bab ii tinjauan pustaka 2 - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43611/3/bab ii.pdf · b) berat...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Jembatan merupakan suatu struktur yang menghubungkan alur transportasi
melintasi rintangan yang ada tanpa menutupinya. Rintangan tersebut dapat berupa
jurang, sungai, bagian jalan yang tidak sebidang dan lain-lain. Sehingga dapat
memungkinkan macam kendaraan dan pejalan kaki untuk melintas dengan aman dan
lancar.
Umumnya, struktur jembatan dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis
berdasarkan bentuknya adalah:
a) Jembatan Gelagar
b) Jembatan Busur (arch bridge)
c) Jembatan Rangka (truss bridge)
d) Jembatan Portal (rigid frame bridge)
e) Jembatan Gantung (suspension bridge)
f) Jembatan Kabel (cable-stayed bridge).
2.2 Pembebanan
Syarat pembebanan yang digunakan pada perencanaan struktur jembatan
beton box girder prategang adalah SNI 1725:2016 (Standar Pembebanan untuk
Jembatan.
Suatu kontruksi dalam merencanaan struktur, ada hal utama yang harus
dilakukan ialah dilakukannya estimasi pembebanan yang harus didukung dari
konstruksi tersebut.
Pada studi perencanaan jembatan ini seluruh beban maupun gaya yang
bekerja pada konstruksi akan dihitung berlandaskan SNI 1725:2016. Dalam
perencanaan struktur, ada tiga jenis yang akan dipakai dalam perhitungan
pembebanan yakni beban mati, beban hidup dan aksi lingkungan.
5
2.2.1 Beban Mati
a) Berat Sendiri (Beban Mati)
Berat sendiri ialah beban mati yang dihitung dari berat elemen-elemen
struktur utama yang tetap. Berikut ada beberapa faktor beban yang dipakai
dalam menghitung berat sendiri yakni:
Tabel 2.1 - Faktor beban untuk berat sendiri
Tipe
Beban
Faktor Beban (ϒMs)
Keadaan Batas Layan ϒ ) Keadaan Batas Ultimit (ϒ
)
Bahan Biasa Terkurangi
Tetap
Baja 1,00 1,10 0,90
Alumunium 1,00 1,10 0,90
Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85
Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75
Kayu 1,00 1,40 0,70
Sumber : SNI 1725:2016
b) Berat Utilitas
Beban mati tambahan atau utilitas merupakan berat dari seluruh bahan
elemen yang nonstruktural, dan biasanya dapat berubah-ubah pada umur
jembatan. Berikut ada beberapa faktor beban yang dipakai dalam menghitung
beban mati tambahan yakni:
Tabel 2.2 - Faktor beban untuk berat mati tambahan / utilitas
Tipe
Beban
Faktor Beban (ϒMA)
Keadaan Batas Layan ϒ ) Keadaan Batas Ultimit (ϒ
)
Bahan
Biasa Terkurangi
Tetap Umum 1,00 (1) 2,00 0,70
Khusus 1,00 1,40 0,80
Catatan (1) : Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas
Sumber : SNI 1725:2016
6
2.2.2 Beban Hidup
a) Pembebanan Lajur (D)
Beban lajur (D) terdiri dari beban terbagi rata (BTR) dan beban garis
(BGT) yang akan tergabung seperti dalam gambar . Adapun faktor beban yang
digunakan untuk menghitung beban lajur "D" seperti pada tabel tersebut:
Tabel 2.3 - Faktor beban hidup untuk lajur "D"
Tipe
beban Jembatan
Faktor beban (ϒTD)
Keadaan Batas
Layan ϒ )
Keadaan Batas
Ultimit ϒ )
Transein
Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja 1,00 2,00
Sumber : SNI 1725:2016
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q
tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu seperti berikut:
Jika L ≤ 30 m : 9,0 kPa
Jika L > 30 m : q = 9,0 (
) kPa
Keterangan:
q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang
jembatan (kPa)
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2.1 - Beban lajur "D"
7
Sebuah Beban Garis Terpusat (BGT) dengan intensitas p kN/m harus
diletakkan secara vertikal terhadap arah lalu lintas di jembatan. Besarnya
kepadatan p ialah 49,0 kN/m. Agar identik, maka harus diletakkan di posisi
cross-sectional dari jembatan pada bentang lainnya.
Mendistribusikan beban hidup ke arah melintang digunakan agar
mendapatkan momen dan geser ke arah longitudinal di gelagar jembatan.
Ini dilkukan dengan mempertimbangkan beban lajur (D) yang tersebar di
seluruh lebar balok (tidak termasuk parapad, median, dan trotoar) dengan
kepadatan 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.
b) Pembebanan Truk (T)
Ada beban lalu lintas lainnya seperti beban truk (T). Beban truk (T) tidak
dapat dipakai bersamaan dengan beban lajur (D). Beban truk dapat dipakai
untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor beban untuk beban truk(T)
seperti terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 - Faktor beban hidup untuk lajur "T"
Tipe beban Jembatan
Faktor beban (ϒTT)
Keadaan Batas
Layan ϒ )
Keadaan Batas
Ultimit ϒ )
Transein
Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja 1,00 2,00
Sumber : SNI 1725:2016
Gambar 2.2 - Pembebanan truk "T" (500kN)
8
Beban truk (T) terdiri dari truk semi-trailer dengan komponen susunan
dan berat gandar seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.2. Masing-masing
berat tiap gandar dibagi menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan
bidang kontak antar roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 gandar
tersebut dapat diubah dari 4,0 m sampai dengan 9,0 m untuk mendapatkan
dampak terbesar jembatan pada arah memanjang.
c) Gaya Rem, TB
Adapun gaya rem yang harus diambil nilai yang paling besar dari dua
cara dibawah ini:
25% dari berat gandar truk desain,
5% dari berat truk rencana ditambah dengan beban lajur terbagi rata
BTR
Gaya rem tersebut harus ditempatkan di semua lajur rencana yang dimuat
sesuai dengan Pasal 8.2 (SNI 1725:2016) yang berisikan tentang lalu lintas
dengan arah yang sama. Gaya ini pun harus diperkirakan agar bekerja secara
horizontal pada jarak 1800 mm diatas permukaan jalan pada masing-masing
arah longitudinal dan dipilih yang paling menentukan. Untuk jembatan yang
akan dirubah dalam satu arah di masa depan, maka semua lajur rencana harus
dibebani secara bersamaan pada saat menghitung kekuatan gaya rem. Faktor
kepadatan lajur yang ditentukan pada Pasal 8.4.3 (SNI 1725:2016) berlaku
untuk menghitung gaya rem.
d) Gaya Sentrifugal, TR
Untuk tujuan menghitung gaya radial atau efek guling dari beban roda,
pengaruh gaya sentrifugal pada beban hidup harus diambil sebagai hasil kali
dari berat gandar truk rencana dengan faktor C sebagai berikut:
C = f
Keterangan:
v = kecepatan rencana jalan raya (m/detik)
9
f = faktor dengan nilai 4/3 untuk kombinasi beban selain keadaan batas
fatik dan 1,0 untuk keadaan batas fatik
g = percepatan gravitasi : 9.8 (
RI = jari-jari kelengkungan lajur lalu lintas (m)
Kecepatan rencana jalan raya harus diambil tidak kurang dari nilai yang
ditentukan dalam Perencanaan Geometrik Jalan Bina Marga. Faktor kepadatan
lajur ditentukan dalam Pasal 8.4.3 berlaku pada waktu menghitung gaya
sentrifugal. Gaya Sentrifugal harus diterapkan secara tegak lurus atau horizontal
diatas permukaan jalan dengan ketinggian sebesar 1800 mm. Dalam hal ini,
perencana harus menyediakan mekanisme untuk meneruskan gaya sentrifugal
dari permukaan jembatan menuju struktur bawah jembatan. Pengaruh
superelevasi yang mengurangi momen guling akibat gaya sentrifugal akibat
beban roda dapat dipertimbangkan dalam perencana.
2.2.3 Aksi Lingkungan
a) Beban Angin
Tekanan angin horizontal dapat diasumsikan yang disebabkan oleh angin
rencana dengan kecepatan dasar ( sebesar 90 sampai 126 km/jam. Untuk
jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari 10000 mm
diatas permukaan tanah atau permukaan air, kecepatan angin rencana, ,
harus dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
= 2,5 (
) In
Keterangan:
= kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)
= kecepatan angin pada elevasi 10000 mm diatas permukaan tanah
atau diatas permukaan air rencana (km/jam)
= kecepatan angin rencana yaitu 90 hingga 126 km/jam pada elevasi
1000 mm
10
Z = elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau dari permukaan
air dimana beban angin dihitung (Z > 10000 mm)
= kecepatan gesekan angin, yang merupakan karakteristik
meteorologi, sebagaimana ditentukan dalam tabel , untuk berbagai macam
tipe permukaan di hulu jembatan (km/jam)
= panjang gesekan di hulu jembatan, yang merupakan karakteristik
meteorologi, ditentukan pada tabel
dapat diperoleh dari:
grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang,
survei angin pada lokasi jembatan,
jika tidak ada data yang lebih baik, perencanaan dapat
mengasumsikan bahwa = = 90 s/d 126 km/jam
Tabel 2.5 - Nilai dan untuk berbagai variasi kondisi permukaan hulu
Kondisi Lahan Terbuka Sub Urban Kota
V0 (km/jam) 13,2 17,6 19,3
Z0 (mm) 70 1000 2500
Sumber : SNI 1725:2016
Arah angin harus diasumsikan horizontal, kecuali ditentukan dalam Pasal
9.6.3 (SNI 1725-2016). Jika terdapat data yang tidak lengkap, tekanan angin
rencana bisa didapatkan dengan menggunakan rumus seperti dibawah ini:
(
)
Keterangan:
= tekanan angin dasar seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.6
11
Tabel 2.6 - Tekanan angin dasar
Komponen bangunan atas Angin tekan
(Mpa)
Angin hisap
(Mpa)
Rangka, kolom, dan pelengkung 0,0024 0,0012
Balok 0,0024 N/A
Permukaan datar 0,0019 N/A
Sumber : SNI 1725:2016
Gaya total beban angin tidak boleh diambil kurang dari 4,4 kN/mm pada
bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur rangka dan
pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.
Beban dari struktur atas, jika angin yang bekerja tidak tegak lurus
struktur, maka tekanan angin dasar untuk berbagai sudut serang dapat
diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.7 dan harus dikerjakan pada
titik berat dari area yang terkena beban angin. Arah sudut serang ditentukan
tegak lurus terhadap arah longitudinal. Arah angin untuk perencanaan harus
yang menghasilkan pengaruh yang terburuk pada komponen jembatan yang
ditinjau. Tekanan angin melintang dan memanjang harus diterapkan secara
bersamaan dalam perencanaan.
Tabel 2.7 - Tekanan angin dasar ( ) untuk berbagai sudut serang
Sudut
serang
Rangka, kolom, dan
pelengkung Gelagar
Derajat
Beban
lateral
Beban
longitudinal
Beban
lateral
Beban
longitudinal
Mpa Mpa Mpa Mpa
0 0,0036 0,0000 0,0024 0,0000
15 0,0034 0,0006 0,0021 0,0003
30 0,0031 0,0013 0,0020 0,0006
45 0,0023 0,0020 0,0016 0,0008
60 0,0011 0,0024 0,0008 0,0009
Sumber : SNI 1725:2016
12
Gaya angin pada kendaraan ( ), jembatan harus direncanakan
memikul gaya akibat tekanan angin pada kendaraan, dimana tekanan tersebut
harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus
dan bekerja 1800 mm diatas permukaan jalan. Kecuali jika ditentukan didalam
hal ini, jika angin yang bekerja tidak tegak lurus struktur, maka komponen yang
bekerja tegak lurus maupun paralel terhadap kendaraan untuk berbagai sudut
serang dapat diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.8 dimana arah
sudut serang ditentukan tegak lurus terhadap arah permukaan kendaraan.
Tabel 2.8 - Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan
Sudut Komponen tegak lurus Komponen sejajar
derajat N/mm N/mm
0 1,46 0,00
15 1,28 0,18
30 1,20 0,35
45 0,96 0,47
60 0,50 0,55
Sumber : SNI 1725:2016
Tekanan angin vertikal, jembatan harus mampu memikul beban garis
memanjang jembatan yang mempresentasikan gaya angin vertikal ke atas
sebesar 9,6 x MPa dikalikan lebar jembatan, termasuk parapet dan trotoar.
b) Beban Gempa
Beban aksi lingkungan selain beban angin adapun beban gempa. Karena
gempa dapat mengakibatkan kerusakan yang biasa hingga yang signifikan dan
dapat mengganggu pekayanan.
Beban gempa dapat diambil untuk gaya horizontal yang sudah ditentukan
berdasarkan formulasi seperti di bawah ini yakni:
=
x
13
Keterangan:
= gaya gempa horizontal statis (kN)
Csm= koefisien respons gempa elastis
Rd = faktor modifikasi respons
Wt = berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup
yang sesuai (kN)
Nilai koefisien respon elastik (Csm) didapat dari peta percepatan batuan
dasar dan spektra percepatannya disesuaikan dengan daerah gempa dan periode
ulang gempa rencana. Nilai koefisien percepatan yang didapat berdasarkan pada
peta gempa yang dikalikan dengan faktor amplifikasi yang sesuai dengan
keadaan tanah sampai kedalaman 30 m dibawah struktur jembatan.
2.3 Struktur Beton Prategang
2.3.1 Konsep Dasar
Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan besar
(akibat stressing) dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai
batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal (T.Y.Lin, 2000). Pada
beton prategang, baja sebelumnya ditarik terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya
pemanjangan yang berlebihan pada saat pembebanan, sementara beton ditekan
terlebih dahulu untuk mencegah retak-retak akibat tegangan tarik.
Kelebihan dari beton ialah lebih kuat dalam tekan, tapi kelemahannya pada
kondisi tarik. Diantara 8 hingga 14 persen merupakan variasi dari kekuatan tariknya
dari kekuatan tekannya. Dapat diketahui kelemahan dari betonadalah dalam tarik bisa
diatasi dengan memberikan tegangan tekan agar bisa mengimbangi ataupun
mengurangi tegangan tarik yang didapat pada bagian penampang yang diakibatkan
dari beban bekerja.
Dalam hal memberikan tegangan tekan dengan cara memasukan kabel baja
dengan mutu tinggi kedalam beton sebesar gaya prategang yang direncanakan. Pada
14
penampang beton ada yang bisa terjadi tekan diseluruhnya atau hanya sebagian saja
tergantung dari kebutuhan syarat keamanan dan kelayanan.
Aplikasi prategang dapat ditunjukan dengan ilustrasi sebagai berikut.
Gambar 2.3 Ilustrasi aplikasi beton prategang
Menurut T.Y. Lin dan burns (1982), ada tiga konsep yang berbeda yang dapat
dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.
a) Sistem Prategang untuk Mengubah Beton menjadi Bahan yang
Elastis
Konsep ini memerlulakan beton sebagai bahan yang elastis dan
merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah
pemikiran pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah
pemikiran Eugne Freyssint yang memvisualkan beton prategang pada dasarnya
adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan
elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada
bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarikan dan kuat memikul
tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan
tarik. Dari konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton.
Atas dasar pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang
mengalami dua sistem pembebanan yaitu : gaya internal prategang dan beban
eksternal, dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan
tekan akibat gaya prategang. Distribusi tegangan menurut konsep ini dapat
dilihat pada gambar berikut.
15
Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang Eksentris
Dari gambar tersebut dapat dihitung distribusi tegangan yang
dihasilkan yaitu:
.
Dengan :
P = gaya prategang
A = luas penampang
e = jarak pusat tendon terhadap
c.g.c y = jarak dari sumbu yang melalui titik berat
I = momen inersia penampang
b) Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja mutu Tinggi dengan Beton
Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari
baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan
beton menahan desakan. Dengan demikian kedua bahan membentuk tahanan
untuk menahan momen eksternal, sebagaimana ditunjukan pada gambar berikut:
16
Gambar 2.5 Momen Tahanan Internal pada Balok Beton Prategang dan Beton bertulang
Konsep ini mendasari metode perencanaan kuat batas dan juga dapat
dipakai pada keadaan elastis.
c) Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban
Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk
membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini
menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon
dengan gaya-gaya pada beton sepanjang bentang.
Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari
prategang dipandang sebagai kesetimbangan berat sendiri sehingga batang
yang mengalami lenturan seperti pelat, balok, dan gelagar tidak akan
mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Ini
memungkinkan transformasi dari batang lentur menjadi batang yang
mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik
didalam desain maupun analisis dari struktur yang rumit.
Gambar 2.6 Balok Prategang dengan Tendon Parabola
17
Dari gambar diatas yaitu beban yang bekerja yang terdistribusi secara
merata kearah atas dinyatakan dalam :
Dengan :
F = Gaya Prategang
L = Panjang Bentang
h = Tinggi Parabola
2.3.2 Jenis Beton Prategang
Ada dua macam jenis beton prategang, yakni:
a) Sistem Pratarik (Pretension) adalah Metode yang digunakan dalam sistem
prategangnya dimana tendon-tendon ditarik sebelum beton di cor.
b) Sistem Pascatarik (Posttension) adalah Metode yang digunakan dalam
sistem prategang ini dimana kabel ditarik setelah beton mengeras. Metode
bisa digunakan pada elemen-elemen baik beton pracetak (precast) atau
beton yang dicetak di tempat (cast in situ).
2.3.3 Persyaratan Material
Adapun syarat material yang akan digunakan, seperti:
a) Beton
Beton yang akan dipakai dalam membuat elemen struktur beton
prategang harus memiliki kuat tekan tinggi. Ada dua faktor penting dalam
mendesain struktur beton prategang yakni kekuatan dan tahan lama yang
akan dicapai dengan melalui kontrol dan jaminan kualitas pada tahap
produksi.
Dalam studi perencanaan ini menggunakan RSNI T-12-2004 yang
mana untuk struktur prategang mutu beton yang digunakan tidak boleh
kurang dari 30 MPa.
18
b) Tendon Baja Prategang
Jenis tendon baja prategang dapat berupa kawat tunggal, gabungan
kabel yang dipilin membentuk strand, dan tulangan mutu tinggi (high-strand
bar).
Gambar 2.7 starnd (7-wires strand)
Gambar 2.8 High-Strength Bar
19
Tabel 2.9 Jenis Tendon Baja Prategang
Jenis
Material
Nominal
Diameter
(mm)
Luas
(mm²)
Gaya Putus
Minimum
(kN)
Tegangan
Tarik
Minimum, fpes
(Mpa)
Kawat
(wire)
5 19,6 30,4 1550
5 19,6 33,3 1700
7 38,5 65,5 1700
7-wire
strand
super
grade
9,3 54,7 102 1860
12,7 100 184 1860
15,2 143 250 1750
7-wire
strand
regular
grade
12,7 95,3 165 1750
Bar
23 415 450 1080
26 530 570 1080
29 660 710 1080
32 804 870 1080
38 1140 1230 1080
c) Selongsong
Dalam sistem pasca tarik pada selongsong harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
Selongsong untuk tendon baja prategang harus kedap mortar
Tidak reaktif dengan beton, baja prategang, atau bahan grouting
yang akan digunakan
Pada pelaksanaan grouting, selongsong harus memiliki diameter 6 mm
lebih besar dari diameter tendon ataupun harus mempunyai luas minimal 2 kali
luas tendon.
20
d) Angkur
Angkur yang digunkan harus diproduksi oleh fabrikator yang dikenal
dengan jaminan mutu yang sesuai dengan spesifikasi teknik, yang bila perlu
ditentukan dengan pengujian.
e) Penyambung (coupler)
Penyambung (coupler) harus dapat menyalurkan gaya sekurang-
kurangnya dari kuat tarik batas elemen yang dihubung. Penyambung harus
dipasang di area yang disetujui oleh yang berwenang dan dipasang sedemikian
rupa untuk memungkinkan terjadinya gerakan yang diperlukan.
2.4 Beton Prategang Box Girder Segmental
Jembatan box girder adalah salah satu klasifikasi dari jembatan gelagar, yang
mana sebuah jembatan dimana struktur atas jembatan terdiri dari balok-balok
penopang utama yang berbentuk kotak berongga. Box girder biasanya terdiri dari
beberapa elemen seperti beton pratekan, baja struktural, atau komposit baja dan
beton bertulang. Biasanya bentuk penampang dari box girder adalah persegi atau
trapesium. Penampang melintang struktur atas dari box girder pratekan biasanya
bertipe single-cell atau multi-cell. Komponen dasar dari penampang melintang antara
lain:
Gambar 2.9 Penampang melintang single-cell box girder
(Sumber: Post-Tensioned Box Girder Design Manual-2015 Figure 1.4)
21
Gambar 2.10 Penampang melintang multi-cell box girder
(Sumber: Post-Tensioned Box Girder Design Manual-2015 Figure 1.3)
Top slab (Slab atas)
Cantilever wings (Sayap Kantilever)
Webs (Badan), terdapat badan dalam dan badan luar.
Botton slab (Slab bawah)
Penampang melintang multi-cell box girder dapat digunakan untuk berbagai
macam lebar jembatan dengan menvariasikan jarak antara atau tebal badan. Lebar
jembatan untuk single-cell box girder biasanya digunakan untuk rentang 25 ft hingga
60 ft meskipun terdapat jembatan single-cell box girder selebar 80 ft.
Jembatan box girder beton umumnya dipadukan dengan sistem prategang.
Konsep prategang yang digunakan adalah memberikan gaya tarik awal pada tendon
sebagai tulangan tariknya serta memberikan momen perlawanan dari eksentrisitas
yang ada sehingga selalu tercipta tegangan total negative baik serat atas maupun
bawah yang besarnya selalu dibawah kapasitas tekan beton. Struktur akan selalu
bersifat elastis karena beton tidak pernah mencapai tegangan tarik dan tendon tak
pernah mencapai titik plastisnya.
Dalam metode pelaksanaan jembatan box girder sangat kompleks dan variatif,
hal ini disebabkan karena bentuk box girder menjadi satu kesatuan antara plat dan
gelagarnya sehingga berukuran relatif lebih besar. Dalam proses transportasi
22
pengangkutan box girder akan menjadi masalah gelagar tidak dipisah secara
segmental. Segmental artinya pemisahan box girder dengan ukuran tertentu pada
arah memanjang. Pada pelaksanaan konstruksi setiap segmental ini akan di
gabungkan kembali sehingga menjadi kesatuan yang utuh seperti perencanaan awal.
Gambar 2.11 Jembatan Box Girder dan Metode Pelaksanaan Pemasangan Segmen
2.4.1 Desain Perancangan Awal
Dikutip Berdasarkan buku Jembatan dari Bambang Supriyadi, Dimensi box
girder direncanakan dengan batasan rasio tinggi terhadap bentang
<
<
dengan
nilai optimum
-
. Sedangkan elemen-elemen penampang yang lain didesain
sesuai dengan pedoman pemilihan tampang melintang gelagar oleh Podolny & Muller
(1982), yaitu :
1. Lebar jembatan dan jarak web
Lebar jembatan untuk gelagar kotak tunggal tidak lebih dari 12 meter
- Jarak web = 4 - 7,5 meter
- Panjang bagian kantilever : 1/4 lebar gelagar
2. Tebal pada Top Flange
Tabel 2.10 - Tebal minimum pada top flange
Bentang antar web Tebal minimum top flange
Kurang dari 3 m 175 mm
Antara 3 - 4,5 m 200 mm
Antara 4,5 - 7,5 m 250 mm
23
Lebih dari 7,5 m Menggunakan sistem rib atau
hollow
3. Tebal pada Web
Tabel 2.11 - Tebal minimum pada web
Tebal Minimum Keterangan
200 mm Tidak terdapat tendon
250 mm Terdapat duct kecil
300 mm Digunakan strand 12,5 mm
350 mm Tempat pengangkuran
4. Tebal sayap bawah
a. 175 mm, jika duct tidak diletakkan pada sayap
b. 200 - 250 mm, jika duct diletakkan pada sayap
2.5 Metode Pelaksanaan dan Konstruksi Jembatan
Umumnya metode pelaksanaan jembatan beton dapat dibedakan menjadi Cast
in situ (pengecoran di tempat) dan Precast segmental (pengecoran di pabrik).
Disetiap metode pelaksanaan ada beberapa jenisnya seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.12 - Jenis-jenis metode pelaksanaan
Metode konstruksi yang dipilih didalam penulisan ini ialah metode Span by
Span Erection with Launching Gantry. Metode Span by Span merupakan metode
pelaksanaan konstruksi jembatan box girder pracetak, dimana satu bentang
24
dikerjakan sampai selesai, kemudian berlanjut ke bentang berikutnya. Proses tersebut
berulang sampai seluruh bentang jembatan tersambung. Pada metode ini
membutuhkan alat Launching Gantry sebagai penopang utama dalam proses
perpindahan dan pemasangan segmental box girder.
Sistem penarikan tendon dilakukan secara keseluruhan di setiap bentangnya.
Hal ini dilaksanakan dengan cara menggantungkan keseluruhan segemen dengan
menggunakan launching gantry yang sesuai dengan spesifikasi kemudian disamakan
elevasi box girder 3-cell pada ketinggian tertentu. Setelah itu segemen-segmen
jembatan yang telah berada pada elevasi yang sama dirapatkan dan distressing serta
kemudian segemen jembatan yang telah distressing diturunkan pada elevasi renacana
diatas pilar.
Gambar 2.12 – Metode Konstruksi Box Girder Segmental
(Sumber : Jurnal Prof. Dr.-Ing. G. Rombach, 2002)
2.6 Perencanaan dengan Metode Konsep Dasar
Dalam merencanakan elemen-elemen beton prategang adapun dengan
menggunakan metode konsep dasar yang mana tegangan pada serat beton dapat
langsung dihitung dari gaya luar akibat dari prategang longitudinal dan beban luar
transversal.
Gaya prategang yang dibutuhkan dihitung berdasarkan tegangan pada saat
transfer (kondisi awal) dan servis (kondisi akhir).
a) Tahap Transfer (Kondisi Awal)
Tegangan beton di serat atas
(
)
25
Tegangan beton di serat bawah
(
)
b) Tahap Servis (Kondisi Akhir)
Tegangan beton di serat atas
(
)
Tegangan beton di serat bawah
(
)
2.7 Daerah Aman Kabel
Selubung untuk membatasi eksentrisitas tendon pada balok menerus dapat
dibuat dengan cara sama seperti yang dibahas dalam balok sederhana. Perlu
ditetapkan apakah tarik diperkenankan dalam desain untuk membatasi ordinat
maksimum dan minimum dari selubung atas dan bawah relative terhadap kern atas
dan bawah. (Beton Prategang, Edward G. Nawy dan Bambang Suryoatmono)
Gambar 2.13 Daerah Selubung Beton Prategang
Selubung cgs bawah. Lengan minimum dari kopel tendon adalah a
, Pi adalah gaya prategang awal
Formula dari eksentrisitas bawah yang membatasi ialah
eb = (amin + kb)
dimana :
kb adalah batas-batas titik kern = (
)
r2 adalah kuadrat jari - jari girasi
ct adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah atas
W
26
Selubung cgs atas. Lengan maksimum dari kopel tendon adalah
amax =
dimana :
Pe adalah gaya prategang efektif
adalah momen total
Formula dari eksentrisitas bawah yang membatasi ialah
et = (amax+ kt)
dimana :
kt adalahbatas-batas titik kern = (
) ,
r2 adalah kuadrat jari - jari girasi
ct adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah
bawah.
Jika eksentrisitas tambahan eb’ dan et
’ ditambahkan pada selubung garis cgs
yang dapat menghasilkan suatu tegangan tarik terbatas serat beton atas dan bawah,
maka tegangan tambahannya ialah
dan
sehingga eksentrisitas tambahan yang akan ditambahkan adalah
dan
Gambar 2.14 Daerah aman kabel
27
2.8 Lintasan Inti Tendo atau Kabel Baja
Telah dinyatakan pada bagian terdahulu bahwa tata letak kabel diatas dua
perletakan ditentukan oleh penampang-penampang momen maksimum dan
penampang ujung sehingga setelah kedua penampang ini di desain, tata letak kabel
dapat ditentukan dengan pemeriksaan. (Perhitungan Box Girder beton Prestress, M.
Noer Ilham, Ir. MT)
Persamaan lintasan inti tendon : Y = 4*f*X/L2*(L-X) dengan f = es
Gambar 2.15 Lintasan Kabel terhadap Balok Beton
Persamaan sudut angkur, = Atan (dY/dX) dimana Untuk nilai X = 0 (posisi
angkur ditumpuan), maka
=
persamaan masing-masing kabel : Zi = Zi’– 4 * fi
* X/L2 * (L – X) dimana :
Zi = Tinggi lintasan kabel (m) fi
= Tinggi lintasan inti kabel (m)
X = Jarak segmen X (m)
L = Bentang Jembatan (m)
2.9 Kehilangan Gaya Prategang
Dalam menganalisis dan mendesain beton prategang untuk menentukan
tegangan-tegangan efektif dari tendon prategang, pada buku Ty Lin dan Ned H Burn
tahun 1988 disebutkan terdapat dua langkah yang biasa diperiksa agar mengetahui
tegangan dan perilaku pada tendon prategang yang akan terjadi, yaitu:
a) Pada langkah pertama yang perlu ditinjau ada tiga macam seperti:
Perpendekan Elastis Beton (ES)
Friksi (FR)
28
Pengangkuran (ANC)
b) Pada langkah kedua yang perlu ditinjau ada tiga macam seperti:
Rangkak Beton (CR)
Susut Beton (SH)
Relaksasi Baja (RE)
2.9.1 Kehilangan akibat Perpendekan Elastis Beton
Berikut adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung perpendekan
elastis beton pasca-tarik dengan memperhitungkan penarikan yang berturut-turut:
ES = 0,5. Es .
Dimana,
0,5 = komponen struktur pasca-tarik
1,0 = komponen pratarik menggunakan
Es = nilai modulus elastis tendon prategang
= modulus elastis beton pada saat prategang awal
2.9.2 Kehilanagan Gaya Prategang Akibat Friksi
Dalam perhitungan kehilangan gaya prategang akibat gesekan, ditemukan ada
dua pengaruh yang perlu dipertimbangkan, yakni dari pengaruh kelengkungan dan
pengaruh wobble. Pada pengaruh pertama seperti kelengkungan dapat ditetapkan
utama dahulu, dan pengaruh kedua seperti wobble ialah hasil dari penyimpangan
alinyemen yang tidak sengaja atau tidak dapat dihindari karena saluran tidak dapat
ditempatkan secara sempurna (Nawy, 2001).
Adapun koefisien-koefisien gesekan pada tendon-tendon pasca-tarik pada tabel
dibawah ini dari peraturan ACI.
29
Tabel 2.13- Koefisien Gesek Tendon Pasca-Tarik
Tipe Tendon
Koefisien
Wobble K tiap
meter
Koefisien
Kelengkungan
μ
Tendob pada selubung logam fleksibel
Tendon kawat 0,0033 - 0,0049 0,15 - 0,25
Strand dengan
untaian 7-kawat 0,0016 - 0,0066 0,15 - 0,25
Batang baja mutu-
tinggi 0,0003 - 0,0020 0,08 - 0,30
Tendon pada selubung logam
Strand dengan
untaian 7-kawat 0,0007 0,15 - 0,25
Tendon yang diminyaki terlebih dahulu
Tendon kawat dan
strand denfan
untaian 7-kawat
0,001 - 0,0066 0,05 - 0,15
Tendon yang diberi
lapisan mastik
Tendon kawat dan
strand denfan
untaian 7-kawat
0,0033 - 0,0066 0,05 - 0,15
Sumber: Nawy dan Bambang, 2001
Adapun persamaan untuk mengitung kehilangan ini yakni:
=
2.9.3 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Pengangkuran
Pada kehilangan gaya prategang terjadi akibat pengangkuran pada saat sistem
pasca-tarik mungkin bisa terjadi dikarenakan terdapat kabel tendon yang licin dan
keras yang tidak segera dicengkeram oleh baja sebelum menggelincir sehingga
terjadinya variasi dari gaya prategang.
30
Adapun formula secara umu dalam perhitungan ini yakni:
dimana:
adalah besar gelincir
Eps adalah modulus kawat prategang
L adalah panjang tendon
2.9.4 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Rangkak pada Beton
Kehilangan akibat rangkak bisa terjadi dari beban yang bekerja terus ketika
waktu pembebanan dalam suatu elemen struktural.
Rumus umum yang digunakan untuk menghitung kehilangan energi akibat
rangkak beton dengan tendon terekat adalah
CR =
dimana:
= 2,0 untuk komponen struktur pratarik
= 1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik
= tegangan tendon pada titik berat tendon akibat seluruh beban
mati yang bekerja pada komponen struktur setelah diberi
gaya prategang
= tegangan di beton pada level pusat berat baja segera setelah
transfer
= nilai modulus elastis tendon prategang
= nilai modulus beton umur 28 hari, sesuai fc'
2.9.5 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Susut
Mengenai perhitungan besar susutnya, ialah memperhitungkan satu-satunya
faktor kehilangan ini diliat pada tabel dibawah ini:
31
Tabel 2.14 - Koefisien untuk komponen pasca-tarik
Jangka waktu setelah
perawatan basa sampai
pada penerapan
prategang, (hari)
1 3 5 7 10 20 30 60
Ksh 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45
(Sumber: Ly Tin dan Ned H Burn, 1988)
dengan persmaan,
SH = 8,2 x (1 - 0,06
) (100 - RH)
dimana:
= Nilai koefisien untuk komponen struktur pratarik 1,0
= Nilai koefisien untuk komponen struktur pasca-tarik ada pada
tabel
= Modulus elastis beton
= Perbandingan volume terhadap permukaan
RH = Kelembaban relatif
2.9.6 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Relaksasi Baja
Faktor kehilangan prategang yang lainnya adalah Relaksasi pada baja yang
besarnya tergantung waktu, akibat perpendekan elastis, CR dan SH. Sehingga adanya
pengurangan yang secara kontinue pada tegangan tendon yang dapat menyebabkan
kehilangan gaya prategang akibat relaksasi berkurang. Adapun faktor yang digunakan
seperti:
Tabel 2.15 - Nilai-nilai C
fp / fpu Kawat atau strand
stress-relieved
Kawat atau strand relaksasi
rendah atau batang stress-
relieved
0,80 1,28
0,79 1,22
32
0,78 1,16
0,77 1,11
0,76 1,05
0,75 1,45 1,00
0,74 1,36 0,95
0,73 1,27 0,90
0,72 1,18 0,85
0,71 1,09 0,80
0,70 1,00 0,75
0,69 0,94 0,70
0,68 0,89 0,66
0,67 0,83 0,61
0,66 0,78 0,57
0,65 0,73 0,53
0,64 0,68 0,49
0,63 0,63 0,45
0,62 0,58 0,41
0,61 0,53 0,37
0,60 0,49 0,33
(Sumber: Beton Prategang, Nawy 2001)
Tabel 2.16 - Nilai-nilai dan J
Jenis Tendon (Berdasarkan ASTM A416-74,
ASTM A421-76 atau ASTM A722-75) KRE J
Kawat atau stress-relived strand mutu 270 20000 0,15
Kawat atau stress-relived strand mutu 250 18500 0,14
Kawat atau stress-relived strand mutu 240 atau
235 17600 0,13
Strand relaksasi rendah mutu 270 5000 0,040
Strand relaksasi rendah mutu 250 4630 0,037
Strand relaksasi rendah mutu 240 atau 235 4400 0,035
Batang stress-relieved mutu 145 atau 160 6000 0,05
(Sumber: Beton Prategang, Nawy 2001)
33
Persmaan untuk kehilangan prategang akibat relaksasi baja:
RE = [ ]
Formula diatas adalah metode dari ACI - ASCE dengan menggunakan
kontribusi terpisah antara perpendekan elastis, rangkak dan susut.
(Nawy,2001)
2.9.7 Kehilangan Akibat Pengaruh Lain
Adapun kehialangan akibat pengaruh lain tergantung dari jenis dan
kepentingan struktur beton prategangnya, untuk faktor kehilangan seketika seperti:
a) Perubahan suhu antara saat penegangan tendon dan saat pengecoran
beton
b) Deformasi pada sambungan struktur pracetak
c) Relaksasi tendon sebelum transfer
d) Deformasi acuan pada komponen pracetak
e) Perbedaan suhu antara tendon yang ditegangkan dan struktur yang
diprategang selama perawatan pemanasan beton.
Bilamana perlu juga diperhitungkan kehilangan tergantung waktu yang mana
penyebabnya seperti:
a) Deformasi pada sambungan struktur pracetak yang dipasang pada
penampang
b) Pengaruh penambahan rangkak yang disebabkan oleh beban
berulang yang sering terjadi.
2.10 Perencanaan End Block
Pemusatan tegangan tekan yang besar dalam arah longitudinal terjadi di
penampang tumpuan pada segmen kecil di muka ujung balok, baik balok pratarik
maupun pada balok pascatarik, akibat dari gaya prategang yang besar. Peningkatan
luas tidak berkontribusi dalam mencegah retak spalling dan bursting, dan tidak
mempunyai pengaruh pada pengurangan tarik transversal di beton.
34
Gambar 2.16– Transisi Daerah Solid ke Tumpuan
( Sumber: Nawy, 2001)
Gambar 2.17– Zona Ujung, Retak Bursting dan Retak Spalling
( Sumber: Nawy, 2001)
Dengan demikian, perkuatan pengangkeran sangat dibutuhkan di daerah
transfer beban dalam bentuk tulangan tertutup, sengkang, atau alat – alat
penjangkaran yang menutupi semua prategang utama dan penulangan.
Pemusatan tegangan tekan yang besar dalam arah longitudinal terjadi di
penampang tumpuan pada segmen kecil di muka ujung balok, baik balok
pratarik maupun pada balok pascatarik, akibat dari gaya prategang yang besar.
Peningkatan luas tidak berkontribusi dalam mencegah retak spalling dan
bursting, dan tidak mempunyai pengaruh pada pengurangan tarik transversal di
beton. Dalam perencanaaan end block digunakan metode perbandingan rasio
perbandingan plat angkur untuk sengkang karena metode ini lebih cocok untuk
35
penampang box girder karena memiliki luasan daerah end block yang kecil.
(Perhitungan Box Girder beton Prestress, M. Noer Ilham, Ir. MT)
Rasio perbandingan lebar plat angkur untuk sengkang arah vertikal ra = a1/a
Rasio perbandingan lebar plat angkur untuk sengkang arah horizontal rb=b1/b
Bursting force untuk sengkang arah vertikal Pbta = 0,30x(1-ra)xPj
Bursting force untuk sengkang arah horizontal Pbtb = 0,30x(1-rb)xPj
Luas tulangan sengkang arah vertikal yang diperlukan Ara = Pbta/(0,85xfs)
Luas tulangan sengkang arah horizontal yang diperlukan Arb = Pbtb/(0,85xfs)
Jumlah sengkang arah vertikal yang diperlukan n = Ara/As
Jumlah sengkang arah horizontal yang diperlukan n = Arb/As
2.11 Perencanaan Penulangan Geser
2.11.1 Kuat Geser
Dalam merencanakan pada geser, pada penentuan kuat geser beton (Vc) akan
dipilih hasil nilai terkecil dari Vci dan Vcw.
Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan kuat geser lentur (Vci)
yakni:
Vci =
√ x x ) + +
( .....(Sumber: 021/BM/2011)
Nilai V dari persamaan diatas merupakan gaya terfaktor Vi di
penampang yang ditinjau akibat beban eksternal yang terjadi secara
simultan dengan momen maksimum (Mmax) yang terjadi di penampang
tersebut, sedangkan pada suku kedua , yaitu momen akibat yang terjadi
retak akibat lentur. (Ty Lin dan Ned H Burn, 1998) sehingga,
√
dimana,
36
fc' = kekuatan silinder beton yang ditentukan
bw = lebar badan
dp = tinggi efektif atau dp = 0,85 h. atau manapun yang
lebih besar
Vd = gaya geser di penampang akibat berat sendiri (faktor
pembebanan = 1,0)
Vi = gaya terfaktor di penampang akibat beban eksternal
yang terjadi secara simultan dengan Mmaks
Mcr = momen retak
fce = tegangan tekan beton akibat tekanan efektif sesudah
terjadinya kehilangan pada serat ekstrim penampang
dimana ditentukan oleh beban eksternal
fd = tegangan akibat beban mati tak terfaktor di serat beton
ekstrim dimana tarik ditimbulkan oleh beban eksternal
2.11.2 Kuat Geser Badan (Vcw)
Rumus yang digunakan dalam menghitung kuat geser badan (Vcw) yakni:
Vcw = ( 0,3 √ ̅̅ ̅̅ ̅ ) . + Vp.. ...(Sumber: 021/BM/2011)
dimana, fpc = tegangan tekan akibat gaya prategang
Vp = komponen vertical gaya prategang di penampang
= Pe tan θ, dimana θ adalah sudut antara tendon miring
dan horisontal
37
2.11.3 Jarak Sengkang
Gambar 2.18-Sengkang vertikal
(Sumber: Nawy,2001)
Untuk setiap retak bisa dipikul oleh sengkang vertical, maka ada
pembatasan dari jarak minimum untuk sengkang vertical seperti:
Smaks ≤ 0,74 h ≤ 610 mm., h adalah tinggi total penampang
Jika Vs > 4λ √ bw dp, jarak sengkang s adalah setengah dari jarak
yang dibutuhkan. s =
Jika Vs > 8λ √ bw dp, perbesar penampang
Jika Vu = ɸVn > ½ ɸVc, luas minimum tulangan geser harus digunakan
Luas ini dapat dihitung dengan persamaan berikut
Av =
38
Gambar 2.19-Jarak Tulangan Badan
(Sumber: Nawy,2001)
Bila hasil nilai dari gaya prategang efektif (fpe) < 40% kekuatan tarik dari
penulangan akibat lentur, adapun rumus Av minimum dalam satuan inc² yakni:
2.12 Perencanaan Sambungan antar Segmen
Perencanaan sambungan pada box girder dilakukan karena tipikal penampang
yang dipisah sesuai dengan segmen yang direncanakan untuk mempermudah
pelaksanaan dilapangan. Oleh karena itu perlu di desain bentuk sambungan yang
tepat untuk sambungan antar segmen box girder.
Box yang girder yang dipasang secara segmental rentan terjadi geser antar titik
sambung (joint). Oleh karena itu perlu didesain kuncian antar segmen sehingga
mencegah terjadinya geser tersebut. Pengunci geser antar segmen (shear key)
didesain dengan menggunakan tipikal sambungan kering (dry joint) maupun
sambungan basah (wet joint). Dimana pada sambungan kering murni kekuatan geser
disumbangkan oleh pengunci segmen, sedangkan pada sambungan basah ditambah
bahan perekat (lem).
39
Gambar 2.20- Jenis Konfigurasi Shear Key (a) Male-Female (b) Female-Female (c) Dapped (d)
Flat (e) Mechanical
2.13 Lendutan pada Jembatan
Pada saat kondisi transfer yaitu kondisi dimana gaya prategang dilakukan
secara penuh tetapi beban belum maksimum sehingga gaya prategang
mengakibatkan lendutan ke atas (camber) sedangkan pada saat kondisi servis atau
layan dimana beban menjadi maksimum sehingga lendutan menjadi kebawah atau
tidak ada lendutan sama sekali. Hal ini yang sangat mengkhawatirkan untuk
struktur sehingga harus di analisa dan dikontrol dengan lendutan ijin yang sudah
ditetapkan.
a) Lendutan camber akibat prategang
a = .........(Sumber: 021/BM/2011)
b) Lendutan akibat beban mati dan hidup merata
∆ = .........(Sumber: 021/BM/2011)
- Beban merata sepanjang jembatan
Q = 8 x