bab ii tinjauan pustakadigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...air limbah yang...

15
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Industri Tekstil Industri tekstil seringkali menimbulkan masalah serius bagi lingkungan terutama masalah yang ditimbulkan oleh limbah cair yang dihasilkan dari proses pencelupan, limbah cair ini mengandung zat warna tekstil yang bersifat non-biodegradable. Zat warna tekstil yang bersifat non-biodegradable mengandung gugus azo. Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna yang relatif tinggi. Selain itu limbah yang dihasilkan mengandung logam berat yang bergantung pada zat warna yang digunakan. Hal-hal tersebut dapat menurunkan kualitas perairan di sekitar industri dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya akan mati karena terkontaminasi oleh zat beracun. Baku mutu limbah cair industri tekstil yang dikeluarkan Permen LH diperlihatkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair dari Proses Penyempurnaan Beberapa Bahan Tekstil Parameter Unit Kadar Pencemaran dari Proses Pencucian Bahan Kapas dan Sintetik Kadar Pencemaran dari Proses Pencelupan Bahan Kapas dan Sintetik Bahan Mutu Limbah Cair Industri Tekstil Kadar Maksimum BOD5 TSS COD Minyak/Lemak Krom Fenol Sulfida pH mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L - 100-850 40-495 425-1440 - 0,05 0,04-0,27 0,20-2,72 7-11 75-340 25-75 200-1010 - 0,013 0,12 - 7-12 85 60 250 5,0 2,0 1,0 - 6,0-9,0 (Sumber: Arena Tekstil, No.24 tahun 1995 dan baku Mutu limbah cair Lampiran A.IX Keputusan Menteri Neg. Lingkungan Hidup No.Kep-51/MENLH/10/1995 dalam manurung 2004) Zat warna tekstil dibuat secara sintetik dan merupakan senyawa aromatik berstruktur kompleks yang lebih stabil sehingga sulit untuk didegradasi (Fewson dan Seshadri dalam Setyowati dan Putri, 2013). Lebih dari 15% zat warna tekstil lolos ke dalam aliran limbah cair selama proses pewarnaan dilakukan (Mirkhani dalam Setyowati dan Putri, 2013).

Upload: others

Post on 22-Jun-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Industri Tekstil

Industri tekstil seringkali menimbulkan masalah serius bagi lingkungan terutama masalah

yang ditimbulkan oleh limbah cair yang dihasilkan dari proses pencelupan, limbah cair ini

mengandung zat warna tekstil yang bersifat non-biodegradable. Zat warna tekstil yang bersifat

non-biodegradable mengandung gugus azo. Air limbah yang dihasilkan industri tekstil

memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna yang relatif tinggi. Selain itu

limbah yang dihasilkan mengandung logam berat yang bergantung pada zat warna yang

digunakan. Hal-hal tersebut dapat menurunkan kualitas perairan di sekitar industri dan makhluk

hidup yang tinggal di dalamnya akan mati karena terkontaminasi oleh zat beracun. Baku mutu

limbah cair industri tekstil yang dikeluarkan Permen LH diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair dari Proses Penyempurnaan Beberapa Bahan

Tekstil

Parameter Unit Kadar Pencemaran dari Proses Pencucian Bahan

Kapas dan Sintetik

Kadar Pencemaran dari Proses

Pencelupan Bahan Kapas dan Sintetik

Bahan Mutu Limbah Cair

Industri Tekstil Kadar Maksimum

BOD5 TSS COD

Minyak/Lemak Krom Fenol

Sulfida pH

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

-

100-850 40-495

425-1440 -

0,05 0,04-0,27 0,20-2,72

7-11

75-340 25-75

200-1010 -

0,013 0,12

- 7-12

85 60 250 5,0 2,0 1,0 -

6,0-9,0 (Sumber: Arena Tekstil, No.24 tahun 1995 dan baku Mutu limbah cair Lampiran A.IX Keputusan Menteri Neg. Lingkungan Hidup No.Kep-51/MENLH/10/1995 dalam manurung 2004)

Zat warna tekstil dibuat secara sintetik dan merupakan senyawa aromatik berstruktur

kompleks yang lebih stabil sehingga sulit untuk didegradasi (Fewson dan Seshadri dalam

Setyowati dan Putri, 2013). Lebih dari 15% zat warna tekstil lolos ke dalam aliran limbah cair

selama proses pewarnaan dilakukan (Mirkhani dalam Setyowati dan Putri, 2013).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

5

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

2.2 Zat Warna

Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor

sebagai pembawa warna dan ausokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Zat organik tidak

jenuh dapat dijumpai dalam pembentukan zat warna umumnya berasal dari senyawa aromatik

antara lain benzene (C6H6), toluene (C6H5-CH3), xilena (C8H10), naftalena (C10H8), antrasena

(C14H10), fenol (C6H5OH) dan turunannya (Manurung dkk, 2004). Gugus kromofor adalah

gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna. Beberapa nama gugus kromofor dan

struktur kimia memberi daya ikat terhadap serat yang diwarnainya dapat diperlihatkan pada

Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nama dan Struktur Kimia Kromofor

Nama Gugus Struktur Kimia Nitroso NO atau (-N-OH) Nitro NO2 atau (NN-OOH)

Grup Azo -N=N- Grup Etilen -C – C-

Grup Karbonil -C – C- Grup Karbon – Nitrogen -C=NH ; CH=N-

Grup Karbon Sulfur -C=S ; -C-S-S-C- (Sumber : Manurung dkk, 2004)

Ausokrom merupakan gugus yang dapat meningkatkan daya kerja dari kromofor

sehingga daya pengikatan warna terjadi secara optimal. Ausokrom terdiri dari golongan kation

yaitu –NH2, -NH Me, -N Me2 seperti -NMe2Cl-, golongan anion yaitu -SO3H; -OH; -COOH.

Ausokrom dapat juga berbentuk kelompok pembentuk garam –NH2 atau –OH (Arifin, 2009).

Struktur limbah zat warna dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Limbah cair industri yang dibuang ke lingkungan akan menurunkan mutu lingkungan

sekitar. Kandungan organik seperti COD, BOD, TSS, dan pH akan meningkat akibat limbah

yang dibuang ke lingkungan. Limbah yang memiliki kandungan organik yang tinggi akan

berdampak negatif bagi lingkungan yang menyebabkan terganggunya biota air. Metode yang

banyak digunakan untuk pengolahan limbah cair industri yaitu pengolahan dengan

menggunakan karbon aktif. Karbon aktif dikenal mempunyai daya adsorbsi fisik yang sangat

baik dalam penghilangan polutan terutama dari air limbah, akan tetapi karbon aktif memiliki

kekurangan yaitu harga karbon aktif relatif mahal dan menambah ongkos peralatan untuk

regenerasi karbon aktif tesebut. Salah satu metode alternatif untuk penanggulangan limbah

tekstil yang relatif murah dan mudah diterapkan adalah fotodegradasi. Metode fotodegradasi

merupakan metode yang efektif karena diketahui dapat menguraikan senyawa zat warna

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

6

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

menjadi senyawa yang tidak berbahaya seperti H2O dan CO2 (Titdoy dkk dalam Slamet dkk,

2016).

Gambar 2.1 Struktur Senyawa Zat Warna Yang Sering Digunakan dalam Industri

(Sumber : Suprihatin, 2014)

Zat warna di lingkungan perairan sebenarnya dapat mengalami dekomposisi secara alami

oleh adanya cahaya matahari, namun reaksi ini berlangsung relatif lambat karena intensitas UV

yang sampai ke permukaan bumi relatif rendah sehingga akumulasi zat warna dasar perairan

atau tanah lebih cepat dari fotodegradasinya (Dae-Hee dkk dan Al-kdasi dalam Suprihatin,

2014).

Radiasi matahari yang sampai ke bumi (terestrial) intensitasnya lebih rendah yang

meliputi UV dengan panjang gelombang 290–400nm, sedangkan panjang gelombang yang

lebih pendek diserap oleh lapisan atmosfer. Lapisan atmosfer sebagai penyerap utama radiasi

UV, lapisan gas ini berfungsi sebagai pelindung bumi dari pajanan radiasi UV yang panjang

gelombangnya lebih pendek dari 340nm. Spektrum sinar UV adalah elektromagnetik yang

terlentang pada rentang panjang gelombang 100nm–400nm yang dibagi menjadi sinar

ultraviolet A atau UV-A (λ320- 400 nm), sinar UV-B (λ280 - 320nm) dan sinar UV-C (λ100 -

280nm) (WHO dalam Rini, 2014).

2.2.1 Penggolongan Zat Warna

Isminingsih dalam Fitrihana (2007) mengatakan zat warna tekstil digolongkan menjadi

2, yaitu Zat Pewarna Alam (ZPA) dan Zat Pewarna Sintetis (ZPS). Zat Pewarna Alam (ZPA)

adalah zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

7

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

tumbuhan atau hewan. Zat Pewarna Sintesis (ZPS) adalah zat warna buatan atau sintesis dibuat

dengan reaksi kimia dengan bahan dasar arang batubara atau minyak bumi yang merupakan

senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzene (C6H6), naftalen (C10H8), dan antrasena

(C14H10).

Penggunaan zat warna sintesis semakin meningkat seiring semakin majunya teknologi

sehingga menggeser penggunaan zat warna alam. Keunggulan zat warna sintesis adalah lebih

mudah diperoleh, ketersediaannya terjamin, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis

dalam penggunaannya. Namun pewarna sintesis merupakan bahan berbahaya dalam limbah

tekstil dan beberapa pewarna dapat terdegradasi sehingga menghasilkan produk karsinogenik

dan beracun. Selain itu limbah berwarna dapat mengurangi masuknya cahaya matahari dan

mencegah fotosintesis yang mengakibatkan turunnya kualitas perairan di sekitar industri

sehingga makhluk hidup yang tinggal di dalamnya akan mati karena kekurangan O2 atau

terkontaminasi oleh zat beracun.

Nugroho dan Ikbal (2005) mengatakan bahwa zat warna tekstil, kebanyakan

menggunakan senyawa organik rantai panjang. Berdasarkan struktur kimianya zat warna tekstil

dibedakan menjadi beberapa jenis seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi zat pewarna berdasarkan struktur kimia

Nama Zat Warna Keterangan

Azo Mengandung Gugus azo –N=N-

Anthraquinones Mengandung gugus amino dan hidroksi

Ftalosianin Banyak dipakai untuk tinta cetak

Indigoid Mengandung gugus karbonil

Benzodifuranones Sintesa lanjut dari asam arilasetat dan

Hydroquinone Oxazines -

Polimetin -

Di dan Tri-aril karbonium Memiliki warna yang cerah dan kuat namun

mudah luntur

Karbonil Aromatik Polisiklik - Sulfur Gugus sulfur sebagai jembatan penghubung

Nitro dan nitroso Turunan dari o-nitrofenol atau naftol

(Sumber : Nugroho dan Ikbal, 2005)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

8

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

2.2.2 Senyawa Azo

Senyawa azo atau zat warna azo merupakan jenis zat warna yang cukup penting. Pewarna

tekstil umumnya mengandung gugus azo yang bersifat non-biodegradable. Zat warna pada

umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya yang merupakan gugus benzene. Senyawa

azo bila terlalu lama berada di lingkungan akan menjadi penyakit karena bersifat karsinogenik

dan mutagenik. Limbah pewarna yang memiliki gugus azo, khususnya zat warna reaktif,

memiliki ikatan kovalen yang kuat antara atom C dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari

gugus hidroksil (-OH) dan amina (R-NH2) pada selulosa yang terionisasi.

Senyawa azo adalah senyawa kimia yang mempunyai ciri-ciri struktur tidak alami dan

tidak bisa ditemukan di alam. Zat ini dibuat dengan kualitas yang baik sehingga sulit dirombak.

Dalam daftar Color Index golongan warna terbesar jumlahnya lebih dari 50% adalah zat warna

azo. Sistem kromofor zat warna azo (-N=N-) berikatan dengan gugus aromatik. Lingkungan zat

warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah jingga, biru tua (navy blue), violet dan hitam,

hanya warna hijau yang sangat terbatas (Manurung dkk, 2004). Senyawa azo dapat berupa

senyawa aromatik atau alifatik. Senyawa azo aromatik bersifat stabil dan mempunyai warna

menyala. Kenaikan suhu atau iradiasi menyebabkan ikatan nitrogen dan karbon akan pecah

secara simultan melepaskan gas nitrogen dan radikal. Dengan demikian, beberapa senyawa azo

alifatik digunakan sebagai inisiator radikal (Widjajanti, 2011).

2.3 Eceng Gondok

Eceng gondok (Eichornia Crassipes) adalah tanaman yang mengapung di permukaan air.

Daunnya berbentuk oval dan berwarna hijau segar serta mengkilat bila diterpa sinar matahari.

Daun-daun tersebut ditopang oleh tangkai berbentuk silinder memanjang yang mencapai 1

meter dengan diameter 1-2 cm, dan memiliki tinggi sekitar 0,4-0,8 meter. Tangkai daunnya

berisi serat yang kuat dan lemas serta mengandung banyak air. Bunganya termasuk bunga

majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna

hitam. Akarnya merupakan akar serabut (Febrianingsi, 2013). Bentuk fisik tanaman eceng

gondok dapat diperlihatkan pada Gambar 2.2.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

9

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

Gambar 2.2 Bentuk Fisik Tanaman Eceng Gondok (Eichornia Crassipes)

(Sumber : Agrobisnis.com, 2015)

Tanaman ini sering dianggap sebagai gulma yang bisa merusak lingkungan perairan. Hal

ini karena sifat eceng gondok yang tumbuh di permukaan air dan laju pertumbuhannya cepat.

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan

pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi (Roekmijati dalam

Tosepu, 2012). Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang

dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30oC dan kondisi pH berkisar 4-12.

Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh. Eceng

gondok mampu menghisap air dan menguapkanya ke udara melalui proses evaporasi (Ratnani

dkk, 2011).

Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyedia oksigen dan

penyerapan sinar matahari. Keunggulan lain dari eceng gondok adalah dapat menyerap

senyawa organik dan senyawa anorganik dari air yang tercemar, berpotensi untuk digunakan

sebagai komponen utama pembersih air limbah dari berbagai industri dan rumah tangga.

Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempatnya

tumbuh. Kandungan kimia eceng gondok itu sendiri yakni 60% selulosa, 8% hemiselulosa dan

17% lignin (Ahmed, 2012). Eceng gondok merupakan suatu gulma air yang mudah sekali

tumbuh dan berkembang, mempunyai kandungan serat selulosa cukup tinggi, yakni berkisar

60%. Hal ini sangat memungkinkan bahwa eceng gondok berpotensi sebagai bahan dasar

pembuatan selulosa yang dapat diaplikasikan ke arah yang beragam salah satunya adalah

pembuatan carbon nanodots (C-Dots).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

10

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

a. Selulosa ((C6H10O5)n)

Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat dengan β

1.4-glycosidic dengan rumus (C6H10O5)n dengan n adalah derajat polimerisasinya. Struktur

kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tak mudah larut, sehingga tidak

mudah didegradasi secara kimia atau mekanis. Molekul glukosa yang tersambung menjadi

molekul besar, panjang, dan berbentuk rantai dalam suatu susunan disebut selulosa.

Molekul selulosa seluruhnya berbentuk liniear dan memiliki kecenderungan kuat untuk

membentuk ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Ketersediaan selulosa dalam jumlah besar

akan membentuk serat yang kuat, tidak larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik, dan

berwarna putih. Struktur selulosa ditunjukan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur Selulosa

(Sumber : Lankinen dalam Asmalah dan Amrulah, 2016)

Selulosa berwarna putih, tidak mempunyai rasa dan bau, tidak larut dalam air atau larutan

basa, relatif stabil terhadap panas, tidak meleleh jika dipanaskan, mulai terurai (dekomposisi)

pada temperatur 260-270°C, tahan terhadap hidrolisis, dan stabil terhadap oksidasi (Octavia,

2008). Selulosa dapat larut dalam larutan asam mineral dengan konsentrasi tinggi (akibat

hidrolisis) dan juga dapat terhidrolisis dalam asam mineral encer pada temperatur yang tinggi

(>100°C).

b. Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul

rendah yang merupakan polimer dari pentosa (xylosa, arabinosa), heksosa (mannose, glukosa,

galaktosa) dan asam-asam gula. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15-30% dari berat kering

bahan lignoselulosa (Taherzadeh dalam Slamet, 2016). Hemiselulosa mengikat lembaran serat

selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga

berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks lignoselulosa

(lignohemiselulosa) dan memberikan struktur yang kuat. Hemiselulosa relatif lebih mudah

dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa,

xilosa, arabinosa dan 4-0 methyl-glukoronik, D-galacturonic dan D-glukoronik Gambar 2.4

Gula-gula tersebut terikat oleh ikatan β-1,4 dan β-1,3 glukosida (Perez dkk dalam Slamet, 2016)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

11

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

Gambar 2.4 Struktur unit-unit penyusun hemiselulosa

(Sumber : Ibrahim dalam Octavia, 2008)

Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen

monomernya. Isolasi hemiselulosa dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan

dimetilsulfoksida dan alkali (KOH dan NaOH) namun kerugiannya yaitu deasetilasi

hemiselulosa yang hampir sempurna (Sjostrom dalam Octavia, 2008).

c. Lignin

Lignin (C9H10O2.C10H12O3.C11H14O4) merupakan polimer alam yang terdapat dalam

tumbuhan. Struktur lignin sangat beraneka ragam tergantung dari jenis tanamannya. Namun,

secara umum lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil

propana yang diikat dengan gugus C-O-C dan C-C. Lignin adalah polimer berkadar aromatik-

fenolik yang tinggi, berwarna kecoklatan, dan relatif lebih mudah teroksidasi. Lignin memiliki

berat molekul yang bervariasi antara 1.000 sampai dengan 20.000, tergantung pada sumber

biomassanya. Lignin relatif stabil terhadap aksi kebanyakan larutan asam mineral, tetapi larut

dalam larutan basa panas dan larutan ion bisulfit (HSO3-) panas. Lignin mempunyai titik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

12

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

pelunakan dan titik leleh yang rendah, lignin pada kayu berdaun jarum akan melunak pada

temperatur 80-90oC (basah) dan 120oC (kering) dan meleleh pada 140-150oC (Octavia, 2008).

Lignin yang berfungsi sebagai pelindung dan pemberi kekuatan pada tanaman sehingga

mampu menahan tekanan mekanis. Lignin berpotensi besar jika diaplikasikan dalam berbagai

industri karena lignin memiliki banyak manfaat. Lignin dapat digunakan sebagai bahan perekat,

bahan pengisi karet, sebagai bahan baku vanilin, disulfonasi menjadi lignosulfonat dan

sebagainya (Lubis dalam Handayani, 2014). Adanya kandungan lignin menyebabkan warna

selulosa menjadi kecoklatan sehingga perlu dilakukan pemisahan. Struktur lignin dapat dilihat

pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur unit-unit penyusun lignin

(Sumber : Brunow dkk dalam Isroi, 2010)

Lignin dapat diisolasi dari tanaman sebagai sisa yang tak larut setelah penghilangan

polisakarida dengan hidrolisis (Putera, 2012). Keberadaan lignin menyebabkan warna menjadi

kecoklatan sehingga perlu adanya pemisahan melalui pemutihan. Pemutihan pada umumnya

dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. Zat pemutih yang umumnya digunakan untuk

pemutihan serat-serat selulosa dari serat tumbuhan, serat binatang dan serat sintesis, yaitu

Sodium Chlorite (NaClO2) dan Sodium Hidroxide (NaOH).

Sodium Chlorite (NaClO2) dalam proses pemutihan memiliki keuntungan yaitu reaksi

yang melindungi serat dan zat ini stabil pada suhu lingkungan. Pada suasana asam, Sodium

Chlorite (NaClO2) membentuk Chlorine Oxide (ClO2) yang dapat menghasilkan brightness

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

13

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

yang tinggi. Pemutihan dengan Sodium Chlorite (NaClO2) menghancurkan lignin tanpa

merusak selulosa (Sinaga dalam Putera, 2012).

NaOH dapat mengekstraksi hemiselulosa dengan cara memecah struktur amorf pada

hemiselulosa. Lignin juga dapat diuraikan dengan NaOH pada suhu kurang dari 180°C.

Sehingga penggunaan NaOH dapat menghancurkan lignin dan mengekstraksi selulosa dan

hemiselulosa sekaligus.

2.4 Carbon Nanodots

Carbon Nanodots (C-Dots) merupakan material karbon berukuran nano (<10 nm) yang

memiliki sifat fotoluminisensi. Penelitian Li dkk dalam Syafei (2016) menunjukkan C-Dots

dapat memancarkan fotoluminisensi yang terang pada rentang panjang gelombang daerah

cahaya tampak hingga inframerah dekat jika disinari dengan panjang gelombang eksitasi 240-

580 nm. Selain itu, menurut Yang dkk dalam Syafei (2016), kelebihan lain yang dimiliki oleh

C-Dots diantaranya kelarutan yang baik dalam air, bahan baku murah, tidak menggunakan

logam berat, proses sintesis yang efisien, sensitivitas dan selektivitas yang tinggi pada analat

target, toksisitas yang rendah, biokompatibel, serta fotostabilitas yang baik.

Pembuatan C-Dots diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode secara kimia yang

dikenal dengan istilah metode bottom-up, sementara metode sintetis secara fisika disebut

metode top-down. (Baker dan Baker dalam Nisa, 2014). Metode top-down merupakan cara

sintetis nanopartikel dengan cara memecah partikel berukuran besar menjadi partikel berukuran

nanometer. Sedangkan metode bottom-up, merupakan pembuatan C-Dots yang dimulai dari

atom-atom atau molekul-molekul yang membentuk partikel berukuran nanometer yang

dikehendaki. Metode top-down dibagi menjadi beberapa metode yaitu metode oksidasi

elektrokimia, metode pelepasan bunga api (arc-discharge) dan teknik laser ablation, sedangkan

metode bottom-up yaitu metode pemanasan sederhana. Metode pemanasan merupakan yang

paling sederhana untuk pembuatan C-Dots (Rahmayanti, 2015).

Material karbon diperoleh dengan proses pengarangan (karbonisasi) yang dilakukan pada

tahapan metode bottom-up. Proses karbonisasi adalah proses pembakaran bahan baku

menggunakan udara terbatas dengan temperatur udara antara 300°C sampai 900°C sesuai

dengan kekerasan bahan baku yang digunakan (Ramdja dkk, 2008). Bahan baku yang berupa

senyawa organik diuraikan melalui proses ini sehingga membentuk metanol, uap asam asetat,

tar, dan hidrokarbon. Padatan yang dihasilkan setelah proses karbonisasi adalah karbon dalam

bentuk arang. Karbonisasi merupakan pirolisis, pirolisis adalah proses dekomposisi suatu bahan

pada suhu tinggi tanpa adanya udara atau dengan udara terbatas (Santoso, 2010).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

14

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

Struktur arang yang ideal pada umumnya mempunyai derajat kristalinitas yang relatif

besar (Ota dan Mozammel dalam Pari, 2011). Atom karbon dari selulosa sangat berperan dalam

pembentukan struktur karbon dalam arang karena selulosa merupakan polimer linier dimana

monomer glukosa saling berikatan satu terhadap yang lainnya secara head-to-tail melalui ikatan

β 1.4-glukosida. Polimer linier tersusun rapat secara lateral antar rantai polimer dengan rantai

lainnya membentuk mikrofibril dan fibril, sehingga kristalinitas selulosa meningkat dimana

dapat berperan pada kekuatan struktur atom selulosa tersebut. Berdasarkan penelitian Pari

(2011) mengenai Pengaruh Selulosa terhadap Struktur Karbon Arang, sifat kristalin yang

dimiliki oleh struktur dasar selulosa menyebabkan susunan kristalit karbon dalam arang

semakin meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi.

Karbonisasi selulosa dan penguraian lignin terjadi pada suhu operasi 280°C hingga

500°C, selain itu juga dihasilkan tar (Girrard dalam Hartanto dan Ratnawati, 2010). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Hartanto dan Ratnawati (2010) mengenai Pembuatan Karbon

Aktif dari Tempurung Kelapa Sawit dengan Metode Aktivasi Kimia, pada proses karbonisasi

yang dilakukan di dalam furnace terjadi penguapan air dan penguraian selulosa, hemiselulosa,

dan lignin. Penguraian selulosa dimulai pada suhu 280°C dan berakhir pada suhu antara 300°C

hingga 350°C. sedangkan penguraian lignin dimulai pada suhu antara 300°C hingga 350°C dan

berakhir pada suhu antara 400°C hingga 450°C.

Carbon nanodots (C-Dots) merupakan salah satu nanomaterial yang memiliki struktur 0

dimensi dan merupakan hasil samping dari karbon nanotube (Baker dan Baker dalam Iqbal,

2015). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Iqbal (2015) dalam Sintesis

Nanopartikel Karbon Berfluorosens dari Jelaga Kerosen dan Fine Coal bahwa terdapat gugus

fungsi karboksil (-COOH) dan aldehid (-CHO) pada C-Dots yang telah dibuat berdasarkan

analisa FTIR. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iqbal sesuai dengan pernyataan Liu dkk

dalam Iqbal (2015) yang menyatakan apabila setelah terbentuk C-Dots maka permukaan dari

karbon akan terfungsionalisasi oleh gugus hidroksil (-OH) dan karboksil (-COOH).

2.4.1 Sifat Fotoluminisensi Carbon Nanodots

Fotoluminisensi merupakan peristiwa ketika suatu elektron dapat dieksitasikan oleh

radiasi elektromagnetik. Sifat fotoluminisensi ini berkaitan dengan lebar celah pita energi (band

gap) yang dimiliki C-Dots. C-Dots merupakan material fotokatalis berukuran <10nm yang

bersifat semikonduktor. Untuk mengetahui ada atau tidak nya partikel nano karbon terdispersi

tersebut dapat dilakukan uji kualitatif dengan bantuan sinar UV. Spektrum elektromagnetik

menyeluruh dikelompokan seperti Gambar 2.6 Spektrum elektromagnetik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

15

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

Gambar 2.6 Spektrum Elektromagnetik

(Sumber: Kristianingrum, No Date)

Daerah UV memiliki 10nm – 380nm, tetapi paling banyak penggunaannya secara analitik

dari 200-380nm dan disebut sebagai UV pendek (dekat). Dibawah 200nm udara dapat

mengabsorbsi sehingga instrumen harus dioprasikan pada kondisi vakum, daerah ini disebut

dengan daerah UV vakum (Kristianingrum, No Date).

Material karbon ini dapat menyerap energi cahaya yang diberikan, pada tahap ini akan

terjadi eksitasi elektron yang disebabkan oleh tumbukan partikel lain, elektron yang semula

berada di pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi. Eksitasi tersebut meninggalkan keadaan

kosong di pita konduksi, yang dikenal dengan hole. Agar elektron dapat mencapai pita

konduksi, energi yang diterima harus lebih besar dari energi gap. Umumnya, cahaya yang

digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi adalah cahaya

ultraviolet (Abdullah dalam Rahmayantu dkk, 2015).

Keadaan terkesitasi bukan merupakan keadaan stabil. Elektron hanya bertahan beberapa

saat di keadaan eksitasi, setelah itu kembali ke keadaan awal mengisi kembali keadaan kosong

yang semula ditinggalkannya. Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Pada saat

deeksitasi, terjadi pelepasan energi berupa panas atau pemancaran cahaya. Deeksitasi yang

disertai dengan pelepasan panas disebut transisi tanpa radiasi, sedangkan deeksitasi yang

disertai pemancaran gelombang elektromagnetik disebut transisi radiatif. Pada transisi radiatif,

energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan sama dengan energi gap, yaitu hf ≈ Eg

(Abdullah dalam Rahmayanti, 2015).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

16

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

2.4.2 Carbon Nanodots (C-Dots) sebagai Fotokatalis

Fotokatalisis merupakan kombinasi antara proses fotokimia dan katalisis. Dalam hal ini

diperlukan cahaya dan katalis untuk mempercepat transformasi kimia (Linsebigler dkk dalam

Djarwanti dkk, 2009). Proses fotokimia adalah proses sintesis secara kimiawi dengan

melibatkan cahaya sebagai pemicunya. Sedangkan katalis adalah substansi yang dapat

mempercepat jalannya reaksi dengan jalan mengubah mekanisme reaksi tanpa ikut terkonsumsi

pada reaksi tersebut (Bey, 2009).

Fotokatalis jika disinari panjang gelombang antara 100-400nm, elektron akan tereksitasi

dari pita valensi menuju pita konduksi, sehingga menyebabkan terbentuknya hole (muatan

positif) pada pita valensi (h+) dan elektron (e-) (Ariyanti dalam Perdana dkk, 2014). Cahaya

yang digunakan harus lebih besar dari energi celah (band gap) material semikonduktor agar

terjadi eksitasi. Sumber cahaya yang digunakan dapat berasal dari lampu pijar, lampu wolfram,

atau lampu neon. Berdasarkan penelitian Armynah dkk (No date) mengenai Pemanfaatan

Kamera Digital untuk Menggambarkan Panjang Gelombang Spektrum Berbagai Jenis Lampu,

lampu pijar 15watt memiliki panjang gelombang 381,5-751,2nm, lampu neon 20watt memiliki

panjang gelombang 351,4-698,2nm, dan lampu halogen memiliki panjang gelombang 371,3-

697,7nm. Dengan panjang gelombang tersebut maka lampu pijar, lampu neon, dan lampu

halogen dapat dimanfaatkan untuk penyinaran material semikonduktor.

Proses fotokatalisis dibagi menjadi dua berdasarkan jenis katalisnya yaitu fotokatalis

homogen dan fotokatalis heterogen. Fotokatalis homogen adalah proses fotokatalisis yang

terjadi pada fasa yang sama dengan bantuan oksidator seperti ozon dan hydrogen peroksida.

Sedangkan fotokatalis heterogen ialah proses fotokatalisis yang terjadi antara dua fasa atau

lebih dan biasanya dibantu oleh cahaya atau katalis padat. Proses fotokatalisis heterogen

dibantu bahan semikonduktor yang diiradiasi dengan sinar UV. Bahan semikonduktor yang

digunakan contohnya titanium dioksida (TiO2), seng oksida (ZnO) ataupun cadmium sulfida

(CdS).

Proses fotokatalis diawali dengan diserapnya energi foton (hv) dengan jumlah sama atau

melebihi energi celah pita yang dimiliki material fotokatalis sehingga elektron (e-) dari pita

valensi tereksitasi ke pita konduksi meninggalkan hole positif (h+) yang menghasilkan pasangan

elektron-hole. Pasangan elektron ini tidak stabil sehingga sebagian pasangan elektron-hole

berekombinasi atau kembali ke tempat asalnya dengan melepaskan panas dan cahaya. Namun

sebagian pasangan elektron-hole bertahan sampai di permukaan semikonduktor.

Pasangan elektron-hole yang sampai di permukaan semikonduktor akan mengalami

reaksi redoks ketika ada molekul yang teradsorpsi pada permukaan fotokatalis. Reaksi oksidasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

17

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

terjadi ketika (h+) bereaksi dengan permukaan H2O atau OH- untuk menghasilkan radikal

hidroksil (*OH) dan reduksi terjadi ketika (e-) bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkan

anion radikal superoksida (*O2-). Radikal hidroksil memiliki sifat oksidator yang kuat dan

potensial redoksnya cukup besar yaitu 2.8V. Potensial yang dimiliki radikal hidroksil cukup

kuat untuk mengoksidasi sebagian besar zat organik menjadi air, asam hidroksil, dan karbon

dioksida. Skematik dari proses fotokatalis diperlihatkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Tahapan Mekanisme Fotokatalis

(Sumber : Sutanto dan Wibowo, 2015)

Keterangan :

CB = Conduction Band (Pita Konduksi)

VB = Valence Band (Pita Valensi)

hv = Energi Foton

e- = elektron di pita konduksi

h+ = hole di pita valensi

Eg = Energi Band Gap (Energi Celah Pita)

2.4.3 Keunikan Material Carbon Nanodots (C-Dots)

Keunikan yang dimiliki material carbon nanodots (C-dots) disebabkan karena material

ini lebih mendekati ukuran struktur molekul penyusunnya yaitu atom-atomnya. Nanopartikel

logam mulia seperti emas. Emas memiliki warna kuning berkilau akan berlaku berbeda

(berbeda warna) dalam skala nano. Apabila emas berukuran nanometer ± 1-100nm, lalu

didispersikan kedalam air. Jika terjadi interaksi antara nanopartikel emas dengan cahaya akan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.polban.ac.id/files/disk1/149/jbptppolban-gdl...Air limbah yang dihasilkan industri tekstil memiliki parameter BOD, COD, padatan tersuspensi, dan warna

18

Laporan Tugas Akhir Penentuan Waktu Pematangan (Aging Time) Optimum Proses Degradasi Zat

Warna Tekstil Menggunakan Carbon Nanodots (C-Dots) Terdispersi

memberikan efek warna yang berbeda tergantung pada ukuran partikel dan bentuk partikel

tersebut. Gambar 2.8 menunjukan larutan nanopartikel emas yang berbeda ukuran dan bentuk.

Masing – masing larutan menghasilkan warna yang berbeda. Efek ini berkaitan dengan interaksi

cahaya dan nanopartikel yang berbeda-beda tergantung ukuran dan bentuknya (Lutfan, 2013).

Gambar 2.8 Warna Larutan Nanopartikel Emas Bergantung pada Ukuran dan Bentuk

Partikel

(Sumber: Sinatra Lutfan, 2013)

Pada bagian atas adalah nanopartikel berbentuk bulat/bola dengan beragam ukuran,

dibagian bawah adalah nanopartikel berbentuk batang dengan beragam aspek ratio

(perbandingan panjang dan lebarnya). Semua gambar dari mikroskop elektron memiliki skala

100nm.