bab ii tinjauan pustaka 2.1 hakikat peran orang...

27
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Peran Orang Tua 2.1.1 Pengertian Peran Orang Tua Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Peran adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di dalam masyarakat, atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam sesuatu peristiwa (Depdikbud, 2005:854). Menurut Natawidjaya (2010:40), peran adalah kesediaan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai bahkan menentukan kegiatan-kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberikan respons terhadap obyek atau situasi yang mempunyai arti baginya. Kesediaan ini mungkin dinyatakan dalam kegiatan (perbuatan ataupun perkataan) atau merupakan kekuatan laten yang kadang-kadang tersalurkan. Adapun orang tua dapat diartikan komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu sehingga siap berasosiasi dengan kehidupan bermasyarakat. (Syafei, 2006:15). Pengertian orang tua tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah

Upload: phamdung

Post on 14-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Peran Orang Tua

2.1.1 Pengertian Peran Orang Tua

Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Peran

adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang

berkedudukan di dalam masyarakat, atau tindakan yang dilakukan oleh

seseorang dalam sesuatu peristiwa (Depdikbud, 2005:854). Menurut

Natawidjaya (2010:40), peran adalah kesediaan mental individu yang

mempengaruhi, mewarnai bahkan menentukan kegiatan-kegiatan individu

yang bersangkutan dalam memberikan respons terhadap obyek atau situasi

yang mempunyai arti baginya. Kesediaan ini mungkin dinyatakan dalam

kegiatan (perbuatan ataupun perkataan) atau merupakan kekuatan laten yang

kadang-kadang tersalurkan.

Adapun orang tua dapat diartikan komponen keluarga yang terdiri dari

ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah

yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab

untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai

tahapan tertentu sehingga siap berasosiasi dengan kehidupan bermasyarakat.

(Syafei, 2006:15).

Pengertian orang tua tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena

orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah

9

tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Secara

tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan

dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki

tempat tinggal bersama. menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup

sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri)

dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak) sekaligus.

Namun secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat

digambarkan sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang

tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun

antar individu mereka, (Rahman, 2006;15).

Peranan orang tua yang dimaksudkan penulis dalam penelitian ini

adalah keikutsertaan orang tua dalam menyediakan kebutuhan rohani anak

melalui kegiatan keberagamaan sehingga semua yang diharapkan untuk

keberhasilan pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-undang sistem

pendidikan nasional dapat dicapai secara optimal.

Seperti halnya keadaan ataupun kondisi, peranan memiliki mempunyai

pengaruh yang sangat besar terhadap seseorang. Orang tua misalnya jika

pandangannya terhadap pendidikan kurang memadai, yang bisa disebabkan

oleh berbagai faktor, maka hal ini jelas akan mempengaruhi peranannya

terhadap anak yang mengikuti pendidikan. Rendahnya peranan orang tua

terhadap pendidikan anak dapat saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman

akan pendidikan dan arti pentingnya bagi manusia.

10

Orang tua dalam sebuah keluarga merupakan figur pertama dan utama

yang diharapkan memiliki peran mendidik sekaligus sebagai kunci berhasil

tidaknya anak dalam kehidupannya. Secara sederhana orang tua yang

membebani tanggung jawab berat ini, setidaknya diharapkan memiliki

kepedulian dalam wujud keterlibatan yang positif terhadap proses pendidikan

anak-anaknya.

Mengingat anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan

dalam keluarga maka tanpa harus ada yang memerintahkan, orang tua

langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik yang bersifat sebagai

pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina maupun

sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini merupakan tugas

kodrati dari tiap-tiap manusia.

Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama dalam pendidikan

anak-anaknya. Anak adalah cikal bakal generasi penerus bangsa yang harus

dibina, dikembangkan dan diarahkan pertumbuhan dan perkembangannya.

Harapan ini seidentik dengan esensi pendidikan luar sekolah, sebagai proses

pendidikan yang berlangsung kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja,

sesuai dengan kondisi latar belakang masyarakat (Al Ghazali, 2006: 32).

Rochmat dan Solehuddin (2008: 197) mengatakan bahwa, sejak lama,

keluarga dikenal sebagai lingkungan pertama dan utama. Predikat ini

mengindikasikan betapa esensialnya peran dan pengaruh lingkungan keluarga

dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keberagamaan.

11

Radin (2006: 92) menjelaskan bahwa hal-hal yang dapat dilakukan oleh

orang tua dalam mendidik anak-anaknya dapat berkisar pada: memberikan

ganjaran dan hukuman, perintah langsung, menyatakan peraturan, nalar dan

menyediakan fasilitas atau bahan dan adegan. Keseluruhan konsep perlakuan

ini dapat bermakna mendidik anak dalam lingkungan keluarga sekaligus

menjadikan proses keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak.

Kepedulian orang tua maupun keterlibatan orang tua dalam pendidikan

anak sangat penting demi kelangsungan dan suksesnya pendidikan anak-

anaknya. Salah satu bentuk dan wujud nyata keterlibatan dan kepedulian orang

tua yang sangat besar sekali manfaatnya adalah menumbuh suburkan nilai-nilai

positif pada diri anak. Roesmali (2001: 21) menyatakan bahwa hubungan

orang tua dengan anak merupakan interaksi awal yang dirasakan anak.

Dikatakan interaksi awal karena orang yang pertama kali dikenal dan berada

didekatnya adalah orang tuanya.

Sikap anak terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh peranan orang

tuanya. Itulah sebabnya, orang tua yang memiliki pemahaman yang baik

terhadap pendidikan akan selalu menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi

anak, sehingga pemenuhan kebutuhan ruhani anak akan dapat terpenuhi

dengan baik. Sebaliknya, orang tua yang memandang pendidikan dengan sikap

negatif akan berdampak pada kebodohan, kegagalan dan keterbelakangan.

12

Mengingat anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan

dalam keluarga tanpa harus ada yang memerintahkan, maka hal ini

membuktikan bahwa orang tua memikul tugas langsung sebagai pendidik, baik

yang bersifat sebagai pemelihara, pengasuh, pembimbing, pembina maupun

sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya.

Norma-norma pada anggota-anggota keluarga, baik ayah ibu maupun

kakak-kakaknya dapat berpengaruh terhadap anak. Maka orang tua di dalam

keluarga memiliki kewajiban kodrati untuk memperhatikan anak-anaknya serta

mendidiknya, sejak anak-anak itu kecil, bahkan sejak anak-anak itu masih

dalam kandungan. Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas

sama sekali dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang

pendidikan yang legal. Bahkan menurut Al Ghozali, (2006:179) . “Anak

adalah suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya”.

Kebiasaan orang tua dan anggota keluarga dalam hal kesusilaan/akhlak

menjadi sebuah tuntunan yang harus dijaga dan dibudayakan dalam keluarga

agar bisa ditiru oleh anak-anak baik untuk masa kini maupun masa yang akan

datang. Lebih dari itu terdapat juga pertalian emosional antara anak dengan

orang tua tanpa harus dipelajari atau diberi bimbingan, misalnya turut berduka

cita jika orang tuanya berduka cita dan akan merasa bahagia jika orang tuanya

berbahagia. Begitulah keadaan saling pengaruh-mempengaruhi antara anak

dengan orang tuanya dan anggota keluarga lainnya, sampai kepada keadaan

emosional.

13

Jelaslah bahwa keluarga dalam hal ini orang tua merupakan ajang

pertama dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan

keberagamaan. Seorang anak akan menjadi warga masyarakat yang baik

sangat bergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga di

mana anak dibesarkan. Kelak, kehidupan anak tersebut juga mempengaruhi

masyarakat sekitarnya sehingga pendidikan keluarga itu merupakan dasar

terpenting untuk kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun pada

masyarakat.

Abimanyu (2008:32) untuk memenuhi tewujudnya kebutuhan rohani

anak melalui kegiatan keberagamaan sesuai dengan harapan, hendaklah orang

tua meningkatkan peranannya terhadap pendidikan anak dengan upaya-upaya

sebagai berikut;

1. Membimbing anak dalam belajar

Sehubungan dengan membimbing anak dalam belajar yang dilakukan

oleh orang tua Abimanyu (2008: 32) mengemukakan bahwa, dalam hal

belajar anak memerlukan bantuan bimbingan dari orang dewasa dan lebih

utama adalah orang tua. Jika orang tua tidak dapat melaksanakan tugas ini

yang mungkin karena sibuk dengan pekerjaannya yang terlalu banyak,

maka sang anak cenderung akan mengalami kegagalan.

Dalam kaitannya dengan hal ini maka diharapkan orang tua memiliki

sikap sebagaimana dimaksud. Anak yang memiliki motivasi belajar yang

baik dari orang tua dengan penjadwalan kegiatan anak memiliki potensi

14

yang lebih banyak untuk berhasil ketimbang anak yang memiliki motivasi

kurang.

2. Menyediakan fasilitas yang diperlukan anak dalam belajar

Peran orang tua di samping sebagai pemberi motivasi terhadap anaknya

hendaklah di sertai dengan upaya pemenuhan fasilitas belajar anak.

Fasilitas tersebut misalnya pemenuhan terhadap buku-buku pelajaran

agama, alat tulis menulis, pakaian ibadah, serta kelengkapan belajar

dirumah seperti meja belajar dan lain-lain yang tentunya dapat saja

disesuaikan dengan kondisi ekonomi atau kemampuan orang tua tanpa

harus memaksakan diri.

Demikian pentingnya peranan orang tua dalam memenuhi kebutuhan

rohani anak melalui kegiatan keberagamaan. Hubungan orang tua dengan

anak pada lingkungan keluarganya akan sangat membekas dan dapat bernilai

pendidikan manakala arahan, bimbingan dan segala aktifitas orang tua dan

seluruh anggota keluarganya dicerna dan menjadi karakter pembentuk sikap

dan watak anak.

Aswari (2010: 39) mengungkapkan bahwa “untuk memenuhi

kebutuhan rohani anak, maka orang tua harus dapat melatih anak sejak kecil

dengan kegiatan prilaku beragama dan cara-cara yang baik agar dengan hal itu

akan bisa membekas dihati anak bila ia telah dewasa”.

Taufik (2007: 21) bahwa, dalam keluarga terdapat kesempatan untuk

menumbuh suburkan nilai-nilai agama pada anak yang mendasari hubungan

15

antara manusia seperti ketulusan, percaya pada orang lain, rela membantu, rela

berkorban saling menghargai dan saling mengasihi. Semua itu bertujuan agar

kebutuhan rohani anak dapat terpenuhi sesuai yang diharapkan.

Selanjutnya menurut Syaodih (2005:21) bahwa orang tua memiliki

peran besar dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan

keagamaan. Di antara kebutuhan rohani anak yang harus menjadi perhatian

utama dari orang tua adalah, keimanan yang istiqamah, ketulusan dalam

beribadah, rela membantu orang lain, saling mengasihi, bersikap sabar, dan

memiliki kecintaan beragama di atas segala-galanya

Aly dan Munzir (2006:26) mengemukakan bahwa di antara bentuk

peran orang tua di dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui

kegiatan keagamaan sebagai berikut:

a) Mendorong dan mengarahkan anak-anak agar aktif melaksanakan ibadah seperti; sholat, membaca Al-Qur’an dan puasa,

b) Mengarahkan agar anak-anak rajin kegiatan keagamaan, c) Menjadi imam bagi anak-anaknya ketika melaksanakan sholat di

rumah, d) Mengarahkan dan memberi keteladanan kepada anak dengan bertutur

kata yang sopan, berbuat yang jujur, bertindak yang benar, lemah lembut dalam bersikap, dan lain-lain,

e) Membiasakan anak untuk selalu bekerja dan mandiri. f) Menanamkan nilai-nilai solidaritas dan rasa bertanggung jawab

terhadap tugas yang diemban, g) Menanamkan seluruh nilai aqidah dan akhlak sebagaimana yang

disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Hadits.

Bentuk peran orang tua yang disebutkan di atas meliputi upaya-upaya

motivasi, mengarahkan kegiatan anak, membimbing dan mendidik anak

16

dengan nilai-nilai moral dan agama. Penciptaan suasana lingkungan yang luhur

dan relegius di dalam rumah tangga.

Dengan adanya peran orang tua dalam menyediakan kebutuhan rohani

anak melalui kegaiatan keagamaan, dengan sendirinya telah melaksanakan

amanat Allah, serta telah menjalin kerja sama dengan seluruh pihak dalam

membangun masyarakat yang berkepribadian luhur dan berakhlak mulia.

2.1.2 Peran Ibu dan Ayah dalam Menyediakan Kebutuhan Rohani Anak Melalui Kegiatan Keagamaan

2.1.2.1 Peran ibu

Peran ibu dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan

keagamaan dapat saja berbentuk perlakuan, pemberian contoh ketauladanan,

pengarahan, kontrol dan penyediaan fasilitas untuk melaksanakan ibadah.

Dalam sebuah rumah tangga keterlibatan ibu dalam menyediakan kebutuhan

anak sangat berarti dan dapat menjadi faktor utama membangkitkan motivasi

perilaku keberagamaan anak, karena kedekatan anak pada ibu melebihi

kedekatannya pada ayah. Baik buruknya pendidikan ibu terhadap anaknya

akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dan watak anaknya

dikemudian hari”. (Poerwanto, 2005:82)

Seorang ibu memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas

pendidikan anak-anaknya. Sejak ia lahir, ibunyalah yang selalu ada di

sampingnya. Oleh karena itu, ia meniru perangai ibunya dan biasanya, seorang

anak lebih mencintai ibunya apa bila ibunya menjalankan tugasnya dengan

sebaik-baiknya. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal oleh seorang anak,

17

yang mula-mula menjadi temannya, dan mula-mula dipercayainya. Apa pun yang

dilakukan ibu dapat dimaafkannya, kecuali apabila ia ditinggalkan.

Sesuai dengan fungsi serta tanggung jawabnya sebagai anggota

keluarga, Poerwanto (2005:82) mirincikan bentuk dan tanggung jawab ibu

terhadap pendidikan anak-anaknya sebagai berikut.

a. Seorang ibu adalah sumber dan pemberi rasa kasih sayang. Hal ini dimaksudkan bahwa figur seorang ibu sangat berpengaruh terhadap pemenuhan rohani anak, karena bentuk pendidikan oleh seorang ibu terhadap anaknya selalu dilandasi dengan penuh rasa kasih sayang yang tidak hanya berlangsung sewaktu-waktu, melainkan sepanjang waktu.

b. Seorang ibu memiliki tanggung jawab pengasuh dan pemelihara. Hal ini dimaksudkan bahwa secara kodrati seorang ibu tidak hanya berfungsi melahirkan anak-anaknya, akan tetapi pengasuhan dan pemeliharaan terhadap anak-anaknya hingga memiliki pertumbuhan jasmani dan rohani secara sempurnah menjadi tanggung jawab yang diemban oleh kaum ibu pada umumnya.

c. Seorang ibu tempat mencurahkan isi hati anak-anaknya. Maksudnya bahwa hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya jauh lebih dekat dan akrab daripada seorang ayah. Sehingga terkadang tempat menyampaikan segala keluhan bagi seorang anak lebih banyak ditujukan kepada ibunya daripada ayahnya. Dalam kondisi seperti ini, maka seorang ibu sangat diharapkan mengetahui psikologi anak serta mampu menjawab semua keluhan dan memberikan kepuasan bagi anak.

d. Seorang ibu memiliki tanggung jawab sebagai pengatur kehidupan dalam rumah tangga. Artinya segala aktivitas dalam pengaturan kehidupan rumah tangga terutama dalam segi keindahan dan kebersihan rumah dan pendidikan anak di dalam rumah menjadi tanggung jawab seorang ibu

e. Seorang ibu memiliki tanggung jawab sebagai pendidik dalam segi emosional. Artinya seorang ibu diharapkan mampu mendidik emosional anak ke arah yang positif, agar dengan kondisi emosional tersebut anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menjalani berbagai persoalan kehidupan baik di masa kini maupun yang akan datang. Beradasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa, tanggung

jawab seorang ibu terhadap pendidikan anak sangat besar dibandingkan

dengan guru di sekolah atau manusia lainnya. Hal ini dikarenakan juga, karena

18

hubungan emosional anak dengan seorang ibu sudah terbentuk sejak masih di

dalam kandungan sampai ketika anak terlahir ke dunia. Terlebih lagi interaksi

anak dengan ibu durasi waktunya lebih besar dari yang lainnya.

2.1.2.2 Peran Ayah

Dalam berbagai kasus nampak bahwa ayah dalam kedudukannya di

lingkungan keluarga dipandang hanya sebagai sosok yang menyediakan

seluruh keperluan hidup, sehingga tidak jarang ada di antara para ayah yang

melalaikan atau melupakan tanggung jawabnya dalam menyediakan kebutuhan

rohani anak melalui kegiatan keagamaan. Atau dapat saja seorang ayah

berkilah dengan alasan kesibukan mencari nafkah sehingga seluruh

pengawasan dan tanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan rohani anak

melalui kegiatan keagamaan dibebankan kepada ibu.

Anggapan dan kasus di atas pada dasarnya tidak ada benarnya, bahkan

dapat dikatakan salah karena sesungguhnya dalam prosesi pendidikan terlebih

lagi dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan,

keterlibatan dan peranserta seorang ayah.

Poerwanto (2005:83) menyebutkan sedikitnya enam peranan ayah yang

dominan dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan

keagamaan, sebagaimana dirincikan berikut ini ;

a. Seorang ayah memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya.

b. Seorang ayah memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi istri dan anak-anaknya.

19

c. Seorang ayah memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengarahkan istri dan anak-anaknya kepada perbuatan-perbuatan yang positif.

d. Serang ayah memiliki tanggung jawab menyediakan segala kebutuhan primer dan sekunder bagi istri dan anak-anaknya. (Poerwanto, 2005:83)

Keseluruhan tanggung jawab atau peranan orang tua yang disebutkan di

atas pada dasarnya ada yang bersifat penciptaan kondisional yang mendukung

suksesnya dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan

keagamaan serta dapat dirasakan langsung manfaatnya dalam pendidikan anak,

misalnya pendidik secara rasional dan sumber kekuasaan dalam rumah tangga

dimana seorang ayah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelangsungan

hidup dan pendidikan anak.

2.1.2.3 Kegiatan Keagamaan

Pada hakikatnya kegiatan keagamaan bagi kehidupan anak merupakan

rangkaian upaya memberdayakan anak menuju kedewasaan baik secara akal

maupun moral agar mampu memahami dimensi-dimensi kemanusiaannya

sekaligus mengenai sang penciptanya. Dengan kegiatan-kegiatan keagamaan

yang diikuti oleh anak, maka akan memberikan nilai pemahaman sekaligus

pengamalan terhadap hakikat dirinya hamba (abdu) dan mengenal Tuhannya

sebagai sang pencipta (khaliq), sehingga dia akan mampu mengaplikasikan

fungsi manusianya sebagai sang pemelihara atau khalifah di muka bumi.

(Rochmat dan Solehuddin, 2008:197)

Kegiatan keagamaan pada agama Islam bermakna seluruh aktivitas

yang berhubungan konsep syar’i baik menyangkut hukum, ibadah, muamalah

20

dan akhlak yang dapat dijadikan kerangka berpikir dan bertindak oleh setiap

orang yang menginginkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

Atau dengan kata lain, kegiatan-kegiatan keagamaan Islam dapat dipahami

sebagai wadah untuk mendapatkan pengetahuan tentang konsep-konsep ajaran

Islam yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan atau landasan dalam

berpikir dan bertindak, dengan tujuan utamanya adalah dapat mencapai pola

hidup yang tidak bertentangan dengan tuntutan kehkhalifahannya di muka

bumi.

Menurut Nurcholis (dalam Azyumardi, 2007:34-40) kegiatan-kegiatan

keagamaan yang perlu dikembangkan pada anak pada hakikatnya ada dua,

yaitu menyangkut dimensi ketakwaan kepada Allah dan dimensi

pengembangan rasa kemanusiaan. Untuk dimensi penanaman rasa taqwa

kepada Allah Swt meliputi; Iman, Islam, Ihsan, Taqwa, Ikhlas, Tawakal,

Syukur dan Sabar. Sedangkan dalam dimensi pengembangan rasa kemanusiaan

meliputi; Silaturrahim, Persaudaraan, Persamaan Hak, Keadilan, Prasangka

Baik, Rendah Hati, Menepati Janji, Lapang Dada, Dapat Dipercaya, Memiliki

Keberanian, Hemat, dan Dermawan. Berikut ini penjelasan tentang bagian-

bagian dari kedua dimensi tersebut;

a. Dimensi penanaman rasa taqwa kepada Allah Swt

1) Iman; yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak cukup hanya percaya kepada adanya Tuhan, melainkan harus meningkat menjadi sikap mempercayai Tuhan.

2) Islam; adalah meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang kita yang dhaif ini tidak mungkin

21

mengetahui seluruh wujudnya. Sikap taat tidak absah dan tidak diterima Tuhan, kecuali jika berupa sikap pasrah kepada-Nya.

3) Ihsan; yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama dimanapun kita berada. Bertalian dengan ini,karena menginsafi bahwa Allah selalu mengawasi kita, maka kita harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan sesuatu yang sebaik mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah-tengah dan tidak dengan sikap sekedarnya saja.

4) Takwa; yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang di ridhai Allah, dengan menjauhi atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak di ridhai-Nya. Takwa inilah yang mendasari budi pekerti luhur atau al-akhlak al-karimah.

5) Ikhlas; yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan semata-mata demi memperoleh ridha atau perkenan Allah, dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun terbuka. Dengan sikap yang ikhlas orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan karya lahirnya, baik pribadi maupun sosial.

6) Tawakkal; yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencaridan menemukan jalam yang terbaik. Karena kita mempercayai atau menaruh kepercayaan kepada Allah, maka tawakkal adalah suatu kemestian.

7) Syukur; yaitu sikap penuh rasa terima-kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya yang di anugerahkan Allah kepada kita.

8) Sabar; yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin yang timbul karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah swt.

b. Dimensi Kemanusiaan

1) Silaturahmi (silat al-rahim); yaitu pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, handai taulan, tetangga.

2) Persaudaraan (ukhuwwah); yaitu semangat persaudaraan, lebih-lebih antara sesama kaum beriman, yang intinya ialah hendaknya kita tidak mudah merendahkan golongan yang lain, kalau-kalau mereka itu lebih baik dari pada kita sendiri, tidak saling menghina, saling mengejek, banyak berprasangka, suka mencari-cari kesalahan orang lain, dan suka mengumpat.

22

3) Persamaan (al-musawah); yaitu pandangan bahwa semua manusia, tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya, dan lain-lain adalah sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah manusia hanya ada dalam pandangan tuhan, berdasarkan takwa masing-masing, dan hanya Tuhan yang tahu kadar takwa itu.

4) Adil (“ad’l”); yaitu wawasan yang seimbang atau “balanced” dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang, dan seterusnya. Jadi tidak “a priori” menunjukkan sikap positif ataupun negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan hanya setelah mempertimbangan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut secara jujur dan seimbang, dengan penuh itikad baik dan bebas dari prasangka.

5) Baik sangka (husnuzhzhan); yaitu sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa menusia itu pada asal dan hakikat aslinya baik, karena diciptakan Allah dan dilahirkan atas fitrah atau kejadian asal yang suci. Sehingga manusia itupun pada hakikat aslinya adalah makhluk yang berkecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan (hanif).

6) Rendah hati (tawadlu’); yaitu sikap yang timbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dan perbuatan yang baik, yang itupun hanya Allah yang akan menilainya.

7) Tepat janji (al-wafa) ; salah satu sifat orang-orang yang benar- benar beriman ilah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam masyarakat dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas, sikap tepat janji, lebih-lebih lagi merupakanunsur budi luhur yang amat diperlukan dan terpuji.

8) Lapang dada (insyirah); yaitu sikap penuh kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya. Sikap terbuka dan toleran serta kesediaan bermusyawarah secara demokratis terkait erat sekali dengan budi luhur, lapang dada ini.

9) Dapat dipercaya (al-amanah, “amanah”); salah satu konsekuensi iman ialah amanah atau penampilan yang dapatdipercaya. Amanah sebagai budi luhur adalah lawan dari khianat yang amat tercela. Keteguhan masyarakat memerlukan orang para anggotanya yang terdiri dari pribadi-pribadi yang penuh amanah dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar.

10) Perwira (‘iffah atau ta’affuf); yaitu sikap penuh harga diri namun tidak sombong, dan tidakmudah menunjukkan sikap memelas atau iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan pertolongannya.

11) Hemat (Qawamiyyah); yaitu sikap tidak boros (israf) dan tidak pula kikir (qatr) dalam menggunakan harta, melainkansedang (qawam)

23

antara keduanya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa orang yang boros adalah teman setan yang menentang Tuhannya.

12) Dermawan (al-munfiqun), menjalankan infaq); yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia, terutama mereka yang kurang beruntung (para fakir miskin dan yang ter-belenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya (raqabah) dengan mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan dan diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab mereka tidak akan memperoleh kebajikan sebelumm endermakan sebagian dari hartanya yang dicintainya itu.

Berdasarkan kedua dimensi kehidupan yang merupakan ciri dari nilai-

nilai Islam yang perlu dikembangakan pada kegiatan-kegiatan keagamaan

sebagaimana tersebut di atas, bertujuan agar dalam pribadi anak tertanam jiwa

ketauhidan dan akhlakul karimah. Dengan dasar itu, maka akan terbentuk

pribadi anak yang mampu mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai

keagamaan serta terpenuhinya kebutuhan rohani anak.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, menurut Darajat (2006:84), tujuan

penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak adalah untuk membuat anak

tersebut menjadi “insan kamil” dengan pola taqwa. Insan kamil artinya

manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar

dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. Sehingga itu Darajat

(2006:84-85) menambahkan, bahwa dalam pelaksanaan penanaman nilai-

kegiatan keagamaan pada anak harus diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut:

1) Meningkat ketaqwaan kepada Allah swt. 2) Meningkatkan penghayatan dan pengamalan agama dalam rangka

mempertinggi akhlak, memperkuat mental dan moral manusia Indonesia.

3) Menghindari kecenderungan pendangkalan dan pengerdilan pemahaman dan kehidupan spritual keagamaan.

4) Menjunjung tinggi martabat manusia.

24

5) Membina persatuan dan kesatuan bangsa. 6) Meningkatkan peranan agama sebagai pemberi motivasi dan juga

semangat pembangunan serta sebagai penggerak dan pengarah potensi umat beragama untuk pembangunan nasional.

7) Menanggulangi dampak negatif dari proses modernisasi yang berbentuk praktek-praktek kultural yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

8) Mengimbangi dan mengadakan adaptasi dalam proses modernisasi dalam bentuk pengembangan pikiran-pikiran ilmiah dalam cara menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

Untuk dapat mencapai tujuan dimaksud yakni membina dan

menyempurnakan pertumbuhan dan kepribadian anak, menurut Waluyo

(dalam Taufik, 2007:4), ada dua aspek penting yang perlu dilakukan oleh

orang tua yaitu: Pertama, aspek pembentukan kepribadian (yang ditujukan

kepada anak). Tugas orang tua dalam hal ini adalah : a) menyadarkan anak

didik tentang adanya Allah Swt dan membiasakan anak didik untuk melakukan

perintah Allah Swt dan meninggalkan larangan-Nya. b) memberikan

keteladanan sehingga anak terlatih untuk melakukan ibadah dengan praktek-

praktek agama dan membawa dekatnya jiwa anak kepada keimanan; c)

membiaskan anak untuk berlaku sopan santun dan tingkah laku yang sesuai

dengan ajaran akhlak, serta; d) menjadikan diri anak untk bisa terterima secara

positif di tengah-tengah kehidupan keluarga dan masyarakat. Kedua, aspek

pengajaran nilai-kegiatan keagamaan pada anak. Orang tua dalam hal ini

terlebih dahulu mengetahui secara utuh tentang nilai-kegiatan keagamaan yang

akan diajarkan kepada anak agar keimanan kepada Allah SWT yang nantinya

akan dimiliki anak menjadi sempurna. Orang tua harus mampu menunjukkan

apa yang disuruh, apa yang dilarang, apa yang boleh, apa yang dianjurkan

25

untuk dilakukan, dan apa yang dianjurkan untuk ditinggalkan sesuai dengan

ajaran agama.

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Orang Tua dalam Memenuhi Kebutuah Rohani Anak

Menurut Sjarkawi (2006:16-18) faktor-faktor yang mempengaruhi

orang tua dalam memenuhi kebutuhan rohani anak dapat dikelompokkan

dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Berikut adalah penjelasan

kedua faktor tersebut:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu

sendiri. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan.

Faktor genetis maksudnya adalah faktor bawaan sejak lahir dan merupakan

pengaruh keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua

orang tuanya atau bisa jadi gabungan atau kombinasi dari sifat kedua orang

tuanya.

Faktor internal tersebut dapat berupa; kondisi kesehatan, emosional,

intelegensi, pengamalan ajaran agama bagi orang tua, serta hal-hal lain berupa

akhlak dan karakter orang tua.

Beradasarkan uraian di atas, maka orang harus memperhatikan anak-

anaknya serta mendidik mereka sejak kecil, bahkan sejak anak-anak itu masih

dalam kandungan. Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas

sama sekali dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang

26

pendidikan yang legal. Bahkan menurut Ghozali (2006:37) “Anak adalah suatu

amanat Tuhan kepada ibu bapaknya”.

Bahkan hal yang paling penting sangat berpengaruh terhadap

kepribadian anak adalah kebiasaan orang tua hal kesusilaan/akhlak yang ada

dalam keluarga. Lebih dari itu terdapat juga pertalian emosional antara anak,

orang tua dan anak-anaknya, yakni turut berduka cita jika orang tuanya

berduka cita dan akan merasa bahagia jika orang tuanya berbahagia. Begitulah

keadaan saling pengaruh-mempengaruhi antara anak dengan orang tuanya dan

anggota keluarga lainnya, sampai kepada keadaan emosional.

Jelaslah bahwa keluarga itu merupakan ajang pertama di mana sifat-

sifat kepribadian muslim anak bertumbuh dan terbentuk. Seorang anak akan

menjadi warga masyarakat yang baik sangat bergantung pada sifat-sifat yang

tumbuh dalam kehidupan keluarga di mana anak dibesarkan. Kelak, kehidupan

anak tersebut juga mempengaruhi masyarakat sekitarnya sehingga pendidikan

keluarga itu merupakan dasar terpenting untuk kehidupan anak sebelum masuk

sekolah dan terjun pada masyarakat.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut.

Faktor eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari

lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga,

teman, tetangga, sampai dengan pengaruh dari berbagai media audiovisual

27

seperti TV dan VCD, atau media cetak seperti koran, majalah dan lain

sebagainya.

Purwanto (2005:160) menyebutkan, faktor-faktor yang mempengaruhi

orang tua dalam memenuhi kebutuah rohani anak, terbagi dalam 3 faktor,

yakni: (1) Faktor Biologi atau seringkali disebut faktor fisiologis yaitu faktor

yang berhubungan dengan keadaan jasmani. Keadaan fisik seseorang

memegang peranan penting dalam perilakunya; (2) Faktor sosial yaitu

masyarakat. Yakni manusia-manusia lain disekitar individu yang

mempengaruhi individu yang bersangkutan. Termasuk juga disini tradisi-

tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa dan sebagainya yang berlaku

dalam masyarakat itu; (3) Faktor kebudayaan, dalam faktor kebudayaan aspek

yang mempengaruhi pembentukan perilaku nilai-nilai hidup yang berlaku

dalam masyarakat, adat dan tradisi, pengetahuan, ketrampilan, dan bahasa.

Perilaku orang tua dalam mendidik dan membesarkan anaknya pada

gilirannya juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuah rohani anak.

Pemenuhan kebutuah rohani anak melalui kegiatan keagamaan menghendaki

orang tua di lingkungan rumah tangga bertindak sebagai teman yang dapat

bekerja sama dengan anak-anak mereka dalam menyelesaikan segala tugas

guna memperbaiki keadaan sosial maupun fisik. Perilaku orang tua sebagai

pengamat yang menggunakan sudut pandang menyeluruh dan objektif akan

membantu cara berpikir akhlak anak ke arah yang luas, objektif, dan

menyeluruh.

28

Itulah sebabnya, faktor yang terpenting bagi orang tua adalah

perilakunya yang bisa diteladani anak. Dalam hal ini, menurut Daradjat

(2000:16) hendaknya setiap orang tua selalu terbuka dan menyadari dorongan

yang mendasari tindakannya karena dorongan ini akan sangat mempengaruhi

pemenuhan kebutuhan rohani anak. Secara tulus orang tua dapat berusaha

membelajarkan anaknya dan mendidik mereka untuk memiliki perilaku

keberagamaan dan akhlak yang baik.

Dalam rangka upaya pemenuhan kebutuah rohani anak pada umumnya

mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan psikomotor. Menurut Sjarkawi

(200618) dalam upaya pemenuhan kebutuah rohani anak anak ada tiga unsur

yang diperhatikan yaitu:

1. Unsur kognisi diantaranya: pertama, orang tua meyakini bahwa anak sebagai makhluk sosial yang sedang berkembang sarat dengan masalah etika dan akhlak; kedua, orang tua harus memahami bahwa anak dapat belajar dari berbagai sumber, termasuk orang tua yang penuh dengan muatan etika dan akhlak untuk diteladani; ketiga, orang tua harus memahami bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua mampu memberikan manfaat pada anak karena didasarkan pada etika dan akhlak; keempat, orang tua memiliki pertimbangan dan pemikiran yang cermat, jernih, teliti, manusiawi, dan penuh tanggung jawab, dan dilandasi etika akhlak akan mampu membelajarkan anak menuju pada pencapaian tujuan yang telah dicapai.

2. Unsur-unsur kognisi tersebut di atas dapat diturunkan kedalam pola prilaku afektif di antaranya sebagai berikut: pertama, memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap kehidupan manusia yang penuh muatan etika dan akhlak; kedua, berupaya sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ikut mengimplementasikan dan mengembangkan secara optimal etika dan akhlak pada anak secara propesional; ketiga, berusaha seoptimal mungkin menerapkan keahlian yang dimiliki untuk membelajarkan anak dengan dilandasi etika dan akhlak; keempat, bersikap positif terhadap pentingnya etika dan akhlak dan diwujudkan dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran di sekolah.

29

3. Penyikapan secara afeksi tersebut dapat secara nyata diwujudkan dalam bentuk psikomotor, yang di antaranya sebagai berikut: pertama, orang tua harus memperlihatkan sifat-sifat kesedehanaan, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, serta harus penuh rasa tanggung jawab; kedua, orang tua bersifat terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan kepadanya; ketiga, orang tua harus menghormati harkat dan hak-hak pribadi anak; keempat, orang tua dalam proses pembelajaran tidak membeda-bedakan anaknya dengan dalih apapun; kelima, orang tua harus mengutamakan penampilan yang prima secara fisik, mudah tersenyum, dan secara psikis berperilaku empatik, simpatik, dan tutur bahasa yang jelas, baik dan benar serta santun; keenam, sekolah dan orang tua dapat menciptakan iklim yang kondusif (bersih, indah, asri, nyaman, dan taat melaksanakan) sehingga daripadanya anak dapat meneladaninya.

Bagi orang tua motivasi dalam pemenuhan kebutuah rohani anak

melalui kegiatan keagamaan dilakukakan di samping yang disebutkan diatas,

sistem pendidikan yang paling menonjol adalah aspek sistem ibadahnya.

Hubungan terus menerus dengan Allah merupakan proses pendidikan Islam.

Menurut Aly dan Munzir (2003:156) bahwa pelaksanaan kebaikan yang

hakiki tidak dapat dijamin tanpa hubungan yang hidup antara individu dan

penciptanya. Demikian pula penegakan kebenaran dan keadilan baru dapat

dijamin manakala semua manusia sama-sama berorientasi pada Allah swt. baik

ketika sendirian maupun ketika berkumpul, baik ketika beribadah maupun

ketika bekerja, baik dalam suasana damai maupun perang, dan baik dalam

tingkah laku sehari-hari maupun kehidupan biasa.

Dari prinsip-prinsip di atas terlihat hubungan yang erat antara akhlak

mulia dan kosep ibadah dalam pendidikan Islam. Semua itu berpengaruh

terhadap tingkah laku, sikap, dan gaya hidup anak. Keluhuran akhlaq

merupakan menifestasi hakikat dan inti sistem pendidikan Islam. Sistem

30

berpikir dan sistem aktifitas; semuanya berjalan seiring bersama dasar-dasar

pendidikan yang integral dan seimbang.

Konsep ibadah berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan rohani.

Konsep ibadah berpusat pada prinsip dasar penting bahwa manusia diciptakan

Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya yang memikul amanat risalah dan

menjalankan syariat-Nya. Konsep ibadah dan prinsip dasar bahwa manusia

adalah khalifah Allah swt. di muka bumi berkaitan erat dengan pemenuhan

kebutuah rohani anak melalui kegiatan keagamaan. Fungsi aqidah yang

pertama ialah membantu fitrah dan mengarahkan kearah yang lurus sementara

tujuan yang utama ialah membantu fitrah dalam menemukan jalan menuju

Allah swt.

Demikian ibadah merupakan salah satu sarana yang efektif untuk

mengarahkan pemenuhan kebutuhan rohani anak yang berorientasi pada

kegiatan keagamaan baik bermanfaat untuk dirinya maupun untuk

kemaslahatan orang banyak. Atau dengan kata lain, ibadah-ibadah pada

umumnya merupakan daya pendorong bagi anak untuk menghadapi kehidupan

nyata dengan segala problem dan rintangannya, di samping merupakan daya

penggerak untuk merealisasi kebaikan bagi dirinya dan masyarakatnya

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa upaya

pemenuhan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan ialah

mempersiapkan manusia yang beribadah (al-insan al-‘abid) serta memiliki

sifat-sifat ‘ibad al-rahman, seperti berbuat baik dan berusaha mencari rizki.

31

Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk bekerja seperti

keterampilan, pengetahuan, dan tingkah laku hendaknya dicontohkan melalui

pembelajaran pendidikan agama Islam dalam hal memenuhi kebutuhan rohani

anak.

Upaya pemenuhan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan

akan dapat diwujudkan dengan baik apabila orang tua memiliki perilaku

terpuji yang dapat diteladani oleh anak-anaknya. Perilaku orang tua tidak

hanya menjadi dasar baginya untuk rajin ibadah atau bertingkah laku yang

berakhlak, tetapi juga sekaligus menjadi model keteladanan bagi para anaknya

untuk dicontoh dan dikembangkan.

32

33

34