bab ii tinjauan pustakadigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...air limbah yang...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Industri Tekstil
Industri tekstil seringkali menimbulkan masalah serius bagi lingkungan terutama masalah
yang ditimbulkan oleh limbah cair yang dihasilkan dari proses pencelupan, limbah cair ini
mengandung zat warna tekstil yang bersifat non-biodegradable. Zat warna tekstil yang bersifat
non-biodegradable mengandung gugus azo. Air limbah yang dihasilkan industri tekstil
memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna yang relatif tinggi. Selain itu
limbah yang dihasilkan mengandung logam berat yang bergantung pada zat warna yang
digunakan. Hal-hal tersebut dapat menurunkan kualitas perairan di sekitar industri dan makhluk
hidup yang tinggal di dalamnya akan mati karena terkontaminasi oleh zat beracun. Baku mutu
limbah cair industri tekstil yang dikeluarkan Permen LH diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair dari Proses Penyempurnaan Beberapa Bahan
Tekstil
Parameter Unit Kadar Pencemaran dari Proses Pencucian Bahan
Kapas dan Sintetik
Kadar Pencemaran dari Proses
Pencelupan Bahan Kapas dan Sintetik
Bahan Mutu Limbah Cair
Industri Tekstil Kadar Maksimum
BOD5 TSS COD
Minyak/Lemak Krom Fenol
Sulfida pH
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
-
100-850 40-495
425-1440 -
0,05 0,04-0,27 0,20-2,72
7-11
75-340 25-75
200-1010 -
0,013 0,12
- 7-12
85 60 250 5,0 2,0 1,0 -
6,0-9,0 (Sumber: Arena Tekstil, No.24 tahun 1995 dan baku Mutu limbah cair Lampiran A.IX Keputusan Menteri Neg. Lingkungan Hidup No.Kep-51/MENLH/10/1995 dalam manurung 2004)
Zat warna tekstil dibuat secara sintetik dan merupakan senyawa aromatik berstruktur
kompleks yang lebih stabil sehingga sulit untuk didegradasi (Fewson dan Seshadri dalam
Setyowati dan Putri, 2013). Lebih dari 15% zat warna tekstil lolos ke dalam aliran limbah cair
selama proses pewarnaan dilakukan (Mirkhani dalam Setyowati dan Putri, 2013).
5
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
2.2 Zat Warna
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor
sebagai pembawa warna dan ausokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Zat organik tidak
jenuh dapat dijumpai dalam pembentukan zat warna umumnya berasal dari senyawa aromatik
antara lain benzene (C6H6), toluene (C6H5-CH3), xilena (C8H10), naftalena (C10H8), antrasena
(C14H10), fenol (C6H5OH) dan turunannya (Manurung dkk, 2004). Gugus kromofor adalah
gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna. Beberapa nama gugus kromofor dan
struktur kimia memberi daya ikat terhadap serat yang diwarnainya dapat diperlihatkan pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Nama dan Struktur Kimia Kromofor
Nama Gugus Struktur Kimia Nitroso NO atau (-N-OH) Nitro NO2 atau (NN-OOH)
Grup Azo -N=N- Grup Etilen -C – C-
Grup Karbonil -C – C- Grup Karbon – Nitrogen -C=NH ; CH=N-
Grup Karbon Sulfur -C=S ; -C-S-S-C- (Sumber : Manurung dkk, 2004)
Ausokrom merupakan gugus yang dapat meningkatkan daya kerja dari kromofor
sehingga daya pengikatan warna terjadi secara optimal. Ausokrom terdiri dari golongan kation
yaitu –NH2, -NH Me, -N Me2 seperti -NMe2Cl-, golongan anion yaitu -SO3H; -OH; -COOH.
Ausokrom dapat juga berbentuk kelompok pembentuk garam –NH2 atau –OH (Arifin, 2009).
Struktur limbah zat warna dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Limbah cair industri yang dibuang ke lingkungan akan menurunkan mutu lingkungan
sekitar. Kandungan organik seperti COD, BOD, TSS, dan pH akan meningkat akibat limbah
yang dibuang ke lingkungan. Limbah yang memiliki kandungan organik yang tinggi akan
berdampak negatif bagi lingkungan yang menyebabkan terganggunya biota air. Metode yang
banyak digunakan untuk pengolahan limbah cair industri yaitu pengolahan dengan
menggunakan karbon aktif. Karbon aktif dikenal mempunyai daya adsorbsi fisik yang sangat
baik dalam penghilangan polutan terutama dari air limbah, akan tetapi karbon aktif memiliki
kekurangan yaitu harga karbon aktif relatif mahal dan menambah ongkos peralatan untuk
regenerasi karbon aktif tesebut. Salah satu metode alternatif untuk penanggulangan limbah
tekstil yang relatif murah dan mudah diterapkan adalah fotodegradasi. Metode fotodegradasi
merupakan metode yang efektif karena diketahui dapat menguraikan senyawa zat warna
6
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
menjadi senyawa yang tidak berbahaya seperti H2O dan CO2 (Titdoy dkk dalam Slamet dkk,
2016).
Gambar 2.1 Struktur Senyawa Zat Warna Yang Sering Digunakan dalam Industri
(Sumber : Suprihatin, 2014)
Zat warna di lingkungan perairan sebenarnya dapat mengalami dekomposisi secara alami
oleh adanya cahaya matahari, namun reaksi ini berlangsung relatif lambat karena intensitas UV
yang sampai ke permukaan bumi relatif rendah sehingga akumulasi zat warna dasar perairan
atau tanah lebih cepat dari fotodegradasinya (Dae-Hee dkk dan Al-kdasi dalam Suprihatin,
2014).
Radiasi matahari yang sampai ke bumi (terestrial) intensitasnya lebih rendah yang
meliputi UV dengan panjang gelombang 290–400nm, sedangkan panjang gelombang yang
lebih pendek diserap oleh lapisan atmosfer. Lapisan atmosfer sebagai penyerap utama radiasi
UV, lapisan gas ini berfungsi sebagai pelindung bumi dari pajanan radiasi UV yang panjang
gelombangnya lebih pendek dari 340nm. Spektrum sinar UV adalah elektromagnetik yang
terlentang pada rentang panjang gelombang 100nm–400nm yang dibagi menjadi sinar
ultraviolet A atau UV-A (λ320- 400 nm), sinar UV-B (λ280 - 320nm) dan sinar UV-C (λ100 -
280nm) (WHO dalam Rini, 2014).
2.2.1 Penggolongan Zat Warna
Isminingsih dalam Fitrihana (2007) mengatakan zat warna tekstil digolongkan menjadi
2, yaitu Zat Pewarna Alam (ZPA) dan Zat Pewarna Sintetis (ZPS). Zat Pewarna Alam (ZPA)
adalah zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak
7
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
tumbuhan atau hewan. Zat Pewarna Sintesis (ZPS) adalah zat warna buatan atau sintesis dibuat
dengan reaksi kimia dengan bahan dasar arang batubara atau minyak bumi yang merupakan
senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzene (C6H6), naftalen (C10H8), dan antrasena
(C14H10).
Penggunaan zat warna sintesis semakin meningkat seiring semakin majunya teknologi
sehingga menggeser penggunaan zat warna alam. Keunggulan zat warna sintesis adalah lebih
mudah diperoleh, ketersediaannya terjamin, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis
dalam penggunaannya. Namun pewarna sintesis merupakan bahan berbahaya dalam limbah
tekstil dan beberapa pewarna dapat terdegradasi sehingga menghasilkan produk karsinogenik
dan beracun. Selain itu limbah berwarna dapat mengurangi masuknya cahaya matahari dan
mencegah fotosintesis yang mengakibatkan turunnya kualitas perairan di sekitar industri
sehingga makhluk hidup yang tinggal di dalamnya akan mati karena kekurangan O2 atau
terkontaminasi oleh zat beracun.
Nugroho dan Ikbal (2005) mengatakan bahwa zat warna tekstil, kebanyakan
menggunakan senyawa organik rantai panjang. Berdasarkan struktur kimianya zat warna tekstil
dibedakan menjadi beberapa jenis seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi zat pewarna berdasarkan struktur kimia
Nama Zat Warna Keterangan
Azo Mengandung Gugus azo –N=N-
Anthraquinones Mengandung gugus amino dan hidroksi
Ftalosianin Banyak dipakai untuk tinta cetak
Indigoid Mengandung gugus karbonil
Benzodifuranones Sintesa lanjut dari asam arilasetat dan
Hydroquinone Oxazines -
Polimetin -
Di dan Tri-aril karbonium Memiliki warna yang cerah dan kuat namun
mudah luntur
Karbonil Aromatik Polisiklik - Sulfur Gugus sulfur sebagai jembatan penghubung
Nitro dan nitroso Turunan dari o-nitrofenol atau naftol
(Sumber : Nugroho dan Ikbal, 2005)
8
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
2.2.2 Senyawa Azo
Senyawa azo atau zat warna azo merupakan jenis zat warna yang cukup penting. Pewarna
tekstil umumnya mengandung gugus azo yang bersifat non-biodegradable. Zat warna pada
umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya yang merupakan gugus benzene. Senyawa
azo bila terlalu lama berada di lingkungan akan menjadi penyakit karena bersifat karsinogenik
dan mutagenik. Limbah pewarna yang memiliki gugus azo, khususnya zat warna reaktif,
memiliki ikatan kovalen yang kuat antara atom C dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari
gugus hidroksil (-OH) dan amina (R-NH2) pada selulosa yang terionisasi.
Senyawa azo adalah senyawa kimia yang mempunyai ciri-ciri struktur tidak alami dan
tidak bisa ditemukan di alam. Zat ini dibuat dengan kualitas yang baik sehingga sulit dirombak.
Dalam daftar Color Index golongan warna terbesar jumlahnya lebih dari 50% adalah zat warna
azo. Sistem kromofor zat warna azo (-N=N-) berikatan dengan gugus aromatik. Lingkungan zat
warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah jingga, biru tua (navy blue), violet dan hitam,
hanya warna hijau yang sangat terbatas (Manurung dkk, 2004). Senyawa azo dapat berupa
senyawa aromatik atau alifatik. Senyawa azo aromatik bersifat stabil dan mempunyai warna
menyala. Kenaikan suhu atau iradiasi menyebabkan ikatan nitrogen dan karbon akan pecah
secara simultan melepaskan gas nitrogen dan radikal. Dengan demikian, beberapa senyawa azo
alifatik digunakan sebagai inisiator radikal (Widjajanti, 2011).
2.3 Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichornia Crassipes) adalah tanaman yang mengapung di permukaan air.
Daunnya berbentuk oval dan berwarna hijau segar serta mengkilat bila diterpa sinar matahari.
Daun-daun tersebut ditopang oleh tangkai berbentuk silinder memanjang yang mencapai 1
meter dengan diameter 1-2 cm, dan memiliki tinggi sekitar 0,4-0,8 meter. Tangkai daunnya
berisi serat yang kuat dan lemas serta mengandung banyak air. Bunganya termasuk bunga
majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna
hitam. Akarnya merupakan akar serabut (Febrianingsi, 2013). Bentuk fisik tanaman eceng
gondok dapat diperlihatkan pada Gambar 2.2.
9
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
Gambar 2.2 Bentuk Fisik Tanaman Eceng Gondok (Eichornia Crassipes)
(Sumber : Agrobisnis.com, 2015)
Tanaman ini sering dianggap sebagai gulma yang bisa merusak lingkungan perairan. Hal
ini karena sifat eceng gondok yang tumbuh di permukaan air dan laju pertumbuhannya cepat.
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan
pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi (Roekmijati dalam
Tosepu, 2012). Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang
dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30oC dan kondisi pH berkisar 4-12.
Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh. Eceng
gondok mampu menghisap air dan menguapkanya ke udara melalui proses evaporasi (Ratnani
dkk, 2011).
Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyedia oksigen dan
penyerapan sinar matahari. Keunggulan lain dari eceng gondok adalah dapat menyerap
senyawa organik dan senyawa anorganik dari air yang tercemar, berpotensi untuk digunakan
sebagai komponen utama pembersih air limbah dari berbagai industri dan rumah tangga.
Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempatnya
tumbuh. Kandungan kimia eceng gondok itu sendiri yakni 60% selulosa, 8% hemiselulosa dan
17% lignin (Ahmed, 2012). Eceng gondok merupakan suatu gulma air yang mudah sekali
tumbuh dan berkembang, mempunyai kandungan serat selulosa cukup tinggi, yakni berkisar
60%. Hal ini sangat memungkinkan bahwa eceng gondok berpotensi sebagai bahan dasar
pembuatan selulosa yang dapat diaplikasikan ke arah yang beragam salah satunya adalah
pembuatan carbon nanodots (C-Dots).
10
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
a. Selulosa ((C6H10O5)n)
Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat dengan β
1.4-glycosidic dengan rumus (C6H10O5)n dengan n adalah derajat polimerisasinya. Struktur
kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tak mudah larut, sehingga tidak
mudah didegradasi secara kimia atau mekanis. Molekul glukosa yang tersambung menjadi
molekul besar, panjang, dan berbentuk rantai dalam suatu susunan disebut selulosa.
Molekul selulosa seluruhnya berbentuk liniear dan memiliki kecenderungan kuat untuk
membentuk ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Ketersediaan selulosa dalam jumlah besar
akan membentuk serat yang kuat, tidak larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik, dan
berwarna putih. Struktur selulosa ditunjukan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur Selulosa
(Sumber : Lankinen dalam Asmalah dan Amrulah, 2016)
Selulosa berwarna putih, tidak mempunyai rasa dan bau, tidak larut dalam air atau larutan
basa, relatif stabil terhadap panas, tidak meleleh jika dipanaskan, mulai terurai (dekomposisi)
pada temperatur 260-270°C, tahan terhadap hidrolisis, dan stabil terhadap oksidasi (Octavia,
2008). Selulosa dapat larut dalam larutan asam mineral dengan konsentrasi tinggi (akibat
hidrolisis) dan juga dapat terhidrolisis dalam asam mineral encer pada temperatur yang tinggi
(>100°C).
b. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul
rendah yang merupakan polimer dari pentosa (xylosa, arabinosa), heksosa (mannose, glukosa,
galaktosa) dan asam-asam gula. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15-30% dari berat kering
bahan lignoselulosa (Taherzadeh dalam Slamet, 2016). Hemiselulosa mengikat lembaran serat
selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga
berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks lignoselulosa
(lignohemiselulosa) dan memberikan struktur yang kuat. Hemiselulosa relatif lebih mudah
dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa,
xilosa, arabinosa dan 4-0 methyl-glukoronik, D-galacturonic dan D-glukoronik Gambar 2.4
Gula-gula tersebut terikat oleh ikatan β-1,4 dan β-1,3 glukosida (Perez dkk dalam Slamet, 2016)
11
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
Gambar 2.4 Struktur unit-unit penyusun hemiselulosa
(Sumber : Ibrahim dalam Octavia, 2008)
Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen
monomernya. Isolasi hemiselulosa dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan
dimetilsulfoksida dan alkali (KOH dan NaOH) namun kerugiannya yaitu deasetilasi
hemiselulosa yang hampir sempurna (Sjostrom dalam Octavia, 2008).
c. Lignin
Lignin (C9H10O2.C10H12O3.C11H14O4) merupakan polimer alam yang terdapat dalam
tumbuhan. Struktur lignin sangat beraneka ragam tergantung dari jenis tanamannya. Namun,
secara umum lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil
propana yang diikat dengan gugus C-O-C dan C-C. Lignin adalah polimer berkadar aromatik-
fenolik yang tinggi, berwarna kecoklatan, dan relatif lebih mudah teroksidasi. Lignin memiliki
berat molekul yang bervariasi antara 1.000 sampai dengan 20.000, tergantung pada sumber
biomassanya. Lignin relatif stabil terhadap aksi kebanyakan larutan asam mineral, tetapi larut
dalam larutan basa panas dan larutan ion bisulfit (HSO3-) panas. Lignin mempunyai titik
12
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
pelunakan dan titik leleh yang rendah, lignin pada kayu berdaun jarum akan melunak pada
temperatur 80-90oC (basah) dan 120oC (kering) dan meleleh pada 140-150oC (Octavia, 2008).
Lignin yang berfungsi sebagai pelindung dan pemberi kekuatan pada tanaman sehingga
mampu menahan tekanan mekanis. Lignin berpotensi besar jika diaplikasikan dalam berbagai
industri karena lignin memiliki banyak manfaat. Lignin dapat digunakan sebagai bahan perekat,
bahan pengisi karet, sebagai bahan baku vanilin, disulfonasi menjadi lignosulfonat dan
sebagainya (Lubis dalam Handayani, 2014). Adanya kandungan lignin menyebabkan warna
selulosa menjadi kecoklatan sehingga perlu dilakukan pemisahan. Struktur lignin dapat dilihat
pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur unit-unit penyusun lignin
(Sumber : Brunow dkk dalam Isroi, 2010)
Lignin dapat diisolasi dari tanaman sebagai sisa yang tak larut setelah penghilangan
polisakarida dengan hidrolisis (Putera, 2012). Keberadaan lignin menyebabkan warna menjadi
kecoklatan sehingga perlu adanya pemisahan melalui pemutihan. Pemutihan pada umumnya
dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. Zat pemutih yang umumnya digunakan untuk
pemutihan serat-serat selulosa dari serat tumbuhan, serat binatang dan serat sintesis, yaitu
Sodium Chlorite (NaClO2) dan Sodium Hidroxide (NaOH).
Sodium Chlorite (NaClO2) dalam proses pemutihan memiliki keuntungan yaitu reaksi
yang melindungi serat dan zat ini stabil pada suhu lingkungan. Pada suasana asam, Sodium
Chlorite (NaClO2) membentuk Chlorine Oxide (ClO2) yang dapat menghasilkan brightness
13
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
yang tinggi. Pemutihan dengan Sodium Chlorite (NaClO2) menghancurkan lignin tanpa
merusak selulosa (Sinaga dalam Putera, 2012).
NaOH dapat mengekstraksi hemiselulosa dengan cara memecah struktur amorf pada
hemiselulosa. Lignin juga dapat diuraikan dengan NaOH pada suhu kurang dari 180°C.
Sehingga penggunaan NaOH dapat menghancurkan lignin dan mengekstraksi selulosa dan
hemiselulosa sekaligus.
2.4 Carbon Nanodots
Carbon Nanodots (C-Dots) merupakan material karbon berukuran nano (<10 nm) yang
memiliki sifat fotoluminisensi. Penelitian Li dkk dalam Syafei (2016) menunjukkan C-Dots
dapat memancarkan fotoluminisensi yang terang pada rentang panjang gelombang daerah
cahaya tampak hingga inframerah dekat jika disinari dengan panjang gelombang eksitasi 240-
580 nm. Selain itu, menurut Yang dkk dalam Syafei (2016), kelebihan lain yang dimiliki oleh
C-Dots diantaranya kelarutan yang baik dalam air, bahan baku murah, tidak menggunakan
logam berat, proses sintesis yang efisien, sensitivitas dan selektivitas yang tinggi pada analat
target, toksisitas yang rendah, biokompatibel, serta fotostabilitas yang baik.
Pembuatan C-Dots diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode secara kimia yang
dikenal dengan istilah metode bottom-up, sementara metode sintetis secara fisika disebut
metode top-down. (Baker dan Baker dalam Nisa, 2014). Metode top-down merupakan cara
sintetis nanopartikel dengan cara memecah partikel berukuran besar menjadi partikel berukuran
nanometer. Sedangkan metode bottom-up, merupakan pembuatan C-Dots yang dimulai dari
atom-atom atau molekul-molekul yang membentuk partikel berukuran nanometer yang
dikehendaki. Metode top-down dibagi menjadi beberapa metode yaitu metode oksidasi
elektrokimia, metode pelepasan bunga api (arc-discharge) dan teknik laser ablation, sedangkan
metode bottom-up yaitu metode pemanasan sederhana. Metode pemanasan merupakan yang
paling sederhana untuk pembuatan C-Dots (Rahmayanti, 2015).
Material karbon diperoleh dengan proses pengarangan (karbonisasi) yang dilakukan pada
tahapan metode bottom-up. Proses karbonisasi adalah proses pembakaran bahan baku
menggunakan udara terbatas dengan temperatur udara antara 300°C sampai 900°C sesuai
dengan kekerasan bahan baku yang digunakan (Ramdja dkk, 2008). Bahan baku yang berupa
senyawa organik diuraikan melalui proses ini sehingga membentuk metanol, uap asam asetat,
tar, dan hidrokarbon. Padatan yang dihasilkan setelah proses karbonisasi adalah karbon dalam
bentuk arang. Karbonisasi merupakan pirolisis, pirolisis adalah proses dekomposisi suatu bahan
pada suhu tinggi tanpa adanya udara atau dengan udara terbatas (Santoso, 2010).
14
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
Struktur arang yang ideal pada umumnya mempunyai derajat kristalinitas yang relatif
besar (Ota dan Mozammel dalam Pari, 2011). Atom karbon dari selulosa sangat berperan dalam
pembentukan struktur karbon dalam arang karena selulosa merupakan polimer linier dimana
monomer glukosa saling berikatan satu terhadap yang lainnya secara head-to-tail melalui ikatan
β 1.4-glukosida. Polimer linier tersusun rapat secara lateral antar rantai polimer dengan rantai
lainnya membentuk mikrofibril dan fibril, sehingga kristalinitas selulosa meningkat dimana
dapat berperan pada kekuatan struktur atom selulosa tersebut. Berdasarkan penelitian Pari
(2011) mengenai Pengaruh Selulosa terhadap Struktur Karbon Arang, sifat kristalin yang
dimiliki oleh struktur dasar selulosa menyebabkan susunan kristalit karbon dalam arang
semakin meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi.
Karbonisasi selulosa dan penguraian lignin terjadi pada suhu operasi 280°C hingga
500°C, selain itu juga dihasilkan tar (Girrard dalam Hartanto dan Ratnawati, 2010). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Hartanto dan Ratnawati (2010) mengenai Pembuatan Karbon
Aktif dari Tempurung Kelapa Sawit dengan Metode Aktivasi Kimia, pada proses karbonisasi
yang dilakukan di dalam furnace terjadi penguapan air dan penguraian selulosa, hemiselulosa,
dan lignin. Penguraian selulosa dimulai pada suhu 280°C dan berakhir pada suhu antara 300°C
hingga 350°C. sedangkan penguraian lignin dimulai pada suhu antara 300°C hingga 350°C dan
berakhir pada suhu antara 400°C hingga 450°C.
Carbon nanodots (C-Dots) merupakan salah satu nanomaterial yang memiliki struktur 0
dimensi dan merupakan hasil samping dari karbon nanotube (Baker dan Baker dalam Iqbal,
2015). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Iqbal (2015) dalam Sintesis
Nanopartikel Karbon Berfluorosens dari Jelaga Kerosen dan Fine Coal bahwa terdapat gugus
fungsi karboksil (-COOH) dan aldehid (-CHO) pada C-Dots yang telah dibuat berdasarkan
analisa FTIR. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iqbal sesuai dengan pernyataan Liu dkk
dalam Iqbal (2015) yang menyatakan apabila setelah terbentuk C-Dots maka permukaan dari
karbon akan terfungsionalisasi oleh gugus hidroksil (-OH) dan karboksil (-COOH).
2.4.1 Sifat Fotoluminisensi Carbon Nanodots
Fotoluminisensi merupakan peristiwa ketika suatu elektron dapat dieksitasikan oleh
radiasi elektromagnetik. Sifat fotoluminisensi ini berkaitan dengan lebar celah pita energi (band
gap) yang dimiliki C-Dots. C-Dots merupakan material fotokatalis berukuran <10nm yang
bersifat semikonduktor. Untuk mengetahui ada atau tidak nya partikel nano karbon terdispersi
tersebut dapat dilakukan uji kualitatif dengan bantuan sinar UV. Spektrum elektromagnetik
menyeluruh dikelompokan seperti Gambar 2.6 Spektrum elektromagnetik.
15
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
Gambar 2.6 Spektrum Elektromagnetik
(Sumber: Kristianingrum, No Date)
Daerah UV memiliki 10nm – 380nm, tetapi paling banyak penggunaannya secara analitik
dari 200-380nm dan disebut sebagai UV pendek (dekat). Dibawah 200nm udara dapat
mengabsorbsi sehingga instrumen harus dioprasikan pada kondisi vakum, daerah ini disebut
dengan daerah UV vakum (Kristianingrum, No Date).
Material karbon ini dapat menyerap energi cahaya yang diberikan, pada tahap ini akan
terjadi eksitasi elektron yang disebabkan oleh tumbukan partikel lain, elektron yang semula
berada di pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi. Eksitasi tersebut meninggalkan keadaan
kosong di pita konduksi, yang dikenal dengan hole. Agar elektron dapat mencapai pita
konduksi, energi yang diterima harus lebih besar dari energi gap. Umumnya, cahaya yang
digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi adalah cahaya
ultraviolet (Abdullah dalam Rahmayantu dkk, 2015).
Keadaan terkesitasi bukan merupakan keadaan stabil. Elektron hanya bertahan beberapa
saat di keadaan eksitasi, setelah itu kembali ke keadaan awal mengisi kembali keadaan kosong
yang semula ditinggalkannya. Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Pada saat
deeksitasi, terjadi pelepasan energi berupa panas atau pemancaran cahaya. Deeksitasi yang
disertai dengan pelepasan panas disebut transisi tanpa radiasi, sedangkan deeksitasi yang
disertai pemancaran gelombang elektromagnetik disebut transisi radiatif. Pada transisi radiatif,
energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan sama dengan energi gap, yaitu hf ≈ Eg
(Abdullah dalam Rahmayanti, 2015).
16
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
2.4.2 Carbon Nanodots (C-Dots) sebagai Fotokatalis
Fotokatalisis merupakan kombinasi antara proses fotokimia dan katalisis. Dalam hal ini
diperlukan cahaya dan katalis untuk mempercepat transformasi kimia (Linsebigler dkk dalam
Djarwanti dkk, 2009). Proses fotokimia adalah proses sintesis secara kimiawi dengan
melibatkan cahaya sebagai pemicunya. Sedangkan katalis adalah substansi yang dapat
mempercepat jalannya reaksi dengan jalan mengubah mekanisme reaksi tanpa ikut terkonsumsi
pada reaksi tersebut (Bey, 2009).
Fotokatalis jika disinari panjang gelombang antara 100-400nm, elektron akan tereksitasi
dari pita valensi menuju pita konduksi, sehingga menyebabkan terbentuknya hole (muatan
positif) pada pita valensi (h+) dan elektron (e-) (Ariyanti dalam Perdana dkk, 2014). Cahaya
yang digunakan harus lebih besar dari energi celah (band gap) material semikonduktor agar
terjadi eksitasi. Sumber cahaya yang digunakan dapat berasal dari lampu pijar, lampu wolfram,
atau lampu neon. Berdasarkan penelitian Armynah dkk (No date) mengenai Pemanfaatan
Kamera Digital untuk Menggambarkan Panjang Gelombang Spektrum Berbagai Jenis Lampu,
lampu pijar 15watt memiliki panjang gelombang 381,5-751,2nm, lampu neon 20watt memiliki
panjang gelombang 351,4-698,2nm, dan lampu halogen memiliki panjang gelombang 371,3-
697,7nm. Dengan panjang gelombang tersebut maka lampu pijar, lampu neon, dan lampu
halogen dapat dimanfaatkan untuk penyinaran material semikonduktor.
Proses fotokatalisis dibagi menjadi dua berdasarkan jenis katalisnya yaitu fotokatalis
homogen dan fotokatalis heterogen. Fotokatalis homogen adalah proses fotokatalisis yang
terjadi pada fasa yang sama dengan bantuan oksidator seperti ozon dan hydrogen peroksida.
Sedangkan fotokatalis heterogen ialah proses fotokatalisis yang terjadi antara dua fasa atau
lebih dan biasanya dibantu oleh cahaya atau katalis padat. Proses fotokatalisis heterogen
dibantu bahan semikonduktor yang diiradiasi dengan sinar UV. Bahan semikonduktor yang
digunakan contohnya titanium dioksida (TiO2), seng oksida (ZnO) ataupun cadmium sulfida
(CdS).
Proses fotokatalis diawali dengan diserapnya energi foton (hv) dengan jumlah sama atau
melebihi energi celah pita yang dimiliki material fotokatalis sehingga elektron (e-) dari pita
valensi tereksitasi ke pita konduksi meninggalkan hole positif (h+) yang menghasilkan pasangan
elektron-hole. Pasangan elektron ini tidak stabil sehingga sebagian pasangan elektron-hole
berekombinasi atau kembali ke tempat asalnya dengan melepaskan panas dan cahaya. Namun
sebagian pasangan elektron-hole bertahan sampai di permukaan semikonduktor.
Pasangan elektron-hole yang sampai di permukaan semikonduktor akan mengalami
reaksi redoks ketika ada molekul yang teradsorpsi pada permukaan fotokatalis. Reaksi oksidasi
17
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
terjadi ketika (h+) bereaksi dengan permukaan H2O atau OH- untuk menghasilkan radikal
hidroksil (*OH) dan reduksi terjadi ketika (e-) bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkan
anion radikal superoksida (*O2-). Radikal hidroksil memiliki sifat oksidator yang kuat dan
potensial redoksnya cukup besar yaitu 2.8V. Potensial yang dimiliki radikal hidroksil cukup
kuat untuk mengoksidasi sebagian besar zat organik menjadi air, asam hidroksil, dan karbon
dioksida. Skematik dari proses fotokatalis diperlihatkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Tahapan Mekanisme Fotokatalis
(Sumber : Sutanto dan Wibowo, 2015)
Keterangan :
CB = Conduction Band (Pita Konduksi)
VB = Valence Band (Pita Valensi)
hv = Energi Foton
e- = elektron di pita konduksi
h+ = hole di pita valensi
Eg = Energi Band Gap (Energi Celah Pita)
2.4.3 Keunikan Material Carbon Nanodots (C-Dots)
Keunikan yang dimiliki material carbon nanodots (C-dots) disebabkan karena material
ini lebih mendekati ukuran struktur molekul penyusunnya yaitu atom-atomnya. Nanopartikel
logam mulia seperti emas. Emas memiliki warna kuning berkilau akan berlaku berbeda
(berbeda warna) dalam skala nano. Apabila emas berukuran nanometer ± 1-100nm, lalu
didispersikan kedalam air. Jika terjadi interaksi antara nanopartikel emas dengan cahaya akan
18
Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat
Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi
memberikan efek warna yang berbeda tergantung pada ukuran partikel dan bentuk partikel
tersebut. Gambar 2.8 menunjukan larutan nanopartikel emas yang berbeda ukuran dan bentuk.
Masing – masing larutan menghasilkan warna yang berbeda. Efek ini berkaitan dengan interaksi
cahaya dan nanopartikel yang berbeda-beda tergantung ukuran dan bentuknya (Lutfan, 2013).
Gambar 2.8 Warna Larutan Nanopartikel Emas Bergantung pada Ukuran dan Bentuk
Partikel
(Sumber: Sinatra Lutfan, 2013)
Pada bagian atas adalah nanopartikel berbentuk bulat/bola dengan beragam ukuran,
dibagian bawah adalah nanopartikel berbentuk batang dengan beragam aspek ratio
(perbandingan panjang dan lebarnya). Semua gambar dari mikroskop elektron memiliki skala
100nm.