bab ii tinjauan pustaka 2.1 anatomi dan fisiologi tulang...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang (Columna Vertebralis)
Tulang belakang secara medis dikenal sebagai columna vertebralis (Jayson,
2002). Punggung terdiri dari aspek posterior batang tubuh, di sebelah inferior leher
dan superior bokong (L. nates). Punggung merupakan regio tubuh yang menjadi
tempat perlekatan kepala, leher, dan ekstremitas. Punggung meliputi:
Kulit dan jaringan subkutan.
Otot: lapisan superfisial, terutama dihubungkan dengan posisi dan
pergerakan ekstremitas, dan lapisan yang lebih dalam (“otot punggung
sejati”), secara spesifik duhubungkan dengan pergerakan atau untuk
mempertahankan posisi tulang rangka aksial (postur).
Columna vertebralis: vertebra, discus intervertebralis (IV), dan ligament-
ligamen terkait.
Costa (di regio toraks): terutama bagian posteriornya, di sebelah medial
angulus costae.
Medulla spinalis dan meninges (membrane yang melapisi medulla
spinalis).
Berbagai saraf dan pembuluh darah segmental (Keith & Arthur, 2013).
Vertebra dan discus IV secara berasama-sama menyusun columna vertebralis
(vertebra), yang memanjang dari cranium (tulang tengkorak) sampai apex coccyx.
Columna vertebralis membentuk tulang rangka leher dan punggung dan merupakan
6
bagian utama tulang rangka aksial (yaitu, artikulasi tulang-tulang cranium, columna
vertebralis, costa, dan sternum). Columna vertebralis dewasa memiliki panjang 72-75
cm, sekitar sperempatnya terbentuk oleh discus IV, yang memisahkan dan mengikat
vertebra bersama-sama.Fungsi columna vertebralis:
Melindungi medulla spinalis dan nervi spinales.
Menopang berat badan tubuh di sebelah posterior terhadap pelvis.
Memberikan aksis fleksibel dan kaku sebagian untuk tubuh dan dasar
yang diperluas untuk tempat kepala dan pusat perputaran.
Berperan penting pada postur dan lokomasi (gerakan dari satu tempat ke
tempat lain) (Keith & Arthur, 2013).
(Keith & Arthur, 2013)
Gambar. 2.1
Columna Vertebralis dan Canalis Vertebralis dengan Lima Regio
Tulang belakang adalah struktur yang kompleks, yang terbagi menjadi bagian
anterior dan posterior. Tulang belakang terdiri dati korpus vertebra, dihubungkan oleh
diskus intervertebralis, dan dilekatkan oleh ligamentum longitudinal anterior dan
7
posterior. Bagian posterior lebih lunak dan terdiri dari pedikulus dan lamina yang
membentuk kanalis spinalis. Bagian posterior dihubungkan satu sama lain oleh sendi
facet (disebut juga sendi apofisial atau zygoapofisial) superior dan inferior (Ropper,
2005).
Normalnya ukuran dan ciri khas vertebra bervariasi untuk setiap regio
columna vertebralis, bahkan sampai tingkat yang lebih rendah di dalam setiap regio;
namun dasarnyasama. Vertebra tipikal terdiri dari corpus vertebrae, arcus vertebralis,
dan tujuh pocessus (Keith & Arthur, 2013).
Corpus vertebrae, merupakan bagian anterior tulang yang lebih masif, secara
kasar berbentuk silindris, yang memberi kekuatan pada columna vertebralis dan
menopang berat tubuh. Ukuran corpus vertebrae meningkat seiring turunnya
columna, paling jelas dari T4 di sebelah inferior, dan masing-masing menahan berat
tubuh yang secara progresif lebih besar. Corpus vertebrae terdiri dari tulang vaskular,
trabekular (spongiosa, kanselosa) yang dilapisi oleh lapisan luar tipis tulang
kompakta. Tulang trabekular adalah suatu jejaring yang terdiri dari sebagian besar
trabekula horizontal pendek. Celah trabekula-trabekula tersebut diisi oleh sumsum
merah yang merupakan jaringan hematopoetik (pembentuk darah) yang paling aktif
pada orang dewasa. Satu atau lebih foramina besar pada permukaan posterior corpus
mangakomodasi vena basivertebralis yang mendrainase sumsum (Keith & Arthur,
2013).
8
Arcus vertebrae terletak di sebelah posterior corpus vertebrae dan terdiri dair
dua (kanan dan kiri) pediculus dan lamina. Pediculus adalah suatu proses silindris
pendek dan kuat yang berproyeksi ke posterior dari corpus vertebrae untuk bertemu
dua lempeng tulang yang lebar dan rata yang disebut lamina, yang menyatu di garis
tengah. Arcus vertebralis dan permukaan posterior corpus vertebrae membentuk
dinding foramen vertebralis (canalis spinalis), yang berisi medulla spinalis dan radix
nervi spinales yang keluar darinya, bersamaan dengan membran (meninges), lemak,
dan pembuluh darah yang mengelilingi dan menyertainya. Incisura vertebralis adalah
identasi yang diobservasi pada pandangan lateral vertebra superior dan inferior
terhadap setiap pediculus di antara processus articularis superior dan inferior di
posterior dan projeksi berhubungan corpus di anterior. Incisura vertebralis superior
dan inferior dari vertebrae yang berdekatan dan discus IV yang menghubungkannya
membentuk foramen intervertebrale, tempat ganglia spinalis (radix posterior) dan
tempat keluar nervi spinales dari columna vertebralis dengan pembuluh darah
penyertanya (Keith & Arthur, 2013).
Tujuh processus berasal dari arcus vertebralis pada suatu vertebra tipikal:
Satu processus spinosus mediana yang berproyeksi ke posterior (dan
biasanya inferior, tumpeng tindih dengan vertebra di bawahnya) dari
arcus vertebralis pada taut lamina.
Dua processus transversus yang berproyeksi ke posterolateral dari taut
pediculus dan lamina.
9
Empat processus articularis (dua superior dan dua inferior) juga berasal
dari taut pediculus dan lamina, masing-masing menahan permukaan
articular (facies) (Keith & Arthur, 2013).
Tiga processus pertama, satu processus spinosus dan dua transversus,
memberikan perlekatan untuk otot punggung dalam dan berperan sebagai pengungkit,
yang mempermudah otot yang memfiksasi atau mengubah posisi vertebra. Empat
processus yang terakhir (articularis) berada dalam aposisi dengan processus yang
berhubungan pada vertebra yang berdekatan (superior dan inferior) dengannya,
membentuk articulation (facies) zygapophysialis. Melalui partisipasinya pada
persendian tersebut, processus menentukan jenis gerakan yang memungkinkan dan
tertahan di antara vertebra yang berdekatan di setiap regio. Processus articularis juga
membantu menjaga agar vertebra yang berdekatan tetap sejajar, terutama mencegah
satu vertebra tergelinci di anterior pada vertebra di bawahnya. Secara umum,
processus articularis hanya menahan berat tubuh sementara, misalnya ketika
seseorang berdiri dari posisi fleksi, dan secara unilateral bila vertebrae cervicales
difleksikan maksimal ke lateral. Namun, processus articularis inferior vertebra L5
menahan berat tubuh meskipun tubuh dalam posisi tegak (Keith & Arthur, 2013).
10
(Keith & Arthur, 2013)
Gambar. 2.2
Vertebrae Tipikal
(Keith & Arthur, 2013)
Gambar 2.3
Bagian Internal Corpus Vertebrae dan Canalis Vertebralis
11
Stabilitas tulang belakang tergantung dari integritas korpus vertebrae, diskus
intervertebralis dan struktur penunjang yakni otot dan ligament. Meskipun ligamen
yang menopang tulang belakang sangat kuat, stabilitas tulang belakang tetap
dipengaruhi aktivitas refleks maupun volunter dari otot sacrospinalis, abdomen,
gluteus maximus, dan otot hamstring (Kopper, 2005).
2.2 Low Back Pain (LBP)
2.2.1 Definisi
Menurut Kravitz (2009) Low Back Pain (LBP) atau yang biasa disebut Nyeri
Punggung Bawah(NPB) mengacu pada nyeri di daerah lumbosakral tulang belakang
meliputi jarak dari vertebra lumbar pertama ke tulang vertebra sacral pertama. Ini
adalah area tulang belakang dimana bentuk kurva lordotic. Bagian vertebrae yang
paling sering menyebabkan nyeri pinggang adalah di segmen lumbal 4 dan 5
(Donelly et al, 2009).
(Advance Spine Care, 2010)
Gambar 2.4
Low Back Pain (LBP)
12
Nyeri punggung bukan merupakan penyakit tersendiri. Nyeri punggung
merupakan sekumpulan gejala yang menandakan bahwa terdapat sesuatu yang salah.
Nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila
mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh. Nyeri dapat terasa panas, gemetar,
kesemutan seperti terbakar, tertusuk, atau ditikam. Nyeri menjadi suatu masalah bila
nyeri mempengaruhi kita dalam menjalani hidup. Hal ini bisa terjadi karena nyeri
berlangsung dalam waktu lama atau menjadi kronik. Nyeri juga dideskripsikan dalam
hal berapa lama nyeri itu berlangsung. Nyeri akut atau singkat merupakan nyeri yang
terjadi selama lebih dari 2 bulan (Bull & Archad, 2007).
Sebagian besar nyeri punggung merupakan nyeri punggung sederhana atau
sakit punggung, yaitu nyeri yang berkaitan dengan bagaimana tulang, ligamen, dan
otot punggung bekerja. Nyeri ini biasanya merupakan nyeri yang terjadi sebagai
akibat gerakan mengangkat, membungkuk, atau mengejan. Nyeri dirasakan hilang
timbul, paling sering terjadi pada punggung bawah, dan biasanya tidak menandakan
kerusakaan permanen apapun. Beberapa nyeri punggung terkait dengan nyeri akar
saraf. Nyeri ini sangat jarang dibandingkan dengan nyeri punggung sederhana. Nyeri
akar saraf biasanya disebabkan oleh tekanan pada pangkal saraf sumsum tulang
belakang. Diskus yang mengalami herniasi (tergelincir) merupakan satu penyebab
nyeri akar saraf (Bull & Archad, 2007).
13
2.2.2 Etiologi
1. Faktor Mekanik
a. Degenerasi segmen diskus, misalnya osteoarthritis tulang belakang
atau stenosis tulang belakang.
b. Nyeri diskogenik tanpa gejala radicular.
c. Radikulopati structural.
d. Fraktur vertebra segmen atau oseus.
e. Spondilosis, disertai atau tanpa adanya stenosis kanal spinal.
f. Makro dan mikro ketidakstabilan spina atau ketidakstabilan ligament
lumbosacral dan kelemahan otot.
g. Ketidaksamaan panjang otot.
h. Lansia (perubahan struktur tulang belakang).
2. Faktor Non Mekanik
a. Sindrom neurologis:
1) mielopati atau myelitis structural;
2) pleksopati lumosakral (regangan) lumbosacral akut;
3) miopati;
4) spinal segmental atau distonia umum;
b. Gangguan sistemik:
1) primer atau neoplasma metastasis;
2) infeksi oseus, diskus, atau epidural;
3) penyakit metabolik tulang, termasuk osteoporosis.
14
c. Nyeri kiriman (referred pain):
1) gangguan ginjal, gangguan gastrointestinal, masalah pelvis, tumor
retroperineal, aneurisma abdominal;
2) masalah psikomatik.
Kebanyakan LBP terjadi akibat gangguan musculoskeletal dan diperberat oleh
aktivitas. Obesitas, stress, dan terkadang depresi juga dapat mengakibatkan LBP.
Pasien dengan LBP kronik biasanya mengalami ketergantungan terhadap beberapa
jenis analgesik (Zairin, N.H., 2012).
2.2.3 Patofisiologi
Konstruksi punggung yang unik memungkinkan terjadinya fleksibilitas dan
memberikan perlindungan terhadap sumsum tulang belakang. Otot-otot abdominal
berperan pada aktivitas mengangkat beban dan saran pendukung tulang belakang.
Adanya obesitas, masalah struktur, dan peregangan berlebihan pada sarana
pendukung ini akan berakibat pada nyeri punggung. Adanya perubahan degenerasi
diskus intervertebralis akibat usia menjadi fibrokartilago yang padat dan tidak teratur
merupakan penyebab nyeri punggung biasa, dimana L4-L5 dan L5-S1 menderita
stress mekanis dan menekan sepanjang akar saraf tersebut (Zairin Noor H., 2012).
2.2.4 Faktor Resiko
Beberapa penelitian melaporkan faktor resiko LBP di negara barat antara lain
adalah usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, bekerja penuh waktu, body mass
index (BMI), lama bekerja, frekuensi mengangkat beban berat, beban kerja, dan
dukungan sosial yang rendah (Patrianingrum dkk., 2015).
15
1. Usia
Tinggi tubuh manusia terus bertambah mulai dari lahir hingga usia sekitar
20-25 tahun. Usia saat berhentinya pertumbuhan pada perempuan lebih dini
daripada laki-laki. Berbeda dengan tinggi tubuh, dimensi tubuh yang lain,
seperti bobot badan dan lingkar perut mungkin tetap bertambah hingga usia 60
tahun. Pada tahap usia lanjut, dapat terjadi perubahan bentuk tulang seperti
bungkuk pada tulang punggung, terutama pada perempuan (Iridiastadi&
Yassierli, 2014).
Pada usia 50-60 tahun mengalami penurunan ketahanan otot mencapai
25%, kemampuan sensoris menurun sekitar 60%. Pertambahan usia akan
diikuti oleh penurunan VO2, ketajaman pengelihatan, pendengaran kecepatan
pembedaan, pembuatan keputusan dan mengingat jangka pendek (Kuswana,
2014).
Konsekuensinya pada pekerja yang telah berusia 50-60 tahunan, dalam
menghadapi pekerjaan rutinnya akan mengalami penurunan kerja, apabila
tidak diimbangi dengan pemeliharaan ketubuhan dan mental secara teratur dan
berkesinambungan, terlebih bagi pekerja yang telah mengalami cedera yang
terjadi pada masa lalu atau trauma tertentu dalam pekerjaannya (Kuswana,
2014).
2. Jenis Kelamin
Jenis pekerjaan tertentu, harus mempertimbangkan jenis kelamin, seperti
menyangkut pekerjaan yang membutuhkan kegiatan fisik baik langsung
maupun tidak langsung (lingkungan). Kekuatan fisik wanita 2/3 dari kekuatan
16
otot laki-laki, dan VO2 mak 15-30% lebih rendah dari laki-laki. Presentase
lemak wanita lebih banyak dari laki-laki dan kadar Hb darah lebih rendah dari
laki-laki. Tenaga aerobic maksimum wanita 2,4 L/menit dan laki-laki 3,0
L/menit. Akan tetapi, dalam hal ketelitian dan ketahanan bekerja pada tempat
yang dingin, wanita lebih kuat disbandingkan laki-laki (Kuswana, 2014).
Hubungan kekuatan otot dengan jenis kelamin dan usia dapat ditunjukkan
pada grafik sebagai berikut.
(Kuswana, 2014)
Gambar 2.5
Grafik Hubungan Kekuatan Otot, Jenis Kelamin dan Usia
3. Perokok
Boshuizen et al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan keluhan otot. Kebiasaan merokok akan dapat
menurunkan kapasitas paru-paru yang diakibatkan adanya kandungan
karbonmonoksida sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen
17
menurun dan sebagai akibatnya tingkat kesegaran menurun. Apabila yanag
bersangkutan melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga maka akan
mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran
karbohidrat terhambat, terjadi penumpukan asam laktat, dan akhirnya timbul
nyeri otot (Tarwaka, 2004).
4. Posisi Kerja (postural stress)
Posisi netral (duduk dan berdiri secara normal) merupakan kondisi yang
paling alamiah untuk bekerja, dengan usaha otot dan tekanan pada sendi,
tendon, dan ligament yang paling minimum. Namun sayangnya, banyak
pekerjaan yang memaksa pekerjanya dengan posisi bungkuk, jongkok, atau
sikap kerja dengan pergelangan tangan menekuk, leher mendongak, dan lain-
lain. Sikap-sikap kerja yang melelahkan inilah yang sering menjadi keluhan
pekerja. Dalam jangka panjang, sikap kerja tersebut sangat beresiko
berdampak pada gangguan sistem otot-rangka (Iridiastadi & Yassierli, 2014).
Beberapa jenis pekerjaan ada yang harus dilayani oleh pekerja sambil
duduk, seperti juru tik, pekerjaan di laboratorium, tukang jahit manual atau
bertenaga motor listrik (garment), pengedit film, sopir, dan sebagainya.
Meskipun pelayanan dilakukan sama-sama sambal duduk, masing-masing
memiliki bobot yang berbeda baik dilihat dari faktor tuntutan intelektual,
persepsi tenaga (Kuswana, 2014).
Ditinjau dari aspek kesehatan, bekerja pada posisi duduk yang
memerlukanwaktu lama dapat menimbulkan otot perut semakin elastis, tulang
belakang melengkung, otot bagian mata terkonsentrasi sehingga cepat merasa
18
lelah. Kejadian tersebut, jika tidak diimbangi dengan rancangan tempat duduk
yang tidak memberikan keleluasaan gerak atau alih pandang yang memadai
tidak menutup kemungkinan terjadi gangguan bagian punggung belakang,
ginjal, dan mata (Kuswana, 2014).
5. Lama Kerja
Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam.
Sisanya (16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga atau
masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih
dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan
biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk
timbulnya kelelahan, penyakit, dan kecelakaan. Dalam seminggu biasanya
seseorang dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Lebih dari itu terlihat
kecenderungan untuk timbulnya hal-hal negatif. Makin panjang waktu kerja,
makin besar kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Jumlah 40
jam kerja seminggu ini dapat dibuat 5 atau 6 hari kerja tergantung kepada
berbagai faktor (Suma’mur, 2009).
Maksimum waktu kerja tambahan yang masih efisien adalah 30 menit,
sedangkan diantara waktu kerja harus disediakan istirahat yang jumlahnya
antara 15-30% dari seluruh waktu kerja. Apabila jam kerja melebihi dari
ketentuan tersebut akan ditemukan hal-hal seperti penurunan kecepatan kerja,
gangguan kesehatan, angka absensi karena sakit meningkat, yang dapat
mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas kerja (Tarwaka dkk, 2004).
19
6. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Pengaruh IMT terutama dalam posisi berdiri, duduk, dan berjalan dapat
mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan komplikasi
pada bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum, coxa
valgum dan sebagainya. Beberapa pekerjaan yang mengharuskan berdiri dan
duduk dalam waktu yang lama juga dapat mengakibatkan terjadinya LBP
(Klooch, 2006 dalam Shocker, 2008). Kehamilan dan obesitas merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya LBP akibat pengaruh gaya
berat tubuh. Hal ini disebabkan terjadinya penekanan pada tulang belakang
akibat penumpukan lemak, kelainan postur tubuh dan kelemahan otot
(Bimariotejo, 2009).
7. Getaran
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Per.13/Men/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika
dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, getaran adalah gerakan yang teratur dari
benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangan.
Getaran adalah suatu gerak bolak-balik di sekitar kesetimbangan.
Kesetimbangan di sini maksudnya adalah keadaan di mana di suatu benda
berada pada posisi diam jika tidak ada gaya yang bekerja pada benda tersebut
(Kuswana, 2014).
Getaran yang dialami pekerja secara terus-menerus dapat berdampak
pada kerusakan jaringan dan organ tubuh. Dampak dari faktor risiko ini
ditentukan oleh frekuensi getaran dan lamanya paparan getaran yang dialami.
20
Hasil studi kami baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak sopir alat-alat
berat tambang yang mengalami gangguan nyeri punggung yang diakibatkan
oleh paparan getaran (whole body vibration) saat mengemudi (Iridiastadi &
Yassierli, 2014).
2.2.5 Klasifikasi
Nyeri punggung bawah disebabkan oleh berbagai kelainan atau perubahan
patologik yang mengenai berbagai macam organ atau jaringan tubuh. Oleh karena itu
beberapa ahli membuat klasifikasi yang berbeda atas dasar kelainannya atau jaringan
yang mengalami kelainan tersebut. Dalam hal ini yang penting adalah bagaimana kita
dapat memanfaatkan masing-masing klasifikasi tadi untuk memahami segala masalah
yang berkaitan dengan LBP. Macnab menyusun klasifikasi LBP sebagai berikut (a)
vasogenik, (b) neurogenic, (c) vaskulogenik, (d) psikogenik, (e) spondilogenik
(Harsono, 2009).
Menurut Bimariotejo (2009), berdasarkan perjalanan klinisnya LBP terbagi
menjadi dua jenis, yaitu:
a) Acute Low Back Pain
Acute Low Back Pain ditandai dengan rasa nyeri yang menyerang secara
tiba-tiba dan rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai
hari beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute Low
Back Pain dapat disebabkan karena luka traumatic seperti kecelakaan mobil
atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain
dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligament, dan tendon. Pada
kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal
21
dapat masih sembuh sendiri. Pada saat ini pemeriksaan awal nyeri pinggang
akut terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesic (Bimariotejo, 2009).
b) Chronic Low Back Pain
Rasa nyeri pada chronic Low Back Pain bisa menyerang lebih dari 3
bulan. Rasa nyeri ini dapat berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini
biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama.
Chronic Low Back Pain dapat terjadi karena osteoarthritis,
rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus invertebralis dan tumor
(Bimariotejo, 2009).
Di samping klasifikasi tersebut di atas, kita masih harus selalu mengingat
klasifikasi patologi yang klasik juga dapat dikaitkan dengan LBP. Klasifikasi
tersebut ialah (a) trauma, (b) infeksi, (c) neoplasma, (d) degenerasi, dan (e)
kongenital (Harsono, 2009).
2.2.6 Diagnosis
2.2.6.1 Anamnesis
a. Letak atau lokasi nyeri; penderita diminta untuk menunjukkan nyeri
dengan setepat-tepatnya;
b. Penyebaran nyeri; dibedakan nyeri bersifat radikular atau referred pain;
c. Sifat nyeri; misalnya seperti ditusuk-tusuk atau seperti disayat,
mendenyut, seperti kena api, nyeri tumpul atau kemeng yang terus-
menerus, dan sebagainnya;
d. Pengaruh aktivitas terhadap nyeri;
e. Pengaruh posisi tubuh atau anggota tubuh;
22
f. Trauma;
g. Proses terjadinya nyeri dan perkembangannya; dalam hal ini perlu
ditanyakan tentang sifat akut, sub akut, perlahan-lahan atau bertahap, atau
justru menyelinap sehingga penderita tidak tahu secara pasti kapan rasa
tidak enak sampai rasa nyeri tadi mulai timbul. Juga perlu ditanyakan
apakah nyeri tadi bersifat menetap atau hilang-timbul, makin lama makin
nyeri dan sebagainya;
h. Obat-obat analgetik yang pernah diminum;
i. Kemungkinan adanya proses keganasan;
j. Riwayat menstruasi;
k. Kondisi mental/emosional(Harsono, 2009).
2.2.6.2 Pemeriksaan Umum
2.2.6.2.1 Inspeksi
a. Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal, adanya angulasi,
pelvis yang miring atau asimetris, muskulatur paravertebral atau pantat
yang asimetris, postur tungkai yang abnormal;
b. Observasi punggung, pelvis dan tungkai selama bergerak apakah ada
hambatan selama melakukan gerakan;
c. Pada saat penderita menanggalkan atau mengenakan pakaian, apakah
ada gerakan yang tidak wajar atau terbatas;
d. Observasi penderita saat berdiri, duduk, bersandar maupun berbaring
dan bangun dari berbaring;
23
e. Perlu dicari kemungkinan adanya atrofi otot, fasikulasi,
pembengkakan, perubahan warna kulit (Harsono, 2009).
2.2.6.2.2 Palpasi dan perkusi
Palpasi dan perkusi harus dilakukan dengan hati-hati. Pada palpasi, terlebih
dahulu diraba daerah yang sekitarnya paling ringan rasa nyerinya, kemudian menuju
ke arah daerah yang terasa paling nyeri. Ketika meraba kolumna vertebralis
seyoganya dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau antero-posterior
(Harsono, 2009).
2.2.6.3 Pemeriksaan Neurologik
a. Tes Lassegue (straight leg raising test = SLRT);
b. Tungkai pasien diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai
sudut
c. Gangguan sensorik pada bagian lateral jari V (S1) atau bagian medial dari
ibu jari kaki (L5);
24
(Netter FH, 2006)
Gambar 2.6
Dermatome
d. Gangguan motorik, pasien tak dapat dorsofleksi, terutama jari kaki (L5)
atau plantar fleksi (S1);
e. Tes dorsofleksi;
f. Tes plantarfleksi;
g. Kadang terdapat gangguan otonom, yaitu retensio urinae, merupakan
indikasi untuk segara dioperasi;
h. Kadang terdapat anesthesia di perineum.
(Bahrudin, 2013)
25
2.2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
1. X-foto lumbosacral
- Kadang didapat arthrosis
- Penyempitan diskus intervertebralis
2. Cairan serebro spinalis (CSS): biasanya normal, namun jika terjadi blok
akan didapatkan peningkatan protein, indikasi operasi.
3. EMG
- Terlihat potensial fibrilasi di daerah radiks yang terganggu.
- Conduction velocity menurun.
(Bahrudin, 2013)
2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)
2.3.1 Definisi
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang bisa disebut Body Mass Index (BMI)
merupakan salah satu parameter sederhana dari pemeriksan antropometri untuk
memantau status gizi seseorang, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan (Depkes RI, 2007). Pengukuran IMT ini antara lain dapat
ditentukan berat badan beserta risikonya, misalnya berat badan kurang dapat
meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan
meningkatkan risiko terhadap penyakit degeneratif (Setyawan, 2014).
26
2.3.2 Pengukuran
Untuk memantau IMT orang dewasa digunakan timbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur >18
tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan
(Setyawan, 2014).
1. Berat Badan (BB)
Cara pengukuran berat badan:
a. Atur skala timbangan pada angka nol.
b. Lepas sepatu, pakaian luar yang berat (jaket, rompi, sweater, topi) dan
kosongkan saku pakaian.
c. Subjek naik keatas timbangan dengan pandangan lurus kedepan tidak
melihat kea rah skala dan dengan tangan yang menggatung di kedua
sisi tubuh.
d. Membaca nilai yang tertera pada skala timbangan.
e. Langkah diatas diualang sebanyak 3 kali.
(Bell et al., 2011)
2. Tinggi Badan (TB)
Cara pengukuran tinggi badan:
a. Subjek melepaskan sepatu, topi, dan segala macam hiasan kepala
lainnya.
b. Berdiri tegak menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah
mikrotoa.
c. Berdiri dengan kedua kaki yang menempel satu sama lain.
27
d. Pastikan kedua kaki lurus, kedua tangan dan bahu relax.
e. Pastikan tubuh bagian belakang menyentuh bidang datar (tumit,
pantat, punggung atas dan kepala menyentuh permukaan pengukuran).
f. Pastikan tubuh berada dalam garis lurus, yaitu garis mid-aksilaris
sejajar dengan stadiometer.
(Bell et al., 2011)
Gambar 2.7
Garis Mid-Aksilaris
g. Pastikan kepala berada pada posisi yang tepat, yaitu posisi Frankfurt
Horizontal Plane.
(Bell et al., 2011)
Gambar 2.8
Frankfurt Horizontal Plane
28
3. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Untuk mengetahui nilai IMT ini dipergunakan formula sebagai berikut:
IMT = =
2.3.3 Klasifikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT menurut WHO
Classification BMI (kg/
Principal cut-off
points
Additional cut-off
points
Underweight < 18,50 <18,50
Severe thinness <16,00 <16,00
Moderate thinness 16.00 – 16.99 16.00 – 16.99
Mild thinness 17.00 – 18.49 17.00 – 18.49
Normal range 18,50 – 24.99 18.50 – 22.99
23.00 – 24.99
Overweight 25.00 25.00
Pre-obese 25.00 – 29.99 25.00 – 27.49
27.50 – 29.99
Obese 30.00 30.00
Obese class I 30.00 – 34.99 30.00 – 32.49
32.50 – 34.99
Obese class II 35.00 – 39.99 35.00 – 37.49
37.50 – 39.99
Obese class III 40.00 40.00 (WHO, 2004)
Sedangkan standar yang ditetapkan untuk orang dewasa Indonesia adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT di Indonesia
Kategori BMI (kg/
Kurus Normal
BB Lebih
Obesitas
< 18,4 18,5-25,0
25,1-27,0
>27,0 (Depkes, 2008)
29
2.4 Aktivitas Sopir Angkot
2.4.1 Mengemudi
1.4.1.1 Postur Mengemudi
Mengemudi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan keluhan LBP.Hal
ini disebabkan oleh duduk dengan posisi yang selama berjam-jam sambil
menggenggam roda kemudi dan terpajan vibrasi dari kendaraan. Untuk mengurangi
resiko LBP, sebaiknya pengemudi berada pada posisi mengemudi yang benar.
Berikut adalah postur tubuh yang baik saat mengemudi:
1. Apabila kursi mengemudi dapat disesuaikan naik-turun, atur
kesesuaiannya sehingga dapat membuat penglihatan kita terhadap jalan
menjadi maksimum.
2. Sesuaikan juga posisi maju-mundur tempat duduk kemudi sehingga
jaraknya dapat memudahkan kaki dalam menginjak pedal rem, gas, dan
kopling.
3. Pada mobil tertentu yang dapat diatur kemiringan bantal di tempat duduk
kemudi di bagian ujung paha, hendaknya diatur kemiringannya sehingga
bagian paha ter-support dengan baik.
4. Atur kemiringan backrest sehingga dapat menyediakan topangan terbaik
pada punggung. Pada umumnya kemiringan backrest adalah antara 110-
1140.
5. Untuk roda kemudi yang dapat diatur dan kemiringannya, atur roda
kemudi sesuai dengan jangkauan tangan, pastikan ada ruang untuk paha
dan lutut bergerak pada saat menginjak pedal rem, gas atau kopling, dan
30
pastikan semua display panel terlihat jelas dan tidak terhalangi roda
kemudi.
6. Atur penyangga kepala, pastikan pada posisi tersebut resiko injury di
kepala dapat dikurangi apabila terjadi kecelakaan.
7. Atur kemiringan kaca spion sehingga dapat digunakan unuk melihat
kondisi sekitar tanpa menyebabkan ketegangan pada leher dan tubuh
bagian atas.
8. Posisi kaki yang baik pada saat mengemudi, tepatnya posisi kaki di antara
pedal adalah parallel satu sama lain. Posisi kaki pada saat mengemudi
mempengaruhi otot adductor pada paha. Pada saat posisi kaki memutar
maka adductor paha tidak melakukan mobilitas. Pada keadaan ini ruang
abdominal menjadi kendur dan paha pada saat kendur dan pada saat yang
bersamaan terjadi peningkatan beban pada otot punggung sampai ke leher.
9. Posisi tangan yang baik pada saat memegang kemudi adalah berada pada
pukul 10 dan pukul 2 karena pada posisi ini lah tangan kita dalam posisi
natural dan tidak memberikan tekanan pada bagian tubuh atas. Cara
menggenggam roda kemudi harus benar, dengan tidak memberikan
tekanan berlebihan pada lengan. Jari-jari pada lengan diusahakan serileks
mungkin, begitu pun pada bahu dan siku (Safety, 2003).
31
2.4.1.2 Posisi Mengemudi
2.4.1.2.1 Posisi Mengemudi Tegak
Posisi mengemudi tegak dianggap sebagai posisi yang baik. Studi tentang
tekanan pada intra discus menunjukan bahwa tekanan di discus lumbal 40-50% lebih
besar pada posisi ini dibandingkan dengan berdiri. Ini disebabkan pada kursi yang
tegak, pelvis berotasi ke belakang 380
saat duduk dan kurva ke depan di punggung
bawah cendurung lurus. Salah satu cara untuk mengurangi tekanan adalah dengan
menggunakan lumbal support, yang akan menjaga lordosis daerah lumbal. Sandaran
punggung yang tepat akan mengurangi tekanan di discus lumbal sampai 30%. Duduk
tegak sangat cocok untuk pekerjaan yang menggunakan komputer dan mengemudi
(Ladou, 2007).
2.4.1.2.2Posisi Mengemudi Condong Kedepan
Pada saat duduk, menulis atau melakukan pekerjaan yang menyebabkan
tulang belakang condong ke depan, tekanan pada discus lumbal 90% lebih besar
dibandingkan saat berdiri. Pada posisi inilah orang lebih sering duduk, karena mampu
mengakomodasi garis pandang dan jarak pandang untuk melakukan detail pekerjaan
(Ladou, 2007).
2.4.1.2.3Posisi Mengemudi Reclining
Posisi reclining memungkinkan berat badan menumpu di belakang tempat
duduk dan dengan memakai lumbal support. Masalah pada posisi duduk ini timbul
bila target visusal lebih rendah atau terlalu jauh. Untuk kompensasi, orang cenderung
melakukan fleksi leher yang akan meningkatkan tekanan di discustulang leher. Posisi
32
reclining cocok untuk pekerja yang perlu fokus pada detail kecil atau harus
melakukan gerakan motorik halus (Ladou, 2007).
2.4.2 Lama Kerja
Jam kerja, waktu istirahat kerja, waktu lembur diatur dalam pasal 77 sampai
pasal 85 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di beberapa
perusahaan, jam kerja,waktu istirahat dan lembur dicantumkan dalam Perjanjian
Kerja Bersama (PKB). Undang-undang mengenai jam kerja, jam kerja adalah waktu
untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam
Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85. Pasal 77
ayat 1, Undang-Undang No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk
melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2
sistem seperti yang telah disebutkan diatas yaitu:
1. 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari
kerja dalam 1 minggu; atau
2. 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari
kerja dalam 1 minggu.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu
40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu
kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur
sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja
tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti misalnya
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan
33
jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Ada pula pekerjaan-
pekerjaan tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada hari libur
resmi (Pasal 85 ayat 2 UNDANG-UNDANG No.13/2003). Pekerjaan yang terus-
menerus ini kemudian diatur dalam Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun
2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Dan
dalam penerapannya tentu pekerjaan yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan
dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift (Ramdhany, 2015).
Jam kerja yang dilakukan paling banyak adalah sehari, yang dimaksud sehari
disini adalah mengemudi mulai pagi hingga malam hari antara jam 05.30 sampai
21.00. Karena pekerjaan ini tidak seperti bekerja layaknya karyawan atau pun buruh
maka jam kerja yang disepekati dan dikeluarkan oleh keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi tidak berpengaruh terhadap pengemudi angkutan karena para
pengemudi hanya berdasarakan pada setoran (Ramdhany, 2015).
2.5 The Quebec Back Pain Disabality Scale (QBPDS)
The Quebec Back Pain Disabality Scale (QBPDS) merupakan 20 pertanyaan
yang digunakan untuk menilai tingkat kecacatan pada pasien nyeri punggung yang
dipilih dari 46 pertanyaan yang diuji kembali menggunakan analisis faktor dan
dengan penerapan item response theory. QBPDS menilai kecacatan dengan
mengevaluasi kegiatan sehari-hari, yaitu: self-care, sleeping, walking, climbing stairs,
sitting, standing, lifting large or heavy objects, bending and stooping, physical
activities dan houseworks. Setiap pertanyaan memiliki skala 6 poin, dengan nilai
terendah “0” (tidak sulit sama sekali) dan nilai tertinggi “5” (tidak bisa dilakukan).
34
Kuesioner tersebut dapat dijawab dengan mudah oleh pasien, dalam waktu 5-10
menit, dan dapat menghitung skor dalam waktu 2 menit (Longo et al., 2010).
2.6 Penelitian yang mendukung
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Heru Septiawan (2013) mengenai
“Faktor yang berhubungan dengan keluhan LBP pada Pekerja Bangunan di PT
Mikroland Property Development Semarang tahun 2012” dikatakan bahwa beban
kerja (p value = 1,000) dan kebiasaan merokok (p value = 0,548) tidak mempunyai
hubungan dengan keluhan LBP. Sedangkan sikap kerja (p value = 0,020) dan Indeks
Massa Tubuh (p value = 0,030) mempunyai hubungan dengan keluhan LBP.
Penelitian lain yang mendukung juga dilakukan oleh Heikki Frilander, et al.
(2015) yang dilakukan pada pria pre-militer usia sekitar 30-50 tahun yang
berpartisipasi pada survei pemeriksaan kesehatan nasional dengan melihat rekam
medisnya. Hasilnya didapatkan bahwa obesitas dan overweight pada usia dewasa
muda meningkatkan faktor resiko terhadap radiating LBP. Menurut penelitian
Alberto Ofenhejm Gotfryd, dkk (2015) bahwa pasien yang mengeluh LBP
didominasi oleh usia dewasa muda, hypoactive, overweight (dengan BMI 26 kg/m2),
dan dengan gejala yang berulang.