bab ii. tinjauan pustaka 2.1 jeruk nipis
TRANSCRIPT
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jeruk nipis
Jeruk nipis merupakan salah satu buah yang mengandung berbagai
senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai anti mikroba salah satunya asam
organik dan minyak atsiri. Jeruk nipis memiliki komponen kimia seperti asam
sitrat, minyak atsiri (sitral, limonene, felandren, lemon kamfer, kadinen, geranil
asetat, linalin asetat, aktil aldehid, nonildehid) flavonoid dan saponin bersifat
sebagai antioksidan, antidiabetes, antikanker, antiseptik dan antibakteri
(Purwanti and Wahyudi, 2013). Jeruk nipis merupakan bahan alami yang
mengandung asam sitrat yang dapat menurunkan pH sehingga berpengaruh
secara langsung sebagai antimikroba. Jumlah bakteri patogen yang tidak tahan
terhadap suasana pH rendah dapat dikurangi sehingga mampu memperbaiki
proses pencernaan dan penyerapan nutrien (Ghazalah, dkk. 2011). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, penggunaan ekstrak kulit buah jeruk nipis cukup
efektif dalam mengurangi bau amis ikan lele yang ditambahkan kedalam
campuran minyak goreng (Puspitarini, 2014). Hal ini dikarenakan citrus ini
mengandung asam sitrat dan asam askorbat yang dapat bereaksi dengan TVB
sehingga membentuk trimetil ammonium yang selanjutnya diubah menjadi
bimetal amonium, sehingga bau amis akan berkurang (Loppies, dkk. 2020).
Selain itu, minyak atsiri kulit jeruk nipis banyak diaplikasikan pada
makanan dan minuman sebagai pemberi aroma. Sudirman (2014), menyatakan
minyak atsiri terdiri dari beberapa campuran senyawa organik yang mudah
menguap dan mudah larut dalam pelarut organik serta memiliki aroma yang khas
sesuai dengan jenis tanamannya. Umumnya tanaman jeruk atau Citrus memiliki
5
kandungan minyak atsiri dengan bobot molekul rendah dan mudah menguap,
sehingga mengakibatkan tanaman tersebut menghasilkan aroma yang khas
(Irwan and Junaidi, 2020).
Gambar 1. Jeruk Nipis (dokumentasi pribadi)
Dalam ilmu tumbuhan, tanaman jeruk nipis diklasifikasikan sebagai
berikut : (Narang and Jiraungkoorskul, 2016)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Sapindales
Family : Rutaceae
Genus : Citrus
Species : Citrus aurantifolia
2.2 Ikan Bandeng
Dalam ilmu tumbuhan, tanaman jeruk nipis diklasifikasikan sebagai
berikut : (Narang and Jiraungkoorskul, 2016)
Kingdom : Plantae
6
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Sapindales
Family : Rutaceae
Genus : Citrus
Species : Citrus aurantifolia
2.2 Ikan Bandeng
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani dan asam amino
esensial yang diperlukan oleh tubuh, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga
mudah dicerna (Natsir, 2018). Ikan menjadi bahan pangan sumber protein bagi
pertumbuhan anak – anak dan merupakan makronutrien yang diperlukan tubuh.
Berdasarkan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) Kemenkes RI kebutuhan
protein bagi masyarakat Indonesia sebesar 56 – 59 gram/hari. Salah satu ikan
yang cukup mengandung protein dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah
ikan bandeng. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) merupakan salah satu
komoditas budidaya perairan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena
memiliki rasa yang gurih dan netral (tidak asin seperti ikan laut) serta harganya
yang mudah dijangkau, sehingga berpotensi untuk dikembangan menjadi produk
olahan. Ikan bandeng dapat hidup di air tawar dan air laut sehingga sering
disebut ikan air payau dengan sistem pembudidayaan tambak pada perikanan air
payau (Susanto, 2010). Secara fisik ikan bandeng (Chanos chanos Forskal)
7
memiliki bentuk tubuh yang ramping dengan badan tertutup sisik, jari – jari dan
sirip lunak. Dalam 100 g ikan bandeng memiliki kandungan gizi sebesar 70,79-
75,86 % kadar air, 1,405-2,812 % kadar abu, 20,496-24,175 % protein, 0,721-
0,853 % lemak, dan karbohidrat 0,114-2,780 % (Marzuqi, dkk. 2018).
Berdasarkan komposisi gizi tersebut ikan bandeng digolongkan sebagai ikan
berprotein tinggi dan berlemak rendah. Selain itu ikan bandeng juga digunakan
sebagai sumber dari protein, mineral dan vitamin.
Gambar 2. Ikan bandeng (Marzuki, 2020)
Menurut Badan Standar Indonesia (2013) ikan bandeng adalah jenis ikan
yang secara taksonomi termasuk dalam Chanos chanos, Forsk dan hidup di
perairan tropis indo pasifik yang diklasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Vertebrata
Sub phylum : Craniata
Class : Teleostomi
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Sarcopterygii
Family : Chanidae
Genus : Chanos
Species : Chanos chanos
8
Susilowati dan Reskiati (2015) dalam (Nusantari et al., 2017) menyatakan
bahwa bahan pangan memiliki sifat mudah rusak (perishable), disebabkan oleh
kadar air yang menjadi faktor utama kerusakan bahan pangan. Semakin tinggi
kadar air bahan pangan, maka semakin besar kemungkinan kerusakan secara
biologis baik internal (metabolisme) maupun eksternal dengan masuknya bakteri
patogen. Kadar air ikan berkisar antara 60 – 84% sehingga ikan menjadi media
yang cocok untuk pertumbuhan bakteri (Afrianto and Liviawaty, 2011). Menurut
(Oktavianti, 2016) ikan bandeng juga memiliki sifat perishable atau mudah
rusak yang disebabkan oleh tingginya kadar air dan protein pada ikan yang
menjadi faktor utama pertumbuhan mikroba. Ikan bandeng (Chanos chanos)
akan mengalami kerusakan apabila dibiarkan pada suhu ruang selama 12 jam
(Ratnani, 2012). Menurut Dirjen Perikanan Budidaya (2014) dari hasil data
perikanan budidaya, ikan bandeng sendiri merupakan salah satu perikanan
budidaya yang paling diminati selain rumput laut, udang, kerapu dan kakap.
2.3 Cilok Ikan
Cilok merupakan produk makanan yang terbuat dari bahan dasar tepung
tapioka yang berbentuk bulat seperti bakso dengan isi daging atau abon sapi dan
atau ayam yang dimasak dengan cara direbus sehingga menghasilkan tekstur
yang kenyal. Cilok termasuk dalam salah satu jajanan yang banyak diminati dan
dikonsumsi masyarakat khususnya anak – anak (Aulia Khusna, 2015). Cilok
yang beredar di masyarakat umumnya hanya terbuat dari tepung tapioka dan
sedikit tambahan daging sapi atau ayam. Dalam 100 g cilok mengandung gizi
266 kkal, protein 2,45 g, 2,57 g lemak, 58, 17 g karbohidrat (Kholifatul, 2015).
Untuk meningkatkan nilai gizi pada cilok diperlukan tambahan sumber gizi pada
bahan pangan lainnya, salah satunya ikan.
9
Gambar 3. Cilok ikan (dokumentasi pribadi)
Ikan termasuk dalam salah satu penghasil protein hewani dan asam lemak
omega, sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif pemenuhan gizi seimbang
dalam tubuh. Ikan memiliki kandungan gizi cukup lengkap seperti protein,
karbohidrat, vitamin, mineral dan asam lemak omega (3, 6, 9) (Kemenkes RI,
2016). Tingginya kadar air dan protein pada ikan menyebabkan ikan termasuk
dalam komoditas yang mudah mengalami kerusakan (perishable) (Patty et al.,
2015). Oleh karena itu dilakukan inovasi pengolahan ikan dengan
dikombinasikan pada pembuatan cilok untuk meningkatkan nilai gizi pada cilok
salah satunya protein dan asam lemak. Sebagaimana pada hasil penelitian
(Lestari, 2016), yang dilakukan penambahan daging ikan lele 2% pada
pembuatan cilok ikan dapat menaikkan kandungan protein sebesar 6,70 g dalam
100 g cilok.
2.4 Senyawa Bau Amis Ikan
Bau amis pada ikan disebabkan oleh beberapa senyawa yang bersifat
volatil serta menurunnya mutu dari ikan, salah satunya adalah asam lemak dan
protein yang mudah teroksidasi dan terdenaturasi. Reaksi yang terjadi pada
komponen tersebut menghasilkan senyawa – senyawa basa volatil yang cukup
10
tinggi. Kandungan senyawa basa volatil tersebut merupakan senyawa hasil
degradasi protein yang menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti
ammonia (NH3), dimethyl ammonium (DMA), monometil ammonium (MMA),
hidrogen sulfida (H2S) dan trimetil ammonium (TMA) karena adanya
perombakan trimetil amonium oksida (TMAO) yang berbau busuk seiring dengan
peningkatan kandungan senyawa tersebut (Kaparang et al., 2013). Selain itu
kandungan asam lemak tak jenuh yang relatif tinggi dan lebih mudah teroksidasi
menyebabkan bau amis serta bau tengik (Jeffri, 2010). Adanya interaksi antara
trimetil amonium oksida (TMAO) yang terdapat pada bagian otot – otot ikan dan
memiliki ikatan rangkap dari asam lemak tak jenuh dengan enzim didalam ikan
menghasilkan senyawa trimetil ammonium (TMA), sehingga senyawa tersebut
termasuk dalam bagian dari basa volatil dengan nilai kandungan yang lebih
rendah dari senyawa total basa volatil.
Menurut (Suwetja, 2011), pembentukan trimetil ammonium terjadi melalui
beberapa tahapan, pertama terjadinya oksidasi kolin oleh bakteri yang memotong
gugus trimetil ammonium oksida sehingga terbentuk trimetill ammonium yang
merupakan senyawa pemberi karakteristik bau amis (fishy) dari ikan (Murtini et
al., 2014). Berdasarkan hal tersebut, penentuan nilai total basa volatil yang
merupakan metode uji kesegaran kimiawi atau uji penurunan mutu produk yang
berkaitan dengan pengujian kadar air dan penentuan pH, semakin besar nilai total
basa volatil maka makin tinggi pula nilai pH-nya. Hal ini sesuai dengan (Afrianto
and Liviawaty, 2011) yang menerangkan bahwa pasca ikan mati, maka pH ikan
akan mendekati netral yang berkisar antara 6,8 – 7. Sebagaimana dijelaskan oleh
Botta (1995) dalam (Faisal et al., 2020) yang menyatakan bahwa peningkatan
11
kadar TVB-N disebabkan oleh bakteri patogen yang menyebabkan penurunan
mutu dan menghasilkan basa – basa yang bersifat volatil atau mudah menguap.
Terkait hal tersebut, penentuan nilai kandungan senyawa basa volatil pada
ikan merupakan penentuan secara kuantitatif menggunakan metode pengukuran
nilai Total Volatile Base (TVB) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap
ekstraksi dengan menggunakan asam untuk melarutkan basa – basa volatil pada
ikan yang memiliki sifat sama dengan pelarutnya. Tahap kedua dilakukan
destilasi yang didasarkan pada pemisahan larutan berdasarkan perbedaan titik
didihnya, dimana sampel hasil ekstraksi ditambahkan dengan basa yang
kemudian dipanaskan. Sampel yang memiliki titik didih rendah akan menguap
terlebih dahulu yang terkondensasi menjadi cair dan ditampung pada asam
sehingga sampel tersebut akan berikatan dan membentuk larutan baru bersifat
netral dengan titik ekuivalen terjadinya perubahan warna menjadi hijau kebiruan.
Sedangkan pada tahap ketiga dilakukan titrasi dengan asam kuat yang telah
diketahui konsentrasinya dan akan berikatan dengan sampel hasil destilasi yang
ditandai dengan perubahan warna menjadi ungu pada titik ekuivalen titrasi. Hasil
akhir analisis ini dinyatakan sebagai jumlah kandungan senyawa basa volatil
yang terbentuk dari degradasi protein melalui tiga tahapan diatas yang dinyatakan
dalam bentuk mg-N/100 g (Darmawati et al., 2021). Berdasarkan Natsir et al.,
(2013) nilai kandungan senyawa basa volatil ikan segar memiliki batas maksimal
20 - 30 mg-N/100 g yang mengindikasikan bahwa ikan tersebut masih dapat
diterima dan layak konsumsi. Apabila nilai TVB lebih dari 30 mg-N/100 g
termasuk dalam kategori ikan busuk.
12
2.5 Asam Organik
Asam organik merupakan salah satu komponen kimia yang terdapat pada
bahan pangan yang terdiri dari asam sitrat, asam askorbat, asam malat, asam
tartarat. Salah satu asam organik alami yang banyak digunakan dalam
pengolahan bahan pangan sebagai alternatif pemberi aroma adalah asam organik
yang terdapat pada jeruk nipis (Citrus aurantifolia) (Rawat, 2015). Jeruk nipis
dan jeruk lemon termasuk dalam salah satu buah yang memiliki kandungan asam
yang berasal dari asam sitrat dengan pH antara 2 – 3 (Violeta et al., 2010). Nilai
pH jeruk nipis lebih rendah dari jeruk lemon dikarenakan kandungan asam
sitratnya sebesar 6,15%, asam laktat 0,09% dan asam tartarat dalam jumlah kecil
(Violeta et al., 2010). Sedangkan ekstrak jeruk lemon memiliki kandungan asam
sitrat 5% (Singh et al., 2016).
Asam sitrat (C6H8O7) dalam jeruk merupakan asam organik lemah yang
terdapat pada buah tanaman genus Citrus. Berdasarkan penelitian Aprianti (2011)
menyatakan bahwa asam organik dapat menyamarkan bau amis pada ikan segar.
Hal ini dikarenakan asam organik pada tanaman Citrus dapat bereaksi dengan
trimetilamin (TMA) dan membentuk trimetil ammonium yang selanjutnya diubah
menjadi bimetal ammonium, sehingga bau amis berkurang (Loppies et al., 2020).
Selain itu asam organik juga dapat mendenaturasi protein yang menyebabkan bau
amis. Sebagaimana menurut Fekrazad et al, (2015) yang menyatakan bahwa
penggunaan larutan asam organik jeruk nipis dapat memicu kerusakan protein
yang menyebabkan bau amis.
13
1.6 Mekanisme Penghilang Bau Amis
Pada umumnya daging ikan mengandung lebih banyak asam lemak tidak
jenuh sehingga lebih mudah menjadi tengik (Jeffri; 2010). Bau amis yang
ditimbulkan pada ikan dapat dihindari dengan penambahan sari jeruk nipis.
Minyak atsiri pada bagian kulit buah jeruk nipis banyak digunakan sebagai
pemberi aroma untuk berbagai makanan dan minuman, seperti minuman
beralkohol dan non alkohol, roti panggang, kembang gula, puding, permen karet,
dan bahan obat-obatan. Sedangkan larutan asam jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
atau lemon kasturi (Citrus mitis) cukup efektif untuk mengurangi bau amis ikan.
Hal ini dikarenakan kedua citrus tersebut mengandung asam – asam organik,
yaitu asam sitrat dan asam askorbat yang dapat bereaksi dengan TMA
membentuk trimetil amonium yang selanjutnya diubah menjadi bimetal
amonium, sehingga bau amis akan berkurang (Loppies et al., 2020). TMA atau
trimetil ammonium pada daging ikan yang bereaksi dengan asam laktat dari
proses glikolisis akan menghasilkan trimetil ammonium (Farahita and
Kurniawati, 2012). Bau amis terjadi karena dekomposisi kandungan amonia
yang umumnya terdapat pada otot ikan yang mengandung zat trimetil
ammonium oksida atau TMAO. Senyawa tersebut akan terurai menjadi
trimetilamina dan dimetilamina. Kedua campuran senyawa tersebut yang
menimbulkan bau amis pada ikan (Loppies et al., 2020). Mekanisme reaksi
pengasaman trimetil ammonium dengan asam askorbat dapat dilihat pada
14
gambar.
Gambar 4. Reaksi asam basa (Puspitarini, Pratjojo et al. 2014)
15