bab ii teori rumah adat dan axis mundi -...

14
10 Bab II TEORI Rumah Adat dan Axis Mundi Rumah merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, oleh sebab itu semua orang pasti mempunyai rumah. Khususnya bagi setiap keluarga pasti akan membangun rumah sebagai sebuah tempat yang mempunya banyak fungsi untuk kehidupan mereka. Hakikatnya rumah bukan hanya sekedar bangunan semata yang dijadikan sebagai tempat tinggal, tetapi bagi orang Timor rumah merupakan simbol tata dunia dan tata sosial, menarik untuk dipahami bahwa penataan rumah bagi orang timor tidak ditentukan oleh pertimbangan seni atau fungsi tetapi oleh satu makna yang hendak diungkapkan. Dalam hal ini ketentuan bentuk, letak, arah, jumlah dan lain-lain semuanya mengungkap makna tertentu. 1 Rumah bagi sebuah masyarakat mempunyai posisi yang sangat penting dari segi kebudayaan dan pemaknaannya, hal ini diperkuat dengan pendapat bahwa Rumah menempati posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial dalam budaya orang timor. 2 Hakikatnya rumah merupakan sebuah tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, rumah merupakan tempat seorang atau sebuah keluarga berlindung dari hujan dan panasnya terik matahari, dan juga sebagai tempat sosialisasi antara anggota keluarga, serta pemeliharaan nilai-nilai dalam masyarakat. Berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat di NTT, terdapat dua jenis rumah yang menjadi bagian penting dalam kehidupan setiap orang, contohnya dalam 1 Eben Nuban Timo.Pemberita Firman Pencinta Budaya: Mendengar dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi (Jakarta: Gunung Mulia,2006) 57. 2 Ibid.,56.

Upload: nguyentuyen

Post on 07-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

10

Bab II

TEORI

Rumah Adat dan Axis Mundi

Rumah merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, oleh sebab itu semua orang

pasti mempunyai rumah. Khususnya bagi setiap keluarga pasti akan membangun rumah sebagai

sebuah tempat yang mempunya banyak fungsi untuk kehidupan mereka.

Hakikatnya rumah bukan hanya sekedar bangunan semata yang dijadikan sebagai tempat

tinggal, tetapi bagi orang Timor rumah merupakan simbol tata dunia dan tata sosial, menarik

untuk dipahami bahwa penataan rumah bagi orang timor tidak ditentukan oleh pertimbangan seni

atau fungsi tetapi oleh satu makna yang hendak diungkapkan. Dalam hal ini ketentuan bentuk,

letak, arah, jumlah dan lain-lain semuanya mengungkap makna tertentu.1

Rumah bagi sebuah masyarakat mempunyai posisi yang sangat penting dari segi

kebudayaan dan pemaknaannya, hal ini diperkuat dengan pendapat bahwa Rumah menempati

posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial dalam budaya orang timor.2 Hakikatnya rumah

merupakan sebuah tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, rumah merupakan

tempat seorang atau sebuah keluarga berlindung dari hujan dan panasnya terik matahari, dan juga

sebagai tempat sosialisasi antara anggota keluarga, serta pemeliharaan nilai-nilai dalam

masyarakat. Berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat di NTT, terdapat

dua jenis rumah yang menjadi bagian penting dalam kehidupan setiap orang, contohnya dalam

1Eben Nuban Timo.Pemberita Firman Pencinta Budaya: Mendengar dan Melihat Karya Allah dalam

Tradisi (Jakarta: Gunung Mulia,2006) 57. 2Ibid.,56.

11

kehidupan masyarakat Flores terdapat tiga tipe rumah yang dibedakan berdasarkan fungsi dan

pemaknaannya, rumah yang pertama yaitu dwelling house (rumah tinggal) yaitu sebuah rumah

yang menjadi tempat peristirahatan, yang kedua yaitu rumah panjang atau rumah keturunan/klan

merupakan rumah atau tempat berkumpulnya sebuah klan atau orang-orang yang masih satu

keturunan dengan tujuan di rumah ini aturan-aturan dan pantangan-pantangan yang berlaku

untuk klan tersebut dapat diaplikasikan. Yang ketiga rumah nenek moyang atau source house

(source house : rumah sumber) tempat yang dimaknai suci, bagian rumah ini dibedakan menjadi

dua yaitu rumah yang maskulin atau leluhur laki-laki yang disebut ngadhu dan rumah yang

female atau leluhur perempuan yang disebut bhaga.3

Rumah tinggal merupakan tempat untuk sebuah keluarga berkumpul, beristirahat, belajar,

makan dan minum serta aktifitas lainya yang bermakna biasa saja atau profan, maka dapat

disimpulkan bahwa rumah tinggal adalah simbol pemersatu bagi sebuah keluarga, sehingga dia

menjadi pusat dunianya sebuah keluarga yang mendiami atau menempati rumah tersebut.

Sedangkan rumah suku atau rumah adat merupakan pusat aktivitas yang bermakna sakral dari

sebuah keturunan atau klan, pusat aktivitas itu dapat berupa ritual-ritual, serta penyimpanan

barang-barang sakral yang menjadi simbol kehidupan klan tersebut. Sehingga rumah suku atau

adat dimaknai sebagai axis mundinya sebuah klan karena di tempat tersebut terjadi

pertemuannya surga, bumi dan neraka melalui ritual dan simbol yang menjadi bagian kehidupan

sebuah rumah adat.

3 Philipus Tule, Longing for the House of God, Dwelling in the House of the Ancestors:Local Belief,

Christianity, and Islam among the Keo of Central Flores, (Switzerland: Academic Press Fribourg, 2004), 6

12

Oleh karena itu untuk memahami Rumah Adat Sebagai Axis Mundi pada bab II ini

penulis akan memaparkan konsep axis mundi dan Rumah adat beserta nilai-nilai sakral yang

terkandung dari Rumah adat tersebut.

Konsep Axis Mundi Mercy Eliade

Konsep pusat merupakan bentuk dari upaya menyejajarkan pada arketipe seletial bagi

kota dan kuil, dan bahkan secara lebih penuh dibuktikan lewat dokumen, di sana kita temukan

rangkaian kepercayaan yang lain, yang mengacu pada adanya yang dipenuhi dengan prestise

pusat.

Simbolisme arkitektonik atas pusat dapat dirumuskan dalam tiga hal :

1. Gunung suci sebagai tempat bertemunya dan bumi dianggap sebagai pusat dunia.

2. Setiap kuil ataupun istana dan kemudian diperluan menjadi setiap kota suci atau tempat

kediaman raja merupakan gunung suci dengan demikian menjadi pusat.

3. Adanya Axis mundi, kota atau kuil suci yang dipandang sebagai titik pertemuan antara ,

bumi, dan neraka.4

Konsep Axis Mundi ini sendiri berakar dari pemahaman kuno yang digambarkan oleh Eliade

bahwa kuil ataupun istana secara situasi berada di pusat kosmos, sehingga kuil maupun kota suci

4 Mircea Eliade. Mitos gerakan kembali yang abadi Kosmos dan sejarah.Terjemahan.Cuk Ananta

(Yogyakarta: Ikon Terakitera,2002), 12.

13

atau istana senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah kosmik: surga, bumi, dan

neraka.5

Dengan demikian melalui, pusat yang dimaksudkan dalam pemaparan di atas dijadikan

sebagai zona suci atau zona realitas mutlak. Demikian juga halnya dengan semua simbol yang

lainnya tentang realitas mutlak (pohon kehidupan dan keabadian, sumber remaja dan sebagainya)

ditempatkan sebagai pusat. Jalan yang mengarah pada pusat merupakan “jalan sulit” (durohana),

dan hal yang diverifikasikan pada setiap tingkat realitas.6

Pusat dunia merupakan bagian dari kehidupan manusia kuno, sebuah pemahaman yang

digambarkan secara nyata melalui proses menemukan pusat bumi dari setiap manusia dengan

budaya dan kepercayaan kunonya masing-masing. Eliade memaparkan bahwa sangat penting

untuk memahami mekanisme ini secara seksama, agar kita dapat mendekati persoalan tentang

eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala spritualitas kuno. Secara spesifik koleksi fakta

tersebut dibagi dalam beberapa prinsip, yaitu :

1. Bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surge (langit).

2. Fakta yang ditunjukkan pada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui

partisipasi dalam “simbolisme pusat”: kota, kuil, rumah menjadi nyata karena fakta

tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”.7

Fakta bahwa kota, kuil dan rumah menjadi nyata karena diasimilasikan dengan “pusat

dunia”, menunjukkan bahwa ada penggambaran serta pemaknaan yang sakral dalam

menunjukkan proses terjadinya kota, kuil, dan rumah. Namun sebelum memahami ketiganya

5Ibid.,15.

6Ibid.,18.

7Ibid.,5.

14

maka harus dipahami terlebih dahulu bahwa bangunan tersebut menjadi sakral bukan hanya

karena makna yang diberikan oleh manusia kuno serta proses terjadinya, tapi faktor lain yang

sangat penting untuk diperhatikan adalah “wilayah” (Wilayah dalam pemahaman manusia kuno

selalu mempunyai sejarah yang suci. Contoh yang diberikan oleh Eliade yaitu sejarah dari orang

Mesopotamia, bahwa sungai Tigris modelnya terdapat dalam bintang swallow, cerita orang

Sumeria yang mengatakan bahwa “tempat bagi penciptaan para dewa”, disana ditemukan “dewa

persahabatan dan dewa gandum”. Bagi bangsa Ural-Altaic, gunung dengan cara yang sama,

memiliki prototype ideal di langit).

Manusia kuno mempunyai pemahaman bahwa sebuah tempat suci yang ada di bumi telah

ada prototipe aslinya di langit (surga). Hal ini juga berlaku pada kuil yang dijelaskan sebagai

pusat dunia atau Axis mundi oleh Eliade. Dicontohkan bahwa di gunung Sinai, Yahweh

menunjukkan kepada musa “bentuk” bagian bait Allah (kemah pertemuan) yang harus dia

bangun untuk Yahweh: “menurut semua yang telah aku lihat, setelah pola tempat ibadat, dan

semua pola peralatan yang ada di sana, bahkan apapun yang aka kamu buat …. Dan lihatlah

bahwa engkau membuatnya sesuai dengan polanya, yang telah engkau lihat di gunung”

(Keluaran 25: 9, 40). Dan ketika daud memerintahkan kepada putranya Salomon untuk

merancang pembangunan kuil, untuk tempat ibadah, dan untuk segala perlengkapannya, dia

meyakinkan putranya bahwa “semua ini Tuhanlah yang membuat aku mengerti ayat yang

diperintahkan buatku, bahkan seluruh pola ini” (I Tawarikh 28 : 19). Oleh karena itu dia melihat

pola Langit.8

Simbolisme pusat yang selalu dihubungkan dengan bangunan suci ataupun tempat-tempat

suci didasari oleh kepercayaan yang berlaku dalam manusia kuno yang ada, istilah pusat selalu

8Ibid.,7.

15

melekat pada setiap bangunan atau tempat tersebut. Istilah pusat dalam hal ini selalu berkaitan

antara hubungan bumi dan langit (surga), sehingga melalui hubungan ini tercipta tempat-tempat

suci dan bangunan suci yang selalu disebut dengan istilah surga dan bumi.

1. Gunung suci atau gunung surga yang sering disebut oleh manusia kuno, contoh: gunung

meru menurut orang india yang dipercaya berdiri tepat di pusat dunia dan di atasnya

bersinar bintang utara (bintang kutub). Orang iran percaya bahwa gunung suci

Haraberezaiti (Elburz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan surga. Bangsa

Semang di semenanjung Malaka mempercayai batu yang sangat besar, Batu Ribn,

muncul di pusat dunia; di atasnya terdapat neraka. Dimasa lampau, tiga belalai pada

Batu-Ribn menjulang ke langit. Sehingga dipercayai bahwa neraka, pusat bumi, dan

“pintu gerbang” langit ditempatkan pada sumbu yang sama.9

2. Bangsa Babylonia juga mempunyai nama untuk kuil dan menara suci yang di

asimilasikan dengan gunung kosmik yaitu “gunung rumah”, “rumah gunung bagi seluruh

bumi”, “gunung prahara” “penghubung antara surga dan bumi”.10

3. Kuil maupun kota suci senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah kosmik:

surga, bumi dan neraka. Dur-an-ki, “pertalian surga dan bumi” adalah nama yang

diberikan kepada tempat pemujaan di nippur dan larsa, dan tidak diragukan juga bagi

sippara. Dalam kepercayaan orang Babylon dikatakan bahwa pertalian antara bumi dan

surga dan neraka disebut sebagai pertalian antara bumi dengan wilayah yang lebih

rendah.

9Ibid.,13.

10Ibid.,14-15.

16

Sebuah kuil atau kota sebagai Axis mundi dapat dipamahami sebagai perwujudan manusia

terhadap prestise pusat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai pengulangan kosmogoni atau

pengulangan dunia. Pusat merupakan zona suci , zona realitas mutlak, dengan demikian hal ini

juga berlaku pada semua simbol yang lain tentang realitas mutlak (pohon kehidupan, dan

keabadian, sumber remaja dan sebagainya) ditempatkan sebagai pusat. Disimpulkan bahwa jalan

yang mengarahkan kepada pusat, merupakan “jalan yang sulit”.11

Secara hakiki, pentahbisan pusat terjadi di dalam ruang yang secara kualitatif berbeda

dengan ruang profan. Melalui paradox ritus, setiap ruang yang ditahbiskan sama persis dengan

pusat dunia, sebagaimana halnya dengan waktu ritual itu sama persis dengan waktu mistik.

Melalui pengulangan aksi kosmogonik, waktu konkret, yang di dalamnya kontruksi berlangsung,

diproyeksi menjadi waktu mistis, in illo tempore bila pendasar dunia terjadi. Sehingga realitas

dan keabadian konstruksi dijamin bukan hanya oleh transformasi ruang profan menjadi ruang

transenden (pusat) melainkan juga oleh transformasi waktu konkret menjadi waktu mistis.12

Konsep axis mundi dari eliade menunjukkan bahwa prestise pusat yang digambarkan

berdasarkan contoh dari kehidupan manusia kuno adalah sebuah proses antar ruang dan waktu

yang tanpa disadari terjadi dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Axis mundi menurut

Eliade diwujudkan dengan melihat wilayah suci, kepercayaan atau cerita suci, waktu suci dan

ritual suci. Hal ini mengantarkan kepada kehidupan manusia masa kini yang mempunyai konsep

pusat melalui kehadiran “rumah adat” yang ada di Belu, Nusa Tenggara Timor.

11

Ibid.,18-19. 12

Ibid.,20-21.

17

Konsep Rumah

Menurut Clark E Cunningham, rumah adalah pusat pelaksana ritus doa, korban, dan

pesta.13

Dengan konsep semacam ini dapat dikatakan bahwa rumah selalu menjadi pusat

kebudayaan dan mitos bagi sekelompok orang. Rumah merupakan pusat pelaksana ritus doa,

dikonsepkan sedemikian rupa dengan tujuan ingin menunjukkan bahwa setiap orang yang hidup

atau menjadi bagian dari rumah tersebut wajib melakukan ritus doa yang ditujukan kepada yang

transenden atau roh-roh leluhur agar mendapatkan perlindungan dari roh-roh jahat yang

mengganggu kehidupan mereka. Ritus doa juga dapat diartikan sebagai sebuah ritual yang

dilakukan oleh penghuni rumah untuk memohon kelancaran hasil panen, juga dapat berfungsi

sebagai sebuah ritual untuk memohon kesehatan atau kesembuhan dari berbagai penyakit yang

diakibatkan oleh ilmu hitam (suanggi, yaitu sebutan bagi ilmu hitam dalam konteks budaya

Timor).

Rumah merupakan mikrokosmos yang menghimpun semua Jenis kekerabatan dengan

dunia metafisik maupun fisik.14

Hal ini dikarenakan rumah dalam konsep kebudayaan tertentu

merupakan tempat terjadinya aktivitas sehari-sehari maupun aktivitas yang bersifat sakral

sehingga dipahami dari segi kebudayaan sebagai sebuah pusat. Pusat aktivitas yang melibatkan

manusia dengan roh-roh leluhur melalui simbol dan ritual yang dilakukan.

Bertolak dari teori axis mundi yang sudah dideskripsikan diatas, penulis ingin

mengangkat contoh rumah adat masyarakat Sabu di Nusa Tenggara Timur untuk melihat

bagaimana ide axis mundi itu dijabarkan dalam pemahaman tentang rumah.

13

Clark E Cunningham dikutip oleh Eben Nuban Timo.Pemberita Firman Pencinta Budaya: Mendengar

dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi (Jakarta: Gunung Mulia,2006) 56. 14

Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa,”Amu Hawu Bangunan Berperspektif Gender (Pada Masyarakat Sabu)”

dalam Kebudayaan: sebuah Agenda Dalam Bingkai Pulau Timor dan sekitarnya, penyunting. Gregor Noenbasu

SVD, Ph.D (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 226.

18

Rumah orang Sabu

Orang Sabu juga melihat rumah sebagai axis mundi, mereka memahami bahwa rumah

merupakan tempat yang memiliki makna sakralitas dan merupakan pusat dunianya mereka.

Mereka memahami bahwa rumah juga merupakan bangunan sosial yang menjadi pusat dunianya

mereka baik yang bersifat sakral maupun profan. Rumah orang Sabu dapat dikategorikan dalam

tiga hal yaitu rumah tinggal, rumah doa atau ibadah, dan rumah tempat penyimpanan wadah

panas. Dalam membangun rumah, orang Sabu selalu memperhatikan persiapan pembangunan

rumah, dan proses pembangunan rumah.

Rumah sebagai tempat tinggal dalam bahasa Sabu disebut Ammu Pe (Ammu = rumah; Pe

= tinggal), berdasarkan status sosial, rumah tempat tinggal (Ammu Pe) masih dapat dibedakan

menjadi Ammu PeDouae Banni Ae sebagai rumah tempat tinggal raja dan Ammu Pe Mone Aha

sebagai rumah tempat tinggal orang biasa. Masih sehubungan dengan status sosial maka terdapat

dua jenis rumah tempat tinggal yang dikenal dalam kehidupan orang Sabu yaitu Ammu Mone

Kaja yaitu rumah tempat tinggal orang kaya; dan Ammu Mone Kehia artinya rumah tempat

tinggal orang miskin.15

Hakikatnya tipologi rumah tinggal orang Sabu berorientasi pada latar belakang asal usul

orang Sabu. Bentuk dan corak rumah Sabu mempunyai hubungan dengan filsafat hidup serta

asal-usul suku Sabu. Lokasi tempat mendirikan rumah selalu atau biasanya tempat yang tinggi

(bukit, lereng). Selalu menghadap ke utara atau ke selatan, haluan rumah selalu arah barat atau

timur (duru wa dan duru dimu). Rupanya atap berbentuk perahu terbalik, menandakan suku ini

(Sabu) telah lama mengenal perahu dan laut sebagai jalan pelayaran.16

15

Departemen pendidikan dan Kebudayaan , Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, 20-21. 16

Ibid., 22

19

Selain rumah tempat tinggal yang telah dipaparkan di atas, suku Sabu juga mempunyai

rumah ibadah, rumah ibadah ini dibuat untuk beribadah atau melakukan pemujaan berdasarkan

kepercayaan Jingitiu (kepercayaan asli) suku Sabu. Rumah ibadah atau rumah pemujaan ini

berbentuk persegi panjang dan pada bahagian lebarnya berbentuk elips (setengah bundaran);

sama dengan rumah tempat tinggal. Bentuk atap mengambil bentuk perahu terbalik dengan balok

bubungan yang sama panjang dengan badan rumah.

Dalam tradisi suku Sabu selain memiliki rumah tempat tinggal dan rumah peribadahan

atau pemujaan, ada rumah lainnya yaitu rumah tempat musyawarah dan rumah tempat

penyimpanan. Sebenarnya rumah tempat musyawarah tidak dikenal atau tidak ada, orang Sabu

terbiasa untuk melakukan musyawarah umum di Nada Rae (lapangan kampung), sedangkan

musywarah khusus dalam keluarga dilangsungkan dalam Ammu Kepue atau Ammu Ae. Istilah

Ammu Ae mengandung arti bahwa rumah tersebut dapat menampung sejumlah orang

banyak.Sedangkan rumah tempat penyimpanan orang Sabu biasanya disebut Ammu tegida atau

Ammu Takka kepepe pana. Kata Tegida sebagai kata kerja berarti mengencangkan benang yang

digantung atau menggoncangkan barang yang sedang ditenun; sebagai kata benda biasanya

ditambah dengan kata Aju sehingga menjadi Aju tegida artinya kayu perancang tenunan. Ammu

Tegida berarti rumah tempat menenun kain sarung. Dalam hal ini kain sarung yang dimaksud

adalah pakaian yang akan digunakan sebagai pakaian kematian.

Ammu Takka Kepepe Pana artinya rumah tempat menyimpan wadah panas. Wadah

tempat penyimpanan pakaian kematian tadi dianggap panas, sakral, suci, karena itu tak boleh

dibuka, disentuh atau diraba sembarangan. Wadah tersebut hanya boleh disentuh pada saat akan

mengeluarkan barang untuk keperluan kematian atau akan memasukan barang baru.

20

Persiapan Pembangunan Rumah

Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebelum membangun rumah dalam tradisi orang

Sabu, diperlukan persiapan dalam memulai pembangunan sebuah rumah orang Sabu. Hal

pertama yang harus diperhatikan sebelum membangun rumah yaitu mempersiapkan bahan

makanan (jagung, kacang, padi, gula), hewan (kerbau, kambing, babi. Domba, ayam). Waktu

yang diperlukan untuk mempersiapkan bahan makanan tersebut sekitar satu sampai dua tahun.

Setelah persiapan dalam bentuk bahan makanan telah dipenuhi maka orang yang mempunyai

keinginan untuk mendirikan rumah wajib untuk melapor atau mendatangi penguasa (biasanya

pemimpin keluarga) untuk memberitahukan maksud mendirikan rumah. Dalam proses

pengerjaan bangunan atau rumah tersebut dikerahkan berdasarkan sistem gotong royong bukan

sistem upah.

Selain persiapan untuk bahan makanan sebagai salah satu syarat yang harus diperhatikan,

orang Sabu juga harus memperhatikan waktu untuk mengambil bahan untuk pembangunan

rumah, menurut kepercayaan orang Sabu, waktu yang tepat untuk memotong bahan-bahan

tersebut ketika hiluwara atau bulan purnama atau bulan gelap supaya tidak dimakan rayap,

karena orang Sabu percaya bahwa tepat bulan pernama zat manis dari pohon sementara

mengendap di akar pohon; zat manis inilah yang menjadi daya tarik binatang-binatang perusak.17

Proses Pembangunan Rumah

Dalam membangun rumah juga harus memperhatikan sistem memilih dan menentukan

waktu untuk memulai pekerjaan tersebut, waktunya sesuai dengan peredaran bulan dalam takwin

adat. Mendirikan rumah biasanya dimulai setelah selesai upacara akhir tahun takwin adat; jatuh

pada akhir april atau permulaan mei atau warru ari (bulan adik) dan warru Aa (bulan kakak) dan

17

Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa…, 222.

21

menurut takwin adat kegiatan mendirikan rumah biasanya diakhiri pada agustus. Hal-hal lain

yang harus diperhatikan dalam membangun rumah yaitu status tanah dan arah bangunan, status

tanah yang dimaksud yaitu tanah yang digunakan untuk mendirikan rumah dan rae (kampung)

berpola mengelompok adalah rai udu (tanah milik marga). Sedangkan arah bangunan yaitu

dengan memperhatikan tradisi bahwa orang Sabu selalu membangun rumahnya dengan

mengambil arah timur-barat, dan bila bangunan menghadap ke utara maka anjungan (duru)

berada di sebelah barat, bila menghadap ke selatan maka anjungan berada di timur.

Selain memperhatikan sistem memilih waktu dalam membangun rumah, orang Sabu yang

akan membangun rumah juga perlu melakukan beberapa upacara. Orang Sabu harus melakukan

upacara sebelum mendirikan bangunan, sedang mendirikan bangunan, dan selesai mendirikan

bangunan. Ada dua jenis upacara yang perlu dilakukan sebelum mendirikan bangunan yaitu

Haru era, upacara ini bertujuan untuk memohon ijin dari Rai Balla agar bangunan rumah

tersebut berdiri kokoh atau kekal abadi. Upacara yang kedua yaitu Nuhe Jami, merupakan

upacara yang dilakukan di dalam hutan, dengan tujuan agar sang pemilik agar tidak mengalami

atau mendapatkan kecelakaan di dalam hutan serta memohon agar mendapatkan atau

menemukan kayu ramuan yang kuat dan baik.18

Terdapat tiga jenis upacara yang harus dilakukan oleh orang Sabu yang sedang

membangun rumah, upacara ini dilakukan ketika pembangunan sedang berjalan. Ketiga upacara

tersebut adalah upacara yang Pertama Pewue Kebie (memuat atau menaikan balok penendes)

dan Pewue Tuda (menaikan balok penopang balai-balai loteng) dan Halle Tarru (menanam tiang

18

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Arsiitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, 48

22

utama). Upacara yang Kedua adalah upacara Pewue Bangngu (menaikan balok bangunan) dan

upacara yang Ketiga adalah upacara Boro ammu (mengatapi).19

Upacara selanjutnya yang wajib dilakukan oleh orang Sabu yaitu upacara setelah

bangunan selesai, upacara ini disebut upacara Penatta (memaniskan, menormalkan).Upacara ini

cenderung disebut sebagai upacara peresmian, upacara ini dilakukan ketika telah selesai

pengerjaan fisik bangunan.Tujuan dari upacara ini untuk memohon perlindungan dari Tuhan,

meminta restu atau menyatakan syukur atas bimbingan Tuhan waktu menyelesaikan pekerjaan,

memohon menjauhkan roh-roh jahat yang mengganggu.20

Dalam pemahaman orang Sabu rumah bukan hanya sekedar bangunan atau simbol

hubungan antara anggota keluarga dan leluhur namun rumah orang Sabu memiliki nilai-nilai

tersendiri yang dibagi dalam tiga dimensi yaitu dimensi ilahi, dimensi ini memiliki pemahaman

bahwa membangun rumah merupakan berkat ilahi, dan yang ilahi ini dalam kepercayaan orang

Sabu menempati bagian rumah yang paling atas yaitu loteng. Dimensi sosial, rumah bukan hanya

semata bangunan namun rumah merupakan sebuah simbol ikatan kekerabatan, karena rumah

merupakan tempat pertemuan keluarga yang sudah diatur secara periodik atau kalender. Dimensi

politik, rumah merupakan tempat untuk mengatur kebutuhan laki-laki dan perempuan baik dari

segi kodrat, ekonomi, geneologi dan spiritual.21

Mitos

Mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita. Sebuah mitos bukan hanya

suatu gambaran atau tanda; mitos adalah serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk

19

Ibid.,52-54 20

Ibid.,55-56 21

Ibid., 226.

23

cerita.22

Mitos selalu berkaitan erat dengan kehidupan manusia kuno, Eliade memaparkan bahwa

mitos merupakan sesuatu yang menyucikan dan memapankan. Dalam kaitannya dengan mitos,

Eliade selalu menggambarkan bahwa mitos tidak akan terlepas dari simbol, dan hal ini

mengantarkan mitos menjadi sebuah sejarah suci. Dalam masyarakat kuno mitos dan ritus

menghadirkan kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci serta

diwujudkan secara nyata melalui tindakan simbolik dan tingkah laku.23

Mitos atau mitologi merupakan rasionalitas atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat

terhadap peristiwa lisan sebuah budaya atau dengan kata lain kehidupan sebuah kebudayaan

ditentukan oleh mitos yang dipercayai oleh sebuah masyarakat.

22

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Tylor, Material Karl Marx, Hingga

Antropologi Budaya C.Gerrtz, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hal 285. 23

Ibid., 286