gender, seperti Elisabeth Fiorenza khususnya, lebih memilih kata ekklesia daripada church. Baginya
church berasal dari kata kyriake yang mengandung makna hirarkis, tetapi ekklesia menekankan pada
kongres demokratis dan kemuridan yang setara. 36
Howard A. Snyder, Models of Church and Mision: A Survey (Edinburgh: Tyndale Seminary,
2010),1. 37 Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1990), 18. 38 Stephen B. Bevans, “Model-Model Teologi”, 52.
31
teologi.39
Demikian pula misteri yang tersembunyi tentang gereja dapat dijelaskan
melalui penggunaan model.
Avery Dulles mengungkapkan enam model tentang gereja40
yaitu:
1. Gereja Sebagai Institusi
Model ini mendefenisikan tentang Gereja yang kuat dalam tatanan organisatoris
dan mendapat tekanan penting pada struktur kepemimpinan. Pemahaman ini didasari
dari kenyataan gereja merupakan bagian integral dari sosial kemasyarakatan yang
memiliki struktur pemimpin, anggota, norma hukum yang harus dipatuhi demi
terwujudnya ketertiban gereja.
2. Gereja Sebagai Persekutuan Mistik
Avery Dulles merujuk pemikiran J. Hamer mengatakan bahwa Gereja sebagai
tubuh mistik Kristus adalah suatu persekutuan yang serentak batiniah dan lahiriah,
sebuah persekutuan hidup rohani yang batiniah (yang terdiri dari iman, harap, dan
kasih), yang ditampilkan dan diperagakan oleh suatu persekutuan lahiriah dalam
pengakuan iman, tata tertib dan kehidupan sakramental.41
Gambaran ini hendak
merelatifkan pemutlakan institusi dan absolutisme jabatan. Warga jemaat secara
keseluruhan adalah pemangku mandat pelayanan.
3. Gereja Sebagai Sakramen
Pada model ini gereja dipahami sebagai sebuah tanda rahmat penebusan Kristus
dalam suatu bentuk yang tampak dalam sejarah. Gereja menunjukkan rahmat itu agar
menjadi relevan terhadap manusia yang menerimanya dari setiap zaman, bangsa, jenis
dan keadaan.42
Sebagai gereja yang telah menerima anugerah keselamatan, gereja tidak
hanya “menikmati” sendiri apa yang berikan Tuhan, tetapi juga siap memberi diri dan
39
Howard A. Snyder, “Models of Church”, 1. 40
Avery Dulles, “Model-Model Gereja”, 24-99. 41
Avery Dulles, “Model-Model Gereja”, 47. 42 Avery Dulles, “Model-Model Gereja”, 65.
32
rela menembus tembok-tembok gereja untuk berkarya bagi orang lain yang
membutuhkan keselamatan itu.
4. Gereja Sebagai Pewarta
Iman dan pewartaan menjadi tekanan utama dari model ini daripada hubungan
interpersonal dalam persekutuan. Gereja terbentuk bukan hasil konsensus jemaat yang
berada dalam satu komunitas tertentu, tetapi diprakarsasi oleh karena sabda Allah.
Gereja sebagai tempat pewartaan sabda Allah dimana Allah berkomunikasi dengan
umat-Nya dan Yesus dihadirkan dalam komunitas beriman. Gereja mewartakan Injil
kepada segala bangsa menurut perintah agung dalam Matius 28:18-20. Misi gereja
dalam model ini adalah meneruskan pewartaan sabda Kristus dan pembawa pesan Allah
kepada orang-orang yang belum percaya dan tidak terjangkau menerima sabda.
5. Gereja Sebagai Hamba
Model Gereja sebagai hamba ini mendapat penegasan dari Dietrich Bonhoeffer
yang mengatakan: “...’Christ is the human being for other,‟ so the church „exist only
for other‟”.43
Gereja tidak hanya berada untuk dirinya sendiri, namun harus menjadi
gereja yang terbuka dan hadir bagi sesamanya. Pada model sebelumnya gereja terkesan
tertutup dari komunitas luar yang membuatnya sulit untuk bersaksi. Sebagai hamba
gereja melihat bahwa dunia adalah arena pelayanan untuk mewujudkan kasih Tuhan.
6. Gereja Sebagai Persekutuan Murid
Gereja tidak akan menjadi lengkap bila ia tidak keluar dari persekutuannya
untuk melanjutkan karya Kristus di dunia, tetapi bukan berarti gereja mengabaikan
peran ibadat ritual. Ada dua bagian yang tidak dapat dipisahkan yaitu dimensi spiritual-
ritual dan sosial-aktual. Oleh sebab itu murid tidak cukup hanya mengasihi sesama
diantara mereka saja, namun juga harus bertindak melawan kemiskinan, merasakan
43
Dietrich Bonhoeffer, Dietrich Bonhoeffer Works vol.8 – Dietrich Bonhoeffer Letters And
Papers From Prison, (Minneapolis: Fortress Press, 2010), 27.
33
empati terhadap orang-orang sakit serta memberi bantuan kepada mereka yang
berkekurangan.44
Model gereja sebagai murid mendorong anggota gereja untuk
meneladani Kristus dalam kehidupan mereka sendiri tanpa harus “bermusafir” ke
berbagai tempat.
Dari keenam model yang dijelaskan secara umum diatas, menurut Yusak
Setyawan, Dulles masih kurang memerhatikan dan mengaitkannya pada realitas krisis
ekologis.45
Tidak sedikitpun ia menyinggung identitas dan misi gereja yang keluar dari
tembok-temboknya dalam tugas merawat keseimbangan ekologi dan keutuhan ciptaan.
Penekanan utamanya berfokus pada sistem organisatoris, relasi mistis antar komunitas
persekutuan dengan Kristus dan pewartaan ke dunia luar untuk mengabarkan sabda
Tuhan serta menjadi hamba.
Selain itu pula gambaran Gereja yang menggunakan metafora dalam hubungan
dengan alam dalam masyarakat agraris pada Alkitab tidak serta merta bertujuan untuk
mengarahkan perhatian dalam tema keseimbangan ekologis. Metafora tentang pohon
anggur juga tidak menjelaskan secara khusus keterhubungan manusia untuk terlibat
dalam aksi perlindungan terhadap kerusakan lingkungan di sekitarnya. Gambaran itu
menjelaskan tentang kasih karunia Allah dan belas kasihan-Nya kepada Israel secara
keseluruhan maupun sebagai pribadi untuk berbuah.46
Kesempatan untuk berbuah tidak
dilakukan sendiri, ada karya Tuhan yang akan membuat manusia beriman dapat
dirasakan dampak kehadiran di setiap kehidupan.
Gambaran tentang pokok anggur yang benar dalam Injil Yohanes menerangkan
mengenai persekutuan yang terhubung di dalam Kristus akan menghasilkan buah
44 Avery Dulles, “Model-Model Gereja”, 199. 45 Yusak B. Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi: Gereja dalam Konteks Persoalan Ekologis di
Indonesia. Dalam Menggereja Secara Baru di Indonesia, Yusak Soleiman (Editor), (Jakarta: Persetia,
2015), 166. 46 B.J. Boland & P.S. Naipospos, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010), 337.
34
kebaikan.47
Manusia atau Gereja berada diluar Kristus tidak akan utuh dan menjadi
saluran berkat, sebaliknya hidup didalam Tuhan sebagai ranting akan terus merasakan
kehidupan yang penuh berkat. Demikian hakikat gereja sebagai persekutuan yang hidup
di dalam Tuhan seperti digambarkan oleh penulis Injil Yohanes. Menggambarkan gereja
dalam model yang tidak utuh dalam hubungan dengan alam dan kesadaran atas
kerusakan ekologis akan berimplikasi terhadap kurangnya perhatian serta keterlibatan
gereja dalam memperjuangkan isu-isu dan fakta kerusakan lingkungan di sekitarnya.
Ada beberapa yang perlu dipahami dan dilakukan Gereja dalam membangun
pemahaman diri yang peduli terhadap keseimbangan ekologi, yaitu:
1. Eklesiologi yang berbasis eko-teologi
Tema-tema utama dalam teologi seperti soteriologi, kristologi, eskatologi akan
terasa pincang bila tidak menghubungakannya dengan topik tentang ekologi. Selain
Antroposentris dan teosentris, ekosentris merupakan pilar ketiga pembentuk kebenaran
yang semakin sempurna dalam pemahaman teologis dan spiritual agama-gama dan para
penganutnya48
. Walaupun selama ini kedua bagian yang disebutkan di awal tadi
memiliki tekanan yang begitu dominan dalam penafsiran dan ajaran gereja, termasuk
juga gereja dalam mendefinisikan tentang jati dirinya.
a. Soteriologi
Dalam alam pemikiran Ibrani yang menjiwai perspektif kitab suci di dunia barat
diganti dengan cara pandang atau pemikiran neo-platonistis. Dalam pandangan neo-
platonistis ini jiwa manusia ibaratnya terkurung di dalam penjara badan atau tubuhnya.
Karena itu penebusan manusia berarti melepaskan jiwanya dari kungkungan
47
Matthew Henry, Tafsiran Mathhew Henry: Injil Yohanes 12-21 (Surabaya: Penerbit
Momentum, 2010),1044. 48
Amatus Woi, Manusia dan Lingkungan Dalam Persekutuan Ciptaan dalam Menyapa Bumi
Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis Atas Lingkungan Hidup. A. Sunarko & Edy Kristiyanto
(editors), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 13.
35
keterbatasan tubuh.49
Apabila penciptaan mencakup rencana penebusan Allah, maka
krisis ekologis harus dipahami sebagai yang sangat terkait dengan pemahaman
penebusan juga.50
Yesus datang ke dunia dalam rangka untuk menyelamatkan dunia dan
segala isinya. Berbagai ayat kitab suci mendukung bahwa keselamatan berlaku bagi
alam semesta, seperti dari Kolose 1:15-20 dan Efesus 1:9-10, menjelaskan bagaimana
Allah memperdamaikan seluruh ciptaan dan sebagai kepala segala sesuatunya yaitu
alam semesta. Dalam pemikiran Paulus, tiada sesuatupun yang lepas dari pengaruh
penebusan Kristus. Baginya rekonsiliasi sebagai hasil penebusan yang dilakukan oleh
Kristus menebus dan melimpahi segala sesuatu dengan dalam kosmos.51
Karena itu
keselamatan yang hanya berlaku kepada manusia semata dapat terbantahkan.
b. Kristologi
Jurgen Moltman mengatakan Kristologi merupakan presuposisi dari Eklesiologi,
sebaliknya Eklesiologi merupakan konsekuensi dari Kristologi.52
Pemahaman tentang
Kristologi yang bersifat antroposentris dalam inkarnasi Yesus Kristus ke dunia yang
mewujud menjadi manusia perlu ditinjau kembali. Kristologi tidak hanya ditelusuri
dalam karya Yesus di dunia secara historis, tetapi juga dipandan dalam keutuhan karya
keselamatan Allah melalui Yesus Kristus atas dunia dan alam ciptaan. Kristologi yang
bersahabat dengan keberadaan ekologi secara menyeluruh berjalan integral dengan
teologi salib yang tidak hanya menekankan keselamatan pada manusia semata tetapi
juga pada alam ciptaan Tuhan.53
Tiada penciptaan tanpa Allah yang menjelma menjadi
manusia; tiada pula inkarnasi tanpa penebusan keselamatan. Ketiganya adalah bagian
dari proses misteri penyatuan dunia ciptaan dalam Allah. Jalan untuk itu yang tidak bisa
49
Hadisumarta, “Menyapa Bumi Menyembah”, 63. 50
Charles Fensham, Sin and Ecology: a Conversation with Jurgen Moltmann and the School of
Rene Girard, Journal of Reformed Theology 6, 2012, 235. 51
Hadisumarta, “Menyapa Bumi Menyembah., 65. 52
Jurgen Moltman, The Church In The Power of The Spirit. A Contribution to Messianic
Ecclesiology (London: SCM Press LTD, 1993), 6. 53
Imanuel Geovasky, Kristologi yang Bersahabat Dengan Alam: Memandang Yesus Bersama
Dengan Segenap Alam. Jurnal Gema Teologi, Vol 35, 2012, 9.
36
dihindari adalah jalan salib.54
Jejak biblis bahwa Yesus adalah Tuhan atas kosmos telah
muncul dalam refleksi Kristologis tidak hanya dalam Injil Yohanes melainkan juga pada
teks-teks yang ditulis oleh penerus Paulus, baik di Kolose maupun Efesus. Kristus
adalah kepala Gereja kemudian juga diklaim sebagai kepala segala sesuatu termasuk
dunia.55
Oleh sebab itu pengakuan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan yang telah
berinkarnasi dan yang menyelamatkan manusia dan kosmos.
c. Eskatologi Kosmos
Pandangan umum tentang datangnya akhir zaman selalu dikaitkan dengan
kehancuran alam. Khususnya dalam eskatologi yang bersifat apokaliptis pembaca
Alkitab bisa mendapat kesan yang dualistis. Langit dan bumi yang penuh kejahatan
sekarang akan hancur dalam suatu keruntuhan kosmis56
dan diganti oleh Allah dengan
langit dan bumi yang baru sama sekali berbeda.57
Jika demikian sebagai seorang
Kristen yang patut dipertanyakan adalah untuk apa kita harus bersusah melestarikan
bumi sekarang, kalau itu ternyata bukan maksud akhir Allah sendiri?58
Deshi
Ramadhani menjelaskan dalam pemahaman konteks kitab Wahyu antara model
“pembaruan” (renewal) dan model “penggantian” (replacement) tidak menjadi relevan.
Dengan mengutip metafora Sallie McFague ia beranggapan bila bumi adalah tubuh
Allah, maka tidak mungkin tubuh Allah mengalami penggantian dan pembaruan. Lebih
lanjut Deshi menjelaskan bahwa persoalan langit baru dan bumi baru bukanlah bicara
tentang langit baru dan bumi baru sebagai realitas material. Yang terjadi adalah realitas
non material yang bergerak di tataran spiritual. Apa yang baru tidak terletak diluar sana
sebagai realitas terpisah dari manusia melainkan ada dalam diri manusia sendiri.
54
T. Krispurwana Cahyadi, Teilhard de Chardin, Memandang Allah dari Pesona Alam Semesta
dalam Iman yang merangkul bumi, Peter C. Aman (editor), (Jakarta: Penerbit Obor, 2013), 117-118. 55
Yusak B. Setyawan, “Menuju Eko-Eklesiologi”, 189. 56
Seperti tertulis dalam Yoel 3:15-16; Markus 13:24-27; II Petrus 3:7; 10, 12-13 57
Tertulis dalam Wahyu 21:1 58
Marthin Harun, Alkitab Sumber Teologi Lingkungan Hidup?, dalam Iman yang merangkul...,
16-17.
37
Dengan kata lain, yang baru itu ada dalam cara manusia memandang realitas alam
ciptaan dan lingkungan hidupnya.59
Eskatologi yang dalam keutuhan manusia dan alam
ciptaan Tuhan menjadi pemahaman yang mendasar dalam upaya membangun kajian
teologis dan eklesiologis yang komprehensif.
d. Pemahaman Panenteisme
Sallie McFague berusaha menemukan nilai sakral alam semesta dengan
membangun suatu metafora religius tentang alam semesta sebagai the Body of God. Ia
memahami Allah terlibat dalam alam semesta dan merasakan kesakitan dari semua yang
mengalami kesakitan dalam tubuh-Nya yakni alam semesta.60
McFague tidak
memandang Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari dunia dan ciptaanNya.61
Apa
yang dikatakan McFague ini memberi gagasan persekutuan manusia dengan alam
ciptaan lainnya yang saling memengaruhi dan melengkapi dalam satu tubuh yang tidak
terpisahkan dalam relasi dengan Tuhan. Allah telah berinkarnasi dan menjadi bagian
dari dunia di dalam diri Yesus Kristus. Akibatnya adalah ciptaan harus melihat dunia
sebagai bagian dari “tubuh Allah”, walaupun Allah tidak bisa dibatasi hanya dalam
dunia saja tetapi Allah dapat diidentifikasi lewat ciptaanNya.62
Pandangan teologis ini
menyadari batasan antara panteism dan panenteism.63
Teologi ini menerima ciptaan
sebagai bagian dari karya Allah tanpa membatasi karya Allah hanya di dalam ciptaan-
Nya saja. Dalam terang pemahaman ini segala tindakan manusia terhadap alam juga
juga tertuju kepada Allah. Menyakiti alam dan mengeksploitasinya berarti juga
menciderai tubuh Allah. Manusia dapat mengasihi Allah melalui ciptaan-Nya.
59
Deshi Ramadhani, “Menciptakan Langit Baru”, 39-44. 60
Sallie McFague, Models of God: Theology for an Ecological Theology, (Philadelphia,
Fortress, 1987), 31. 61
Sallie McFague, Blessed are the Consumers: Climate Change and the Practice of Restraint.
(Minneapolis: Fortress Press, Kindle Edition. 2013), 173. 62
Irene Ludji, Spiritualitas Lingkungan Hidup: Respon Iman Kristen Terhadap Krisis Ekologi,
Materi Seminar Studium Generale: Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon
Agama-Agama, di Uniersitas Kristen Satya Wacana, tanggal 01 Maret 2014. 63
Irene Ludji, “Spiritualitas Lingkungan Hidup”, 71.
38
Pemahaman panenteisme menentang pandangan antroposentris yang menempatkan
posisi manusia sebagai penguasa atas alam dan memberi makna serta nilai tentang
kehadiran ciptaan lain ada hanya untuk melayani dan memuaskan kepentingan
manusia.64
Bagi Moltmann titik kulminasi dari penciptaan adalah pemberhentian
sabat65
, karena pada hari sabat manusia memahami realitas bahwa diri mereka bukanlah
penguasa alam tetapi ciptaan untuk memuliakan Sang Pencipta. Pemahaman biosentris
dapat memendekan nilai manusia dalam hubungan dengan ciptaan lain dan bisa
bertumbuh ke arah pemujaan terhadap alam.66
Dalam panenteisme terdapat relasi
keterhubungan yang integral manusia terhadap alam dan dalam relasi dengan Tuhan.
2. Kehidupan gereja berpraksis ekologis
Kegiatan yang dapat dilakukan gereja dalam praksis ekologis67
, antara lain:
a. Program paroki hijau
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah menciptakan lahan hijau, eco-habbit,
melakukan diskusi tentang lingkungan hidup.
b. Menciptakan sebuah pelayanan dalam bentuk misi. Salah satu kegiatan yang
dilakukan adalah membuat program “gereja percontohan”.
c. Menciptakan biara-biara yang telah menjadi contoh dari kepedulian terhadap
lingkungan. Model ini menawarkan doa, liturgi, khotbah yang mendukung
spiritualitas jemaat-jemaat di gereja yang berisikan tentang kepedulian terhadap
keutuhan ciptaan. Penekanan tema lebih integral tentang hubungan manusia,
alam dan Tuhan.
64 A. Wati Longchar , Returning to Mother Earth Theology, Christian Witness and Theological
Education An Indigenous Perspective (Taiwan: Programme for Theology and Cultures in Asia, 2013),48. 65
Jurgen Moltmann, God in Creation: an ecological of doctrine (London: SCM Press, 1985),
266. 66
Per Larsson, Your Will Be Done. Ecological Theology for Asia, (Hongkong: Christian
Conference of Asia, 2004), 24. 67
Buku Panduan Gereja Sebagai Sahabat Alam (Jakarta: PGI, STT Jakarta dan Kementrian
Lingkungan Hidup, 2014), 26-27.
39
d. Reduce, mengurangi pemakaian dan memaksimalkan sumber daya yang ada.
Reuse, mengunakan berulang-ulang bahan yang ada disekitar. Recycle, mendaur
ulang bahan atau barang-barang bekas pakai.68 Tindakan yang ramah lingkungan
itu dapat berkontribusi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Ekosistem perlu
diselamatkan karena juga menopang kehidupan manusia. Ekosistem harus
menjadi objek kasih manusia69
sebagai wujud pemenuhan panggilan Allah untuk
berpartisipasi dalam relasi dengan Allah.
3. Menampilkan kritik profetis dalam kebijakan publik
Gereja tidak hanya melaksanakan misi ekologis dalam lini internalnya semata,
tetapi juga harus ke luar dalam keterlibatan di ruang publik. Keterlibatan gereja
dalam persoalan ekologi selalu berhadapan dan bersinggungan dalam realitas
politik.70
Persoalan pemberian izin pemanfaatan dan pengelolaan tambang dan
perkebunan berada pada tangan penguasa. Tidak jarang intrik politik bermain
sehingga lingkungan selalu dikorbankan. Penggunakan teknologi dan proses
pembangunan tidak mengedepankan kelanjutan ekosistem. Kritik profetik gereja
untuk memengaruhi kebijakan publik dapat dilakukan bersama komunitas antar
denominasi dan lintas iman yang memiliki kepedulian dan kepekaan yang sama.
Namun, gereja hanya bisa melakukan kritik profetis apabila telah membebaskan
diri dari cengkeraman ideologi yang memberhalakan politik ekonomi dan ekonomi
global dengan kapitalismenya.71
Tanpa beban demikian gereja akan mampu
menegaskan suara kenabian dan berpihak pada keutuhan ciptaan.
68
Rebekah Simon-Peter, Green Church: Reduce, Reuse, Recycle, Rejoice (Nashiville: Abingdon
Press, 2010), 43-65. 69
Bartolomeus, Arthur Hertzberg, Fazlun Khalid, Religion and Nature: the Abrahamic Faiths‟
concept of creation in spirit of the enviroment:Religion Value and Enviromental Concern, David E.
Cooper & Joy A. Palmer (Editors), (New York: Routledge, 1998), 41. 70
Heinrich Bedford-Strohm, Tilling and Caring for the Earth: public thelogy and ecology,
International journal of public theology 1, 2007, 230. 71
Yusak B. Setyawan, “Menuju Eko-Eklesiologi”, 195.
40
Rangkuman
Keseimbangan ekologi memastikan setiap komponen pembentuk ekosistem
harus menjadi bagian yang integral dan berfungsi agar rantai kehidupan tetap lestari.
Globalisasi dengan adanya sistem kapitalisme dapat menyebabkan ketidakseimbangan
ekologi dengan berbagai bentuk aktivitas pengelolaan sumber daya alam demi
kepentingan utama ekonomi, tetapi kearifan lokal ekologis masyarakat memperkuat
kesatuan hubungan timbal balik dalam ekosistem. Gereja sebagai komunitas eskatologis
memiliki pandangan ekoteologi dan praksis kehidupan berjemaat perlu mengedepankan
pola hidup yang ramah lingkungan sebagai upaya menjaga keseimbangan ekologis.